• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan demikian, pada kasus pembunuhan anak terdapat tiga unsur yang penting, yaitu:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dengan demikian, pada kasus pembunuhan anak terdapat tiga unsur yang penting, yaitu:"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

L.I 1 Mempelajari Infanticide Definisi

Infanticide atau pembunuhan anak adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu dengan atau tanpa bantuan orang lain terhadap bayinya pada saat dilahirkan atau beberapa saat sesudah dilahirkan, oleh karena takut diketahui orang lain bahwa ia telah melahirkan anak.

Undang-Undang yang Berhubungan Dengan Infanticide  Pasal 341 KUHP

Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anaknya sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

 Pasal 342 KUHP

Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat akan dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

 Pasal 343 KUHP

Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan anak dengan rencana.

Dengan demikian, pada kasus pembunuhan anak terdapat tiga unsur yang penting, yaitu: 1. Pelaku :Pelaku haruslah ibu kandung korban.

2. Motif :Motif atau alasan pembunuhan adalah karena takut ketahuan telah melahirkan anak.

3. Waktu :Pembunuhan dilakukan segera setelah anak dilahirkan atau tidak beberapa lama kemudian, yang dapat diketahui dari ada tidaknya tanda-tanda perawatan.

Hal-hal yang Perlu Ditentukan pada Infanticide

Dalam kasus infanticide, hal-hal yang harus ditentukan atau yang perlu dijelaskan dokter dalam pemeriksaannya adalah:  Berapa umur bayi dalam kandungan, apakah sudah cukup bulan untuk dilahirkan.

 Apakah bayi lahir hidup atau sudah mati saat dilahirkan.  Bila bayi lahir hidup, berapa umur bayi sesudah lahir.  Apakah bayi sudah pernah dirawat.

 Apakah penyebab kematian bayi.

Untuk menjawab kelima hal di atas, diperlukan pemeriksaan yang lengkap, yaitu pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam (autopsi) pada tubuh bayi serta bila perlu melakukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan mikroskopis pada jaringan paru (patologi anatomi) dan pemeriksaan test apung paru.

Umur janin dalam kandungan

Untuk mengetahui apakah anak tersebut cukup bulan dalam kandungan (matur) atau belum cukup bulan dalam kandungan (prematur), dapat diketahui dari pemeriksaan sebagai berikut:

1. Pengukuran lingkar kepala, lingkar dada, panjang badan dan berat badan: dimana yang mempunyai nilai tinggi adalah lingkar kepala dan tinggi atau panjang badan.

Panjang badan diukur dari tumit hingga vertex (puncak kepala). Bayi dianggap cukup bulan jika:  Panjang badan di atas 45 cm.

 Berat badan 2500 – 3500 gram.  Lingkar kepala lebih dari 34 cm.

Infanticide, bila umur janin 7 bulan dalam kandungan oleh karena pada umur ini janin telah dapat hidup di luar kandungan secara alami tanpa bantuan beralatan. Umur janin di bawah 7 bulan termasuk kasus abortus

Untuk menentukan umur bayi dalam kandungan, ada rumus empiris yang dikemukakan oleh De Haas, yaitu menentukan umur bayi dari panjang badan bayi.

(2)

Untuk bayi (janin) yang berumur di bawah 5 bulan, umur sama dengan akar pangkat dua dari panjang badan. Jadi bila dalam pemeriksaan didapati panjang bayi 20 cm, maka taksiran umur bayi adalah Ö20 yaitu antara 4 sampai 5 bulan dalam kandungan atau lebih kurang 20 – 22 minggu kehamilan.

 Untuk janin yang berumur di atas 5 bulan, umur sama dengan panjang badan (dalam cm) dibagi 5 atau panjang badan (dalam inchi) dibagi 2.

2. Keadaan ujung-ujung jari: apakah kuku-kuku telah melewati ujung jari seperti anak yang dilahirkan cukup bulan atau belum. Garis-garis telapak tangan dan kaki dapat juga digunakan, karena pada bayi prematur garis-garis tersebut masih sedikit.

3. Keadaan genitalia eksterna: bila telah terjadi descencus testiculorum maka hal ini dapat diketahui dari terabanya testis pada scrotum, demikian pula halnya dengan keadaan labia mayora apakah telah menutupi labia minora atau belum; testis yang telah turun serta labia mayora yang telah menutupi labia minora terdapat pada anak yang dilahirkan cukup bulan dalam kandungan si-ibu. Hal tersebut di atas dapat diketahui bila bayi segar, tetapi bila bayi telah busuk, labia mayora akan terdorong keluar.

4. Pusat-pusat penulangan: khususnya pada tulang paha (os. femur), mempunyai arti yang cukup penting di dalam membantu perkiraan apakah anak dilahirkan dalam keadaan cukup bulan atau tidak; bagian distal dari os. femur serta bagian proksimal dari os. tibia akan menunjukkan pusat penulangan pada umur kehamilan 36 minggu, demikian pula pusat penulangan pada os. cuboideum dan os. cuneiforme, sedangkan os. talus dan os. calcaneus pusat penulangannya akan tampak pada umur kehamilan 28 minggu.

Cara melihat pusat penulangan pada femur:

Tungkai bawah difleksikan semaksimal mungkin, lalu dibuat insisi melintang pada lutut. Setelah patella disingkirkan, dibuat irisan transversal pada ujung distal femur setipis mungkin ke aras proksimal femur sampai terlihat pusat penulangan yang berwarna kemerahan.

Demikian pula cara untuk melihat pusat penulangan pada ujung proksimal tibia. Pada tulang talus, kalkaneus dan kuboid, pusat penulangan dapat dilhat dengan membuat insisi antara jari ke-3 dan ke-4 ke arah belakang/tumit. Insisi akan melewati ketiga tulang ini. Lalu tulang tersebut diiris tipis-tipis sampai terlihat pusat penulangannya. Pusat penulangan berbentuk oval, warna merah dengan diameter + 0,5 cm.

Hubungan umur bayi dengan pusat penulangan:  Kalkaneus, umur bayi 5 – 6 bulan.  Talus, umur bayi 7 bulan.

 Kuboid, umur bayi 9 bulan.  Distal femur, umur bayi 9 bulan.  Proksimal tibia, umur bayi 9 bulan.

Apakah bayi lahir hidup atu sudah mati saat dilahirkan.

Penentuan apakah seorang anak itu dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, dapat dilakukan dengan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam.

 Pemeriksaan luar

Pada bayi yang lahir hidup, pada pemeriksaan luar tampak dada bulat seperti tong . biasanya tali pusat masih melengket ke perut, berkilat dan licin. Kadang-kadang placenta juga masih bersatu dengan tali pusat. Warna kulit bayi kemerahan.

 Pemeriksaan dalam

Insisi pada autopsi sedikit berbeda dengan orang dewasa. Insisi pada bayi dimulai dari perut agar terlihat letak sekat rongga dada (diaphragma).

Penentuan apakah seorang anak itu dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, pada dasarnya adalah sebagai berikut: 1. Adanya udara di dalam paru-paru.

