• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proceeding Book PIKAB XIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Proceeding Book PIKAB XIII"

Copied!
239
0
0

Teks penuh

(1)

(2)

(3) Proceeding Book PIKAB XIII. Improving Knowledge and Skill in Pediatric Health Care. Bandung, 26–27 November 2016. Editor: Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K), Ph.D. DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNPAD/RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG.

(4) Proceeding Book PIKAB XIII. Improving Knowledge and Skill in Pediatric Health Care Bandung, 26–27 November 2016 ISBN: 978-602-71594-5-7 Editor: Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K), Ph.D. Diterbitkan oleh Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40161 Telp. & Faks. 022–2035957; E-mail: dikarshs@yahoo.com. Cetakan pertama, November 2016. Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

(5) SAMBUTAN KETUA PANITIA. Anak adalah investasi masa depan yang perlu dijaga dan dipersiapkan potensinya dari sejak dini. Oleh karena itu, Ilmu Kesehatan Anak memiliki tujuan untuk dapat mengembangkan potensi dari setiap anak sampai semaksimal mungkin. Ilmu kedokteran sendiri selalu berkembang dari masa ke masa dan menghasilkan ilmu pengetahuan baru, baik dari sisi etiologi penyakit, pemeriksaan maupun tata laksananya. Long life study menjadi suatu kewajiban yang harus diterapkan bagi semua pihak, terutama para dokter dan tenaga kesehatan. Seorang spesialis anak wajib mempelajari secara berkesinambungan setiap pembaharuan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan kedokteran demi meningkatkan kualitas penanganan pasien terutama dalam era jaminan kesehatan nasional BPJS sekarang ini. Kegiatan dalam Pendidikan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan kali ini berupa kuliah umum, simposium, dan workshop. Proceeding book ini memuat semua materi yang disampaikan pada kuliah umum PIKAB XIII yang bertujuan agar peserta dokter dan dokter spesialis anak dapat meningkatkan kemampuan dan keahliannya dalam menghadapi dan menangani masalah kesehatan anak. Di dalam proses penyusunannya, buku ini tentu tidak luput dari berbagai kesalahan, namun kami mengharapkan hal tersebut tidak akan mengurangi makna buku ini. Kami berharap buku ini bermanfaat dan dapat menjadi rujukan sejawat sekalian dalam praktik sehari-hari. Akhir kata, selamat mengikuti kegiatan Pendidikan Ilmu Kedokteran Anak Berkelanjutan.. Ketua Panitia, Dr. Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., MKes.. Bandung, 26–27 November 2016. iii.

(6) SAMBUTAN KEPALA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNIVERSITAS PADJADJARAN/ RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ilmu kedokteran adalah ilmu yang selalu berkembang dari masa ke masa dan menghasilkan penemuan baru baik dari sisi etiologi penyakit maupun pengobatannya. Dalam praktik sehari-hari dokter dan dokter spesialis anak diharapkan selalu dapat meningkatkan kompetensi dalam keilmuan dan keahlian seiring dengan ilmu kedokteran yang selalu berkembang. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, dokter dan dokter spesialis anak dituntut untuk mengikuti perkembangan muktahir dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak. Tantangan global yang dihadapi oleh dokter anak Indonesia adalah berlakunya masyarakat ekonomi ASEAN sejak tahun 2015 sehingga kualitas dokter anak Indonesia harus ditingkatkan agar memiliki daya saing yang tinggi. Saat ini Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung menyelenggarakan acara PIKAB XIII dengan mengambil tema "Improving Knowledge and Skill in Pediatric Health Care". Para dokter spesialis anak diharapkan dapat selalu meningkatkan keilmuan mereka dalam praktik sehari-hari sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara dan penghargaan kepada panitia penyelenggara serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga PIKAB XIII dapat terlaksana dengan baik. Wassalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh.. Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dr. H. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K)., MCTM(Trop.Ped.). iv. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(7) DAFTAR ISI. Sambutan Ketua Panitia. iii. Sambutan Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. iv. Daftar Isi. v. Susunan Panitia. vi. Daftar Kontributor Susunan Acara. viii ix. Simposium Hari Pertama Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases. 1. Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis dalam Praktik Sehari-hari. 19. Endokarditis Infektif pada Anak: Etiologi dan Tata Laksana Pemberian Antimikrob. 36. Asma pada Anak. 49. Diagnostik dan Tata Laksana Kolestasis pada Bayi. 68. Diagnostik Penyakit Autoimun dalam Fasilitas KesehatanTerbatas. 85. Simposium Hari Kedua Tuberkulosis pada Anak: Update 2016. 97. Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak. 119. Pitfall dalam Terapi Antibiotik. 145. Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana Diabetes Melitus pada Anak (Diabetes Melitus Tipe-1 dan Ketoasidosis Diabetikum). 165. Pendekatan Komprehensif Nyeri Perut pada Anak. 186. Children Living with Human Immunodeficiency Virus (HIV). 207. Bandung, 26–27 November 2016. v.

(8) SUSUNAN PANITIA Pelindung. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Direktur Utama RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penasihat Panitia Pengarah. Prof. Dr. Nanan Sekarwana, dr., Sp.A(K)., MARS Kepala Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Ketua. Dr. Dwi Prasetyo, dr., Sp.A(K), MKes.. Wakil Ketua. Aris Primadi, dr., Sp.A(K). Sekretaris. Anggraini Alam, dr., Sp.A(K) Mia Milanti Dewi, dr., Sp.A, MKes.. Bendahara. Diah Asri Wulandari, dr., Sp.A(K). Seksi Ilmiah Koordinator. Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K). Anggota. Seksi Dana Koordinator. Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K., Ph.D Sri Sudarwati, dr., Sp.A(K) Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes. Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes. Novina, dr., Sp.A, MKes. Yudith Setiati Ermaya, dr., Sp.A, MKes. Nur Melani Sari, dr., Sp.A, MKes. Dr. Nelly Amalia Risan, dr., Sp.A(K). Anggota. Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D Prof. Dr. Sjarief Hidajat Effendi, dr., Sp.A(K) Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes. Viramitha Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A, MKes.. Seksi Pameran. Stanza Uga Peryoga, dr., Sp.A, MKes.. vi. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(9) Seksi Sidang dan Acara Koordinator Nur Suryawan, dr., Sp.A, MKes. Anggota Putria Rayani Apandi, dr., Sp.A, MKes. Seksi Publikasi, Dokumentasi & Dekorasi. Ahmedz Widiasta, dr, Sp.A, MKes. Fina Meilyana, dr., Sp.A, MKes.. Seksi Konsumsi. Dewi Hawani, dr., Sp.A(K). Seksi Logistik & Perlengkapan. Riyadi, dr., Sp.A, MKes.. Seksi Akomodasi. Gartika Sapartini, dr., Sp.A, MKes. Rini Rossanti, dr., Sp.A, MKes.. Seksi Keamanan & Kesehatan. Rodman Tarigan, dr., Sp.A, MKes.. Bandung, 26–27 November 2016. vii.

(10) DAFTAR KONTRIBUTOR Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis. Prof. Dr. Heda Melinda N. Nataprawira, dr., Sp.A(K), MKes. Divisi Respirologi. Anggraini Alam, dr., Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis. Novina, dr., Sp.A, MKes. Divisi Endokrinologi. Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes. Divisi Alergi dan Imunologi. Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes. Divisi Kardiologi. Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D Divisi Respirologi. Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes. Divisi Alergi dan Imunologi. Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K)., MCTM(Trop.Ped.) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis. Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K) Divisi Kardiologi. Dr. Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., MKes. Divisi Gastroenterohepatologi. Yudith Setiati Ermaya, dr., Sp.A, MKes. Divisi Gastroenterohepatologi. viii. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(11) SUSUNAN ACARA Sabtu, 26 November 2016 07.30–08.30 Registrasi 08.30–08.45 Pembukaan: Sambutan Ketua Panitia Sambutan Kepala Departemen Sesi 1: Moderator: Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM 08.45–09.05 Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K) 09.05–09.25 Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis dalam Praktik Sehari-hari Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes. 09.25–09.45 Endokarditis Infektif pada Anak: Etiologi dan Tata Laksana Pemberian Antimikrob Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K), MCTM(Trop.Ped.) 09.45–10.15 Diskusi 10.15–10.45 Coffee Break Meeting Sesi 2: Moderator: Prof. Azhali M. S., dr., Sp.A(K) 10.45–11.05 Asma pada Anak Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D 11.05–11.25 Diagnostik dan Tata Laksana Kolestasis pada Bayi Dr. Dwi Prasetyo, dr., Sp.A(K), MKes. 11.25–11.45 Diagnostik Penyakit Autoimun dalam Fasilitas Kesehatan Terbatas Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes. 11.45–12.15 Diskusi 12.15–13.15 Lunch Symposium 13.15–14.00 ISHOMA 14.00–17.00 Workshop WORKSHOP Alergi Imunologi Endokrinologi Gastrohepatologi Infeksi & Penyakit Tropis Kardiologi Respirologi Bandung, 26–27 November 2016. : Henoch Schonlein Purpura Management : Skrining Hipotiroid Kongenital : Cholestatic Jaundice : Common Problems of Infectious Disease in Outpatient Care : Screening for Critical Congenital Heart Diseases in Newborn : Asma pada Anak ix.

(12) Minggu, 27 November 2016 Sesi 3: Moderator: Prof. Dr. Dedi Rachmadi Sambas, dr., Sp.A(K), MKes. 08.30–08.50 Tuberkulosis pada Anak: Update 2016 Prof. Dr. Heda Melinda N. Nataprawira, dr., Sp.A(K), MKes. 08.50–09.10 Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes. 09.10–09.30 Pitfall dalam Terapi Antibiotik Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K) Diskusi Rehat kopi. 09.30–10.00 10.00–10.30 Sesi 4: Moderator: Prof. Dr. Dida A. Gurnida, dr., Sp.A(K), MKes. 10.30–10.50 Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana Diabetes Melitus pada Anak (Diabetes Melitus Tipe-1 dan Ketoasidosis Diabetikum) Novina, dr., Sp.A, MKes. 10.50–11.10 Pendekatan Komprehensif Nyeri Perut pada Anak Yudith Ermaya, dr., Sp.A, MKes. 11.10–11.30 Children Living with Human Immunodeficiency Virus (HIV) Anggraini Alam, dr., Sp.A(K) 11.30–12.00 Diskusi 12.00–13.00 Lunch Symposium 13.00–14.00 ISHOMA 14.00–17.00 Workshop. WORKSHOP Alergi Imunologi Endokrinologi Neonatologi Gastrohepatologi Infeksi & Penyakit Tropis Kardiologi Respirologi. x. : Cow’s Milk Allergy Prevention and Management : Neonatal Hypoglicemia Management : Recurrent Abdominal Pain: Diagnostic and Management : Common Problem in Infectious Disease in Outpatients : Screening for Critical Congenital Heart Diseases in Newborn : Tuberculosis Update: the Role of Pediatrician in Ambulatory Care Setting. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(13)

