• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Asma merupakan penyakit respiratorik kronis"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tata laksana Jangka Panjang pada Asma Anak

Tata laksana Jangka Panjang pada Asma Anak

Tata laksana Jangka Panjang pada Asma Anak

Tata laksana Jangka Panjang pada Asma Anak

Tata laksana Jangka Panjang pada Asma Anak

Bambang Supriyatno

Alamat Korespondensi:

Dr. Bambang Supriyatno Sp.A(K)

Subbagian Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jl. Salemba no. 6, Jakarta 10430.

Telepon: 021-3100669. Fax.021-390 7743

Di Indonesia UKK (Unit Kerja Koordinasi) Pulmonologi PP IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) telah membuat suatu Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) yang selalu direvisi (terakhir kali di Jakarta, Agustus 2003).

Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan asma (eksaserbasi akut) dan tatalaksana jangka panjang (di luar serangan). Pemberian medikamentosa tidak hanya pada saat serangan saja. Pada asma episodik sering dan asma persisten, selain penanganan pada saat serangan, diperlukan obat pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan terhadap serangan asma. Ber-dasarkan PNAA, penanganan jangka panjang terlihat lebih aktif dibanding penanganan sebelumnya.4 Kalau

pada PNAA sebelumnya pemberian kortikosteroid kombinasi baik dengan LABA (long acting β2-agonist)

maupun theophylline slow release setelah pemberian kortikosteroid dosis medium, pada revisi terakhir justru diberikan sebagai alternatif setelah pemberian kortikosteroid dosis rendah.

Pada makalah ini akan dijelaskan latar belakang pemberian terapi jangka panjang pada asma anak.

Diagnosis

Sebelum mengetahui tatalaksana asma pada anak sebaiknya diketahui dahulu tentang definisi dan diagnosis asma Definisi asma bermacam-macam tergantung pada kriteria mana yang dianut. GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan

banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini terjadi episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.2 Sedangkan Konsensus Internasional

A

sma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan ini diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor.1,2 Prevalensi asma pada anak berkisar antara

2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan sekitar 6,5% pada

usia sekolah menengah pertama.4

Pengetahuan mengenai patogenesis asma ber-kembang dengan pesat. Pada awal 60 an, bronko-konstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya remodeling.5,6

Ber-kembangnya pengetahuan tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan pemberian anti-inflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi juga harus dapat mencegah terjadinya remodeling.

Selain upaya mencari tatalaksana asma yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu pedoman tatalaksana asma sebagai standar penanganan asma, misalnya GINA (Global Initiative for Asthma) dan Konsensus Internasional. Pedoman di atas belum tentu dapat dipakai secara utuh mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga dianjurkan untuk membuat suatu pedoman yang disesuaikan dengan kondisi di masing-masing negara.

(2)

Parameter klinis, Asma episodik jarang Asma episodik sering Asma persisten kebutuhan obat,

dan faal paru

Frekuensi serangan < 1 x / bulan > 1 x / bulan Sering

Lama serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir sepanjang tahun, hampir tidak ada remisi

Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat

Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu Pemeriksaan fisis Normal (tidak Mungkin terganggu

di luar serangan ditemukan kelainan) (ditemukan kelainan) Tidak pernah normal Obat pengendali (anti Tidak perlu Perlu, steroid Perlu, steroid inflamasi)

Uji faal paru (di luar PEF / FEV1 >80% PEF / FEV1 60-80% PEF / FEV1 <60% variabilitas

serangan) 20-30%

Variabilitas faal paru Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas >50% (bila ada serangan)

Tabel 1. Klasifikasi derajat penyakit asma pada anak4

menggunakan definisi sebagai mengi berulang dan/atau

batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan.7 Perbedaan di atas sebenarnya hanya pada

segi praktisnya saja. Definisi asma menurut GINA cukup lengkap namun kurang praktis bila digunakan di lapangan, sehingga untuk lapangan definisi yang sering digunakan adalah definisi Konsensus Internasional. Pedoman Nasional Asma Anak di dalam batasan operasionalnya menyepakatinya kecurigaan asma apabila

anak menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya.4

Baik GINA, Konsensus Internasional, maupun Pedoman Nasional Asma Anak menekankan diagnosis asma didahului adanya gejala batuk dan atau mengi. Berdasarkan gejala awal tersebut di atas ditelusuri algoritme kemungkinan diagnosis asma (lampiran 1). Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/ atau mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada pasien maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma. Untuk sampai pada diagnosis asma perlu suatu pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru atau pemberian obat bronkodilator yang digunakan sebagai indikator untuk melihat respons pengobatan bahkan bila diperlukan dapat dilakukan uji provokasi bronkus dengan histamin atau metakolin.