2. Adanya udara di dalam lambung dan usus,

3. Adanya udara di dalam liang telinga bagian tengah, dan 4. Adanya makanan di dalam lambung.

Paru-paru yang sudah mengembang karena terisi udara pernafasan dapat diketahui dari ciri-ciri seperti tersebut di bawah ini yaitu:

 memenuhi rongga dada sehingga menutupi sebagian kandung jantung,  berwarna merah unggu atau merah muda, dan tidak homogen,

(3)

 memberikan gambaran mozaik atau seperti marmer karena adanya berbagai tingkatan aerasi atau pengisian udara dan darah,

 tepi paru-paru tumpul,

pada perabaan teraba derik udara (krepitasi), yang bila perabaan ini dilakukan atas sepotong kecil jaringan paru yang dibenamkan dalam air akan tampak gelembung-gelembung udara,

 pada pemotongan jaringan paru, bila dipencet terlihat keluar darah bercampur buih,

pemeriksaan mikroskopik (patologi anatomi) yang hanya dilakukan pada keadaan tertentu saja (meragukan), akan memperlihatkan adanya pengelembungan dari alveoli yang cukup jelas (seperti sarang tawon).

Untuk menentukan apakah bayi pernah bernafas dapat dilakukan test hydrostatik atau test apung paru (docimacia pulmonum hydrostatica), akan memberikan hasil yang positif. Pemeriksaan ini berdasarkan fakta bahwa berat jenis paru-paru yang belum bernafas berkisar antara 1.040 – 1.056, sedangkan paru-paru yang sudah bernafas 0,940 akibat udara pernafasan telah memasuki alveoli. Oleh karena itu paru-paru yang belum bernafas akan tenggelam sedangkan yang sudah bernafas akan mengapung.

Pada bayi yang telah mengalami pembusukan lanjut, pemeriksaan ini tidak berguna lagi. Bila masih baru mengalami pembusukan, test apung paru ini masih bisa dipakai, karena udara pembusukan akan keluar bila jaringan paru-paru ditekan, sedangkan udara pernafasan dalam alveoli tetap disana, atu hanya sedikit yang keluar.

Cara melakukan test apung paru adalah sebagai berikut:

Keluarkan paru-paru dengan mengangkatnya mulai dari trachea sekalian dengan jantung dan timus. Kesemuanya ditaruh dalam baskom berisi air. Bila terapung artinya paru-paru telah terisi udara pernafasan.

Untuk memeriksa lebih jauh, pisahkan paru-paru dari jantung dan timus, dan kedua belah paru juga dipisahkan. Bila masih terapung, potong masing-masing paru-paru menjadi 12 – 20 potongan-potongan kecil. Bagian-bagian ini diapungkan lagi. Bagian kecil paru ini ditekan dipencet dengan jari di bawah air. Bila telah bernafas, gelembung udara akan terlihat dalam air. Bila masih mengapung, bagian kecil paru-paru ditaruh di antara 2 lapis kertas dan dipijak dengan berat badan. Bila masih mengapung, itu menunjukkan bayi telah bernafas. Sedangkan udara pembusukan akan keluar dengan penekanan seperti ini, jadi ia akan tenggelam.

Ada beberapa keadaan dimana test ini diragukan hasilnya.

1. Paru-paru sudah berkembang, namun dalam pemeriksaan ternyata tenggelam.

Penyakit: pada edema paru atau pemadatan karena bronkopneumonia atau lues (sifilis). Tetapi biasanya jarang melibatkan kedua bagian paru atau seluruh jaringan paru. Sebagian tetap akan merapung. Lagi pula pemeriksaan ini secara patologi anatomi akan menegaskan adanya penyakit tersebut.

Atelektase paru. Biasanya jarang terjadi.

2. Paru-paru yang belum berfungsi (bayi belum bernafas), tetapi pada pemeriksaan mengapung:

 Telah terjadi proses pembusukan. Ini mudah dikenal karena proses pembusukan pada daerah lain juga didapati.  Dimasukkan udara secara artifisial. Susah melakukannya, apalagi oleh orang awam.

Adanya udara dalam lambung dan usus merupakan petunjuk bahwa si-anak menelan udara setelah ia dilahirkan hidup, dengan demikian nilai dari pemeriksaan udara di dalam lambung dan usus ini sekedar memperkuat saja. Seperti halnya pada pemeriksaan untuk menentukan adanya udara dalam paru-paru, maka pemeriksaan yang serupa terhadap lambung dan usus baru dapat dilakukan bila keadaan si-anak masih segar dan belum mengalami proses pembusukan serta tidak mengalami manipulasi seperti pemberian pernafasan buatan. Caranya adalah dengan mengikat bagian bawah esofagus di bawah thyroid proksimal dari cardia dan colon, kemudian dilepaskan dari organ lainnya. Bila yang terapung adalah lambung, hal ini tidak berarti apa-apa. Bila usus yang terapung berarti bayi telah pernah menelan udara dan ini berarti bayi telah pernah bernafas.

Adanya udara di dalam liang telinga bagian tengah hanya dapat terjadi bila si-anak menelan udara dan udara tersebut melalui tuba eustachii masuk ke dalam liang bagian tengah. Untuk dapat mengetahui keadaan tersebut pembukaan liang telinga bagian tengah harus dilakukan di dalam air; tentunya baru dilakukan pada mayat yang masih segar.

Adanya makann di dalam lambung dari seorang anak yang baru dilahirkan tentunya baru dapat terjadi pada anak yang dilahirkan hidup dan diberi makan oleh orang lain, dan makanan tidak mungkin akan dapat masuk ke dalam lambung bila tidak disertai dengan aktivitas atau gerakan menelan.

Adanya udara di dalam paru-paru, lambung dan usus serta di dalam liang telinga bagian tengah merupakan petujuk pasti bahwa si-anak yang baru dilahirkan tersebut memang dilahirkan dalam keadaan hidup. Sedangkan adanya makanan di dalam lambung lebih mengarahkan kepada kenyataan bahwa si-anak sudah cukup lama dalam keadaan hidup; hal mana

(4)

bila keadaannya memang demikian maka si-ibu yang menghilangkan nyawa anak tersebut dapat dikenakan hukuman yang lebih berat dari ancaman hukuman seperti yang tertera pada pasal 341 dan 342.

Apabila bayi dilahirkan dalam keadaan mati, ada 2 kemungkinan yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Still birth, artinya dalam kandungan masih hidup, waktu dilahirkan sudah mati. Ini mungkin disebabkan perjalanan kelahiran yang lama, atau terjadi accidental strangulasi dimana tali pusat melilit leher bayi waktu dilahirkan.

2. Dead born child, di sini bayi memang sudah mati dalam kandungan. Bila kematian dalam kandungan telah lebih dari 2 – 3 hari akan terjadi maserasi pada bayi. Ini terlihat dari tanda-tanda:

 Bau mayat seperti susu asam.  Warna kulit kemerah-merahan.  Otot-otot lemas dan lembek.

 Sendi-sendi lembek sehingga mudah dilakukan ekstensi dan fleksi.

 Bila lebih lama didapati bulae berisi cairan serous encer dengan dasar bullae berwarna kemerah-merahan.  Alat viseral lebih segar daripada kulit.

 Paru-paru belum berkembang.

Bila bayi lahir hidup, berapa umur bayi sesudah lahir

Apabila bayi tersebut sudah pernah bernafas atau lahir hidup, untuk mengetahui sudah berapa lama bayi tersebut hidup sebelum dibunuh dengan memperhatikan kulit, kepala dan umbilicus mayat tersebut.

Pada bayi yang baru lahir, warna kulit merah terang. Adanya vernix caseosa pada ketiak, sela paha dan leher. Vernix akan menghilang setelah dua hari lalu kulit menjadi gelap dan menjadi normal kembali.