(14)

(15) Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases Sri Endah Rahayuningsih. Pendahuluan Penyakit jantung bawaan (PJB) kritis merupakan bagian dari penyakit jantung bawaan yang menyebabkan gejala yang berat dan mengancam jiwa yang memerlukan intervensi dalam tahun pertama kehidupan.1 Insidensi penyakit jantung bawaan di Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara 7 hingga 9 kasus tiap 1.000 kelahiran hidup. Dua puluh lima hingga 30% di antaranya merupakan penyakit jantung bawaan kritis. Penyakit jantung bawaan merupakan penyebab kematian terbanyak pada tahun pertama kehidupan dengan prevalensi 3% dari total kematian pada bayi dan lebih dari 40% total kematian akibat malformasi kongenital.1 Angka kelahiran di Indonesia menurut profil kependudukan dan pembangunan BKKBN tahun 2013 adalah 4.242.300 jiwa,2 dengan insidensi PJB sebesar 8−10% kelahiran hidup maka jumlah penderita PJB Indonesia tahun 2013 diperkirakan sekitar 339.384 hingga 424.230 kasus. Angka kelahiran di Jawa Barat pada tahun 2013 menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat sebesar 850.000 kelahiran tiap tahun 3 sehingga diperkirakan terdapat 68.000 hingga 85.000 kasus PJB tiap tahunnya di Jawa Barat. Dengan perkiraan prevalensi PJB kritis sebesar 25% dari seluruh PJB maka dapat diperkirakan pevalensi PJB kritis di Indonesia sebesar 84.846 hingga 106.057 kasus pada tahun 2013, sementara di Jawa Barat sekitar 17.000−21.250 kasus tiap tahunnya. Angka kematian akibat PJB kritis di Amerika Serikat mencapai 29% dari seluruh kematian akibat kelainan kongenital dan sekitar 5,7% seluruh kematian pada bayi. 4 Di Eropa Barat prevalensinya 45% dari seluruh kematian yang disebabkan oleh kelainan kongenital, sementara di Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Timur, dan Asia Pasifik (termasuk Jepang) proporsinya sekitar 35%, 37%, 42%, dan 48%. 5 Penyakit jantung bawaan kritis memiliki onset gejala dan derajat keparahan yang beragam. Gejala dapat timbul beberapa jam, hari bahkan minggu setelah kelahiran Bandung, 26–27 November 2016. 1.

(16) dengan gambaran klinis yang tidak begitu jelas, sementara pada keadaan lain dapat menimbulkan kebiruan, penurunan perfusi jaringan, serta sesak secara mendadak. Keadaan ini disebabkan oleh sirkulasi transisi pada 6−8 minggu pertama kehidupan serta mekanisme kompensasi tubuh untuk mempertahankan keseimbangan normal. Gejala baru jelas muncul setelah tubuh gagal mengompensasi proses kegawatan yang terus berlanjut atau pada kelainan yang sangat berat.4 Penyakit jantung bawaan kritis mencakup 7 kelainan primer yang menjadi target utama untuk skrining oksimetri karena hampir selalu menyebabkan hipoksemia. Penyakit jantung bawaan kritis primer meliputi sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia pulmonal, tetralogi Fallot, anomali total aliran vena pulmonal, transposisi arteri besar, atresia trikuspidalis, dan trunkus arteriosus.1 Keterlambatan diagnosis penyakit jantung bawaan kritis akan menyebabkan komplikasi serius termasuk kejang serta kegagalan organ vital termasuk henti jantung dan kematian. Deteksi dini merupakan kunci untuk dapat menegakkan diagnosis sebelum terjadi komplikasi serius pada PJB kritis.4 Untuk dapat melakukan deteksi dini diperlukan pengetahuan mengenai sirkulasi pada masa janin dan perinatal merupakan bagian terpenting dalam memahami patofisiologi, manifestasi klinis, dan perjalanan penyakit penyakit jantung bawaan kritis.. Sirkulasi Janin Terdapat perbedaan antara sirkulasi janin dan sirkulasi dewasa dalam beberapa hal. Hampir keseluruhan perbedaan terkait pada perbedaan lokasi pertukaran gas. Pada sirkulasi dewasa pertukaran gas terjadi di paru-paru, sedangkan pada janin pertukaran gas dan nutrisi terjadi di plasenta.6 Terdapat empat pirau pada sirkulasi janin, yaitu plasenta, duktus venosus, foramen ovale, dan duktus arteriosus. Hal-hal yang perlu diketahui pada sirkulasi janin. 6 1. Plasenta menerima darah terbanyak dari keluaran ventrikel (55% dari kiri dan kanan) dan memiliki tahanan terendah pada janin. 2. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(17) 2. Vena kava superior menerima aliran darah yang berasal dari bagian atas tubuh, termasuk aliran darah yang berasal dari otak (15% dari luaran ventrikel), vena kava inferior menerima aliran darah dari bagian bawah tubuh dan plasenta (70% dari total luaran ventrikel). Oleh karena oksigenasi darah terjadi di plasenta, saturasi oksigen di vena kava inferior (70%) lebih tinggi dibanding dengan vena kava superior (40%). Kadar tekanan oksigen tertinggi didapat dari vena umbilikalis (32 mmHg). 3. Sebagian besar aliran darah dari vena kava superior akan kembali ke ventrikel kanan. Sepertiga (⅓) darah dari vena kava inferior dengan kadar oksigen yang lebih tinggi akan kembali ke atrium kanan melalui foramen ovale dan ⅔-nya kembali ke ventrikel kanan dan arteri pulmonal. Dampak dari sirkulasi ini adalah otak dan sirkulasi koroner akan menerima darah dengan kadar oksigen yang tinggi (PO2: 28 mmHg) dibanding dengan bagian tubuh bawah (PO2: 24 mmHg). 4. Darah dengan kadar oksigen rendah pada arteri pulmonal akan mengalir melalui duktus arteriosus menuju aorta desenden dan selanjutnya ke plasenta untuk dioksigenasi.. Dimensi Ruang Jantung Perbandingan gabungan luaran ventrikel yang melewati ruang jantung dan pembuluh darah utama digambarkan pada dimensi relatif ruang jantung dan pembuluh darah. Oleh karena paru-paru hanya menerima 15% dari luaran ventrikel, percabangan dari arteri pulmonal sangat kecil yang akan menimbulkan terdengarnya murmur pada bayi baru lahir yang diaikbatkan oleh aliran darah yang melalui arteri pulmonal percabangan penting dalam pembentukan murmur pulmonalis pada bayi baru lahir. Ventrikel kanan memiliki ukuran yang lebih besar dan dominan dibanding dengan ventrikel kiri. Ventrikel kanan menerima 55% dari luaran ventrikel gabungan, sedangkan ventikel kiri menerima 45% dan luaran ventrikel gabungan. Sebagai tambahan, tekanan pada ventrikel kanan sama dengan tekanan ventrikel kiri (tidak seperti pada sirkulasi dewasa). Hal ini dapat tertangkap pada gambaran EKG bayi baru. Bandung, 26–27 November 2016. 3.

(18) lahir. yang. ventrikel. memperlihatkan. kanan. yang. lebih. tekanan tinggi. dibanding dengan EKG pada orang dewasa.6. Gambar 1 Diagram Sirkulasi Janin yang menunjukkan 4 pirau: plasenta, duktus venosus, foramen ovale, dan duktus arteriosus. Arsiran pada gambar menunjukkan kadar saturasi oksigen, dengan arsiran terang menunjukkan kadar PO2 tinggi. Angka pada ruang bilik dan kamar menunjukkan kadar PO2 dalam mmHg. IVC, inferior vena cava; LA, left atrium; LV, left ventricle; PV, pulmonary vein; RA, right atrium; RV, right ventricle; SVC, superiorvena cava; v, vein. Curah Jantung Janin Tidak seperti jantung orang dewasa yang mampu menambah isi sekuncup apabila terjadi penurunan denyut jantung, jantung bayi tidak mampu meningkatkan isi sekuncup apabila terjadi penurunan denyut jantung karena komplians jantung yang rendah. Oleh karena itu, curah jantung bayi sangat bergantung pada denyut jantung, apabila denyut jantung turun seperti pada keadaan tertekan, dampak bahaya muncul sebagai akibat penurunan curah jantung.6. Perubahan pada Sirkulasi Darah Setelah Lahir Perubahan utama yang terjadi pada sirkulasi darah setelah lahir adalah perpindahan tempat pertukaran gas dan nutrisi dari plasenta ke paru-paru. Sirkulasi plasenta berangsur-angsur menghilang dan sirkulasi paru-paru menetap.6. 4. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(19) 1. Pemotongan. tali pusat yang. akan menghentikan sirkulasi ke plasenta. mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: a. terjadi peningkatan tahanan sirkulasi sistemik (karena plasenta memiliki tahanan vaskular sistemik terendah pada janin); b. berhentinya aliran darah pada vena umbilikal menyebabkan penutupan duktus arteriosus. 2. Pengembangan paru-paru akan menyebabkan: a. penurunan tahanan vaskular pulmonal, peningkatan aliran darah pulmonal, dan penurunan tekanan arteri pulmonal (Gambar 2); b. penutupan foramen ovale secara fungsional akibat tekanan atrium kiri lebih tinggi daripada atrium kanan. Tekanan atrium kanan menurun akibat penutupan duktus venosus; c. penutupan duktus arteriosus persisten akibat peningkatan saturasi oksigen arteri pulmonalis. Perubahan tekanan vaskular pumonal dan penutupan duktus arterious persisten sangat penting dalam memahami berbagai jenis penyakit jantung bawaan.. Tahanan Vaskular Paru Tahanan vaskular pulmonal hampir sama tinggi dengan tahanan vaskular sistemik menjelang atau pada saat lahir. Tahanan vaskular pulmonal yang tinggi dipertahankan oleh peningkatan jumlah otot polos dinding pembuluh darah arteriol dan hipoksia alveoli yang disebabkan oleh kolaps paru. Pengembangan paru yang mengakibatkan peningkatan tekanan oksigen dalam alveoli menyebabkan penurunan cepat tahanan pembuluh darah paru. Penurunan yang cepat ini juga disebabkan oleh efek vasodilatasi dari oksigen pada pembuluh darah paru. Pada usia minggu ke-6 dan ke-8 terjadi penurunan yang lambat tahanan vaskular pulmonal dan tahanan sistemik. Penurunan ini berhubungan dengan penipisan lapisan tengah pembuluh darah pulmonal. Penurunan tahanan vaskular pulmonal akan berlangsung hingga usia. Bandung, 26–27 November 2016. 5.