Akhir-akhir ini banyak yang berpendapat bahwa menegakkan diagnosis asma pada anak di bawah lima tahun sebaiknya berhati-hati apabila tidak pernah dijumpai adanya wheezing.8 Hal ini disebabkan karena

pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang hanyalah akibat infeksi respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada usia batita (di bawah tiga tahun) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma. Wheezing yang dijumpai pertamakali belum tentu merupakan gejala asma. Namun demikian, apabila dijumpai batuk kronis dan/atau berulang dengan/atau tanpa wheezing dengan karakteristik seperti di atas, tetap perlu dipertimbangkan diagnosis asma.

Klasifikasi

Setelah mengetahui diagnosis asma, maka perlu juga mengetahui pembagian atau klasifikasi asma karena hal ini berhubungan erat dengan tatalaksana jangka panjang. GINA membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.2 Berbeda

dengan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang, dan asma persisten. Dasar pembagian ini adalah karena pada asma anak kejadian episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitas). Dasar pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas di luar serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang seperti terlihat pada Tabel 1.

(3)

Tata laksana Asma

Tatalaksana asma anak dibagi menjadi beberapa hal yaitu tatalaksana pendidikan pada keluarga, penghindaran, dan medikamentosa.2,4 Pada pendidikan keluarga perlu

ditekankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada kerjasama yang baik antara keluarga (pasien) dan dokter yang menanganinya. Keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail dengan bahasa awam agar keluarga mengetahui kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi serangan, dan sebagainya.

Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila terdapat suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadinya bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Dengan menghindari pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik.2,4

Tatalaksana medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar yaitu tatalaksana saat serangan dan tatalaksana jangka panjang. Pada saat serangan pemberian β-2 agonis pada awal serangan dapat mengurangi gejala dengan cepat. Bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid sistemik yaitu pada serangan sedang dan berat.9 Mengenai tatalaksana jangka

panjang akan dijelaskan dibawah ini.

Tata laksana jangka panjang

Tatalaksana jangka panjang pada asma anak diberikan pada asma dengan klasifikasi asma episodik sering dan persisten, sedangkan pada asma episodik jarang tidak diperlukan. Proses inflamasi kronis yang terjadi pada asma bersamaan dengan proses remodeling yang ditandai dengan disfungsi epitel. Dengan dasar tersebut penanganan asma lebih ditujukan pada kedua proses tersebut. Yang masih dalam perdebatan adalah apakah proses inflamasi itu berjalan bersamaan dengan proses remodeling (secara paralel) ataukah setelah proses inflamasi kronis baru terjadi proses remodeling (secara sekuensial). Teori terakhir yang dikemukakan Holgate,10 menjelaskan proses remodeling justru

terjadi secara paralel dengan proses inflamasi bukannya sekuensial yang selama ini dikenal, tetapi teori ini masih mendapat tantangan. Dengan pengertian bahwa inflamasi sudah terjadi pada saat ditegakkan diagnosis asma, maka peran kortikosteroid menjadi sangat

penting, karena sampai saat ini kortikosteroid adalah antiinflamasi yang paling kuat. Sebagaimana kita ketahui pemberian kortikosteroid yang lama pada anak merupakan perdebatan yang cukup lama. Para ahli sepakat bahwa pemberian kortikosteroid secara sistemik dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan anak sehingga harus berhati-hati kecuali tidak ada jalan lain. Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian secara topikal menjadi perhatian khusus. Pemberian kortikosteroid secara topikal (dalam hal ini secara inhalasi) dalam waktu lama (jangka panjang) dengan dosis dan cara yang tepat tidak menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi telah dibuktikan keuntungan dan keamanannya selama digunakan dengan cara yang benar. Pemberian yang salah baik dosis maupun cara pemberian justru akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak dan efek samping lainnya seperti

moonface, hipertensi, perawakan pendek, dan

sebaginya.

Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 mg, sedangkan anak < 12 tahun adalah 100-200 mg) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8 minggu) apabila keadaan asmanya stabil. Bila gejala asma sudah stabil dosis dapat diturunkan secara perlahan sampai akhirnya tidak menggunakan obat lagi.11-13 Dikatakan

asma stabil yaitu apabila tidak ditemukan/minimal gejala asmanya. Pasien dapat tidur dengan baik, aktifitas tidak terganggu, dan kualitas hidup cukup baik.

Apabila dengan pemberian kortikosteroid dosis rendah hasilnya belum memuaskan, maka dapat ditambahkan kombinasi dengan LABA (Long acting

beta-2 agonist) atau dengan theophylline slow release

(TSR), atau dengan antileukotrien, atau meningkatkan dosis medium (setara dengan budesonide 200-400 µg). Penelitian yang telah dipublikasikan berpendapat bahwa pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak mempunyai efek samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang diberikan < 400 µg dan dengan cara yang benar. Penambahan dosis kortikosteroid tidak akan menambah manfaatnya tetapi justru meningkatkan efek sampingnya, sehingga pada anak sangat dianjurkan tidak memberikan dosis melebihi 800 µg.13 Peneliti lain Griffiths dkk,14 meneliti

pemberian kortikosteroid dosis tinggi (setara dengan flutikason propionat 1000 ug) selama minimal 6 bulan

(4)

tidak memberikan gangguan terhadap reduksi metabolisme tulang dan bone-age pada pasien asma anak. Namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Pemberian kortikosteroid baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan obat pengendali lainnya dapat meningkatkan fungsi paru (arus puncak ekspirasi, PEFR), mengurangi gejala asma khususnya gangguan tidur malam hari, dan aktivitas sehari-hari.11,12 Penggunaan LABA cukup menjanjikan karena

selain efek bronkodilator dengan lama kerja yang lama (long acting), LABA juga mempunyai efek lain yang masih dalam perdebatan yaitu antiinflamasi.15,16

Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Pouwel,17

yang menambahkan LABA pada pemberian kortiko-steroid. Penelitian di atas menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yaitu dengan penambahan LABA, dosis kortikosteroid dapat diturunkan. Kerjasama keduanya bersifat saling mendukung. Pemberian kortikosteroid dapat meningkatkan reseptor β2-agonis yang justru diperlukan pada tatalaksana asma, sedangkan pemberian LABA akan menurunkan dosis kortikosteroid yang secara langsung mengurangi efek samping terhadap tumbuh kembang anak.

Sebagaimana dijelaskan di atas pemberian kortiko-steroid bersama sama dengan LABA sangat meng-untungkan. Pada saat ini telah dipasarkan di Indonesia dalam bentuk satu sediaan yaitu Seretide® (fluticasone

dan salmeterol), dan Symbicort® (budesonide dan

formoterol). Pemberian kombinasi fluticasone dan salmeterol maupun budesonide dan formoterol mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan pemberian kortikosteroid dosis ganda (double dose) secara sendiri.18,19 Pada penelitian tersebut tampak

bahwa pemberian kombinasi steroid dan LABA selama 12 minggu mempunyai pengaruh terhadap uji fungsi paru yaitu peningkatan PEF (arus puncak ekspirasi), pengurangan gejala asma, penurunan penggunaan obat serangan asma. Kombinasi antara kortikosteroid dan LABA telah terbukti aman selama dosis dan peng-gunaannya benar.20

Selain efek di atas kombinasi formoterol dan budesonide mempunyai efek sebagai reliever yaitu apabila terjadi serangan asma maka dosis dapat ditingkatkan sedangkan bila serangan telah teratasi dosis diturunkan kembali.18 Pemberian SABA (short

acting beta-2 agonist) pada saat serangan tetap lebih

baik dibandingkan LABA karena onsetnya yang cukup cepat. Peningkatan dosis pada saat serangan tidak perlu

dikuatirkan akan efek samping terhadap kortiko-steroidnya karena saat ini telah banyak digunakan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi sebagai terapi ajuvan pada serangan asma selain β2-agonis. Dengan demikian terdapat keuntungan ganda selain sebagai controller obat inipun dapat digunakan sebagai reliever dalam keadaan darurat.

