• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah siswi-siswi dari dua Sekolah Menengah Pertama terpilih yaitu SMP Purnawarman di Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor dan MTs Fathusa’adah di Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor, kelas VII, VIII dan IX. Sampel yang diikutkan dalam penelitian ini berjumlah 55 orang, terdiri dari kelompok perlakuan 29 orang dan kelompok kontrol 27 orang. Tetapi satu orang dari kelompok kontrol drop out karena berhenti sekolah sehingga pada kelompok kontrol menjadi 26 orang, tetapi hal ini tidak menjadi masalah karena masih memenuhi persyaratan batas minimal sampel yaitu 25 orang.

Tabel 7. Gambaran umum sampel Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P Rata-rata Umur ± SD 13.67 ± 0.81 a 13.62 ± 1.13 a 0.735 Sudah menstruasi 79.3% 76.9% Belum menstruasi 20.7% 23.1%

Lama menstruasi 5.96 ± 0.92 hari 6.15 ± 1.18 hari a

Umur siswi-siswi yang menjadi sampel dalam penelitian ini antara 12-15 tahun. Rataan umur responden pada kedua kelompok hampir sama masing-masing sebesar 13.67 ± 0.81 tahun untuk kelompok perlakuan dan 13.62 ± 1.13 tahun untuk kelompok kontrol (Tabel 7). Secara statistik rataan umur pada kedua kelompok tidak berbeda nyata (P > 0.05), 20.7% responden pada kelompok perlakuan dan 23.1% responden pada kelompok kontrol belum mendapatkan menstruasi (Tabel 7). Responden yang sudah mendapatkan menstruasi semuanya menyatakan menstruasinya teratur dengan lama menstruasi rata-rata 5.96 ± 0.92 hari untuk kelompok perlakuan dan 6.15 ± 1.18 hari untuk kelompok kontrol. Perbedaan lama menstruasi ini secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0.05).

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

(2)

Berdasarkan status antropometri, rata-rata indeks massa tubuh (IMT) pada kelompok perlakuan 17.86 ± 2.26 dan 18.29 ± 2.74 pada kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan 38% responden termasuk sangat kurus dan 21% termasuk kurus. Pada kelompok kontrol 35% termasuk sangat kurus dan 23% termasuk kurus, sisanya termasuk katagori normal, masing-masing pada kelompok perlakuan dan kontrol 41% dan 42% (Gambar 11).

Tabel 8. Gambaran Rata-rata Indeks Massa Tubuh Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P IMT± SD 17.86 ± 2.26a 18.29 ± 2.74 0.980 a maksimum 13.10 12.20 minimum 22.10 24.30 a

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

Gambar 11. Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT)

Pada studi cross sectional, status IMT dapat menjadi faktor resiko kejadian anemia. Hasil analisis data SKRT (2001) menunjukkan determinan anemia remaja diantaranya adalah status gizi, bagi yang berstatus gizi kurus mempunyai kemungkinan terkena anemia sebesar 1.5 kali dibandingkan dengan yang normal (Permaesih dan Herman, 2005), sedangkan hasil analisis data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) yang dilakukan oleh Nead et al. (2004) menunjukkan bahwa pada kelompok anak dan remaja yang kegemukan beresiko terkena defisiensi zat besi lebih besar dibandingkan yang normal.

38%

21% 41%

IMT Kelompok Perlakuan sangat kurus kurus normal

35%

23% 42%

IMT Kelompok kontrol sangat kurus kurus normal

(3)

Kondisi kesehatan responden diperiksa oleh dokter dari Puskesmas di kecamatan tersebut untuk mengetahui riwayat penyakit dan kondisi kesehatan yang diperkirakan akan mempengaruhi indikator biokimia. Semua siswi baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol semuanya dalam keadaan sehat tidak menderita penyakit infeksi/kronis, sehingga kemungkinan anemia tidak diakibatkan oleh penyakit infeksi/kronis, namun untuk mencegah adanya pengaruh penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit (cacingan) yang dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap hasil intervensi kapsul besi maka semua siswi yang menjadi sampel dalam penelitian ini diberi obat cacing pirantel pamoat dosis tunggal (250 mg) tiga hari sebelum intervensi kapsul besi dilaksanakan.

Latar belakang keluarga responden berdasarkan rata-rata umur orang tua yang ikut serta dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Rata-rata umur ayah dari kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 45.66 ± 7.07 tahun dan 44.12 ± 6.34 tahun dan ibu masing-masing 40.83 ± 6.89 tahun dan 39.46 ± 5.95 tahun. Rata-rata usia tersebut adalah termasuk usia produktif.

Tabel 9. Rata-rata Umur Orang Tua Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P umur ayah 45.66 ±7.07 a 44.12±6.34 a 0.543 umur ibu 40.83±6.89 a 39.46±5.95 a 0.494 a

Berdasarkan pekerjaan, dapat dilihat pada Gambar 12 sebagian besar kepala keluarga bekerja sebagai buruh, 37.93% pada kelompok perlakuan dan 30.77% pada kelompok kontrol. Pekerjaan kepala keluarga yang lain adalah pegawai swasta, masing-masing 20.69% dan 15.38% untuk kelompok perlakuan dan kontrol, sedangkan pedagang seperti pedagang keliling, pedagang asongan, pedagang kaki lima, petani dan supir sebesar 28.13% dan 23.68%, serta pekerjaan lainnya masing-masing sebesar 10.34% dan 26.92% dan masih terdapat kepala keluarga yang tidak bekerja masing-maing 3.45% dan 3.25% untuk kelompok kontrol dan perlakuan. Sebagian besar ibu tidak bekerja atau hanya sebagai ibu

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

(4)

rumah tangga saja, 79.31% untuk kelompok perlakuan dan 84.62% untuk kelompok kontrol. Sebaran responden menurut latar belakang pekerjaan orang tua antara kedua kelompok tidak berbeda nyata (P > 0.05). Dilihat dari jenis pekerjaan orang tua responden tersebut, diduga sebagian besar responden berasal dari kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah. Pola konsumsi dan keadaan ekonomi akan berdampak pada ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan sumber zat besi. Hal ini juga berpengaruh pada tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat besi (Wirakusumah, 1999).

Gambar 12. Pekerjaan orang tua

Latar belakang pendidikan orang tua responden dapat dilihat pada Gambar 13 tingkat pendidikan formal ayah dan ibu pada kelompok perlakuan dan kontrol relatif rendah, masing-masing 55.17% dan 65.39% ayah, 68.97% dan 73.08% ibu hanya berpendidikan formal sampai SD. Masing-masing hanya 13.79% dan 3.38% ayah, 3.45% dan 3.85% ibu yang dapat menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SLTA. Sebaran responden menurut latar belakang pendidikan orang tua

(5)

antara kedua kelompok tidak berbeda nyata (P > 0.05). Rendahnya tingkat pendidikan orang tua ini dapat mempengaruhi sikap dan pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan.