(20) setelah 2 tahun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah alveoli dan pembuluh darah sekitarnya.6 Kondisi pada neonatus yang menyebabkan oksigenasi inadekuat dapat mengganggu proses pematangan (contoh: penipisan) arteri pulmonalis, menyebabkan pulmonal hipertensi atau penurunan tahanan vaskular pulmonal menjadi terlambat. 6 Contoh kasus adalah sebagai berikut: 1. Bayi dengan defek septum ventrikel besar (DSV) dapat tidak mengalami gagal jantung kongestif bila tinggal di dataran tinggi, tetapi dapat berkembang menjadi gagal jantung kongestif bila pindah ke daerah permukaan laut. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang terlambat tahanan vaskular pulmonal di daerah dataran tinggi. 2. Bayi prematur dengan penyakit membran hialin berat biasanya tidak berkembang menjadi gagal jantung kongestif karena tahanan vaskular pulmonal yang tinggi yang menyebabkan aliran pirau dari kiri ke kanan terbatas. Asidosis yang biasanya muncul pada bayi dengan penyakit ini dapat berkontribusi dalam mempertahankan tingginya tekanan vaskular paru. Gagal jantung kongestif dapat muncul jika penyakit membran hialinnya perbaikan karena terjadi peningkatan tekanan oksigen arteri yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah paru 3. Pada bayi dengan DSV besar disebabkan oleh aliran darah melalui pirau langsung menuju ke arteri pulmonalis yang menyebabkan tekanan arteri pulmonalis tetap tinggi. Gagal jantung terjadi bila terjadi penurunan tahanan pembuluh darah paru sehingga, gagal jantung kongestif tidak akan terjadi sebelum usia usia 6–8 minggu. Keadaan neonatus yang dapat mengganggu proses pematangan arteri pulmonalis. Peningkatan tekanan atrium kiri atau vena pulmonalis disebabkan oleh 1. hipoksia atau ketinggian; 2. penyakit paru (contoh: penyakit membran hialin); 3. asidemia; 4. peningkatan tekanan arteri pulmonal akibat dari defek septum ventrikel besar atau patent ductus arteriosus. 6. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(21) Penutupan Duktus Arteriosus Penutupan duktus arteriosus secara fungsional terjadi dalam 10–15 jam setelah proses persalinan yang terjadi akibat konstriksi otot polos bagian medial duktus. Penutupan anatomi terjadi secara sempurna pada usia 2–3 minggu dengan perubahan secara permanen pada lapisan endotelium dan subintimal duktus. Oksigen, kadar prostaglandin E2 (PGE2), dan maturitas neonatus merupakan faktor yang berperan dalam penutupan duktus tersebut. Asetilkolin dan bradikinin juga memiliki pengaruh pada konstriksi duktus.6 Oksigen dan Duktus. Pada kondisi pascapersalinan terjadi peningkatan saturasi oksigen dalam sirkulasi sistemik (dari PO2 25 mmHg di dalam uterus menjadi 50 mmHg setelah terjadi pengembangan paru). Hal ini merupakan stimulus terkuat untuk terjadi konstriksi pada otot polos duktus sehingga pada akhirnya terjadi penutupan duktus. Respons otot polos duktus terhadap oksigen berhubungan dengan usia gestasi; jaringan duktus pada bayi prematur kurang berespons terhadap oksigen dibanding dengan bayi cukup bulan. Penurunan respons duktus bayi prematur terhadap oksigen disebabkan oleh penurun sensitivitas konstriksi yang diinduksi oleh oksigen; hal ini bukan akibat perkembangan otot polos yang kurang karena duktus bayi prematur memiliki respons konstriksi yang baik terhadap asetilkolin. Hal ini juga dapat disebabkan oleh kadar PGE2 yang tetap tinggi pada bayi kurang bulan.6. Peran Prostaglandin E pada Duktus Arteriousus Beberapa keadaan klinis yang memperlihatkan kadar prostaglandin penting dalam menjaga patensi duktus arteriosus pada janin.6 1. Penurunan kadar PGE2 setelah persalinan akan menyebabkan konstriksi duktus. Penurunan kadar tersebut terjadi karena hilangnya plasenta yang menghasilkan PGE2 pada saat persalinan dan juga karena peningkatan aliran darah pulmonal yang menyebabkan pembuangan PGE2 oleh pulmonal.. Bandung, 26–27 November 2016. 7.

(22) 2. Efek konstriksi indometasin atau ibuprofen serta efek dilatasi dari PGE 2 dan PGI2 lebih besar pada jaringan duktus bayi kurang bulan dibanding dengan bayi cukup bulan. 3. Pertahanan patensi duktus dapat dijaga dengan pemberian sintentik PGE 1 intravena yang dapat diberikan pada bayi atresia pulmonal yang kehidupannya bergantung pada patensi duktus. 4. Indometasin atau ibuprofen, suatu inhibitor siklooksigenase (inhibitor sintesis PG) dapat digunakan untuk menutup PDA pada bayi kurang bulan. 5. Konsumsi aspirin, inhibitor sintesis PG oleh ibu dalam jumlah cukup banyak, dapat membahayakan janin. Aspirin dapat menyebabkan konstriksi duktus pada masa fetus dan dapat menyebabkan hipertensi pulmonal persisten pada bayi.. Pembukaan Duktus yang Berkonstriksi Duktus arteriousus yang telah berkonstriksi dan tertutup secara fungsional masih dapat berdilatasi akibat penurunan PO2 arteri atau peningkatan konsentrasi PGE2. Pembukaan kembali duktus yang berkonstriksi dapat terjadi pada penderita asfiksia atau dengan berbagai penyakit pulmonal (hipoksia dan asidosis jaringan duktus). Penutupan duktus dapat terjadi terlambat pada penderita yang tinggal di dataran tinggi. Insidensi PDA lebih tinggi di daerah dengan dataran tinggi lebih tinggi dibanding dengan pada permukaan laut. Pada beberapa neonatus (contoh: pada penderita koartasio aorta), pemberian PGE1 secara intravena dapat membuka duktus yang mengalami konstriksi baik secara parsial dan komplet. 6. Respons Arteri Pulmonal dan Duktus Arteriosus terhadap Berbagai Rangsangan Respons arteri pulmonal terhadap oksigen dan asidosis berlawanan terhadap duktus arteriosus. Hipoksia dan asidosis menyebabkan efek dilatasi pada duktus arteriosus, namun dapat menyebabkan konstriksi pada arteri pulmonalis. Arteri pulmonalis juga dapat mengalami konstriksi akibat stimulasi simpatis dan stimulasi α-adrenergik. 8. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(23) (epinefrin, nor-epinefrin). Stimulasi vagal, stimulasi β-adrenergik (isoproterenol), dan bradikinin menyebabkan dilatasi arteri pulmonalis.6. Klasifikasi Penderita PJB kritis dapat dibagi dalam 4 kelompok:7,8 1. PJB kritis dengan sirkulasi pulmonal yang kurang (inadequate pulmonary blood flow)/ductal dependent pulmonary circulation/right sided obtructive lesions Pada PJB ini aliran pembuluh darah paru untuk oksigenasi disediakan oleh sirkulasi sistemik (aorta) melalui duktus arteriosus (yang berasal dari aorta ke arteri pulmonalis). Lesi ini biasanya disertai dengan sianosis berat. Contoh lesi PJB pada kelompok ini antara lain: - tetralogy of Fallot (TOF) dengan atresia pulmonal; - atresia pulmonal; - atresia pulmonal dengan septum ventrikular intak; - stenosis pulmonal berat; - Ebstein’s anomaly berat; - transposition of great arteries (TGA) komplet dengan septum ventrikular intak. 2. PJB kritis dengan sirkulasi sistemik yang kurang (inadequate systemic blood flow)/ductal dependent systemic circulation/left sided obtructive lesions Pada PJB ini output sistemik disediakan oleh sistem arteri pulmonalis melalui duktus arteriosus (mengalir dari arteri pulmonalis utama ke aorta). Lesi ini biasanya bergejala hipotensi sistemik, syok, atau kolaps seiring dengan penutupan duktus ateriosus setelah proses kelahiran. Kelompok ini adalah: - hypoplastic left heart syndrome (HLHS); - stenosis aorta berat; - koarktasio aorta; - interrupted aortic arch (IAA).. Bandung, 26–27 November 2016. 9.

(24) 3. PJB kritis dengan pencampuran darah yang tidak memadai (inadequate mixing)/ductal independent mixing lesions Pada PJB ini didapatkan sianosis dan gagal jantung kongestif atau edema paru dan terjadi peningkatan aliran darah menuju paru. Contoh lesi jantung pada kelompok ini adalah TGA. Pada TGA terdapat sirkulasi yang bersifat paralel antara sirkulasi sistemik dan pulmonal, sedangkan untuk dapat bertahan hidup harus terjadi pencampuran darah (mixing) antara kedua sistem sirkulasi tersebut melalui PFO (persistent foramen ovale) atau PDA (persistent ductus arteriosus). 4. PJB kritis dengan pertukaran gas/udara yang tidak memadai (inadequate gas exchange) Lesi PJBK pada kelompok ini adalah TAPVR (total anomalous pulmonary venous return). Pada lesi ini semua aliran darah vena pulmonalis kembali ke atrium kanan melalui berbagai koneksi antara vena pulmonalis dan sistem jantung kanan (vena innominata, vena kava superor, sinus koronarius, sistem porta atau vena kava inferior). Akibatnya, terjadi pencampuran darah (mixing) di level atrium kanan (menimbulkan sianosis) dan oversirkulasi paru (menimbulkan edema paru). Sirkulasi sistemik dipertahankan dengan pirau kanan ke kiri melalui PFO atau ASD (atrial septal defek).6 Berdasarkan target utama skrining PJB kritis, terdapat 7 kelainan primer yang menjadi target utama untuk skrining oksimetri karena hampir selalu menyebabkan hipoksemia. Penyakit jantung bawaan kritis primer meliputi sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia pulmonal, tetralogi Fallot, anomali total aliran vena pulmonal, transposisi arteri besar, atresia trikuspidalis, dan trunkus arteriosus. 1. Sindrom Hipoplasia Jantung Kiri (Hypoplastic Left Heart Syndrome, HLHS) Sindrom hipoplasia jantung kiri (hypoplastic left heart syndrome, HLHS) merupakan sekelompok kelainan anatomi jantung berspektrum luas yang pada umumnya berupa hipoplasia pada ventrikel kiri disertai hipoplasia aorta asenden. 6,7 Spektrum ini bervariasi dari hanya berupa hipoplasia ringan ventrikel kiri, stenosis ringan katup 10. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(25) aorta dan koartasio aorta, hingga berupa tidak terbentuknya ventrikel kiri sama sekali, atresia aorta disertai terputusnya arkus aorta (interrupted aortic arch).7 Tanpa intervensi dini kelainan ini berakibat fatal.1,6,9,10. Gambar 2 Anatomi dan Patofisiologi Hypoplastic Left Heart Syndrome I. Tetralogy of Fallot Tetralogy of Fallot (TOF) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang pada umumnya terdiri atas 4 kelainan: defek septum ventrikel (VSD) perimembran, aorta overriding terhadap VSD, stenosis pulmonalis infundibular dengan atau tanpa stenosis valvar atau supravalvar, dan hipertrofi ventrikel kanan (Gambar 2).6,11. Gambar 3 Anatomi dan Patofisiologi Tetralogi Fallot Bandung, 26–27 November 2016. 11.

