BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Kenakalan Remaja
2.1.1
Remaja, Karakteristik dan Tugas Perkembangannya
Menurut Hurlock (1999), kata remaja berasal dari bahasa Inggris
“
adolescence
” yang diadopsi dari bahasa latin
“adolescere”
yang artinya
bertumbuh/ to grow dan menjadi matang/ to mature. Kata bendanya
“
adolesceantia
”
yang berarti remaja mengandung arti “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa”. Konsep remaja mempunyai arti yang luas mencakup
kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.
Untuk batasan usia, Hurlock (1999) memberi batasan masa remaja
berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut
Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan tradisional,
sedangkan alran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22
tahun. Lebih lanjut Thornburgh (1982) membagi usia remaja menjadi tiga
kelompok yaitu Remaja awal (antara 11 hingga 13 tahun), Remaja
pertengahan (antara 14 hingga 16 tahun), Remaja akhir (antara 17 hingga 19
tahun).
Masa remaja dapat dikatakan masa/ periode yang penting dan masa
yang paling rawan dalam perkembangan jiwa seseorang karena berakibat
ini dapat menimbulkan ketakutan-ketakutan tersendiri bagi remaja maupun
orang tua karena pada periode ini remaja mulai mencari identitasnya. Idealnya
dalam masa remaja ini terdapat beberapa tugas perkembangan yang harus
dipenuhi. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1994) tugas-tugas
perkembangan remaja antara lain sebagai berikut :
1. Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis.
2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin.
3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif.
4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.
5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi. 6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja. 7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan
keluarga.
8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara.
9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial.
10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku.
2.1.2
Perilaku Kenakalan Remaja
1.
Pengertian Perilaku Kenakalan Remaja
Kartono (2002) mengatakan :
Menurut Jensen dan Sarwono (dalam Sarwono, 2000), dalam
memberikan definisi mengenai perilaku kenakalan remaja perlu adanya
suatu batasan yaitu perilaku kenakalan remaja ditinjau dari segi hukum
dan dari segi penyimpangan norma, aturan dan pengingkaran status.
Definisi hukum untuk kenakalan remaja adalah suatu tingkah laku
dari anak-anak dan remaja yang mana jika dilakukan pada usia dewasa
akan didakwa sesuai hukum sebagai tindak kriminal (Lee & Steve
Vandegriff, 2005).
Dalam 1 Petrus 2:17, Imamat 19:32, I Tesalonika 4:11-12, dapat
diambil definisi secara ringkas mengenai kenakalan remaja. Disini
kenakalan remaja diartikan sebagai suatu ketiadaan rasa hormat terhadap
orang lain, harta dan diri sendiri.
Sejalan dengan pendapat Jensen dan Sarwono (dalam Sarwono,
2000), definisi kenakalan remaja memang perlu diadakannya suatu
batasan yaitu perilaku kenakalan remaja ditinjau dari segi hukum,
penyimpangan norma, aturan atau pengikaran status baik sebagai pelajar
ataupun sebagai seorang anak. Kenakalan tersebut tidak semestinya
diasumsikan sebagai suatu tahap perkembangan masa dimana para remaja
akan tumbuh dan melewatinya seiring dengan berjalannya waktu karena
jika kenakalan itu dilakukan pada usia dewasa maka dapat didakwa sesuai
hukum sebagai tindak kriminal sesuai dengan pendapat Lee & Steve
2.
Jenis-jenis Perilaku Kenakalan Remaja
Jensen (dalam Sarwono, 2000), membagi kenakalan remaja
menjadi empat jenis yaitu :
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan.
b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain : pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini.
d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka.
3.
Gejala-gejala Kenakalan Remaja
Menurut
Simanjuntak
(1984)
gejala-gejala
yang
dapat
memperlihatkan hal-hal yang mengarah pada kenakalan remaja adalah:
a. Remaja yang tidak disukai oleh teman-temannya sehingga remaja tersebut menyendiri. Remaja yang demikian psikis maupun emosinya dapat tergoncang.
b. Remaja yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab dirumah atau di sekolah. Misal remaja lebih senang mencari kesibukan sendiri dengan bermain-main ketimbang belajar, mengerjakan tugas ataupun membantu keluarga di rumah. c. Remaja yang sering mengeluh dalam arti bahwa mereka
mengalami masalah yang oleh dia sendiri tidak sanggup mencari penyelesainnya. Remaja seperti ini sering terbawa akan perasaan atau emosi meledak-ledak.
d. Remaja yang mengalami phobia dan gelisah dalam melewati batas yang berbeda dengan ketakutan remaja normal.
e. Remaja yang suka berbohong.
f. Remaja yang senang menyakiti atau mengganggu teman-temannya di sekolah atau di rumah.
g. Remaja yang menyangka bahwa semua guru bersikap tidak baik terhadap mereka dan sengaja menghambat mereka.