Gambar 13. Persentase pendidikan orang tua

Kepatuhan Minum Kapsul

Kapsul zat besi diberikan kepada responden sebanyak dua kali seminggu setiap hari selasa dan jum’at selama 12 minggu. Selama penelitian ini berlangsung, responden mendapatkan 25 kapsul zat besi. Kapsul yang diberikan diusahakan diminum disekolah di hadapan petugas peneliti dan guru yang membantu dalam penelitian ini. Bagi sampel penelitian yang tidak masuk pada saat pemberian kapsul, maka kapsul tersebut diberikan besok harinya oleh guru di sekolah dan harus diminum di hadapan guru yang bertugas membagikan kapsul, tetapi apabila responden tetap tidak masuk sekolah maka kapsul diantar oleh guru ke rumah responden dan harus diminum di hadapan guru dan orang tua. Karena penelitian ini melewati masa bulan puasa, maka pada saat puasa kapsul diizinkan dibawa pulang oleh responden untuk diminum pada saat berbuka puasa dihadapan

(6)

orang tua. Setiap responden dibekali surat pernyataan yang harus ditanda tangani oleh orang tua responden yang menyatakan bahwa orang tua responden benar-benar telah menyaksikan anaknya meminum kapsul yang diberikan oleh sekolah. Sebelum bulan puasa peneliti dibantu oleh pihak sekolah telah mengundang orang tua responden penelitian untuk mendapatkan penjelasan mengenai keharusan orang tua untuk ikut serta dalam memantau anaknya meminum kapsul zat besi selama bulan puasa. Jumlah kapsul yang diminum oleh sampel selama bulan puasa dihitung berdasarkan jumlah surat pernyataan dari orang tua yang dikembalikan ke peneliti. Bagi responden yang tidak mengembalikan surat penyataan tersebut dianggap tidak meminum kapsul yang diberikan. Rata-rata tingkat kepatuhan minum kapsul antara kedua kelompok dapat dilihat dapat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rata-rata jumlah kapsul yang diminum dan persentase kepatuhan Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P Rata-rata ± SD 24.31 ± 1.31 a 24.23 ± 1.79 a 0.641 % Kepatuhan 97.24 a 96.92 a 0.641 a

Pada penelitian ini, tingkat kepatuhan tinggi yaitu masing-masing sebesar 97.24% dan 96.92% untuk kelompok perlakuan dan kontrol, sehingga tidak menjadi pengganggu di dalam hasil analisis data biomarker status besi. Kepatuhan yang tinggi ini bisa dicapai karena setiap responden harus meminum kapsulnya di

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

Kapsul yang dikonsumsi oleh responden penelitian berkisar antara 24-25 kapsul yaitu 24.31 ± 1.31 butir kapsul untuk kelompok perlakuan dan 24.23 ± 1.79 butir kapsul untuk kelompok kontrol. .Kategori kepatuhan minum kapsul ditetapkan sebesar 80% (20 butir kapsul). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Ekstrom (2001), efektifitas suplementasi tablet besi dimulai sejak konsumsi tablet ke 20 dan tidak berpengaruh setelah tablet ke 40. Kepatuhan minum kapsul ini sangat penting dalam penelitian intervensi. Tingkat kepatuhan yang rendah menyebabkan efikasi yang tidak berbeda antara kelompok kontrol dan perlakuan ( Soekarjo et al 2004).

(7)

hadapan petugas dan apabila ada yang muntah maka segera diganti dengan kapsul yang baru, dan betul-betul dipastikan bahwa kapsul benar-benar ditelan dengan baik.

Sebagian besar sampel (75%) pada kelompok perlakuan termasuk kelompok kontrol yang hanya mendapatkan plasebo menyatakan selama minum kapsul mereka merasa lebih segar dan tidak cepat lelah, dan sebagian kecil sisanya menyatakan tidak merasakan dampak apa-apa dari pemberian kapsul.

Tabel 11. Persentase keluhan selama minum kapsul zat besi Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) Jumlah yang mengeluh Persentase Jumlah yang mengeluh Persentase

Tidak ada keluhan 26 89.7 26 100

Sakit kepala/pusing 2 6.9 0 0

Mual/Muntah 1 3.4 0 0

Selama pemberian kapsul zat besi hanya sedikit (6.9%) pada kelompok perlakuan yang mengeluh pusing dan 3.4% yang mengeluh mual pada minggu ke 2-3 pemberian kapsul, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kapsul zat besi sebanyak dua kapsul per minggu selama 12 minggu tidak memberikan efek samping yang bermakna.

Gambaran Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi

Data Konsumsi pangan dikumpulkan dengan metode recall 2 kali 24 jam, sebelum dan setelah intervensi yang dibandingkan dengan angka kecukupan menurut kelompok umur tertentu yang dianjurkan untuk mempertahankan kesehatan yang baik (Depkes, 2004). Meskipun metode recall ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya karena didasarkan pada ingatan seseorang dan tergantung pula pada keterampilan pewawancara, dan berdasarkan penelitian metode recall 24 jam ini cenderung lebih rendah (under estimate) sekitar 30% dibandingkan dengan metode pencatatan (Sa’diyyah dan Briawan 1999), data gambaran tingkat konsumsi energi, protein, vitamin dan mineral ini dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kerawanan gizi, termasuk pada

(8)

remaja putri yang sedang dalam pertumbuhan yang pesat. Besarnya rata-rata konsumsi energi, protein, vitamin dan mineral dapat dilihat pada Tabel 12, 13, 14, 15 dan16.

Gambaran asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein

Gambaran rata-rata asupan energi dan protein sampel dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13. Pada awal penelitian perkiraan rata-rata asupan energi pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 1469.62 ± 372.94 kkal dan 1442.12 ± 454.37 kkal. Bila dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan maka asupan energi pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing hanya memenuhi 64.99% ± 16.57% AKG dan 65.46% ± 23.47% AKG. Dilihat dari persentase rata-rata kecukupan energi pada kedua kelompok di atas termasuk mengalami defisit energi tingkat berat (<70% AKG), dan secara statistik dengan uji Mann Whitney tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok (P > 0.05).

Tabel 12. Rata-rata tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah intervensi

Asupan (kkal) dan tingkat kecukupan energi (%)

Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P Sebelum Asupan ± SD 1469.62 ± 371,94 a 1442.12 ± 454.37 a 0.625 AKG ± SD 64.99 ± 16.57 a 65.46 ± 23.47 a 0.787 Sesudah Asupan ± SD 1408.55 ± 271.50 a 1490.35 ± 433.66 a 0.781 AKG ± SD 62.43 ± 13.15 a 67.50 ± 22.13 a 0.611 a

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Pada akhir penelitian rata-rata asupan energi pada kelompok perlakuan terjadi penurunan menjadi 1408.55 ± 271.50 kkal atau 62.43% ± 13.15% AKG, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan menjadi 1490.35 ± 433.66 kkal atau 67.50% ± 22.13% AKG, tetapi secara statistik perubahan asupan energi pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda nyata (P > 0,05).

Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)

(9)

Diawal penelitian rata-rata asupan protein pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing sebesar 37.15 ± 14.60 gram dan 45.75 ± 18.06 gram. Bila dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan maka jumlah tersebut hanya memenuhi masing-masing 67.50% ± 26.27% AKG dan 85.50% ± 36.70% AKG. Tingkat kecukupan protein pada kelompok perlakuan termasuk defisit protein tingkat berat (<70% AKG) sedangkan pada kelompok kontrol termasuk defisit ringan (85%-95% AKG).

Perkiraan konsumsi energi di atas diduga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Resting Metabolic Rate (berdasarkan rumus dari Schofield 1995, BMR untuk remaja putri usia 10-18 tahun = 8.4[BB dalam kg]+4.7[TB dalam cm]+200) sekitar 1108–1327 kkal. Apabila keadaan ini terus berlangsung kondisi pertumbuhan tubuh semakin buruk karena kebutuhan energi untuk keperluan berbagai aktivitas metabolisme tubuh tidak terpenuhi, akibatnya tubuh akan mengambil zat gizi lain terutama protein yang disimpan dalam tubuh untuk dimobilisasi menjadi energi.