(26) II. Atresia Katup Pulmonal dengan Septum Ventrikel Utuh (Pulmonary Atresia with Intact Septum, PA-IVS) Pada jantung dengan PA-IVS tidak ditemukan katup pulmonalis, ventrikel kanan yang kecil dan katup trikuspidalis yang paten, serta tidak disertai dengan defek pada septum ventrikel (VSD). Prevalensi PA-IVS <1% dari seluruh PJB dan sekitar 2,5% dari seluruh PJB kritis.6,12 Tertutupnya aliran darah ke arteri pulmonalis akibat PA-IVS menyebabkan tekanan di ventrikel kanan menjadi tinggi. Pada PA-IVS biasanya foramen ovale tetap terbuka, hal ini memungkinkan terjadi pirau dari jantung kanan ke jantung kiri tingkat atrial serta penurunan tekanan dari atrium kanan. Pirau menyebabkan tercampurnya darah miskin dan kaya oksigen di atrium kiri yang kemudian dipompa oleh ventrikel kanan ke seluruh tubuh melalui aorta. Duktus arteriosus yang terbuka menjadi satu-satunya sumber aliran darah pulmonal (Gambar 3).6,12. Gambar 4 Anatomi dan Patofisiologi Atresia Pulmonalis dengan Septum Ventrikel Intak III. Transposisi Arteri Besar (Transposition of The Great Arteries, TGA) Transposisi arteri besar merupakan penyakit jantung bawaan yang ditandai dengan malposisi pembuluh darah besar, aorta yang seharusnya keluar dari ventrikel kiri pada TGA keluar dari ventrikel kanan dan membawa darah dengan kadar oksigen 12. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(27) rendah ke dalam sirkulasi sitemik, sementara arteri pulmonalis yang seharusnya keluar dari ventrikel kanan pada TGA keluar dari ventrikel kiri di bagian posterior aorta dan membawa kembali darah yang sudah teroksigenasi kembali ke paruparu.6 Untuk dapat bertahan hidup penderita TGA memerlukan defek intrakardiak yang dapat mencampur darah dari kedua sistem sirkulasi di tingkat atrium, ventrikel, maupun duktus arteriosus. Gejala PJB kritis muncul bila penderita tidak memiliki atau bila defek intrakardiak terlalu kecil untuk dapat mempertahankan saturasi oksigen darah sistemik.6. Gambar 5 Anatomi dan Patofisiologi Transposisi Arteri Besar IV. Trunkus Arteriosus Trunkus arteriosus adalah hanya terdapat satu pembuluh darah besar yang keluar dari ventrikel kanan disertai defek septum ventrikel. Arteri koroner, arteri pulmonalis, dan aorta keluar dari satu pembuluh yang bermuara (override) di antara VSD perimembran atau infundibuler besar (Gambar 5). Katup trunkus dapat berupa katup bikuspidalis, trikuspidalis, atau kuadrikuspidalis yang umumnya inkompeten.4,13. Bandung, 26–27 November 2016. 13.

(28) Gambar 6 Anatomi dan Patofisiologi Trunkus Arteriosus VI. Total Anomalous Pulmonary Vein Return (TAPVR) Total anomalous pulmonary vein return (TAPVR) merupakan penyakit jantung bawaan yang ditandai dengan bemuaranya semua aliran vena pulmonal ke vena sistemik atau ke atrium kanan sehingga penderita dapat bertahan hidup hanya jika terdapat defek interatrial baik melalui defek septum atrial (ASD) dan foramen ovale persisten (PFO) yang tidak restriktif.6. Gambar 7 Anatomi dan Patofisiologi TAPVR 14. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(29) VII. Atresia Trikuspidalis Atresia trikuspidalis adalah tidak terdapat katup trikuspidalis sehingga tidak terdapat hubungan antara atrium kanan dan ventrikel kanan disertai dengan ventrikel kanan yang tidak berkembang (Gambar 8). Terdapat defek interatrial, interventrikel, atau PDA dibutuhkan untuk tetap bertahan hidup. Prevalensi atresia trikuspidalis sekitar 1−3% dari PJB pada anak. Atresia trikuspidalis biasanya diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya stenosis pulmonal dan transposisi pembuluh darah besar. Tiga puluh persen kasus atresia trikuspidalis disertai dengan TGA, 3% dalam bentuk L transposisi (congenitally corrected TGA). Sebanyak 90% kasus disertai dengan VSD yang memungkinkan terjadi pertukaran darah dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan yang selanjutnya ke dalam arteri pulmonalis. Sianosis terjadi karena aliran darah vena sistemik yang masuk ke atrium kanan melalui ASD, PFO, atau ASD yang akan bercampur dengan darah v. pulmonalis di atrium kiri.6,14. Gambar 8 Anatomi dan Patofisiologi Atresia Trikuspidalis Peran Pemeriksaan Saturasi Oksigen pada Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis Deteksi dini dengan oksimetri tidak memerlukan waktu lama, kemampuan teknis maupun harga yang mahal sehingga dapat digunakan sebagai alat deteksi dini yang. Bandung, 26–27 November 2016. 15.

(30) universal. Pemeriksaan oksimetri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan prenatal menggunakan USG meningkatkan keberhasilan deteksi dini penyakit jantung bawaan kritis yang pada akhirnya meningkatkan long term survival rate penderita.8,15. Semua bayi sehat diruang perawatan usia 24-48 jam atau sebelum pulang jika pulang <24jam Pemeriksaan dengan oksimetri <90% pada kaki atau tangan kanan. 90-<95% atau perbedaan kaki dan tangan kanan >3%. ≥95% atau perbedaan kaki dan tangan kanan ≤1%. Pemeriksaan ulang. <90% pada kaki atau tangan kanan. 90-<95% atau perbedaan kaki dan tangan kanan >3%. ≥95% atau perbedaan kaki dan tangan kanan ≤1%. Pemeriksaan ulang <90% pada kaki atau tangan kanan. 90-<95% atau perbedaan kaki dan tangan kanan >3%. Positif. ≥95% atau perbedaan kaki dan tangan kanan ≤1% Negatif. Gambar 9 Algoritme Skrining Penyakit Jantung Bawaan Kritis dengan Oksimetri pada Bayi Baru Lahir Ringkasan Penyakit jantung bawaan (PJB) kritis merupakan bagian dari penyakit jantung bawaan yang menyebabkan gejala yang berat dan mengancam jiwa serta memerlukan intervensi dalam tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung bawaan kritis mencakup 7 kelainan primer yang menjadi target utama untuk deteksi dini dengan oksimetri karena hampir selalu menyebabkan hipoksemia. Penyebab kesakitan dan kematian pada anak PJB kritis adalah ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi sebelum sempat dilakukan intervensi paliatif atau definitif. Deteksi dini dengan oksimetri pada neonatus secara dramatis mengurangi morbiditas. 16. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(31) dan mortalitas dari berbagai kondisi penyakit jantung bawaan kritis. Pemahamam patomekanisme PJB kritis dapat menjadi dasar dilakukan diagnosis dini yang memungkinkan tindakan paliatif maupun koreksi definitif segera pada bayi PJB kritis yang mengancam nyawa sehingga memiliki prognosis jangka pendek maupun jangka panjang yang lebih baik. Dokter anak memegang peranan penting dalam melakukan deteksi dini untuk mempercepat diagnosis dan tindakan emergensi sebelum terjadi komplikasi dan kematian akibat PJB kritis.. Daftar Pustaka 1.. Knapp AA, Matterville DR, Kemper AR, Prosser L, Perrin JM. Evidence review: critical congenital cyanotic heart disease. Dalam: Perrin J, penyunting. Critical congenital heart disease final draft. Massachusetts: MGH Center for Child and Adolescent Health; 2010. hlm. 1−41.. 2.. BKKBN. Profile Kependudukan dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: BKKBN; 2013.. 3.. Putra Y. 850 ribu bayi lahir di Jabar tiap tahun. Republika Online. 2013. [diunduh 9 November 2014]. Tersedia dari: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawabarat-nasional/13/10/18/muuwhx-850-ribu-bayi-lahir-di-jabar-tiap-tahun.. 4.. Schultz AH, Localio AR, Clark BJ, Ravishankar C, Videon N, Kimmel SE. Epidemiologic features of the presentation of critical congenital heart disease: implications for screening. Pediatrics. 2008;121(4):751−7.. 5.. Sayasathid J, Sukonpan K, Somboonna N. Epidemiology and etiology of congenital heart diseases. Dalam: Rao PS, penyunting. Congenital heart disease-selected aspects. Rijeka, Croatia: InTech Europe; 2012. hlm. 47–84.. 6.. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.. 7.. Yun SW. Congenital heart disease in the newborn requiring early intervention. Korean J Pediatr. 2011;54(5):183–91.. Bandung, 26–27 November 2016. 17.

