• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN NYAI DALAM TRANSFORMASI MODERNISASI DI JAWA ( ) RINGKASAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN NYAI DALAM TRANSFORMASI MODERNISASI DI JAWA ( ) RINGKASAN SKRIPSI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN NYAI DALAM TRANSFORMASI MODERNISASI DI JAWA

(1870-1942)

RINGKASAN SKRIPSI Oleh: WindaPrastyaningAdhy NIM 10406241012

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2014

(2)

1

PERANAN NYAI DALAM TRANSFORMASI MODERNISASI DI JAWA (1870-1942)

Winda Prastyaning Adhy dan Terry Irenewaty, M.Hum. Nda.adhy10yahoo.com

ABSTRAK

Penulisan karya tulis ini dilatarbelakangi oleh minimnya perhatian atas sejarah perempuan-perempuan pribumi yang telah memberikan sumbangsihnya dalam perjalanan sejarah Indonesia. Tujuan penulisan karya tulis ini adalah: (1) Memaparkan penyebab kemunculan praktik-praktik pernyaian di Jawa; (2) Menganalisa dan mengetahui model-model pernyaian di Jawa; (3) Menganalisa dan mengetahui peranan nyai dalam transformasi modernisasi di Jawa tahun 1870-1942.

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan metode sejarah melalui studi pustaka.Metode yang digunakan adalah sebagai berikut.Pertama,pemilihantopik, menentukan topik penulisan.Kedua,heuristik, menghimpun jejak-jejak masa lampau yang dikenal dengan data sejarah.Ketiga,verifikasi, kegiatan meneliti sumber-sumber sejarah baik secara eksternal maupun internal.Keempat,interpretasi, yaitu langkah menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta sejarah yang diperoleh setelah diterapkannya kritik intern dan ekstern dari data-data yang berhasil dikumpulkan.Kelima,historiografi, penulisan karya sejarah.

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Kedatangan pegawai-pegawai Eropa menjadi tonggak dimulainya pernyaian di Hindia Belanda khusnya di Jawa. Pegawai laki-laki Eropa lajang memilih hidup bersama nyai untuk membantunya memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan biologis.(2) Pernyaian di Jawa terjadi tidak hanya di dalam masyarakat sipil, tetapi terjadi di tangsi-tangsi militer dan di perkebunan-perkebunan swasta.Pernyaian di setiap pusat kegiatan pemerintah Hindia Belanda mempunyai karakteristik berbeda.Perbedaan ini terlihat pada fungsi, peranan, pengambilan seorang nyai, serta perlakuan terhadap seorang nyai. (3) Seorang nyai berperan sebagai mediator dua budaya, yaitu budaya Eropa dengan budaya pribumi. Interaksi dengan tuan Eropanya mengakibatkan seorang nyai terpenetrasi atas budaya Eropa. Interaksi tersebut yang mendukung peranan seorang nyai dalam berbagai bidang sehingga membentuk suatu kebudayaan baru dalam kehidupan nyai maupun masyarakat Indo, antara lain dalam bidang kebiasaan makan, berbusana, berbahasa, dan gaya hidup.Kebudayaan baru tersebut disebut dengan budaya Indis.Kedekatannya dengan budaya Eropa mengakibatkan nyai menjadi seorang perempuan modern pada zamannya.

Kata kunci : Nyai, Pergundikan, Transformasi, Modernisasi, Jawa, 1870-1942

(3)

2 I. PENDAHULUAN

Sebutan nyai adalah bagi mereka perempuan-perempuan pribumi yang dijadikan gundik para orang Eropa di Hindia Belanda.Kata ‘Nyai’sendiri didapat dari bahasa Bali, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa dengan pengertian perempuan (muda), adik perempuan, dan juga dianggap sebagai istilah

panggilan.1

Modernisasi ini ditransformasikan dengan berbagai cara dan media secara disengaja maupun secara alami oleh beberapa masyarakat pendukungnya, termasuk nyai diantaranya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia transformasi berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb), atau perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya. Seorang nyai berperan di dalam transformasi modernisasi di Jawa pada khususnya, transformasi modernisasi yang penulis maksud adalah proses perubahan kebiasaan atau budaya masyarakat Jawa yang termodernkan oleh budaya masyarakat Eropa yang datang ke Hindia Belanda. Modernisasi tersebut Sebutan nyai dan gundik memunculkan istilah kata kerja pernyaian, yang juga dapat disebut pergundikan, untuk seterusnya penulis akan menggunakan kata pernyaian dalam penulisan ini.

Seiring dengan perkembangan perekonomian sejak diberlakukan Politik Liberal dan perkembangan pendidikan sejak Politik Ethis menyebabkan semakin besarnya arus modernisasi di Hindia Belanda.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modernisasi berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Budaya bangsa Eropa yang datang ke Hindia Belanda inilah yang djadikan ukuran dalam menentukan modern, bisa dalam hal pemutakhiran transportasi, mata uang yang beredar, bahasa, bangunan, budaya, serta gaya hidup.

1

Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 36.

(4)

3

terjadi di berbagai bidang kehidupan masyarakat, hingga membentuk suatu akulturasi budaya.Penulis mencoba untuk meneliti bagaimana peranan nyai dalam perubahan atau transformasi modernisasi di Jawa.

Saat ini, sosok nyai tidak begitu diketahui oleh masyarakat Indonesia khususnya. Masyarakat masih memandang sebelah mata tentang pernyaian tanpa mengkritisi lebih dalam bagaimana peranan nyai tersebut dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia hingga kini.Tidak banyak pula yang mengetahui bagaimana peranan seorang nyai dalam pertukaran budaya Jawa dengan budaya tuannya.Maka, penulis ingin meneliti dan mengeksplor bagaimana peranan nyai ini dalam transformasi modernisasi di Jawa.

Batasan temporal skripsi ini adalah antara tahun 1870 hingga 1942, dimana pada tahun 1870modernisasi mulai dirasakan oleh rakyat Jawa. Hal

tersebut didukung dengan kebijakan Politik Pintu Terbuka2dan Politik Ethis3

yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda.Sedangkan di tahun 1942 adalah masa berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda dengan ditandai perebutan kekuasaan oleh pemerintah Jepang.Pernyaian atau pergundikan ala kolonial berangsur-angsur lenyap ketika perempuan bangsa Belanda dan

Eropa lainnya berimigrasi ke Hindia dalam skala besar.4

2

Politik ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria pada masa liberal yang isinya antara lain diperbolehkan menyewakan tanah oleh orang-orang Indonesia kepada orang-orang-orang-orang bukan Indonesia, lihat Dr. D. H. Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis IndonesiaJilid Pertama. Jakarta: Negara Pradnjaparamita, 1962, hlm. 220-221.

3

Politik Ethis dicetuskan oleh salah seorang kaum ethis bernama Van Deventer. Politik ini menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi, lihat Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 30-32.

4

Elsbeth Locher-Scholen, dalam Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, Prisma No. 10, 1994, hlm. 35.

(5)

4 A. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah telaah terhadap pustaka atau literatur yang menjadi

landasan pemikiran dalam penelitian.5

Rumusan masalah yang ketiga adalah peranan nyai dalam transformasi modernisasi di Jawa. Secara garis besar penulis dapatkan dari beberapa buku, antara lain buku terjemahan yang berjudul Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942 oleh Dr. Frances Gouda. Pada bagian Rumusan masalah yang pertama adalah latar belakang munculnya pernyaian di Jawa. Latar belakang praktik pernyaian akan dikaji melalui beberapa buku, yang pertama buku karya Reggie Baay yang berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Buku ini selain menceritakan bagaimana awal fenomena pergundikan, kisah kehidupan para gundik-gundik Eropa, juga memaparkan bagaimana pergundikan itu sempat ditolak dan diberantas keras oleh beberapa Gubernur Jenderal Hindia Belanda.Buku yang kedua berjudul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda karya Tineke Hellwig.Literatur kedua ini memberikan gambaran penulis tentang posisi kaum perempuan pribumi pada masa penjajahan Belanda.Tidak hanya didukung atas fakta-fakta, tetapi pengarang juga memaparkan kisah-kisah tentang perempuan Hindia Belanda yang ada pada waktu itu.

Rumusan masalah yang kedua adalah bagaimana model-model pernyaian di Jawa.Penulis menggunakan sebuah literatur terjemahan berjudul Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial karya John Ingleson.Buku ini lebih banyak memaparkan praktik pergundikan di kota-kota dan perkebunan.Pergundikan dilihat sebagai sebuah masalah sosial yang terjadi akibat dari perkembangan masyarakat atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda sendiri.Khususnya setelah tahun 1870 ketika perekonomian kolonial terbuka bagi perusahaan swasta.

