• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

6.1 Sistem Pengelolaan Taman Nasional

Taman nasional dapat memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung melalui subsidi ekologi dalam perekonomian daerah di sekitar TNKS. Subsidi ekologi yang mendukung pertumbuhan sektor pertanian berupa penyediaan suplai air domestik dan pertanian, pengaturan iklim mikro, pengendalian banjir dan siklus unsur hara. Nilai ketergantungan sektor pertanian berdasarkan perhitungan pada tahun 2000 di Kabupaten Kerinci berkisar antara Rp.72 miliar sampai Rp. 256 miliar per tahun dan Kabupaten Lebong/Rejang Lebong berkisar antara Rp.151 – Rp.542 miliar per tahun (Efendi 2001). Subsidi ekologi ini menggambarkan bahwa kerusakan TNKS akan menyebabkan kerugian berupa penurunan output pertanian dan PDRB sejumlah nilai tersebut. Sehingga secara langsung sebenarnya subsidi ini telah dinikmati oleh masyarakat lokal yang memiliki akses terhadap sumber daya lahan, baik memiliki atau menyewa. Namun, karena 58% masyarakat lokal tidak memiliki lahan sehingga dapat dikatakan belum merasakan manfaat ekonomi secara langsung dari TNKS.

Pada dasarnya TNKS memiliki tiga manfaat, yang pertama adalah manfaat dari penggunaan langsung, seperti sumber daya kayu dan non kayu serta lahan. Manfaat yang kedua berasal dari penggunaan tidak langsung, seperti fungsi ekologis, pengaturan hidrologi dan siklus hara. Manfaat yang ketiga merupakan manfaat yang berasal dari nilai pilihan dan keberadaan, seperti keanekaragaman hayati, habitat dan spesies. Ketiga manfaat ini tidak mungkin diperoleh secara bersama-sama. Manfaat kedua dan ketiga hanya mungkin terealisasi jika manfaat pertama dikonsumsi secara berkelanjutan. Jika sumber daya kayu dipanen dan lahan dialih fungsikan untuk pertanian maka manfaat lain akan menurun dan bahkan hilang. Oleh karena itu, manfaat lain tersebut seperti fungsi ekologis tidak mungkin diperoleh oleh masyarakat secara luas dan Pemerintah Daerah. Di samping itu, dampak menurunnya fungsi ekologis TNKS juga berarti menurunnya kemampuan mengatur hidroorologi kawasan sehingga berpotensi meningkatkan resiko terjadinya bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. Pemulihan dampak bencana alam selanjutnya akan mengurangi alokasi dana untuk kegiatan

(2)

lain sehingga akan menyebabkan efek pengganda yang akan ditanggung dan dirasakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya lahan karena mayoritas masyarakat masih bergantung pada sektor pertanian dan kurangnya alternatif sumber penghidupan lain menyebabkan terjadinya aktifitas perambahan lahan kawasan TNKS dan juga kegiatan ilegal lainnya. Pendekatan pengelolaan yang lebih mengedepankan aspek pengamanan kawasan dapat kurang efektif untuk menanggulangi kerusakan kawasan akibat perambahan karena adanya keterbatasan dana, sarana prasarana dan personil pengaman. Pengelolaan taman nasional seyogyanya dilakukan secara integratif melalui harmonisasi aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Aspek ekonomi dapat diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek bagi masyarakat lokal sebatas daya dukung lingkungan dan manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas. Pemenuhan kebutuhan ini akan memberikan dampak penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap taman nasional (aspek sosial) yang selanjutnya akan memelihara aspek ekologi kawasan taman nasional.

Berdasarkan hasil pengamatan, analisis situasional dan ISM yang telah dilakukan maka sistem pengelolaan taman nasional agar dapat berkelanjutan didefinisikan (root definition) sebagai sistem yangmengelolakesehatan ekosistem agar dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan untuk masyarakat lokal, nasional dan internasional melalui upaya kemitraan dengan para pihak yang memungkinkan terciptanya alternatif mata pencaharian bagi masyarakat lokal dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Gambar 30).

Pengembangan pemanfaatan sumber daya taman nasional yang dapat menyediakan alternatif mata pencaharian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan akan mengurangi kegiatan ilegal. Dampak lebih lanjut, kesehatan ekosistem akan terjaga. Pemanfaatan sumber daya taman nasional juga dibatasi oleh status kesehatan ekosistem. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan ini tidak boleh melebihi kemampuan daya pulih dari ekosistem terhadap gangguan akibat pemanfaatan oleh manusia. Penciptaan alternatif mata

(3)

pencaharian dan pemeliharaan ekosistem dilakukan secara bersama antara pengelola dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi dan dunia usaha sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat lokal dan sekaligus dapat mengurangi persoalan keterbatasan dana dan personil pengamanan yang dihadapi pengelola. Saling ketergantungan ini akhirnya akan menciptakan sinergi yang dapat mendukung pencapaian tujuan konservasi taman nasional.

Gambar 30 Sistem manajemen lingkungan pengelolaan taman nasional

6.2 Model Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan

Kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon terhadap masalah publik. Keberlanjutan taman nasional merupakan salah satu masalah publik. Pengembangan kebijakan agar pengelolaan taman nasional dapat berkelanjutan sangat kompleks karena melibatkan beberapa stakeholder kunci, yaitu Pemerintah Pusat/pengelola, Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, perguruan tinggi dan pelaku usaha. Masing-masing stakeholder mempunyai prioritas kebutuhan dengan tingkat kepentingan yang berbeda. Di samping itu, pengelolaan taman

Aspek Ekologi: Kesehatan ekosistem Aspek Sosial: Partisipasi Aspek Ekonomi: Mata pencaharian Alternatif Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan

(4)

nasional bersifat dinamis dan memiliki tingkat ketidak pastian yang tinggi sehingga diperlukan pendekatan sistem dalam pengembangan kebijakan pengelolaan untuk mengurangi dampak kegagalan kebijakan.