(32) 8.. Lee JY. Clinical presentations of critical cardiac defects in the newborn: decision making and initial management. Korean J Pediatr. 2010;53(6):669–79.. 9.. Gruber PJ, Spray TL. Hypoplastic left heart syndrome. Dalam: Gruber P, penyunting. Congenital cardiac surgery. London: MBHD; 2006.. 10. Liberman RF, Getz KD, Lin AE, Higgins CA, Sekhavat S, Markenson GR, dkk. Delayed diagnosis of critical congenital heart defects: trends and associated factors. Pediatrics. 2014;134(2):e373−81. 11. Bailliard F, Anderson R. Tetralogy of Fallot. Orphanet J Dis. 2009;4(2):1−10. 12. Burkholder H, Balaguru D. Pulmonary atresia with intact ventricular septum: management options and decision-making. Pediat Therapeut. 2012;S5:007. doi:10.4172/2161-0665.S5-007. 13. Sommer RJ, Rhodes JF, Parness IA. Physiology of critical pulmonary valve obstructionin the neonate. Catheter Cardiovasc Interv. 2000;50(4):473−9. 14. Berg C, Lachmann R, Kaiser C, Kozlowski P, Stressig R, Schneider M, dkk. Prenatal diagnosis of tricuspid atresia: intrauterine course and outcome. Ultrasound Obstet Gynecol. 2010;35(2):183−90. 15. Kemper AR, Mahle WT, Martin GR, Cooley WC, Kumar P, Morrow WR, dkk. Strategies for implementing screening for critical congenital heart disease. Pediatrics. 2011;128(5):1259−66.. 18. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(33) Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis dalam Praktik Sehari-hari Rahmat Budi Kuswiyanto. Pendahuluan Penyakit jantung bawaan (PJB) atau congenital heart disease (CHD) adalah kelainan jantung akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan jantung pada masa janin yang terbawa sampai lahir. PJB merupakan malaformasi bawaan terbanyak pada bayi baru lahir dengan prevalensi 6–13 tiap 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia diperkirakan 50.000 bayi baru lahir dengan PJB setiap tahun. PJB merupakan penyebab utama kematian perinatal dan bayi akibat kelainan bawaan lahir, walaupun saat ini luaran mengalami perbaikan dengan kemajuan intervensi terapi, baik bersifat paliatif atau korektif.1,2 PJB kritis (critical CHD) dengan proporsi 25% dari seluruh PJB adalah PJB yang membutuhkan intervensi transkateter atau bedah dalam tahun pertama kehidupan, termasuk di dalamnya PJB bergantung pada duktus dan PJB sianosis yang tidak bergantung pada duktus. PJB sianosis (cyanotic CHD) adalah PJB dengan lesi yang menyebabkan pencampuran sirkulasi darah tidak teroksigenasi/miskin oksigen (deoxygenated blood) ke dalam sirkulasi sistemik melalui pirau intrakardiak atau ekstrakardiak. PJB bergantung pada duktus (ductal-dependent CHD) adalah PJB dengan lesi dengan pasokan darah sistemik atau paru atau pencampuran darah kaya oksigen dengan darah miskin oksigen antara sirkulasi paralel bergantung pada terbukanya duktus arteriosus. Penutupan duktus akan menyebabkan kematian.3 PJB kritis yang terlambat didiagnosis merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada bayi. Bayi dengan PJB kritis dapat memperlihatkan manifestasi klinis segera setelah lahir dengan keadaan sakit yang berat dan mengancam jiwa yang memerlukan intervensi cepat, tetapi dapat pula terlihat normal sampai saat dipulangkan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bentuk lesi dan perubahan sirkulasi transisi yang terjadi.. Bandung, 26–27 November 2016. 19.

(34) Manifestasi klinis yang berat pada bayi PJB kritis dapat berupa syok, sianosis, napas cepat (takipnea), dan edema paru. Laporan dari Swedia dan Inggris menyatakan 20– 25% PJB kritis terdiagnosis setelah pulang dari rumah sakit dan 5% terdiagnosis setelah bayi meninggal. Di Amerika 70% bayi PJB kritis tidak terdiagnosis sebelum usia 2 hari dan 20% di antaranya dipulangkan ke rumah. 4–8 Oleh karena itu, identifikasi dan deteksi dini PJB kritis penting untuk diketahui serta dilakukan oleh primary care provider, dokter umum, dan dokter anak terutama dalam hal mengenali dan identifikasi sedini-dininya sebelum timbul dekompensasi kardiovaskular atau organ lain. Hal ini dengan melakukan pemeriksaan rutin yang cermat dalam praktik sehari-hari, melakukan stabilisasi dan rujukan yang tepat sehingga dapat mengurangi komplikasi serta secara tidak langsung dapat menurunkan angka kematian bayi.. Presentasi Klinis Penyakit Jantung Bawaan Penurunan Perfusi Sistemik Perfusi sistemik dinilai dari warna kulit, suhu kulit, tekanan darah, pulsasi perifer, dan waktu pengisian kapiler. Pemeriksaan pulsasi arteri pada ekstremitas bawah merupakan bagian penting untuk evaluasi kelainan jantung pada bayi baru lahir untuk identifikasi PJB kritis. Pemeriksaan pulsasi nadi ekstremitas bawah dapat dilakukan pada arteri femoralis, arteri dorsalis pedis, atau arteri tibialis posterior. Pulsasi yang menurun atau tidak teraba di tempat tersebut merupakan tanda penting untuk PJB kritis karena merupakan tanda obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, misalnya stenosis aorta kritis, coarctatio aorta yang berat, interrupted aortic arch, hipoplasia ventrikel kiri, dan disfungsi kardiak primer. Perfusi yang terganggu sering ditemukan pada bayi dengan sepsis dan kelainan metabolik sehingga bayi dengan lesi obstruktif ventrikel kiri sering didiagnosis sebagai sepsis. Bayi dengan coarctasio yang signifikan mempunyai tekanan darah ekstremitas atas lebih tinggi dibanding dengan ekstremitas bawah, ekstremitas bawah teraba lebih dingin dan tampak mottled yang harus dibedakan dengan kutis marmorata. 20. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(35) Pada obstruksi jantung kiri duktus sangat vital untuk memasok darah ke dalam sirkulasi sistemik, misalnya pada hypoplastic left heart syndrome (HLHS), critical aortic valve stenosis, critical coarctation of the aorta (COA), dan interrupted aortic arch. Penutupan duktus dapat menyebabkan penurunan perfusi sistemik dan syok. Penurunan perfusi sistemik dapat pula terjadi pada total anomalous pulmonary venous drainage (TAPVD) yang mengalami obstruksi.5. Sianosis Sianosis merupakan tanda penting untuk PJB kritis akibat peningkatan deoxygenated hemoglobin ke dalam sirkulasi sistemik walaupun secara klinis sering kali tidak tampak bila desaturasi bersifat ringan atau pada bayi dengan anemia. Sianosis pada PJB bersifat sentral karena terjadi pencampuran sirkulasi darah tidak teroksigenasi (deoxygenated blood) ke dalam sirkulasi sistemik melalui pirau intrakardiak atau ekstrakardiak. Pencampuran ini dapat terjadi pada tingkat arterial, atrial, dan ventrikular. Pencampuran darah miskin oksigen ke dalam sirkulasi sistemik disertai penurunan aliran darah paru terjadi pada pulmonary atresia, tetralogy of Fallot, dan tricuspid atresia. Pada bayi dengan obstruksi saluran keluar ventrikel kanan, aliran darah paru akan dipasok dari aorta melalui duktus arteriosus sehingga penutupan duktus menyebabkan perburukan klinis seperti asidosis metabolik, syok, henti jantung, kejang, kerusakan organ tubuh lain, bahkan kematian. Kehidupan bayi dengan sirkulasi paru dan sistemik yang paralel seperti pada transposisi arteri besar bergantung pada pencampuran darah kaya dan miskin oksigen di tingkat ventrikel, atrial, dan arterial. Duktus yang terbuka memungkinkan terjadi pencampuran sirkulasi darah kaya oksigen dengan sirkulasi darah miskin oksigen di tingkat arterial. Pencampuran yang tidak adekuat menyebabkan sianosis, hipoksemia, asidosis, gagal organ, dan kematian. Sianosis perifer sering terjadi pada bayi baru lahir yang terlihat pada tangan, kaki, dan daerah perioral, sedangkan sianosis sentral dapat terlihat pada lidah, gusi serta mukosa bukal, dan lebih terlihat saat menangis atau minum. Dibanding dengan anak besar, sianosis pada bayi baru lahir sering kali tidak tampak secara klinis, terutama bila. Bandung, 26–27 November 2016. 21.

(36) desaturasi bersifat ringan atau pada bayi anemia sehingga diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan saturasi oksigen.3 Bayi dengan sianosis dapat pula disebabkan oleh kelainan lain di luar jantung seperti kelainan struktur saluran napas, respiratory distress syndrome, congenital or acquired airway obstruction, pneumotoraks, hypoventilation, methemoglobin, perfusi yang buruk seperti pada sepsis, hipoglikemia, dehidrasi, hipoadrenalisme, dan persistent pulmonary hypertension.9. Gejala dan Tanda pada Sistem Respirasi Pada bayi PJB dapat terjadi perubahan frekuensi dan kualitas napas yang harus dibedakan terutama akibat kelainan pada saluran napas dan paru. Evaluasi lebih lanjut diperlukan untuk mencari etiologi bila ditemukan bayi dengan takipnea, apakah kelainan jantung atau organ lain. Tanda yang lebih mengarah kepada kelainan pada saluran napas dan paru bila didapatkan peningkatan upaya napas seperti retraksi, pernapasan cuping hidung, bunyi napas abnormal atau bunyi napas tambahan seperti penurunan atau peningkatan suara napas, stridor, grunting, dan crackles. Pada bayi PJB kritis terdapat napas cepat sering kali tidak disertai upaya napas yang menonjol tanpa disertai bunyi napas tambahan. Bayi dapat memperlihatkan napas yang cepat atau kesulitan bernapas, sesak yang bertambah saat minum atau batuk terus menerus, kesulitan minum berupa terbatasnya jumlah minum, atau membutuhkan waktu yang lama saat minum, minum yang terputus karena perlu istirahat atau tertidur, tersedak, atau muntah. Hal ini terjadi akibat peningkatan aliran darah paru yang berlebihan seperti pada truncus arteriosus, TAPVD, lesi dengan pirau kiri ke kanan seperti pada PDA atau VSD besar. Gejala ini umumnya dapat terlihat mulai 4 jam sampai 6 minggu setelah lahir karena penurunan resistensi vaskular paru. 5. 22. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(37) Tabel 1 Perbedaan Tanda Kelainan Jantung dan Paru pada Bayi dengan Sianosis Menangis Pemeriksaan fisis. PaCO2 Pemberian oksigen Foto dada. EKG. Kelainan Jantung. Kelainan Paru. Sianosis bertambah. Takipnea. Murmur, pulsasi lemah/hilang. PD paru normal. Normal atau menurun. Respons minimal. Bentuk dan ukuran jantung abnormal, situs abnormal, vascular marking berubah. Dapat abnormal.. Sianosis berkurang. Retraksi, grunting, apnea. Suara napas berubah, BJ normal. Meningkat. Responsif. Kelainan dominan di parenkim paru. Normal.. Murmur Murmur sering kali dihubungkan dengan PJB, tetapi tidak semua PJB disertai murmur dan bayi dengan murmur tidak selalu disertai dengan kelainan struktur jantung yang berat. Sampai saat ini murmur pada bayi baru lahir sering disalahartikan sebagai tanda kelainan jantung yang harus segera dirujuk. Murmur saja tanpa sianosis, perfusi yang menurun atau takipnea bukan merupakan tanda PJB kritis dan tidak perlu segera dirujuk. Murmur dapat ditemukan pada bayi normal tanpa kelainan jantung, tetapi tidak ditemukan pada 50% bayi dengan kelainan jantung simtomatis dan kritis sehingga murmur mempunyai nilai yang tidak signifikan untuk menilai PJB kritis dan hanya memerlukan evaluasi ulang untuk menentukan kelainan yang mendasarinya. Pemahaman perubahan sirkulasi dan hemodinamik yang terjadi secara alamiah pada bayi lahir akan memengaruhi presentasi klinis. Murmur terdengar makin jelas setelah bayi berusia 4–8 minggu pada saat tahanan vaskular paru sudah menurun. Kecepatan turbulensi darah tidak cukup untuk menimbulkan murmur seperti pada hypoplastic left heart syndrome (HLHS), transposition of the great artery (TGA), total anomalous pulmonary venous drainage (TAPVD), pulmonary atresia, dan kardiomiopati. Peningkatan resistensi vaskular paru mengurangi aliran darah sehingga jumlah dan kecepatan darah yang melewati tidak cukup untuk sampai terdengar pada auskultasi sebagai murmur.. Bandung, 26–27 November 2016. 23.

