43
BAB III
AIN NI AIN DALAM EKSISTENSI MASYARAKAT KEI
Bab ini akan secara khusus akan menjelaskan beberapa hal pokok mengenai pertama,
profil makro masyarakat Kei; kedua, ain ni ain dalam tutur sejarah masyarakat Kei
Besar, dan ketiga, sistem nilai dan makna ain ni ain. Pokok-pokok pikiran yang
dibahas dalam bab ini menjurus pada ain ni ain sebagai suatu pendekatan konseling
perdamaian di Kei Besar.
A. PROFIL MAKRO MASYARAKAT KEI
Bagian ini akan mendeskripsikan profil makro dari masyarakat Kei, yang mana
penulis akan mengemukakan data tentang letak geofrafis dan luas wilayah, iklim,
mata pencaharian, bahasa, bentuk-bentuk kekerabatan, sistem pemerintahan, sistem
kepercayaan, dan hukum adat.
1. Letak Geografis dan Luas Wilayah
Gugusan kepulauan Kei yang terdapat di laut banda, dengan Astronomi terletak
antara : 50 sampai 6,50 Lintang Selatan dan 1310 sampai 133,50 Bujur Timur.1 Selain
itu secara geografis kepulauan Kei dibatasi antara lain oleh : Laut Arafura di Sebelah
Selatan, Irian Jaya Bagian Selatan di Sebelah Utara, Kepulauan Aru di Sebelah
Timur, Laut Banda di Sebelah Barat dan bagian Utara oleh Kepulauan Tanimbar.
1Dinas Komunikasi dan Informatika Pemkab. Maluku Tenggara, “demografi wilayah”,
http://www.malukutenggarakab.go.id/index.php/demografi, diakses pada kamis, 23 Februari 2017,
44 Kepulauan Kei terdiri atas 119 pulau Kecil, di antaranya ada 3 pulau di Kei Besar
dan pulau-pulau lainnya di Kei Kecil yang berpenduduk. Kepulauan Kei dengan
gugusan pulau-pulaunya terbagi atas dua pulau besar yakni Kei Kecil yang disebut
Nuhu Roa dan Kei Besar disebut Nuhu Yuut, serta ada tiga kelompok pulau kecil,
yaitu pulau Tanimbar Kei yang disebut Tnebar Evav, Kepulauan Thayando disebut
Tahyad, dan Kepulauan Kur.2 Kepulauan Kei atau secara administratif disebut Maluku Tenggara dengan Langgur sebagai ibukota kabupaten saat ini terdiri dari
enam kecamatan Kecamatan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kecamatan Kei
Kecil Barat, Kecamatan Kei Besar, Kecamatan Kei Besar Utara Timur dan
Kecamatan Kei Besar Selatan.
2. Musim
Kepulauan Kei seperti wilayah lainnya di Indonesia, termasuk daerah tropis
karena terletak disekitar garis khatulistiwa. Iklim di kepulauan ini dikuasai oleh angin
musim, yakni angin musim timur (April-Oktober), angin yang bertiup dari Tenggara
(Benua Australia) ke arah Barat Laut (Asia Tengah). Sedangkan pada Musim Barat
(November-Maret), angin bertiup dari arah Barat Daya ke arah Tenggara. Kepulauan
Kei selama bulan April-Oktober mengalami musim kering atau kemarau, sementara
pada bulan November-maret, melangalami musim hujan. Selain kedua musim ini ada
juga musim pancaroba yang disebut ma’ir, pada musim ini angin bertiup dari banyak
jurusan. Para leluhur perubahan musim itu dengan melihat peredaran Bintang Yeu dan
2 P. M. Laksono, (at.al); Kekayaan, Agama, dan Kekuasaan. Identitas dan Konflik Di
45
Bintang Far atau Bintang Biduk dan Bintang Pari. Musim pancaroba berlangsung
pada bulan November di Musim Barat dan pada bulan Mei di Musim Timur.3 Iklim
sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Kei terkhusus bagi mereka yang
bekerja sebagai petani sekaligus nelayan. Jika angin musim Timur bertiup maka
mereka tidak akan melakukan aktifitas bertani oleh karena tanah menjadi kering
untuk itu mereka melakukan aktifitas mencari ikan dilaut. Sebaliknya jika angin
musim barat bertiup mereka akan melakukan aktifitas bertani sebab tanah menjadi
subur karena curang hujan dimusim itu.4
3. Mata Pencaharian
Umumnya, masyarakat di Kepulauan Kei tinggal menetap di desa-desa sebagai
petani dan menggantungkan hidup mereka dari ladang yang diolah kembali.
Maksudnya, tanah yang pernah diolah dengan jenis tanaman tertentu, setelah diambil
hasilnya, diolah kembali untuk menanam jenis tanaman lainnya. Ada warga yang
bercocok tanam dengan cara tradisonal, tetapi ada juga dengan cara modern yaitu
dengan menggunakan berbagai macam peralatan modern dan pupuk yang tersedia
untuk kesuburan tanaman. Masyarakat, umumnya hanya menanam Enbal5 (Singkong
beracun) sebagai makanan pokok, juga Kasbi (singkong tidak beracun), Keladi,
Kacang Hijau, dan Kacang Tanah.
3 Hasil wawancara dengan Bpk. N. Rahayaan, 10 Desember 2016.
4 Hasil wawancara dengan Bpk. Nus Rahayaan, 10 Desember 2016.
5 Enbal dibuat dari singkong berracun, terlebih dulu dikeluarkan racunnya melalui proses
46 Masyarakat Kei selain bercocok tanam sebagai mata pencaharian primer, juga
berternak, menangkap ikan, berburu di hutan dan hasta karya atau hasil kerajinan
yang sederhana dalam bentuk anyam-anyaman, pembuatan suram (gerabah lokal),
ukiran, dan lainnya, serta pertukangan khusus pembuatan perahu. Pekerjaan ini hanya
menjadi pelengkap dari perkerjaan utama di ladang. Pekerjaan ini ada yang dilakukan
secara pribadi, tetapi juga ada yang dilakukan secara bersama atau yang dikenal
dengan istilah hamaren. Hasil pekerjaan ini dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi setiap hari dan selebihnya dijual di pasar untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan anak, kesehatan dan perumahan. Selain itu ada pula
masyarakat yang bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, Tentara Nasional
Indonesia, dan Kepolisian.
4. Bahasa
Penduduk daerah ini, kecuali orang-orang Banda Eli dan Banda Elat,6 serta
pendatang, masih menggunakan Bahasa Kei sebagai bahasa pergaulan dalam
kehidupan sehari-hari, baik oleh orang dewasa maupun generasi muda. Bahasa Kei
memiliki dialek yang bervariasi sekurang-kurangnya terdapat lima dialek Bahasa
Kei.7 Di Kei Besar terdapat tiga dialek yaitu dialek Kei Besar bagian utara (Bombai),
bagian selatan misalnya Rerean, dan bagian tengah misalnya Yamtel. Sedangkan di
Kei Kecil terdapat dua dialek di bagian timur dan di bagian barat. Selain itu dialek
6 Orang-orang Banda Eli dan Banda Elat adalah satu kelompok etnik yang tidak
menggunakan Bahasa Kei dalam pergaulan mereka tetapi menggunakan Bahasa Banda sebagai bahasa asli daerah asal mereka.
7 Hasil wawancara dengan Ibu O. Totomutu, 26 Oktober 2016. Salah satu pendatang yang
47 dipesisir pantai berbeda dengan dialek di pegunungan. Akan tetapi apabila diucapkan
dapat dimengerti oleh semua warga masyarakat Kei.
Selain Bahasa Kei tentunya Bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan antar
sesama masyarakat Kei atau masyarakat Kei dengan orang dari suku yang berbeda.
sebab kenyataan dalam ruang interaksi di masyarakat tentunya banyak pendatang
dari suku yang lain juga ada dalam ruang interaksi tersebut. Sehingga Bahasa
Indonesia sebagai bahasa Negara harus digunakan dalam pergaulan maupun dalam
ruang interaksi.
5. Bentuk-Bentuk Kekerabatan
Masyarakat Kei mengenal tiga bentuk kekerabatan dalam bidang sosial-budaya,
yakni:
a). Ikatan aliran darah yang kental. Bentuk kekerabatan ini terdiri atas tiga bentuk.
Pertama, rahan yam. Kata ini terbagi atas dua suku kata yang memiliki arti yakni
rahan yang berarti rumah dan yaman yang berarti bapak sehingga apabila diartikan
secara harafiah, rahanyam berarti rumah bapak. Bentuk kekerabatan ini menunjuk
pada kelompok orang yang sedarah yang berperan dalam acara atau sidang adat.
