• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 66 /DPD/IV/2012-2013

TENTANG

HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

J A K A R T A

2013

(2)
(3)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 /DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA ATAS

PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa anak merupakan bagian dari keberlangsungan hidup suatu bangsa dan negara yang keberadaannya memiliki peran strategis sebagai generasi penerus dan calon pemimpin masa depan;

b. bahwa pemerintah berkomitmen dalam memberikan perlindungan terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan didirikannya negara, antara lain, adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan secara eksplisit diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 34;

c. bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai regulasi yang menjadi dasar kebijakan pelindungan anak menegaskan bahwa orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum;

d. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pelindungan anak, pemerintah dan negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah;

e. bahwa Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan kewenangannya telah melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatas, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

(4)

Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5243);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2/ DPD/2005 tentang Pedoman Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Tertentu;

6. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun 2007-2009.

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-14 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 Tanggal 13 Juni 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DPD RI ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

PERTAMA : Hasil pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai pertimbangan untuk ditindak lanjuti.

KEDUA : Isi dan rincian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal, 13 Juni 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

(5)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 /DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK I. PENDAHULUAN

Di dalam paradigma tentang anak terdapat tiga pandangan utama. Pertama, anak sebagai nilai sejarah. Pandangan ini berkembang pada dinasti kerajaan. Perspektif anak sebagai nilai sejarah berarti bahwa anak harus meneruskan sejarah dinasti, sejarah garis keturunan ke depan. Kedua, anak sebagai nilai ekonomi. Nilai ini tumbuh pada lapisan masyarakat umum yang memandang bahwa anak sebagai nilai ekonomi karena anak-anak akan membantu menyangga kehidupan ekonomi keluarga apalagi apabila orang tua mereka sudah beranjak tua. Ketiga, pandangan bahwa anak adalah amanah Tuhan yang harus dirawat, diasuh, dan dididik sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pandangan yang lebih religius ini melihat anak bukan hanya sekadar keturunan biologis dari seseorang, melainkan anak sebagai titipan Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, tanggung jawab orang tua terhadap anak bukan hanya merupakan tanggung jawab pribadi atau tangung jawab antarmanusia saja, melainkan merupakan tanggung jawab transendental antara manusia dan Tuhan.

Saat ini ketiga pandangan tersebut dijadikan satu. Anak bukan hanya merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari keberlangsungan atau ketidakberlangsungan suatu keluarga melainkan lebih luas lagi cakupannya, yaitu anak merupakan bagian dari keberlangsungan suatu bangsa dan negara yang keberadaannya memiliki peran strategis sebagai generasi penerus bangsa dan calon pemimpin masa depan. Anak sebagai generasi penerus bangsa sangat menentukan masa depan bangsa dan negara dalam mencapai masa kejayaannya. Oleh karena itu, anak harus dipersiapkan untuk menjalani hidup mandiri dalam masyarakat dan dibesarkan dalam semangat perdamaian, toleransi, kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan. Salah satu cara untuk mempersiapkan anak berada dalam kondisi itu adalah melindungi seluruh hak asasi anak. Dengan demikian, pelindungan anak merupakan bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia. Komitmen negara terhadap pelindungan anak sesungguhnya telah ada sejak berdirinya

negara ini. Hal itu dapat dilihat pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan didirikannya negara, antara lain, adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara eksplisit perihal pelindungan anak disebutkan dalam Pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) sebagai regulasi yang menjadi dasar kebijakan pelindungan anak menegaskan bahwa orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan pelindungan anak, pemerintah dan negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

(6)

Jika merujuk pada UU Perlindungan Anak, pemenuhan hak-hak anak setidaknya dilakukan dalam lima klaster berikut, yaitu (1) hak sipil dan kebebasan; (2) lingkungan keluarga

dan pengasuhan alternatif/pengganti; (3) kesehatan dasar dan kesejahteraan; (4) pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan seni budaya; serta (5) pelindungan khusus. Kelima klaster tersebut juga menjadi indikator bagi suatu kabupaten/kota layak anak berdasarkan pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak.