Perumusan kebijakan strategis pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan mengacu pada lima tema pembangunan berkelanjutan COMHAR (2007) seperti disajikan pada Gambar 31. Lima tema ini meliputi pengambilan keputusan yang baik (good decision making), berkeadilan sosial (social equity), berkeadilan antar generasi (equity between generations), pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya secara efisien (satisfaction of human needs by the efficient use of resources), dan penghargaan terhadap integritas ekosistem dan keanekaragaman hayati (respect for ecological integrity and biodiversity).

(5)

Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional dilandasi oleh good decision making dan social equity. Untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang tepat dalam perumusan kebijakan maka diperlukan partisipasi stakeholder dalam proses perumusan. Di samping itu perumusan kebijakan juga mempertimbangkan aspek keadilan sosial sehingga kebijakan pengelolaan bersifat inklusif yang memberikan manfaat secara adil bagi semua pihak. Kebijakan yang dibangun juga memungkinkan untuk berlangsungnya partisipasi stakeholder dan pendelegasian pengambilan keputusan. Kebijakan yang dirumuskan dirancang bangun untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya taman nasional secara efisien tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memperoleh manfaat yang sama. Aktifitas pemenuhan kebutuhan manusia ini dilakukan tanpa mengorbankan atau dibatasi oleh integritas ekosistem dan keanekaragaman hayati taman nasional.

Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional berdasarkan konsep keberlanjutan tersebut merupakan upaya perumusan solusi permasalahan dalam pengelolaan taman nasional. Aktivitas masyarakat yang menimbulkan permasalahan, seperti perambahan taman nasional berpotensi mengakibatkan penurunan integritas ekosistem dan kepunahan sumber daya alam hayati. Berdasarkan konsep pembangunan keberlanjutan, permasalahan tersebut diselesaikan tidak hanya melalui pendekatan pengamanan saja melainkan juga diperlukan penyelesaian yang lebih holistik dan berkeadilan sosial melalui kebijakan dengan melibatkan Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, perguruan tinggi dan dunia usaha untuk mencapai tujuan pengelolaan. Oleh karena itu, pengembangan kebijakan ini merupakan kebijakan yang baru atau memodifikasi produk hukum lama berdasarkan hasil analisis dan sintesis terhadap kebijakan strategis dan operasional pengelolaan taman nasional yang berlaku.

Penyusunan kebijakan didasarkan atas asumsi dari hasil analisis SAST, yaitu: 1) Pemerintah Daerah, akademisi dan LSM memiliki komitmen tinggi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat, 2) pembangunan ekonomi dilaksanakan secara berkeadilan yang didukung kesepahaman serta kesadaran masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap peran penting

(6)

jasa lingkungan, dan 3) ketersediaan dana dan tenaga pendampingan serta kesamaan pandang terhadap peran sumber daya alam dalam pembangunan. Sedangkan pengembangan kebijakannya sendiri didasarkan atas hasil ISM elemen tujuan terlindunginya ekosistem dan keanekaragaman hayati serta bertambahnya pendapatan masyarakat digunakan sebagai tujuan khusus pengelolaan taman nasional. Elemen lembaga yang terlibat atau stakeholder yang digunakan dalam kebijakan adalah lembaga yang merupakan variabel kunci. Sedangkan variabel dengan daya pendorong besar dari elemen kendala, perubahan yang dimungkinkan dan kegiatan yang diperlukan digunakan sebagai intervensi kebijakan.

Identifikasi faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan pengelolaan taman nasional dilakukan melalui sintesis dari hasil pengamatan dan analisis yang telah dilakukan. Faktor ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Internal Manajemen

Internal manajemen sangat menentukan tingkat keberhasilan pengelolaan karena mempengaruhi alokasi dan pemanfaatan sumber daya, khususnya dana dan personalia, maupun sumber daya alam. Peningkatan manfaat ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dunia usaha maupun Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pengelola dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi kebutuhan para pihak melalui pengelolaan sumber daya taman nasional secara efektif.

2) Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Faktor ini menentukan keberlanjutan pengelolaan karena kemungkinan pengaruh tekanan populasi penduduk, kondisi ekonomi, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional. Faktor ini dapat menumbuhkan dukungan terhadap upaya konservasi maupun berdampak negatif seperti pencurian sumber daya hayati dan perambahan lahan.

3) Kondisi Fisik Kawasan

Kondisi fisik kawasan sangat menentukan kemampuan taman nasional dalam memberikan manfaat bagi umat manusia. Hal yang termasuk dalam faktor ini adalah kondisi keanekaragaman sumber daya alam hayati, termasuk

(7)

keragaman genetik, spesies, jenis, ekosistem serta habitat. Kondisi fisik kawasan yang direpresentasikan oleh penutupan hutan menunjukkan kecenderungan yang menurun.

4) Partisipasi Masyarakat

Faktor ini sangat menentukan tingkat dukungan masyarakat terhadap upaya konservasi dan taman nasional. Pengamatan lapang

5) Kebijakan Sektoral/daerah

Kebijakan sektoral dan daerah dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap pengelolaan taman nasional.

