BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ASI (Air Susu Ibu)
ASI adalah hadiah terindah dari ibu kepada bayi yang disekresikan oleh kedua
belah kelenjar payudara ibu berupa makanan alamiah atau susu terbaik bernutrisi dan
berenergi tinggi yang mudah dicerna dan mengandung komposisi nutrisi yang
seimbang dan sempurna untuk tumbuh kembang bayi yang tersedia setiap saat, siap
disajikan dalam suhu kamar dan bebas dari kontaminasi (Wiji, 2013).
Para ahli anak di seluruh dunia telah mengadakan penelitian terhadap
keunggulan ASI. Hasil penelitian tersebut menjelaskan keunggulan ASI dibandingkan
dengan susu sapi atau susu buatan lainnya. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
bayi yang diberi ASI secara khusus terlindung dari serangan penyakit sistem
pernapasan dan pencernaan. Hal itu disebabkan oleh zat-zat kekebalan tubuh di dalam
ASI memberikan perlindungan langsung melawan serangan penyakit.
2.1.1. Manfaat ASI
a. Komposisi yang sesuai: air susu ibu memiliki komposisi yang ideal untuk
memenuhi kebutuhan bayi. Tidak ada air susu jenis lain yang memiliki
komposisi seperti ASI.
b. Tidak memerlukan persiapan: ASI selalu segar, murni dan siap untuk
diminum, tidak memerlukan persiapan. Oleh karena itu, kontaminasi
c. Hangatnya sesuai untuk bayi: ASI selalu memiliki suhu yang paling baik
untuk bayi.
d. Bersifat anti alergi: ASI mengandung antibodi dibandingkan protein
makanan dan juga protein susu sapi. Antibodi ini berguna untuk
menghalangi penyerapan bahan makanan beracun.
e. Pertahanan melawan infeksi: ASI mengandung beberapa faktor anti
mikroba (agen yang menghalangi invasi) yang memiliki peran penting
dalam melawan infeksi pada bayi.
f. Hubungan ibu-anak yang sehat: ASI baik sekali untuk membangun
interakasi ibu-anak yang sehat. Bayi yang menerima ASI memiliki kontak
yang dekat dan hangat dengan ibunya.
g. Membantu mengembalikan bentuk badan tubuh ibu : Jika dilakukan
dengan benar, menyusui dapat memperbaiki dan membentuk kembali
tubuh ibu. Hal ini membuat rahim kembali ke ukuran normal dan juga
menghilangkan lemak ekstra yang terakumulasi selama kehamilan
(Gupte, 2004).
2.2. Makanan Pendamping ASI
Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung
gizi diberikan kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI
merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan
yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan keterampilan motorik oral.
makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah
bagian depan ke lidah bagian belakang (Ariani, 2008).
Setelah bayi berumur 6 bulan, makanan pendamping ASI (MP-ASI) mulai
diperkenalkan kepada bayi, namun pemberian ASI harus tetap dilanjutkan setidaknya
sampai bayi berumur 2 tahun. Pada usia 6 bulan, bayi perlu diperkenalkan dengan
makanan pendamping, yaitu makanan tambahan selain ASI untuk memenuhi
kebutuhan gizi bayi yang meningkat. Jenis makanan bayi juga mempengaruhi jumlah
kebutuhan airnya. Umumnya, kebutuhan cairan bayi pada usia 6-11 bulan dapat
dipenuhi dari ASI saja. Cairan tambahan dapat diperoleh dari buah, sayuran, atau
sedikit air matang setelah pemberian makan (Yuliarti, 2010).
ASI hanya mampu mencukupi 60-70 persen kebutuhan bayi. Selain itu bayi
harus mulai diperkenalkan keterampilan mengunyah. Pada tahap ini harus bisa
melatih kemampuan bayi secara bertahap. MP-ASI yang biasa diberikan adalah bubur
susu, bubur saring, atau nasi tim yang dilumatkan. MP-ASI yang berupa sereal beras
baik diberikan karena bebas gluten dan tidak menimbulkan alergi sebagaimana
makanan lain.