Setelah 1 minggu, kulit akan mengelupas, terutama di bagian abdomen kulit akan mengelupas setelah 3 hari. Caput succedaneum akan menghilang setelah 24 jam sampai 2 – 3 hari setelah dilahirkan. Setelah 2 jam kelahiran, terdapat bekuan darah pada ujung pemotongan tali pusat. Dua belas jam kemudian akan mengering. Setelah 36 – 48 jam terbentuk cincin peradangan pada pangkal tali pusat. Tali pusat mengering setelah 2 – 3 hari. Enam sampai tujuh hari tali pusat akan lepas membentuk cicatriks. Tali pusat akan sembuh sempurna lebih kurang 15 hari.

Feses bayi juga dapat membantu menentukan sudah berapa lama bayi hidup. Feses bayi yang baru lahir disebut meconium, biasa dikeluarkan dari usus setelah 24 – 28 jam, tetapi kadang kala bisa lebih lama.

Apakah terdapat tanda-tanda perawatan.

Penentuan ada tidaknya tanda-tanda perawatan sangat penting artinya dalam kasus pembunuhan anak, oleh karena dari sini dapat diduga apakah kasus yang dihadapi memang benar kasus pembunuhan anak seperti apa yang dimaksud oleh undang-undang, atau memang kasus lain yang mengancam hukuman yang berbeda.

Adanya tanda-tanda perawatan menunjukkan telah ada kasih sayang dari si-ibu dan bila dibunuhnya tidak lagi termasuk kasus infanticide, tetapi termasuk kasus pembunuhan biasa.

Adapun anak yang baru dilahirkan dan belum mengalami perawatan dapat diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut:  Tubuh masih berlumuran darah,

Ari-ari (placenta), masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan dengan pusar (umbilicus),

 Bila ari-ari tidak ada, maka ujung tali pusat tampak tidak beraturan, hal ini dapat diketahui dengan meletakkan ujung tali pusat tersebut ke permukaan air,

Adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta di daerah yang mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti daerah lipat ketiak, lipat paha dan bagian belakang bokong.

Pada seorang anak yang telah mendapat perawatan tentunya akan memberikan gambaran yang jelas, dimana tubuhnya sudah dibersihkan, tali pusat telah dipotong dan diikat, daerah-daerah lipatan kulit telah dibersihkan dari lemak bayi dan tidak jarang si-anak telah diberi pakaian atau pembungkus agar tubuhnya menjadi hangat.

Apakah penyebab kematian bayi.

Penyebab kematian bayi dapat diketahui bila dilakukan autopsi, dari autopsi tersebut dapat ditentukan apakah bayi tersebut lahir mati, mati secara almiah, akibat kecelakaan atau akibat pembunuhan.

Penyebab kematian alamiah antara lain:  Prematuritas.

 Kelainan kongenital, misalnya: sifilis, jantung.  Perdarahan / trauma lahir.

 Kelainan bentuk / anatomi, misalnya: anecephalus.  Kelainan plasenta, misalnya: plasenta previa.

(5)

 Erythroblastosis foetalis dan lain-lain.

Penyebab kematian akibat kecelakaan dapat terjadi di waktu lahir atau sesudah lahir. Pada waktu proses kelahiran, kematian dapat terjadi karena partus yang lama, prolaps tali pusat, terlilitnya tali pusat. Beberapa saat sebelum dilahirkan, misalnya: trauma pada perut ibu hamil akibat tersepak, jatuh dari tempat yang tinggi, dan lain-lain.

Kematian yang diakibatkan oleh tindakan kriminal atau pembunuhan, dilakukan dengan mempergunakan kekerasan atau memberi racun terhadap bayi tersebut. Cara yang digunakan untuk membunuh anak antara lain:

 Pembekapan, menutup hidung dan mulut dengan telapak tangan, menekan dengan bantal, selimut dan lain-lain.  Penekanan dada, sehingga mengganggu pergerakan pernafasan.

Dengan menjerat leher bayi (strangulasi). Kadang-kadang dengan memakai tali pusat.  Dengan menenggelamkan bayi.

 Menusuk fontanella, epicanthus mata, ubun-ubun besar, ubun-ubun kecil, jantung, sumsum tulang dengan menggunakan jarum atau peniti.

 Memukul kepala bayi atau melintir kepala bayi.

Memberi obat-obatan, seperti: opium, arsen dan lain-lain misalnya dengan mengoleskan opium di sekitar putting susu, lalu diisap oleh bayi tersebut.

 Begitu bayi lahir, dibungkus dan dimasukkan ke dalam kotak kemudian dibuang.

Cara atau metode yang banyak dijumpai untuk melakukan tindakan pembunuhan anak adalah cara atau metode yang menimbulkan mati lemas (asfiksia) seperti: penjeratan, pencekikan dan pembekapan serta pembenaman ke dalam air. Adapun cara atau metode yang lain seperti menusuk atau memotong serta melakukan kekerasan dengan benda tumpul relatif lebih jarang dijumpai.

Dengan demikian pada kasus yang diduga merupakan kasus pembunuhan anak, yang harus diperhatikan adalah:

-

Adanya tanda-tanda mati lemas: sianosis pada bibir dan ujung-ujung jari, bintik-bintik perdarahan pada selaput biji mata dan selaput kelopak mata serta jaringan longgar lainnya, lebam mayat yang lebih gelap dan luas, busa halus berwarna putih atau putih kemerahan yang keluar dari lubang hidung dan atau mulut serta tanda-tanda bendungan pada alat-alat dalam.

-

Keadaan mulut dan sekitarnya: adanya luka lecet tekan dibibir atau sekitarnya yang tidak jarang berbentuk bulan sabit, memar pada bibir bagian dalam yang berhadapan dengan gusi, serta adanya benda-benda asing seperti gumpalan kertas koran atau kain yang mengisi rongga mulut.

-

Keadaan di daerah leher dan sekitarnya: adanya luka lecet tekan yang melingkari sebagian atau seluruh bagian leher yang merupakan jejas jerat sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh alat penjerat yang dipergunakan, adanya luka-luka lecet kecil-kecil yang seringkali berbentuk bulan sabit yang diakibatkan oleh tekanan dari ujung kuku si-pencekik, adanya luka-luka lecet dan memar yang tidak beraturan yang dapat terjadi akibat tekanan yang ditimbulkan oleh ujung-ujung jari si-pencekik.

-

Adanya luka-luka tusuk atau luka sayat pada daerah leher, mulut atau bagian tubuh lainnya, dimana menurut literatur ada satu metode yang dapat dikatakan khas yaitu tusukan benda tajam pada langit-langit sampai menembus ke rongga tengkorak yang dikenal dengan nama “tusukan bidadari”.

-

Adanya tanda-tanda terendam seperti: tubuh yang basah dan berlumpur, telapak tangan dan telapak kaki yang pucat dan keriput (washer woman`s hand), kulit yang berbintil-bintil (cutis anserina) seperti kulit angsa, serta adanya benda-benda asing terutama di dalam saluran pernafasan (trakhea), yang dapat berbentuk pasir, lumpur, tumbuhan air atau binatang air.

Diagnosis Banding Infanticide a. Abortus

Abortus adalah keguguran atau berakhirnya kehamilan sebelum bayi dapat hidup sendiri di luar kandungan. Batasan umur kandungan adalah 28 minggu dan berat badan bayi yang keluar kurang dari 1000 gram.