Dalam praktek untuk mempertahanakan ikatan ini, maka masyarakat Kei memiliki
pola hubungan sebagai berikut : yamad ubun taran yang berarti hubungan keluarga
anatar cucu dengan kakek dan neneknya dari marga bapak. Kemudian yan te,
merupakan singkatan dari yanyanat dan teten. Yang berarti anak atau anak-anak dan
48 bersama anak atau anak-anak. Bentuk kekerabatan ini didasarkan atas perkawinan
dengan prinsip patrilinial yakni setiap keturungan dihitung dalam garis keturunan
bapak dan menggunakan fam dari bapak. Selain itu tempat tinggal ditentukan oleh
pihak bapak. Dalam bentuk ini anak-anak harus mengakui orang tua sebagai
pemimpin tertinggi dalam keluarga yang mengatur segala aspek hidup termasuk
perkawinannya. Prinsip ini berkaitan dengan Hukum Adat Larvul Ngabal yang
mengjadikan orang tua sebagai kepala dari seluruh anggota keluarga yang memiliki
hak tertinggi dan berkuasa mutlak dalam mengatur satu keluarga. Ada pula, yaan
warin, adalah ikatan hubungan keluarga laki-laki dengan laki-laki atau perempuan
dengan perempuan sebagai kakak beradik. Kedua, tu u tavol, yakni ikatan
kekerabatan yang berasal dari keturunan ibu atau marga ibu. Pola yang digunakan
msayarakat Kei adalah renen ubunte atau ren ub te yang berarti ikatan keluarga antara
cucu dengan kakek dan nenek dari marga ibu; renan uran atau ren ur merupakan
ikatan keluarga antar seseorang dengan dengan semua orang yang berasal dari marga
ibu; dan uran warin atau ur war yang berarti ikatan antara laki-laki dan perempuan
sebagai kakak beradik. Ketiga, utin kain atau utin tom merupakan ikatan kekerabatan
yang sudah sangat meluas dalam pengertian ikatan ini merupakan kekerabatan
dengan satu marga yang dalam sislsilah keluarga telah menyebarkan anak turunannya
ke berbagai marga atau ke berbagai desa atau dengan suku yang berbeda.8
b). Ikatan kekeluargaan karena perkawinan. Ikatan ini dalam bahasa Kei disebut fau
su rat, merupakan ikatan perkawinan antar marga. Dalam prakteknya dikenal dengan
49
sebutan yanur mangohoi. Kedua istilah ini menunjuk pada kelompok-kelompok
nmarga yang terlibat dalam suatu acara adat perkawinan. Yanur adalah pihak
penerima wanita, yang mengambil istri karena mereka datang meminta (pihak
laki-laki). Sedangkan mangohoi adalah pihak pemberi wanita atau istri (pihak wanita).
Biasanya bentuk kekerabatan ini akan berakhir setelah wilin atau harta kawin dilunasi
oleh pihak yanur kepada mangohoi akan tetapi dalam prakteknya hubungan
kekerabatan ini masih akan terus berlanjut bila salah satu telah meninggal.9
c). Ikatan kekerabatan karena suatu hubungan dalam adat atau peristiwa sejarah.
Bentuk kekerabatan ini disebut juga tom tad. Yang termasuk dalam ikatan ini yakni
koy maduan merupakan bentuk kekerabatan pada konteks perkawinan yaitu kepala
fam dari yanur biasa disebut maduan yang berarti tuan, pemilik (pemilik orang) yang
bertindak atas nama fam dari yanur untuk memberikan bantuan sedangkan yang
menerima bantuan disebut koy yaitu semua anggota dari satu fam. Ohoi nuhu, yang
memiliki pengertian kampung atau desa dengan tanahnya, yakni tempat beberapa
marga tinggal menetap atau hidup bersama, tempat tersebut dianggap aman sebab
ohoi dikelilingi ladang-ladang dan hutan rimba. Dalam konteks itu maka tanah
temapat mereka hidup bersama merupakan alat pemersatu. Tea bel atau pela
merupakan salah satu contoh dari ikatan ini. Kekerebatan ini terdapat di banyak
tempat misalnya tea bel antara desa Hollat dengan Ohoiren, Watlar dengan Nerong
dan lainnya. Ikatan ini merupakan ikatan hubungan oleh Karena adanya sumpah adata
antar dua desa yang bersumpah untuk saling melindungi secara jujur dan iklas.
50 Kekerabatan jenis ini menurut sejarah orang Kei merupakan orang bersaudara
sekandung dan tidak diperkenankan untuk melakukan perkawinan antara kedua belah
pihak.10
6. Sistem Pemerintahan Masyarakat Kei
Sistem pemerintahan di Kei terdiri atas suatu wilayah adat dan pemukiman,
yakni: pertama, ohoi yaitu satu tempat tinggal terkecil yang didalamnya terdapat
kepala kampung atau dusun, lengkap dengan kerapatan adat yang disebut seniri
dusun dan tua-tua adat. Saniri merupakan orang yang dipilih oleh anggota marga
untuk mewakili marganya dalam struktur pemerintahan di desa atau ohoi. Dalam
satuan ohoi terbagi lagi dalam atas beberapa ohoi yang dipimpin oleh orang kay,
sebagai pemimpin tertinggi di ohoinya serta bertanggung jawab melindungi
masyarakat dari ancaman. Orang kay dalam pelaksanaan tugasnya akan dibantu oleh
soa. sowa (soa)11 adalah pimpinan dari satu fam atau beberapa mata rumah. Fam
dalam budaya masyarakat Kei disebut mata rumah.12 Setiap individu yang berhimpun
dalam keluaraga dapat menjadi satu fam atau satu mata rumah namun yang terhitung
hanyalah anak laki-laki dari keturunan bapak sebagai anggota fam atau marga atau
mata rumah. Satu fam dapat hidup di satu desa yang sama, atau berbeda desa, atau
bisa juga tinggal bersama dalam satu rumah. Kepala soa berfungsi sebagai pemersatu
10 Hasil wawancara dengan Pdt. W. Sidubun, S.Th, 03 Januari 2017.
11 Hasil wawancara dengan Nus Rahayaan, 10 Desember 2016. Baca juga, Pieter Elmas,
Perjalanan Menemukan Jati Diri, dalam Ken Sa Faak: Benih Benih Perdamaian dari Kepulauan Kei,
(Tual-Yogyakarta: Nen Mas Il- Insist Press, 2004) 79.
12 Mata rumah merupakan kesatuan dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan
51
kekerabatan fam sebab kepala soa dipilih oleh orang yang tertua. Kepala soa berperan
untuk mengkoordinir famnya dalam membayar dan menerima harta perkawinan.
Kedua, setelah satuan ohoi atau desa ada pun gabungan beberapa desa terdekat
disebut utan, yang dipimpin oleh seorang Rat atau raja, terdapat lembaga orang kay
(kepala desa), beberapa soa, serta saniri desa dan para tua adat. Pembagian wilayah
adat ini disebut sebagai ratschaap13. Biasanya semua jabatan dipimpin oleh orang
yang berasal dari kelas mel-mel jika terdapat sistem kasta yang berbeda dan juga
diperoleh melalui garis keturunan sebagai warisan dari leluhur.
Ketiga, bagian terbesar dari system pemerintahan adat di Kei adalah Rumpun.
Dalam pembagiannya, masyarakat Kei terbagi dalam tiga bagian besar yakni ur siu
atau rumpun Sembilan, lor lim atau rumpun lima, dan lor lobay atau rumpun
penengah. Kepemimpinan dalam rumpun ini secara kolektif oleh beberapa raja
wilayah adat. Raja-raja dianggap sebagai bapak, ibu atau anak tertua dalam
komunitasnya masing-masing. 14
7. Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakat Kei sebelum bangsa Eropa menyebarkan Injil di
Kei adalah kepercayaan animisme yang disebut ngu-mat dan dinamisme yang disebut
wadar-metu. Praktik kepercayaan ini dapat dilihat dalam upacara adat di mana
13 Setara dengan kecamatan yang dahulu diakui oleh pemerintah belanda.
14 Hasil wawancara denga Nus Rahayaan, 10 Desember 2016. Baca juga Pieter Elmas,
Perjalanan Menemukan Jati Diri, dalam Ken Sa Faak: Benih Benih Perdamaian dari Kepulauan Kei,
52
masyarakat Kei datang dan memanggil nit-jamad-ubut atau tete-nene moyang,15 ler
wuan atau matahari dan bulan, aiwarat yakni pohon-pohonan, aiwat artinya
batu-batuan, rahanyam yakni mata rumah, tun-lair yang artinya tanjung dan pelabuhan,
nuhu-tanat yang artinya gunung dan tanah, womakasol yang artinya pusat negeri atau
desa, dan kubur-hat artinya kuburan.16 Setiap roh yang dipercaya hanya bersifat lokal
dalam pengertian setiap marga atau fam, kampung memiliki roh-roh atau ilah-ilah
sebagai pelindung. Roh itu disebut oleh masyarakat Kei yakni mitu.17 Memang semua
kelurga dan kampung memiliki kepercayaan atau pelindung terhadap mitu akan tetapi
mereka masih menyadari dan percaya bahwa ada kuasa yang lebih tinggi yang
mengatasi ilah-ilah yang mereka percaya sebagai pelindung yakni Duad Ler Vuan
yang berarti Tuhan Bulan dan Matahari.18 setiap kali masyarakat melakukan upacara
adat yang akan dilakukan oleh masyarakat adalah mengucapkan rumusan doa dan
mempersembahkan sirih pinang, tembakau, kikisan emas, dan uang. Yang memimpin
upacara adat adalah mitu duan19. Upacaya yang dimaksud adalah pengresmian rumah
adat, pelantikan raja, peminangan dan pembuatan kebun baru.
15 Kepercayaan terhadap tete nenek moyang ada 2 macam yakni kepercayaan terhadap
roh-roh orang yang telah meninggal dunia yang disebut Nit-fayaut dan kepercayaan terhadap arwah yang
masih hidup dan mengembara yakni far-wakat. Hasil wawancara dengan Nus Rahayaan, 10 Desember
2016.
16 J. Mailoa, (at.al), Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Maluku,
(Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1979/1980),105.
17Mitu adalah roh pelindung desa atau keluarga.
18 Hasil wawancara Drs. Hi. Abdul Hamid Rahayaan sebagai Rat Bomav Fer (Raja Fer), 12
November 2016.