Alternatif kebijakan yang telah dibangun berdasarkan hasil ISM mengacu pada faktor-faktor yang menentukan pengelolaan taman nasional agar dapat berkelanjutan. Alternatif kebijakan tersebut pada prinsipnya untuk mewujudkan dan melingkupi: 1). kegiatan yang memang perlu dilakukan, 2). kegiatan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi kendala utama yang menghambat pencapaian tujuan sistem pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah, dan 3). kegiatan yang dapat mengisi peluang perubahan yang dimungkinkan agar taman nasional dapat berkelanjutan. Arahan kebijakan-kebijakan tersebut mencakup:

1) Peningkatan pengetahuan tentang manfaat dan kepedulian masyarakat terhadap taman nasional,

2) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar taman nasional,

3) Peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan terbatas,

4) Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional, 5) Peningkatan manfaat ekonomi taman nasional untuk menunjang

pembangunan daerah,

6) Peningkatan kegiatan investasi yang ramah lingkungan dan manusia di sektor pariwisata alam,

(8)

Berdasarkan arahan ini dan tujuan pengelolaan maka alternatif kebijakan yang dibangun dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Penguatan kelembagaan pengelolaan

Ruang lingkup kebijakan ini dimaksudkan untuk perbaikan koordinasi sehingga dapat meningkatkan efektifitas manajemen taman nasional. Koordinasi tidak hanya terfokus pada tingkat perencanaan, implementasi maupun monitoring kegiatan pengelolaan, melainkan juga untuk sinkronisasi pada tingkatan kebijakan daerah dan sektoral. Peningkatan efektifitas manajemen diharapkan dapat meningkatkan manfaat ekonomi taman nasional secara langsung untuk menunjang pembangunan daerah. Penguatan kelembagaan juga akan mengatasi kendala keterbatasan dan alokasi pemanfaatan dana pengelolaan.

2) Pengentasan kemiskinan sebagai upaya konservasi

Kebijakan ini untuk meningkatkan kegiatan investasi yang ramah lingkungan dan ramah manusia di sektor pariwisata alam. Di samping itu, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar taman nasional diupayakan melalui peningkatan akses terhadap sumber daya taman nasional maupun sumber daya di luar taman nasional akan didorong oleh kebijakan ini. Kebijakan pengentasan kemiskinan sebagai sarana konservasi dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai program kegiatan, antara lain: a) pengembangan potensi tanaman obat-obatan, b) pengembangan kegiatan usaha pariwisata alam, c) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan. Sedangkan kebijakan pengembangan sistem informasi dan relasi publik dapat diuraikan dalam program kegiatan, yaitu: a) inventarisasi ekosistem, b) kerjasama ekonomi dengan masyarakat, c) penyuluhan dan pendidikan lingkungan.

3) Pelembagaan partisipasi masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan elemen pendorong terwujudnya pengelolaan yang berkelanjutan sehingga partisipasi seyogyanya diperlakukan sebagai upaya sadar yang dilakukan untuk mendukung taman nasional. Partisipasi diwadahi oleh sebuah lembaga dan mekanisme

(9)

partisipasi dibangun sehingga memungkinkan masyarakat dan para pihak dapat merencanakan, mengimplementasikan maupun memonitor tingkat keberhasilan pengelolaan taman nasional.

4) Pengembangan sistem informasi dan relasi publik

Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan tentang manfaat, kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap keberlanjutan pengelolaan taman nasional.

Alternatif kebijakan tersebut selanjutnya ditelaah secara keseluruhan menggunakan metode fuzzy AHP berdasarkan faktor, tujuan dan stakeholder untuk menetapkan prioritas kebijakan tertinggi sebagai kebijakan yang mengarahkan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan. Hasil agregasi nilai fuzzy penilaian perbandingan berpasangan dengan menggunakan variabel linguistik oleh pakar terhadap faktor, tujuan, stakeholder dan alternatif kebijakan dan nilai eigennya ditampilkan pada Lampiran 11 dan 12. Berdasarkan hasil analisis jenjang keputusan menggunakan metode fuzzy AHP (Gambar 32), faktor yang menempati prioritas tertinggi adalah partisipasi masyarakat yang disusul dengan internal manajemen, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kebijakan sektoral/daerah dan kondisi fisik kawasan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor partisipasi masyarakat merupakan faktor paling penting dalam pengembangan kebijakan agar pengelolaan taman nasional dapat berkelanjutan. Pemerintah Daerah mempunyai peran paling penting dalam mempengaruhi faktor-faktor pengembangan kebijakan. Sedangkan tujuan yang memiliki prioritas paling tinggi adalah perlindungan ekosistem yang penting dan pelestarian keanekaragaman hayati. Meskipun demikian, sebenarnya nilai eigen dari masing-masing tujuan tidak banyak berbeda sehingga dapat dikatakan memiliki prioritas yang relatif sama. Dengan demikian, alternatif strategi kebijakan dalam pengelolaan taman nasional memiliki prioritas secara berturut-turut adalah:

1) Penguatan kelembagaan dan pengentasan kemiskinan sebagai sarana upaya konservasi,

2) Pelembagaan partisipasi masyarakat, dan

(10)

Gambar 32 Prioritas kebijakan pengelolaan taman nasional

Prioritas kebijakan penguatan kelembagaan dan pengentasan kemiskinan sebagai sarana upaya konservasi kemudian dirancang bangun ke dalam bentuk Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM). Sistem TaNaBEM merupakan suatu sistem pengelolaan yang dilandasi oleh prinsip good decision makingdan bersifat partisipatif dari berbagai stakeholder yang mampu menampung aspirasi masyarakat, kebijakan Pemerintah serta Pemerintah Daerah. Sistem ini juga merupakan suatu perencanaan berdimensi kewilayahan yang mampu mensinkronisasikan dan mengintegrasikan antara rencana tata ruang wilayah dengan kegiatan taman nasional itu sendiri. Selain itu, Sistem TaNaBEM mengkoordinasikan kegiatan di TNKS yang secara komplementer berkaitan dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah dari kabupaten-kabupaten yang tercakup dalam wilayah kawasan TNKS dan memperhatikan dan memonitor daya dukung lingkungan melalui rencana

(11)

pengelolaan lingkungan. Sistem pengelolaan ini terdiri atas aspek manajemen, kelembagaan dan pendanaan yang diwujudkan dalam 3 model seperti yang ditunjukkan pada Gambar 33, yaitu:

1) Model Manajemen (Model MTN) 2) Model Kelembagaan (Model KPTN) 3) Model Pendanaan (Model PTN)