Tabel 13. Rata-rata tingkat kecukupan asupan protein sebelum dan sesudah intervensi

Asupan (g) dan tingkat kecukupan protein (%)

Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P Sebelum Asupan ± SD 37.15 ± 14.60 a 45.75 ± 18.06 a 0.056 AKG ± SD 67.50 ± 26.27 a 85.49 ± 36.70 b 0.053 Sesudah Asupan ± SD 40.21 ± 16.04 a, 1 44.23 ± 18.16 a 0.453 AKG ± SD 73.04 ± 28.07 a 82.50 ± 36.38 a 0.381 a, b

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Rata-rata asupan protein pada kelompok perlakuan diakhir penelitian

tidak mengalami perubahan yang bermakna (P > 0.05) yaitu menjadi 40.21 ± 16.04 gram atau 73.04% ± 28.07% AKG, begitu pula pada kelompok

kontrol tidak terjadi perubahan rata-tara asupan protein secara bermakna Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi

(10)

(P > 0.05) menjadi 44.23 ± 18.16 gram atau 82.50% ± 36.38% AKG. Rata-rata angka kecukupan protein pada akhir penelitian tersebut tergolong defisit sedang (70% - 85% AKG). Apabila kondisis ini berlangsung terus maka pertumbuhan remaja akan terhambat, karena protein yang fungsi utamanya adalah untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh dengan asupan energi yang rendah maka protein akan dipecah menjadi energi untuk menutupi kekurangan energi tubuh, akibatnya fungsi utamanya tidak dapat dilaksanakan dan merugikan pertumbuhan fisik remaja.

Dengan rata-rata asupan energi yang sangat rendah dan asupan protein yang juga cukup rendah, hal yang kira-kira dapat menjelaskan mengapa mereka dapat bertahan melakukan kegiatan sehari-hari adalah karena adanya mekanisme homeostasis yang bekerja pada sistem tubuh manusia (Dasqupta & Ray 1986), Tubuh manusia tidak mengambil energi secara langsung dari makanan. Sebagai contoh, glukosa dikonversi menjadi ATP, yang kemudian dipecah untuk mensuplai kebutuhan energi tubuh. Dalam proses pembentukan ATP sejumlah besar fraksi energi dihamburkan sebagai panas. Fraksi energi ini paling tidak sebesar 45-50%, tetapi pada beberapa individu lebih tinggi. Sukhatme dan Margen (1982) berpendapat bahwa asupan energi individual yang tinggi relatif tidak efisien dalam konversi ini. Sebagai contoh, mereka yang biasa mengkonsmsi energi 1900 kkal per hari akan mempunyai efisiensi sebesar 50%, sedangkan mereka yang biasa mengkonsumsi energi sebesar 3200 kkal per hari akan mempunyai efisiensi sebesar 30%.

Gambaran asupan dan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C

Gambaran perkiraan rata-rata asupan vitamin A pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 14. Pada awal penelitian sebelum intervensi dilakukan perkiraan rata-rata asupan vitamin A pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 301.69 ± 214.37 RE atau 50.28 % ± 35.73% AKG dan 384.46 ± 234.97 RE atau 64.08 ± 39.16 AKG. Pada akhir penelitian setelah intervensi selesai dilakukan rata-rata asupan vitamin A baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol tidak menunjukkan ada perubahan yang nyata (P>0.05) yaitu menjadi 301.34 ± 165.76 RE atau 50.22% ± 27.63% AKG

(11)

dan 372.62 ± 188.95 RE atau 62.10% ± 31.49% AKG. Dengan uji Mann Whitney perkiraan rata-rata asupan vitamin A pada awal penelitian pada kedua kelompok tidak berbeda nyata (P >0.05).

Berdasarkan data sebelum dan sesudah intervensi, rata-rata tingkat kecukupan vitamin A tergolong defisit berat (< 70% AKG). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi kebutuhan vitamin A yang dianjurkan oleh Depkes (2004) untuk orang Indonesia usia 10-15 tahun adalah 600 RE. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan besi di dalam tubuh untuk dapat mensintesa hemoglobin. Beberapa hasil studi cross sectional menunjukkan bahwa peningkatan asupan vitamin A dapat mendorong ke arah peningkatan status besi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa vitamin A mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kadar hemoglobin (Suharno 1993; Bloem 1995) karena untuk keperluan sintesis Hb membutuhkan vitamin A, B2, B6, B12 dan asam folat (Lavental 2005). . Dengan asupan vitamin A yang rendah dapat menghambat absorpsi besi dan menurunkan bioavailabilitas zat besi, sehingga berpengaruh terhadap status besi seseorang.

Tabel 14. Rata-rata tingkat kecukupan asupan vitamin A sebelum dan sesudah intervensi

Asupan (RE) dan tingkat kecukupan vitamin A (%)

Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P Sebelum Asupan ± SD 301.69 ± 214.37 a 384.46 ± 234.97 a 0.175 AKG ± SD 50.28 ± 35.73 a 64.07±39.16 a 0.175 Sesudah Asupan ± SD 301.34 ± 165.76 a 372.62 ± 188.95 a 0.169 AKG ± SD 50.22 ± 27.63 a 62.10 ± 31.49 a 0.169 a

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Pembentukan hemoglobin dipengaruhi oleh vitamin A, karena vitamin A berperan dalam pembentukan eritrosit, sehingga dapat berinteraksi dengan zat

Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)

(12)

besi ( Almatsier 2003 ). Hubungan vitamin A dengan peningkatan Hb sangat penting, karena zat besi dan vitamin A pada sebagian makanan sangat baik untuk memelihara kesehatan jaringan epitel termasuk endotelium pada pembuluh darah. Kedua zat gizi tersebut membantu mencegah kerusakan pembuluh darah dan dikatakan oleh beberapa ahli bahwa vitamin A dan zat besi secara signifikan membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Kadar vitamin A yang rendah membuat tubuh rentan terhadap serangan infeksi ( virus, bakteri maupun mikroorganisme berbahaya). Selain itu kekurangan vitamin A juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit autonium. Secara sinergis besi dan vitamin A dapat melindungi sel darah putih dari kerusakan akibat serangan radikal bebas (Goetz 1986; Hartman & Shankel 1990). Vitamin A dan β - karoten dapat membentuk suatu kompleks dengan besi untuk membuatnya tetap larut dalam lumen usus dan mencegah efek penghambat dari fitat dan polifenol pada absorpsi besi ( Carcia-Casal et.al 1998 ).

Tabel 15. Rata-rata tingkat kecukupan asupan vitamin C sebelum dan sesudah intervensi

Asupan (mg) dan tingkat kecukupan vitamin C (%)

Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P Sebelum Asupan ± SD 29.10 ± 33.37 a 26.88 ± 26.57 a 0.698 AKG ± SD 48.27 ± 59.20 a 47.48± 52.06 a 0.613 Sesudah Asupan ± SD 24.24 ± 31.21 a 26.15 ± 26.89 a 0.324 AKG ± SD 41.00 ± 56.81 a 46.61 ± 52.57 a 0.307 a

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Rata-rata asupan vitamin C pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 15. Pada awal penelitian rata-rata asupan vitamin C pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 29.10 ± 33.37 mg atau 48.28% ± 59.20% AKG dan 26.88 ± 26.57 mg atau 47.48% ± 52.06% AKG. Pada akhir penelitian rata-rata asupan vitamin C baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok

Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)

(13)

kontrol mengalami penurunan menjadi 24.24 ± 31.21 mg atau 41.00% ± 56.81% AKG dan 26.15 ± 26.89 mg atau 46.61% ± 52.57% AKG, tetapi secara statistik penurunan tersebut tidak bermakna (P > 0,05). Berdasarkan rata-rata tingkat kecukupan vitamin C tersebut di atas tergolong defisit berat (<70% AKG).