Tanda-tanda bayi yang aviable atau tidak sanggup hidup di luar kandungan adalah: (1) umur kehamilan kurang dari 28 minggu, (2) panjang badan bayi kurang dari 35 cm, (3) berat badan bayi kurang dari 1000 gram, (4) lingkar kepala kurang dari 32 cm.

b. Partus presipitatus

Partus presipitatus adalah persalinan deras atau kebrojolan. Pada waktu partus presipitatus dapat terjadi: (1) inversio uteri, (2) robekan tali pusat, (3) luka-luka pada kepala bayi, (4) perdarahan di bawah kulit kepala, perdarahan di dalam tengkorak.

(6)

Partus presipitatus ini dapat terjadi dimana-mana, di dalam rumah atau di luar lumah, di WC, sedang berjalan, dan sebagainya. Pembuktian partus presipitatus terkadang sukar untuk dilakukan dan memerlukan pemeriksaan setempat.

L.I 2 Mempelajari thanatology Definisi

Kematian manusia berdasarkan dua dimensi yaitu kematian seluler (seluler death) akibat ketiadaan oksigen dan kematian manusia sebagai individu (somatic death). Kematian individu dapat didefinisikan secara sederhana sebagai terhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life) atau dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ vital yaitu paru-paru, jantung dan otak sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen. Sebagai akibat berhentinya konsumsi oksigen ke seluruh jaringan tubuh maka sel-sel sebagai elemen terkecil pembentuk manusia akan mengalami kematian, dimulai dari sel- sel paling rendah daya tahannya terhadap ketiadaan oksigen.

Mati suri adalah penurunan fungsi organ vital sampai taraf minimal untuk mempertahankan kehidupan, sehingga tanda-tanda kliniknya seperti sudah mati yang sifatnya reversibel. Sedangkan mati somatik adalah keadaan dimana ketika fungsi ketiga organ vital sistem saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan berhenti secara menetap.

Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, kedua sistem lain masih berfungsi dengan bantuan alat. Sedangkan mati batang otak adalah kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum.

Kriteria diagnostik penentuan kematian:

1. Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando atau perintah, dan sebagainya)

2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan curare.

3. Tidak ada reflek pupil 4. Tidak ada reflek kornea

5. Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan

6. Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotracheal didorong ke dalam

7. Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan ke dalam lubang telinga

8. Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama walaupun pCO2 sudah melampaui wilayah ambang rangsangan napas (50 torr)

Tes klinik ini baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam setelah onset koma serta apneu dan harus diulangi lagi paling cepat sesudah 2 jam dari tes yang pertama. Sedangkan tes konfirmasi dengan EEG dan angiografi hanya dilakukan jika tes klinik memberikan hasil yang meragukan atau jika ada kekhawatiran akan adanya tuntutan di kemudian hari.

a) Tanda dan Patofisiologi

-

Tanda kematian tidak pasti

1. Berhentinya sistem pernafasan dan sistem sirkulasi.

Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru berhenti selama 10 menit, namun dalam prakteknya seringkali terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dengan cara mengamati selama waktu tertentu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mendengarkannya melalui stetoscope pada daerah precordial dan larynx dimana denyut jantung dan suara nafas dapat dengan mudah terdengar.

Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut setelah nafas terhenti, selain disebabkan ketahanan hidup sel tanpa oksigen yang berbeda-beda dapat juga disebabkan depresi pusat sirkulasi darah yang tidak adekwat, denyut nadi yang menghilang merupakan indikasi bahwa pada otak terjadi hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging dimana jantung masih berdenyut selama 15 menit walaupun korban sudah diturunkan dari tiang gantungan.

2. Kulit yang pucat

Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya sirkulasi darah sehingga darah yang berada di kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah sehingga warna kulit muka tampak menjadi lebih pucat. Akan tetapi ini bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya. Kadang-kadang kematian dihubungkan dengan spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan. Pada mayat yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya karbon monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat

(7)

3. Relaksasi otot

Pada saat kematian sampai beberapa saat sesudah kematian , otot-otot polos akan mengalami relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium ini disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang turun kebawah yang menyebabkan mulut terbuka, dada menjadi kolap dan bila tidak ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh kebawah. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga orang mati tampak lebih muda dari umur sebenarnya, sedangkan relaksasi pada otot polos akan mengakibatkan iris dan sfincter ani akan mengalami dilatasi. Oleh karena itu bila menemukan anus yang mengalami dilatasi harus hati-hati menyimpulkan sebagai akibat hubungan seksual perani/anus corong.

4. Perubahan pada mata

Perubahan pada mata meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang menyebabkan kornea menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil yang negatif.

Knight mengatakan hilangnya reflek cahaya pada kornea ini disebabkan karena kegagalan kelenjar lakrimal untuk membasahi bola mata. Kekeruhan pada kornea akan timbul beberapa jam setelah kematian tergantung dari posisi kelopak mata. Akan tetapi Marshall mengatakan kornea akan tetap menjadi keruh tanpa dipengaruhi apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Walaupun sering ditemui kelopak mata tertutup secara tidak komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otot-otot kelopak mata. Kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat dihilangkan atau diubah kembali walaupun digunakan air untuk membasahinya.

Bila kelopak mata tetap terbuka sclera yang ada disekitar kornea akan mengalami kekeringan dan berubah menjadi kuning dalam beberapa jam yang kemudian berubah menjadi coklat kehitaman. Area yang berubah warna ini berbentuk trianguler dengan basis pada perifer kornea dan puncaknya di epikantus. Area ini disebut’taches noires de la sclerotiques’ yang pertama kali digambarkan oleh Somner pada tahun 1833.

Knight mengatakan iris masih bereaksi dengan stimulasi kimia sampai 4 jam sesudah kematian somatik, tetapi reflek cahaya segera hilang bersamaan dengan iskemik pada batang otak. Pupil biasanya pada posisi mid midriasis yang disebabkan oleh karena relaksasi dari muskulus pupilaris walaupun ada sebagian ahli yang menganggap ini sebagai proses rigor mortis. Diameter pupil sering dihubungkan dengan sebab kematian seperti lesi di otak atau intoksikasi obat seperti keracunan morphin dimana sewaktu hidup pupil menunjukan kontraksi. Akan tetapi Price (1963) memeriksa mata dari 1000 mayat dan menyimpulkan bahwa keadaan pupil tidak berhubungan dengan sebab kematian, dan kematian menyebabkan pupil menjadi dilatasi atau cadaveric position .

Setelah kematian tekanan intra okuler akan turun, tekanan intra okuler yang turun ini mudah menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil kehilangan bentuk sirkuler setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak sama,pupil dapat berkontraksi dengan diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak tergantung dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan sampai 3 mm.

Nicati (1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata posmortem dimana tekanan normal pada bola mata pada waktu hidup adalah 14g -25g akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka penurunan tekanan bola mata menjadi sangat rendah (tidak sampai mencapai 12g) dan dalam waktu 30 menit akan berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi nol setelah 2 jam kematian. Penurunan tekanan bola mata ini pernah dicoba untuk menentukan perkiraan saat kematian.