2.2.1. Tujuan Pemberian MP-ASI
Bertambah umur bayi bertambah pula kebutuhan gizinya. Ketika bayi
memasuki usia 6 bulan ke atas, beberapa elemen nutrisi seperti karbohidrat, protein
dan beberapa vitamin dan mineral yang terkandung dalam ASI atau susu formula
tidak lagi mencukupi. Sebab itu sejak usia 6 bulan, kepada bayi selain ASI mulai
(Ariani, 2008). makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara
kebukituhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO,
2003).
2.2.2. Jenis MP-ASI
Beberapa Jenis MP-ASI yang sering diberikan adalah:
1. Buah, terutama pisang yang mengandung cukup kalori. Buah jenis lain yang
sering diberikan pada bayi adalah : pepaya, jeruk, dan tomat sebagai sumber
vitamin A dan C.
2. Makanan bayi tradisional :
a. Bubur susu buatan sendiri dari satu sampai dua sendok makan tepung
beras sebagai sumber kalori dan satu gelas susu sapi sebagai sumber
protein.
b. Nasi tim saring, yang merupakan campuran dari beberapa bahan
makanan, satu sampai dua sendok beras, sepotong daging, ikan atau
hati, sepotong tempe atau tahu dan sayuran seperti wortel dan bayam,
serta buah tomat dan air kaldu.
3. Makanan bayi kalengan, yang diperdagangkan dan dikemas dalam kaleng,
karton, karton kantong (sachet) atau botol : untuk jenis makanan seperti ini
perlu dibaca dengan teliti komposisinya yang tertera dalam labelnya (Lewis,
2.2.3. Waktu dan Cara Pemberian MP-ASI
a. Usia 0-6 bulan
Air susu ibu (ASI), makanan tunggal dan paling sempurna bagi bayi hingga
berusia 6 bulan. Rekomendasi WHO (2002) menganjurkan pemberian ASI ekslusif
bagi bayi sampai usia 0-6 bulan, maksudnya bayi hanya diberikan ASI saja tanpa
ditambah PASI/susu formula atau makanan padat/MP-ASI. Perlu diketahui, bahwa
pemberian ASI saja pada usia ini, sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi
(Febry, 2013).
b. Usia 6-9 bulan
Setelah usia 6 bulan ASI tetap diberikan namun tidak sebagai makanan utama
lagi sehingga bayi sudah harus diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI.
Makanan pendamping dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan bayi yang
semakin meningkat sesuai bertambahnya umur. Makanan pendamping untuk bayi 6-9
bulan adalah berupa bubur susu sampai nasi tim lumat. Pemberian makanan dimulai
dengan yang bertekstur sangat lembut dan encer kemudian bertahap ke bentuk yang
lebih kental. Frekuensi pemberian makanan pendamping sebanyak 2 kali sehari
dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur. Usia 6 bulan diberikan 6 sendok
makan, usia 7 bulan diberikan 7 sendok makan, dan memasuki usia 8 bulan sebanyak
8 sendok makan.
c. Usia 10-12 bulan
ASI tetap diberikan dengan diberikan tambahan makanan padat berupa bubur
sehari atau lebih tergantung kemampuan bayi dalam menerima makanan dengan
jumlah yang disesuaikan dengan umur. Usia 9 bulan diberikan 9 sendok makan, usia
10 bulan 10 sendok makan, dan memasuki usia 11 bulan sebanyak 11 sendok makan
(Sulistyoningsih, 2011).
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Makanan Pendamping ASI Menurut Umur Bayi
Umur Jenis Makanan Frekuensi Pemberian
2.2.4. Syarat MP-ASI
Beberapa persyaratan pembuatan MP-ASI yang perlu diperhatikan:
a. Sehat : makanan harus bebas dari kuman penyakit, pengawet, pewarna,
dan racun. Pertumbuhan dan perkembangan bayi sangat rentan terhadap
pengaruh kuman penyakit dan bahan tambahan makanan (zat aditif).
b. Mudah diperoleh : makanan tambahan untuk bayi hanya terdiri dari satu
bahan atau beberapa bahan saja. Ini karena sistem pencernaan bayi yang
belum siap untuk menerima bermacam-macam makanan. Bahan makanan
seperti pisang dan pepaya dapat diperoleh dengan mudah di
negara-negara tropis, sementara apel dan pir kebanyakan dibudidayakan di
daerah subtropis.