Vitamin C mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyerapan besi terutama dari besi non hem yang banyak ditemukan dalam makanan nabati. Bahan makanan yang mengandung besi hem yang mampu diserap sebanyak 37% sedangkan bahan makanan golongan besi nonhem hanya 5% yang dapat diserap oleh tubuh. Penyerapan besi non hem dapat ditingkatkan dengan kehadiran zat pendorong penyerapan seperti vitamin C dan faktor-faktor pendorong lain seperti daging, ayam, ikan (Berdanier 1998). Vitamin C bertindak sebagai enhancer yang kuat dalam mereduksi ion ferri menjadi ion ferro, sehingga mudah diserap dalam pH lebih tinggi dalam duodenum dan usus halus (Hallberg, 1989). Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonhem meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C juga berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin (Almatsier 2003).

Hasil penelitian Saidin dan Sukati (1997) tentang pemberian tablet besi dengan penambahan vitamin C terhadap perubahan kadar Hb dan feritin serum membuktikan bahwa pemberian tablet besi dan vitamin C 150 mg, dapat meningkatkan kadar hemoglobin yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan tablet besi saja dan yang diberikan tablet besi dan vitamin A. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat memperbesar penyerapan besi sebesar 2, 3, 4, dan 5 kali (Wirakusumah 1999).

Gambaran asupan dan tingkat kecukupan Zat Besi

Rata-rata asupan zat besi pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 16. Sebelum dilakukan intervensi, rata-rata asupan zat besi pada kedua kelompok sangat rendah yaitu pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing

6.51 ± 9.78 mg atau 19.56% ± 8.74% AKG dan 6.19 ± 5.28 mg atau 27.39% ± 26.29% AKG. Secara statistik perbedaan asupam zat besi pada kedua

(14)

Tabel 16. Rata-rata tingkat kecukupan asupan zat besi sebelum dan sesudah intervensi

Asupan (mg) dan tingkat kecukupan zat besi (%)

Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P Sebelum Asupan± SD 6.51 ± 9.78 a 6.19 ± 5.28 a 0.489 AKG ± SD 19.56 ± 8.74 a 27.39 ± 26.29 a 0.474 Sesudah Asupan± SD 20.99 ± 2.47 a, 1 6.59 ± 5.59b 0.000 AKG ± SD 87.01 ± 12.07 a 29.09 ± 27.04b 0.000 a,b

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)

Melihat rata-rata asupan zat besi sampel di awal penelitian di atas yang sangat rendah, sulit untuk dapat memenuhi AKG yang dianjurkan bila hanya mengandalkan dari makanan sehari-hari, oleh karena itu perlu diberikan tambahan zat besi dari suplemen seperti kapsul zat besi. Pada penelitian ini dengan melakukan intervensi kapsul zat besi dua kali seminggu selama 12 minggu, pada akhir penelitian pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan yang bermakna (P<0.05) menjadi 20.99 ± 2.47 mg atau 87.01% ± 12.07% AKG hal ini disebabkan karena pada kelompok perlakuan mendapatkan tambahan asupan zat besi dari kapsul zat besi yang diberikan rata-rata sebesar 67.41% ± 8.47% AKG. Sedangkan pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan plasebo mengalami sedikit peningkatan menjadi 29.08% ± 27.04% AKG, tetapi secara statistik perubahan tersebut tidak berbeda nyata (P > 0.05).

Perempuan dengan konsumsi zat besi yang kurang atau mereka dengan kehilangan besi yang tinggi, akan mengalami anemia gizi besi. AKG besi untuk remaja dan dewasa muda perempuan 19-26 mg setiap hari lebih tinggi dari yang dibutuhkan remaja laki-laki yaitu 13-23 mg per hari, hal ini disebabkan karena selain karena pertumbuhan yang cepat, remaja wanita juga harus mengganti sejumlah zat besi yang hilang pada menstruasi.

(15)

Zat besi yang terdapat dalam semua sel tubuh berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia, terutama diperlukan untuk pembentukan hem dan hemoglobin yang berfungsi. untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Oksigen penting dalam proses pembentukan energi agar produktivitas kerja meningkat dan tubuh tidak cepat lelah.

Ketika tubuh kekurangan zat besi maka produksi hemoglobin akan menurun. Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap. Awalnya, terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi yang disebut dengan iron depleted state. Jika keadaan ini berlangsung terus dan tidak dipenuhi dengan masukan zat besi yang cukup maka proses erititropoeisis akan terganggu tetapi secara klinis anemia belum terjadi, lama-kelamaan timbul gejala anemia disertai penurunan Hb yang disebut anemia deficiency besi.

Gambaran asupan dan tingkat kecukupan serat

Definisi terbaru tentang serat makanan yang disampaikan oleh the American Association of Cereal Chemist (AACC, 2001) adalah bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau parsial pada usus besar.

Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit, diantaranya penelitian menunjukkan bahwa serat berfungsi sebagai anti kanker. Hague et al (1993) melaporkan induksi apoptosis pada sel-sel tumor kolon yang terjadi secara alami oleh asam lemak sodium butirat. Penelitian menunjukkan bahwa asam lemak ini dapat menginduksi apoptosis, karena sodium butirat diproduksi oleh bakteri fermentasi dari serat pangan, maka ini sebagian menjelaskan mengapa diet tinggi serat dapat memprotek terhadap kanker kolon. Penelitian lain menunjukkan bahwa serat juga dapat menurunkan kolesterol. Penelitian yang dilakukan oleh Hunninghake et al (1994) menunjukkan bahwa terjadi penurunan kolesterol plasma pada manusia akibat pengaruh serat pangan. Pasien yang menderita hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari ternyata total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya mengalami penurunan

(16)

masing-masing 6% dan 8%. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan serat dalam makanan merupakan terapi konvensional bagi penderita hiperkolesterolemia.

Beberapa penelitian juga telah menemukan efek negatif dari serat, khususnya terhadap ketersediaan biologis (biovailabilitas) dan homeostasis mineral di dalam tubuh, asupan tingi serat kasar menyebabkan peningkatan keseimbangan negatif dari beberapa mineral seperti seng, kalsium, fosfor dan zat besi (Reinhold 1975). Tetapi berbeda dengan hasil penelitian yang dilakuakn oleh Baig et al 1983, menunjukkan hasil yang sama antara tikus yang diberi diet 59Fe dengan 2% pektin sebagai pembawa, dan tikus yang hanya diberikan 59Fe saja dalam 0.1 N HC1. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan pektin sebagai pembawa 59

Tabel 17. Rata-rata tingkat kecukupan asupan serat sebelum dan sesudah intervensi

Fe tidak menghambat penyerapa zat besi.

Beberapa hasil penelitian diatas masih kontroversial, namun serat tetap dibutuhkan dalam diet sehari-hari dan sebenarnya kita tidak perlu takut untuk mengkonsumsi serat asal tidak berlebihan. Untuk orang Indonesia belum ada angka kecukupan serat yang pasti, oleh karena itu sampai saat ini kecukupan serat belum masuk dalam daftar angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk orang Indonesia. Pada saat ini informasi tentang konsumsi serat di Indonesia masih sangat terbatas antara lain karena daftar komposisi bahan makanan Indonesia belum mencantumkan kandungan serat. Dalam upaya memperoleh informasi tingkat konsumsi serat di Indonesia, telah dilakukan analisis tingkat konsumsi serat dengan data survei Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) yang dikumpulkan Direktorat Gizi Masyarakat (2001), rata-rata tingkat konsumsi serat masyarakat Indonesia secara umum yaitu sebesar 10,5 gram/orang/hari sedangkan angka kecukupan serat untuk orang dewasa berkisar antara 25 - 30 gram/hari atau 10-13 gram serat untuk setiap 1000 kkal. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun) American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat sama dengan umur (dalam tahun) ditambah 5 gram setiap hari. Sebagai contoh, anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan seratnya adalah 10 gram per hari, sedangkan pada usia 13 tahun kebutuhan seratnya adalah 18 gram per hari.