Gambar 33 Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM)

Model Manajemen (Model MTN) pada dasarnya mengintegrasikan kebijakan Pemerintah dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah, rencana tata ruang wilayah kabupaten, dan rencana pengelolaan lingkungan serta bersifat komplementer (Gambar 34). Model MTN merupakan manajemen perencanaan yang memiliki tujuan untuk stabilitas kesehatan ekosistem dan tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan adat dengan tingkat resiko kerusakan ekosistem yang rendah karena dukungan dan partisipasi para pihak. Peningkatan pendapatan diperoleh melalui peningkatan akses sumber daya, yang dapat berbentuk pemanfaatan sumber daya taman nasional atau sumber daya diluar taman nasional maupun akses sumber daya finansial. Akses pemanfaatan diberikan kepada masyarakat lokal dan adat melalui Badan Usaha

(12)

Milik Desa (BUMDes), industri rumah tangga maupun koperasi. Pemerintah Kabupaten berperan dalam mendorong pembentukan dan pembinaan BUMDes di desa-desa sekitar kawasan taman nasional. Pembinaan terhadap BUMDes, industri rumah tangga dan koperasi meliputi pengembangan kapasitas yang disertai dengan penyuluhan dan peningkatan pengetahuan manfaat ekonomi tidak langsung dari keberadaan taman nasional. Upaya-upaya ini akan membentuk masyarakat yang lebih berdaya. Jika masyarakat lebih berdaya maka peluang keberhasilan dalam mengelola sumber daya keuangan semakin besar. Pada tahap ini dukungan pemerintah melalui Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank untuk mendanai kegiatan ekonomi menjadi penting. Di samping itu, program penyediaan dana bergulir juga akan dapat bermanfaat. Berkembangnya kegiatan ekonomi pedesaan akan menciptakan mata pencaharian alternatif di luar kegiatan ekonomi yang bergantung pada sumber daya lahan untuk pertanian. Selanjutnya keadaan ini akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Berkurangnya ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap sumber daya lahan untuk penghidupan karena telah berkembangnya alternatif mata pencaharian diharapkan akan menyebabkan berkurangnya kegiatan perambahan lahan dan kegiatan lain yang merusak taman nasional taman nasional. Jika masyarakat memiliki ketergantungan terhadap taman nasional melalui kegiatan produktif yang sejalan dengan tujuan konservasi maka masyarakat akan menjaga sumber penghidupannya secara partipatif. Hal ini selanjutnya akan mengurangi tingkat kerusakan dan kegiatan rehabilitasi taman nasional. Partisipasi masyarakat yang secara sukarela turut memelihara taman nasional akan mengurangi persoalan keterbatasan dana dan personil pengamanan dari Pengelola TNKS saat ini. Kondisi ini mendorong terpeliharanya stabilitas kesehatan ekosistem.

Umpan balik dalam Model MTN terjadi ketika stabilitas kesehatan ekosistem dapat terjaga maka akses pemanfaatan dapat ditingkatkan. Namun, pengaturan dan monitoring perlu dilakukan oleh Pengelola TNKS agar tingkat pemanfaatan tidak melebihi daya lenting ekosistem taman nasional. Mekanisme

(13)

kontrol ini sangat penting karena untuk menghindari kehancuran sistem pengelolaan taman nasional. Di samping itu, pengembangan alternatif mata pencaharian juga dilakukan dengan mempertimbangkan dampak samping negatif yang mungkin timbul.

Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat dengan memanfaatkan kawasan taman nasional dapat dilakukan melalui beberapa cara. Cara pertama adalah meningkatkan pemanfaatan potensi yang terdapat di kawasan taman secara langsung dan yang kedua adalah secara tidak langsung. Pengembangan potensi taman nasional secara langsung yang utama adalah pemanfaatan selain zona inti kawasan untuk pariwisata alam. Usaha pariwisata alam meliputi usaha penyediaan jasa pariwisata alam dan penyediaan sarana pariwisata alam. Usaha penyediaan jasa pariwisata alam diantaranya adalah usaha jasa informasi, pemandu wisata, transportasi, perjalanan wisata dan jasa makanan minuman. Sedangkan usaha penyediaan sarana dapat berupa usaha akomodasi dan sarana perlengkapan wisata alam. Di samping itu, dapat juga dikembangkan usaha pendukung pariwisata alam diantaranya usaha perdagangan kerajinan, cindera mata maupun makanan khas daerah.

Pengembangan jasa lingkungan taman nasional yang hasilnya kemudian dapat digunakan untuk pengelolaan taman nasional maupun pengembangan masyarakat adalah pengembangan imbal jasa lingkungan. Imbal jasa lingkungan yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah jasa pemanfaatan air. Sumber daya air dari taman nasional cukup potensial karena beberapa DAS besar mempunyai hulu di kawasan taman nasional. Beberapa pihak telah menggunakan jasa pemanfaatan air yang bersumber dari kawasan taman nasional. Sumber daya air telah digunakan untuk tanaman budidaya, rekreasi danau, suplai bahan baku air minum, dan sumber tenaga pembangkit listrik.

(14)

Gambar 34 Model Manajemen (Model MTN)

Untuk meningkatkan efektifitas Model MTN diperlukan pengaturan kelembagaan karena selama ini koordinasi menjadi kendala yang nyata. Berdasarkan stakeholder dan lembaga kunci yang berperan penting dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah maka dibangun Model Kelembagaan – KPTN (Gambar 35). Stakeholder yang terlibat dalam model ini adalah Pemerintah Pusat, Departemen Kehutanan/Pengelola Taman Nasional, Pemerintah Daerah, masyarakat lokal dan adat dan pelaku usaha mikro, kecil dan koperasi, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Model KPTN dibangun untuk memungkinkan partisipasi para pihak dalam

(15)

pengelolaan taman nasional sehingga menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Di samping itu, Model KPTN dirancang untuk dapat menampung aspirasi para pihak yang berkepentingan dan memungkinkan pembuatan konsensus dalam pengelolaan taman nasional.

