• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. merdeka adalah bagaimana ia bisa memberikan pelayanan bagi. rakyatnya. Pelayanan bagi masyarakat oleh negara, di satu sisi,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. merdeka adalah bagaimana ia bisa memberikan pelayanan bagi. rakyatnya. Pelayanan bagi masyarakat oleh negara, di satu sisi,"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Salah satu masalah yang dihadapi oleh negara baru merdeka adalah bagaimana ia “bisa memberikan pelayanan“ bagi rakyatnya. Pelayanan bagi masyarakat oleh negara, di satu sisi, menjadi garis pembeda antara kondisi masyarakat di bawah kuasa kolonial dan dalam suasana kemerdekaan. Hal ini juga menjadi indikator derajat kesejahteraan yang bisa dinikmati oleh masyarakat merdeka—yang tidak dapat dirasakan pada masa kolonial.1

Bagi Indonesia, tahun awal kemerdekaan—rentang waktu 1945—1950-an adalah tahun yang penting. Hal ini dikarenakan, setelah berlangsungnya proklamasi, Indonesia menghadapi masalah yang serius. Hal ini sebagai akibat dari pendudukan Jepang dan perang semasa revolusi, Oleh karena itu, tugas pertama di bidang ekonomi adalah meningkatkan taraf hidup rakyat.2

1 Jan Luiten Van Zanden & Daan Marks, Ekonomi Indonesia

1800-2010: antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan, (Jakarta:

Kompas, 2012).

2 Thee Kian Wie, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia

(2)

2

Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat ini ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Indonesia pada awal kemerdekaan menghadapi ancaman masalah pengangguran di beberapa wilayah yang ada, terutama sekali pengangguran yang muncul di Jawa. Menariknya, fenomena pengangguran justru muncul ketika Indonesia baru saja merdeka dan pada saat tersebut seharusnya masih banyak kekosongan pekerjaan yang dapat diisi.3 Menarik untuk diteliti lebih lanjut, mengapa ihwal pengangguran muncul.

Sebagai sebuah fenomena nasional, ternyata masalah pengangguran juga muncul di tingkat lokal. Pengangguran tidak hanya muncul di Jakarta sebagai ibukota Republik pada saat itu, namun pengangguran juga muncul di Yogyakarta. Di Yogyakarta masalah pengangguran mulai mengemuka dan dimuat dalam surat kabar lokal, terutama sekali pada periode 1950-an.

Tentu saja pengangguran yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 1950-an masih erat hubungannya dengan perjalanan Yogyakarta pada periode sebelumnya. Saat Kota Yogyakarta menjadi ibukota Republik, pengungsi dan pejuang masuk ke

3 Kedaulatan Rakyat, 1947.

(3)

3

dalam kota dan dalam kondisi yang panik. Sebagian dari mereka bahkan kehilangan sumber mata pencahariannya.4

Mengapa kehidupan kaum penganggur perlu dibantu? Tentu saja hal ini berhubungan dengan bagaimana pemerintah yang baru ingin menciptakan citra yang baik di mata masyarakat. Sebagai gambaran, masalah pengangguran yang dialami masyarakat Yogyakarta bukan kali pertama. Pada tahun 1930-an, saat Depresi Ekonomi melanda, pengangguran sudah masalah yang menyita perhatian pemerintah kolonial.5

Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah kolonial memberi tugas kantor buruh di Yogyakarta untuk mencatat jumlah penganggur. Awalnya kantor buruh hanya mengurusi pengangguran di kalangan Eropa saja, namun kemudian juga mengurusi pengangguran di kalangan Bumiputera; terbatas pada mereka yang lulusan sekolah menengah atas.6

Menurut Ingleson, bantuan uang bagi pengangguran pada masa kolonial ini hanya berlaku untuk pengangguran Eropa— tidak termasuk pengangguran Bumiputera dan Cina. Pemerintah

4 Arsip PA VIII no. 1632.

5 William O’Malley, “Depresi Besar”, dalam Colin Wild dan Peter Carey. (peny), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah,

(Jakarta: PT Gramedia, 1986).

6 John Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan

di Jawa Masa Kolonial, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm.