Dalam melakukan pemilihan kombinasi kortiko-steroid dan LABA, selain mempertimbangkan efektifitasnya juga harus dilihat bentuk sediaan yang ada. Di Indonesia bentuk atau kemasan yang ada adalah DPI (dry powder inhaler) yaitu berisi budesonide dan formoterol, dan bentuk MDI (metered dose inhaler) yang berisi fluticasone dan salmeterol. Kombinasi budesonide dan formoterol mempunyai onset yang lebih cepat dibandingkan dengan fluticasone dan salmeterol,21 sedangkan flutikasone dan salmeterol

mempunyai harga yang lebih murah dan mengurangi perawatan di rumah sakit.22

Penggunaan sodium kromoglikat, nodokromil, dan β2 agonis long-acting sebagai contoller (pengendali) telah banyak dilaporkan. Penggunaan obat β2 agonis

long-acting biasanya digunakan bersama-sama dengan

kortikosteroid inhalasi sebagai pengendali.15,16 Saat ini,

penggunaan obat kromoglikat dan nedokromil untuk tatalaksana jangka panjang tidak digunakan lagi karena selain efek antiinflamasinya kurang kuat, juga obat tersebut tidak tersedia.

Selain pengobatan di atas, ada obat lain yang digunakan pada asma yaitu golongan antileukotrin seperti montelukas dan zafirlukas. Penggunaan obat ini masih terbatas pada anak usia >6 tahun, meskipun ada yang menggunakan di atas 2 tahun. Mengenai penggunaan obat ini, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.23

Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) membuat pedoman tentang tatacara dan langkah-langkah untuk penggunaan obat controller (lihat lampiran 2). Setelah ditentukan klasifikasi asma sebagai asma episodik sering atau asma persisten, maka penggunaan controller sudah harus dijalankan. Pertama berikan kortikosteroid dosis rendah. Evaluasi gejala klinis sampai 6-8 minggu. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya stabil, maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap yang pada akhirnya dapat dihentikan tanpa kortikosteroid. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil yaitu masih sering terjadi serangan, maka harus menggunakan tahap kedua yaitu berupa kortikosteroid dosis rendah ditambah LABA, TSR, atau

(5)

anti-leukotrien, atau dosis kortikosteroid dinaikkan menjadi double dose. Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan stabilitas asma. Apabila asma stabil maka pengobatan dapat diturunkan secara bertahap sampai pada dosis kortikosteroid dosis rendah yang pada akhirnya dapat tanpa obat-obat controller. Apabila belum stabil, maka meningkat pada tahap ketiga yaitu meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium ditambah LABA, TSR, atau antileukotrien, atau dosis kortikosteroidnya diting-katkan menjadi dosis tinggi. Apabila dengan dosis ini asmanya stabil, maka diturunkan secara bertahap ke tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa controller. Apabila dengan cara tersebut di atas asmanya belum stabil, maka penggunaan kortikosteroid secara oral boleh digunakan. Penggunaan kortikosteroid oral (sistemik) harus merupakan langkah terakhir dalam tatalaksana asma pada anak. Selain penggunaan obat

controller, usaha lain yaitu pencegahan terhadap faktor

pencetus harus tetap dilakukan.

Mengenai penggunaan obat antihistamin sebagai obat controller pada asma anak tidak dianjurkan karena mempunyai efek seperti atropin (atropine like effect) yang justru merugikan pasien. Antihistamin dapat diberikan pada tatalaksana asma jangka panjang apabila pasien menderita asma disertai rinitis alergika kronis. Tanpa penyakit penyerta rinitis alergika, PNAA tidak menganjurkan pemberian antihistamin pada tata-laksana jangka panjang.

Penggunaan antihistamin generasi terbaru (misalnya setirizin dan ketotifen) sebagai pencegahan terhadap asma dapat diberikan pada anak yang mempunyai risiko asma yang kuat yaitu riwayat asma pada keluarga dan adanya dermatitis atopi pada pasien. Pemberian obat ini masih kontroversi, meskipun ada yang berpendapat akan mempunyai efek yang cukup baik bila digunakan selama 18 bulan.24

Kesimpulan

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses inflamasi yang disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu yang mungkin berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Klasifikasi asma adalah asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Pada asma episodik jarang hanya diberikan obat reliever saja tanpa controller, sedangkan pada asma episodik sering

dan persisten diperlukan terapi jangka panjang (controller). Pada terapi jangka panjang setelah diberikan kortikosteroid dosis rendah kurang memuaskan dapat diberikan terapi kombinasi kortiksteroid dosis rendah dan LABA, TSR, atau antileukotrien. Terapi kombinasi tersebut dapat memperbaiki uji fungsi paru, gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup anak dengan asma. Dengan kombinasi di atas, dosis kortikosteroid dapat diturunkan sehingga efek samping terhadap tumbuh kembang anak dapat dikurangi. Terapi kombinasi tersebut merupakan suatu harapan baru dalam tatalaksana asma.