Kervokian (1961) berusaha menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada retina 15 jam pertama setelah kematian dimana kornea dapat dipertahankan dalam keadaan baik dengan menggunakan air atau larutan garam fisiologis yang kemudian dilakukan pemeriksaan dengan optalmoskop. Pemeriksaan ini tidaklah mudah, ternyata pemeriksaan retina pada mayat jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan orang hidup. Dan perubahan warna yang terjadi pada retina dicoba dihubungkan dengan perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran darah maka pembuluh darah retina akan mengalami perubahan yang disebut segmentasi atau ‘trucking’ dan ini terjadi dalam 15 menit pertama setelah kematian. Pada pemeriksaan dalam 2 jam pertama setelah kematian, dapat dilihat retina tampak pucat dan daerah sekitar fundus tampak kuning, demikian pula daerah sekitar makula. Sekitar 6 jam batas fundus menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi pada pembuluh darah, dengan latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan. Gambaran ini mencapai seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12 jam diskus hanya dapat dilihat sebagai titik yang terlokalisasi dengan sisa-sisa pembuluh darah yang bersegmentasi hingga pada akhirnya diskus dan pembuluh darah retina menghilang yang ada hanya makula yang berwarna coklat gelap. Beberapa pengamat menggambarkan perubahan dini posmortem yang terjadi pada retina mempunyai arti yang kecil untuk dihubungkan dengan perkiraan saat mati. Sedangkan Tomlin ( 1967) beranggapan bahwa segmentasi pada retina lebih berindikasi pada kematian serebral daripada penghentian sirkulasi.

Wroblewski dan Ellis (1970) mempelajari perubahan mata pada 300 mayat dimana tidak hanya perubahan yang terjadi pada retina tetapi juga perubahan yang terjadi pada kornea juga dicatat. Mereka telah memeriksa 204 fundus dari subjek dan 115 diantaranya terdapat segmentasi atau ‘trucking’ pada satu atau kedua mata setelah satu jam posmortem dan negatif pada 89 lainnya. Bagian yang paling sulit pada pemeriksaan ini adalah kekeruhan kornea yang terjadi dalam 75%

(8)

pasien dalam 2 jam setelah kematian. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa segmentasi merupakan perubahan posmortem yang alami daripada menghubungkannya dengan perkiraan saat kematian.

-

Tanda Kematian Pasti 1. Lebam Mayat

Lebam Mayat disebut juga Post Mortem Lividity, Post Mortem Suggilation, Hypostasis, Livor Mortis, Stainning. Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed dimana pembuluh–pembuluh darah kecil afferent dan efferent saling berhubungan. Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ke tempat–tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa gravitasi lebih banyak mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnya juga mengalir ke bagian terendah yang memberikan kontribusi pada pembentukan gelembung–gelembung di kulit pada awal proses pembusukan.

Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpulan darah terjadi secara pasif maka tempat–tempat di mana mendapat tekanan lokal akan menyebabkan tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga meniadakan terjadinya lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah tersebut berwarna lebih pucat.

Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian, Dimana setelah terbentuk hypostasis yang menetap dalam waktu 10–12 jam ternyata akan memberikan lebam mayat pada sisi yang berlawanan setelah dilakukan reposisi pada tubuh dari pronasi ke supinasi (interpostmorchange).

Lebam mayat ini biasanya berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya bercak-bercak yang berwarna keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah kematian dimana bercak-bercak ini intensitasnya menjadi meningkat dan kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa jam kemudian, dimana fenomena ini menjadi komplet dalam waktu kurang lebih 8–12 jam, pada waktu ini dapat dikatakan lebam mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan oleh karena terjadinya perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah akibat tertimbunnya sel–sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8-12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat memberi indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna. Setelah empat jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga menyebabkan warna lebam mayat akan menetap serta tidak hilang jika ditekan dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi dilakukan setelah 12 jam dari kematiannya maka lebam mayat baru tidak akan timbul pada posisi terendah, karena darah sudah mengalami koagulasi.

Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relatif. Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian, bila telah terbentuk lebam primer kemudian dilakukan perubahan posisi maka akan terjadi lebam sekunder pada posisi yang berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang ganda ini adalah penting untuk menunjukan telah terjadi manipulasi posisi pada tubuh. Akan tetapi waktu yang pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah tidak pasti, Polson mengatakan “ untuk menunjukan tubuh sudah diubah dalam waktu 8 sampai 12 jam”, sedangkan Camps memberi patokan kurang lebih 10 jam.

Akan tetapi pada kematian wajarpun darah dapat menjadi permanent incoagulable oleh karena adanya aktifitas fibrinolisin yang dilepas kedalam aliran darah selama proses kematian. Sumber dari fibrinolisin ini tidak diketahui tetapi kemungkinan berasal dari endothelium pembuluh darah, dan permukaan serosa dari pleura. Aktifitas fibrinolisin ini nyata sekali pada kapiler-kapiler yang berisi darah. Darah selalu ditemukan cair dalam venule dan kapiler, dan ini yang bertanggung jawab terhadap lebam mayat.

Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie (tardieu`s spot) dan purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang mempunyai diameter dari satu sampai beberapa milimeter, biasanya memerlukan waktu 18 sampai 24 jam untuk terbentuknya dan sering diartikan bahwa pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini sering terjadi pada asphyxia atau kematian yang terjadinya lambat.

2. Kaku Mayat (Rigor Mortis)

Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kimiawi pada protein yang terdapat pada serabut-serabut otot. Menurut Szen-Gyorgyi di dalam pembentukan kaku mayat peranan ATP adalah sangat penting. Seperti diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin dan myosin, dimana kedua jenis protein ini bersama dengan ATP membentuk suatu masa yang lentur dan dapat berkontraksi (gambar I). Bila kadar ATP menurun, maka akan terjadi pada perubahan pada akto-miosin, diamana sifat lentur dan kemampuan untuk berkontraksi menghilang sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi kaku dan tidak dapat berkontraksi.

(9)

Oleh karena kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot itu berbeda-beda, sehingga sewaktu terjadinya pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada saat terjadinya kematian somatic, dimana energi tersebut digunakan untuk resintesa ATP, akan menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Keadaan tersebut dapat menerangkan mengapa kaku mayat akan mulai nampak pada jaringan otot yang jumlah serabut ototnya sedikit. Atas dasar itulah mengapa pada kematian karena infeksi, konvulsi kelelahan fisik serta keadaan suhu keliling yang tinggi akan dapat mempercepat terbentuknya kaku mayat, demikian pula pada mereka yang keadaan gizinya jelek akan lebih cepat terjadi kaku mayat bila dibandingkan dengan korban yang mempunyai tubuh yang baik.

Secara biokimiawi saat relaksasi primer, pH protoplasma sel otot masih alkalis. Perubahan alkalis menjadi asam terjadi 2-6 jam kemudian karena adanya perubahan biokimia, yaitu glikogen menjadi asam sarkolaktik / fosfor. Perubahan protoplasma menjadi asam menyebabkan otot menjadi kaku (rigor). Relaksasi sekunder terjadi setelah ada perubahan biokimia, yaitu asam berubah menjadi alkalis kembali saat terjadi pembusukan.

Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot (gambar II), baik otot lurik maupun otot polos. Dan bila terjadi pada otot rangka, maka akan didapatkan suatu kekakuan yang mirip atau menyerupai papan sehingga dibutuhkan cukup tenaga untuk dapat melawan kekakuan tersebut , bila hal ini terjadi otot dapat putus sehingga daerah tersebut tidak mungkin lagi terjadi kaku mayat.

Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya setelah 10-12 jam pos mortem, keadaan ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.