c. Masih segar : sebaikanya MP-ASI disiapkan sesaat sebelum diberikan
kepada bayi dan dibuat dari bahan-bahan segar yang bebas polusi.
d. Mudah diolah : pengolahan bahan MP-ASI sebaiknya tidak terlalu lama,
tetapi teksturnya cukup lembut untuk pencernaan bayi yang baru
mengenal MP-ASI. Bahan yang mudah diolah tentu akan memudahkan
orang tua menyiapkan MP-ASI anaaknya.
e. Harga terjangkau : MP-ASI tidak harus mahal. Jika harganya terjangkau
tentu akan lebih baik. Secara umum, harga bahan pangan nabati lebih
f. Cukup kandungan gizinya : makanan tambahan yang diberikan ke bayi
harus memenuhi kecukupan gizi bayi. Kombinasi yang tepat antara bahan
nabati dan hewani diharapkan memenuhi kebutuhan nutrisi bayi untuk
tumbuh dan berkembang dengan baik.
g. Jenis makanan sesuai dengan umur bayi : ada beberapa makanan yang
tidak pantas diberikan untuk bayi usia 6 bulan karena baru tepat diberikan
kepada bayi yang berumur 9 bulan. Ini harus diperhatikan karena
kemampuan pencernaan bayi yang lebih muda usianya berbeda dengan
bayi yang sudah besar.
h. Pengolahan MP-ASI harus higienis : alat yang digunakan juga
diperhatikan kebersihannya (Sudaryanto, 2014).
2.2.5. Dampak Memberikan MP-ASI Terlalu Dini
a. Resiko jangka pendek
- Pengenalan makanan selain ASI kepada diet bayi akan menurunkan
frekuensi dan intensitas pengisapan bayi, yang akan merupakan risiko
untuk terjadinya penurunan produksi ASI.
- Pengenalan serealia dan sayur-sayuran tertentu dapat mempengaruhi
penyerapan zat besi dari ASI sehingga menyebabkan defisiensi zat besi
dan anemia.
- Resiko diare meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih ASI.
- Makanan yang diberikan sebagai pengganti ASI sering encer, buburnya
memang membuat lambung penuh, tetapi memberi nutrient lebih sedikit
daripada ASI sehingga kebutuhan gigi/nutrisi anak tidak terpenuhi.
- Anak mendapat faktor pelindung dari ASI lebih sedikit, sehingga resiko
infeksi meningkat.
- Anak akan minum ASI lebih sedikit, sehingga akan lebih sulit untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi anak.
- Defluk atau kolik usus yaitu istilah yang digunakan bagi kerewelan atau
tangisan yang terus menerus bagi bayi yang dipercaya karena adanya
kram di dalam usus.
b. Resiko jangka panjang
- Obesitas : Kelebihan dalam memberikan makanan adalah risiko utama
dari pemberian makanan yang terlalu dini pada bayi. Konsekuensi pada
usia-usia selanjutnya adalah terjadi kelebihan berat badan ataupun
kebiasaan makan yang tidak sehat.
- Hipertensi : Kandungan natrium dalam ASI yang cukup rendah (± 15
mg/100 ml). Namun, masukan dari diet bayi dapat meningkatkan drastis
jika makanan telah dikenalkan. Konsekuensi dikemudian hari akan
menyebabkan kebiasaan makan yang memudahkan terjadinya
gangguan/hipertensi.
- Arteriosklerosis : Pemberian makanan pada bayi tanpa memperhatikan
lemak jenuh, sebaliknya kandungan lemak tak jenuh yang rendah dapat
menyebabkan terjadinya arteriosklerosis dan penyakit jantung iskemik.
- Alergi Makanan : Belum matangnya sistem kekebalan dari usus pada
umur yang dini dapat menyebabkan alergi terhadap makanan.
Manifestasi alergi secara klinis meliputi gangguan gastrointestinal,
dermatologis, dan gangguan pernapasan, dan sampai terjadi syok
anafilaktik (Cox, 2006).
2.3. Diare
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defakasi
lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair),
dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmaja, 2010).