Daftar Pustaka

1. Koenig JQ. Air pollution and asthma. J Allergy Clin Immunol 1999; 104:717-22.

2. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.

3. Wantania JM. Tinjauan hasil penelitian multisenter mengenai prevalensi asma pada anak sekolah dasar di Indonesia. Disampaikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak IX, Semarang, 13-17 Juni 1993. 4. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma

Anak. Revisi Agustus 2003.

5. Fish JE, Peters SP. Airway remodeling and persistent air-way obstruction in asthma. J Allergy Clin Immunol 1999; 104:509-16.

6. Davies DE, Wick J, Powell RM, Puddicombe SM, Holgate ST. Airway remodeling in asthma: New insights. J Allergy Clin Immunol 2003; 11:215-25.

7. Warner JO, Naspitz CK. Third International Pediatric Consensus Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatr Pulmonol 1998; 25:1-17.

8. Martinez FD. Links between pediatric and adult asthma. J Allergy Clin Immunol 2001; 107:S449-55.

9. Gibbs MA, Camargo CA, Rowe BH, Silverman RA. State of the Art: Therapeutic controversies in severe acute asthma. Acad Emerg Med 2000; 7:800-15.

10. Holgate ST, Davies DE, Lackie PM, Wilson SJ, Puddicombe SM, Lordan JL. Epithelial-mesenchimal in-teractions in the pathogenesis of asthma. J Allergy Clin Immunol 2000; 105:193-204.

11. van der Molen T, Kerstjens HAM. Starting inhaled cor-ticosteroids in asthma: when, how high, and how long. Eur Respir J 2000; 15:3-4.

(6)

high-dose fluticasone propionate in asthma: effects dur-ing and after treatment. Eur Respir J 2000; 15:11-6. 13. Fahy JV, Boushey HA. Effect of low –dose

beclomethasone dipropionate on asthma control and airway inflammation. Eur Respir J 1998; 11:1240-7. 14. Griffiths AL, Sim D, Strauss B, Rodda C, Armstrong

D, Freezer N. Effect of high-dose fluticasone propionate on bone density and metabolism in children with asthma. Pediatr Pulmonol 2004; 37:116-21.

15. Durham S. Long acting inhaled b2-agonists: anti-inflamatory effects not evident during treatment of day to day asthma. Eur Respir J 1999; 14:249-50.

16. Roberts JA, Bradding P, Britten KM, Walls AF, Wilson S, et al. The long-acting b2-agonist salmeterol xinafoate: effect on airway inflammation in asthma. Eur Respir J 1999; 14:275-82.

17. Pauwels . RA, Lofdahl CG, Postma DS, et al. Effect of inhaled formoterol and budesonide on exacerbations of asthma. N Engl J Med 1997; 337:1405-11.

18. Tal A, Simon G, Vermeulen JH, Petru V, Cobos N, Everald ML, et al. Budesonide/formoterol in a single inhaler versus inhaled corticosteroids alone in the treat-ment of asthma. Pediatr Pulmonol 2002; 34:342-50 19. Palmqvist M, Arvidson P, Beckman O, Peterson S,

Lotvall J. Onset of bronhodilation of budesonide/ formoterol vs. salmeterol/fluticasone in single inhalers. Pulmonary Pharmacol Ther 2001; 14:29-34.

20. Zimmerman B, D’Urzo A, Berube D. Efficacy and safety of formoterol turbuhaler when added to inhaled corti-costeroid treatment in children with asthma. Pediatr Pulmonol 2004; 37:122-7.

21. Ringdal N, Chuchalin A, Chovan L, Tudoric N, Maggi E, Whitehead PJ. Evaluation of different inhaled com-bination therapies (EDICT): a randomised, double-blind comparation of seretideTM (50/250 ug bd diskusTM)

vs. formoterol (12 mg bd) and budesonide (800 ug bd) given concurrently (both via turbuhalerTM) in patients

with moderate-to-severe asthma. Respir Med 2002; 96:851-61.