Adanya kejanggalan dari postur pada mayat dimana kaku mayat telah terbentuk dengan posisi sewaktu mayat ditemukan, dapat menjadi petunjuk bahwa pada tubuh korban telah dipindahkan setelah mati. Ini mungkin dimaksudkan untuk menutupi sebab kematian atau cara kematian yang sebenarnya.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat :

a)

Kondisi otot

 Persediaan glikogen

Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi tubuh sehat sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan lama, juga pada orang yang sebelum mati banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan lambat.

 Gizi

Pada mayat dengan kondisi gizi jelek saat mati, kaku mayat akan cepat terjadi.  Kegiatan Otot

Pada orang yang melakukan kegiatan otot sebelum meninggal maka kaku mayat akan terjadi lebih cepat.

b)

Usia

 Pada orang tua dan anak-anak lebih cepat dan tidak berlangsung lama.

 Pada bayi premature tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada bayi cukup bulan.

c)

Keadaan Lingkungan

 Keadaan kering lebih lambat dari pada panas dan lembab

 Pada mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lama.

 Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi pada suhu rendah kaku mayat lebih lambat dan lama.

 Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10oC, kekakuan yang terjadi pembekuan atau cold stiffening.

d)

Cara Kematian

 Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kuku mayat lebih cepat terjadi dan berlangsung tidak lama.  Pada mati mendadak, kaku mayat terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama.

Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat)

 Kurang dari 3 – 4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis  Lebih dari 3 – 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis  Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian  Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam

(10)

Terdapat kekakuan pada pada mayat yang menyerupai kaku mayat :

-

Cadaveric spasme (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasme sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.

Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam pada kasus bunuh diri.

-

Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tepi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada saat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.

-

Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin (dibawah 3,5oC atau 40oF), sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, bila cairan sendi yang membeku menyebabkan sendi tidak dapat digerakan. Bila sendi di bengkokkan secara paksa maka akan terdengar suara es pecah. Dan mayat yang kaku ini akan menjadi lemas kembali bila diletakkan ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan terjadi dalam waktu yang sangat singkat.

3. Pembusukan Atau Decompositio

Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection. Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme, terutama Clostridium welchii. Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pankreas akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada jantung. Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini tetap terjadi. Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena adalah nukleoprotein yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian dinding sel akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak dan mencair.

Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh pengaruh suhu yang rendah maka proses autolisis ini akan dihambat demikian juga pada suhu tinggi enzim-enzim yang terdapat pada sel akan mengalami kerusakan sehingga proses ini akan terhambat.

Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah, dimana darah merupakan media yang terbaik bagi bakteri untuk berkembang biak. Bakteri ini menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan sesudah mati, pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang sering menyebabkan destruktif ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama adalah Cl. welchii. Bakteri ini berkembang biak dengan cepat sekali menuju ke jaringan ikat dinding perut yang menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini terjadi oleh karena reaksi antara H2S (gas pembusukan yang terjadi dalam usus besar) dengan Hb menjadi Sulf-Meth-Hb. Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada dinding abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka kanan dimana isinya lebih cair, mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya yang lebih superfisial. Perubahan warna ini secara bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada dan bau busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon transversum. Pada saat Cl.welchii mulai tumbuh pada satu organ parenchim, maka sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami disintegrasi dan nukleusnya akan dirusak sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan strukturnya.

Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang biak didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang kemudian mewarnai dinding pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya sehingga pembuluh darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih jelas seperti pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent mark) yang sering disebut marbling. Bakteri pembusukan ini banyak terdapat dalam intestinal dan paru, maka gambaran marbling ini jelas terlihat pada bahu,dada bagian atas, abdomen bagian bawah dan paha.

(11)

Secara mikroskopis bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan dimana bakteri tersebut banyak memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang tadinya kecil dapat cepat membesar menyerupai honey combed appearance. Lesi ini dapat dilihat pertama kali pada hati . Kemudian permukaan lapisan atas epidermis dapat dengan mudah dilepaskan dengan jaringan yang ada dibawahnya dan ini disebut ‘skin slippage’. Skin slippage ini menyebabkan identifikasi melalui sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi antara epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-bula yang bening, fragil, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang berbau busuk. Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi secara penuh di dalam bula. Bula dapat menjadi sedemikian besarnya menyerupai pendulum yang berukuran 5 – 7,5 cm dan bila pecah meninggalkan daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini disebabkan oleh karena pecahnya sel-sel lemak subkutan sehingga cairan lemak keluar ke lapisan dermis oleh karena tekanan gas pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku, rambut kepala, aksila dan pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya desintegrasi pada akar rambut.

Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung udara mengisi hampir seluruh jaringan subkutan. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam sikap pugilistic attitude.

Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat menggembung, bibir menonjol seperti “frog-like-fashion”, Kedua bola mata keluar, lidah terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati.

Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas pembusukan yang terjadi didalam cavum abdominal menyebabkan pengeluaran udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trakea dan bronkus terdorong keluar, bersama-sama dengan cairan darah yang keluar melalui mulut dan hidung. Cairan pembusukan dapat ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan dengan hematotorak dan biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc. Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal yang meningkat. Pada wanita uterus dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir dari uterus yang pregnan. Pada anak-anak adanya gas pembusukan dalam tengkorak dan otak menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi mudah terlepas.

Organ-organ dalam mempunyai kecepatan pembusukan yang berbeda-beda. Jaringan intestinal,medula adrenal dan pancreas akan mengalami autolisis dalam beberapa jam setelah kematian. Organ-organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa merupakan organ yang cepat mengalami pembusukan. Perubahan warna pada dinding lambung terutama di fundus dapat dilihat dalam 24 jam pertama setelah kematian. Difusi cairan dari kandung empedu kejaringan sekitarnya menyebabkan perubahan warna pada jaringan sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat dilihat gambaran honey combs appearance, limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek, dan otak menjadi lunak.

Pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah pembentukan granula- granula milliary atau ‘milliary plaques’ yang berukuran kecil dengan diameter 1-3 mm yang terdapat pada permukaan serosa yang terletak pada endotelial dari tubuh seperti pleura, peritoneum, pericardium dan endocardium.

Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu:

1.

Early : Organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medula adrenal, pankreas, otak, lien, usus,

uterus gravid, uterus post partum, dan darah

2.

Moderate : Organ dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal, diafragma, lambung, otot polos

dan otot lurik.

3.

Late : Uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap pembusukan karena memiliki

struktur yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu jaringan fibrousa.

Pada orang yang mengalami obesitas, lemak-lemak tubuh terutama perirenal, omentum dan mesenterium dapat mencair menjadi cairan kuning yang transluscent yang mengisi rongga badan diantara organ yang dapat menyebabkan autopsi lebih sulit dilakukan.

Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang peranan penting dalam proses pembusukan sesudah mati. Beberapa jam setelah kematian lalat akan hinggap di badan dan meletakkan telur-telurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan telinga. Biasanya jarang pada daerah genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat lalat lebih sering meletakkan telur-telurnya pada luka tersebut, sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah genitoanal ini maka dapat dicurigai adanya kekerasan seksual sebelum kematian. Telur-telur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva ini mengeluarkan enzim proteolitik yang dapat mempercepat penghancuran jaringan pada tubuh. Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva lalat.

(12)

Insekta tidak hanya penting dalam proses pembusukan tetapi meraka juga memberi informasi penting yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian, memberi petunjuk bahwa tubuh mayat telah dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, memberi tanda pada badan bagian mana yang mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam pemeriksaan toksikologi bila jaringan untuk specimen standart juga sudah mengalami pembusukan.

