• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Workplace Well-being dan Work Locus of Control Pada Karyawan Perusahaan Manufaktur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Antara Workplace Well-being dan Work Locus of Control Pada Karyawan Perusahaan Manufaktur"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Antara Workplace Well-being dan Work Locus

of Control Pada Karyawan Perusahaan Manufaktur

Restika

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Bertina Sjabadhyni

Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Abstract

This study focus on the relationship between workplace well-being and work locus of control on manufacture employees which produce oil. Workplace well-being is defined as a sense of well-being derived from the work of their employees, which is associated with feelings of general employees (core affect) and the intrinsic and extrinsic value of work (Page, 2005), measured through the Workplace Well-being Index (WWBI). Work locus of control is an individual's belief about the job that is controlled by the actions or behavior of the individual (internal) or causes beyond the influence of the individual (external) (Spector, 1988), was measured by gauges Work Locus of Control Scale (WLCS). The sample in this study included 133 employees at PT. X, using accidental sampling. The results show that there is a significant relationship between workplace wellbeing with work locus of control on the manufacturing company's employees (r = 0.558, p <0.01, two-tailed).

Keywords : workplace wellbeing, work locus of control, manufacture employees.

Perubahan teknologi, globalisasi serta persaingan yang semakin pesat dalam setiap bidang perindustrian dan organisasi, membuat organisasi tidak cukup jika hanya mengandalkan produk yang berkualitas dan diminati para konsumen. Organisasi juga membutuhkan sumber daya manusia yang bermutu serta produktif bagi organisasi dalam menghadapi perubahan. Perubahan ini berkaitan dengan beberapa isyu, seperti meningkatnya ketergantungan ekonomi antar negara,

(2)

perubahan pasar konsumen secara cepat, dan tingginya tuntutan akan fleksibilitas di dalam maupun antar perusahaan (Sverke, Hellgren & Naswall, 2006). Untuk dapat mencapai keberhasilan serta memiliki sumber daya manusia yang bermutu, salah satu cara bagi organisasi untuk ‘menjaga’ sumber daya manusia yang penting bagi organisasi adalah dengan menciptakan kesejahteraan karyawan di tempat kerja.

Employee well-being dapat menimbulkan kepuasan pada pekerjaan, kesetiaan

terhadap tempat kerja, komitmen, tingkat turnover yang rendah dan juga motivasi pada karyawan. Oleh karena itu kesejahteraan karyawan merupakan hal yang penting bagi organisasi karena organisasi telah menghabiskan sumber daya yang substansial dalam hiring, training, developing, dan juga dalam memotivasi karyawan untuk tetap bekerja di organisasi tersebut (Thiruchelvi dan Supriya, 2012).

Workplace well-being menurut Page (2005) didefinisikan sebagai rasa

sejahtera yang diperoleh karyawan dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core effect) dan nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaaan (work values). Menurut Page (2005) pekerja yang memiliki

well-being yang tinggi adalah pekerja yang berada dalam kondisi emosi positif sehingga

membuat pekerja menjadi lebih bahagia dan lebih produktif. Namun sebaliknya, pada pekerja yang berada pada lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak menyejahterakan pekerja, maka pekerja bisa menjadi kurang produktif, kurang mampu mengambil keputusan yang baik dan memiliki kemungkinan untuk mangkir dari pekerjaannya (Boyd, dalam Dana & Griffin, 1999).

Terdapat beberapa aspek yang dapat memengaruhi workplace well-being pekerja, antara lain: job demands, job security, job characteristics, perceived

organizational support, managerial style dan locus of control. (Spector et al, 2002;

Gilbreath & Benson, 2004; Pannacio & Genberghe, 2009; Sparks, Faragher & Cooper, 2001). Menurut Spector, Cooper, Sanchez, O’Driscoll, & Sparks (2002), salah satu variabel kepribadian yang memengaruhi kesejahteraan di tempat kerja yaitu locus of control. Locus of control merupakan salah satu faktor kepribadian yang penting untuk diteliti karena locus of control merupakan variabel kepribadian yang

(3)

terbukti berkorelasi secara signifikan dengan beberapa variabel pekerjaan seperti kepuasan kerja dan kesejahteraan di tempat kerja.