Diare merupakan suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan
konsistensi tinja yang cair dan frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 kali
dalam sehari), namun tak selamanya mencret dikatakan diare. Misalnya pada bayi
yang berusia kurang dari sebulan, yang bisa buang air hingga lima kali sehari dan
fesesnya lunak (Masri, 2004).
2.3.1. Klasifikasi Diare
a. Klasifikasi diare menurut terjadinya, yaitu :
1. Diare akut: diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang
2. Diare kronik: diare yang berlanjut sampai 2 minggu atau lebih dengan
kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa
diare tersebut.
b. Klasifikasi diare menurut derajat dehidrasi
Diare dibagi menjadi diare tanpa dehidrasi dan diare dengan dehidrasi
ringan-sedang dan diare dengan dehidrasi berat (Ngastiyah, 2005).
2.3.2. Penyebab Diare
Penyebab diare dapat dikelompokkan menjadi:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral : infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut:
- Infeksi bakteri: Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.
- Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis),
Adeno-virus, Rotavirus, Astrovirus, dan lain-lain.
- Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides),
protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lambia, Trichomonas
hominis), jamur (Candida albicans).
b. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti:
otitis media akut (OMA), tonsilitis/ tonsilofaringitis, bronkopneumonia,
2. Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa).
Pada bayi dan anak yang terpenting dan paling sering (intoleransi
laktosa).
b. Malabsorbsi lemak.
c. Malabsorbsi protein.
3. Faktor makanan, makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
4. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak
yang lebih besar) (Ngastiyah, 2005).
2.3.3. Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan
osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini
akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Kedua gangguan sekresi, akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada
dinding usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus
dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan
timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri
timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula (Ngastiyah, 2005).
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke
dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme
tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut
terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare ( Kusmaul, 2002).
2.3.4. Akibat Penyakit Diare
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi:
1. Kehilangan air (dehidrasi).
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input), merupakan penyebab kematian pada diare.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare.
Pada anak-anak dengan gizi yang cukup/baik hipoglikemia ini jarang
terjadi. Hal ini terjadi karena:
a. Penyimpanan/persediaan glikogen dalam hati terganngu.
b. Adanya gangguan absorpsi glukosa (walaupun jarang terjadi).
Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun
3. Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare , sering terjadi gangguan gizi dengan akibat
terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini
disebabkan:
a. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau
muntahnya akan bertambah hebat. Orang tua sering hanya memberikan
air teh saja.
b. Walaupun susu diteruskan, sering diberukan dengan pengenceran dan
susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
c. Makanan yang diberikan sering tidak dicerna dan diabsorpsi dengan
baik dengan adanya hiperperistaltik.
4. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan/disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi
darah berupa renjatan (syok) hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan
terjadi hipoksia, asidosis bertambah hebat, dapat mengakibatkan pendarahan pada
otak, kesadaran menurun dan apabila tidak segera ditolong penderita dapat meninggal
(Suharyono, 2008).
2.3.5. Manifestasi Klinis
Mula-mula anak/bayi cengeng gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu
makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja makin cair, mungkin
mengandung darah dan/atau lendir, Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan
karena tinja makin lama menjadi makin asam akibat banyaknya asam laktat yang
terjadi dari pemecahan laktosa yang tidak dapat diabsorpsi oleh usus. Gejala muntah
dapat terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan air
dan elektrolit, terjadilah gejala dehidrasi. Berat badan turun, pada bayi ubun-ubun
besar cekung, tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir terlihat
kering (Suraatmaja, 2010).
2.3.6. Komplikasi Penyakit Diare
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik.
c. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi,
perubahan pada elektro kardiagram).
d. Hipoglikemia.
e. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena
kerusakan vili mukosa, usus halus.
f. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga
mengalami kelaparan (Ngastiyah, 2005).
2.3.7. Pencegahan Penyakit Diare
Menurut Wahyudi (2009) ada beberapa cara untuk pencegahan penyakit
diare, diantaranya :
a. Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif sampai umur 6 bulan.