Realitas pelaksanaan pelindungan anak terhadap kelima klaster tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Salah satu alasannya adalah bahwa masih banyak kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak. Data pada Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa jumlah kasus kekerasan pada anak terus meningkat setiap tahunnya, tercatat sebanyak 1.552 kasus pada tahun 2009, kemudian meningkat menjadi 2.335 kasus pada 2010, dan menjadi 2.508 kasus pada 2011. Bahkan, paparan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Rapat Dengar Pendapat di Dewan Perwakilan Daerah RI menyebut tahun 2013 sebagai “Tahun Darurat Perlindungan Anak”. Hal itu tentu bertolak belakang dari kebijakan pemerintah yang mencanangkan tahun 2015 sebagai “Indonesia Layak Anak” dan pada tahun 2012 telah ditetapkan sebagai tahun awal bagi upaya-upaya menuju Indonesia Layak Anak.

II. LANDASAN YURIDIS

1. Pasal 22D Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.

2. Pasal 224 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043).

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

III. TUJUAN PENGAWASAN

Tujuan pengawasan pelaksanaan UU Perlindungan Anak yang difokuskan pada pelaksanaan pelindungan anak pada lima klaster sebagai indikator kabupaten/kota layak anak adalah sebagai berikut:

(1) menggali informasi, temuan, aspirasi, dan data dari berbagai kalangan yang terlibat dalam pelaksanaan UU Perlindungan Anak, terutama yang berkaitan dengan berbagai persoalan dalam pelaksanaan pelindungan anak;

(2) merumuskan pandangan dan sikap politik Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas pelaksanaan pelindungan anak; dan

(3) menyampaikan hasil pengawasan dan rekomendasi agar terjadi perubahan atau perbaikan yang konstruktif terkait dengan pelindungan anak.

IV. LANGKAH KERJA

Langkah kerja yang digunakan adalah:

1. pengamatan/observasi secara langsung ke lapangan (objek pengawasan); 2. wawancara;

3. telaah data dan dokumentasi; dan

4. diskusi terbuka melalui RDPU dengan pakar dan para pemangku kepentingan yang terkait.

V. RUANG LINGKUP PENGAWASAN

Pengawasan atas pelaksanaan UU Perlindungan Anak yang dilakukan oleh DPD RI terhadap seluruh aspek dalam pelindungan anak, yaitu sebagai berikut.

1. Rapat Kerja dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dilakukan pada tanggal 11 Februari 2013.

2. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan:

a. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dilakukan pada tanggal 12 Februari 2013;

b. pakar pelindungan anak, Seto Mulyadi yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 2013. 3. Penyerapan aspirasi masyarakat dan daerah yang dilakukan pada tanggal 26-29 Mei

2013.

VI. HASIL PENGAWASAN

Hasil pengawasan DPD RI terhadap UU Perlindungan Anak dipaparkan sebagai berikut.

A. Pemenuhan Lima Klaster Hak-Hak Anak

1.

Hak Sipil dan Kebebasan a. Hak Sipil

Salah satu bentuk pemenuhan hak-hak sipil anak adalah hak atas nama, kewarganegaraan, dan identitas diri sebagaimana disebut dalam Pasal 5 UU Perlindungan

(7)

Anak. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 27 UU Perlindungan Anak, bentuk pemenuhan hak tersebut adalah kepemilikan akta kelahiran.

Realitas di lapangan menunjukan bahwa pemenuhan hak sipil anak dalam bentuk akta kelahiran anak belum maksimal. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun

2011 mencatat bahwa 59% penduduk berumur 0 sampai dengan 4 tahun telah memiliki

akta kelahiran, sedangkan 41% sisanya tidak memilki akta kelahiran.