Locus of control merupakan konstruk kepribadian yang merefleksikan sebuah

kepercayaan atau persepsi tentang siapa yang mengontrol hidup dan lingkungan individu (April, Dharani & Peters 2012). Locus of control merupakan kepercayaan individu tersebut sukses atau gagal, merupakan hasil dari kontrol dan perilaku individu itu sendiri (internal) atau keberhasilan, kegagalan dan segala yang terjadi padanya disebabkan karena adanya kesempatan, keberuntungan atau nasib (eksternal) (Spektor, 1988). Seseorang yang memiliki locus of control internal maka ia menerima keberhasilan dan kegagalan, berdasarkan karena usaha dan kemampuannya sendiri untuk mencapai hasil dan ia bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Seseorang yang memiliki locus of control eksternal adalah seseorang yang meraih segala hasil dalam hidupnya didapatkan dari keberuntungan, kesempatan dan takdir dalam menentukan hidupnya dan kesalahan serta keberhasilan bukan karena usaha dirinya sendiri (Hsu, 2011).

Work locus of control merupakan kepercayaan individu tentang pekerjaan

(seperti gaji, promosi) yang dikontrol oleh tindakan atau perilaku individu (internal) ataupun dari sebab di luar pengaruh individu itu sendiri (eksternal) (Spector 1988).

Locus of control eksternal pada seseorang ditunjukkan untuk masalah apapun yang ia

hadapi merupakan penyebab eksternal. Locus of control internal pada seseorang ditunjukkan dengan apapun masalah yang dihadapi, ia harus mampu memberikan hasil terbaik dari kemampuan dirinya sendiri. Sikap ini menyatakan keyakinan bahwa individu mampu mengerahkan kontrol atas stres yang ia rasakan dengan memberikan makna dan menginterpretasi setiap masalah yang ia hadapi (Scheier, 2006 dalam Thiruchelvi dan Supriya, 2012). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa locus of

control terbagi menjadi dua, yaitu locus of control internal dan locus of control

eksternal. Individu yang memiliki locus of control internal meyakini bahwa apa yang terjadi dalam kehidupannya disebabkan karena faktor-faktor yang ada dalam dirinya sendiri, baik dan buruk adalah tanggung jawab dirinya sendiri. Sedangkan locus of

(4)

kegagalan diakibatkan faktor diluar dirinya, seperti nasib, kesempatan, atau keberuntungan berasal dari kekuatan di luar dirinya (action of other).

Penelitian ini dilakukan karena topik penelitian ini, yaitu mengenai hubungan antara workplace well-being dan work locus of control belum pernah diteliti di Indonesia, maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di Indonesia, khususnya pada karyawan perusahaan manufaktur. Kemudian bidang industri memiliki kompleksitas dan ragam posisi pada pekerjaanya. Oleh karena itu, industri manufaktur dituntut untuk selalu mencapai target produksi (Anggriawan, 2012). Perusahaan manufaktur adalah perusahaan yang menjual produknya yang dimulai dengan proses produksi yang tidak terputus dari pembelian bahan baku dilanjutkan dengan proses pengolahan bahan baku sampai menjadi produk yang siap dan dijual dilakukan sendiri oleh perusahaan tersebut (Toni, 2012). Hal ini mengakibatkan tuntutan kerja yang tinggi pada karyawan perusahaan manufaktur. Kecenderungan

locus of control pada individu dapat menentukan individu tersebut mudah atau sulit

dalam beradaptasi dengan tempat kerja yang penuh dengan tekanan.

Meningkatkan kecenderungan locus of control internal pada individu dapat membuat individu mudah beradaptasi dengan tempat kerja yang penuh tekanan, sehingga individu lebih mampu untuk mengenali serta bertindak pada permasalahan yang sedang ia hadapi (Kreitner & Kinicki, 2004). Lalu tuntutan pekerjaan yang spesifik pada karyawan perusahaan manufaktur membuat peneliti berasumsi bahwa tuntutan kerja yang spesifik tersebut juga dapat mempengaruhi kesejahteraan karyawan di tempat kerja. Kemudian menurut Chadha (1998 dalam Jain, Giga & Cooper, 2009) sektor manufaktur akan melalui periode perubahan organisasi yang cepat melalui restrukturisasi dan downsizing untuk tetap dapat bersaing dalam tantangan globalisasi. Hal ini dapat berdampak pada kesejahteraan karyawan yang akan berakibat pada komitmen, performa, serta kepuasan pekerja terhadap pekerjaan dan organisasi.