22. Nooman MJ, Chervinsky P, Zhang J, Kundu S, McBurney J, et al. Montelukast, a potent leukotriene receptor antagonist, causes dose-related improvements in chronic asthma. Eur Respir J 1998; 11:1232-9. 23. Cartier A. Anti Allergic Drugs. In: O’Byme PM,

Thomson NC, Eds. Manual of Asthma Management, edisi ke-2, London: Saunders, 2001.h.197-201. 24. Becher AB. Is primary prevention of asthma possible?.

(7)

Lampiran 1. Alur diagnosis asma anak

Batuk dan/mengi

Riwayat penyakit Pemeriksaan fisis Uji tuberkulin

Patut diduga asma:  episodik

 nokturnal / morning dip  musiman

 pasca aktivitas fisik

 riwayat atopi pasien/keluarga

Tidak jelas asma:

♦ timbul masa neonatus ♦ gagal tumbuh ♦ infeksi kronik ♦ muntah / tersedak ♦ kelainan fokal paru

♦ kelainan sistem kardiovaskuler

Jika memungkinkan, periksa peak flow meter atau spirometer untuk menilai: reversibilitas (>15%)

variabilitas (>15%)

Pertimbangkan pemeriksaan: ♦ foto Rö toraks & sinus ♦ uji faal paru

♦ respons terhadap bronkodilator ♦ uji provokasi bronkus

♦ uji keringat ♦ uji imunologis

♦ pemeriksaan motilitas silia ♦ pemeriksaan refluks GE Berikan bronkodilator

Mungkin asma Tdk mendukung

diagnosis lain

Mendukung diagnosis lain

Diagnosis dan pengobatan alternatif Tentukan derajat & pencetusnya

Bila Asma sedang / berat: foto Rö

Berikan obat anti asma: tidak berhasil

nilai ulang diagnosis dan ketaatan berobat

Pertimbangkan asma sbg. penyakit penyerta Bukan asma berhasil

Tidak

berhasil

(8)

Lampiran 2.

Asma episodik jarang

Asma episodik sering

Atau asma persisten

(-) (+)

(-) (+)

(-) (+)

> 3x < 3x Obat pereda: β-agonis atau teofilin

(hirupan atau oral) bila perlu

3-4 minggu, obat dosis/minggu

Tambahkan obat pengendali:

steroid hirupan dosis rendah *)

6-8 minggu, respons

Obat pengendali: ganti dengan steroid hirupan dosis

medium atau pertimbangkan penambahan salah satu

obat:

 β-agonis kerja panjang  antileukotrien  teofilin lepas lambat 6-8 minggu, respons

Naikkan dosis steroid hirupan (dosis tinggi) atau

pertimbangkan penambahan salah satu obat:  β-agonis kerja panjang

 antileukotrien  teofilin lepas lambat

6-8 minggu, respons

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi derajat penyakit asma pada anak 4

Referensi

Dokumen terkait

BAGAN SUSUNAN ORGANISASI DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN KOPERASI KEPALA KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL SUB BAGIAN UMUM DAN KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT BIDANG KOPERASI DAN UKM

KEPUTUSAN BUPATI AGAM NOMOR 165 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN TIM TEKNIS KEGIATAN PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT (LDPM) KABUPATEN AGAM TAHUN 2012.. KEPUTUSAN

ANALISIS TINGKAT KETEPATAN KONSEP DAN TINGKAT AKOMODASI SCIENTIFIC APPROACH (PENDEKATAN SAINTIFIK) BUKU TEKS IPA BIOLOGI KURIKULUM 2013 KELAS XI SMA PADA KONSEP SISTEM

Pada penelitian ini peneliti akan merancang sebuah model yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas layanan penjualan online tiket penerbangan.. Selain itu peneliti juga

Pada siklus 2 terjadi peningkatan ketercapaian rerata kompetensi dasar (diatas KKM) pada ketiga aspek kompetensi dasar, demikian juga pada kualitas proses

Pencemaran lingkungan didefinisikan dalam undang-undang pokok pengelolaan lingkungan hidup no 4 tahun 1982 sebagai peristiwa masuk atau dimasukannya mahluk hidup,

Penelitian ini merupakan studi kasus penerjemah tuna netra. Tujuannya adalah untuk 1) mengidentifikasikan dan mendeskripsikan proses, strategi dan pendekatan

Berdasarkan diagram pareto yang digambarkan pada gambar 2, proses perancangan usulan perbaikan yang akan dilakukan adalah pada keempat masalah yang memiliki nilai bobot