4.
Faktor Penyebab Perilaku Kenakalan Remaja
Kartono (1986), menyebutkan ada beberapa faktor penyebab
perilaku kenakalan remaja, antara lain:
1) Faktor internal.
Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri remaja itu sendiri dimana remaja memiliki ego yang tinggi serta tidak dapat mengendalikan/ mengontrol dirinya sendiri, tidak punya fondasi yang cukup kuat untuk menolak pengaruh dari luar maupun dorongan dari dalam diri sendiri.
2) Faktor eksternal a. Faktor keluarga
Kondisi keluarga yang berantakan, perlindungan yang berlebihan dari orang tua, penolakan orang tua, pengaruh buruk orang tua, dapat mempengaruhi remaja untuk berperilaku menyimpang.
b. Lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan
Kondisi buruk ini antara lain berupa bangunan sekolah yang tidak memenuhi persyaratan, tanpa halaman bermain yang cukup luas, tanpa ruang olahraga, minimnya fasilitas ruang belajar, jumlah murid dalam satu kelas yang terlalu banyak dan padat (50-60 orang), ventilasi dan sanitasi yang buruk, suasana kelas yang membosankan dimana remaja hanya melakukan kegiatan yang tertekan hanya duduk, pasif mendengarkan sehingga mereka menjadi jemu, jengkel dan apatis. Dengan kondisi yang seperti itu menjadikan remaja merasa sangat dibatasi gerak-geriknya dan merasa tertekan batinnya (dilarang bertanya kalau tidak perlu), harus tunduk, patuh dan disiplin. Kurang sekali kesempatan yang diberikan oleh sekolah untuk melakukan ekspresi bebas, baik yang bersifat fisik maupun psikis sebab semua sudah diatur dan dipastikan, mengikuti buku, kurikulum dan satuan pelajaran yang sudah baku. Sebagai akibatnya, remaja justru tidak mematuhi peraturan-peraturan yang ada tersebut, ingin bebas dan liar, mau berbuat semau sendiri, menjadi agresif, juga suka membolos, melakukan perkelahian di luar sekolah untuk melampiaskan kedongkolan dan frustasinya selama berada di sekolah.
c. Faktor milieu
dan anti sosial. Satu remaja terjangkiti pengaruh-pengaruh buruk tersebut maka dapat menjangkiti teman sebayanya/ remaja yang lain.
5.
Dampak Perilaku Kenakalan Remaja
Berdasarkan uraian mengenai perilaku kenakalan remaja baik
mulai dari pengertiannya, jenis-jenis perilaku, gejala, hingga faktor
penyebabnya, penulis setuju bahwa perilaku kenakalan remaja banyak
berdampak negatif baik bagi diri sendiri, keluarga, teman maupun
masyarakat. Dalam penelitian Novia (2010) dampak perilaku kenakalan
remaja antara lain :
a. Bagi remaja sendiriAkibat dari kenakalan remaja dapat merugikan baik dari segi fisik maupun mental. Remaja akan mudah terserang penyakit dikarenakan gaya hidup yang tidak teratur. Dalam segi mental perilaku kenakalan remaja tersebut akan mengantarkan remaja pada mental-mental yang lemah, pikiran dan emosi tidak stabil, kepribadian yang tidak jelas, serta nilai moral-moral yang ditanam dalam diri menjadi rusak. Nama baik dan simpati orang akan menjadi hilang dengan melihat perilaku yang menyimpang tersebut. Jika sudah sampai terjerumus pada perilaku yang dikategorikan tindak kriminal jahat, masa depan remaja seolah-olah suram, tidak ada lagi harapan.
b. Bagi Keluarga
Ketidakharmonisan antara anak dan orang tua tidak terjalin dengan baik. Nama baik keluarga juga akan tercoreng tatkala ada salah satu anggota atau anak dalam keluarga tersebut melakukan perilaku menyimpang. Orang tua menjadi malu dan kecewa seolah-olah tidak ada yang bisa dibanggakan dan menjadi generasi penerus keluarga yang baik.
c. Bagi Masyarakat
2.2
Teknik Sosiodrama
2.2.1 Pengertian Teknik Sosiodrama
Menurut Moreno, sosiodrama adalah satu pengalaman grup sebagai
suatu jalan utuh untuk eksplorasi sosial dan transformasi antar kelompok
(Kellermann, 2007). Sosiodrama menurut Winkel (2006) merupakan
dramatisasi dari berbagai persoalan yang dapat timbul dari berbagai pergaulan
dengan orang-orang lain, termasuk konflik yang dialami dalam pergaulan
sosial. Sedangkan menurut Wulandari (2005), teknik sosiodrama atau bermain
peran adalah sebuah teknik sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk
mengkreasi peristiwa yang terjadi, actual, kejadian-kejadian yang muncul
pada masa mendatang. Teknik simulasi sebagai pemahaman yang berupa
tingkah laku dengan tujuan orang tersebut dapat mempelajari lebih dalam
tentang bagaimana ia merasa dan berbuat sesuatu atau suatu teknik pengajaran
dimana siswa memerankan tugas orang lain dalam dirinya sebagai tiruan.