Rumusan permasalahan penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara

workplace well-being dan work locus of control pada karyawan perusahaan

(5)

Tinjauan Pustaka

Kesejahteraan pekerja di tempat kerja (Workplace well-being) Definisi workplace well-being menurut Page (2005), yaitu :

“the sense of well-being that employees gain from their work. It is conceptualized as core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic work values”.

Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa workplace

well-being merupakan perasaan sejahtera yang dirasakan oleh pegawai dari pekerjaan

mereka. Hal tersebut terkait dengan perasaan pegawai secara umum terhadap tempat kerjanya (core affect) dan kepuasan terhadap nilai intrinsik maupun ekstrinsik suatu pekerjaan (work values). Workplace well-being terdiri dari kepuasan kerja (job

satisfaction) dan afek (perasaan). Kepuasan kerja merupakan bentuk evaluasi kognitif

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, sedangkan afek merupakan perasaan individu terhadap pekerjaan yang merupakan hasil dari evaluasi afektif (emosional). Core affect merupakan keadaan dimana terdapat perasaan nyaman dan tidak nyaman serta adanya dorongan yang dapat mempengaruhi aktivitas seseorang (Russel, 2003 dalam Page 2005). Page (2005) mengemukakan bahwa core affect tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap jawaban yang diberikan responden ketika ditanya mengenai kepuasan terhadap pekerjaan mereka. Pertanyaan untuk melihat core affect merupakan pertanyaan yang bersifat general dan abstrak (Tversky dan Kahneman, 1974 dalam Page, 2005).

Work Locus of Control

Work locus of control merupakan kepercayaan individu tentang pekerjaan

(seperti gaji, promosi) yang dikontrol oleh tindakan atau perilaku individu (internal) ataupun dari sebab di luar pengaruh individu itu sendiri (eksternal) (Spector 1988). Kemudian terdapat dua orientasi locus of control, yaitu locus of control internal dan

locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal cenderung untuk

menerima setiap kejadian atau peristiwa dalam hidupnya dikendalikan oleh dirinya sendiri, sedangkan individu dengan locus of control eksternal cenderung menerima

(6)

setiap kejadian atau peristiwa dalam hidupnya dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya (Hurrel & Murphy, dalam Cooper & Payne, 1991).

Lefcourt (dalam Robinson, Shaver, & Wrightsman, 1991) juga menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan bertipe mutlak internal atau eksternal. Dengan demikian, individu yang satu dapat dikatakan memiliki kecenderungan locus of

control internal, sedangkan individu yang lain memiliki kecenderungan locus of control eksternal. Oleh karena itu, konsep ini hanya merupakan sebuah

kecenderungan perilaku seseorang, sebab banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam sebuah situasi (Phares, dalam London & Exner, 1978).

Perusahaan Manufaktur

Perusahaan manufaktur adalah sekumpulan bangunan industri yang memiliki beberapa bangunan, serta memproduksi barang dengan pekerja yang mengoperasikan mesin pengolahan dari satu produk ke produk lain. Kebanyakan manufaktur modern memiliki gudang besar seperti fasilitas yang berisi peralatan berat yang digunakan untuk lini perakitan dan produksi (anneahira.com, 2010). Kemudian menurut International Labor Organization (ILO) dalam kompasiana.com (2012) tenaga kerja adalah orang diatas umur tertentu yang bekerja, baik dibayar atau memiliki usaha dalam satu periode tertentu bisa satu hari atau satu minggu. Karyawan merupakan individu yang diterima oleh pemimpin organisasi untuk mengerjakan pekerjaan yang spesifik.

Dinamika antara Workplace well-being dan Work locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur.