19Mitu duan adalah tuan atau pelayan mitu atau penjaga mitu. Ia berurusan dengan roh khusus
53 Kepercayaan terhadap praktek magis juga dilakukan oleh masyarakat Kei.
Praktik ini dilakukan dalam kesadaran bahwa manusia mampu menguasai hidup
orang lain. praktik ini biasanya dilakukan dengan menggunakan benda yang ada
dalam dunia misalnya pasir, atau tanah, dan lainnya. Praktik ini dilakukan dalam
dunia gaib, dengan kegunaan untuk mengetahui masa depan, mencari rejeki,
mencelakakan orang. Praktik ini dibagi dalam dua yakni magi putih dan magi hitam.
Selanjutnya orang Kei juga mengenal totemisme yang menunjuk pada objek tertentu
yang juga memiliki makna bagi kelompok atau desa tertentu, misalnya totem dari
ohoi Werka sama dengan totem desa Ohoi Ohoirenan yakni Gurita.20
8. Hukum Adat Larvul Ngabal
Hukum adat menurut masyarakat Kei merupakan tata cara atau peraturan yang
sesuai dengan adat yang berlaku di Kepulauan Kei. Dalam hukum adat sudah tentu
memiliki sanksi atau keputusan yang dikenakan pada satu pelanggaran yang
dilakukan oleh orang yang bersangkutan.21 Hukum adat yang digunakan sejak dulu di
Kepulauan Kei adalah Hukum Adat Larvul Ngabal. Secara etimologis Hukum Adat
Larvul Ngabal terbentuk dari dua kata yakni larvul dan ngabal. Hukum larvul terdiri
dari dua suku kata yakni lar yang berarti darah dan vul artinya merah. Kata lar
diambil dari darah Kerbau pembawa bekal Dit Sak Mas22, yang sudah disembelih di
Elaar saat hukum adat dicanangkan, darah ini menjadi materai. Sedangkan kata vul
20 Hasil wawancara dengan Bpk Eki Sidubun, 03 Januari 2017.
21 Hasil wawancara dengan Drs. Hi. Abdul Hamid Rahayaan sebagai Rat Bomav Fer (Raja
Fer), 12 November 2016.
22 Dit sak mas adalah seorang perempuan yang pertama kali mencetuskan hukum adat larvul
54 atau merah memiliki arti simbolis berani, agung, aktif. Sehingga bagi para leluhur
kata lar diperjelas oleh kata vul sehingga pemaknaannya lebih menyatakan suatu
keberanian, keagungan, dan keaktifan dari hukum larvul.23
Kata yang kedua adalah ngabal, yang terdiri atas dua suku kata yakni nga yang
berarti tombak dan bal adalah singkatan dari Pulau Bali. Nga ini sangat sakral sebab
dibawa dari pulau Bali yang dikenal sebagai pulau dewata dan nga dikerjakan oleh
turunan dewa-dewa yang turun dari kayangan. Pemaknaan ngabal adalah tombak
(senjata tajam) yang dibawa dari Bali membuktikan bahwa hukum ngabal merupakan
hukum yang tajam, kuat, dan sakral.24
Hukum Adat Larvul Ngabal terdiri dari tujuh pasal utama, dengan dua puluh
empat pasal lanjutan yang dibagi dalam tiga kategori pelanggaran dan hukuman atau
sanksinya masing-masing yakni hukum pidana atau nevnev, hukum susila atau
hanilit, dan hukum perdata atau hawear balwirin.25
Kekuatan Hukum Adat Larvul Ngabal menurut masyarakat Kei antara lain:
pertama, hukum adat ini sanggup menjamin hak asasi manusia, maksudnya hukum
adat ini menjamin seluruh martabat, keberadaan, dan kebahagiaan manusia. Kedua,
bunyi hukum adat ini mencakup seluruh hidup manusia mulai dari kepala sampai
dengan kaki yang harus dilindungi dan dihormati. Ketiga, hukum adat ini bersifat
23 Hasil wawancara dengan Drs. Hi. Abdul Hamid Rahayaan sebagai Rat Bomav Fer (Raja
Fer), 12 November 2016.
24 Hasil wawancara dengan Drs. Hi. Abdul Hamid Rahayaan sebagai Rat Bomav Fer (Raja
Fer), 12 November 2016.
25 Hasil wawancara dengan Drs. Hi. Abdul Hamid Rahayaan sebagai Rat Bomav Fer (Raja
55 posotif sebab semua pasalnya mengajak semua orang untuk berbuat baik secara sadar.
Dan keempat, menurut masyarakat Kei Hukum Adat Larvul Ngabal sejajar dengan
hukum agama dan juga hukum di Indonesia.26
B. ASAL-USUL, PELAKSANAAN, DAN PEMAKNAAN AIN NI AIN DALAM
TUTUR SEJARAH MASYARAKAT KEI BESAR
1. Asal-Usul Ain Ni Ain
Secara historis, dapat dikatakan bahwa asal mula munculnya falsafah ini tidak
dapat ditentukan dengan pasti. Pertanyaan tentang kapan munculnya falsafah ini
belum dapat ditemukan secara pasti. Sebab belum ditemukan satu dokumen tertulis
tentang falsafah ini. Falsafah ini secara turun-temurun diwariskan dari leluhur kepada
generasi penerus. Sehingga sulit untuk menentukan kapan falsafah ini muncul dalam
kehidupan masyarakat Kei. Falsafah ini sudah ada sebelum agama Kristen atau Islam
disebarkan diseluruh daratan kepulauan Kei.27
Dalam proses penelusuran mengenai falsafah ini diketahui bahwa munculnya
falsafah ini melalui cerita para leluhur yang mengisahkan tentang kehidupan
perkawinan para leluhur yang menyatukan beberapa desa. Dimana beberapa desa
tersebut memiliki persamaan marga oleh karena perkawinan para leluhur.28
Perkawinan para leluhur itu disebut perkawinan sambung darah atau dalam bahasa
26 Hasil wawancara dengan Drs. Hi. Abdul Hamid Rahayaan sebagai Rat Bomav Fer (Raja
Fer), 12 November 2016. Hasil wawancara dengan Bpk Y. Dokainubun, 19 Januari 2017.
27 Hasil wawancara dengan Bpk. Nus Rahayaan, 10 Januari 2017; Pdt. W. Sidubun, 03
Januari 2017..
28 Hasil wawancara dengan Rat Bomav Fer, 12 November 2016; Bpk Eki Sidubun, 03 Januari
56
Kei disebut va un. Perkawinan ini terjadi antara ibu dan bapak yang memiliki
hubungan saudara kandung. Anak laki-laki pertama dari ibu dikawinkan dengan anak
perempuan dari bapak. Anak laki-laki dari ibu harus mewarisi adat ini. Fungsi dari
adat ini adalah untuk tetap memelihara hubungan darah sehingga hubungan darah ini
akan tetap ada turun-temurun.29
Ain ni ain dalam sejarah masyarakat adat Kei Besar tidak memiliki dokumen
tertulis mengenai asal-usulnya. Akan tetapi ain ni ain menjadi falsafah yang
dipertahankan dan diwariskan melalui cerita rakyat mengenai hidup para leluhur yang
ingin mempertahankan keturunannya dengan melakukan perkawinan sambung darah
atau va un. Melalui tutur sejarah inilah ain ni ain tetap hidup, diceritakan, dan
dipertahankan sampai sekarang ini. Peran falsafah ini sangat kuat dan berakar
didalam diri masyarakat Kei, falsafah ini memberikan satu kesadaran kepada seluruh
masyarakat Kei Besar oleh karena perkawinan itu, bahwa mereka semua adalah satu
persaudaraan, satu keluarga, satu suku, dan satu leluhur, serta satu hukum adat yang
mengikat kehidupan masyarakat Kei Besar.
2. Tradisi dan Manifestasi Ain Ni Ain
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber mengenai tradisi dan
manifestasi dari falsafah ain ni ain maka ditemukan dua tradisi yang biasanya dipakai
untuk tetap memelihara falsafah ini dan maknanya dalam tindakan nyata masyarakat
Kei. Selain itu falsafah ain ni ain termanifestasi dalam beberapa tindakan praktis
masyarakat Kei. Tradisi yang dimaksud yakni maren dan juga yelim kedua tradisi
57 kemudian termanifestasi dalam berbagai tindakan masyarakat Kei yakni dalam
perkawinan adat, pembangunan, pembukaan lahan pertanian, perayaan keagamaan,
dan situasi duka.30 Kedua tradisi ini saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri karena
dalam pelaksanaan selalu bersamaan.
a. Maren dan Yelim
Maren dalam sejarah masyarakat diartikan sebagai kerja sama, atau bantu membantu secara kekeluargaan, tanpa digaji atau dibayar, hanya dijamin seperlu.