Bayi yang mendapat ASI lebih sedikit dan lebih ringan episode diarenya dan
lebih rendah risiko kematiannya jika dibanding bayi yang tidak mendapat
ASI. Dalam 6 bulan pertama kehidupan risiko mendapat diare yang
dibutuhkan perawatan di rumah sakit dapat mencapai 30 kali lebih besar
pada bayi yang tidak disusui daripada bayi yang mendapat ASI penuh. Hal
ini disebabkan karena ASI tidak membutuhkan botol, dot, dan air yang
mudah terkontaminasi dengan bakteri yang mungkin menyebabkan diare.
ASI juga mengandung antibodi yang melindungi bayi terhadap infeksi
terutama diare, yang tidak terdapat pada susu sapi dan formula. Saat usia
bayi mencapai 6 bulan, bayi harus menerima buah-buahan dan makanan lain
untuk memenuhi kebutuhan gizi yang meningkat, tetapi ASI harus tetap
terus diberikan paling tidak sampai umur 24 bulan.
b. Hindarkan penggunaan susu botol . Seringkali para ibu membuat susu yang
tidak langsung habis sekali minum, sehingga memungkinkan tumbuhnya
bakteri. Dot yang jatuh langsung diberikan bayi tanpa dicuci. Botol juga
harus dicuci dan direbus untuk mencegah pertumbuhan kuman.
c. Penyimpangan dan penyiapan makanan pendamping ASI dengan baik, untuk
mengurangi paparan dan perkembangan bakteri.
d. Penggunaan air bersih untuk minum.
Pasokan air yang cukup, bisa membantu membiasakan hidup bersih seperti
cuci tangan, mencuci peralatan makan, membersihkan WC dan kamar
e. Mencuci tangan (sesudah buang air besar dan membuang tinja bayi, sebelum
menyiapkan makanan atau makan).
f. Membuang tinja, termasuk tinja bayi secara benar.
Tinja merupakan sumber infeksi bagi orang lain. Keadaan ini terjadi baik
pada yang diare maupun yang terinfeksi tanpa gejala. Oleh karena itu
pembuangan tinja anak merupakan aspek penting pencegahan diare.
2.4 . Hubungan MP-ASI yang Diberikan dengan Kejadian Diare
Pada waktu bayi baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh dari
ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun setelah kelahiran
bayi, padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia beberapa bulan, bayi belum
dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. Sehingga kemampuan bayi
membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat selanjutnya akan terjadi
kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya tahan tersebut dapat diatasi apabila
bayi diberi ASI (Roesli, 2005).
Pemberian makanan berupa ASI sampai bayi mencapai usia 6 bulan, akan
memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI
adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari
berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. Namun banyak orang tua
yang memberikan MP-ASI terlalu dini yaitu sebelum bayi berusia 6 bulan, sedangkan
karena sebelum 6 bulan sistem pencernaannya relatif belum sempurna dan belum siap
menerima MP-ASI. Beberapa enzim pemecah protein seperti asam lambung, pepsin,
Salah satu efek dari pemberian MP-ASI terlalu dini karena kurangnya kekebalan
penyakit terutama infeksi adalah diare. Oleh karena itu, dengan adanya zat anti bodi
dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit, bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara bayi yang mendapat ASI eksklusif minimal 6 bulan dengan bayi
yang hanya diberi susu formula.
Bayi yang diberikan MP-ASI dini biasanya mudah sakit dan sering
mengalami masalah kesehatan seperti sakit diare, penyakit infeksi telinga, batuk dan
pilek, yang memerlukan pengobatan sedangkan bayi yang diberikan ASI eksklusif
biasanya jarang mendapat sakit dan kalaupun sakit biasanya ringan dan jarang
memerlukan perawatan.
2.5. Kerangka Konsep
Konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal
khusus. Oleh karena konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung
diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati atau diukur melalui konstruk atau
yang lebih dikenal dengan variabel. Jadi variabel adalah simbol atau lambang yang
menunjukkan nilai atau bilangan dari konsep. Variabel adalah sesuatu yang bervariasi
(Notoatmodjo, 2005). Variabel independent yaitu pemberian makanan pendamping
ASI dini dan variabel dependent yaitu insiden diare.
Kerangka konseptual penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan pemberian
Variabel Independen Variabel dependen
Gambar 1: Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini dan Kejadian Diare. Pemberian makanan
pendamping ASI dini - Usia
- Jumlah - Jenis - Frekuensi