Spector (2002) menjelaskan bahwa locus of control internal lebih mempengaruhi well-being karyawan karena karyawan mengarahkan pekerjaannya serta kontrol dari dirinya sendiri dan mereka puas dengan pekerjaan mereka. Thiruchelvi dan Supriya (2012) juga menjelaskan bahwa individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal maka individu tersebut akan memiliki

(7)

memiliki kecenderungan locus of control eksternal maka individu tersebut cenderung memiliki workplace well-being yang rendah. Dari beberapa hasil penelitian tersebut, maka peneliti berasumsi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara workplace

well-being dan work locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur.

Hipotesis Penelitian

Ha = Terdapat hubungan positif dan signifikan antara workplace well-being dan work

locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur.

H0 = Tidak terdapat hubungan positif dan signifikan antara workplace well-being dan

work locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur.

Metode Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini merupakan karyawan tetap di perusahaan di tempatnya bekerja. Peneliti berasumsi bahwa karyawan tetap suatu perusahaan akan memiliki rasa sejahtera yang lebih baik daripada karyawan yang tidak tetap. Karena karyawan tetap diberikan tunjangan, kesempatan naik jabatan dan fasilitas yang berbeda dengan karyawan yang tidak tetap. Kemudian usia 15-64 tahun. Usia partisipan yang menjadi penelitian ini adalah usia 15-64 tahun. Hal ini mengacu pada tahapan karir yang dikemukakan oleh Dessler (2008). Karyawan juga memiliki pengalaman kerja minimal selama 1 tahun. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa tenaga kerja yang telah bekerja selama satu tahun telah memiliki interaksi dengan lingkungan kerjanya, memahami tugas, kondisi kerja dan memiliki perpsepsi serta interpretasi mengenai lingkungan kerjanya tersebut. Partisipan juga berpendidikan minimal SMU atau sederajat. Peneliti berasumsi bahwa pekerja yang telah mengikuti pendidikan minimal SMU atau sederajat akan lebih mudah untuk memahami setiap item pernyataan yang diberikan dalam skala sikap untuknya. Selain itu sebagai kontrol untuk memastikan bahwa partisipan memiliki kemampuan membaca dan menulis dengan baik sehingga dapat memahami isi dari skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini.

(8)

Alat ukur Workplace well-being

Alat ukur workplace well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang dibuat oleh Page (2005) yaitu Workplace Well-being Index (WWBI). Kemudian alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini sudah diadaptasi oleh Dewi Wening Sawitri tahun 2013 pada pekerja pabrik. Alat ukur ini memiliki 14 item yang mengukur core affect, serta dimensi intrinsik dan ekstrinsik dalam workplace

well-being dengan realibilitas sebesar 0,793 dengan validitas diatas 0,02. Kemudian

peneliti menghitung kembali realibilitas dan validitas alat ukur workplace well-being

index ini setelah mengumpulkan data penelitian kepada 144 partisipan. Lalu

didapatkan hasil realibilitas sebesar 0,830 dengan validitas masing-masing item diatas 0,02. Hal ini menunjukan peningkatan skor realibilitas pada alat ukur workplace

well-being index. Menurut Kaplan & Sacuzzo (2005) nilai realibilitas yang baik bagi

penelitian adalah 0,7 sampai 0,8.

Alat ukur Work Locus of Control

Alat ukur locus of control yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang dibuat oleh Spector (1988) yaitu The work locus of control scale (WLCS). Kemudian alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang sudah diadaptasi oleh Yuniati Fatima pada tahun 2011 pada karyawan. Alat ukur The Work

Locus of Control ini terdiri dari 10 item, yang mengukur dua faktor dari locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal dengan

realibilitas sebesar 0,653 dengan validitas diatas 0,02. Peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur ini karena nilai realibilitas yang hampir berada pada batas bawah realibilitas sebesar 0,5 atau 0,6 masih dapat diterima atau digunakan (Kerlinger & Lee, 2000). Kemudian peneliti menghitung kembali realibilitas dan validitas alat ukur work locus of control scale ini setelah mengumpulkan data penelitian kepada 144 partisipan. Lalu didapatkan hasil realibilitas sebesar 0,773 dengan validitas masing-masing item diatas 0,02. Sama halnya dengan alat ukur

workplace well-being index, alat ukur work locus of control scale ini juga

(9)

Metode Analisis Data

Dalam mengolah data, peneliti melakukan penghitungan statistika dengan menggunakan SPSS versi 16.00. Teknik statistika yang digunakan antara lain :

1. Statistika deskriptif

Metode ini digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai karakteristik dari sampel penelitian berdasarkan nilai rata-rata (mean), frekuensi, dan persentase dari skor yang didapatkan.

2. Pearson correlation

Pearson correlation digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara

variabel workplace well-being dan work locus of control

Hasil Penelitian

Gambaran Karakteristik Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perusahaan manufaktur yang memproduksi oli dan pengolahan oli. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 133 orang. Awalnya, peneliti menyebarkan skala sikap untuk 150 orang karyawan, kemudian dari seluruh skala sikap tersebut hanya dari 144 partisipan yang kembali. Kemudian terdapat skala sikap yang tidak diisi secara lengkap oleh partisipan, seperti tidak mengisi identitas dan ada partisipan yang tidak mengisi item-item pada salah satu bagian dari skala sikap. Akhirnya skala sikap yang dapat diolah dalam penelitian ini yaitu dari 133 partisipan.

Gambaran karakteristik partisipan penelitian yang akan dibahas pada bagian ini antara lain, jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir dan lama bekerja. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 104 orang karyawan laki-laki dan 29 orang karyawan perempuan. Semua partisipan pada penelitian ini merupakan pegawai tetap di perusahaan tersebut.

(10)

Karakteristik Data N Persentase

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 104 29 78% 22% Usia < 25 tahun 25 - 44 tahun > 44 tahun 5 101 27 3,7% 75,9% 20,3% Tingkat Pendidikan SMA D1 D3 S1 S2 47 5 18 60 3 35,3% 3,8% 13,5% 45,1% 2,3%

Lama bekerja 1 - 5 tahun 36 27,1%

6 - 10 tahun 34 25,6%

11 - 15 tahun 23 17,3%

Berdasarkan data partisipan penelitian diatas, dapat dilihat bahwa sebanyak 78% partisipan adalah laki-laki dan 22% adalah partisipan perempuan. Kategorisasi usia pada penelitian ini didasarkan pada tahapan karir menurut Dessler (2008), dimana usia partisipan mayoritas berada di usia 25 tahun sampai 44 tahun, yaitu sebanyak 101 orang (75,9%). Berdasarkan tingkat pendidikan, kebanyakan partisipan dalam penelitian ini adalah lulusan Strata Satu (S1), yaitu sebanyak 60 orang (45,1%). Kebanyakan karyawan pada perusahaan tersebut telah bekerja selama rentang waktu lebih dari 16 tahun, yaitu sebanyak 60 orang (30,1%).

Hasil utama dari penelitian ini adalah pembuktian mengenai hubungan antara

work locus of control dengan workplace well-being. Hal tersebut diperiksa dengan

(11)

skor dari workplace well-being. Teknik statistika yang digunakan dalam memeriksa korelasi tersebut adalah dengan menggunakan Pearson Product Moment. Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan koefisien korelasi sebesar r = 0,558 (p < 0,01). Hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara work locus of

control dengan workplace well-being pada L.o.S 0,01.

Dengan demikian, hipotesis null (Ho) penelitian ini ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) diterima, yaitu semakin tinggi kecenderungan work locus of control internal pada individu maka semakin tinggi pula workplace well-being-nya. Nilai r2 = 0,31 yang dapat diartikan bahwa sebesar 31% dari total varians work locus of control dapat diatribusikan pada workplace well-being, sedangkan 69% varians lainnya dapat disebabkan oleh faktor-faktor lainnya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data pada penelitian ini, didapatkan hasil utama penelitian, yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara

workplace well-being dan work locus of control pada karyawan perusahaan

manufaktur. Dengan demikian, semakin internal orientasi locus of control, maka semakin tinggi pula workplace well-being pada karyawan perusahaan manufaktur. Begitu pula sebaliknya, semakin eksternal orientasi locus of control, maka semakin rendah tingkat workplace well-being pada karyawan perusahaan manufaktur. Selain melihat hubungan antara workplace well-being dan work locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur, peneliti juga melakukan beberapa analisis tambahan.

Pada analisis tambahan, peneliti melihat gambaran masing-masing variabel yang diperoleh dari partisipan. Hasil tersebut menunjukan bahwa nilai workplace

well-being pada sebagian besar karyawan berada pada kategori sedang. Hal ini

menunjukan bahwa sebagian besar karyawan yang menjadi partisipan dalam penelitian ini merasa kesejahteraan di tempat kerjanya sudah cukup baik. Jika dilihat dari masing-masing faktor dan aspeknya, perasaan terhadap pekerjaan secara umum (core affect), mayoritas partisipan berada pada kategori agak setuju sampai setuju.

(12)

Faktor intrinsik pada workplace well-being memperoleh nilai mean yang lebih tinggi dibandingkan dengan faktor ekstrinsik. Dilihat dari aspek-aspek yang berada di dalam

workplace well-being, aspek makna kerja pada faktor intrinsik memiliki nilai yang

paling tinggi dibandingkan dengan aspek lainnya yang ada di dalam faktor intrinsik. Pada faktor ekstrinsik, aspek yang memiliki nilai mean tertinggi adalah peluang promosi.

Kemudian mayoritas partisipan dalam penelitian ini memiliki orientasi locus

of control internal. Berdasarkan data demografis, diketahui bahwa usia dan lama

bekerja memiliki perbedaan yang signifikan terhadap workplace well-being, sedangkan pada work locus of control, tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan serta lama kerja.

Diskusi.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara workplace well-being dan work

locus of control pada karyawan. Hal ini menunjukan bahwa semakin internal

kecenderungan locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur maka semakin tinggi pula tingkat workplace well-being-nya.Semakin eksternal kecenderungan locus

of control pada karyawan perusahaan manufaktur maka semakin rendah pula tingkat workplace well-being-nya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Spector (2002), bahwa terdapat hubungan antara locus of control dan workplace

well-being, dimana individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal

memiliki workplace well-being yang lebih tinggi dibandingkan individu yang memiliki kecenderungan locus of control eksternal.

Adanya hubungan yang signifikan tersebut karena seseorang dengan kecenderungan locus of control internal percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya dipengaruhi oleh faktor yang ada di dalam dirinya. Individu yang memiliki locus of control internal merasa bahwa mereka bertanggung jawab atas kejadian hidup dan mereka merasa sehat secara emosional. Well-being dipengaruhi oleh cara bagaimana seseorang mendekati kehidupan (Cantor & Sanderson, 1999).

(13)

Selain itu, menurut Locke (dalam Kain, Giga dan Cooper, 2008) individu dengan kecenderungan locus of control internal adalah agen aktif dalam memilih dan mengasah situasi, sehingga ia akan berusaha untuk mencapai lingkungan kerja yang menyenangkan dan mencari pengalaman yang bervariasi. Sedangkan pada individu yang memiliki locus of control eksternal, ia merasa rendahnya kekuatannya untuk mengontrol kehidupannya karena yang berperan untuk mengatur hidup mereka adalah takdir atau keberuntungan. Mereka menjalani kehidupan dengan pasif, dan kepasifan serta perasaan tidak mampu tersebut dilakukan untuk mengurangi rasa stres dalam kehidupan mereka sehingga berefek pada well-being secara negatif (Thiruchelvi dan Supriya, 2012).

Saran

Saran Metodologis

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut :

1. Dalam proses administrasi alat ukur, sebaiknya peneliti juga menunggu hingga pengisian skala sikap selesai diisi oleh partisipan saat itu. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengisian skala sikap yang tidak sesuai atau tidak sempurna. Selain itu dengan kehadiran peneliti, partisipan bisa bertanya langsung jika partisipan menemukan kesulitan saat mengisi skala sikap. 2. Untuk penelitian selanjutnya mengenai workplace wellbeing dan work locus

of control, sebaiknya dilakukan pada perusahaan yang bergerak di bidang

yang lain, agar penelitian lebih bervariatif dan bisa lebih mendalam.