Sebelum maren dilaksanakan maka yang bersangkutan mempersiapkan
keperluan-keperluan dalam melaksanakan maren seperti apa saja yang akan dilakukan pada saat
maren berlangsung, orang yang bekerja, alat yang digunakan, jaminannya, serta
menetapkan hari pelaksanaan maren. Apabila yang diperlukan sudah tersedia maka
maren akan dilakukan, pelaksanaan maren disebut hamaren. Hamaren terdiri atas 3
suku kata yakni ham, artinya bagi, ar artinya pisahkan, waktu, dan pekerjaan, en yang
berarti habis. Jadi hamaren adalah pekerjaan yang akan diselesaikan haruslah dibagi
sedemikian rupa kepada para peserta atau pelaksana yang akan mengerjakannya
sehingga pekerjaan ini dapat terselesaikan bersama-sama sesuai dengan waktu yang
ditentukan. 31
Maren dan atau hamaren akan dilakukan kepada mereka yang sedang ada dalam situasi suka maupun duka. Kerja bersama dalam dalam memberikan tenaga secara
sukarela. Maren berlangsung secara dan tentunya dalam perencanaan yang matang
30 Hasil wawancara dengan Bpk Nus Rahayaan, 10 Januari 2017.
58
pada saat keluarga, gereja, pemerintah adat, dll membutuhkan bantuan tenaga.32 Yang
menarik dari tradisi ini bukan saja terdiri dari satu kata yang memiliki arti akan tetapi
maren merupakan singkatan dari melmel dan renren mari datang, duduk bersama dan
saling bicara kemudian berkerja bersama. Mengapa demikian? Karena susah adik
(melmel) adalah juga susah kakak (renren).33 Maren dimaknai sebagai media untuk merekatkan persaudaraan dalam hidup masyarakat Kei Besar.
Tradisi yang berikut adalah yelim. Tradisi ini dilaksanakan bersamaan dengan
pelaksanaan tradisi maren. Yel Lim disebut juga Yead limad tutu yang artinya ujung
kaki dan ujung jari. Makna dari arti Yel Lim adalah ketika musibah dan kesusahan
datang secara tiba-tiba, maka kaki yang berjalan mencari dan tangan yang
menemukan bantuan seadanya yang dikumpulkan dan dibawa untuk menolong orang
yang susah dan menderita. Yelim adalah kewajiban adat untuk memberikan
sumbangan sukarela kepada orang-orang yang mengalami kesusahan. Yelim menjadi
suatu kewajiban adat karena berdasarkan ungkapan ain ni ain masyarakat Kei Besar
menyadari bahwa kebahagiaan dan keselamatan sesama manusia merupakan
tanggung jawab bersama, dan oleh karena itu mereka dengan sukarela, tanpa perlu
dinasehati atau diingatkan, ketika mendengar berita apabila ada saudara yang
kesusahan maka dengan penuh kesadaran mereka akan mengumpulkan uang atau
bantuan tenaga untuk menolong orang tersebut. Yelim merupakan pemberian bantuan
berupa bahan natura atau pemberian sumbangan material kepada kelompok
32 Hasil wawancara dengan Pdt. W. Sidubun, 03 Januari 2017.
59
masyarakat yang sedang bersuka maupun berduka.34 Tradisi ini dalam
perkembangannya dapat diartikan juga dengan memberikan sumbangan berupa
dukungan moral, atau nasihat-nasihat dari yang lebih tua kepada yang muda.35 Jadi
yelim bukan saja pemberian bantuan material tetapi juga moral dalam hal ini nasehat atau pikiran-pikiran yang membangun. Atas dasar pentingnya hidup saling membantu
maka budaya Yelim selalu dipraktekan dalam kehidupan masyarakat Kei Besar.
Ketika ada kegiatan atau acara dari salah satu keluarga maka semua tanggungan tidak
mutlak menjadi tanggungan keluarga sendiri tetapi menjadi tanggungan bersama dari
keluarga lain. Budaya Yelim ini pun tidak terbatas pada acara keluarga saja namun
juga terlihat ketika ada kegiatan dalam desa. Semua kebutuhan kegiatan, menjadi
tanggungan bersama. Hal ini terlihat sangat positif bagi kelangsungan hidup bersama.
Dengan demikian, hidup berdampingan satu dengan yang lainnya jelas terlihat.
b. Manifestasi Tradisi Maren dan Yelim
Berikut akan dijelaskan beberapa manifestasi tradisi maren dan yelim dalam
uasaha mempertahankan falsafah ain ni ain antara lain perkawinan adat,
pembangunan, perayaan keagamaan, dan situasi duka.
a. Maren dan Yelim dalam Perkawinan Adat36
Perkawinan adat Kei akan terlaksana jika kedua belah pihak atau keluarga dari
pihak perempuan dan juga keluarga dari pihak laki-laki sama-sama telah menyetujui
34 Hasil wawancara dengan Pdt. W. Sidubun, 03 Januari 2017.
35 Hasil wawancara dengan Bpk. Y. Dokainubun, 17 Januari 2017.
60 hubungan tersebut maka akan dilanjutkan ke acara dan upacara pernikahan. Acara
pertama yang dilakukan tentunya proses lamaran dari muda kepada pemudi. Orang
tua pemuda akan datang bersama dengan dua tua-tua dari marga menuju dan
menjumpai orang tua pemudi dengan maksud melamar pemudi. Jika orangtua dan
kedua tua marga sudah dipersilahkan masuk maka semuanya akan duduk di atas tikar
yang sudah disiapkan, tujuannya agar suasana kekerabatan dapat terbangun dan
suasananya akan lebih santai.
Dalam lamaran ini biasanya pihak laki-laki dan pihak perempuan duduk sambil
makan sirih dan tuan rumah diminta untuk menyediakan satu gelas yang telah terisi
sageru, lalu diminum sambil orang tua pemuda menyampaikan maksudnya terhadap
pihak perempuan sambil memberikan piring atau talam. Pernyataan disampaikan
secara terhormat dengan menggunakan kata mutiara adat, nyanyian adat, serta dengan
menguraikan silsilah aliran darah. Kemudian orang tua pemudi menjawab pernyataan
orang tua pemuda dengan cara yang sama sambil berbalasan hingga tujuan lamaran
ini tercapai dan disetujui. Kemudian kedua pihak bersama dengan marganya akan
menentukan waktu untuk bertemu dan menentukan mas kawin dan hari pelaksanaan
mas kawin. Melalui proses yang panjang yang disebut naun enloi atau penentuan hari
perkawinan adat dilangsungkan. Sejak proses naun enloi maka pihak pemudi
mendapat julukan mangohoi. Dalam perkawinan adat ini pihak yanur menyiapkan
buah tangan sedangkan pihak mangohoi menyiapkan tempat dan makanan. Makanan
pesta yang disiapkan oleh pihak mangohoi akan disantap oleh pihak yanur mangohoi,
61 mas, sirih pinang, piring itu diangkat dan didoakan oleh seorang tua adat. Doa kepada
Duang dan kepada arwah leluhur. Kedua mempelai akan bersujud dan memohon maaf kepada orang tua mereka. Setelah itu proses makan bersama-sama dan kedua
mempelai akan makan bersama dengan salah satu tetua yang memberikan nasehat
kepada kedua mempelai. dengan diberikan nasehat maka kedua mempelai sudah
menjadi satu kesatuan.
Semua proses yang berlangsung dalam perkawinan adat Kei mengdeskripsikan
kehidupan masyarkat Kei yang selalu bekerja sama dalam segala situasi. Perkawinan
adat Kei tidak dapat dilakukan oleh orangtua salah satu pihak akan tetapi seluruh
keluarga pihak perempuan maupun seluruh keluarga pihak laki-laki akan saling
bekerja sama atau maren dalam acara atau pun upacara perkawinan tersebut. Tidak
hanya dalam proses lamaran, tradisi maren dan yelim makin nampak saat persiapan
menuju pesta perkawinan adat. Biasanya, menjelang hari perkawinan seluruh anggota
soa/matarumah dari kedua pihak akan mengumpulkan tanggungan adat berupa uang, tenaga, bahan makanan serta sumbangan lainnya demi kelangsungan acara tersebut.
Suasana pesta juga diwarnai dengan nuansa kekeluargaan, di mana kedua belah pihak
makan dan minum bersama, serta bersukacita atas kebahagiaan anggota keluarga
mereka. Semua hal ini penting dilakukan oleh masyarakat Kei selain melestarikan
budaya, juga dapat tercipta ruang untuk saling berkomunikasi dan membangun
suasana kekeluargaan.37
62 b. Maren dan Yelim dalam Pembangunan
Tradisi maren dan yelim yang diwujudkan dalam proses pembangunan, meliputi
pembangunan rumah, pembangunan gedung-gedung ibadah, dan pembangunan
fasilitas desa. Dalam proses pembangunan, biasanya pekerjaan ini akan diselesaikan
atau dikerjakan oleh keluarga dekat tetapi juga anggota masyarakat lainnya dengan
menyumbangkan tenaga serta membawa alat yang diperlukan. Proses ini terjadi
secara spontan tanpa diminta oleh pihak yang sedang yang sedang melakukan
pembangunan tersebut. Jika yang dibangun adalah rumah tempat tingga satu keluarga
maka para kerabat dan juga masyarakat lainnya akan saling membagi tugas mulai dari
fondasi rumah hingga menutup atap rumah dilakukan dengan sukarela dan secara
gotong-royong. Dalam proses pembangunan rumah biasanya pekerjaan kaum
laki-laki adalah mendirikan rumah sedangkan kaum perempuan menyiapkan makan pagi
dan siang. Pembagian kerja ini terus berlangsung hingga pembangunan rumah
terselesaikan.38
Tradisi maren dan yelim dalam pembangunan gedung ibadah dan fasilitas desa,
pada awalnya akan diberitahukan oleh pihak pemerintah desa atau pihak gereja
bahwa akan dilaksanakannya pembangunan di desa dan atau pembangunan gedung
gereja. Dengan semangat kebersamaan masyarakat akan datang dan bekerja bersama.