Selama ini proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi pengelolaan taman nasional dilakukan oleh pengelola taman nasional sebagai penjabaran kebijakan program Kementerian Kehutanan. Keterlibatan masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam proses tersebut hanya berlangsung pada penyusunan perencanaan taman nasional jangka panjang dan menengah melalui konsultasi publik dan rekomendasi Pemda dalam penyusunan rencana pengelolaan. Sedangkan dalam proses perencanaan jangka pendek masyarakat dan Pemerintah Daerah tidak terlibat. Di lain pihak, proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan daerah mempunyai mekanisme tersendiri dan pembangunan sektor kehutanan di daerah tidak termasuk penyelenggaraan pembangunan taman nasional karena pembangunan taman nasional bukan dalam kewenangan Pemerintah Daerah. Keadaan ini menyebabkan pengelolaan taman nasional kurang efektif karena koordinasi antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah merupakan kendala yang dirasakan oleh semua pihak. Partisipasi masyarakat juga masih dalam tahap penyampaian informasi yang masih terbatas penyebarannya sehingga masyarakat kurang memahami fungsi dan manfaat taman nasional. Hal ini mengakibatkan tingginya ketidak pedulian dan rendahnya dukungan masyarakat terhadap taman nasional.

Model KPTN dibangun untuk meningkatkan koordinasi dan kelemahan kebijakan yang sekarang dijumpai dalam pengelolaan taman nasional. Model ini memiliki tujuan untuk sinkronisasi dan integrasi kebijakan, perencanaan, dan program antara pengelola taman nasional dan Pemerintah Daerah dengan partisipasi para pihak. Model KPTN akan memperkuat hubungan kelembagaan pengelolaan taman nasional melalui pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional yang sekaligus menjembatani dan mewadahi partisipasi para pihak sebagai mitra. Kelompok Kerja (Pokja) ini merupakan antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, masyarakat

(16)

lokal, pelaku usaha, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat yang dapat menampung aspirasi dan menghasilkan konsensus dalam pengelolaan taman nasional. Pokja ini memiliki fungsi koordinatif konsultatif dan memberikan masukan dalam perencanaan dan evaluasi yang merekonsiliasi trade-off dan membangun sinergi melalui konsensus untuk:

1) mengkoordinasikan upaya-upaya konsevasi sumber daya hayati dan ekosistemnya secara partisipatif dan komplementer,

2) mengkoordinasikan pengembangan kegiatan ekonomi alternatif terkait dengan pemanfaatan sumber daya taman nasional,

3) pengembangan usaha mikro kecil dan koperasi yang bergerak dibidang usaha yang terkait dengan taman nasional,

4) penyusunan usulan penetapan prioritas pengelolaan taman nasional sesuai dengan daya dukung taman nasional maupun kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal, dan

5) pemberdayaan dan pengembangan kapasitas masyarakat lokal.

Sedangkan aspek pelaksanaan pemanfaatan sumber daya taman nasional untuk kesejahteraan masyarakat, pendapatan Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwadahi dalam bentuk BUMDes. Pembentukan BUMDes berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Inisiasi dan pembentukan BUMDes didasarkan atas aspirasi dan prakarsa masyarakat desa dengan prinsip kooperatif, partisipatif dan emansipatif. Pada intinya adalah BUMDes dimiliki, dipetik manfaat produktifnya dan dikelola oleh pemrakarsa.

Pembentukan BUMDes dimaksudkan untuk mendorong dan menampung kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi taman nasional, maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat melalui program Pemerintah dan pemerintah daerah yang lainnya. BUMDes juga merupakan sarana perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TNKS.

(17)

Gambar 35 Model Kelembagaan (Model KPTN)

Konsekuensi dari penerapan Model MTN dan Model KPTN lebih lanjut memerlukan perubahan mekanisme pendanaan. Kebijakan mekanisme pendanaan untuk implementasi kebijakan pengelolaan taman nasional diwujudkan dalam bentuk Model Pendanaan Taman Nasional (Model PTN) seperti disajikan pada Gambar 36.

(18)

Keterangan: usulan perubahan - - - koordinasi Badan Layanan Umum Taman Nasional Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional Kementerian Kehutanan APBN

Debt for Nature Swap (DNS)

Pemerintah Kabupaten Kementerian Keuangan APBN, DNS Dana perimbangan A P B D D u k u n g a n d a n a Dinas Teknis Pemerintah Propinsi D a n a p e ri m b a n g a n

Masyarakat Lokal dan Adat Lembaga Keuangan

Bank dan Non Bank Dana Penelitian

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)/ Koperasi

Usaha Mikro dan Kecil APBD/penguatan permodalan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) Iu ra n iji n u s a h a w is a ta Badan Usaha Menengah dan Besar

Kemitraan A P B D CSR Penguatan permodalan D a n a b e rg u lir Retribusi Perguruan Tinggi Im b a l ja s a lin g k u n g a n H ib a h CSR Pembiayaan usaha/kredit Industri Jasa Lingkungan Kredit Dana Kemitraan Pendapatan

Gambar 36 Model Pendanaan (Model PTN)

Balai Besar/Balai Taman Nasional (BBTN) memiliki kegiatan usaha pariwisata alam, potensi pengembangan imbal jasa lingkungan dan bioprospecting. Untuk keperluan fleksibilitas pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel maka salah satu alternatif yang memungkinkan adalah memberikan status Badan Layanan Umum (BLU). Status BLU bukan merupakan yang pertama di lingkungan Kementerian Kehutanan, walaupun status tersebut belum pernah ditetapkan untuk taman nasional. Usulan ini dapat dilakukan mengingat beberapa hal. Pertama, BBTN merupakan instansi Pemerintah yang