Teknik sosiodrama memiliki keunggulan, Langdon (dalam Wulandari,
2005) mengungkapkan keunggulan metode sosiodrama adalah sebagai berikut
:
a. Memperkaya siswa dalam berbagai pengalaman situasi sosialisasi yang bersifat problematik.
b. Memperkaya pengetahuan dan pengalaman semua siswa mengenai cara menghafal dan memecahkan masalah.
c. Dengan bermain peran siswa memperoleh kesempatan untuk belajar mengekspresikan penghayatan mereka mengenai suatu problema sosial.
d. Memupuk keberanian siswa untuk tampil di depan umum tanpa kehilangan keseimbangan pribadi.
Disamping itu terdapat juga tujuan dari sosiodrama. Adapun tujuan
penggunaan sosiodrama dalam teknik bimbingan menurut Nursalim dan
Suradi (2002) adalah :
a. Mengembangkan bagaimana seseorang atau beberapa orang menghadapi suatu situasi sosial.
b. Menggambarkan bagaimana cara memecahkan suatu masalah sosial.
c. Mengembangkan sikap kritis terhadap tingkah laku yang harus atau jangan dilakukan dalam situasi sosial tertentu.
d. Memberikan kesempatan untuk meninjau situasi sosial dari berbagai sudut pandang tertentu.
2.2.2
Cara Pelaksanaan Bimbingan dengan Teknik Sosiodrama
Menurut Nursalim dan Suradi (2002), adapun cara pelaksanaan
bimbingan dengan menggunakan teknik sosiodrama sebagai berikut:
a. Pembimbing membicarakan suatu hal yang menarik dan dapat menggerakkan perasaan atau emosi individu sehingga mereka dapat mengadakan identifikasi dengan orang-orang atau tokoh-tokoh dalam cerita. Masalah dalam cerita harus dipahami sehingga secara mudah tergugah untuk ikut berpartisipasi dalam masalah penyelesaian dan pengatasannya.
b. Setelah pembimbing selesai dalam ceritanya, lalu menentukan siapa individu-individu yang akan berperan sebagai tokoh-tokoh tertentu. Dalam hal menentukan peranan perlu diperhatikan sifat-sifat yang justru sebaliknya, misal anak yang kejang-kejang memerankan sebagai tokoh yang sabar dan penolong.
c. Dalam cerita yang akan didramakan, individu bukan hanya dihadapkan pada suatu persoalan saja tetapi mereka diperhadapakan pada bagaimana dia sendiri memilih jalan keluar dari problem tadi sebagai akhir cerita; untuk ini perlu dipersiapkan terlebih dahulu penonton yang akan memberikan penilaian terhadap jalannya cerita dalam drama, dimana sikap-sikap yang salah atau tidak seharusnya dilakukan.
d. Dalam melakukan drama tidak ada batasan waktu.
e. Selesai pementasan drama diadakan diskusi-diskusi yang membahas baik dan tidaknya pengatasan masalah tadi.
2.2.3 Teknik Sosiodrama dalam Mereduksi Perilaku Kenakalan Remaja
Perilaku kenakalan remaja merupakan fenomena umum dan masalah
yang sampai saat ini masih menjadi beban dan tanggung jawab masyarakat
pada umumnya. Untuk itu peran aktif bimbingan dan konseling sangat
diperlukan untuk membantu memecahkan masalah terkait fenomena
kenakalan remaja yang terjadi. Bimbingan dan konseling hendaknya dapat
menemukan jalan keluar, mengatasi atau setidaknya mereduksi kenakalan
remaja.
Kata mereduksi berasal dari kata benda
“reduksi
” yang artinya
pengurangan, potongan (harga, dsb), menjadi kata sifat
“mereduksi”
yang
artinya membuat pengurangan, potongan (harga, dsb), dalam (KBBI, 2008).
Melalui pengertian tersebut mereduksi perilaku kenakalan remaja berarti
membuat pengurangan atau mengurangi perilaku menyimpang atau kenakalan
yang selama ini dilakukan oleh remaja.