Data yang diungkap Susenas 2011 sejalan dengan temuan DPD RI. Persentase kepemilkan akta kelahiran di Kabupaten Gorontalo, sebagai kabupaten dengan predikat

Kota Layak Anak kategori pratama mencapai 85,29%, sedangkan Kota Surakarta baru

mencapai 56,19%. Seluruh data tersebut menjelaskan bahwa sampai saat ini masih banyak anak Indonesia yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran sehingga secara de jure keberadaan mereka dianggap tidak ada oleh negara.

Temuan DPD RI juga menyebutkan bahwa lemahnya koordinasi antarlembaga, publikasi, dan sosialisasi, serta aspek pembiayaan menjadi kendala belum maksimalnya pemenuhan akta kelahiran tersebut. Kelemahan dalam hal koordinasi terlihat pada belum efektifnya pelaksanaan Nota Kesepahaman tanggal 13 Mei 2011 antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, Menteri Agama, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam Rangka Perlindungan Anak.

Kelemahan dari sisi publikasi dan sosialisasi terlihat pada belum diketahuinya secara luas oleh publik putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 18/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tidak berkekuatan hukum sehingga pembuatan akta kelahiran yang telah melampaui batas waktu 60 hari sampai dengan 1 tahun sejak kelahiran anak tidak perlu melalui permohonan ke pengadilan negeri. Demikian halnya dengan beberapa regulasi lainnya seperti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 472.11/2304/SJ tanggal 6 Mei 2013 tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/ PUU-XI/2013 dan Surat Edaran Mahkamah Agung kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, No. 1 Tahun 2013 tanggal 1 Mei 2013 tentang Pencabutan Surat Edaran MA No. 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu 1 Tahun secara Kolektif.

Dari sisi pembiayaan tidak semua pemerintah kabupaten/kota tidak membebaskan biaya pembuatan akta kelahiran. Padahal, salah satu cara untuk menjamin pemenuhan akta kelahiran anak adalah dengan membebaskan biaya pembuatan akta kelahiran.

b. Hak Kebebasan

Pasal 6 Jo Pasal 24 UU Perlindungan Anak memerintahkan negara wajib memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar mengekspresikan pikiran dan pandangannya, membangun keyakinan, serta berkelompok, berserikat, dan berkumpul yang disertai dengan penyediaan akses terhadap informasi dari sumber beragam untuk menunjang perkembangan dan kesejahteraan sosial, spiritual, dan moral.

Temuan hasil pengawasan DPD RI menyebutkan bahwa hampir semua provinsi dan kabupaten/kota membentuk Forum Anak sebagai wadah berekspresi anak. Akan tetapi, yang dibutuhkan tentu saja bukan sekadar keberadaan forum tersebut, melainkan penyediaan ruang publik bagi tumbuh dan berkembang serta minat dan potensi anak agar dapat berekspresi di manapun anak itu berada. Hal itulah yang masih sering diabaikan oleh pemerintah.

2.

Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif/Pengganti

Pasal 7 Jo. Pasal 26 UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa pada asasnya setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Akan tetapi, dalam hal orang tua tidak dapat menjamin tumbuh dan berkembangnya anak atau anak terlantar, tanggung jawab dan kewajiban orang tua dapat beralih kepada pihak lain melalui proses pengasuhan dan pengangkatan.

Menurut UU Perlindungan anak proses pengasuhan dapat dilakukan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. Meskipun terdapat Peraturan Menteri Sosial RI No. 30/HK/20011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, faktanya adalah bahwa standar pelayanan di lembaga pengasuhan anak tidaklah sama. Temuan DPD RI menyebutkan bahwa selain karena kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, sumber daya manusia pada lembaga pengasuhan sangatlah minim. Minimnya bantuan pendanaan bagi pengelolaan lembaga pengasuhan anak juga menjadi faktor yang menyebabkan tidak dilaksanakannya standar tersebut.

Terkait dengan proses pengangkatan anak, saat ini telah terdapat Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tetapi faktanya adalah bahwa pengangkatan anak secara illegal tetap marak dilakukan. Perdagangan anak menjadi salah satu jalan pintas untuk mengadopsi anak secara illegal. Kasus

(8)

perdagangan anak mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat 120 kasus penjualan anak, naik dari angka 111 pada tahun 2010. Berdasarkan temuan DPD RI terdapat dua penyebab terjadinya perdagangan anak, yakni faktor ekonomi dan kriminalitas. Kemiskinan menyebabkan orang tua memperdagangkan anaknya (bahkan anak yang masih dalam kandungan) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Adapun tindakan kriminal dilakukan melalui penculikan anak. Dari 120 kasus (2012) itu, 35 di antaranya hilang di rumah sakit ataupun di tempat penitipan.

3.

Hak Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan

Pasal 8 UU Perlindungan Anak menyebutkan bawa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Atas dasar itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 44 UU Perlindungan Anak, pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak sejak dalam kandungan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.

Temuan DPD RI menyebutkan bahwa pemenuhan kesehatan dasar bagi anak belum optimal. Pada tahun 2010 sekitar 26 juta balita mengalami gizi buruk dan gizi kurang, sedangkan sebanyak 14 juta anak Indonesia mengalami kondisi yang memprihatinkan, yaitu kemiskinan dan bencana alam. Begitu pula jumlah angka kematian bayi masih tinggi. Hal itu mengindikasikan hak-hak anak di bidang kesehatan belum terpenuhi dengan baik.

Fakta yang menggembirakan terkait pemenuhan hak-hak kesehatan ditemukan pada pemanfaatan Air Susu Ibu (ASI) sebagai makanan utama bagi bayi serta pemberian imunisasi kepada Balita. Persentase balita yang mendapat ASI ataupun yang telah memperoleh imunisasi di Indonesia sudah cukup tinggi. Persentase balita yang pernah diberi ASI sebesar 94,94% dari seluruh balita di Indonesia, sedangkan balita yang pernah diberi imunisasi pada tahun 2011 adalah sekitar 94,32%. Hal itu menunjukan tingkat kesadaran dan pemahaman ibu untuk memberikan ASI dan imunisasi kepada anak sangat baik. Atas dasar itu kedua kebijakan dan program terkait dengan kedua hal tersebut harus dipertahankan.

4.

Hak Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Seni Budaya

Secara konstitusional hak atas pendidikan, termasuk pemanfaatan waktu luang dan seni budaya dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Demikian pula di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan bahwa kewajiban pemerintah memastikan pemenuhan hak atas pendidikan, khususnya pendidikan dasar sembilan tahun, tanpa terhambat oleh faktor keuangan dan budaya.

Temuan pengawasan DPD RI di daerah pada hampir semua provinsi adalah bahwa hak atas pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan seni budaya belum dipenuhi secara memadai. Di Sumatera Utara, misalnya, masih ditemukan anak putus sekolah, terutama didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Di Kalimantan Timur dan beberapa provinsi lainnya ditemukan bahwa pemenuhan hak pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) masih kurang penanganannya oleh pemerintah karena minimnya fasilitas dan sumber daya manusia. Sementara itu, temuan DPD RI di Provinsi Banten adalah bahwa hak anak untuk menikmati waktu luang dan melakukan kegiatan seni dan budaya belum terpenuhi secara optimal karena keterbatasan ruang publik bagi anak untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensinya. Selain itu, kurikulum pendidikan yang ada belum berpihak pada pengembangan kebudayaan daerah sebagai pembentuk kebudayaan nasional. Di Provinsi Sulawesi Selatan, DPD RI menemukan bahwa pendidikan bagi anak di pulau terpencil masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan secara baik. Hal itu mengindikasikan bahwa ketiadaan sekolah bagi anak-anak di pulau terpencil.

Temuan lain terkait pemenuhan pendidikan bagi anak adalah bahwa fakta penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak ramah anak. Berdasarkan hasil pemonitoran dan evaluasi yang pernah dilakukan oleh KPAI (2012) disebutkan bahwa tidak memadainya sarana dan prasana di sekolah menjadi salah satu penyebab kekerasan pada anak. Selain itu, komitmen pemerintah, khususnya pemerintah daerah, untuk melakukan pemenuhan anggaran pendidikan pada APBD di beberapa provinsi dan kabupaten/kota belum mencapai 20% serta tidak semua provinsi dan kabupaten/kota membebaskan biaya pendidikan dasar.

5.

Hak Pelindungan Khusus

Pasal 59 UU Perlindungan Anak mewajibkan pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat; anak yang berhadapan dengan hukum; anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; anak yang diperdagangkan; anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza); anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan; anak yang menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun mental; anak yang menyandang cacat; dan anak

(9)

korban perlakuan salah dan penelantaran. Selain ketentuan dalam UU Perlindungan Anak, terdapat ketentuan lain yang mengatur anak yang berhadapan dengan hukum, yakni UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di tingkat kementerian, dalam kerangka memberikan petunjuk teknis pelaksanaan perlindungan khusus, terbit Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 7 Tahun 2011 tentang Kebijakan Peningkatan Ketahanan Keluarga Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.

Temuan DPD RI menunjukkan bahwa pelindungan khusus bagi anak di seluruh provinsi tidak berjalan optimal. Hal itu terlihat dari masih ditemukannya anak yang berhadapan dengan hukum; praktik perdagangan anak (trafficking), kekerasan terhadap anak secara fisik, psikis, dan seksual, baik dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah; dan pekerja anak di bawah umur. Pemenuhan pelindungan khusus di seluruh provinsi mengalami masalah. Selain itu, secara institusi, wadah yang menampung anak-anak yang bermasalah dengan hukum (LAPAS) masih belum tersedia di seluruh provinsi, seperti di Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, dan Maluku belum memiliki LAPAS khusus anak.

Fakta di atas menunjukkan bahwa pelindungan khusus bagi anak belum menjadi komitmen dan kebijakan prioritas yang diperhatikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Selain itu, data-data tersebut semakin menegaskan adanya kebutuhan yang mendesak bagi kebijakan yang komperhensif untuk menangani persoalan pelindungan khusus bagi anak.

B. Peran Pemerintah Daerah 1. Regulasi

Di beberapa daerah telah terdapat komitmen untuk melakukan pelindungan anak dari sisi penerbitan instrumen hukum, antara lain, Provinsi Kepulauan Riau (Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak), Provinsi Jawa Tengah (Perda Nomor 3 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak), Provinsi Nusa Tenggara Timur (Perda Nomor 7 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak), dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan).

Temuan DPD RI menyebutkan bahwa kehadiran perda tersebut tidak menjamin penegakan hukum terhadap pemenuhan pelindungan anak di daerah sebab persoalan penegakan hukum tidak hanya dapat diatasi dengan kehadiran regulasi. Banyak faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, antara lain sarana-prasarana, kualitas aparatur penegak hukum, serta pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat.

2. Anggaran

Anggaran memiliki porsi penting di dalam mendukung pelindungan anak sebab strategi dan pengembangan pelindungan anak senantiasa membutuhkan pendanaan yang salah satunya seharusnya dikontribusi oleh anggaran anak. Namun, tidak semua daerah telah mendukung pelindungan anak secara memadai dari sisi anggaran. Dari 27 provinsi yang telah memiliki Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), menurut data Kementerian Sosial tahun 2011, baru 7 provinsi yaitu DKI Jakarta, Yogyakarta, Lampung, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan telah menyinergikan antara APBN dan APBD untuk alokasi anggaran penanganan anak terkait PKSA. Selain itu, masih banyak daerah yang menganggarkan anggaran anak dan perempuan di APBD masih sangat minim.

Selain itu, setiap pembicaraan menyangkut anggaran sering kali terjadi perbedaan kebijakan antara anggaran pusat dan daerah. Bagi daerah kebijakan program-program anak dari kementerian dinilai tidak memadai dari sisi dukungan anggarannya. Di sisi lain, pemerintah daerah sebagaimana diuraikan di atas, pada umumnya sangat tidak memadai dalam mengalokasikan anggaran untuk anak.

C. Peran Serta Masyarakat

UU Perlindungan Anak memberi peluang yang luas bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pelindungan anak sebagaimana disebut dalam Pasal 72. Peran serta masyarakat

tersebut dapat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga pelindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

Temuan DPD RI menyebutkan bahwa peran serta masyarakat tersebut, sebagian besar dilakukan oleh institusi/lembaga. Namun, pengoptimalan peran lembaga kemasyarakatan tersebut tidak dapat dilakukan secara maksimal karena keterbatasan dukungan anggaran dari pemerintah. Sebagian besar lembaga kemasyarakatan tersebut memperoleh bantuan pendanaan justru dari pihak ketiga selain pemerintah, sedangkan peran serta orang perseorangan masih sangat terbatas jumlahnya. Padahal, masyarakat sebagai orang perseorangan merupakan pihak atau komponen terdekat dari anak. Mereka sepatutnya dapat dioptimalkan untuk melaksanakan fungsi peringatan dini (early warning system) dalam melindungi anak.

(10)

Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang pelindungan anak dari orang perseorangan menjadi salah satu faktor penegakan pelindungan anak tidak optimal. Hal itu berdampak pada minimnya komitmen masyarakat sebagai orang perseorangan untuk memastikan terciptanya kondisi lingkungan yang ramah anak. Oleh karena itu, sosialisai pelindungan anak perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya melalui berbagai bentuk kegiatan literasi pelindungan anak (children protection literacy).

D. Kelembagaan Pelindungan Anak

Temuan DPD RI terhadap pelaksanaan pelindungan anak di daerah masih lemah karena koordinasi antarlembaga yang terkait dengan persoalan tersebut tidak berjalan dengan baik. Di beberapa daerah masih ditemukan lemahnya komunikasi antarkelembagaan terkait dengan jabatan struktural yang tidak sama antardaerah dalam bentuk biro dan badan.

Implikasi atas kelemahan koordinasi di daerah berpengaruh terhadap kualitas kebijakan pelindungan anak. Dengan demikian, diperlukan dukungan dari pemerintah pusat untuk memperkuat fungsi koordinasi di daerah.

VII. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.

SIMPULAN

1.

Pemenuhan hak atas anak terhadap akta kelahiran masih kurang karena (a) minimnya sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan akta kelahiran, termasuk Putusan MK; (b) lemahnya penegakan nota kesepahaman antarlembaga yang menjadi dasar pelaksanaan penerbitan akta kelahiran, dan (c) adanya pembebanan biaya.

2.

Lemahnya kebijakan dan komitmen pemerintah daerah di dalam penyediaan ruang publik yang menjadi wadah pengembangan minat, potensi, dan ekspresi anak.

3.

Belum terpenuhinya standar pelayanan lembaga pengasuhan anak yang sesuai

dengan peraturan perundang-undangan karena (a) minimnya kualitas penyelenggara, (b) kurangnya sarana prasarana, dan (c) terbatasnya bantuan pendanaan pengelolaan lembaga pengasuhan anak.

4.

Belum optimalnya pemenuhan kesehatan dasar dan kesejahteraan anak yang ditandai oleh (a) masih besarnya angka penderita gizi buruk dan gizi kurang dan (b) tingginya angka kematian bayi.

5.

Pemenuhan hak atas pendidikan bagi anak masih belum optimal. Hal itu diindikasikan oleh (a) besarnya anak putus sekolah, (b) kurangnya sarana pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK), (c) ketiadaan sekolah bagi anak di pulau terpencil, dan (d) kurikulum pendidikan yang belum berpihak pada pengembangan kebudayaan daerah.

6.

Minimnya pelindungan khusus bagi anak didasarkan dari fakta-fakta (a) banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum; (b) adanya praktik perdagangan anak (trafficking); (c) kekerasan anak, baik fisik, psikis, maupun seksual; dan (d) kurangnya lembaga pemasyarakatan khusus anak (LAPAS) dan rumah aman anak korban kekerasan.

7.

Penegakan hukum peraturan daerah berkenaan dengan pelindungan anak masih lemah karena berbagai faktor, antara lain sarana-prasarana, kualitas aparatur penegak hukum, serta pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat.

8.

Keterbatasan pengalokasian anggaran dari pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam pelindungan anak di daerah.

9.

Terbatasnya peran serta masyarakat, khususnya orang perseorangan, karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang berkenaan dengan pelindungan anak.

10.

Lemahnya koordinasi antarlembaga di daerah dalam pelindungan anak karena kurangnya komunikasi antarpejabat struktural di instansi kelembagaan daerah.

(11)

B.

REKOMENDASI

Dari hasil pengawasan terhadap pelaksanaan UU Perlindungan Anak, DPD RI merekomendasikan hal-hal berikut kepada pemerintah.

1. Melakukan perbaikan metode sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan akta kelahiran, termasuk Putusan MK, penegakan nota kesepahaman antarlembaga dalam penerbitan akta kelahiran, dan pembebasan biaya.

2. Mendorong komitmen terhadap penyediaan kebijakan ruang publik sebagai wadah pengembangan minat, potensi, dan ekspresi anak.

3. Mengupayakan pemenuhan standar yang sama dalam pelayanan lembaga pengasuhan anak dengan peningkatan kualitas penyelenggara, sarana prasarana, dan dukungan pendanaan.

4. Mengoptimalkan pemenuhan kesehatan dasar dan kesejahteraan anak dengan melakukan kebijakan yang dapat mengurangi angka penderita gizi buruk dan gizi kurang serta angka kematian bayi.

5. Mengupayakan pemenuhan hak atas pendidikan bagi anak sehingga dapat (a) mengurangi jumlah anak putus sekolah; (b) menyediakan sarana pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK); (c) mendirikan sekolah bagi anak di pulau terpencil; dan (d) menyusun kurikulum pendidikan yang berpihak pada pengembangan kebudayaan daerah.

6. Meningkatkan pelindungan khusus bagi anak sehingga jumlah anak yang berhadapan dengan hukum, praktik traficking, kekerasan anak, baik fisik, psikis, maupun seksual berkurang serta ketersediaan lembaga pemasyarakatan khusus anak (LAPAS) dan rumah aman anak korban kekerasan dapat terpenuhi.

(12)

VIII. PENUTUP

Laporan hasil pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disampaikan sebagai bahan masukan agar pelindungan anak di Indonesia pada masa yang akan datang menjadi lebih baik.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal Juni 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Referensi

Dokumen terkait

Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Evakuasi

(Persero) Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan.. 2) Menumbuhkan dan menciptakan semangat kerja dan profesionalisme dalam melaksanakan pekerjaan serta mengembangkan tanggung jawab

Hiasan pada baju Bodo suku Bugis dan Makassar yaitu adanya sejenis pita pada sekeliling pinggiran baju biasa disebut dengan pattenre, sedangkan hiasan pada baju

Bahwa berdasarkan isi Perjanjian Konsesi disebutkan tujuan Perjanjian Konsesi dibuat adalah memasok air bersih untuk memenuhi kebutuhan saat Perjanjian Konsesi

Hasil yang diperoleh dari percobaan ini tidak maksimal karena kapas dan lilin yang digunakan untuk menutup ujung botol tidak tertutup rapat sehingga masih

Interaksi an- tara konsentrasi asap cair batang tembakau de- ngan lama perendaman tidak berpengaruh pada kekerasan, warna, aroma, dan total bakteri daging ikan gurami

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa variabel pengetahuan orang tua berpengaruh signifikan terhadap kemampuan orang tua dalam swamedikasi obat demam

Berdasarkan dari hasil analisis yang telah dilakukan peneliti pada bab IV maka dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi kegunaan teknologi e -SPT PPN ( perceived