5

Jurusan Pendidikan Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, 2006, hlm. 3.

(6)

5

awal buku ini lebih menekankan bagaimana budaya orang-orang Eropa khususnya Belanda yang hidup di Hindia Belanda bercampur dengan budaya-budaya pribumi di Hindia Belanda.Buku kedua adalah karya Leonard Blusse, yang berjudul Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Persekutuan aneh yang dimaksud dalam buku ini adalah telah terjadi apa yang disebut sebagai ‘hubungan-persetubuhan’ yang melibatkan antara masyarakat Belanda dengan Cina di Batavia.

Percampuran budaya antara Belanda dengan budaya pribumi terdapat dalam buku karya Djoko Soekiman yang berjudul Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana budaya Belanda telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat pribumi, gaya hidup orang-orang Belanda, baik orang Belanda totok, orang keturunan Belanda yang lahir di Hindia Belanda ataupun anak-anak Indo-Belanda.

B. Historiografi Relevan

Historiografi merupakan rekonstruksi sejarah melalui proses pengujian

dan menganalisis secara kritis dari peninggalan masa lampau.6

Historiografi relevan yang kedua adalah tesis karya Lukitaningsih, mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada tahun 2003 yang berjudul “Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 1900-1940”. Tesis yang terdiri dari 4 bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas Adapun literatur yang relevan dengan penulisan skripsi ini adalah, skripsi berjudul “Kesetiaan dan Resistensi: Pernyaian di Batavia, 1880-1900” oleh Angger Tondo Asmoro, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada 2012. Penelitian ini membahas mengenai realitas sosial yang dihadirkan para nyai dalam keluarga Eropa atau Tionghoa di Batavia.Perbedaan skripsi yang akan penulis susun adalah penulis mencoba menulis eksistensi seorang nyai di suatu wilayah yang lebih luas, yaitu di Jawa. Penulis juga akan memaparkan peranan nyai dalam perubahan budaya yang ada di Jawa.

6

Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984, hlm. 268.

(7)

6

mengenai perempuan yang bekerja sebagai buruh di perkebunan karet Sumatra Timur, serta bagaimana peran seorang perempuan sebagai tenaga buruh dalam proses produksi.Bagaimana praktik-praktik pergundikan banyak terjadi antara pegawai-pegawai perkebunan dengan buruh perempuan perkebunan baik yang berasal dari luar Hindia Belanda maupun dari Jawa.Perbedaan skripsi yang akan penulis susun dengan tesis di atas adalah penulis mencoba menulis bagaimana peranan gundik atau nyai sebagai mediator dalam memperkenalkan budaya Eropa orang-orang kolonial kepada orang pribumi. Penulis memasuki ranah sosial budaya saja, dimana pernyaian yang awalnya merupakan hal yang masih tabu dan sempat dilarang keras justru berakibat positif bagi perempuan-perempuan Jawa.

Ketiga, skripsi karya Siti Utami Dewi Ningrum yang berjudul “Perempuan-prempuan Dalam Kehidupan Sosial Tentara Kolonial di Jawa, 1830-1942”.Tulisan mahasiswa Universitas Gadjah Mada tahun 2013 ini menjelaskan mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada masa

kolonial, lebih khususnya ialah terhadap Sarina7

C. Metode dan Pendekatan Penelitian

.Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi di atas adalah pada fokus pembahasannya. Skripsi di atas lebih memfokuskan pada realita kehidupan nyai yang menyakitkan dan penuh kekerasan di dalam tangsi-tangsi militer, sedangkan skripsi yang akan penulis susun memfokuskan pada hasil daripada perjuangan hidup sang nyai.Penulis juga tidak hanya memaparkan pernyaian di tangsi-tangsi militer saja, tetapi juga di dalam dunia sipil dan perkebunan-perkebunan.

1. Metode Penelitian

a. Pemilihan Topik, pemilihan topik sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual.

7

Sarina merupakan sebutan bagi para pelayan perempuan yang berada di dalam tangsi untuk mengurusi keperluan hidup tentara kolonial, dan sering disebut sebagai pasangan mereka.

(8)

7

b. Heuristik (Pengumpulan Sumber) merupakan kemampuan menemukan dan menghimpun sumber-sumber yang diperlukan dalam penelitian sejarah biasa dikenal sebagai tahap heuristic.

c. Verifikasi (Kritik Sumber), menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu.Kritik Sumber dilakukan secara ekstern maupun intern.

d. Interpretasi (Analisis Sumber), untuk melaksanakan interpretasi sejarah ini juga dibutuhkan suatu analisis dari peneliti setelah dilaksanakan verifikasi sumber untuk meminimalisir terjadinya subyektifitas peneliti.

e. Historiografi (Penulisan Sejarah), dalam tahap ini peneliti berperan untuk menyusun sumber-sumber yang telah didapat dengan kronologis agar sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam peristiwa sejarah.

2. Pendekatan Penelitian

Sejarah merupakan suatu peristiwa masa lampau yang bersifat kompleks artinya menyangkut segala aspek kehidupan manusia, oleh sebab itu dalam mengkaji suatu permasalahan sejarah sangat diperlukan

sudut pandang yang bersifat multidimensional.8

Pendekatan antropologi merupakanpendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia.Di dalam ilmu antropologi mencakup

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini meliputi pendekatan sosiologis, pendekatan antropologi, pendekatan psikologis, dan pendekatan politik.

Pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui bagaimana praktik-praktik pernyaian telah mengubah status sosial seorang perempuan pribumi.Pendekatan ini juga digunakan ketika menganalisa bagaimana kondisi masyarakat saat itu hingga praktik pergundikan dapat muncul merajalela di tanah Hindia Belanda.

8

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 87.

(9)

8

juga ilmu kebudayaan. Kebudayaan yang terdiri dari hal-hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan pekerjaan, dan sebagainya digunakan untuk membantu proses analisa terkait gaya hidup para nyai, dan peranannya sebagai mediator budaya Belanda dan Jawa.

Pendekatan psikologis dimaksudkan untuk mengungkapkan fakta-fakta yang tidak tampak di permukaan dan lebih jauh menembus ke dalam kehidupan kejiwaan.Pendekatan psikologis dalam skripsi ini dimaksudkan untuk menyelami sosok nyai secara utuh. Seorang nyai yang awalnya dipaksa untuk memenuhi kebutuhan biologis tuan Eropa-nya, bagaimana nyai-nyai itu begitu mudahnya dibuang secara sepihak oleh tuan-nya, tekanan seorang nyai dalam menyandang status gundik Eropa di mata masyarakat, serta bagaimana kehidupan nyai dengan anak-anak hasil hubungan dia dengan tuan Eropanya.

Pendekatan politik menyoroti struktur kekuasaan, etnis, kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan kekuasaan dan lain

sebagainya.9

II. LATAR BELAKANG PERNYAIAN DI JAWA

Pendekatan politik dalam skripsi ini digunakan untuk mengetahui bahwa praktik pernyaian justru dipakai untuk mengubah status sosial perempuan pribumi. Nyai kemudian berusaha keras untuk mengimbangi pemikiran-pemikiran tuan Eropanya hingga ia tak begitu mudah untuk dibuang.

A. Kedatangan Pegawai-pegawai Eropa ke Hindia Belanda

Banyaknya kedatangan para pedagang Eropa ke Indonesia menyebabkan persaingan yang sangat ketat antar pedagang dan perusahaan.Persaingan ketat antara perusahaan pelayaran niaga dalam mengklaim monopoli perdagangan di Asia, khususnya Nusantara menyebabkan keuntungan yang diperoleh merosot.Untuk mengatasi hal itu pihak pemerintah Belanda memutuskan

9

Ihromi, T.O., Pokok-Pokok Antroologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 4.

(10)

9

untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga tersebut dalam satu perusahaan saja. Pada tanggal 20 Maret 1602 Staten General mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada sebuah perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (Serikat Perusahaan Perdagangan di Asia

Timur).10

Politik Pintu Terbuka juga turut andil dalam mempengaruhi jumlah pegawai-pegawai Eropa yang datang ke Hindia Belanda.Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 juga mendukung migrasi para pegawai Eropa ke Hindia Belanda yang menjadi semakin mudah. Sejak perdagangan, perkebunan, dan industri di Hindia Belanda mengalami pertumbuhan pesat di akhir abad 19 dan awal abad 20, maka kehadiran imigran para kapitalis dan profesional sipil Eropa semakin banyak jumlahnya.