Merujuk mulai dari pengertian kenakalan remaja dan teknik
sosiodrama hingga pada teknik sosiodrama dalam mereduksi perilaku
kenakalan remaja, tepat digunakan sebagai strategi intervensi dalam rangka
memecahkan masalah mengenai kenakalan yang telah dilakukan remaja.
Perilaku kenakalan remaja perlu untuk dirubah atau setidaknya direduksi
Suatu layanan bimbingan dibuat agar tujuan bimbingan yang diberikan
kepada siswa tepat sasaran dan dapat memecahkan persoalan. Oleh karena itu
dapat dirumuskan beberapa karakteristik pribadi sosial remaja yang nantinya
diharapkan melalui adanya bimbingan (Novia, 2010), yaitu :
a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mau melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
b. Mampu menerima diri dan mengembangkan potensi yang ada di dalam diri.
c. Memiliki rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam komitmen terhadap tugas dan kewajiban.
d. Menjalin hubungan yang baik dan persahabatan dengan teman-teman. e. Mampu menolak ajakan yang tidak benar.
f. Dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang terjadi dalam diri sendiri maupun dengan teman, lingkungan sekitar secara bijaksana.
g. Menghormati dan menghargai orang lain; teman, guru, orang tua serta masyarakat sekitar.
h. Menerima dan menjalankan peraturan sekolah yang berlaku. i. Berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku.
2.3
Temuan Penelitian Terdahulu
Adapun diadakannya penelitian ini didukung oleh penelitian terdahulu
yang dapat menjadi landasan agar penelitian dapat dilakukan, diantaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Blatner (2002), Gangel (1986) dan Maier (2002)
dalam (Wulandari, 2005) yaitu ten
tang “Teknik Sosiodrama dan Konformitas
yang Berlebihan”. P
enelitian tersebut menghasilkan bahwa dengan metode teknik
sosiodrama siswa dikondisikan untuk mengambil keputusan. Keputusan tersebut
diambil berdasarkan hasil analisis terhadap permasalahan yang sedang dihadapi
siswa.
Dalam penelitian Nurhayati (2010) dengan judul “Teknik Sosiodrama
Negeri 1 Cileunyi Tahun Ajaran 2010/ 2011”.
Konformitas berlebihan dalam
penelitian tersebut dimaksudkan merupakan salah satu bentuk perilaku kenakalan
remaja dimana remaja berkompromi, mudah untuk tergiur ajakan teman seperti
merokok, minum-minuman keras, narkoba, berkelahi, menonton video porno dan
jenis kenakalan lainnya.
Diperoleh hasil setelah diintervensi dengan teknik
sosiodrama menunjuk perubahan perilaku konformitas yang berlebihan dari
rata-rata pre test 2, 40 pada post test menjadi 2,07. Hasil penghitungan menunjukkan
skor dari t-hitung adalah 2,467 dan harga t-tabel sebesar 1,980. Karena t-hitung
lebih besar dari t-tabel Ho ditolak dan Ha diterima. Secara umum konformitas
terhadap kelompok teman sebaya pada siswa kelas X-8 SMA Negeri 1 Cileunyi
Tahun Ajaran 2010/ 2011 mengalami penurunan walaupun hanya jumlah skor dan
tidak pada tingkat kategori. Kesimpulan dalam penelitian tersebut bahwa
sosiodrama cukup berpengaruh dalam penurunan tingkat perilaku konformitas
yang berlebihan pada siswa terhadap kelompok teman sebaya.
Selain penelitian diatas juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Novia
(2010), Judul : “Program Bimbingan dan Konseling Pribadi Sosial Untuk
Mereduksi Kenakalan Remaja”
, yang disusun Berdasarkan Studi Deskriptif
terhadap Siswa Kelas X SMA Pasundan 8 Bandung Tahun Ajaran 2009/2010.
Penelitian tersebut berisi tentang program-program bimbingan dan konseling
pribadi sosial yang dibuat untuk mereduksi perilaku kenakalan remaja. Hasil
penelitian bahwa program bimbingan dan konseling memiliki peranan penting
Berdasarkan hasil temuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat menjadi landasan untuk penelitian yang akan dilakukan ini. Penelitian
menyebutkan bahwa strategi intervensi dengan teknik sosiodrama memang
terbukti sangat berpengaruh dalam rangka memecahkan masalah terkait
kenakalan remaja. Untuk itu penelitian dengan penggunaan teknik sosiodrama
untuk mereduksi perilaku kenakalan remaja perlu untuk dilakukan.
2.4
Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, kajian teori hingga pada temuan
penelitian terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penelitian ini
penulis mengajukan hipotesis bahwa “T
eknik sosiodrama dapat mereduksi secara