Aktifitas pembusukan sangat optimal pada temperatur berkisar antara 70°- 100°F (21,1-37,8°C) aktifitas ini dihambat bila suhu berada dibawah 50°F(10°C) atau pada suhu diatas 100°F (lebih dari 37,8°C). Bila mayat diletakkan pada suhu hangat dan lembab maka proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Sebaliknya bila mayat diletakkan pada suhu dingin maka proses pembusukan akan berlangsung lebih lambat. Pada mayat yang gemuk proses pembusukan berlangsung lebih cepat dari pada mayat yang kurus. Pembusukan berlangsung lebih cepat karena kelebihan lemak akan menghambat hilangnya panas tubuh dan pada mayat yang gemuk memiliki darah yang lebih banyak, yang merupakan media yang baik untuk perkembangbiakkan organisme pembusukan.

Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat menghambat pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi yang baru lahir memang terdapat sedikit bakteri sehingga proses pembusukan berlangsung lebih lambat. Proses pembusukan juga dapat dipercepat dengan adanya septikemia yang terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis, aborsi septik, dan infeksi paru. Disini gas pembusukan dapat terjadi walaupun kulit masih terasa hangat.

Secara garis besar terdapat 17 tanda pembusukan pada jenazah, yaitu :

1.

Wajah membengkak.

2.

Bibir membengkak.

3.

Mata menonjol.

4.

Lidah terjulur.

5.

Lubang hidung keluar darah.

6.

Lubang mulut keluar darah.

7.

Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan partus (gravid).

8.

Badan gembung.

9.

Bulla atau kulit ari terkelupas.

10.

Aborescent pattern / morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan.

11.

Pembuluh darah bawah kulit melebar.

12.

Dinding perut pecah.

13.

Skrotum atau vulva membengkak.

14.

Kuku terlepas.

15.

Rambut terlepas.

16.

Organ dalam membusuk.

17.

Larva lalat.

Pembusukan dipengaruhi oleh beberapa faktor interinsik diatas, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik antara lain kelembaban udara dan medium di mana mayat berada. Semakin lembab udara di sekeliling mayat maka pembusukan lebih cepat berlangsung, sedangkan pembusukan pada medium udara lebih cepat dibandingkan medium air dan pembusukan pada medium air lebih cepat dibandingkan pada medium tanah.

Pada keadaan tertentu tanda-tanda pembusukan tersebut tidak dijumpai, namun yang ditemui adalah modifikasi pembusukan.

4. Mumifikasi

Mumifikasi dapat terjadi karena proses dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan. Proses mumufikasi terjadi bila keadaan disekitar mayat kering, kelembaban rendah, suhunya tinggi dan tidak ada kontaminasi dengan bakteri. Terjadinya beberapa bulan sesudah mati dengan tanda-tanda sebagai berikut mayat menjadi kecil, kering, mengkerut atau melisut, warna coklat kehitaman, kulit melekat erat dengan tulang di bawahnya, tidak berbau, dan keadaan anatominya masih utuh.

5. Saponifikasi

Saponifikasi dapat terjadi pada mayat yang berada di dalamsuasana hangat, lembab atau basah. Terjadi karena proses hidrolisis dari lemak menjadi asam lemak. Selanjutnya asam lemak yang tak jenuh akan mengalami dehidrogenisasi menjadi asam lemak jenuh dan kemudian bereaksi dengan alkali menjadi sabun yang tak larut. Terbentuk pertama kali pada lemak superfisial bentuk bercak, di pipi, di payudara, bokong bagian tubuh atau ekstremitas. Terjadinya saponikasi memerlukan waktu beberapa bulan dan dapat terjadi pada setiap jaringan tubuh yang berlemak dengan tanda-tanda berwarna keputihan dan berbau tengik seperti minyak kelapa.

(13)

6. Penurunan suhu tubuh mayat/algor mortis

Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energi. Kalor dan energi ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber energi seperti glukosa, lemak, dan protein. Sumber energi utama yang digunakan adalah glukosa. Satu molekul glukosa dapat menghasilkan energi sebanyak 36 ATP yang nantinya digunakan sebagai sumber energi dalam berbagai hal seperti transport ion, kontraksi otot dan lain-lain. Energi sebanyak 36 ATP hanya menyusun sekitar 38% dari total energi yang dihasilkan dari satu molekul glukosa. Sisanya sebesar 62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan sebagai kalor atau panas.

Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem.

Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada 2 faktor, yaitu :

1. Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih adanya proses glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan di otot dan hepar (gambar II.2).

2. Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu.

Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersebut antara 0,9 sampai 1 derajat celcius atau sekitar 1,5 derajat Fahrenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai dari 37 derajat Celcius atau 98,4 derajat Fahrenheit sehingga dengan dapat dirumuskan cara untuk memperkirakan berapa jam mayat telah mati dengan rumus (98,4oF - suhu rectal oF) : 1,5oF. Pengukuran dilakukan per rectal dengan menggunakan thermometer kimia (long chemical thermometer).

Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:

a.

Faktor internal

-

Suhu tubuh saat mati

Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati dengan suhu tubuh tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan, pada hypothermia tingkat penurunannya menjadi sebaliknya.

-

Keadaan tubuh mayat

Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi lebih cepat.

b.

Faktor Eksternal

-

Suhu medium

Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di tubuh mayat dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.

-

Keadaan udara di sekitarnya

Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik. Selain itu, Aliran udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat

-

Jenis medium

Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air merupakan konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas dari tubuh mayat.

-

Pakaian mayat

Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat. Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau lingkungan lebih mudah.

Entomologi Forensik

Entomologi forensik merupakan salah satu cabang dari sains forensik yang memberikan informasi mengenai serangga yang digunakan untuk menarik kesimpulan ketika melakukan investigasi yang berhubungan dengan kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan dengan manusia atau satwa (Gaensslen, 2009; Gennard, 2007).

(14)

Dalam kasus entomologi forensik, Gomes et al. (2006) menyatakan bahwa lalat merupakan invertebrata primer yang mendekomposisi komponen organik pada hewan termasuk juga mayat manusia. Pada saat lalat mengambil materi organik yang ada di dalam tubuh mayat, maka lalat tersebut akan memindahkan telur yang akan berkembang menjadi larva dan pupa (Sukontason et al., 2007). Adanya berbagai perubahan dari berbagai jenis lalat dan serangga lain akan menimbulkan suatu komunitas dalam mayat yang secara ekologi dan evolusi akan terjadi proses kompetisi, predasi, seleksi, penyebaran dan kepunahan lokal dalam tubuh mayat tersebut (Hangeveld, 1989).

Amendt et al. (2004a) menyebutkan bahwa ada empat kategori secara ekologi untuk mengidentifikasi suatu komunitas pada bangkai/mayat, antara lain:

1. Adanya spesies necrophagous yang memakan bangkai/mayat.

2.

Adanya predator dan parasit pada terhadap spesies necrophagous yang memakan serangga atau golongan Arthropoda yang lain. Terkadang juga ditemukan spesies Schizophagous, yakni spesies yang hadir untuk memakan pada saat pertama kali, namun akan menjadi predator pada tahap larva.

3.

Adanya spesies omnivora seperti semut, lebah, dan beberapa jenis kumbang yang memakan baik pada bangkai maupun pada koloni serangga yang ada.

4.