Kedatangan sejumlah pegawai-pegawai VOC ke Hindia Belanda mempengaruhi lahirnya sistem pernyaian di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa.Kebanyakan dari pegawai-pegawai Eropa itu datang ke Hindia Belanda sebagai perjaka.Diantara pegawai-pegawai Eropa tersebut memilih untuk tinggal dengan nyai pribumi sebagai gundik.

11

Sebenarnya praktik pernyaian sudah banyak terjadi di kalangan para pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa tidak

sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang ada.12

B. Kondisi Jawa pada Tahun 1870-1942

Jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang jauh lebih sedikit mengakibatkan semakin maraknya praktik pernyaian pada masa pemerintahan Belanda di Hindia Belanda sejak dibentuknya VOC di Batavia.

1. Politik Kolonial Liberal

10

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia (1700-1900). Jakarta: Balai Pustaka, 2009, hlm. 29.

11

Bedjo Riyanto, Iklan dan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang Press, 2000,hlm. 40.

12

(11)

10

Tahun 1870 menjadi masa yang penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.Masa antara 1870 sampai dengan 1900 dalam sejarah kolonial dilihat sebagai masa Liberal.Artinya masa dimana pemerintah melepaskan peranan-peranan ekonominya (Tanam Paksa, Monopoli rempah-rempah) dan menyerahkan eksploitasi ekonomi kepada modal swasta.

Usaha golongan liberal mendapat jalan setelah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Sejak diterapkannya Undang-undang Agraria, terjadilah proses swastanisasi dan

modernisasi perekonomian dalam masyarakat di Hindia Belanda.13

2. Politik Ethis

Maka semakin kuatlah peranan pengusaha ataupun investor swasta dalam perekonomian kolonial di Hindia Belanda.

Politik ini sering dinamakan Politik Etika, yang dicanangkan pada

tahun 1901 oleh Van Deventer14 setelah Ratu Belanda melontarkan

pernyataan bahwa negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta pengembangan sosial dan ekonomi

penduduk pribumi.15Politik Ethis mencoba mengubah sistem liberal

menjadi sebuah sistem yang dapat dijadikan media pemerintah agar dapat turut campur urusan-urusan masyarakat.Politik Ethis menggunakan tiga

sila sebagai slogannya, yaitu Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi.16

13

Ibid., hlm. 31.

14

Orang sering mengaitkan timbulnya sistem Politik Etis dengan tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (Nomor 63, tahun 1899) yang berjudul Een Eereschuld atau “Hutang Budi”, lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 32.

15

Encyclopedia, Politik Etis. Tersedia pada

www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2406/Politik-Etis, diakses pada tanggal 10 Mei 2014, pukul 14.35 WIB.

16

(12)

11

Penerapan sistem pendidikan Barat semakin mempercepat laju proses modernisasi yang merubah secara struktural lapisan-lapisan sosial tertentu di masyarakat Jawa pada masa itu. Pada awal abad ke-20, tingkat interaksi antara warga kulit putih dengan masyarakat pribumi yang semakin tinggi menyebabkan munculnya golongan Indo Eropa.Golongan tersebut merupakan hasil keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda/Eropa asli dengan wanita pribumi yang berstatus gundik atau nyai.17

C. Munculnya Pernyaian di Jawa

Praktik pernyaian pada masa penjajahan sudah bukan menjadi hal tabu lagi, status nyaibahkan menjadi idaman para gadis-gadis pribumi agar dapat merubah status sosialnya menjadi lebih tinggi. Sejak awal abad 17 banyak pejabat-pejabat kolonial bahkan memelihara lebih dari satu nyai.Seorang gubernur pesisir laut Jawa dikatakan memiliki dua puluh orang perempuan “kesayangan” bangsa pribumi. Kemudian disebut-sebut pula nama pejabat lain yang memelihara nyai, yaitu Van Reed, Residen Juwana, Van Lawick, dan seorang pejabat Komisi Urusan Bumiputra di Buitenzorg. Semua contoh ini

diambil dari tahun 1800-1810.18

1. Jumlah Laki-laki Eropa atau Belanda Lebih Banyak Dibandingkan Jumlah Perempuan Eropa atau Belanda.

Terdapat beberapa penyebab mengapa praktik pernyaian tumbuh begitu kuat di tanah jajahan, antara lain;

Pada awalnya sistem pernyaian mulai marak di Batavia pada masa pemerintahan VOC meskipun sesungguhnya jauh sebelum Belanda tampil di Asia.Praktik pergundikan sudah banyak terjadi di kalangan para pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa

17

Bedjo Riyanto, op.cit.,hlm. 49.

18

Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, dalam Prisma, No. 10 Tahun XXIII Oktober, 1994, hlm. 25.

(13)

12

tidak sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang

ada.19

Alasan para lelaki Eropa enggan membawa keluarga mereka ke daerah koloni adalah perbedaan iklim Eropa dengan daerah tropis seperti Indonesia yang mencolok.Selain itu, perjalanan melalui laut yang memakan waktu sangat lama, sekitar 7-10 bulan, dan melelahkan, bahkan terkadang disertai cuaca yang tidak baik dan penuh bahaya.Perjalanan seperti ini tentunya sangat berbahaya bagi seorang perempuan, apalagi perempuan Eropa yang sangat rentan dan tidak terbiasa dengan iklim tropis.

Jumlah wanita asing yang tidak sebanding dengan jumlah lelaki asing di Hindia Belanda dapat dilihat dari sensus penduduk yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu.Berikut ini merupakan tabel sensus penduduk pada tahun 1860 hingga 1930.

TABEL 1

JUMLAH WANITA ASING PADA SETIAP 1000 PRIA DI HINDIA BELANDA DARI TAHUN 1860-1930

Tahun Eropa China Arab

1860 - 590 809 1880 481 620 830 1900 636 548 857 1905 672 526 890 1920 800 563 865 1930 884 646 841

Sumber : Creutzberg dan van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 1987, hlm. 33.

Karena kebutuhan perempuan Eropa tidak sebanding dengan jumlah lelaki Eropa, maka beberapa lelaki Eropa memilih untuk hidup bersama nyaiatau gundik selagi menunggu seorang perempuan Eropa.Pengambilan

19

Hayu Adi Darmarastri, “Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 4 No. 2, 2002, hlm. 7.

(14)

13

seorang nyai ini menjadi solusi atas jumlah laki-laki Eropa dan perempuan Eropa yang tidak seimbang.

2. Peraturan gereja yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan beda keyakinan.

Sebelum tahun 1848 sebuah pernikahan antara seorang Eropa Kristen dengan seorang perempuan pribumi non-Kristen merupakan hal yang

dilarang.20

Seorang laki-laki Eropa Kristen harus menikahi seorang perempuan Kristen pula.Jadi jika laki-laki Eropa Kristen menginginkan menikah dengan seorang perempuan pribumi, perempuan tersebut haruslah beragama Kristen. Sebagai ganti peralihan agamanya, ia memperoleh kewarganegaraan suaminya. Anak-anak mereka hanya boleh dibaptis jika ibu mereka orang Kristen yang aktif menganut agamanya.

Namun sesuai dengan perubahan zaman, lambat laun kriteria agama dan larangan perkawinan campuran ini tidak dapat dipertahankan. Akhirnya pernikahan campuran bukan berarti dilarang sama sekali, hanya menjadi hal tidak dikehendaki. Perkawinan campuran menjadi sebuah fenomena sosial yang banyak terjadi antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi dalam hubungan pergundikan.Hal ini sudah menjadi sesuatu yang wajar terjadi, tetapi kenyataannya segolongan masyarakat Eropa masih tetap menentang perkawinan campuran.

21

3. Memelihara seorang nyaidianggap lebih mudah dan menguntungkan dibandingkan menikah secara resmi dengan seorang perempuan pribumi.

Rezim semacam ini telah mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara laki-laki Eropa dengan perempuan Asia.Karena dalam kenyataannya tidak banyak perempuan pribumi yang bersedia masuk ke agama Nasrani.

Memilih hidup membujang di tanah koloni dianggap sebagai keputusan yang tepat mengingat kondisi finansial para pegawai Eropa ini belum memungkinkan untuk menanggung sebuah keluarga.Apalagi sebuah

20

Reggie Baay, op.cit.,hlm. 71.

21

(15)

14

keluarga yang bergaya hidup Eropa yang senang dengan kemewahan.Alasan tersebut semakin memperkuat alasan seorang pegawai Eropa memilih untuk tidak menikah.

Bukan berarti para pegawai Eropa ini tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah dan melayaninya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasinya mereka biasanya mengambil seorang perempuan pembantu rumah tangga dari kalangan pribumi. Semakin lama, perempuan pribumi itu tidak hanya membantunya dalam mengurus rumah tangga, tetapi juga melayani kebutuhan biologis sang tuannya. Perempuan-perempuan pribumi inilah yang dipanggil dengan nyai.

Memelihara nyaidianggap lebih mudah dan menguntungkan daripada menikah secara resmi dengan seorang perempuan Eropa.Memelihara nyailebih mudah untuk ditinggalkan dan dapat diperlakukan sekehendak hati. Nyai juga dapat dimanfaatkan dalam hal menjaga kesehatan tuan Eropanya dibandingkan dengan jika harus berhubungan dengan pelacur yang tidak terjamin kebersihannya. Memelihara nyaijuga dianggap lebih terhormat bagi seorang pejabat tinggi dibandingkan jika ia berkunjung ke

kompleks pelacuran.22

Kehadiran nyai juga dimanfaatkan untuk memperoleh pengetahuan mengenai kebudayaan Melayu, baik dalam bidang bahasa, kebiasaan,

maupun adat istiadatnya.23

22

Hayu Adi Darmarastri, op.cit., hlm. 15.

23

Ibid.

Hadirnya seorang nyai dapat membantu untuk menyelami kehidupan masyarakat serta alam pikiran bangsa Indonesia.seorang nyai merupakan kamus berjalan tentang budaya pribumi bagi tuan Eropanya. Keuntungan lainnya adalah diperoleh pengetahuan mengenai obat-obatan tradisional dari seorang nyai. Nyai dapat membantu para tuan Eropa menghadapi ancaman serangan penyakit tropis karena terbatasnya jumlah obat-obatan yang ada.

(16)

15

D. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Praktik Pernyaian 1. Kebijakan Jan Pieterszoon Coen terhadap Praktik Pergundikan

Jan Pieterszoon Coen adalah pendiri Batavia setelah pada tahun 1619 Djakarta berhasil diduduki oleh VOC. Coen adalah Gubernur Jenderal VOC pada saat itu.Jabatan Gubernur Jenderal adalah sorang pemimpin umum yang berkuasa dan mengurus semua kepentingan VOC di Asia.Setelah mendirikan Batavia, Coen berusaha untuk membangun koloni kulit-kulit putih di tanah jajahan.

Maraknya pernyaian pada masa itu yang terjadi di kalangan lelaki Belanda atau Eropa dengan perempuan pribumi sangat ditentang dan dibenci oleh Coen karena dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas.Coen memang seorang yang terkenal sangat keras terhadap

pelanggaran seksual.24

Coen meminta kiriman anak-anak gadis serta mengusulkan agar banyak keluarga Belanda dari kalangan yang baik-baik untuk beremigrasi ke Batavia. Bersama keluarga dan anak-anak mereka ini disertakan pula sekitar empat sampai lima ratus anak laki-laki dan perempuan berusia 10 sampai 12 tahun, yang diambil dari semua rumah-rumah yatim-piatu di Verenigde Provincien, dengan perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan diusulkannya 2:1.

Coen menganggap bahwa perkawinan campuran yang terjadi antara orang Belanda atau Eropa dengan orang pribumi bukanlah jalan yang tepat untuk membangun sebuah koloni kulit putih di tanah jajahan.

25

Coen memahami bahwa para laki-laki dalam wilayah jajahan harus memperoleh alternatif mendapatkan pasangan hidup selain dengan melakukan praktik pergundikan. Coen menganggap pernyaian sebagai penyebab dari timbulnya kasus pengguguran kandungan, pembunuhan

24

Onghokham, “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, dalam Prisma No. 7 Tahun XX, Juli 1991, hlm. 18.

25

Leonard Blusse, Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKis, 2004, hlm. 301.

(17)

16

bayi, dan terkadang aksi peracunan terhadap si tuan Eropa yang dilakukan

oleh gundik yang cemburu.26Ia pun meminta calon-calon pengantin

perempuan kulit putih kepada Heren van de Compagnie.27

Permintaan dan peraturan-peraturan oleh Coen ternyata tidak terlalu efektif.Jumlah pernyaian di wilayah pendudukan tidak berkurang secara signifikan.Maka Coen mengeluarkan larangan bagi kaum lelaki Belanda atau Eropa untuk menikahi kaum perempuan pribumi seperti yang

tercantum pada Regering bij Plakaat pada tahun 1625.28

2. Peraturan Kolonial tentang Perkawinan Campuran

Larangan Coen ternyata tidak dapat menghapus pergundikan di Hindia Belanda, kebutuhan biologis telah mengalahkan kebijakan pemerintah.Pernyaian baru benar-benar hilang berabad-abad setelah kepemimpinan Coen, yaitu seiring dengan perginya bangsa Eropa dari Indonesia.

Peraturan perkawinan campuran di Hindia Belanda diatur dalam Staatsblad 1898 No. 159.Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No 23, S 1898/158.Peraturan tersebut memberikan definisi sebagai berikut; perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang dibawah hukum yang berlainan yang ada di Indonesia. Hukum yang berlainan ini antara lain disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai wilayah, golongan rakyat, tempat kediaman, atau agama. Maka perkawinan campuran dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu perkawinan campuran internasional, perkawinan campuran antar-regio, perkawinan campuran antar-tempat, perkawinan campuran antargolongan, dan perkawinan campuran antar-agama.

Praktik pernyaian yang terjadi antara laki-laki Eropa dengan seorang perempuan pribumi tentu adalah sebuah perkawinan campuran.Karena keduanya dipisahkan tidak hanya karena perbedaan ras dan

26

Hayu Adi Darmarastri, op.cit.,hlm 8.

27

Reggie Baay, op.cit.,hlm 2.

28

(18)

17

kewarganegaraan saja, tetapi golongan dan agama yang berbeda. Hukum kolonial tentang perkawinan campuran ini merupakan salah satu peraturan yang dikeluarkan untuk menanggapi banyaknya perkawinan laki-laki Eropa yang ada di Hindia Belanda dengan perempuan pribumi, baik itu yang dimulai dengan hubungan pernyaian atau pun tidak.

III. MODEL PERNYAIAN DI JAWA A. Pernyaian dalam Dunia Sipil

Masyarakat kolonial Eropa yang terdiri dari para pendatang baru hanya bisa dijumpai di tempat-tempat tertentu di Nusantara.Masyarakat Eropa bertempat tinggal terutama di kota-kota besar di Jawa seperti Batavia,

Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta.29 Pada tahun

1880, terdapat 19,5 juta penduduk pribumi sedangkan orang Eropa hanya

berjumlah sekitar 50.000.30

Pernyaian merupakan gejala yang umum dan dapat diterima oleh banyak orang sebagai suatu cara penyesuaian diri laki-laki Eropa lajang demi kelangsungan hidup di tanah koloni. Menurut perkiraan terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni hidup bersama seorang nyai pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19.

Walaupun jumlahnya sedikit, kaum Eropa totok mempunyai pengaruh yang besar sebagai kaum penguasa absolut.

31

Bagi bangsa Belanda, menikahi perempuan-perempuan pribumi asli maupun yang berdarah campuran di Hindia Belanda adalah suatu kebiasaan yang normal. Masalah pernyaian dalam masyarakat Hindia Belanda memang unik. Bahkan bangsa kulit putih telah menjalani hidup bersama dengan perempuan-perempuan pribumi tidak hanya di Hindia Belanda saja, tetapi hampir di semua masyarakat kolonial, di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan.

Menjelang akhir abad ke-19 sudah sangat biasa jika seorang laki-laki Eropa mengambil seorang nyai, begitu juga dari sudut pandang penduduk pribumi.

29

Reggie Baay, op.cit., hlm. 40.

30

Ibid.

31

(19)

18

Menurut Ian Buruma, kehidupan kolonial di mana-mana tampaknya agak

digenangi oleh masalah seks.32

Kebiasaan bangsa Eropa yang hanya memanggil dengan nama kelompok, bukan dengan nama depan ternyata juga berimbas kepada nyai. Dalam dunia sipil para nyai sering dipanggil dengan nama Mina. Sehingga anak-anak yang dilahirkan dari hubungan pernyaian kebanyakan tidak mengetahui nama asli ibu mereka, anak-anak ini mengetahui setelah dewasa dan membaca akta pengakuan dari ayah mereka.

Keberadaan seorang nyai atau gundik membawa perubahan yang sangat besar bagi penduduk Belanda. Seorang nyai tidak hanya mempengaruhi budaya tuan Eropa-nya, tetapi juga mempengaruhi garus keturunan yang berbeda dalam masyarakat Eropa khususnya Belanda. Apabila bangsa Inggris menganggap adanya separuh kasta (orang-orang Indo) melebihi batas sosial, bangsa Belanda lebih bersikap realistis.Bangsa Belanda menganggap hibriditas merupakan akibat yang tidak dapat dihindari dari kolonialisme.

33

Pengambilan seorang nyai pribumi oleh para laki-laki Eropa terbilang mudah.Biasanya pelayan atau pembantu rumah tangga seorang majikan Eropa berjumlah lebih dari satu. Jika seorang majikan laki-laki Eropa menemukan nyai yang sesuai diantara para pekerja rumah tangganya, maka ia akan mengambil dan mengangkatnya sebagai nyai. Namun, jika seorang laki-laki Eropa tidak menemukan yang sesuai diantara para pembantu rumah tangganya, ia akan memerintah kepada salah seorang pembantu laki-lakinya agar mencarikan seorang gundik. Setiap orang Indis tahu apa arti perintah

Hal ini diperkuat dengan beberapa sumber yang ditemukan berupa conduitstaten dan stamboek yang tidak menyebutkan nama terang dari nyai itu sendiri, hanya akan tertulis sebagai Mina atau Inlandesch Vrouwen.

32

Frances Gouda, Dutch Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007, hlm. 291.

33

(20)

19

“tjari perempoean”, tulis seorang wartawan dan penulis, Henri Borel, dalam

salah satu artikelnya mengenai pergundikan.34

Cara lain untuk menjalin hubungan pernyaian adalah dengan melalui perjodohan. Hal ini sering terjadi di dalam keluarga Eropa baik-baik yang memiliki anak laki-laki remaja.Hubungan semacam ini kerap bersifat sangat sementara dan bertujuan agar para pemuda memiliki pengalaman bersama perempuan. Perjodohan juga terjadi pada seorang perempuan pribumi yang diserahkan oleh ayahnya kepada seorang tuan Eropa. Hal ini sering terjadi kepada pejabat daerah, mereka biasanya akan memberikan anak gadisnya kepada seorang tuan Eropa agar dapat mengamankan kedudukannya. Nyai yang diambil dengan jalan ini dipandang lebih tinggi kedudukannya daripada

nyai yang berasal dari seorang babu.35

B. Pernyaian dalam Tangsi Militer

Seorang nyai bertugas mengatur rumah tangga, dan hidup bersama laki-laki Eropa yang telah mengambilnya sebagai seorang nyai. Nyai akan tinggal bersamanya, makan dengannya, menemaninya dan tidur bersamanya. Namun, seorang nyai tidak mempunyai derajat yang sama dengan tuannya.

Eksploitasi atas Hindia Belanda yang subur dan besar tidak mungkin dilakukan tanpa penempatan militer bagi banyak negara besar.Berdirinya Hindia Belanda hanya dapat dijamin oleh keberadaan tentara permanen yang berkekuatan penuh.Hal ini diperkuat dengan banyaknya bangsa Asing yang menginginkan Hindia Belanda khususnya Jawa dari tangan Belanda, seperti Inggris.Atas alasan tersebut maka dibentuklah pasukan kolonial.Pada awalnya pasukan ini hanya terdiri dari delapan korps. Pasukan ini hingga tahun 1933 hanya disebut sebagai tentara Hindia (Timur) atau tentara kolonial, sampai akhirnya oleh Hendrik Colijn, perdana menteri sekaligus mantan perwira tentara kolonial memberikan nama Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger

34

Ibid.,hlm. 46.

35

(21)

20

(KNIL).Tentara kolonial direkrut dari negeri Belanda, beberapa negara Eropa, bahkan termasuk laki-laki pribumi.

Di tanah koloni, para serdadu ditempatkan dan diberi pendidikan militer di tangsi militer di Jawa.Pendidikan ini terdiri dari pelatihan serdadu, pengetahuan dasar menggunakan senjata dan penyuluhan mengenai penyakit-penyakit kelamin.Basis militer Belanda di Jawa dibuat di daerah Gombong, Jawa Tengah.Pembuatan basis militer ini baru dimulai sejak Perang Jawa (1825-1830) berakhir.Basis militer ini merupakan antisipasi apabila ada perlawanan dari daerah Kasultanan Yogyakarta dan sekitarnya. Membangun basis militer skala besar di Yogyakarta sangat tidak etis, karena di sana telah ada benteng Vredeberg. Basis militer Belanda di Gombong ini adalah yang terbesar. Di sana, terdapat depot pelatihan tentara. Dalam hal ini, Belanda

sukses, banyak pemuda dari daerah itu yang menjadi prajurit sampai kini.36

Serdadu pribumi yang masuk dalam tentara kolonial biasanya sudah menikah dan menjadi kepala keluarga di usia muda. Mereka yang telah menjadi tentara kolonial tidak serta merta melepaskan kehidupan sosial dan seksual mereka. Pemimpin KNIL, Jenderal Haga, mengizinkan untuk

melanjutkan hubungannya di dalam tangsi.37

Maka di bawah pemerintahan Menteri Daerah Jajahan Keuchenius (1888-1890), tangsi-tangsi disekat-sekat untuk para prajurit yang telah memiliki pasangan.

Sedangkan para serdadu pribumi maupun Eropa yang lajang diizinkan hidup bersama tanpa pernikahan dengan perempuan pribumi di dalam tangsi.

38

36

Petrik Matanasi, Sejarah Tentara: Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2011, hlm. 13.

37

Reggie Baay, op.cit.,hlm. 94.

KNIL pun menjadi ketentaraan yang secara resmi mengizinkan serdadunya tinggal bersama, tanpa ikatan pernikahan, dengan perempuan

38

(22)

21

pribumi di dalam tangsi.Tangsi tentara kolonial menjadi tempat dimana Jan39,

Kromo40

Dalam Gedenkboek KNIL, pujian penuh penghargaan ditujukan kepada “pasukan kecil” Sarina, yaitu pelayan-pelayan dalam tangsi yang mengurus keperluan hidup prajurit.

, dan Sarina tinggal.

41

Untuk menjadi seorang nyai di tangsi militer KNIL terdapat beberapa jalan, ada seorang perempuan pribumi yang menawarkan diri.Ada juga hubungan pernyaian yang terjalin karena para serdadu mencari sendiri nyai mereka di sekitar tangsi. Banyak gadis dan perempuan muda pribumi yang bekerja di warung-warung makan dekat tangsi dan kemudian menjadi nyai dengan cara demikian.

Seorang Sarina digambarkan sebagai perempuan muda yang cantik dan genit, atau perempuan tua dengan umur tidak dapat diperkirakan.Mereka, para Sarina menjalani posisinya dengan segala suka dan duka, berbagi makanan dengan serdadu Eropa atau berbagi tempat tidur dengan prajurit pribumi.Peran para nyai tangsi antara lain sebagai pembantu, baik itu mengurus rumahtangga, memasak makanan, mencuci, berbelanja, maupun sebagai teman tidur serta semua peran yang ada. Selain yang disebut diatas, membantu untuk menghadapi iklim dan penyakit tropis adalah peranan seorang nyai bagi derdadu kolonial.

42

C. Pernyaian dalam Perkebunan-perkebunan

Pada saat itu bahkan terdapat sebuah kelompok gundik tangsi profesional, yaitu para perempuan yang memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan menawarkan diri menjadi gundik anggota militer kolonial.

Terdapat satu tempat yang juga tidak dapat terlepas dari praktik pernyaian, yaitu perkebunan-perkebunan.Wilayah Hindia Belanda oleh pemerintah

39

Jan adalah julukan yang diberikan kepada serdadu Eropa.

40

Kromo adalah julukan yang diberikan kepada serdadu pribumi.

41

Ineke Van Kessel, Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011, hlm. 211

42

(23)

22

Belanda dibuka untuk para pengusaha swasta, dan memperbolehkan tanah di wilayah Hindia Belanda disewakan.Setelah itu, banyak tenaga kerja buruh yang berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah perkebunan untuk bekerja, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan.Tenaga kerja ini kebanyakan berasal dari pribumi, khususnya Jawa.

Perbandingan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan di perkebunan sangat jauh. Sebagai gambaran perbedaan jumlah yang sangat signifikan di dalam perkebunan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan dapat dilihat dalam tabel perbandingan di bawah ini:

TABEL II.

Perbandingan Sex Ratio antara Buruh Laki-laki dan Buruh Perempuan di Perkebunan Karet pada Tahun 1908-1938

Periode 5 Tahun

Tahun Buruh Kontrak Buruh Bebas SexRatio

BuruhL/M

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

1908 102.119 10.315 ……… ……….. 9,9 1913 309.841 172.134 6.862 3.812 1,8 1918 269.651 179.767 6.198 4.132 1,5 1923 212.822 177.352 11.411 9.509 1,2 1928 428.881 186.470 57.746 25.107 2,3 1933 103.597 64.748 147.999 92.499 1,6 1938 121.646 110.587 101.078 91.889 1,1

Sumber :Verslag Arbeidsinpectie 1908-1938, dalam Lukitaningsih, “Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 1900-1940”, Program Pasca Sarjana UGM 2003,hlm. 93.

Wilayah perkebunan adalah tempat yang banyak memunculkan terjadinya kotak sosial antara orang Eropa dan pribumi.Tempat ini terdapat pula tenaga kerja wanita yang jumlahnya jika dibandingkan dengan tenaga

(24)

23

kerja laki-laki terbilang minoritas.43

IV. PERANAN NYAI DALAM TRANSFORMASI MODERNISASI DI JAWA

Banyak buruh kontrak perempuan dipaksa hidup dalam pernyaian dengan laki-laki Eropa.Bisa dikatakan pernyaian yang terjadi di perkebunan lebih buruk dari praktik pernyaian yang terjadi di tengah masyarakat sipil atau di dalam tangsi militer.

Kenyataan mengenai pengusaha perkebunan Eropa yang hidup bersama seorang nyai bukanlah suatu hal yang baru di Jawa. Perkebunan kopi dan teh yang terletak di daerah Priangan, Jawa Barat, dan perkebunan tebu di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi tempat praktik pernyaian yang terjadi bertahun-tahun lamanya. Seperti halnya pernyaian di tengah masyarakat sipil maupun dalam tangsi militer, seorang nyai di perkebunan juga lah yang membebaskan tuannya (dalam hal ini sang pengusaha perkebunan Eropa) dari rasa kesepian dalam keterasingan di perkebunan. Sang nyai juga bertugas mengurus rumah tangga, memenuhi kebutuhan seksual dan tidak jarang menjadi jembatan sang pengusaha perkebunan dengan lingkungan pribumi, baik urusan bahasa, kebiasaan, maupun hubungan perdagangan.

A. Peranan Nyai sebagai Mediator Budaya Jawa dan Eropa

Proses percampuran antara budaya pribumi dengan budaya Belanda yang melahirkan wujud atau budaya baru tersebut kemudian dinamakan kebudayaan Indis.Kebudayaan Indis muncul secara alami, para laki-laki Eropa mengawini perempuan-perempuan pribumi dan orang Eropa mengadopsi kebiasaan orang pribumi, juga sebaliknya. Hubungan yang tidak dapat dihindari ini akhirnya menuntut adanya perubahan dalam gaya hidup, seperti bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan alat dan perabot rumah tangga, pekerjaan, kesenian, religi, dan penghargaan atas waktu.

Ada satu hal yang menjadi perhatian dalam tumbuhnya kebudayaan Indis di Hindia Belanda khususnya Jawa, yaitu adanya praktik pernyaian

43

Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 35.

(25)

24

antara laki-laki Eropa dengan wanita pribumi yang makin berkembang pada awal abad ke-19, terutama sejak dibukanya lahan-lahan perkebunan di wilayah Jawa yaitu sekitar tahun 1870. Hubungan antarbudaya di antara dua pribadi yang sangat berbeda melalui saluran perkawinan campuran ini menghasilkan penyerapan budaya yang kemudian menjadi ciri perkembangan sosial budaya dalam sejarah Indonesia.

Kehidupan bersama antara laki-laki Eropa dan perempuan pribumi telah memunculkan pengaruh tersendiri bagi perkembangan kehidupan keduanya, terutama bagi para laki-laki yang kemudian lebih banyak terkena pengaruh budaya si perempuan pribumi. Laki-laki Eropa mulai mengubah gaya hidup dan kebiasaan asli mereka, meskipun seorang totok, misalnya dalam hal

makan, tidur menggunakan guling, mandi, hingga kebutuhan seksual.44

44

Ibid.,hlm. 24.

Pengaruh pribumi yang begitu kuat terhadap laki-laki Eropa ini juga dipicu oleh perbedaan iklim di Hindia Belanda, iklim yang baru bagi bangsa Eropa memaksa mereka harus menyesuaikan diri dengan mempelajari cara bertahan pribumi.

Fenomena perkawinan campuran yang telah melahirkan pembauran kebudayaan antara kebudayaan pribumi dan Belanda, di samping membawa ide dan pranata Barat ke Jawa, ketika itu orang-orang Belanda beradaptasi pula dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat pribumi.Sementara itu, kehidupan elite pribumi pun ikut dipengaruhi budaya Indis.Akses hubungan dengan orang-orang Belanda menjadi faktor masuknya pengaruh budaya Indis dalam kehidupan para elite pribumi tersebut.

Modernisasi yang dibawa seorang nyai, tidak hanya dirasakan oleh nyai sendiri.Modernisasi tersebut berpengaruh terhadap masyarakat luas, baik masyarakat Eropa maupun masyarakat pribumi.Seorang nyai dengan segala keterbatasannya mampu menjadi sosok perempuan modern, bahkan dapat disamakan dengan perempuan pribumi dari kalangan bangsawan.Hal ini bukan tentang hak dan kewajibannya, tetapi dalam hal kemampuan pendidikannya.

(26)

25

B. Peranan Nyai sebagai Mediator Budaya di Berbagai Bidang 1. Dalam Bidang Kebiasaan Makan

Pengaruh pribumi yang mendominasi kehidupan orang-orang Eropa salah satunya adalah persoalan “makan”.Kebiasaan makan di Hindia Belanda tentunya sangat kontras dengan kebiasaan makan di Belanda, terutama dalam hal hidangan sehari-hari yang dikonsumsi.Terlebih ketersediaan bahan-bahan makanan Eropa masih minim, dan kalaupun ada harganya relatif mahal.

Bahan-bahan makanan Eropa yang minim di Hindia Belanda memaksa bangsa Eropa beradaptasi dengan makanan pribumi.Di sinilah seorang nyai berperan, nyai yang merupakan seorang perempuan pribumi sedikit demi sedikit memperkenalkan makanan-makanan pribumi.Hal unik terjadi dalam proses pengenalan makanan pribumi oleh nyai kepada tuannya. Pengenalan ini disajikan dalam bentuk kebiasaan makan bangsa Eropa, yaitu terdapat makanan pembuka, makanan inti, dan makanan penutup.Kebiasaan ini tidak terdapat dalam masyarakat pribumi. Penyajian dengan gaya Eropa ini diisi dengan berbagai masakan khas pribumi.

Roti yang menjadi makanan utama bangsa Eropa semakin lama tergantikan dengan nasi, makanan pokok bangsa Indonesia.Makanan-makanan Eropa pun disajikan dan diisi dengan bahan-bahan yang mudah di dapat di Hindia Belanda.Seorang nyai pun dituntut untuk mampu memasak makanan-makanan Eropa seperti yang diinginkan oleh tuannya.

Kebiasaan makan nasi dari generasi ke generasi pada akhirnya menjadi budaya tersendiri dalam ruang lingkup kehidupan orang-orang Belanda, yang kemudian memunculkan istilah khusus “rijsttafel”.Rijst sendiri berarti nasi atau beras yang sudah dimasak, sementara tafel selain

berarti meja juga bermakna kias untuk hidangan.45

45

Ibid., hlm. 38.

(27)

26

sendiri telah ditekankan sebagai salah satu rangkaian proses akulturasi antara budaya makan pribumi dan Belanda.

2. Dalam Bidang Busana

Seorang nyai pribumi selain memperolah materi dalam jumlah yang besar dari hubungan pernyaiannya, ia juga akan menyandang status sosial lebih tinggi dari yang dimiliki sebelumnya. Perubahan tersebut secara fisik dapat dilihat dari perubahan jenis serta warna pakaian, khususnya kebaya yang dikenakannya sehari-hari.Cara berpakaian nyai baru ini secara tidak langsung digunakan untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa status mereka sudah berubah.

Semula kebaya yang biasa dikenakan oleh seorang perempuan pribumi berupa kebaya yang berwarna atau indigo, namun setelah perempuan menjadi nyai berganti menjadi kebaya putih berenda seperti

yang biasa dikenakan oleh para perempuan Eropa atau Indo.46

Kebaya putih berenda pada saat itu mempunyai mutu yang lebih baik serta harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan kebaya berwarna yang dikenakan oleh para perempuan Eropa atau Indo.

Perubahan ini bertujuan untuk membedakan seorang nyai dengan perempuan-perempuan pribumi lainnya.Selain itu juga untuk menunjukkan perbedaan antara hak-hak istimewa dan kewajiban serta status atas ataukah bawah yang dimiliki seorang nyai.

47

46

Hayu Adi Darmarastri, op.cit.,hlm. 15.

47

Ibid.

Karena itu, kebaya putih berenda hanya dikenakan oleh para perempuan Eropa atau Indo saja.Kebaya putih berenda menjadi satu jenis pakaian yang diharapkan menjadi lambang status baru bagi seorang nyai pribumi untuk membedakannya dari kelompok masyarakat pribumi dan dapat mengantarkannya masuk ke dalam masyarakat Indis.

(28)

27 3. Dalam Bidang Bahasa

Interaksi antara bangsa Belanda dengan pribumi di Hindia Belanda dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat terhindarkan.Ketika perbedaan kasta melarang komunikasi antar kasta, terutama kasta yang paling tinggi (bangsa Belanda) dengan kasta terendah (pribumi), hubungan saling membutuhkan tetap ada dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.Di samping itu, praktik pernyaian yang menjadi fenomena sosial di wilayah Hindia Belanda semakin mendukung adanya pembauran bahasa.Pembauran bahasa Melayu dan bahasa Belanda terjadi terutama oleh keluarga dalam lingkungan “Indische landshuizen”, yang selanjutnya digunakan oleh golongan Indo-Belanda.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, proses perpaduan bahasa Belanda dan Jawa terjadi hanya pada sebagian masyarakat pendukung kebudayaan Indis. Proses ini menimbulkan bahasa pijin atau bahasa campuran, yang pada umumnya digunakan oleh orang-orang keturunan Belanda dengan

ibu Jawa, oleh Cina keturunan, dan Timur Asing.48Bahasa hasil campuran

orang-orang Belanda dengan orang Jawa lazim disebut dengan bahasa peetjoek atau petjoek, terutama sebelum Perang Dunia II di Semarang,

Jawa Tengah, dan sekelilingnya.49

Bahasa petjoek umum digunakan oleh kalangan anak-anak Indo, yaitu anak-anak yang lahir dari percampuran darah Eropa dengan pribumi.Anak-anak dari golongan masyarakat terpandang juga menggunakan bahasa ini, tetapi mereka menggunakannya pada saat di luar rumah karena ketika di rumah mereka harus menggunakan bahasa Belanda yang sopan. Seorang anak yang tidak berbicara menggunakan bahasa Belanda dengan baik dan sopan akan dianggap tidak beradab atau tidak sopan, sedangkan bahasa petjoek dianggap sebagai bahasa yang hina

48

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011,hlm. 22.

49

(29)

28

oleh kalangan masyarakat Belanda karena telah dipengaruhi oleh bahasa bangsa pribumi.

Bahasa petjoek semakin lama kemudian berkembang mempengaruhi bahasa Melayu yang sudah digunakan oleh masyarakat pribumi pada saat itu. Perlu diketahui bahasa Indonesia yang digunakan masyarakat Indonesia bermuara dari bahasa Melayu. Sampai sekarang, bahasa Indonesia sangat kaya dengan bahasa-bahasa asing, apalagi bahasa Belanda turut menjadi sumbangsih dalam memberikan berbagai kosakata. Banyak kosakata bahasa Belanda yang diadaptasi menjadi bahasa Indonesia, tentu saja dengan mengubah struktur hurufnya menjadi lebih mudah.

4. Dalam Bidang Gaya Hidup

Bangsa Belanda atau Eropa yang sudah terbiasa dengan kehidupan mewah di negeri asalnya, setelah tiba di Hindia Belanda ternyata tidak dapat menanggalkan kebiasaan tersebut. Keberhasilan ekonomi di negeri jajahan semakin mendukung gaya hidup mewah dan boros para kulit putih di Hindia Belanda. Kebiasaan inilah yang kemudian ditiru oleh sebagian bangsa Eurasia atau Indo agar dapat diterima masyarakat Belanda di Hindia Belanda.

Imitasi gaya hidup bangsa Eropa ternyata tidak hanya dilakukan oleh bangsa Indo saja, tetapi juga dilakukan oleh seorang perempuan pribumi yang melahirkan bangsa Indo, nyai. Sengaja atau tidak, gaya hidup seorang nyai akan terpengaruh dengan gaya hidup sang Tuan Eropa-nya. Awalnya nyai dituntut untuk melayani Tuannya dengan gaya Eropa, seperti berbicara, memasak, berperilaku, bahkan cara berpikir. Tetapi semakin lama, tuntutan tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang menjadi ciri khas seorang nyai, yaitu sebuah gaya hidup yang dipengaruhi oleh dua budaya, pribumi dan Eropa atau Belanda.

Keseluruhan ciri tersebut mempengaruhi hidup seorang nyai sehari-hari karena semuanya dijiwai oleh pandangan hidup yang berakar dari dua budaya, yaitu Belanda dan pribumi (Jawa).Sebagai golongan

(30)

29

penguasa dan keturunan masyarakat yang mendukung dua akar kebudayaan yang berbeda, nyai berupaya untuk menunjukkan kebesarannya yang berbeda pula dengan masyarakat kebanyakan, yaitu masyarakat pribumi.

Kebiasaan seorang nyai yang berbeda dengan perempuan pribumi kebanyakan di Jawa adalah membaca. Seorang nyai akan berusaha untuk mengimbangi sang Tuannya, maka ia akan belajar menulis dan membaca. Hal itu dilakukan nyai karena ia tidak mau begitu saja dibuang dan diusir oleh sang Tuan, seorang nyai akan belajar sungguh-sungguh agar dapat diajak berdiskusi dengan Tuan Eropa-nya.

Seorang nyai juga dipercaya memegang kunci-kunci rumah yang berharga.Nyai tidak hanya menjadi pendamping seorang laki-laki Eropa, tetapi menjadi orang kepercayaan tuannya untuk mengurus rumah tangga. Seorang nyai tidak hanya pintar membelanjakan kebutuhan sehari-hari, ia juga pandai menyisihkan uang pemberian tuannya untuk tabungan.

Peningkatan status nyai diikuti oleh kepemilikan hak-hak istimewa yang diberikan oleh tuannya kepada nyai, seperti memegang kunci almari utama, mendapat gaji yang lebih tinggi, dan hak yang paling istimewa diantaranya adalah sebagai pengatur ekonomi keluarga.Disamping itu mereka juga dapat berkesempatan mendampingi pasangan mereka wandelen atau “makan angin” ketika sore hari di Senen.Seorang pelancong Eropa berpendapat bahwa nyai pribumi tidak begitu cantik karena warna kulit yang coklat, tetapi nyai-nyai tersebut memiliki sifat

yang ramah.50

Pengusiran yang kerap terjadi terhadap seorang nyai dari kediaman tuannya, menjadi semacam alarm bagi nyai untuk tidak hanya berdiam diri dan melayani tuannya saja. Dalam mengantisipasi terjadinya kemungkinan buruk bagi nyai, nyai sebagai pengatur ekonomi keluarga

50

H.C.C. Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20: Gedenschriften van Een Oud Kolonial. Jakarta: Massup, 2007, hlm. 26.

(31)

30

memiliki beberapa cara demi menyelamatkan kehidupannya, antara lain dengan mereka terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam bidang perdagangan, bertindak sebagai perantara dalam urusan real estate atau pemberi pinjaman terhadap orang-orang China, selain ia juga memiliki beberapa tabungan yang dipakai untuk berjaga-jaga jika terjadi

pengusiran oleh tuannya.51

V. KESIMPULAN

Kesendirian pegawai-pegawai Eropa yang tanpa ditemani keluarga maupun istri di Hindia Belanda memunculkan masalah baru dalam masyarakat, yaitu praktik pernyaian.Laki-laki Eropa akan mengambil seorang perempuan pribumi untuk menemani dan melayaninya dalam hal kebutuhan rumah tangga. Perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh laki-laki Eropa biasa disebut dengan ‘nyai’.Pengambilan nyai dilakukan karena sedikitnya jumlah perempuan Eropa didatangkan ke Hindia Belanda. Seorang nyai akan berfungsi sebagai pembantu rumah tangga hingga pemuas kebutuhan seksual tuan Eropanya.