(19)

mengelola kawasan dan juga memberikan pelayanan, khususnya pelayanan jasa lingkungan kepada masyarakat. Dalam melakukan kegiatan pelayanan jasa BBTN seharusnya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Kedua, pengelolaan BBTN sudah bersifat semi otonom dan berperan sebagai pelaksana dari lembaga induknya, yaitu Departemen Kehutanan. Ketiga, penggalian sumber dana perlu ditingkatkan dan pengelolaan keuangan memerlukan fleksibilitas agar pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan. Keempat, penguatan kelembagaan Balai Besar/Balai Taman Nasional menjadi Badan Layanan Umum Taman Nasional (BLU-TN) diharapkan dapat mengatasi persoalan pemeliharaan melalui alokasi pemanfaatan dana hibah dalam pengelolaan taman nasional.

Landasan hukum BLU-TN adalah UU 01 Tahun 2004, Pasal 68 ayat 1, yang menyatakan bahwa Badan Layanan Umum dapat dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih spesifik lagi, PP 23 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa BLU merupakan instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan.

BLU-TN dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola pengelolaan keuangan BLU-TN merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat. Kekayaan BLU-TN merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya . Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan (Pasal 68 ayat 2), dalam hal ini Menteri Kehutanan.

BLU-TN akan menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan (UU 01 Tahun 2004, Pasal 69 ayat 1). Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Kehutanan. Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum sesuai

(20)

dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara dalam rencana kerja dan anggaran tahunannya dikonsolidasikan ke dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Kehutanan. Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara. Di samping itu, Badan Layanan Umum sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2005 dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain, termasuk dari organisasi luar negeri. Pendapatan ini dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum Taman Nasional sesuai dengan dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan yang merupakan Bendahara Umum Negara (BUN).

BLU-TN dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola pengelolaan keuangan BLU-TN merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat. Kekayaan BLU-TN merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya . Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan (Pasal 68 ayat 2), dalam hal ini Menteri Kehutanan.

BLU-TN akan menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan (UU 01 Tahun 2004, Pasal 69 ayat 1). Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Kehutanan. Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan anggaran tahunan dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Kehutanan. Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara. Di samping itu, Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain. Pendapatan ini dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum Taman Nasional.

(21)

Pengembangan model ini telah memperhatikan ketentuan dalam kebijakan otonomi daerah. Penentuan kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah, menurut Sofyar (2004) peranan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam model memiliki karakteristik sistem pemerintahan yang harus sesuai dengan tugas dan fungsinya. Tugas dan fungsi masing-masing pihak yang terkait dalam Model MTN, KPTN dan PTN (Tabel 26) , secara garis besar yaitu:

1) Pemerintah Kabupaten secara langsung berinteraksi dengan masyarakat sehingga peranannya lebih berorientasi pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan pengembangan infrastruktur serta mendukung penguatan dan pembinaan lembaga masyarakat dan pendayagunaan potensi kawasan dalam kabupaten.

2) Pemerintah Propinsi yang membawahi kawasan lintas kabupaten lebih berorientasi pada penguatan kelembagaan dan pendayagunaan potensi kawasan lintas kabupaten serta pemberian insentif terutama informasi yang terpadu dalam penataan kawasan ekonomi, penataan daya dukung lingkungan serta pasar regional.

3) Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya lebih berorientasi pada penciptaan dukungan kebijakan melalui penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang bersifat induk. Di samping itu, Pemerintah Pusat memberikan fasilitas dan pembinaan.

Alternatif kebijakan pengelolaan taman nasional yang dikembangkan berdasarkan Model MTN, Model KPTN dan Model PTN, secara keseluruhan model ini akan menghasilkan kebijakan dan program pengelolaan taman nasional untuk jangka menengah yang merupakan kebijakan strategis dan kebijakan operasional yang berupa perencanaan dan evaluasi program kegiatan tahunan. Kebijakan strategis dan operasional yang disusun merupakan kebijakan sinergi yang mengacu pada kebijakan pembangunan nasional, sektoral dan daerah. Keluaran dari kebijakan tersebut jika keseluruhan proses dilaksanakan sesuai dengan Model MTN bersama dengan Model KPTN dan Model PTN adalah terjaganya kesehatan ekosistem dan terpenuhinya peningkatan pendapatan masyarakat lokal melalui partisipasi masyarakat.

(22)

Tabel 26 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam Sistem Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah

(23)
(24)
(25)
(26)

6.3 Validasi Model

Validasi model dan perumusan alternatif kebijakan dilakukan berdasarkan tinjauan teoritis terhadap model dan studi komparatif terhadap asumsi-asumsi kebijakan yang setara dengan model pengelolaan taman nasional. Secara teoritis, model tersebut sesuai dengan proses pengembangan kebijakan dengan mengaplikasikan soft system methodology dan pendeketan intervensi sistem (Luckett & Grossenbacher 2003) serta inklusi stakeholder (Achterkamp & Vos 2007). Proses pengembangan kebijakan ini menghasilkan pemahaman lintas disiplin dengan lebih baik dan mengikut sertakan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat membangun kebijakan yang holistik.

(27)

Validasi Model MTN, KPTN dan PTN dilakukan dengan pendapat pakar melalui wawancara yang mendalam. Hasil validasi melalui pendapat pakar menunjukkan bahwa:

1) Model yang dikembangkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan pengelolaan taman nasional, namun perlu disesuaikan dengan kondisi dan respon Pemerintah Daerah, terutama terkait dengan dipenuhi atau tidaknya asumsi yang mendasari kebijakan.

2) Model yang dikembangkan tidak dapat menggambarkan kegiatan yang mungkin merusak sumbardaya alam hayati taman nasional akibat aktifitas perusahaan swasta besar, seperti perusahaan kehutanan, perkebunan dan pembalakan ilegal.