(38) Pertumbuhan yang Tidak Optimal Penilaian terhadap pertumbuhan sangat penting untuk menilai kelainan jantung lebih dini terutama pada saat bulan pertama atau lebih setelah lahir. Bayi PJB dapat mengalami kesulitan minum berupa terbatasnya jumlah minum atau membutuhkan waktu yang lama saat minum, sering terputus karena perlu istirahat, atau lebih cepat tertidur, tersedak, dan muntah. Selain itu, bayi PJB berisiko mengalami ketidakseimbangan energi akibat peningkatan kebutuhan energi, kesulitan minum, asupan nutrisi yang tidak adekuat, gangguan absorpsi saluran pencernaan, dan regulasi pertumbuhan yang terganggu.. Peranan Pulse Oximetry untuk Skrining PJB Kritis Identifikasi dan deteksi PJB kritis sulit dilakukan dengan pemeriksaan fisis saja. Bahkan program fetal ekokardiografi terbukti gagal untuk dapat meningkatkan angka deteksi. Banyak penelitian menyatakan pemeriksaan pulse oximetry yang melengkapi pemeriksaan fisis dapat meningkatkan efektivitas deteksi dini PJB kritis dengan sensitivitas 76,5% dan spesifisitas 99%. Untuk program skrining PJB kritis pada bayi baru lahir pemeriksaan pulse oximetry selain bersifat noninvasif dan tidak menyakitkan, juga lebih unggul dibanding dengan ekokardiografi karena lebih murah dan mudah disediakan walaupun hasil tes negatif belum menyingkirkan kemungkinan kelainan jantung dan hasil tes positif tidak selalu disebabkan oleh kelainan jantung dengan false positive sebesar 0,14%.10–16 Skrining PJB kritis menggunakan pulse oximetry merupakan program yang penting dengan tujuan memperbaiki luaran anak dengan mengenali secara dini PJB kritis sebelum terjadi gejala dan dekompensasi kardiovaskular. Oleh karena itu, sejak bulan September 2011 pemeriksaan pulse oximetry telah resmi masuk panel skrining untuk bayi baru lahir di Amerika.17 Levesque dkk.18 mengamati terdapat peningkatan saturasi oksigen pada bayi baru lahir cukup bulan yang normal saat lahir, usia 24 jam dan saat pulang dengan median 97,2% dan saturasi di bawah 2SD sebesar 94%, serta tidak terdapat perbedaan pada bayi yang lahir spontan atau melalui operasi cesar.18 Banyak laporan lain mendapatkan 24. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(39) hasil yang sama sehingga rekomendasi untuk batas normal saturasi oksigen adalah 95% atau lebih. Saturasi oksigen arterial dalam 24 jam pertama setelah lahir memperlihatkan hasil yang bervariasi dan banyak bayi baru lahir yang sehat mempunyai saturasi kurang dari 95% sehingga skrining sebelum 24 jam memberikan hasil false-positive yang signifikan. Pengukuran pulse oximetry yang dilakukan pada tangan kanan dan kaki meningkatkan sensitivitas tanpa menurunkan spesifisitas. PJB kritis dianggap positif pada pengukuran pulse oximetry bila saturasi kurang dari 95% pada tangan atau kaki atau perbedaan tangan dengan kaki ≥3%, dengan sensitivitas mencapai 98,5%, spesifisitas 96%, positive predictive value 89%, dan negative predictive value 99,5%.12,13,17 Pemeriksaan pulse oximetry untuk skrining PJB kritis dilakukan pada bayi bugar yang belum memperlihatkan gejala dan tanda kelainan jantung pada pemeriksaan fisis, dilakukan di ruang bayi pada usia lebih dari 24 jam atau paling sedikit sebelum dipulangkan,12,13,17 bahkan dapat dilakukan pada bayi lahir di rumah yang dilakukan pada tangan kanan dan salah satu kaki dalam keadaan tenang dan tanpa pemberian oksigen.19–20 Hasil disebut positif (gagal) bila hasil pengukuran pulse oximetry kurang dari 90% pada kedua tempat pengukuran, disebut negatif (lolos) bila saturasi di tangan kanan dan kaki ≥95% dan perbedaan di kedua tempat ≤3%, tetapi bila hasil pengukuran saturasi 90–<95% atau perbedaan di tangan kanan dan kaki >3%, pemeriksaan diulang dalam 1 jam. Bila hasil ulang masih tetap sama seperti pemeriksaan pertama disebut positif (gagal). Perlu diingat hasil negatif bukan berarti telah menyingkirkan kelainan jantung sama sekali. Hasil positif memerlukan evaluasi lebih lanjut berupa monitoring pulse oximetry kontinu dan ekokardiografi (Gambar 1).12,13,17. Pendekatan Praktis Deteksi Dini PJB Kritis Target Skrining PJB pada bayi baru lahir sulit dideteksi hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis karena terdapat proses perubahan sirkulasi transisi intrauterin ke ekstrauterin.. Bandung, 26–27 November 2016. 25.

(40) Sianosis, perfusi sistemik yang menurun, napas cepat atau bunyi jantung tambahan sering kali belum terlalu jelas bermanifestasi pada bayi baru lahir. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan praktis yang dapat dilakukan oleh primary care provider dalam praktik sehari-hari untuk meningkatkan identifikasi dan deteksi dini PJB kritis sebelum timbul komplikasi.21,22 Informasi yang diperoleh untuk evaluasi harus menuntun secara logis, mulai dari mengenali tanda utama, menentukan proses patofisiologi yang terjadi, dan menentukan diagnosis yang spesifik. Menurut AAP skrining dan identifikasi dini PJB kritis terutama ditujukan untuk tujuh target kelainan spesifik berikut.17 1. Hypoplastic left heart syndrome. 2. Pulmonary atresia. 3. Tetralogy of Fallot. 4. Total anomalous pulmonary venous return. 5. Transposition of the great arteries. 6. Tricuspid atresia. 7. Truncus arteriosus. Selain itu, CDC menambahkan lesi lain sebagai target skrining. 1. Coarctation of the aorta. 2. Double-outlet right ventricle. 3. Ebstein’s anomaly. 4. Interrupted aortic arch. 5. Single ventricle. 6. PJB sianosis kritis lain.. 26. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(41) Bayi bugar/rawat gabung usia ≥24 jam atau sesaat sebelum bayi pulang bila usia <24 jam. Pemeriksaan pulse oximetry. 90–<95% di tangan kanan dan kaki atau perbedaan >3% di tangan kanan dan kaki. <90% di tangan kanan dan kaki. ≥95% di tangan kanan atau kaki dan perbedaan ≤3% di tangan kanan dan kaki. Ulangi pemeriksaan dalam 1 jam. 90–<95% di tangan kanan dan kaki atau perbedaan >3% di tangan kanan dan kaki. <90% di tangan kanan dan kaki. ≥95% di tangan kanan atau kaki dan perbedaan ≤3% di tangan kanan dan kaki. Ulangi pemeriksaan dalam 1 jam. 90–<95% di tangan kanan dan kaki atau perbedaan >3% di tangan kanan dan kaki. <90% di tangan kanan dan kaki. POSITIF/GAGAL. ≥95% di tangan kanan dan kaki dan perbedaan ≤3 % di tangan kanan dan kaki. NEGATIF/LOLOS. Gambar 1 Skrining PJB Kritis dengan Pulse Oximetry Sumber: Kemper. 21. Anamnesis untuk Identifikasi Faktor Risiko Informasi yang didapat selama kehamilan penting untuk mencari faktor risiko PJB seperti kondisi atau penyakit pada ibu saat hamil, usia kehamilan, infeksi perinatal, kelainan genetik, riwayat keluarga dengan PJB, bahkan fetal eko yang mengindikasikan PJB. Risiko PJB meningkat bila terdapat riwayat keluarga, terutama ayah, ibu, dan. Bandung, 26–27 November 2016. 27.