(4)

4

kolonial berasumsi bahwa mereka tidak mampu membiayai sebuah sistem bantuan pengangguran yang luas bagi pribumi; apalagi ditambah dengan alasan bahwa sulit sekali mengidentifikasi pengangguran di kalangan pribumi menjadikan penyelesaian ihwal pengangguran yang terjadi di kalangan Bumiputera menjadi masalah yang dianaktirikan.7

Situasi ini menjadi berbeda ketika Indonesia merdeka. Masalah pengangguran kalangan Indonesia yang tidak cukup mendapat bantuan dalam kebijakan pemerintah kolonial, mendapatkan perhatian dengan dibentuknya Jawatan Sosial bagian perburuhan. Namun, hal ini tidak lantas membuat penyelesaian persoalan pengangguran lancar tanpa hambatan.

Membahas ihwal pengangguran di Yogyakarta tahun 1950-an s1950-angat menarik, karena kaji1950-an sejarah peng1950-anggur1950-an di Indonesia masih sangat sedikit. Beberapa tulisan sejarawan yang membahas masalah pengangguran antara lain adalah Ingleson dan juga karya O’Malley, namun kajian mereka sebatas pada periode kolonial. Lebih lanjut, jarang sekali ditemukan tema pengangguran dalam sejarah Indonesia.

Pemilihan periodisasi dalam kajian pengangguran Yogyakarta ini didasarkan atas dua pertimbangan. Pertama, periode 1950-an adalah sebuah dekade pertama diakuinya

(5)

5

Indonesia sebagai negara yang berdaulat.8 Periode ini juga merupakan periode yang menarik ketika memperbincangkan sejauh mana kemerdekaan Indonesia berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Namun, memperbincangkan periode 1950-an tentu saja tidak akan bisa terlepas dari apa yang terjadi pada periode sebelumnya.

McVey menyebut periode pertama pasca revolusi di Indonesia sebagai sebuah Laut Sargaso—sebuah wilayah kebingungan. Periode tersebut seringkali dihindari oleh cendekiawan dan mereka cenderung hati-hati dalam melewati periode ini di mana Indonesia yang baru merdeka masih lemah.9

Tahun 1950-an merupakan dekade yang penting dalam sejarah Indonesia. Namun, kesadaran sejarawan untuk menulis periode 1950-an baru muncul belakangan ini, sehingga pemilihan periode ini diharapkan dapat ikut memperkaya kajian sejarah 1950-an.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup permasalahan.

Kajian ini berangkat dari persoalan bahwa terjadinya ihwal pengangguran di Yogyakarta memiliki keunikan tersendiri yang

8 Sita Van Bremmelen & Remco Raben (eds). Antara Daerah

dan Negara Indonesia Tahun 1950-an, (Jakarta: YOI, 2010), hlm, 1.

9 Ruth McVey ,”Kasus Tenggelanya sebuah dasawarsa”, dalam Sita Van Bremmelen & Remco Raben (eds), Antara Daerah

(6)

6

tidak ditemukan di tempat lain. Asumsi ini didasarkan antara lain bahwa wilayah Yogyakarta pernah menjadi benteng terakhir eksistensi negara Republik Indonesia; Yogyakarta pernah menjadi ibukota RI.

Sejak proklamasi sampai dengan tahun 1950-an, Yogyakarta mengalami dinamika sosial yang fluktuatif. Surat kabar lokal mencerminkan kondisi Yogyakarta di awal 1950-an, di mana tingkat pengangguran meningkat, dan di sisi lain beberapa peluang kerja mulai terbuka. Namun, bukan berarti masalah selesai karena semrawutnya persoalan warisan masa revolusi turut berpengaruh.

Gambaran di atas memunculkan rumusan permasalahan, tentang kemampuan negara baru merdeka dalam mengatasi permasalahan pengangguran agar setiap warga negara dapat menikmati perbaikan ekonomi.

Pokok permasalahan tersebut dapat dibagi lagi menjadi pertanyaan penelitian: pertama, bagaimana kehidupan masyarakat Yogyakarta menjelang tahun 1950-an? Bagaimana situasi politik saat itu, dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Yogyakarta?

Kedua, bagaimana kehidupan sosial ekonomi masyarakat

Yogyakarta pada tahun 1950-an? Pengembangan permasalahan penelitian ini dibagi lagi dalam pertanyaan, apa saja pekerjaan

(7)

7

masyarakat Yogyakarta? Pekerjaan apa saja yang dibutuhkan? Serta, siapa saja yang kesulitan mencari pekerjaan?

Ketiga, mengapa masalah pengangguran muncul di

Yogyakarta? Sejak kapan pengangguran menjadi persoalan penting bagi pemerintahan Indonesia? Siapakah orang-orang yang menganggur di Yogyakarta? Keempat, bagaimana dan sejauh mana pemerintah Indonesia mengatasi persoalan pengangguran tersebut?

Lingkup penelitian ini adalalah munculnya masalah pengangguran di Yogyakarta tahun 1950-an dan bagaimana respon pemerintah yang digulirkan untuk melawan ihwal ini. Dipilihnya tahun an, pertama, karena sebelum periode 1950-an, wilayah Yogyakarta telah mengalami berbagai kerusakan infrastuktur akibat perang revolusi pada periode 1945-1949. Rusaknya infrastuktur ini turut mempengaruhi jalannya perekonomian Yogyakarta.

Kedua, tahun 1950-an yang cukup damai menimbulkan

tuntutan yang baru, salah satu di antaranya adalah tututan mengenai kehidupan yang lebih sejahtera yang muncul dari para mantan pejuang kemerdekaan. Kebanyakan dari mantan pejuang tersebut hanya memiliki keahlian dalam perang, sehingga tidak jarang mereka mengalami kesulitan dan diperlukan upaya untuk

(8)

8

mengembalikan mereka agar mampu beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada alasan bahwa orang-orang kecil dalam penelitian ini pengangguran tidak akan memiliki sejarah sejauh mereka tidak menarik perhatian negara. Selain itu, dalam kajian tentang sejarah sosial-ekonomi, jarang menempatkan posisi “penganggur” sebagai pokok kajian. Akibatnya, penelitian tentang mereka jarang sekali dapat ditemukan.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan permasalahan pengangguran di Yogyakarta tahun 1950-an berikut upaya mengatasinya. Diharapkan, penelitian ini dapat memperkaya tulisan tentang sejarah sosial, khususnya yang terjadi di Yogyakarta. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pembanding tulisan sejarah mengenai pengangguran dalam cakupan waktu yang berbeda maupun lokasi yang lain.

D. Tinjauan Pustaka

Di antara penulis yang meneliti tentang masalah pengangguran terdapat nama John Ingleson. Tulisan Ingleson, menunjukkan bagaimana depresi tahun 1930-an mengguncang

10 “Penampungan atan Pembangunan?”, Harian Pagi

(9)

9

masyarakat kolonial dan bagaimana buruh telah menanggung akibat-akibatnya. Ingleson juga menulis mengenai respon pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap meningkatnya pengangguran di wilayah perkotaan di Jawa sebagai dampak dari Depresi Ekonomi tahun 1930-an.11

Selain Ingleson, terdapat nama William Joseph O’Malley yang menulis disertasi berjudul Indonesia in the Great Depression:

A Study of East Sumatera and Jogjakarta in the 1930s. Dalam

kajiannya, O’Malley menyebutkan bahwa depresi ekonomi 1930 juga menjadi penyebab peningkatan angka pengangguran di Hindia Belanda, khususnya di Yogyakarta. Pengangguran dari kalangan Bumiputera terdiri atas kaum terdidik, yang terutama sekali berasal dari lulusan sekolah-sekolah liar. Hal ini setidaknya melatarbelakangi diundangkannya Ordonansi Sekolah Liar pada tahun 1932.12

Purnawan Basundoro, yang menjelaskan bagaimana pertumbuhan penduduk yang besar tidak sebanding dengan pertumbuhan industrialisasi, ditambah lagi dengan adanya “urbanisasi berlebih” telah melahirkan pengangguran, setengah pengangguran, dan pekerjaan keliru. Mereka adalah orang-orang

11 Ingleson,op.cit.

12 William Joseph O’Malley. Indonesia in the Great Depression: A Study of East Sumatera and Jogjakarta in the 1930s. Disertasi. (Cornell University, 1977).

(10)

10

miskin di perkotaan yang kemudian menjadi beban kota tersebut, terutama berkaitan dengan bagaimana dan di mana mereka harus hidup.13

Di antara penulis yang meneliti tentang Yogyakarta terdapat beberapa nama di antaranya Selo Sumardjan. Kajian Selo Sumardjan mengenai perubahan sosial di Yogyakarta membahas mengenai perubahan politik dan sosial yang terjadi di Yogyakarta periode Belanda sampai dengan pasca kemerdekaan. Kajian ini juga membahas mengenai beberapa profesi yang menjadi mata pencaharian masyarakat Yogyakarta pada masa itu. Cakupan kajian Selo Sumardjan ini memfokuskan diri pada aspek perubahan sosial yang dialami masyarakat Yogyakarta, dan tidak membahas secara detail masalah pengangguran.14

Dalam studi P.J. Suwarno yang berjudul Hamengku Buwana

IX dan Sistem Birokrasi Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis. Studi ini menunjukkan bahwa sistem birokrasi

pemerintahan Yogyakarta mengalami perubahan revolusioner,

13 Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat

Miskin Kota Surabaya 1900-1940, ( Serpong: CV Marjin Kiri, 2013).

14 Selo Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).

(11)

11

terutama sejak Sultan HB IX naik tahta. Dalam pemerintahan di Yogyakarta, Sultan merupakan sosok penting.15

Karya ini juga menjelaskan bagaimana Yogyakarta terintegrasi dengan sebuah negara yang sedang mengalami masa-masa awal kemerdekaan. Setelah perjuangan kemerdekaan berakhir, kebanyakan penguasa pribumi yang dulu dikontrol oleh birokrat kolonial, mendapati dirinya dalam negara nasional yang sebelumnya tidak dikenal. Mereka masing-masing harus melakukan perubahan dan integrasi dengan negara nasional (nation-state). Fokus penelitian ini berusaha menjelaskan pengalaman Yogyakarta dalam proses pembinaan bangsa dan negara Indonesia. Dalam kajiannya, P.J. Suwarno juga membahas tentang kepentingan birokrat dalam kebutuhan rekrutmen pegawai. Namun, karena kajian ini menitikberatkan pada aspek pemerintahan, maka dalam kajiannya tidak membahas tentang masalah sosial, seperti misalnya masalah pengangguran.

Ada juga karya Masjkuri & Kuntoyo, Sejarah Daerah

Istimewa Yogyakarta16. Dalam kajiannya ini, Masjkuri sedikit menyinggung masalah merebaknya jumlah pengangguran di

15 P.J. Suwarno, Hamengku Buwana IX dan Sistem birokrasi

Yogyakarta 1942-1974 sebuah tinjauan historis, (Yogyakarta:

Kanisius, 1994).

16 Masjkuri, dkk, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Depdikbud, 1976).

(12)

12

Yogyakarta pada tahun 1950-an, namun hanya satu alenia saja. Sementara karya Riyadi Gunawan, “Sejarah Sosial Daerah

Istimewa Yogyakarta: Mobilitas Sosial D.I. Yogyakarta Periode Awal Abad Keduapuluhan” mendeskripsikan bagaimana mobilitas sosial

masyarakat Yogyakarta dihubungkan dengan tingkat pendidikan warganya saat itu. Karya ini juga menjelaskan bagaimana jumlah sekolah-sekolah yang ada di Yogyakarta semakin meningkat. Sedangkan penelitian yang membahas masyarakat Yogyakarta di tahun 1950-an kebanyakan membahas kehidupan politik seperti penelitian bertajuk Yogyakarta Memilih: Pemilihan Umum Anggota

DPR Daerah 1951 di Yogyakarta. Karya M. Nazir ini

menggambarkan terbentuknya lembaga dewan di Yogyakarta.17 Karya Chiyo Inui Kawamura, Peralihan Usaha dan

Perubahan sosial di Prawirotaman Yogyakarta 1950—1990-an,

menjelaskan perubahan usaha masyarakat Prawirotaman dari usaha batik tradisional ke industri pariwisata yang bersifat modern. Tulisan ini ditulis berdasarkan sudut pandang pengusahanya.18 Dalam penelitian ini juga digambarkan

17 M. Nazir Salim, “Yogyakarta Memilih: Pemilihan Umum Anggota DPR Daerah 1951 di Yogyakarta”, Tesis, (Yogyakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2008).

18 Chiyo Inui Kawamura, “Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman Yogyakarta 1950-1990an”, Tesis, (Yogyakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Buduya UGM, 2004).

(13)

13

bagaimana proses rekrutmen pekerja di mana industri-industri di Yogyakarta yang tumbuh berkembang sebenarnya memerlukan banyak tenaga kerja namun tidak dapat diakses oleh semua masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Selain dikerjakan oleh anggota rumah tangga sendiri, pekerjaan dalam industri rumah tangga ini juga dikerjakan oleh buruh yang biasanya bertempat tinggal di sekitar industri batik.

E. Kerangka Pemikiran dan Pendekatan

Penelitian ini akan memusatkan perhatian pada kajian sejarah sosial. Sejarah sosial mempunyai muatan materi yang sangat luas dan beraneka-ragam. Sejarah sosial dapat mengambil fakta-fakta sosial yang terjadi di masyarakat sebagai bahan kajiannya. Tak jarang, tema-tema seperti kemiskinan, perbanditan, kekerasan begitu juga dengan pengangguran dapat dijadikan sebuah tema garapan sejarah.19

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah sosial memiliki hubungan yang sangat erat dengan sejarah ekonomi sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi.20 Pembahasan sejarah sosial di sini difokuskan pada masalah pengangguran. Dalam penelitian ini, masalah pengangguran dilihat sebagai bagian dari 19 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarata: Tiara Wacana Yogya, 2003)

(14)

14

sejarah sosial, walaupun tidak dapat dipungkiri dalam penelitian ini masalah pengangguran juga dilihat dengan menggunakan data statistik.

Menurut Sartono Kartodirdjo, sejarah sosial mencakup juga perkembangan golongan-golongan sosial serta gaya hidupnya, misalnya sejarah yang mencakup kehidupan masyarakat istana yang memiliki subkultur tersendiri, golongan bangsawan, kaum borjuis, elite birokrat, golongan militer, atau kaum aristokat pada umumnya. Tema sejarah sosial juga mencakup berbagai elite modern seperti kaum intelegensia, entrepreneur, kaum professional yang kesemuanya disebut dengan elite strategis. Sartono Kartodirdjo menambahkan bahwa kajian sejarah sosial juga mencakup apa yang disebut dengan golongan underdog seperti pengembara, gelandangan, gerombolan perampok, pengemis dan lain sebagainya.21

Gejala munculnya pengangguran dalam sebuah masyarakat dapat dilihat dengan merebaknya golongan underdog lain seperti pengemis, pelacuran ataupun juga gelandangan. Munculnya pengangguran juga bisa dilihat dari meningkatnya pelaku kriminalitas. Sebagai kelompok yang termarjinalkan,

21 Sartono Kartodirdjo, “Sejarah Sosial” dalam Sartono Kartodirdjo, Kuntowijoyo, Bambang Purwanto, dkk, Sejarah Sosial:

Konseptualisasi Model dan Tantangannya, (Yogyakarta: Ombak,

(15)

15

pengangguran dan kelompok underdog lain adalah kelompok yang paling rentan hidupnya dalam masyarakat namun jarang memiliki tempat dalam historiografi nasional.

Menurut bentuknya pengangguran dibagi menjadi dua yakni pengangguran terbuka dan pengangguran tertutup. Pengangguran terbuka (open unemployment) terjadi ketika orang yang tanpa pekerjaan berada pada sebuah pasar tenaga kerja. Dan lebih jauh dibagi menjadi pengangguran terdaftar (registered unemployment) dan pengangguran tidak terdaftar (unregistered). Jenis pertama, merisalahkan bahwa orang yang tidak punya pekerjaan telah didaftar oleh sebuah agen pemerintahan resmi dan jika penganggur memenuhi syarat-syarat tertentu mereka akan diberikan sokongan penganggur (unemployment benefits),

sebaliknya, jenis yang kedua, tidak terdaftar dan tidak mendapatkan sokongan.22

Data yang terkumpul dalam penelitian ini, terutama sekali tergolong dalam registered unemployment. Pada tahun 1950-an, negara yang baru merdeka ini sedang berupaya membentuk pasar tenaga kerja dengan beberapa aturan yang telah diterapkan sebelumnya oleh pemerintah kolonial, dengan subyek yang tentu saja berbeda. Jika pada kolonial, unemployment benefits diberikan

22 J.L. Porket. Work, Employment and Unemployment in the

(16)

16

kepada mereka yang berkulit putih dan minoritas orang bumiputera; maka pada tahun 1950-an terutama sekali diberikan kepada orang-orang bumiputera.

Berdasarkan terjadinya, ada 4 jenis pengangguran, yakni, pengangguran musiman, siklikal, friksional, dan struktural.

Pertama, pengangguran friksional terjadi karena penganggur

menunggu pekerjaan yang lebih baik. Kasus pengangguran jenis pertama ini tidak terjadi pada penelitian ini. Kedua, pengangguran struktural terjadi karena para pencari kerja dalam sebuah pasar tenaga kerja, dalam kurun waktu yang cukup lama tidak dapat menemukan pekerjaan, baik itu disebabkan oleh tidak terpenuhinya keterampilan yang dibutuhkan—pekerjaan tidak sesuai dengan skill—atau dikarenakan ketidakmampuan instansi penyalur tenaga kerja menyalurkan tenaga kerja sesuai permintaan pasar tenaga kerja—tidak berada ditempat yang tepat. Pengangguran tahun 1950-an di Yogyakarta dapat digolongkan dalam jenis ini, yang mana kantor penempatan kerja kesulitan untuk menempatkan penganggur, sebabnya adalah para penganggur tidak mampu melengkapi dua hal yang disyaratkan saat itu, yakni ijazah MULO ke atas, sekolah guru, MOSVIA, serta sekolah teknik menengah dan syarat ketrampilan, seperti keahlian

(17)

17

teknik, koperasi, perindustrian, meteorologi, radiotelegrafis, dan stenografi.23

Ketiga¸pengangguran klinikal, yakni pengangguran yang

disebabkan kemunduran ekonomi yang menyebabkan perusahaan tidak mampu menampung semua pekerjaan yang ada. Yogyakarta tahun 1950-an terjadi setidaknya terjadi dua kali massa onslag (tahun 1951 dan 1957), yang mengakibatan pemberhentian buruh yang tidak sedikit jumlahnya. Keempat, pengangguran musiman, yakni pengangguran akibat siklus ekonomi yang fluktuatif karena pergantian musim/gejala alam, seperti misalnya petani dan nelayan. Keberadaan pengangguran musiman dalam pasar tenaga kerja di Yogyakarta tahun 1950-an terjadi pada saat musim panen dan musim tanam berakhir, yang mana pencari kerja yang mencatatkan diri di kantor penempatan kerja meningkat.24 Namun tidak tercukupinya sumber berkaitan dengan hal ini, baik itu akurasi jumlah pendaftar, maupun titik konsentrasi pengangguran hubungannya dengan areal persawahan, atau faktor lainnya; membuat penelitian ini tidak terlalu jauh menyinggungnya.

Pengangguran dalam penelitian ini tidak hanya dilihat sebagai akibat dari mekanisme pasar, namun yang paling penting

23 Harian Pagi Nasional, 9 Agustus 1950.

24 “Masalah Pengangguran di Kalangan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan”, Arsip Sobsi No. 235.

(18)

18

adalah bagaimana melihat permasalahan pengangguran berikut upaya penyelesaiannya menjadi salah satu bagian masalah dari kehidupan masyarakat dalam sebuah negara yang baru merdeka.

Pengangguran tahun 1950-an ini biasa disebut dengan

pengangguran revolusi. Secara singkat, pengangguran revolusi ini

terjadi sebagai ekses dari perang revolusi. Setidaknya, mereka terdiri dari mantan pejuang dan beberapa buruh yang kehilangan pekerjaan karena perang revolusi ataupun kondisi perindustrian yang kurang baik pada saat itu.25 Selain itu, munculnya pengangguran ini tidak bisa dilepaskan dari pertambahan penduduk Yogyakarta yang diakibatkan karena pertumbuhan penduduk alami maupun pertambahan penduduk pandatang di Yogyakarta selama masa revolusi.

Definisi pengangguran sendiri adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan yang tanpa kesalahan dan di luar keinginan mereka, kehilangan pekerjaan.26 Pengangguran adalah bagian dari tenaga kerja. Pada tahun 1950-an, setiap penganggur yang mendaftarkan diri di kantor penempatan tenaga diberikan latihan keahlian, sokongan, dan juga dicarikan pekerjaan. Data yang

25 “Penampungan Atau Pembangunan” Harian Pagi Nasional, 28 September 1950.

26 Sekretariat Negara Kabinet Perdana Mentri Tahun 1950-1959 No. 3023.

(19)

19

terkumpul dalam penelitian ini, terutama sekali tergolong dalam pengangguran yang terdaftar.

F. Metode Penelitian dan Sumber Data

Penulis mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dari berbagai tempat semenjak penulis mendapatkan topik penelitian. Untuk meneliti masalah pengangguran, penulis menelusuri sumber-sumber yang ada di Jakarta seperti ANRI maupun Perpustakaan Nasional. Penelusuran sumber ke Jakarta dilakukan 3 kali. Yakni pada tahun 2013, pada awal 2014 dan penghujung tahun 2014.

Selain menelusuri sumber di Jakarta, penulis juga menelusuri sumber-sumber yang ada di Yogyakarta. Penulis mendapatkan sumber arsip mengenai Yogyakarta dari tiga tempat yang berbeda, yakni di perpustakaan yang ada di Kasultanan, perpustakaan yang ada di Pura Pakualaman, serta Badan Arsip Daerah Yogyakarta. Khusus untuk sumber yang diambil dari surat kabar lokal seperti koran Kedaulatan Rakyat, Nasional dan Minggu

Pagi, penulis menelusurinya di badan arsip Jogja Library yang

ada di Jalan Malioboro. Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan data statistik yang penulis dapatkan dari Perpustakaan Nasional maupun yang ada di Perpustakaan Pusat UGM terutama sekali di Hatta Corner.

(20)

20

Selain menggunakan sumber-sumber tertulis penulis juga menggunakan sumber lisan yang sejaman. Wawancara dilakukan kepada mantan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang pernah berjuang di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan memanfaatkan sumber-sumber primer seperti arsip-arsip pasca kemerdekaan sampai dengan tahun 1950-an yang ada di Arsip Nasional Republik Indonesia, seperti Arsip Kementerian

Sosial dan Perburuhan 1945-1950 No. 42, Arsip Kementerian Penerangan No.155, Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Mentri Th 1950-1959. No.3032, Arsip Kabinet Presiden RI No. 1508, Arsip PMRI No. 149 dan juga Arsip SOBSI No.280.

Arsip yang telah diterbitkan oleh ANRI seperti Pengungsian

Penduduk di Jawa 1945-1949, Arsip Daerah Yogyakarta seperti Arsip Jawatan Pemerintahan Umum, arsip-arsip Pakualaman

seperti Arsip PA VIII No. 1632, Arsip PA VIII 06 763 dan Arsip PA

VIII No. 1373, Arsip PA VIII 06 no.569 dan Arsip PA VIII 06 no.763.

Selain menggunakan arsip-arsip resmi, penelitian ini juga menggunakan Surat kabar yang terbit tahun 1945-an—1950-an, terutama sekali surat kabar lokal seperti Kedaulatan Rakyat dan juga surat kabar Nasional. Tidak lupa juga penulis menggunakan majalah Minggu Pagi. Ketiga sumber lokal ini banyak penulis dapatkan di kantor arsip Jogja Library. Sementara itu, untuk

(21)

21

menelusuri permasalahan pengangguran di tingkat nasional, penulis juga menggunakan majalah yang diterbitkan oleh Kementrian Perburuhan yakni majalah Tindjauan Masa’alah

Perburuhan (sic.), dan majalah lain yang relevan. Majalah Tindjauan Masa’alah Perburuhan yang berangka tahun 1950

penulis dapatkan di Jogja Library, sementara majalah Tindjauan

Masa’alah Perburuhan setelah tahun 1950 dan majalah-majalah

lain yang relevan penulis dapatkan di Perpustakaan Nasional. Selain itu, penulis juga menggunakan Statistik Pemerintahan

Jogjakarta 1957, Statistik Pemerintahan Jogjakarta 1958 dan Statistik Pemerintahan Jogjakarta 1962. Penulis juga menggunakan peraturan pemerintah yang telah diterbitkan seperti

Himpunan Peraturan-Peraturan dan Keputusan-keputusan Menteri Perburuhan Th.1950 s/d Th.1955 yang diterbitkan oleh

Kementerian Perburuhan tahun 1956, Peraturan Perburuhan dan

Peraturan Administrasi Perburuhan yang diterbitkan oleh

Kementrian Perburuhan RI tahun 1953 serta Himpunan

Peraturan-Peraturan Tenaga Kerdja 1945-1970.

Penelitiaan ini juga menggunakan data lisan dengan mewawancarai orang-orang yang hidup di Yogyakarta maupun di Jawa Tengah yang hidup pada masa itu. Wawancara dilakukan untuk mengetahui keterangan pribadi. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber sekunder berupa buku, tesis, disertasi dan

(22)

22

jurnal. Buku-buku tersebut sebagian besar diperoleh dengan memanfaatkan akses perpustakaan di Yogyakarta maupun di kota lain.

Langkah selanjutnya penulis mengidentifikasi kedua sumber tersebut baik primer maupun sekunder. Identifikasi dilakukan dengan cara memastikan siapa pengarangnya, tempat penulisannya, dan tahun terbit. Untuk sumber primer dipastikan sezaman yakni tahun 1945 sampai dengan tahun 1950-an. Penulis juga mengecek orisinalitas sumber tersebut. Dalam kegiatan selanjutnya yaitu analisis kritik intern yang dilakukan dengan menyeleksi dan membandingkan sumber satu dengan yang lainnya sehingga diperoleh fakta sejarah. Kritik intern ini juga dilakukan terhadap sumber koran maupun majalah, yang mana ideologi redaksi turut mewarnai subjektivitas pemberitaan.

Koran Kedaulatan Rakyat sejak tahun 1945 hingga tahun 1949 setidaknya memberitakan hal-hal yang dapat membangkitkan nasionalisme pembacanya. Memasuki tahun 1950, koran lokal Yogyakarta ini sudah mulai menjadi watchdog bagi kebijakan pemerintah, meskipun belum terlalu kritis. Demikian halnya dengan koran lokal lain, seperti harian Nasional, dan koran lokal lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. Lebih-lebih majalah Tindjauan Masaalah Perburuhan, yang

(23)

23

diterbitkan oleh Kementrian Perburuhan, sehingga sekadar menginformasikan apa-apa saja yang dilakukan oleh pemerintah. Kendati koran dan majalah tersebut sangat membantu penulis dalam menelusuri fakta sejarah pengangguran revolusi di Yogyakarta tahun 1950, namun penulis tetap berhati-hati dalam menggunakan sumber data ini.

Sedangkan kritik ekstern dilakukan dengan pengalaman indrawi langsung terhadap sumber, seperti melihat dan menyentuhnya. Dengan melihat langsung, penulis membuktikan bahwa ejaan yang dipakai adalah ejaan lama, sementara dengan menyentuh langsung penulis memastikan bahwa kertas sumber tersebut berumur cukup lama. Sumber-sumber koran tahun 1950-an yang ada di Perpustakaan Nasional dan Jogja Library masih menyimpan koran asli dengan cukup terawat. Begitu juga sumber arsip yang berada di ANRI, perpustakaan di Pura Pakualaman, serta perpustakaan di Kasultanan cukup lengkap dan merawat sumber arsip.

Tahap selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap fakta-fakta yang diperoleh. Teks dari koran maupun arsip ditafsirkan, ditambah dengan menyelami pengalaman langsung pelaku atau

(24)

24

saksi sejarah lewat hasil wawancara. Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyajian data dalam bentuk tertulis.27

G. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini dibagi atas enam bab. Bab I, terdiri dari pengantar dengan subbagian yang meliputi latar belakang, permasalahan dan lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran dan pendekatan, metode penelitian dan sumber data, serta sistematika penulisan. Bab II membahas perihal Yogyakarta pada masa revolusi menyangkut masalah demam kemerdekaan dan dampak periode revolusi terhadap kehidupan masyarakat Yogyakarta.

Bab III, dibahas mengenai pekerjaan-pekerjaan yang ada di Yogyakarta, pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan di Yogyakarta, serta orang-orang yang kesulitan mencari pekerjaan.

Bab IV, dipaparkan mengenai alasan munculnya masalah pengangguran di Yogyakarta, yang meliputi pengangguran revolusi, buruh, lonjakan penduduk, dan realitas seputar pengangguran revolusi Yogyakarta.

Bab V dibahas perihal upaya penyelesaian ihwal pengangguran, yang meliputi pembentukan Jawatan Penempatan Tenaga Kerdja, Sokongan Penganggur, Kerdja Darurat, Latihan

27 Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang, 1995).

(25)

25

Kerdja, masalah penempatan Tenaga Mantan Pejuang, dan transmigrasi.

Bab VI adalah kesimpulan yang mencoba mensintesiskan hal penting serta temuan-temuan penulis dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sugiyono (2012: 199) bahwa: “Kusioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis

Bidan yang melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya diperbolehkan selama tidak terdapat dokter di suatu daerah tersebut, sebagaimana telah diatur dalam Permenkes

Dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1

dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mL, kemudian disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada 121⁰ C tekanan 15 lbs, dibiarkan membeku pada posisi miring..

Dalam konstruksi tersebut dapat dilihat bahwa setiap unit WDE akan menangani satu motor yang terintegrasi dengan flywheel dan satu sensor gyro, untuk

Sumber yang digunakan untuk mendapatkan fakta tentang perlawanan Kesultanan Melayu Jambi, khususnya perlawanan yang dilakukan Sultan Muhammad Fachruddin dan Sultan

Menyebabkan pelanggan potensial tidak dapat menilai suatu jasa sebelum mengkosumsinya. Ini menyebabkan resiko yang dipersepsikan konsumen dalam keputusan pembelian

Secara umum proporsi lansia tertinggi di Desa Murtigading dan Desa Gadingharjo adalah kawin. Proporsi status kawin di Desa Murtigading lebih tinggi yaitu sebesar