3) Bentuk lembaga antar muka antara pengelola taman nasional dan para pihak dapat berbentuk lain selain working group, tergantung dari kesepahaman antara pengelola dan para pihak.

4) Secara keseluruhan, sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat (TaNaBEM) sebagai upaya pengelolaan taman nasional untuk menjaga stabilitas kesehatan ekosistem dan tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat melalui partisipasi masyarakat dapat merepresentasikan kondisi yang diharapkan para pihak. Model MTN, Model KPTN dan Model PTN yang dibangun untuk meningkatkan koordinasi perencanaan dan evaluasi, sinkronisasi kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, memiliki kemampuan untuk menampung aspirasi masyarakat dan fleksibilitas pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntablel dapat diterima dan layak diimplementasikan.

Sedangkan validasi output model sistem dinamik dilakukan dengan uji statistik. Hasil uji validitas kinerja variabel jumlah penduduk AME=0.12, AVE=6.98, U-Theil=5.35, KF=0.5 dan DW=0.71 dan pendapatan masyarakat AME=8.03, AVE=9.65, U-Theil=6.06, KF=0.5 dan DW=0.74. Hasil ini menunjukkan bahwa model sistem dinamik menghasilkan kinerja yang sesuai dengan data.

(28)

6.4 Prospektif Dampak dan Implikasi Kebijakan

Simulasi kebijakan Sistem TaNaBEM yang dilakukan secara hipotetik berdasarkan diagram alir (Gambar 37) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, partisipasi dan stabilisasi kesehatan ekosistem (Gambar 38, 39 dan 40). Peningkatan alternatif mata pencaharian sebesar 20% melalui pemberian akses terbatas pemanfaatan tumbuhan, satwa liar dan wisata alam dapat meningkatkan penghasilan menjadi Rp.125 078 000.- pada tahun 2028. Pendapatan masyarakat meningkat 43% jika dibandingkan proyeksi sebelum penerapan kebijakan. Kebijakan peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan terbatas, khususnya pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar ini disimulasikan mulai tahun 2011 dengan pemanfaatan secara periodik 3 tahunan. Namun, kebijakan peningkatan akses pemanfaatan terbatas ini harus disertai peningkatan pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem taman nasional sebesar 30%. Peningkatan pendapatan dan pengetahuan menginisiasi peningkatan tingkat partisipasi menjadi tinggi dan pada saat yang sama kesehatan ekosistem dapat mempertahankan berada pada kondisi baik.

(29)

Laju_Pengurangan Fr_Penambahan_Pdd Laju_Partisipasi Partisipasi Fr_Rambah L_Degradasi_KE Fr_Pengetahuan P_Pendapatan Pendapatan_Masy Fr_Klahan L_KLahan Kepemilikan_Lahan Laju_Penambahan Laju_Investasi Jumlah_Investasi Fr_Investasi Jumlah_UMKM Laju_UMKM Fr_UMKK L_Alternatif_MP Fr_Alternatif_MP L_Rehab_Hutan Ls_Rehabilitasi Fr_Rehab_Hutan Fr_Kerusakan L_Kerusakan Perambahan Luas_Kerusakan_TN L_Perbaikan Fr_Partisipasi Jumlah_Penddk Fr_Pengurangan_Pdd Laju_Tumbuh_Neto Laju_Tumb_KK Penyerapan_TK Ls_Rehabilitasi Fr_Serap_LB Fr_Serap_Rehab Fr_DKE Pengetahuan Reboisasi Fr_Perbaikan L_Keb_Lahan Fr_JKK Fr_Keb_Lahan Fr_KTN Kes_Ekosistem L_Peningkatan_KE Fr_Tingkat_KE L_Dana_Pengamanan L_Kurang_DP Fr_KDP Dana_Pengamanan Fr_Dana_Kelola Fr_Manfaat Pengamanan_TN Pengamanan_TN Manfaat Kbth_Lahan_Bud Kbth_Lahan_Bud P_Kerusakan_TN L_Pendapatan Pendapatan_Masy M_Penc_Alternatif Fr_JMP_Alternatif

(30)

Gambar 38 Proyeksi tingkat pendapatan masyarakat setelah kebijakan

Gambar 39 Proyeksi tingkat partisipasi setelah kebijakan

(31)

Kebijakan pengelolaan taman nasional dengan Sistem TaNaBEM memungkinkan peningkatan manfaat taman nasional bagi masyarakat secara langsung tanpa mengorbankan tujuan konservasi. Namun, implementasi Model MTN, KPTN dan PTN hanya dapat dilaksanakan secara efektif jika didukung oleh peraturan dan kebijakan daerah yang tepat. Pada tingkat nasional, peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan taman nasional telah ditetapkan melalui berbagai peraturan antara lain Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19 tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Di samping itu, peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pemerintahan sudah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian implikasi kebijakannya di tingkat pusat bertugas untuk mewujudkan kondisi yang memungkinkan bagi pemberdayaan masyarakat dan terpeliharanya ekosistem melalui inisiatif terhadap pengembangan dan penyempurnaan peraturan perundangan serta penyediaan fasilitas.

Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional sebagai antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi dan masyarakat lokal yang memiliki fungsi koordinatif yang merekonsiliasi trade-off dan membangun sinergi melalui konsensus.