(17)

Asupan (g) dan tingkat kecukupan serat (%) Kelompok Perlakuan (n=29) Kelompok Kontrol (n=26) P Sebelum Asupan ± SD 6.97 ± 3.31 7.34 ± 2.90 0.800 AKG ± SD 37.51 ± 18.08 39.78 ± 16.77 0.840 Sesudah Asupan ± SD 6.35 ± 2.87 7.06 ± 2.86 0.367 AKG ± SD 34.29 ± 16.08 38.22 ± 16.31 0.428 a

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Status Besi

Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)

Pada penelitian ini rata-rata asupan serat sampel pada kedua kelompok, sebelum dan sesudah intervensi tidak menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P>0.05). Rata-rata asupan serat pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi masing-masing sebesar 6.97 ± 3.31 gram atau 37.51 ± 18.08% AKG dan 6.35 ± 2.87 gram atau 34.29 ± 16.08 % AKG, sedangkan pada kelompok kontrol tidak juah berbeda yaitu sebesar 7.34 ± 2.90 gram atau 39.78 ± 16.77 % AKG dan 7.06 ± 2.86 gran atau 38.22 ± 16.31% AKG. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok (P ˃ 0.05).

Karena angka kecukupan serat di Indonesia yang ada hanya untuk orang dewasa yaitu antara 25-30 gram/hari, dan pada penelitian ini sampel penelitian berusia antara 12-15 tahun, maka angka kecukupan serat yang digunakan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rekomendasi dari ADA yaitu untuk anak usia 2-20 tahun, angka kecukupan gizinya adalah usia (dalam tahun) ditambah 5 gram/hari. Bila dilihat dari rat-rata asupan serat diatas maka termasuk sangat rendah (< 70% AKG), hanya memenuhi sekitar 34 - 39% AKG saja, sehingga hasil intervensi zat besi pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh tingginya kadar serat pada asupan makanan sehari-hari.

(18)

Hemoglobin merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan status anemia. Kadar Hb yang rendah mengindikasikan anemia. Distribusi data kadar Hb diawal penelitian tidak normal, dengan nilai rasio skewness terhadap standart error skewness negatif pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing -2.25 dan -4.05, dimana cenderung menjulur ke kiri. Distribusi data dikatakan normal bila skor perbandingan nilai skewness dan nilai standart error skewness berada antara -2 dan 2 (Agusyana, 2002). Selanjutnya dengan uji Mann Withney menunjukkan bahwa rata-rata kadar Hb di awal penelitian pada kedua kelompok tidak berbeda nyata (P > 0.05), dengan rata-rata masing-masing kelompok adalah 11.08 ± 0.87 g/dl dan 11.03 ± 0.80 g/dl. Berdasarkan klasifikasi menurut WHO (2001) maka status anemia pada kedua kelompok termasuk anemia ringan (10.00 – 11.99 g/dl). Berdasarkan data gambaran rata-rata asupan zat besi sebelumnya di atas diduga anemia yang terjadi disebabkan karena defisiensi zat besi, sebagaimana menurut WHO bahwa kejadian anemia yang ada di dunia saat ini sebagian besar disebabkan karena defisiensi zat besi (WHO 2001). Beberapa penelitian di Indonesia juga mengindikasikan bahwa salah satu determinan kejadian anemia adalah defisiensi zat besi. Nur (2006) melaporan salah satu determinan kejadian anemia pada murid SMP di kepulauan Seribu adalah defisiensi zat besi, begitu pula penelitian terhadap anak remaja di kecamatan Gebog Kabupaten Kudus yang dilaporkan oleh Farida (2006) yang menyatakan bahwa salah satu determinan kejadian anemia pada remaja adalah defisiensi zat besi. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan terhadap remaja putri di SMA Negeri 2 Semarang yang dilaporkan oleh Afiatna (2010).

Defisiensi zat besi dapat terjadi karena makanan yang dikonsumsi tidak cukup mengandung zat besi dan karena adanya kesalahan pencernaan yang tidak dapat mengabsorpsi zat-zat gizi tersebut dengan baik maka makin lama akan terjadi anemia, karena pembentukan sel-sel darah merah dan fungsi-fungsi lain dalam tubuh terganggu (Lee & Niemen 1993). Pada remaja putri selain karena kurangnya asupan zat besi melalui makanan, anemia juga disebabkan karena banyaknya zat besi yang hilang pada saat menstruasi (NACC 2009).

(19)

Rata-rata Kadar Hemoglobin (g/dl) Kelompok

Perlakuan

Kelompok

kontrol Angka Normal P

n 29 26

Sebelum 11.08 ± 0.74 a 11.04 ± 1.04 a ≥ 12 0.767 Sesudah 11.73 ± 0.54 a, 1 10.99 ± 0.87b ≥ 12 0.000

Selisih 0.65 ± 0.58 a -0.05 ± 0.32b 0.000

a, b

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)

Seseorang yang kekurangan zat besi mula-mula akan mengalami penurunan cadangan zat besi, hal ini dapat kita deteksi dengan melakukan analisis kadar feritin dalam darah. Pada tahap defisiensi zat besi ini, penurunan cadangan zat besi belum disertai dengan penurunan kadar Hb darah, sehingga yang bersangkutan belum menderita anemia. Tahap selanjutnya zat besi tidak mencukupi untuk pembentukan Hb, sehingga kadar Hb penderita menurun sampai di bawah normal dan timbul anemia (Lee & Niemen 1993).

Selain karena kekurangan zat besi, anemia dapat juga disebabkan karena perdarahan atau kerusakan sel-sel darah merah karena suatu penyakit, oleh karena itu pada awal penelitian dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter untuk memastikan bahwa anemia yang terjadi bukan disebabkan karena penyakit kronis. Selain itu anemia bisa juga disebabkan produksi sel-sel darah merah tidak cukup karena kekurangan zat-zat gizi lain seperti asam folat dan vitamin B12 tidak tersedia dalam jumlah yang cukup (Bodgen & Klevay 2000; Tolentino & Friedman 2007), oleh karena itu tablet tambah darah (TTD) program pemerintah harus menyertakan asam folat di dalamnya. Penyebab lainnya karena infeksi parasit seperti malaria dan infeksi cacing seperti Hookworm, Trichuris trichiura, Schistosomiasis (WHO, 1999) oleh karena itu diawal penelitian seluruh sampel baik kelompok perlakuan maupun kontrol diberikan obat cacing pyrantel pamoat dosis tunggal (250 mg) untuk memastikan bahwa dampak intervensi tidak dipengaruhi oleh infeksi parasit.

(20)

Absorpsi zat besi dalam tubuh dipengaruhi oleh bentuk ikatan zat besi dengan senyawa lain dan juga dipengaruhi oleh senyawa-senyawa kimia lain yang terdapat bersama dalam makanan sehari-hari. Ada beberapa hal yang meregulasi absorpsi besi dalam usus, yaitu Dietary regulator, (jenis diet dengan bioavailibilitas besi yang tinggi dan adanya faktor en-hancer akan meningkatkan absorpsi besi), Stores regulator (besarnya cadangan besi dapat mengatur tinggi rendahnya absorpsi besi), Erythropoetic regulator (besarnya absorpsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis) dan hepsidin yang diperkirakan

berperan sebagai soluble regulator absorpsi besi di usus (Agustriadi & Suega 2006). Faktor-fator tersebut diantaranya yang mempengaruhi

hasil akhir dari intervensi zat besi pada subjek penelitian.

Pada penelitian ini setelah dilakukan intervensi dengan kapsul zat besi dosis 60 mg + 0.25 mg asam folat sebanyak dua kali seminggu selama 12 minggu, pada akhir penelitian pada kelompok perlakuan mengalami kenaikan Hb rata-rata sebesar 0.65 ± 0.55 g/dl, menjadi 11.73 ± 0.80 g/dl. Distribusi data kelompok perlakuan pada akhir penelitian tidak normal dengan nilai rasio skewness -0.49 (distribusi data cenderung menjulur ke kiri) sehingga untuk mengetahui perbedaan antara rata-rata kadar Hb sebelum dan setelah intervensi dilakukan dengan uji Wilcoxon, hasil menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P < 0.05) antara sebelum dan sesudah intervensi. Peningkatan Hb yang signifikan ini sejalan dengan tingkat kepatuhan minum kapsul zat besi yang tinggi mencapai 97%. Sedangkan pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan plasebo rata-rata kadar Hb turun 0.05 ± 0.32 g/dl menjadi 10.98 ± 0.86 g/dl. Tetapi dengan uji Wilcoxon perbedaan rata-rata kadar Hb kelompok kontrol sebelum dan setelah intervensi tidak berbeda nyata (P > 0.05).

Dari data-data di atas dapat kita lihat dampak dari intervensi yang kita lakukan dan dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan intervensi zat besi dengan dosis 60 mg zat besi + asam folat 0.25 mg sebanyak dua kali seminggu selama 12 minggu dapat meningkatkan kadar Hb secara bermakna.

Untuk mengetahui kemungkinan adanya peubah bebas yang mempengaruhi hasil selisih Hb (confouders), yaitu kadar Hb, serum feritin,

(21)

prohepsidin (awal), tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi (akhir), dilakukan analisis regresi linier berganda dengan model sebagai berikut:

selisih Hb = 3,28 - 0,260 Hb awal - 0,00593 feritin awal + 0,000225 prohepsidin awal - 0,000236 energi akhir - 0,00275 protein akhir + 0,0409 asupan zat besi akhir

Tabel 19. Hasil analisis regresi linear berganda, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Hb

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 3,2834 0,8934 3,67 0,001 hb1 -0,26020 0,07454 -3,49 0,001 1,040 feritin1 -0,005928 0,004371 -1,36 0,181 1,040 prohepsidin1 0,0002251 0,0005076 0,44 0,659 1,021 energi akhir -0,0002356 0,0002258 -1,04 0,302 1,589 protein akhir -0,002752 0,004658 -0,59 0,557 1,548 Asupan zat besi akhir 0,040901 0,007715 5,30 0,000 1,026 S = 0,468827 R-Sq = 48,1% R-Sq(adj) = 41,6%

Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa dari enam jenis peubah bebas yang diseleksi ternyata hanya dua peubah bebas yaitu kadar Hb awal dan tingkat kecukupan zat besi yang berpengaruh nyata (P < 0.05) dan dapat menerangkan sebesar 41.6% terhadap keragaman selisih Hb (R-Sq (ajd ) = 41.6%).

Berdasarkan hasil regresi linear berganda tersebut menunjukkan bahwa kadar Hb awal dan tingkat kecukupan zat besi akhir mempunyai korelasi yang erat dan berpengaruh besar terhadap perubahan kadar Hb. Hasil tersebut sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya mengenai intervensi/suplementasi zat besi (Ekstrom et al 2002; Briawan 2008; Farida 2008; Soekati 2010). Hal tersebut juga membuktikan bahwa kemungkinan penyerapan zat besi dipengaruhi oleh kadar Hb awal dan tingkat kecukupan zat besi.

(22)

Keadaan anemia defisiensi besi dapat diketahui dengan mengukur cadangan zat besi tubuh. Salah satu cara yang mudah mengetahui cadangan zat besi adalah dengan menganalisis kadar feritin darah (Lee & Niemen 1993; Hughes 1998; Bodgen & Kleveay 2000; Suega et al. 2003; Wish 2006). Turunnya kadar feritin berarti cadangan besi tubuh menurun dengan batasan defisiensi besi adalah < 12 ng/ml (INACG 2002), namun feritin dapat meningkat bila terjadi peradangan atau infeksi, sehingga pada saat menderita infeksi kandungan feritin tidak dapat digunakan sebagai standar cadangan besi tubuh (Wish 2006). Untuk memastikan bahwa kadar feritin dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh adanya infeksi atau peradangan maka dilakukan analisis kadar C-Reactive Protein (CRP) secara kualitatif dan kuantitatif, tetapi karena hasil analisis kualitatif pada kelompok perlakuan maupun kontrol semua menunjukkan hasil negatif sehingga analisis secara kuantitatif tidak dilakukan. Tetapi dapat dipastikan bahwa hasil analisis feritin dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh faktor infeksi atau peradangan.

Tabel 20. Rata-rata kadar feritin sebelum dan sesudah intervensi Rata-rata Kadar feritin (ng/mL)

Kelompok Perlakuan

Kelompok

kontrol Angka normal P

n 29 26

Sebelum 35.65 ± 16.15 a 37.52 ± 13.43 a 20-250 0.448 Sesudah 44.07 ± 16.49 a,1 29.94 ± 11.86b,1 20-250 0.001

Selisih 8.42 ± 18.89 a -7.58 ± 14.87b 0.002

a, b

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)

Pada awal penelitian rata-rata kadar feritin responden pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol masing-masing 35.64 ± 16.15 ng/mL dan 37.52 ± 13.43 ng/mL. Nilai rata-rata seperti ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Beard et al 2002 pada anak usia sekolah di Guatemala yaitu berkisar antara 30-40 ng/mL.

(23)

Distribusi data pada awal penelitian ini termasuk katagori normal dengan nilai rasio skewness 1.21 dan 0.94 (normal bila nilai rasio skewness antara -2 dan 2) (Agusyana, 2002). Secara statistik dengan uji Mann Withney tidak terdapat perbedaan rata-rata kadar feritin antara kelompok perlakuan dan kontrol. Berdasarkan rata-rata kadar feritin di atas maka baik pada kelompok perlakuan maupun kontrol, bila dibandingkan dengan standar defisiensi besi dari INACG tahun 2002 yaitu <12 ng/mL maka pada ke dua kelompok tidak termasuk defisiensi besi tetapi juga tidak cukup baik bila melihat batasan untuk perempuan 20–150 ng/ml (Muhammad & Sianipar 2005). Pemeriksaan kadar serum feritin terbukti sebagai indikator paling dini, yaitu menurun pada keadaan cadangan besi tubuh menurun. Ambang batas atau cut off kadar feritin sangat bervariasi bergantung metode cara memeriksa yang digunakan atau ketentuan hasil penelitian di suatu wilayah tertentu. Broek dan Letsky

Pada akhir penelitian terjadi peningkatan rata-rata kadar feritin secara bermakna (P<0.05) pada kelompok perlakuan yaitu sebesar 8.42 ± 18.89 ng/mL, sehingga rata-rata kadar feritin setelah intervensi menjadi 44.07 ± 16.49 ng/mL, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan secara bermakna (P<0.05)

yaitu sebesar 7.93 ± 14.87 ng/mL sehingga rata-rata kadar feritin menjadi 29.93 ± 11.86 ng/mL. Dengan uji Mann Withney tidak terdapat perbedaan yang

bermakna (P > 0.05) antara kelompok perlakuan dan kontrol sebelum intervensi dilakukan, tetapi terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) setelah intervensi selesai dilakukan. Walaupun distribusi data awal dan akhir sebarannya normal dan bisa langsung dilakukan uji T berpasangan, tetapi untuk keseragaman dengan uji statistik parameter biokimia yang lain maka untuk uji perbedaan kadar feritin (2000) menentukan cut off feritin untuk defisiensi besi sebesar 30 ng/mL, Suominen (1998) ,Choi et al (2005) dan Wish (2006) menentukan sebesar <22 ng/mL. Pada penelitian ini cut off yang digunakan berdasarkan cut off yang ditetapkan oleh WHO sesuai dengan ketetapan International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG) tahun 2002 sebesar <12 ng/mL. Bila simpanan zat besi ini tidak ditingkatkan maka lama kelamaan akan habis dan kebutuhan zat besi untuk produksi hemoglobin yang dimobilisasi dari feritin ini tidak tercukupi dan kadar Hb akan semakin turun dan terjadi anemia.