3. Metode pengambilan data sebaiknya tidak hanya melalui skala sikap, namun juga disertai dengan observasi dan wawancara pada partisipan. Hal ini berguna untuk menambah informasi bagi peneliti dalam menganalisis hasil penelitian sehingga hasil analisis penelitian dapat lebih kaya dan sesuai dengan konteks populasi partisipan.

(14)

4. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya alat ukur Work Locus of Control

Scale (WLCS) dilakukan try out kembali. Hal ini dikarenakan cukup

banyaknya item yang dihapus pada try out sebelumnya, yang mengakibatkan sedikitnya item yang mengukur locus of control partisipan.

5.3.2 Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian, berikut ini merupakan saran-saran praktis yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam memperhatikan work locus of control maupun workplace well-being pada karyawan :

1. Perusahaan sebaiknya memperhatikan work locus of control sebagai variabel kepribadian yang juga penting diketahui implikasinya terhadap pekerjaan karyawan sehingga dapat dijadikan acuan dalam meningkatkan performa dan kesejahteraan di tempat kerja karyawan.

2. Perusahaan dapat melakukan training untuk membangun kepercayaan karyawan terhadap locus of control internal yang mereka miliki, serta menetapkan kinerja yang tepat dan imbalan yang sesuai dengan performance yang dihasilkan karyawan.

3. Sebaiknya perusahaan memperhatikan aspek-aspek yang terdapat dalam pekerjaan, khususnya pada faktor intrinsik, karena faktor intrinsik lebih berpengaruh pada kesejateraan di tempat kerja dibandingkan dengan faktor ekstrinsik. Perusahaan dapat melakukan hal seperti meningkatkan pemberian kesempatan kepada karyawan untuk melakukan pekerjaannya secara mandiri, memberikan apresiasi terhadap hasil kerja yang baik dari karyawan, serta meningkatkan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam pekerjaan. 4. Dari hasil penelitian, diketahui aspek perasaan berprestasi dalam bekerja pada

partisipan mendapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan aspek lainnya. Oleh karena itu, perusahaan disarankan untuk memberikan penghargaan atau apresiasi pada karyawan yang telah bekerja dengan baik, baik secara materil maupun non materil (penghargaan dengan perlakuan positif atau simbol adanya penghargaan bagi partisipan).

(15)

5. Aspek atasan juga memiliki nilai terendah dari faktor ekstrinsik pada partisipan. Atasan memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan, karena atasan merupakan agen yang merepresentasikan peran perusahaan terhadap karyawannya. Oleh karena itu, perusahaan hendaknya mendorong atasan agar lebih mendukung bawahannya. Dan sebaiknya atasan juga dapat membuat bawahanya merasa dihargai dan termotivasi dalam melakukan pekerjaannya.

(16)

Daftar Pustaka

April, K. A., Dharani, B., & Peters, K. (2012). Impact of locus of control expectancy on level of well-being. Review of European Studies, 4, 124-137.

Anggriawan, D.A. (2012). Hubungan antara leader member exchange dan kepuasan kerja pada karyawan bagian operasional PT. Krakatau Steel (PERSERO) Tbk. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Cantor, N., & Sanderson, C.A. (1999). Life task participation and well-being : The importance of taking part in daily life. Well-being : The foundations of hedonic

psychology, 230-243.

Cooper, C.L & Payne, R.L. (1991). Personality and Stress: Individual Differences in

the Stress Process. New Jersey: John Wiley & Sons.

Dana, K., & Griffin, R.W. (1999). Health and well-being in the workplace : A review and synthesis of the literature. Journal of management, 25, 357-384.

Fatima, Y. (2011). Hubungan antara employee engagement dengan work locus of control dan self efficacy pada karyawan. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Ecogreen, I.E. (2009). Sumber daya manusia. Retrieved by http://jiep.co.id/?page_id=836.

Dessler, G. (2008). Human resources management (11th Ed). New Jersey : Pearson

Gilbreath, B., & Benson, P. G. (2004). The contribution of supervisor behavior to employee psychological well-being. Work stress, 18 (3), 225-266.

Gintings, P. (2012). Jangan panggil mereka buruh. Retrieved by : http://sosbud.kompasiana.com

Hsu, Y. R. (2011). Work-family conflict and job satisfaction in stressful working environments: The moderating roles of perceived supervisor support and internal locus of control. International Journal of Manpower, 32(2), 233-248.

Jain, A. K., Giga, S.I., & Cooper, C.L. (2009). Employee well-being, control and organizational commitment. Leadership & organizational development journal, 30, 256-273.

(17)

Kaplan, R.M., & Sacuzzo, D.P. (2005). Psychological testing : Principles, application and issues. CA : Thompson Wadsworth.

Kerlinger, F.N., & Lee, H.B. (2000). Foundation of behavioral research (4th ed). New York : Harcourd Colllege.

London, H. & Exner, J.E. (1978). Dimensions of Personality. New York: Wiley Page, Kathryn. (2005). Subjective well-being in the workplace. Thesis. School of

Psychology Faculty of Health and Behavioural Sciences Deakin University Panaccio, A., & Vandenberghe, C. (2009). Perceived organizational support,

organizational commitment and psychological well-being : A longitudinal study.

Journal of vocational psuchology, 75, 224-236.

Robinson, J.P. & Shaver, P.R. (1973). Measures of Social Psychological Attitides. Michigan: The Institute for Social Research The University of Michigan

Sparks, K., Faragher, B., & Cooper, C.L. (2001). Well-being and occupational health in the 21st century workplace. Journal of occupational & organizational

psychology, 74, 489-509.

Sawitri, D.,W. (2013). Hubungan antara perceived organizational support dan workplace well-being pada pekerja pabrik. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Spector, P.E. (1988). Development of the work locus of control scale. Journal of

occupational psychology. 61, 335-340.

Spector, P., Cooper, C.L, Sanchez, J.I., O’Driscoll, M., & Sparks, K. (2002). Locus of control and well-being at work : How generalizable are western findings?.

Academy of manajemen journal. 45 (2), 453-466.

Sverke, M & Hellgren, J. (2002). Understanding employment uncertainty on the brink of a new millennium. Applied Psychology : An International Review, 51 (1), 23– 42

Thiruchelvi, A,. & Supriya, M. V. (2012). An investigation on the mediating role of coping strategies on locus of control – wellbeing relationship. The Spanish

(18)

Toni, S. (2012). Pengaruh rasio free cash flow to total assets dan ukuran perusahaan terhadap kebijakan hutang perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta tahun 2008-2010. Skripsi. Yogya : Universitas Negeri Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

c.' S eleksi protokorm setelah transform asi, dan d. P em buktian transform an dan transgenik anggrek. M etode transform asi genetik ke tanam an anggrek P. amabilis sesuai klaim 1,

,772 PHPLOLNL IRFXV SDGD SURPRVL 6)0 GL KXWDQKXWDQ WURSLV PHODOXL LQWHUYHQVL GDODP

Untuk intervensi alternatif masalah kesejahteraan psikologis masyarakat perkotaan tersebut, penulis ingin menawarkan konsep Green Psychology yang dilandasi oleh teori-teori

Tetapi selepas Israel berjaya menduduki wilayah-wilayah Palestin yang lain pada 1967, beberapa pemimpin Tebing Barat telah mencuba –dalam beberapa cara- untuk mewujudkan satu

The most opinion about comics as an educational tool, is its ability to motivate students. Through comic as a media, the teacher can motivate the students to

Berdasarkan pengumuman ketua panitia seleksi CPNS Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 3691/A.A2/KP/2017 tanggal 4 September 2017 tentang

Teks memiliki peran yang sangat penting dalam multimedia karena dapat dengan efektif memberikan instruksi kepada user dan menghubungkan user dengan perangkat antarmuka sehingga

Terdapat 5 faktor yang memengaruhi kesiapan sebuah organisasi untuk berubah, antara lain (1) iklim dan budaya organisasi dimana budaya organisasi terkait sistem