Adanya spesies lain seperti laba-laba yang menggunakan bangkai/mayat untuk tempat tinggalnya. Tahapan Dekomposisi

Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik, yakni faktor abiotik yang meliputi parameter fisik seperti temperatur, kelembaban, dan lain-lain. Menurut Gennard (2007) dan Goff (2003), tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain:

Tahap1: fresh stage, tahapan dimulai pada saat kematian dan ditandai adanya tanda penggelembungan pada tubuh. Serangga yang pertama kali datang adalah lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina akan meletakkan telurnya di daerah yang terbuka seperti daerah kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).

Tahap 2: bloated stage, merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan penggelembungan pada pada perut mayat. Selanjutnya suhu internal naik selama tahapan ini sebagai akibat dari aktivitas bakteri pembusuk dan aktivitas metabolime dari larva lalat. Lalat dari famili Calliphoridae sangat tertarik pada mayat selama tahapan ini. Kemudian selama mengembang akibat adanya gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan meresap ke dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa seperti amonia yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme dari larva lalat sehingga akan menyebabkan tanah di bawah mayat itu untuk menjadi alkali (basa) dan fauna tanah menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.

Tahap 3: decay stage, tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan mengakibatkan gas keluar dari tubuh. Larva lalat membentuk gerombolan yang besar pada mayat. Meskipun beberapa serangga predator, seperti kumbang, tawon, dan semut, pada tahap bloated stage, serangga necrophagous dan predator dapat diamati dalam jumlah besar menjelang tahapan ini berakhir. Pada akhir tahap ini, lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menyelesaikan perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayat untuk menjadi pupa. Pada akhir tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan tubuh pada mayat.

Tahap 4: postdecay stage, pada tahap ini sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan usus sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan mengering. Indikator pada tahap ini adalah hadirnya kumbang dan berkurangnya dominansi lalat di dalam tubuh mayat.

Tahap 5: skeletal stage, pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut. Tahapan ini tidak jelas serangga apa saja yang hadir. Pada kasus tertentu, kumbang dari famili Nitidulidae terkadang ditemukan. Tubuh mayat sudah mengalami akhir dari dekomposisi.

Estimasi Waktu Kematian

Ahli entomologi forensik sering memeriksa bukti serangga pada mayat manusia dan menetukan berapa lama serangga tersebut berada di mayat. Periode waktu tersebut di interpretasikan dalam postmortem interval (PMI) atau waktu sejak kematian. Analsis PMI terbagi menjadi dua, yakni precolonization interval (pre-CI) dan postcolonization interval(post-CI).

Pada Gambar V tersebut menggambarkan periode kolonisasi dan aktivitas serangga pada mayat. Adapun perubahan-perubahan pada mayat manusia setelah mengalami kematian disajikan pada Tabel 1. Pola-pola peruabahan pada Tabel 1 dapat digunakan untuk mengetahui estimasi waktu kematian pada manusia. Selain itu, untuk waktu kematian berdasarkan

(15)

perkembangan serangga disajikan pada Gambar 5. Contoh pada Gambar 5 tersebut adalah menentukan waktu kematian berdasarkan siklus hidup serangga Protophormia terraenovae.

Untuk mengukur waktu kematian dapat digunakan suhu yang dibutuhkan oleh serangga untuk hidup. Serangga merupakan hewan poikilotermik atau hewan yang suhu tubuh dan aktivitas metabolismenya dipengaruhi oleh lingkungan. Serangga menggunakan energi panas (thermal unit) untuk pertumbuhan dan perkembangnya. Sehingga kebutuhan energi selama masa hidupnya dapat dikalkulasi. Thermal unit disebut juga hari derajat (degree days – °D ) yang mana nilai °D dapat ditambahkan bersamaan yang akan menghasilkan nilai accumulated degree days (ADD). Jika periode thermal unit pendek maka bisa digunakan accumulated degree hours (ADH). Dari peristiwa tersebut, maka waktu kematian dpat dihitung dengan menggunakan rumus:

ADH= Waktu(hours) × (temperatur - temperatur basal) ADD= Waktu(days) × (temperatur - temperatur basal)

Waktu yang digunakan adalah waktu tahapan perkembangan serangga yang dapat diketahui dari literatur yang sudah ada. Sementara temperatur yang digunakan adalah temperatur lingkungan yang bisa diperoleh melalui stasium badan meteorologi. Sementara temperatur basal adalah temperatur fisiologi terendah yang setiap serangga memiliki nilai temperatur yang berbeda- beda

Sebagai contoh ditemukan larva instar III dari spesies Calliphora vicina yang periode waktunya selama 68 jam. Kemudian suhu lingkungan adalah 26,7°C dan tempertur basalnya adalah 2°C. Sehingga akan diperoleh nilai:

ADH = 68 × (26,7 – 2) = 1679,6 ADD =1679,6/24 = 7

Dari perhitungan tersebut dapat diperkirakan waktu kematiannya adalah 7 hari (Gennard, 2007).

L.I 3 Mempelajari Visum et Repartum Definisi Visum et Repartum

Visum et repertum disingkat VeR adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.

Visum et repertum adalah laporan tertulis (termasuk kesimpulan mengenai sebab-sebab perlukaan/kematian) yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah jabatan, mengenai apa yang dilihat/diperiksa berdasarkan keilmuannya, atas permintaan tertulis dari pihak berwajib untuk kepentingan peradilan.

Dasar Hukum Visum et Repertum Pasal 133 KUHAP menyebutkan:

1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP :

Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP).

(16)

Pasal 179 KUHAP

(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan

(2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya

Sanksi hukum bila siapa saja yang menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanksi pidana : Pasal 216 KUHP :

Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Pasal 222 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

Pasal 224 KUHP :

Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam : dalam perkara pidana, dengan penjara paling lama sembilan bulan.

Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP: Alat bukti yang sah adalah :

(a) Keterangan saksi, (b) Keterangan ahli, ( c ) Surat, (d) Petunjuk, (e) Keterangan terdakwa

Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP.

Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.

Jenis-jenis visum et repertum: Visum et Repertum korban hidup :

 Visum et repertum.

 Visum et Repertum sementara.  Visum et Repertum lanjutan. Visum et Repertum mayat

Harus dibuat berdasarkan hasil autopsi lengkap  Visum et Repertum pemeriksaan TKP.  Visum et Repertum penggalian mayat.  Visum et Repertum mengenai umur.

Referensi

Dokumen terkait

“ Pengaruh Modal Kerja dan Diferensiasi Produk Terhadap Keberhasilan Usaha “ (Survey Pada Pengusaha Kerupuk Udang di Kabupaten Indramayu )” dibawah bimbingan

Gambaran resiko terjadinya kanker serviks menggunakan metode IVA di Puskesmas Ngoresan Surakarta menunjukan bahwa yang sudah melakukan pemeriksaan IVA tes

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui , perbedaan aktivitas dan hasil belajar, lintas minat

Maka dari itu, dalam tugas akhir ini dirancang sebuah media edukasi yang berjudul “Perancangan Media Edukasi Sebagai Salah Satu Cara Untuk Merubah Perilaku Agar

Analisis Strategi Pengembangan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Pengusaha Krupuk dan Camilan Hasil Olahan Laut Pantai Kenjeran Lama. Dari analisa kesejahteraan diatas telah

[r]

Bina Bicara, Persepsi Bunyi dan Irama. Bandung: Refika

Bibit yang digunakan petani di Banjar Batusesa umumnya bibit yang berasal dari peranakan yang berasal dari usahatani bawang prei sebelumnya, sehingga biaya bibit