(24)

antara sebelum dan sesudah intervensi dilakukan uji Wilcoxon, hasil menunjukkan ada perbedaan bermakna (P<0.05) antara rara-rata kadar feritin sebelum dan sesudah intervensi, begitu juga pada kelompok kontrol dengan uji Wilcoxon hasil menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi (P < 0.05).

Pada kelompok perlakuan setelah dilakukan intervensi mengalami peningkatan rata-rata, hal ini disebabkan karena intervensi zat besi dengan dosis 60 mg zat besi elemental + 0.25 mg asam folat yang diberikan, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan yang bermakna, hal ini karena kelompok kontrol hanya mendapatkan plecebo dan tidak diimbangi dengan asupan zat gizi lain yang cukup yang juga dibutuhkan untuk metabolisme besi seperti asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, vitamin B12, asam folat dan lain-lain.

Untuk melihat kemungkinan variabel bebas apa saja yang barangkali mempengaruhi perubahan rata-rata kadar feritin di atas, dilakukan analisis regresi linear berganda dengan model regresi sebagai berikut:

selisih feritin = 52.3 - 2.09 Hb awal - 0.687 feritin awal + 0.0033 prohepsidin awal - 0.0171 energi akhir + 0.233 protein akhir + 0.771 asupan zat besi akhir

Pada Tabel 21, dari enam peubah bebas yaitu kadar Hb awal, kadar feritin awal, kadar prohepsidin awal, tingkat kecukupan energi, protein dan Zat Besi (akhir) yang diseleksi ternyata hanya tiga peubah bebas yang berpengaruh nyata (P < 0.05) yaitu kadar feritin awal, asupan energi akhir dan asupan zat besi akhir dan dapat menjelaskan sebesar 40.6% terhadap keragaman perubahan kadar feritin tersebut. Kadar feritin selular diregulasi oleh zat besi. Hasil-hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan zat besi pada sel-sel khusus adalah efek dari post-transkripsional dan juga melibatkan translasi. Pengaturan spesifik transkripsi terjadi pada mRNA penyandi feritin. Jika zat besi tidak ada maka sintesis feritin dihambat oleh protein yang mengikat urutan yang disebut elemen respon-besi (iron respone element) yang terletak pada daerah leader mRNA feritin, protein yang terikat tersebut akan menghalangi ribosom ketika berusaha

(25)

mengenali kodon inisiasi. Jika ada zat besi protein pengikat terlepas dan mRNA ditranslasi (Brown, 2002).

Tabel 21. Hasil analisis regresi linear berganda, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Feritin

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 52.33 27.69 1.89 0.065 Hb awal -2.091 2.310 -0.91 0.370 1.040 Feritin awal -0.6873 0.1355 -5.07 0.000 1.032 Prohepsidin awal 0.00328 0.01573 0.21 0.836 1.021 energi akhir -0.017145 0.006996 -2.45 0.018 1.589 protein akhir 0.2335 1.1444 1.62 0.112 1.548 Asupan zat besi akhir 0.7707 0.2391 3.22 0.002 1.026 S = 14.5280 R-Sq = 47.2% R-Sq(adj) = 40.6%

Perubahan kadar feritin tidak berkorelasi dengan kadar Hb awal dan prohepsidin awal, hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ryu et al (2007) yang menemukan tidak ada korelasi positif antara kadar prohepsidin serum dengan kadar feritin serum pada bayi yang anemia maupun tidak anemia. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Roe et al (2007) menunjukkan tidak ada korelasi antara kadar prohepsidin serum dengan kadar feritin serum pada laki-laki dewasa sehat maupun laki-laki dewasa denga hemokromatosis.

Hepsidin dinyatakan sebagai suatu regulator kunci dari metabolisme besi (Pigeon et al 2001; Nicolas et al 2001; Nicolas et al 2002; Nicolas et al 2003), sehingga hubungan antara prohepsidin dan absopsi zat besi di usus sangat menarik untuk diteliti, karena tidak ada korelasi yang nyata antara absorpsi zat besi di usus dengan prohepcidin serum. Penjelasan yang mungkin untuk hubungan di atas sebagai berikut: prohepsidin serum tidak merefleksikan bentuk aktif dari hepsidin yang mempengaruhi absorpsi zat besi di usus dan batas ukuran status besi dan hubungannya dengan konsentrasi prohepsidin wanita sehat sangat terbatas dibandingkan dengan kondisi klinis yang mempengaruhi metabolisme zat besi, seperti anemia atau hemochromatosis; dan mungkin hepsidin bukan

(26)

faktor utama yang mempengaruhi absorpsi besi di usus sebagaimana hubungannya dengan simpanan besi pada orang sehat.

Kadar Prohepsidin

Hepsidin adalah sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. Hepsidin disintesis di dalam hati sebagai prepropeptida 84-asam amino, yang selanjutnya mengalami proses menjadi sebuah peptida prohepsidin 60 sampai 64-asam amino dan terakhir menjadi 25-asam amino (hepsidin) yang matang dan aktif secara biologi yang dikeluarkan ke dalam serum (Kemna et al 2008). Hepsidin mencegah tubuh menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan yang berasal dari makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel. Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara hepsidin dan reseptor feroportin yang mengangkut zat besi. Hepsidin mengikat feroportin, menyebabkan pengurangan pengeluaran zat besi dari sel.

Beberapa penelitian telah melakukan pengukuran konsentrasi mRNA di dalam hati, meskipun berkorelasi baik dengan konsentrasi hepsidin matang di dalam serum, biopsi hepatik secara klinis mengindikasikan hanya sejumlah kecil dari situasi tertentu. Beberapa peneliti telah mengembangkan pengukuran dengan dasar mass spektrometri untuk mengukur hepcidin-25; namun membutuhkan peralatan khusus yang tidak tersedia secara umum (Frazer & Andersom 2009). Selain itu juga dibutuhkan pengukuran immunologis, meskipun antibodi hepcidin 25 telah terbukti sulit untuk dikembangkan (meskipun bukan tidak mungkin), prohepsidin jauh lebih immunilogis dan enzyme-linked immunosorbent assay telah tersedia secara komersial.

Hepsidin memainkan peran utama pada homeostasis besi, tetapi untuk memahami perannya terhambat oleh tidak tersedianya metode analisis untuk quantifikasi dalam darah. Dengan dikembangkannya metode ELISA untuk prohepsidin serum, suatu prekursor hepsidin. Sehingga banyak yang tertarik untuk menggunakannya untuk keperluan klinis atau untuk penelitian klinis. Bagaimana mekanisme kerja dan peran hormon ini dalam metabolisme besi masih belum jelas karena data dan informasi mengenai ini belum banyak.

(27)

Pada penelitian ini rata-rata kadar prohepsidin serum sebelum intervensi sebesar 182.80 ± 119.53

Tabel 22. Rata-rata kadar prohepsidin sebelum dan sesudah intervensi ng/mL dan 203.92 ± 136.32 ng/mL masing-masing untuk kelompok perlakuan dan kontrol dengan rentang secara keseluruhan antara 49.4 – 445.6 ng/mL. Karena distribusi data tidak normal pada kedua kelompok maka untuk mengetahui perbedaan antar kelompok dilakukan dengan uji Mann Withney, hasil menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan dan kontrol di awal penelitian.

Rata-rata Kadar Prohepsidin (ng/mL) Kelompok

Perlakuan

Kelompok

kontrol Angka Normal P

n 29 26

Sebelum 182.80 ± 119.53 a 203.92 ± 136.31 a 58,9-158,1 a 0.478 Sesudah 153.55 ± 69.61 a 164.93 ± 81.12 a 58,9-158,1 a 0.673 Selisih -29.25 ± 108.78 a -38.97 ± 161.32 a 0.919 a

Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)

1

Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)

Pada akhir penelitian setelah intervensi terjadi penurunan rata-rata kadar

prohepsidin serum masing sebesar 29.20 ± 108.79 ng/mL dan 38.98 ± 161.32 ng/mL untuk kelompok perlakuan dan kontrol, sehingga rata-rata

kadar prohepsidin serum pada masing-masing kelompok adalah 155.55 ± 69.61

Lee et al (2010) menemukan rata-rata kadar prohepsidin serum yang lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi oleh H. Pylori dan turun secara signifikan (P =0.011) setelah pemberian zat besi yang dikombinasi dengan pembasmi

ng/mL dan 164.93 ± 81.11 ng/mL. Dengan uji Mann Withney penurunan pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda nyata (P > 0.05). Untuk melihat perbedaan antara sebelum dan sesudah intervensi dilakukan uji Wilcoxon, hasil menunjukkan penurunan tersebut tidak nyata (P > 0.05) baik pada kelompok perlakuan maupun kontrol

(28)

H. Pylori dan tidak berbeda nyata antara kelompok yang mendapatkan zat besi saja, pembasmi H. Pylori saja maupun yang mendapatkan zat besi + pembasmi H. Pylori. Hal ini mengacu pada terjadinya perbaikan pada mekanisme transfort dan penyimpanan zat besi tubuh setelah intervensi zat besi.

Bila mengacu pada angka normal yang ditetapkan oleh pabrik pereaksi kit ELISA merek DRG yang digunakan untuk analisis pada penelitian ini, kadar

prohepsidin dikatakan normal apabila kadar prohepsidin serum antara 58,9-158,1 ng/ml, maka rata-rata kadar prohepsidin pada awal penelitian

termasuk katagori tinggi (lebih dari normal), setelah intervensi, walaupun penurunan yang terjadi pada kelompok perlakuan dan kontrol tidak nyata, namun penurunan pada kelompok perlakuan memasuki rentang batas normal, sedangkan pada kelompok kontrol turun hanya mendekatai batas normal. Hal ini mungkin disebabkan karena dampak dari intervensi zat besi yang diberikan. Dengan tambahan asupan zat besi memperbaiki sistem metabolisme besi pada khususnya dan metabolisme tubuh lainnya secara umum.

Untuk mengetahui kemungkinan peubah bebas apa saja yang mempengaruhi perubahan kadar prohepsidin serum tersebut maka dilakukan analisi regresi linear berganda dengan model sebagai berikut:

selisih prohepsidin = 313 - 9.1 Hb awal + 0.084 feritin awal - 0.874 prohepsidin awal - 0.102 energi akhir + 1.93 protein akhir - 0.99 asupan zat besi akhir

Dari hasil analisis berganda pada Tabel 23, perubahan kadar prohepsidin tidak dipengaruhi oleh indiikator status besi ; hemoglobin dan feritin serum tetapi dipengaruhi oleh kadar prohepsidin awal, asupan energi dan protein akhir , dan mampu menjelaskan keragamam dari perubahan kadar prohepsidin tersebut sebesar 73.8 persen.

(29)

Tabel 23. Hasil analisis regresi linear berganda, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Prohepsidin

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 312.9 131.7 2.38 0.022 hb awal -9.11 10.99 -0.83 0.411 1.040 Feritin awal 0.0838 0.6444 0.13 0.897 1.032 Prohepsidin awal -0.87381 0.07483 -11.68 0.000 1.021 energi akhir -0.10226 0.03328 -3.07 0.003 1.589 protein akhir 1.9340 0.6867 2.82 0.007 1.548 Asupan zat besi akhir -0.988 1.137 -0.87 0.390 1.026 S = 69.1125 R-Sq = 76.7% R-Sq(adj) = 73.8%

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil peneliltian yang dilakukan oleh Kim et al (2010) menunjukkan bahwa pada pasien dengan anemia defisiensi besi kadar prohepsidin serum tidak berkorelasi dengan kadar Hb tetapi berkorelasi dengan kadar CRP. Studi yang dilakukan oleh Young et al (2009) menunjukkan bahwa hepsidin matang (bentuk aktif) tetapi tidak prohepsidin, berkorelasi dengan absorpsi besi, sejalan dengan peneliti-peneliti lain yang menyatakan bahwa konsentrasi prohepsidin tidak merefleksikan konsentrasi peptida matang dan pengukuran prohepsidin bukan merupakan alat yang tepat untuk mempelajari absoprsi besi. Penelitian yang dilakukan oleh Pak et al (2006) menemukan bahwa anemia tidak secara langsung meregulasi ekspresi hepsidin, tetapi menggunakan efeknya pada hormon ini dan metabolisme besi melalui suatu substansi yang belum terkarakterisasi yang dikeluarkan selama erithripoeisis. Melalui mediator dan jalur yang spesifik elemen-elemen ini mempengaruhi sintesis hepsidin, dan meninggalkan masalah untuk dijelaskan.

Pada penelitian ini tidak ada hubungan antara prohepsidin dan indiktor pengukuran status besi (serum feritin, atau hemoglobin. Hasil ini mungkin disebabkan karena jumlah sampel yang terlalu kecil atau mungkin karena memang konsentrasi prohepsidin serum tidak merefleksikan hepsidin dalam bentuk aktif.

Gambar

Tabel 8. Gambaran Rata-rata  Indeks Massa Tubuh
Gambar 12. Pekerjaan orang tua
Gambar 13. Persentase pendidikan orang tua
Tabel 16. Rata-rata tingkat kecukupan asupan zat besi sebelum dan sesudah  intervensi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap organizational citizenship behavior ( OCB), semakin kuat komitmen organisasi karyawan maka semakin

sample t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai perusahaan yang diukur dengan PBVER dan Tobin’s Q antara sebelum dan setelah penerapan GCG.

Maka masalah yang dihadapi adalah bagaimana menganalisis data mahasiswa periode 2014/2015 di Universitas Siliwangi untuk menentukan pengelompokan UKT dengan menggunakan

Hubungan antara masa pubertas dengan perilaku diet pada remaja putri di SMAN 2 WOHA Tahun2017 yang terbanyak yang didapatkan adalah 64 siswi (92,8%) pada masa pubertas

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pelajar menggunakan kemudahan internet dirumah ialah faktor jarak rumah dengan makmal komputer di politeknik, tahap server yang

Berdasarkan penuturan di atas, budaya Rukuno Lo Taaliya yang ada, yaitu masuk pada rukun: ada pembeli dan penjual, ada barang yang diperjualbelikan dan ada ijab

Gelombang bunyi merupakan salah satu contoh dari gelombang mekanik, yaitu gelombang merambat memerlukan zat perantara (medium perantara). Gelombang bunyi adalah gelombang mekanik

UJI ASUMSI KLASIK DATA MODEL REGRESI 1..