(42) saudara kandung dengan PJB, kelahiran kurang bulan, serta penyakit pada ibu seperti diabetes melitus, hipertensi, obesitas, fenilketonuria, kelainan tiroid, lupus, dan epilepsi.23–25 Penggunaan obat-obatan selama kehamilan seperti fenitoin dan retinoic acid, merokok, konsumsi alkohol, infeksi rubela, influenza atau flu-like illness dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadi PJB. Congenital cardiomyopathy dapat disebabkan oleh cytomegalovirus, coxsackie, herpes virus 6, parvovirus B19, herpes simplex, Toxoplasmosis gondii, dan human immunodeficiency virus (HIV). Kelainan genetik (7%) dan kelainan ekstrakardiak (22%) sering ditemukan pada bayi PJB. 26–29 Bayi PJB kritis umumnya mempunyai riwayat persalinan tanpa komplikasi dengan skor APGAR yang baik. Gejala dan tanda tidak tampak setelah persalinan karena dipengaruhi oleh perubahan sirkulasi transisisi yang terjadi secara bertahap, beberapa jam, hari bahkan minggu. Duktus arteriosus masih memberikan suplai darah yang adekuat segera setelah lahir sehingga sianosis belum muncul. Bayi dapat terlihat sianosis terutama bila minum atau menangis, dan sering kali tanpa disertai distres napas, retraksi, grunting, atau pernapasan cuping hidung. Bayi dengan perfusi sistemik yang menurun umumnya stabil segera setelah lahir, tetapi kemudian memperlihatkan minum yang tidak adekuat, tampak pucat, diaforesis, dan takipnea yang dapat terjadi sampai 3–4 minggu setelah lahir. Takipnea pada PJB umumnya terjadi perlahan mengikuti penurunan resistensi vaskular paru, berbeda pada kelainan saluran napas dan paru yang lebih sering terjadi segera setelah lahir. Sianosis pada bayi dengan kelainan paru primer umumnya disertai distres napas berat yang memerlukan ventilasi mekanik. Bayi dengan hipertensi pulmonal dengan distres napas yang ringan atau sedang disertai riwayat faktor risiko seperti asfiksia atau aspirasi mekonium, kecil untuk masa kehamilan, atau penggunaan obat-obatan seperti NSAID pada ibu.. Pemeriksaan Fisis yang Cermat Pemeriksaan fisis harus dilakukan secara sistematis dan lengkap, terutama difokuskan untuk mengenali tiga tanda utama, yaitu sianosis, penurunan perfusi sistemik, dan tanda gangguan napas terutama takipnea, perubahan bunyi jantung, identifikasi 28. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(43) murmur, serta kurva pertumbuhan untuk bayi mulai bulan pertama. Pemeriksaan jantung yang lengkap meliputi inspeksi impuls jantung, thrill, dan auskultasi bunyi jantung untuk menilai bunyi jantung normal serta bunyi jantung tambahan. Bayi baru lahir sampai usia 6 hari mempunyai laju jantung normal 90– 160×/menit. Palpasi prekordial menentukan apakah letak jantung normal atau berubah serta menilai peningkatan aktivitas ventrikel. Penilaian bunyi jantung pertama dan kedua penting dilakukan. Bunyi jantung ke-2 terdengar splits saat inspirasi dan tunggal saat ekspirasi. Bunyi jantung ke-2 terdengar tunggal pada atresia katup semilunar, trunkus arteriosus, pulmonary stenosis berat, dan tetralogy of Fallot. Bunyi jantung ke-2 yang terdengar widely atau fixed split terjadi pada atrial septal defect dan kelainan lain yang menyebabkan kelebihan volume di ventrikel kanan. Bunyi jantung tambahan dapat menandakan kelainan jantung seperti clicks, gallop, pericardial friction rubs, dan terutama murmur. Kelainan ekstrakardiak sering kali didapatkan pada anak PJB. PJB dapat merupakan salah satu bagian dari sindrom atau kelainan kromosom tertentu. Penampilan dismorfik dapat memberikan petunjuk untuk investigasi penyakit jantung bawaan seperti pada sindrom Down, sindrom William, sindrom rubela kongenital, dan lain-lain.. Pendekatan Praktis Deteksi Dini PJB Kritis Secara praktis deteksi dini PJB kritis meliputi pemeriksaan yang lengkap untuk menilai gejala dan tanda dini, menilai tanda kegawatan, dan menentukan waktu yang tepat untuk melakukan rujukan. Pendekatan tersebut dilakukan dengan melakukan pemeriksaan yang cermat pada waktu berikut, yaitu saat di ruang perawatan bayi, saat akan dipulangkan, serta saat kunjungan ulang untuk evaluasi rutin yang lengkap dalam waktu satu minggu setelah lahir dan saat bayi berusia 1–2 bulan. Pemeriksaan yang cermat bayi di kamar bayi, saat pulang rawat, dan saat kunjungan ulang dalam minggu pertama bertujuan identifikasi PJB kritis, terutama PJB kritis dengan lesi bergantung pada duktus karena bersifat letal bila tidak terdeteksi dan dilakukan intervensi yang tepat. Gejala dan tanda penting yang perlu dievaluasi. Bandung, 26–27 November 2016. 29.

(44) terutama difokuskan untuk menilai tiga tanda utama, yaitu sianosis, perfusi sistemik dengan pemeriksaan pulsasi tungkai bawah, frekuensi, dan kualitas napas. Jika ditemukan salah satu tanda tersebut perlu dipertimbangkan PJB kritis sebagai diagnosis banding. Kelainan-kelainan lain yang dapat menyebabkan hipoksemia pada periode ini adalah transient tachypnea of the newborn, sepsis, respiratory distress syndrome, aspirasi mekonium, hernia diafragmatika, hipotermia, kelainan paru kongenital, hipertensi pulmonal persisten, dan hemoglobinopati. Bila tiga gejala di atas tidak didapatkan dilakukan pemeriksaan pulse oximetry. Bila hasil pulse oximetry positif maka bayi memerlukan evaluasi lebih lanjut, tetapi bila hasil negatif maka bayi dapat menjalani evaluasi ulang pada usia satu bulan. Kunjungan ulang saat usia satu bulan atau lebih bertujuan untuk identifikasi bayi dengan PJB dan menentukan bayi mana yang memerlukan rujukan, evaluasi lebih lanjut, dan terapi lebih lanjut untuk kelainan jantungnya. PJB kritis terutama PJB dengan lesi bergantung pada duktus sudah tidak menjadi perhatian utama untuk kunjungan rutin di atas satu bulan, tetapi lebih difokuskan untuk identifikasi PJB kritis dengan lesi yang tidak bergantung pada duktus. Evaluasi pada kunjungan ulang satu bulan terutama untuk menilai pola napas dan pola pertumbuhan selain bunyi jantung tambahan, sianosis, dan gangguan perfusi sistemik. Pola pertumbuhan dapat dinilai dengan pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala dengan melakukan plotting pada kurva pertumbuhan seperti yang terdapat pada kartu menuju sehat. Kelainan jantung dapat ditandai oleh napas cepat disertai diaforesis saat minum dan kenaikan berat badan yang tidak adekuat. Bayi dengan pertumbuhan yang baik umumnya jarang mempunyai masalah dengan kelainan jantung yang memerlukan intervensi segera. Berdasarkan gejala dan tanda yang didapatkan, waktu untuk melakukan rujukan terlihat pada Tabel 2.. 30. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(45) Tabel 2 Gejala dan Tanda PJB Kritis pada Bayi dan Waktu Rujukan Sianosis (Klinis/ Oximetry). Pulsasi Femoral. Napas Cepat. Murmur. Kenaikan Berat Badan. Tidak Ya Tidak Tidak. Normal Normal Abnormal Normal. Ya Tidak Tidak Ya. Ya Tidak Tidak Tidak. Buruk Baik Baik Buruk. Tidak. Normal. Tidak. Ya. Baik. Tindakan Rujuk Rujuk Rujuk Evaluasi untuk kelainan paru/lain Evaluasi ulang. Ringkasan Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan bawaan paling banyak pada bayi baru lahir. PJB kritis adalah PJB dengan lesi yang membutuhkan pembedahan atau intervensi kateter dalam tahun pertama kehidupan dengan proporsi 25% dari seluruh bayi baru lahir dengan PJB, serta merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada bayi bila terlambat didiagnosis. Peningkatan deteksi dini PJB kritis pada bayi dapat dilakukan dengan identifikasi faktor risiko, pemeriksaan fisis untuk mencari tanda utama sianosis, gangguan perfusi dengan pemeriksaan pulsasi arteri tungkai bawah, takipnea, serta gangguan pertumbuhan dan murmur pada bayi yang berusia satu bulan atau lebih. Pemeriksaan pulse oximetry yang melengkapi pemeriksaan fisis dilakukan bila tidak didapatkan tanda-tanda utama PJB kritis. Identifikasi dini dan rujukan yang tepat untuk PJB kritis secara tidak langsung dapat menurunkan angka kematian bayi.. Bandung, 26–27 November 2016. 31.

(46) KAMAR BAYI. Bayi baru lahir. Cardinal Sign Sianosis, Gangguan Perfusi, Takipnea. +. –. Rujuk/Evaluasi Lebih Lanjut. Pulse Oximetry. Fail. Pass. PULANG Kontrol 1 minggu. Cardinal Sign Sianosis, Gangguan Perfusi, Takipnea, Murmur. RAWAT JALAN. +. –. Fail. Pulse Oximetry. +. Kontrol 1 bulan. Pass. Cardinal Sign. –. Sianosis, Gangguan Perfusi, Takipnea, Murmur, Gangguan Pertumbuhan. Fail Pulse Oximetry. Pass Gambar 2 Algoritme Penegakan Diagnosis PJB Kritis. 32. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(47) Daftar Pustaka 1.. Wren C, Irving CA, Griffiths JA, O'Sullivan JJ, Chaudhari MP, Haynes SR, dkk. Mortality in infants with cardiovascular malformations. Eur J Pediatr. 2012;171(2): 281–7.. 2.. Boneva RS, Botto LD, Moore CA, Yang Q, Correa A, Erickson JD. Mortality associated with congenital heart defects in the United States: trends and racial disparities, 1979-1997. Circulation. 2001;103(19):2376–81.. 3.. Report of the New England Regional Infant Cardiac Program. Pediatrics. 1980;65(2):375–461.. 4.. Brown KL, Ridout DA, Hoskote A, Verhulst L, Ricci M, Bull C. Delayed diagnosis of congenital heart disease worsens preoperative condition and outcome of surgery in neonates. Heart. 2006;92(9):1298–302.. 5.. Schultz AH, Localio AR, Clark BJ, Ravishankar C, Videon N, Kimmel SE. Epidemiologic features of the presentation of critical congenital heart disease: implications for screening. Pediatrics. 2008;121(4):751–7.. 6.. Chang RK, Gurvitz M, Rodriguez S. Missed diagnosis of critical congenital heart disease. Arch Pediatr Adolesc Med. 2008;162(10):969–74.. 7.. Peterson C, Ailes E, Riehle-Colarusso T, Oster ME, Olney RS, Cassell CH, dkk. Late detection of critical congenital heart disease among US infants: estimation of the potential impact of proposed universal screening using pulse oximetry. JAMA Pediatr. 2014;168(4):361–70.. 8.. Liberman RF, Getz KD, Lin AE, Higgins CA,. Sekhavat S, Markenson GR, dkk.. Delayed diagnosis of critical congenital heart defects: trends and associated factors. Pediatrics. 2014;134(2):e373–81 . 9.. Hoke TR, Donohue PK, Bawa PK, Mitchell RD, Pathak A, Rowe PC, dkk. Oxygen saturation as a screening test for critical congenital heart disease: a preliminary study. Pediatr Cardiol 2002;23(4):403–9.. 10. Koppel RI, Druschel CM, Carter T, Goldberg BE, Mehta PN, Talwar R, dkk. Effectiveness of pulse oximetry screening for congenital heart disease in. Bandung, 26–27 November 2016. 33.

(48) asymptomatic newborns. Pediatrics. 2003;111(3):451–5. 11. de-Wahl Granelli A, Wennergren M, Sandberg K, Mellander M, Bejlum C, Inganäs L,, dkk. Impact of pulse oximetry screening on the detection of duct dependent congenital heart disease: a Swedish prospective screening study in 39,821 newborns. BMJ. 2009;338:a3037. 12. Mahle WT, Newburger JW, Matherne GP, Smith FC, Hoke TR, Koppel R, dkk. Role of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a scientific statement from the AHA and AAP. Pediatrics. 2009;124(2):823–36. 13. Mahle WT, Newburger JW, Matherne GP, Smith FC, Hoke TR, Koppel R, dkk. Role of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a scientific statement from the AHA and AAP. Circulation. 2009;120(5):447–58. 14. Thangaratinam S, Brown K, Zamora J, Khan KS, Ewer AK. Pulse oximetry screening for critical congenital heart defect in asymptomatic newborn babies: a systematic review and meta-analysis. Lancet. 2012;379(9835):2459–64. 15. Ewer AK, Furmston AT, Middleton LJ, Deeks JJ, Daniels JP, Pattison HM, dkk. Pulse oximetry as a screening test for congenital heart defects in newborn infants: a test accuracy study with evaluation of acceptability and cost-effectiveness. Health Technol Assess. 2012;16(2):v–xiii, 1–184. 16. Peterson C, Gross SD, Glidewell J, Garg LF, Van Naarden Braun K, Knapp MM, dkk. A public health economic assessment of hospitals cost to screen newborns for critical congenital heart disease. Public Health Rep. 2014;129(1):86–93. 17. Mahle WT, Martin GR, Beekman RH 3rd, Morrow WR; Section on Cardiology and Cardiac Surgery Executive Committee. Endorsement of Health and Human Services recommendation for pulse oximetry screening for critical congenital heart disease. Pediatrics. 2012;129(1):190–2. 18. Levesque BM, Pollack P, Griffin BE, Nielsen HC. Pulse oximetry: what’s normal in the newborn nursery? Pediatr Pulmonol. 2000;30(5):406–12. 19. Narayen IC, Blom NA, Bourgonje MS, Haak MC, Smit M, Posthumus F, dkk. Pulse oximetry screening for critical congenital heart disease after home birth and early 34. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(49) discharge. J Pediatr. 2016;170:188–92. 20. Lhost JJ, Goetz EM, Belling JD, van Roojen WM, Spicer G, Hokanson JS. Pulse oximetry screening for critical congenital heart disease in planned out-of-hospital births. J Pediatr. 2014;165(3):485–9. 21. Kemper AR, Mahle WT, Martin GR, Cooley WC, Kumar P, Morrow WR, dkk. Strategies for implementing screening for critical congenital heart disease. Pediatrics. 2011;128(5):1259–67. 22. Oster ME, Aucott SW, Glidewell J, Hackell J, Kochilas L, Martin GR, dkk. Lesson learned from newborn screening for critical congenital heart defects. Pediatrics. 2016;137(5):e20154573. 23. Liu S, Joseph KS, Lisonkova S, Rouleau J, Van den Hof M, Sauve R, dkk. Association between maternal chronic conditions and congenital heart defects: a populationbased cohort study. Circulation. 2013;128(6):583–9. 24. Tanner K, Sabrine N, Wren C. Cardiovascular malformations among preterm infants. Pediatrics. 2005;116(6):e833–8. 25. Øyen N, Poulsen G, Boyd HA, Wohlfahrt J, Jensen PK, Melbye M. Recurrence of congenital heart defects in families. Circulation. 2009;120(4):295–301. 26. Øyen N, Diaz LJ, Leirgul E, Boyd HA, Priest J, Mathiesen ER, dkk. Prepregnancy diabetes and offspring risk of congenital heart disease: a Nationwide Cohort Study. Circulation. 2016;133(23):2243–53. 27. Löser H, Majewski F. Type and frequency of cardiac defects in embryofetal alcohol syndrome. Report of 16 cases. Br Heart J. 1977;39(12):1374–9. 28. Sullivan PM, Dervan LA, Reiger S, Buddhe S, Schwartz SM. Risk of congenital heart defects in the offspring of smoking mothers: a population-based study. J Pediatr. 2015;166(4):978–84. 29. Oster ME, Riehle-Colarusso T, Alverson CJ, Correa A. Associations between maternal fever and influenza and congenital heart defects. J Pediatr. 2011;158(6):990–5.. Bandung, 26–27 November 2016. 35.

(50) Endokarditis Infektif pada Anak: Etiologi dan Tata Laksana Pemberian Antimikrob Djatnika Setiabudi. Pendahuluan Endokarditis infektif (EI) ialah peradangan pada selaput endotel yang melapisi jantung atau katup jantung (endokardium) yang disebabkan oleh infeksi. Mikroorganisme penyebab infeksi tersering adalah bakteri sehingga sering kali pembahasan tentang endokarditis infektif ini sebenarnya yang dimaksud adalah endokarditis bakterialis. Kejadian penyakit ini pada anak tidak sering, tetapi angka kematiannya masih cukup tinggi sehingga kecurigaan terhadap penyakit ini perlu ditingkatkan agar dapat melakukan tata laksana yang cepat dan tepat. Angka kejadian di berbagai negara sangat bervariasi karena sangat bergantung kepada faktor risiko terjadi EI, khususnya perbedaan insidensi dan jenis kelainan jantung, serta banyaknya operasi jantung yang dilakukan. Menurut laporan di Amerika Serikat angka kejadian EI adalah 1 kasus setiap 1.000 anak yang dirawat di rumah sakit.1 Sejalan dengan perkembangan dalam bidang kedokteran, khususnya dalam penanganan anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) terjadi perubahan pola penyebab EI. Pada masa lalu sebagai faktor risiko tersering adalah penyakit jantung reumatik (PJR) dan sekarang mengalami perubahan, yaitu PJB menjadi yang lebih sering, baik disebabkan oleh tindakan pembedahan maupun pemasangan katup buatan.2,3 Menurut sebuah laporan diperkirakan sekitar 75–90% EI pada anak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.4 Perubahan pola faktor risiko ini juga mempunyai dampak terhadap pola kuman penyebab EI. Pemahaman etiologi EI penting untuk pemilihan antimikrob yang akan diberikan, khususnya pada saat awal sebagai terapi empirik (sebelum ada hasil biakan) dan bila hasil biakan kuman negatif.. 36. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

(51) Dalam makalah ini akan dibahas EI khusus ditinjau dari aspek etiologi serta pemilihan dan tata cara pemberian antimikrob. Supaya pemahaman hal tersebut lebih jelas, akan dibahas juga faktor risiko dan kriteria diagnostik EI.. Faktor Risiko Beberapa keadaan atau kelainan/penyakit merupakan faktor risiko untuk terjadi EI. Mengenali faktor risiko ini sangat penting sebagai langkah awal untuk kecurigaan diagnosis EI pada anak yang memperlihatkan gejala atau sindrom yang sering ditemukan pada EI. Beberapa faktor risiko juga mempunyai hubungan dengan mikroorganisme penyebab EI sehingga sangat berguna untuk pemilihan antimikrob awal sebagai terapi empirik sebelum ada hasil biakan darah atau pada keadaan EI dengan hasil biakan negatif. Beberapa faktor risiko tersebut antara lain sebagai berikut: - penyakit jantung bawaan sianotik; - pemasangan katup buatan/protesa; - valvulopati pada anak dengan transplantasi jantung; - riwayat endokarditis infektif (bakterial) sebelumnya; - penyakit jantung reumatik; - tindakan pemasangan akses vena sentral (khususnya neonatus); - pengguna narkoba suntik (penasun)/intravenous drug user (IDU); - neonatus dan keadaan imunokompromais.. Diagnosis Endokarditis Infektif Manifestasi klinis EI sering tidak spesifik sehingga menimbulkan kesulitan dalam penegakan diagnosis. Untuk keperluan penetapan diagnosis saat ini dipakai kriteria Duke yang telah dimodifikasi.5,6 Pada dasarnya kriteria diagnosis tersebut berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang, baik mikrobiologis, histopatologis, maupun pemeriksaan khusus pada jantung seperti ekokardiografi.. Bandung, 26–27 November 2016. 37.

(52) Tabel 1 Definisi Kriteria Mayor dan Kriteria Minor pada Modifikasi Kriteria DUKE Kriteria Mayor. Kriteria Minor. 1. Kultur darah positif untuk EI i. Mikroorganisme khas yang konsisten untuk EI dari ≥2 kultur darah: Streptococci viridans, Streptococcus bovis, grup HACEK, S. aureus atau communityacquired enterococci, tanpa fokus infeksi primer atau ii. Mikroorganisme yang konsisten untuk EI dari kultur darah positif secara persisten (definisi sebagai berikut): a. Minimal 2 kultur darah positif yang diambil dalam jarak waktu >12 jam atau b. Bila semua dari 3 kultur atau mayoritas dari 4 kultur darah yang diambil secara terpisah tanpa memperhatikan jarak waktu pengambilan (tetapi jarak waktu pengambilan pertama dengan terakhir minimal 1 jam). iii. Kultur darah positif untuk Coxiella burnetii (cukup sekali pengambilan) atau titer antibodi IgG (antiphase I) >1:800.. 1. Ada faktor predisposisi seperti kelainan jantung atau pemakai narkoba suntik /IDU. 2. Demam: suhu tubuh >38°C. 3. Fenomena vaskular: emboli arteri, infark paru, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway. 4. Fenomena imunologik: nodus Osler, Roth’s spots, glomerulonefritis, dan faktor reumatoid. 5. Bukti mikrobiologis: kultur darah positif, tetapi tidak memenuhi sebagai kriteria mayor atau bukti serologis infeksi aktif oleh organisme penyebab EI.. 2. Bukti keterlibatan endokardium i. Pemeriksaan ekokardiografi positif untuk EI: a. Massa intrakardiak yang bergerak (osilasi) pada katup atau struktur pendukung, pada jalan aliran regurgitasi, atau pada implant tanpa penjelasan anatomik lain atau b. abses atau c. defek baru pada katup buatan. ii. Regurgitasi katup yang baru. 5. Sumber: Li dkk. dan Baltimore dkk.. 6. Klasifikasi diagnosis EI berdasarkan modifikasi kriteria Duke. 1. Definitif: Kriteria patologi: Dapat ditemukan mikroorganisme dari biakan darah atau vegetasi atau dari abses intrakardiak atau ditemukan lesi patologik seperti vegetasi atau abses intrakardiak yang 38. Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi kalau anda bermain dengan frame, yang paling aman adalah menggunakan target=&#34;_top&#34; yang berarti alamat yang dipanggil akan muncul lengkap mengisi satu window, full;

Selanjutnya, beberapa peran AMDAL dijelaskan sebagai berikut : Peran AMDAL dalam pengelolaan lingkuangan.Aktivitas pengelola lingkungan baru dapat dilakukan apabila

Dalam hal ini tidak mudah untuk menuangkan tulisan dengan apa yang dilihat, karena keterbatasan waktu, proses pengajaran yang kurang serius dan minat siswa

Adapun kriteria atau karakteristik model pembelajaran PBL menurut Tan (Rusman 2010:232) adalah: (1) permasalahan menjadi starting point dalam bela- jar; (2) permasalahan

Menghubungkan pengentasan kemiskinan dengan konservasi lingkungan sebagai suatu cara untuk mengatasi jerat kemiskinan memerlukan sebuah kerangka kerja yang jelas untuk penerapan

TAUFAN PRABUDI: Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora stylosa pada berbagai Tingkat Salinitas.. Dibimbing oleh YUNASFI dan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu keperawatan imun dan hematologi terkait HIV/AIDS dengan menjelaskan hubungan antara risk perception,

2 Pengaruh Intensitas Menonton Televisi dan Komunikasi Orang Tua-Anak Terhadap Kedisiplinan Anak dalam Mentaati Waktu Arista Fitriawanti (2010), dari Universitas