Praktik pergundikan banyak terjadi dalam beberapa tempat yang memang pada saat itu menjadi pusat-pusat pemerintahan atau perekonomian pemerintah Hindia Belanda.Setiap tempat mempunyai karakteristik yang berbeda, baik itu dalam pengambilan seorang nyai atau perlakuan terhadap nyai. Perlakuan terhadap nyai ini akan berpengaruh terhadap peranan nyai itu sendiri. Tempat-tempat tersebut antara lain dalam dunia masyarakat sipil, di perkebunan-perkebunan swasta, serta di dalam tangsi-tangsi militer yang menjadi basis keamanan dan pertahan pemerintah kolonial Belanda.

Para nyai biasanya dibiasakan oleh Tuan Eropanya untuk menjalani kehidupan keseharian dalam suasana Eropa.Misalnya, mereka diajari berbahasa asing, membaca buku-buku asing, hingga beretika hidup barat.

51

(32)

31

Proses pembaratan memang terjadi dalam kehidupan para nyai ini, nyai-nyai inilah perempuan-perempuan maju di zamannya. Seorang nyai-nyai akan mendampingi tuan mereka dalam pergaulan, tidak seperti perempuan-perempuan pribumi yang bersembunyi di balik dinding kamar atau dapur untuk mencuri dengar pembicaraan kaum lelaki dengan tamu-tamu. Nyai merupakan perempuan-perempuan pertama yang terpenetrasi oleh kebudayaan baru yang dibawa tuan Eropanya. Peranan nyai sebagai mediator budaya Jawa dan Eropa dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain rijsttafel (kebiasaan makan), busana, bahasa, dan gaya hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Arsip :

Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 158 Tahun 1898 Buku :

Ankersmith. 1984.Refleksi tentang Sejarah.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arief Budiman. 1985.Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan

Sosilogi Tentang Peranan Wanita di dalam Masyarakat.Jakarta: Gramedia.

Baay, Reggie. 2010.Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.Jakarta: Komunitas Bambu.

Bedjo Riyanto. 2000.Iklan dan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915).Yogyakarta: Tarawang Press.

Blusse, Leonard. 2004. Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Boomgard,Peter.2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880.Jakarta: KITLV.

_________.1989. Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java 1795-1880. Amsterdam: Free University Press.

Breman, Jan. 1997.Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatera Timur Abad ke 20.Jakarta: Grafiti Press.

(33)

32

Brousson, Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20: Gedenschriften van Een Oud Kolonial.Jakarta: Massup.

Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Djilid 1.Jakarta: Negara Pradnjaparamita.

Capt. R. P. Suyono. 2005.Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial: Penelusuran Kepustakaan Sejarah.Jakarta: Grasindo.

Creutzberg dan van Laanen. 1987.Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.

Djoko Soekiman. 2011. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu.

Fadly Rahman. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gautama. 1973.Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran (Staatsblad 1898 No 158).Bandung: Penerbit Alumni.

Gouda,Frances. 1995.Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda.Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Hayu Adi Darmarastri. 2006. Nyai Batavia. Yogyakarta: Grafindo Litera Media. Hellwig, Tineke. 2007.Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda.Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Helius Sjamsuddin dan Ismaun. 1996.Pengantar Ilmu Sejarah.Jakarta: Depdikbud.

Hull, Terence H., Endang S. dan Gavin W. Jones. 1997.Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ingleson, John. 2013. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu.

Jurusan Pendidikan Sejarah. 2006.Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi.Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.

Kessel,Ineke Van. 2011. Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945.Jakarta: Komunitas Bambu.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2009.Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Mukhlis PaEni. 2009.Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Sosial, Jakarta: Rajagrafindo Persada.

(34)

33

Nugroho Notosusanto. 1971. Norma-Norma dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan.

_______. 1978.Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer.Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan.

Parakitri T. Simbolon. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Petrik Matanasi. 2007.KNIL: Koninklijk Nederlandsche Indische Leger Bom

Waktu Tinggalan Belanda.Yogyakarta: MedPress.

_______. 2011. Sejarah Militer: Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Pramoedya Ananta Toer. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Rahmat Ali. 2000. Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan. Jakarta: Grasindo.

Ricklefs. 2008.Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Rush,James R. Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985.Jakarta: Komunitas Bambu.

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. 1991.Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi.Yogyakarta: Aditya Media.

Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_______. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Scholten, Elsbeth Locher and Anke Niehof. 1987. Indonesian Women in Focus: Past and Present Notions. U.S.A: Foris Publications.

Soerjono Soekanto. 1987. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Suhartono. 2001.Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suyono. R. P. 2004.Seks Kekerasan Pada Zaman Kolonial: Penelusuran Kepustakaan Sejarah.Jakarta: Grasindo.

Gautama, S. 1973. Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran (Staatsblad 1898 No 158). Bandung: Penerbit Alumni.

(35)

34

Paulus, B. P. 1979.Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda.Bandung: Penerbit Alumni.

Taylor, Jean Gelman. 1983. The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia. England: The University of Wisconsin Press.

Thanh dan Dam Truong. 1992.Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara.Jakarta: LP3ES.

Volkstelling 1930. 1934Deel II Inheemsche Bevolking Van West-Java en Batavia: Census of 1930 In Netherlands India Volume I. Batavia: Departement Van Economische Zaken.

_______. 1934. Deel II Inheensche Bevolking van Midden-Java En De Vorstenlanden: Census of 1930 In Netherlands India Volume II Native Population In Midden-Java And Natives States Of Java. Batavia: Departement Van Economische Zaken.

_______. 1934. Dell III Inheemsche Bevolking Van Oost-Java: Census of 1930 In Netherlands India Volume III Native Population In Eas-Java. Batavia: Departement Van Economische Zaken.

Vreede, Cora dan De Stuers.2008. Sejarah Perempuan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.

Wieringa, Saskia E. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galangpress.

Wertheim, W. F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Artikel dan Jurnal:

Hayu Adi Darmarastri. “Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928”.Lembaran Sejarah Vol. 4 No. 2. 2002.

Linda Christanty. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”.Prisma No. 10 Tahun XXIII Oktober 1994, hlm. 21-35.

Onghokham. “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”. Prisma No. 7 Tahun XX, Juli 1991, hlm.15-23.

Siti Utami Dewi Ningrum. “Sarina dan Tentara Kolonial: Kekerasan terhadap Nyai Tangsi pada Masa Kolonial Hindia Belanda di Jawa”. Histma Vol.3/Desember 2013, hlm.45-59.

Wieranta.“ Nyai Dasima dan Cerminan Posisi Wanita”. Basis Juni 1990 XXXIX 6, hlm. 258-263.

(36)

35 Tesis dan Skripsi:

Angger Tondo Asmoro. “Kesetiaan dan Resistensi: Pernyaian di Batavia, 1880-1900”. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM 2012.

Dwi Ratna Nurhajarini.“Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa di Kota Yogyakarta pada Awal Abad XX Sampai Akhir Masa Kolonial”.Program Pasca Sarjana UGM 2003.

Lukitaningsih.“Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 1900-1940”.Program Pasca Sarjana UGM 2003.

Mutiah Amini.“Kehidupan Perempuan Di Tengah Perubahan Kota Surabaya Pada Awal Abad ke-20”.Tesis Pascasarjana UGM 2003.

Siti Utami Dewi Ningrum. “Perempuan-Perempuan Dalam Kehidupan Sosial Tentara Kolonial di Jawa, 1830-1942”. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM 2013.

Internet:

Digital Image Library.Tersedia pada media-kitlv.nl/all-media

Encyclopedia.Politik Etis. Tersedia pada

, diakses pada

tanggal 21 Mei 2014, pukul 19.14 WIB.

www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2406/Politik-Etis, diakses pada tanggal 10 Mei 2014, pukul 14.35 WIB.

Gambar

TABEL II.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

MTs Muallimin Univa Medan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen kinerja guru baik dari segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi

Tujuan Pusat Peternakan dan Pengolahan Hasil Ternak dengan pendekatan arsitektur hijau diharapkan mampu menghasilkan desain yang meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan,

Analisis data mengunakan model Miles and Huberman yaitu reduksi data, data display dan kesimpulan Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: 1 Perencanaan Pembelajaran tematik integratif

Apakah diruangan rumah responden terang dan tidak silau sehingga dapat digunakan untuk membaca dengan normalb. Kurang terang sehingga tidak dapat membaca dengan keadaan

meningen. Vena-v Vena-vena ena yang mengalami penyumba yang mengalami penyumbatan tan dapat menyebabk dapat menyebabkan an aliran aliran retrograde retrograde transmisi

[r]

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah, penyertaan dan kasih karunianya-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh lingkungan pemasaran

TglBatas- Pengumpulan JenjangTujuan Banyaknya- Pengajuan tanggal batas pengumpulan berkas kegiatan dosen jenjang jabatan tujuan yang diajukan banyaknya dosen yang