Untuk pembangunan ini oleh pemerintah akan didanai akan tetapi bagi pihak gereja
akan dilakukan pengumpulan dana secara bersama oleh jemaat, pengumpulan dana
ini bersumber dari pemberian secara sukarela oleh jemaat entah itu uang atau tenaga.
63 Pekerjaan ini dikerjakan juga dala pembagian sesuai dengan keunggulan
masing-masing pribadi, yakni tukang, pekerja, dan juga bagian konsumsi. Dalam praktek
pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Kei dapat dikatakan bahwa tradisi
maren dan yelim sangat berpengaruh terhadap membangun semangat kebersamaan
dan gotong-royong sehingga makna terdalam dari falsafah ain ni ain dapat selalu
dipertahankan.
c. Maren dan Yelim dalam Situasi Dukacita
Maren dan yelim bukan saja dipraktekan dalam situasi sukacita akan tetapi tradisi sangat nampak dalam situasi duka. Tradisi ini dalam situasi duka berkaitan dengan
meninggalnya salah satu kerabat dekat. Biasanya keluarga yang paling dekat akan
berkumpul dan memberikan dukungan serta menguatkan keluarga yang sedang
berduka, prilaku yang sama ditunjukan oleh masyarakat yang lainnya. Tradisi ini
terlaksana saat keluarga dekat bersama dengan masyarakat yang lain saling bekerja
sama untuk menolong keluarga yang berduka dalam proses pemakaman. Prosesnya
dengan melakukan pembagian tugas antara lain kaum bapak dan pemuda mendirikan
tenda, mempersiapkan ruangan bagi masyarakat yang akan hadir, menyiapkan peti
jenazah, menggali kubur, serta membantu dlm proses pemakaman. Selain itu ada satu
sampai empat orang yang memiliki tugas untuk mengumpulkan sumbangan duka bagi
keluarga yang sedang berdukacita. Sedangkan kamu ibu dan pemudi akan
menyiapkan konsumsi baik kepada keluarga yang berduka maupun kepada
masyarakat yang lain. ada pun tindakan lain yang terjadi saat situasi duka yakni
64 memicu keributan, suasananya sangat tenang sehingga rasa dukacita bukan saja
dirasakan oleh keluarga dekat tetapi juga oleh masyarakat disekitar. Dalam
manifestasi ini sangat jelas bahwa maren dan yelim bukan saja berupa tenaga ataupun
sumbangan materi akan tetapi juga dukungan moral bahwa bukan rasa duka yang
mendalam juga turut dirasakan oleh masyarakat yang lain,39 inilah arti falsafah ain ni
ain bahwa ale adalah beta, apa yang ale rasa beta jua rasa.40
Pelaksanaan ain ni ain dapat dilihat serta dipraktikan dalam tradisi maren dan
yelim. Kedua tradisi ini menjadi alat untuk tetap menghidupkan ain ni ain. Maren
maupun yelim memperlihatkan pola hubungan kerja sama dan sikap saling
tolong-menolong. Hubungan kerja sama dan sikap saling tolong-menolong selalu dilakukan
dalam situasi suka maupun duka. Sikap ini pun tidak dibatasi dalam hubungan
keluarga semata akan tetapi kerja maren dan yelim sangat luas menjangkau para
pendatang. Selain itu kedua tradisi ini berlangsung dan tidak dibatasi oleh perbedaan
agama, misalnya dalam pembangunan masjid maupun gereja, masyarakat Islam dan
Kristen bersam-sama saling tolong-menolong membangun tempat ibadah tersebut.
Untuk itu tradisi ini sangat diperlukan sebagai pengingat bagi masyarakat adat Kei
Besar terhadap ain ni ain.
39 Hasil observasi penelitian 30 Desember 2016 saat terjadi situasi duka di Jemaat Maranatha
Elat,Kei Besar, terlihat manisfestasi tradisi maren dan yelim di jemaat ini.
65
3. Pemaknaan Ain Ni Ain
Secara etimologis istilah ain ni ain berasal dari bahasa asli Kei yang terdiri dari
dua kata yakni ain yang berarti satu dan ni berarti punya. Pengertian harafiah dari ain
ni ain adalah satu punya satu.41 Kata ni yang berarti punya atau mempunyai atau memiliki bukan menunjuk pada kepemilikan benda atau satu objek tertentu akan
tetapi kata ni disini menunjuk pada rasa saling memiliki, “ale pung susah beta jua
rasa”.42 Kata ain yang kedua memiliki kewajiban yang sama terhadap ain yang
pertama. Ain ni ain identik dengan saya sama dengan anda dan anda sama dengan
saya. Dalam pengertian yang lain, ain ni ain berarti hubungan persaudaraan yang
sejati.43 Secara umum ain ni ain memiliki padanan dengan falsafah lar in baba wer in
soso yang memiliki makna hubungan darah yang vertikal maupun horizontal. Kedua ungkapan ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, jika ain ni ain berarti saya
adalah kamu dan kamu adalah saya maka makna itu hadir oleh karena adanya
hubungan darah secara vertikal atau pun horizontal.44
Ain ni ain sangat berperan penting bagi kelangsungan hidup masyarakat Kei secara umum dan terkhusus di Kei Besar dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang
rukun dan damai. Sebab melalui falsafah ain ni ain masyarakat Kei selalu terbangun
kesadaran bahwa mereka adalah satu. Perwujudan dari kesadaran ini termuat dalam
41 Wawancara dengan bapak eki, bap anus, ibu pdt labetubun.
42 Ale pung susah beta jua rasa artinya kesusahanmu saya juga dapat merasakannya. Hasil
wawancara dengan Pdt S.Latupeirissa, 24 Oktober 2016, Bpk. Nus Rahayaan, 10 Januari 2017, dan Bpk Y. Dokainubun, 17 Januari 2017.
43 Hasil wawancara dengan Drs. C. Rahakbauw sebagai Camat Kecamatan Kei Besar, 18
November 2016.
44 Hasil wawancara dengan Drs. C. Rahakbauw, 18 November 2016 dan Drs. Hi. A. H.
66
ragam falsafah lain yang berbunyi vu’ut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilur yang
berarti telur-telur yang berasal dari seekor ikan dan seekor burung yang sama atau
dalam pengertian yang lebih mendalam, semua orang Kei berasal dari satu telur ikan
dan satu telur burung. Semua orang Kei memiliki satu moyang atau leluhur, dengan
demikian semua orang Kei adalah saudara. Hubungan persaudaraan ini tidak dapat
dilepas-pisahkan, dihancurkan, dipecahkan oleh apapun dan oleh siapa pun.45
Berdasarkan pengertian di atas maka ain ni ain menunjuk pada pemahaman
bahwa ain ni ain merupakan pemberian rasa yang sama antara satu individu dengan
individu yang lain. Ain ni ain lahir dalam jalinan hubungan keluarga sebab
masyarakat Kei Besar memiliki pemahaman bahwa mereka semua bersaudara yakni
dalam satu ikatan persaudaraan yang memiliki leluhur yang sama. Hubungan
persaudaraan atau kekeluargaan ini sangat sulit untuk dipecahkan, dilepaskan, bahkan
ditiadakan. Dengan demikian ain ni ain adalah memiliki rasa yang sama dalam satu
hubungan persaudaraan atau kekeluargaan.
Berdasarkan pengertian ain ni ain maka dapat dijabarkan beberapa makna ain ni
ain dalam kehidupan masyarakat Kei Besar. Falsafah ain ni ain yang berarti satu
punya satu ternyata bagi setiap masyarakat Kei (penduduk asli maupun pendatang)
memiliki makna yang sangat mendalam. Pemaknaan ini diungkapkan dan dipahami
oleh mereka yang sangat menghargai serta menghormati falsafah ini. Bagi
masyarakat Kei ain ni ain tidak dapat hanya dipahami hanya sebatas arti satu punya
67
satu. Ain ni ain punya makna yang sangat mendalam dan luas bagi kami sebagai
masyarakat Kei Besar termasuk bagi pendatang.46
Pertama, ain ni ain berarti hubungan persaudaraan yang sejati. Hubungan persaudaraan yang sejati sangat melekat dalam diri masyarakat Kei Besar. Dikatakan
persaudaraan yang sejati oleh karena hubungan darah daging antara saya dan anda.
Hubungan darah karena saya dan anda ada dalam satu garis keturunan atau juga saya
dan anda memiliki hubungan keluarga yang dekat oleh karena adanya perkawinan
keluar atau perkawinan dengan marga yang lain. Persaudaraan yang sejati tidak dapat
dilepaskan oleh agama, saudara tetaplah saudara tidak memandang agama Kristen
atau Islam.47
Kedua, ain ni ain bukan sekedar satu punya satu tetapi merupakan ikatan persaudaraan yang sangat erat, tidak dapat dilepaskan dan dipisahkan dengan cara apa
pun. Ikatan itu sangat kuat dan membentuk kesadaran masyarakat Kei Besar untuk
tetap menjaga kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan jangan sampai ada
perpecahan. Masyarakat Kei Besar yang sangat mengerti arti falsafah ini tidak akan
melakukan hal-hal yang dapat menyakiti sesama, saudara, ataupun menghancurkan
hidup orang lain. falsafah ini mengajarkan masyarakat Kei agar tidak ain afat ain
yang berarti satu potong satu, ain vidan ain atau satu bunuh satu, ain tumbuk ain atau
46 Hasil wawancara dengan Pdt. W. Sidubun, 03 Januari 2017 dan Hasil wawancara dengan
Bpk. Aji Emray (salah satu anggota Kepolisian yg bertugas untuk menangani tindakan Kriminal), 24 November 2016.
68
satu pukul satu, serta ain kafinan ain atau satu maki satu. Kalau sampai itu terjadi
maka akan terjadi bencana (sakit atau kematian) pada diri sendiri.48
Ketiga, ain ni ain berarti kerukunan kekeluargaan dalam satu wilayah adat atau
ratschaap49 dan aliran darah. Misalnya ada hubungan darah antara Desa Yamtel
dalam Ratschaap Me Umfit dengan Desa Ohoifauw dalam Ratschaap Maur Ohoiwut,
jika terjadi konflik antara kedua desa ini maka yang akan menyelesaikan konflik
tersebut adalah kekerabatan pikiran antara kedua desa ini yakni adanya hubungan
perkawinan antara kedua desa ini, hal ini yang akan menjadi simbol ain ni ain atau
kerukunan kekeluargaan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Bagi masyarakat
Kei yantete atau hubungan kekeluargaan itu tidak dapat dilupakan. Dengan demikian
akan tercipta suatu kerukunan oleh karena hubungan kekerabatan.50
Keempat, ain ni ain juga bermakna saling menghormati posisi antara kakak dan adik. Kakak dan adik yang dimaksudkan dalam budaya masyarakat Kei yakni
berkaitan dengan sistem klasifikasi dalam masyarakat Kei. Melmel atau tingkat
bangsawan posisinya adalah sebagai kakak sedangkan renren atau tingkat yang kedua
dari melmel merupakan adik bagi melmel. Mengapa masyarakat Kei harus
menghormati posisi ini? Jawabannya ada pada cerita rakyat yang mengkisahkan
tentang jasa baik melmel yang menebus renren dan juga iriri dari kesalahan yang
48 Hasil wawancara dengan Pdt. W. Sidubun, 03 Januari 2017.
49Dalam adat masyarakat Kei (Kei Besar dan Kei Kecil) terbagi dalam 22 wilayah adat atau
ratschaap. Kata rastchaap tergabung atas dua 2 bahasa yakni bahasa Kei Rat dan bahasa Belanda Schaap. Setiap ratschaap terdiri beberapa desa dari beberapa desa (ohoi).
69
mereka buat.51 Untuk itu renren harus dihormati oleh karena cerita dalam sejarah
tersebut. Memang diakui bahwa sistem klasifikasi masyarakat ini sangat berperan
penting dalam masyarakat Kei akan tetapi oleh karena ain ni ain maka renren dan
iriri harus menghormati ren sebagai kakak, sedangkan melmel sebagai kakak harus
melindungi renren dan iriri. Hal ini wajib dilakukan oleh orang Kei, jika tidak
dilakukan maka yang terjadi adalah masalah yang akan datang atau bahkan kematian
atau dalam dialek masyarakat setempat “adat bisa pukol katong”.52 Dengan demikian
ain ni ain dapat menyelaraskan sistem klasifikasi yang ada dalam mesyarakat Kei yakni dengan menghormati kakak dan melindungi adik.
Kelima, ain ni ain bermakna kebersamaan menjalani hidup. Falsafah ini meyakinkan masyarakat Kei Besar bahwa mereka tidak sendiri dalam menjalani
hidup, kami memiliki saudara-saudara yang siap membantu jika kami memerlukan
bantuan.53 Sebab arti dari kebersamaan adalah melakukan sesuatu tidak hanya sendiri
tetapi bersama-sama dengan orang lain. Realitas hidup masyarakat Kei Besar meliputi
banyaknya desa, banyaknya marga, berbeda ratskap, berbeda sistem klasifikasi dalam
masyarakat, serta berbeda agama tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Kei
Besar untuk menghadirkan kebersamaan dalam menjalani hidup. Makna ini muncul
dalam tradisi masyarakat Kei Besar yang disebut maren dan juga yelim. Kedua tradisi
ini wajib dilakukan secara sadar dan tidak dalam keterpaksaan. Praktiknya yakni
dalam keadaan sukacita yang meliputi pernikahan, perayaan keagamaan, pesta adat.
51 Hasil wawancara dengan Bpk Eki Sidubun, 03 Januari 2017.
52 Hasil wawancara dengan Pdt W. Sidubun, 03 Januari 2017.
70 Keadaan dukacita meliputi meninggalnya orang-orang terdekat. Praktek yang lain
dari kebersamaan juga nampak dalam pembangunan yang meliputi pembangunan
gedung-gedung peribadahan, pembukaan lahan bertani, membangun rumah.
Masyarakat Kei Besar menyadari bahwa kebersamaan dalam menjalani hidup
menjadi kunci untuk dapat membangun komunikasi yang mendalam antara setiap
warga yang berbeda desa, marga, kasta bahkan agama sehingga dapat tercipta
kehidupan yang teratur dan rukun.
Keenam, persaudaraan yang rukun menjadi salah satu makna penting dalam ain ni ain. Persaudaraan yang rukun dibangun antara masyarakat Kei Besar bersama dengan para pendatang. Pendatang yang dimaksud terbagi dalam dua klasifikasi yakni
perdatang yang bekerja di Kei dan juga pendatang yang menikah dengan orang Kei
Besar dan menetap di Kei Besar.54 Para pendatang dianggap saudara oleh masyarakat
Kei Besar. Walaupun dalam pergaulan setiap hari nampak bahwa adat dan budaya
masyarakat Kei Besar yang unggul lebih dari budaya pendatang akan tetapi
persaudaraan yang rukun tetap terbangun. Adat dan budaya masyarakat pendatang
tetap dihargai dan dihormati tetapi tidak dapat dipraktekan dalam kehidupan
bermasyarakat di Kei Besar. Para pendatang juga turut merasakan dampak falsafah
ini bahwa walaupun ada perbedaan antara kami dengan mereka akan tetapi mereka
telah mengganggap kami seperti saudara dan hidup bersama dengan rukun.
Masyarakat Kei Besar sadar bahwa dengan menghargai para pendatang dengan
budayanya maka secara langsung masyarakat Kei sadar bahwa ada pula keluarga
71
mereka yang nikah dengan orang yang berasal dari luar Kei Besar. Jadi ain ni ain
juga hadir dalam hubungan dengan orang Ambon, Jawa, Sumatera, Madura,
Makassar, Toraja, Batak, dan juga Papua55 untuk membangun hubungan
persaudaraan yang rukun.
Makna ain ni ain yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut
ain ni ain bermakna ikatan persaudaraan tanpa memandang perbedaan. Makna ini didasarkan pada pola hubungan darah akibat perkawinan keluar atau perkawinan
dengan marga yang lain. dalam menjaga hubungan persaudaraan maka masyarakat
Kei Besar harus menghindari hal-hal negatif yang dapat mengakibatkan perpecahan.
Alasan yang lain masyarakat menghindari perpecahan dan mempertahankan
hubungan persaudaraan adalah menghindari terjadinya bencana, sakit, serta kematian.
Ain ni ain bermakna kerukunan kekeluargaan, makna ini berfungsi untuk mengatur hidup masyarakat adat Kei Besar dalam wilayah adat masing-masing. Sehingga pada
saat konflik terjadi makna kerukunan kekeluargaan menjadi solusi dalam
menyelesaikan konflik. Ain ni ain juga bermakna saling menghormati dan
melindungi. Makna ini nampak dalam relasi kasta di Kei Besar. Sistem kasta
merupakan salah satu budaya yang sangat kuat mempengaruhi cara berelasi
masyarakat adat Kei Besar. Dalam ain ni ain sistem kasta harus dipahami bukan
sebagai alasan untuk menindas atau menganggap diri lebih tinggi dari orang lain akan
tetapi sebaliknya sistem kasta dibuat untuk alasan saling menghormati dan
melindungi.
72 Ain ni ain dalam pelaksanaannya bermakna kebersamaan dalam menjalani hidup. Makna ini menegaskan pola hidup masyarakat adat Kei Besar yang selalu
berkomunikasi dan bekerja sama dalam segala situasi. Pola hidup ini tidak dapat
dibatasi oleh perbedaan wilayah adat, perbedaan kasta, bahkan perbedaan agama.
Mereka sadar bahwa mereka tidak sendiri dalam menjalani hidup sebab mereka
memiliki saudara yang siap menolong apabila mereka ada dalam keadaan suka
maupun suka. Makna yang terakhir yakni persaudaraan yang rukun. Makna ini
memperlihatkan pola hidup masyarakat adat Kei Besar yang menerima perbedaan
budaya yakni budaya pendatang. Walaupun hidup dalam perbedaan budaya akan
tetapi tidak menutup kesempatan untuk tetap hidup rukun bersama dengan para
pendatang. Untuk itu masyarakat adat Kei Besar menganggap pendatang sebagai
saudara agar terjalin kerukunan hidup antara pendatang dan juga masyarakat adat Kei
Besar.
C. AIN NI AIN SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK INTERNAL ANTARDESA DI KEI BESAR
Ain ni ain merupakan falsafah yang sangat berperan penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat Kei. Sebagai salah satu falsafah hidup,
pemaknaan terhadap ain ni ain berdampak bagi pelaksanaan atau manifestasi dalam
tindakan masyarakat Kei Besar. Pergaulan hidup masyarakat setempat juga sangat
mencerminkan falsafah ain ni ain. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ain
73
Pemaknaan terdalam ain ni ain sama dengan pemaknaan atas kebenaran dan
kebaikan hidup bersama berdasarkan sejarah masyarakat Kei Besar. Dimulai sejak
terbentuk dan tersusunnya hukum adat Larwul Ngabal. Bagi masyarakat Kei Besar
hukum adat Larwul Ngabal adalah fondasi dari falsafah ain ni ain yang terus
dipertahankan sampai saat ini. Kebenaran dan kebaikan yang termuat dalam falsafah
ini menjadi kekuatan bagi masyarakat Kei Besar. Sehingga ain ni ain dinyatakan
melalui perilaku yang tidak bertentangan dengan adat-istiadat atau hukum adat
Larwul Ngabal. Karena itulah, jika masyarakat Kei ( Kei Kecil dan Kei Besar) sudah
tidak lagi memaknai dengan baik falsafah hidup ain ni ain, maka secara langsung
perilaku tersebut dianggap sebagai perilaku menentang kebenaran sejarah dan
menolak kebersamaan hidup dalam bingkai adat-istiadat masyarakat Kei.
Perilaku menentang kebenaran dan kebaikan dalam falsafah ini tidak akan
dibiarkan begitu saja. Hukum adat yang dibentuk dan sudah tersusun dalam adat
istiadat masyarakat Kei tentunya memiliki aturan sanksi yang akan diberikan
berdasarkan jenis pelanggaran. Fungsi dari sanksi tersebut adalah memberikan efek
jerah bagi masyarakat. Maksudnya, dengan adanya sanksi adat yang didalamnya
sudah dilakukan penyelesaian adat maka masyarakat Kei Besar tidak akan melakukan
hal-hal yang dapat memicu konflik atau pun hal-hal yang dapat menghancurkan
situasi damai di tanah Kei Besar.56 Sanksi adat mengajarkan masyarakat Kei Besar
agar dapat menghargai adat-istiadat serta menghargai hidup yang telah tersusun
dalam satu ikatan persaudaraan yakni ain ni ain.
74 Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara maka dapat disebutkan
beberapa konflik internal yang melibatkan satu atau beberapa desa di Kei Besar,
antara lain konflik karena saudara perempuan dan batas tanah, konflik antar agama
(1999-2000), konflik antar kasta, konflik antar ratskap dan desa, serta konflik dalam
satu desa. Pertama, konflik karena perempuan dan batas tanah yakni dua hal yang
tidak dapat dilepaskan dari adat istiadat masyarakat Kei pada umumnya. Dua hal ini
merupakan sumber konflik utama dalam realitas masyarakat Kei.57 Konflik karena
perempuan menyangkut kehormatan kaum perempuan dan mengenai tanah
menyangkut masalah kepemilikan atas tanah (termasuk laut). Kedua hal ini berkaitan
dengan pemikiran dasar masyarakat Kei yang penuh degan nilai dan bersifat sakral
yakni tanah adalah tempat hidupnya ari-ari (tali pusar) atau saudara kembar dari
setiap bayi yang lahir. Kembar dari sang bayi akan selalu melindunginya dari segala
bencana yang mungkin akan dihadapi. Tanah dan diri mereka adalah kakak-beradik.
Untuk itu tanah akan selalu dilindungi, dijaga, dan tidak diperjual-belikan. Itu
sebabnya, masyarakat Kei akan berperang sampai mati jika untuk membela tanah
kelahirannya artinya ia membela harkat dan martabatnya sendiri.58
Berkaitan dengan kehormatan kaum perempuan, seorang bayi dilahirkan oleh
seorang perempuan yang mengeluarkan darah dari tubuhnya dan memberikan air
susunya kepada seorang bayi dari tubuhnya. Bagi ibu yang belum memiliki air susu,
maka ibu yang lain yang akan memberikan air susu kepada bayi tersebut. Maka
57 Hasil wawancara dengan Bpk. Nus Rahayaan, 10 Januari 2017 dan Bpk. Y. Dokainubun,
17 Januari 2017.
58 Hasil wawancara dengan Bpk. Nus Rahayaan, 10 Januari 2017 dan Rat Bomav Fer, 10
75 semua perempuan di Kei adalah ibu bagi semua anak-anak di Kei, untuk itu kaum
perempuan harus dilindungi, dihargai, dan dihormati, dari semua tindakan kekerasan
misalnya cai maki, dihina, hamil diluar nikah, dan lainnya. Berdasarkan pernyataan
dari seorang informan bahwa hanya dua penyebab ini yang dapat menimbulkan
perang yang dasyat di Kei. Untuk itu diperlukan usaha yang dalam untuk
menyelesaikan konflik ini.59
Konflik yang berlebel agama yang terjadi pada tahun 1999 di Kei pada
umumnya merupakan konflik yang terjadi oleh karena pecahnya konflik
besar-besaran di Ambon pada Januari 1999. Kemudian tersebar keseluruh daerah di Kei
termasuk Kei Besar. konflik 1999 ini sempat mengacaukan tatanan hidup masyarakat
Kei yang telah terbingkai dalam falsafah ain ni ain yakni hidup persaudaraan, rukun,
dan damai. Akan tetapi konflik dan atau kerusuhan ini sangat cepat diatasi oleh tokoh
adat, pemerintah, dan tokoh agama. Kerja sama tiga batu tungku inilah yang
menghasilkan situasi yang damai sampai saat. Konflik jenis ini tidak lagi terjadi
sampai saat ini.60
Konflik antar kasta merupakan konflik yang terjadi antara kasta melmel
dengan renren atau melmel dengan iriri. Konflik jenis ini adalah konflik yang terjadi
antara kakak dan adik. konflik jenis ini bukan soal kedudukan siapa yang menjadi
tuan atau hamba akan tetapi soal mandat yang diberikan oleh leluhur yakni agar
kakak dapat melindungi adik dan adik seharusnya menghormati kakak.61
59 Hasil wawancara dengan Bpk. Y. Dokainbun, 17 Januari 2017.
60 Hasil wawancara dengan Bpk. Drs. C. Rahakbauw (Camat Kei Besar), 18 November 2016.
76 Konflik yang terjadi dalam satu desa. Konflik ini biasanya terjadi oleh karena
pembagian dana desa yang diberikan pemerintah daerah tidak dibagi secara merata
atau dengan kata lain adanya penyelewengan dana. Sehingga menimbulkan
kecemburuan pribadi atau sosial. Konflik jenis ini biasanya dapat secara cepat diatasi
oleh pemerintah melalui pemerintah ohoi.62
Konflik antar desa dan ratskap merupakan konflik yang terjadi antar desa
dalam satu atau dua koridor wilayah adat atau ratskap. Konflik jenis ini sulit untuk
diselesaikan jika tidak ada penangan secara bersama dari pemerintah adat, pemerintah
daerah, dan juga tokoh agama. Sebab konflik jenis ini hampir mirip dengan konflik
berlebel agama. Memang konflik jenis ini tidak sampai membawa urusan
kepercayaan di dalamnya akan tetapi konflik jenis ini dapat melumpuhkan segala
jenis aktivitas. Akan tetapi konflik jenis ini masih dapat diatasi melalui kerja sama
antara tiga batu tungku63 dalam wilayah Kei Besar.64
1. Konflik dalam Perspektif Ain Ni Ain
Masyarakat Kei Besar secara khusus memiliki dinamika bermasyarakat yang
unik. Dimana berlangsung pola interaksi yang unik antara masyarakat asli dan juga
pendatang. Di dalam dinamika inilah dapat terlihat bahwa apakah budaya lokal yang
dijaga sejak dulu tetap efektif dalam mengatur dinamika hidup masyarakat Kei Besar.
Maksudnya kehadiran budaya lokal dapat mempertahankan hidup yang rukun dan
damai serta dapat mengatasi konflik saat konflik tak dapat dihindari.
62 Hasil wawancara dengan Bpk. N. Rahayaan, 10 januari 2017.
63 Bentuk kerja sama yang terjalin antara tokoh pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama.
77 Beberapa konflik yang telah dijelaskan di atas memang terjadi akan tetapi
konflik tersebut tidak berlangsung lama mengapa demikian? Sebab tindakan
masyarakat Kei Besar sangat dipengaruhi oleh sistem budaya (nilai-nilai dan moral)
di Kei Besar dalam hal ini falsafah ain ni ain. Konflik merupakan tindakan sosial
sedangkan budaya lokal merupakan produk yang dihasilkan oleh masyarakat yang
mempengaruhi tindakan sosial masyarakat. Sehingga dalam konteks hidup
masyarakat Kei Besar konflik dapat diatasi dengan budaya lokal selama budaya lokal
masih tetap dipegang dan terpelihara dalam tindakan dan juga pikiran masyarakat Kei
Besar.
Konflik menjadikan budaya lokal yang sarat makna dan nilai justru semakin
kuat dan memiliki pengaruh terhadap konflik tersebut. Nilai-nilai dari budaya lokal
dalam hal ini falsafah ain ni ain semakin dipertajam dengan dilakukannya pewarisan
secara terus-menerus melalui sosialisasi mengenai adat kepada generasi muda.65 Hal
ini dilakukan agar budaya lokal yakni hukum adat maupun falsafah ain ni ain dapat
selalu terpelihara dalam hidup generasi muda.
Falsafah ain ni ain menginstruksikan hidup yang selalu mengutamakan
persatuan dan kesatuan, keselarasan, dan juga selalu menghadirkan kondisi damai.
Sehingga dalam kehidupan sosial masyarakat Kei Besar, sedapatnya harus
menghindari terjadinya konflik. Walaupun konflik yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat Kei Besar maka harus secara sigap ditangani yakni mengetahui penyebab
terjadinya konflik serta mencari solusi yang gtepat bagi konflik tersebut. Oleh karena
78
itu istilah-istilah seperti ain afat ain, ain vidan ain, ain tumbuk ain, serta ain kafinan
ain dalam masyarakat Kei Besar diusahakan agar dapat dihindari, tidak dilakukan,
serta sedapat mungkin dicegah.
Masyarakat Kei Besar saat ini sedang berhadapan dengan ancaman
modernitas yang akan menggeser sistem budaya yang dipegang masyarakat Kei
Besar. ancaman modernitas dapat menghadirkan perseteruan bahkan konflik. Dengan
demikian nilai-nilai dari ain ni ain sangat diperlukan. Dalam pemahaman ini maka
dapat diketahui perspektif ain ni ain mengenai konflik yang terjadi di Kei Besar.
Pertama, konflik adalah parasit bagi kelangsungan hidup masyarakat di Kei
Besar. terjadinya konflik dapat merusak tatanan sosial masyarakat Kei Besar. Hidup
yang selalu dijaga dalam kestabilan akan hancur jika konflik tidak segera
diselesaikan. Tokoh masyarakat melalui falsafah ain ni ain yang mengandung nilai
persatuan dan kesatuan tidak akan dibiarkan konflik sosial bertahan lama. Kedua,
konflik hadir oleh karena salah paham yang tidak terselesaikan dengan baik.
Perspektif ini menjelaskan kehidupan masyarakat Kei Besar yang sedang bertikai
akibat tidak membangun pemahaman yang baik. Pihak yang sedang bertikai tidak
dapat memahami maksud masing-masing. Sehingga pertikaian ini akan berlangsung
lama bahkan samapi mengakibatkan konflik yang besar. Solusi yang diambil adalah
mempertemukan kedua belah pihak yang akan dimediasi oleh tokoh agama,
79 konflik yang terjadi. Perspektif ini dipengaruhi oleh nilai persaudaraan atau
solidaritas yang terkandung dalam falsafah ain ni ain.66
Ketiga, konflik adalah tindakan melawan leluhur. Perspektif ini bangun oleh
karena perngahargaan masyarakat Kei Besar terhadap budaya yang diwariskan
leluhur. Terjadinya konflik berarti masyarakat Kei Besar secara langsung melawan
sistem budaya yang dibuat leluhur. Dalam persepektif ini termuat nilai sakralitas dari
falsafah ain ni ain. Maksudnya apabila mereka tidak memperbaiki situasi ini maka
yang akan terjadi adalah bencana sakit atau kematian terhadap mereka yang
berkonflik. Maka yang harus dilakukan adalah memohon ampun kepada leluhur yang
akan dimediasi oleh tokoh adat di dalam upacara adat. Masyarakat Kei Besar percaya
bahwa jika proses ini telah dilakukan maka mereka akan terhindar dari bencana
kesakitan dan juga kematian. Keempat, konflik merupakan hal yang tidak diinginkan
oleh Duad. Dalam penjelasan sebelumnya mengenai system kepercayaan masyarakat
Kei, dijelaskan bahwa selain leluhur masyarakat Kei percaya ada kuasa yang lebih
besar, yang berkuasa atas hidup dan mati manusia, kuasa ini disebut Duad atau
Tuhan. Masyarakat Kei Besar percaya bahwa Duad memberikan alam ini termasuk
manusia dalam sebuah keteraturan dan kedamaian, itu berarti menghadirkan konflik
bukanlah hal yang diinginkan. Jika konflik sosial tak dapat dihindari maka yang harus
dilakukan adalah penyelesaian, seperti pada perspektif yang ketiga. Setelah upacara
adat dilaksanakan maka akan ada ruang dimana tokoh adat akan memanjatkan doa
80
kepada Duad agar dapat mengampuni dosa yang telah dilakukan masyarakat Kei
Besar. perspektif ini juga mengandung nilai sakralitas dari falsafah ain ni ain.67
Keempat perspektif ini ditemukan dalam diri masyarakat Kei Besar. Dengan
memperhatikan keempat perspektif ini maka falsafah ain ni ain adalah bukan lagi
berupa falsafah yang hanya diwariskan secara lisan kepada generasi penerus akan
tetapi telah menjadi identitas diri masyarakat Kei Besar. Ain ni ain telah hidup dalam
pola interaksi, hubungan sosial masyarakat Kei Besar dengan demikian falsafah ini
memiliki fungsi dalam menjelaskan fakta hidup masyarakat Kei Besar.
2. Fungsi Ain Ni Ain dalam Mengatasi Konflik
Ain ni ain dalam prakteknya tentu memiliki fungsi bagi kelangsungan hidup
masyrakat Kei Besar. Berikut adalah penjelesan mengenai fungsi falsafah ain ni ain.
Pertama, ain ni ain berfungsi dalam penyelesaian konflik yang sering terjadi di Kei Besar. Menurut N. Rahayaan, falsafah ini dari dulu hingga sekarang selalu dipakai
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Kei termasuk Kei Besar. Dulu,
perselisihan, perkelahian, serta konflik masyarakat Kei selalu diselesaikan secara
kekeluargaan tanpa melibatkan pihak penegak hukum akan tetapi tokoh adat.
Sedangkan saat ini tokoh pemerintah, tokoh agama, serta tokoh adat saling bekerja
sama agar dapat meredakan konflik internal yang terjadi di Kei.68 Ain ni ain adalah
solusi dalam meredakan konflik serta dalam membangun ikatan kerja sama yang
disebut tiga batu tungku. Kerjasama para tokoh masyarakat dalam meredakan konflik
67 Hasil wawancara dengan Rat Bomav Fer (Bpk. Raja Fer), 12 November 2016.
68 Hasil wawancara dengan Bpk Nus Rahayaan, 10 Januari 2017, Bpk. Drs. C. Rahakbauw
81 yang terjadi dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat yang lain. Memberikan
rasa aman kepada masyarakat yang lain dapat memberikan peluang bagi para tokoh
masyarakat agar dapat berkonsentrasi hanya pada pihak yang berkonflik. Dengan
demikian para tokoh masyarakat dapat bekerja sesuai dengan tugasnya
masing-masing. Walaupun para tokoh masyarakat memiliki cara untuk meredakan konflik
sosial atau pun memiliki perspektif yang lain mengenai konflik sosial akan tetapi ain
ni ain merupakan solusi dari konflik yang terjadi. Pihak pemerintah maupun pihak
tokoh agama sangat menghargai nilai budaya dari falsafah ain ni ain. Sambil
masing-masing pihak menjalankan fungsi mereka dalam masyarakat dan ain ni ain adalah
kunci untuk mendatangkan situasi damai.
Kedua, Ain ni ain berfungsi untuk mempertahankan kesatuan hidup. Fungsi ini dijelaskan oleh salah satu narasumber, walaupun kami berbeda marga, berbeda
agama, maupun berbeda budaya akan tetapi kami dibesarkan dalam pemahaman
bahwa kami kami semuanya bersaudara dalam satu kesatuan yakni satu suku, satu
bahasa, satu leluhur, serta kami dibentuk dalam satu falsafah dasar yakni Larvul
Ngabal.69 Dalam penjelasan ini memperlihatkan pola hidup yang bersatu serta tidak
dibatasi dengan perbedaan marga, agama, bahkan budaya, sebab Ain ni ain
mengajarkan masyarakat Kei Besar agar mereka hidup dalam kesatuan bukan dalam
perpecahan.
Ketiga, ain ni ain berfungsi untuk menjalin kerjasama antar anggota masyarakat. Fungsi ini terlihat dalam sikap gotong-royong masyarakat Kei Besar, jika
82 ada anggota masyarakat yang melangsungkan hajatan, membangun rumah atau
membuka lahan pertanian baru maka para kerabat dan anggota masyarakat sekitar
siap membantu tanpa diminta.70 Masyarakat Kei Besar sadar bahwa ain ni ain telah
menggerakkan mereka agar tidak membiarkan sesama mereka bekerja sendirian, akan
tetapi bekerja bersama. Dalam fungsi ini sesungguhnya masyarakat Kei Besar sedang
memperlihatkan perspektif bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tak dapat
hidup sendiri, akan tetapi hidup bersama dalam satu lingkungan.
Keempat, Ain ni ain juga sangat memainkan peran dalam sikap solidaritas masyarakat Kei Besar. Menurut tutur seorang narasumber, ”katong orang Kei yang
mangarti ain ni ain pasti tau par saling baku bantu, satu par samua, samua par
satu”.71 Sikap solidaritas tersebut paling menonjol saat dilangsungkannya perkawinan adat atau acara-acara keagamaan, dll. Dalam sistem perkawinan adat atau
pun acara-acara keagamaan masyarakat Kei Besar yelim atau tanggungan sukarela
dari para kerabat maupun masyarakat lainnya adalah wujud solidaritas mereka untuk
menghargai moment tersebut. Dasar dari sikap solidaritas bahwa sebagai satu
keluarga sudah sepatutnya saling tolong-menolong untuk memenuhi segala keperluan
dalam acara, sehingga beban tersebut bisa dipikul secara bersama-sama.
Kelima, Ain ni ain berfungsi untuk membangun komunikasi. Ain ni ain sebagai salah satu sejarah lisan masyarakat Kei memiliki suatu sistem nilai dan norma
hidup, memainkan perannya untuk menata kehidupan masyarakat Kei Besar sesuai
70 Hasil wawancara dengan Bpk. Eki Sidubun, 03 Januari 2017.
71 Kita masyarakat Kei yang mengerti falsafah ain ni ain pasti tahu untuk saling membantu,