Penetapan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Pokja ini merupakan wadah koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten, wakil UPT Taman Nasional, wakil pemanfaat taman nasional,

(32)

wakil masyarakat umum dan akademisi. Pokja ini merupakan organisasi non struktural yang melaporkan kegiatannya kepada BLU-TN, Gubernur dan Bupati untuk membantu tugas-tugas dalam mengkoordinasikan pengembangan manfaat taman nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kabupaten. Mandat yang diberikan kepada Kelompok Kerja sebaiknya diarahkan pada tugas dan fungsi:

1) memberikan masukan kebijakan operasional untuk memelihara dan meningkatkan manfaat taman nasional bagi masyarakat,

2) merumuskan masukan rencana yang sinergis pengembangan ekonomi masyarakat sekitar taman nasional,

3) merekomendasikan prioritas alokasi dana sektoral untuk mendukung terpeliharanya sumber daya taman nasional,

4) memberikan masukan perumusan rencana tahunan dan lima tahunan pengelolaan taman nasional, dan

5) memberikan masukan untuk pemberian ijin pemanfaatan taman nasional, serta 6) melaporkan hasil kegiatan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur dan Bupati.

Penetapan status BLU Taman Nasional ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Perubahan status menjadi BLU dan sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat memerlukan penyesuaian struktur organisasi pengelola. Perubahan status BLU berimplikasi pada perlunya perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Taman nasional saat ini secara teknis dibawah pengelolaan Ditjen PHKA, maka kalau status berubah menjadi BLU, pengelolaan sebaiknya berada di bawah koordinasi Menteri Kehutanan karena fungsinya lintas Ditjen dan juga memerlukan penanganan khusus dari aspek keuangan dan perencanaan yang terkait dengan fungsi Setjen Kementerian Kehutanan. Sehingga BLU Badan Pengelola Taman Nasional bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehutanan yang secara teknis dibina oleh Direktur Jenderal PHKA dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan. Perubahan struktur pengelola TNKS ini diperlukan juga untuk mewadahi pengembangan potensi sumber-sumber pendanaan alternatif dari

(33)

pemanfaatan sumber daya taman nasional yang terencana dan dengan resiko yang terkelola serta pengelolaan keuangan yang efisien dan produktif.

Sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat memerlukan pengelola yang sifatnya multidisplin dan profesional. Karakteristik multidisiplin ini diperlukan untuk dapat mengaitkan pengelolaan taman nasional dengan kawasan sekitarnya dan mampu melibatkan serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Karakteristik pengelola yang multidisplin ini diharapkan akan membantu mewujudkan keseimbangan yang dinamis antara kepentingan konservasi dan pemanfaatan taman nasional secara ekonomi untuk masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Sedangkan profesionalitas pengelola diperlukan agar pengelolaan taman nasional dapat dilaksanakan secara lebih efektif, efisien, transparan dan bertanggung jawab. Untuk lebih meningkatkan profesionalitas maka pengelolaan taman nasional dilaksanakan dengan berbasis kinerja operasional dan keuangan serta perekrutan personalia pengelola didasarkan atas kemampuan. Personalia pengelolanya dapat direkrut baik dari kalangan pegawai negeri sipil maupun non-pegawai negeri sipil yang profesional sesuai dengan ketentuan PP 23 tahun 2005 Pasal 33. Di samping itu, untuk memberikan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan maka struktur organisasi BLU Badan Pengelola Taman Nasional seyogyanya bersifat profesional non eselon.

Di tingkat propinsi bertugas untuk mengembangkan pelatihan-pelatihan pembangunan kapasitas untuk meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem dan melakukan koordinasi lintas kabupaten dalam upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem,

Di tingkat kabupaten bertugas untuk menetapkan kawasan-kawasan prioritas pengembangan masyarakat, mengembangkan penerapan partisipasi masyarakat dan mengembangkan pendidikan lingkungan dan pelatihan teknis. Pemerintah Kabupaten memprakarsai pembentukan BUMDes melalui penetapan Peraturan Daerah Kabupaten sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Pasal 78 sampai dengan 81.

(34)

Gambar 41 Bagan organisasi hipotetik BLU Badan Pengelola TNKS

Melalui studi komparatif pada organisasi pengelola Lembaga Penjamin Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Lampiran 14) dan mempelajari organisasi yang terdapat pada BLU Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan Kementerian Kehutanan (Lampiran 15) maka secara hipotetik dapat diusulkan bagan organisasi BLU Badan Pengelola TNKS (Gambar 41) yang masih memerlukan pendalaman fungsi dan struktur lebih lanjut. Untuk menindaklanjuti kelayakan terhadap bagan organisasi hipotetik tersebut dapat dilakukan Kementerian Kehutanan dan Keuangan sebagai pengambil kebijakan terkait penetapan BLU. Apabila BLU Badan Pengelola TNKS dapat direalisasikan maka konsep kelembagaan tersebut dapat diterapkan pada taman nasional yang lainnya.

Gambar

Gambar 30 Sistem manajemen lingkungan pengelolaan taman nasional
Gambar 31 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007)
Gambar 32 Prioritas kebijakan pengelolaan taman nasional
Gambar 33 Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tungau parasit ini berperan penting dalam penularan penyakit scrub typhus (demam semak).Tujuan penelitian adalah mengetahui jenis tungau trombikulid dan inang,

Berdasarkan pengujian dan analisa yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa model sistem Pembangkit Listrik Tenaga Angin dengan kondensator sinkron berparameter sistem eksitasi

Troubleshooter yang baik akan melakukan hal yang mudah terlebih dahulu, misalnya ada masalah pada Video dan bukan pada software maka ada empat hal yang harus diperiksa:

Melalui seperangkat penalaran untuk menekankan pada plot ketiga ini bahwa beberapa dakwah Islam yang dapat diambil dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,

Bagian pertama tulisan ini memperkenalkan bentuk persamaan ruang keadaan waktu diskrit dan kontinu, baik yang time varying maupun time invariant, kemudian dibahas

Dalam naskah Petung diajarkan pula agar manusia jangan sampai sombong meskipun telah memperoleh hal yang begitu diinginkan, merasa memiliki lebih dari orang lain

Berdasarkan hasil penelitian gambaran universal precaution oleh perawat dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Ambarawa dapat disimpulkan bahwa dalam

bahwa pada kenyataan meskipun batas waktu yang telah ditetapkan berakhir dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun