• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN

AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH

PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 harus dapat mendukung dan menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran;

b. bahwa hubungan luar negeri yang dilandasi politik bebas dan aktif ditujukan untuk kepentingan nasional yang dikembangkan dengan meningkatkan persahabatan dan kerjasama baik bilateral maupun multilateral untuk mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;

c. bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi, komunikasi, dan informasi, selain mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia juga dapat membawa dampak negatif yakni timbulnya tindak pidana yang tidak lagi mengenal batas yurisdiksi suatu negara, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya diperlukan kerjasama antar negara;

d. bahwa kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia di bidang pidana telah berjalan dengan baik yang dimulai dengan adanya Perjanjian Ekstradiksi (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1994) dan untuk lebih meningkatkan kerjasama tersebut, maka pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta telah ditandatangani Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters);

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan Perjanjian Kerjasama Antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) dengan

(2)

Undang-Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK

INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM

MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)

Pasal 1

Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta pada tanggal

ENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

(3)

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY

BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL

ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)

I. UMUM

Pembangunan Hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan pada terwujudnya Sistem Hukum Nasional yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru, khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Produk hukum nasional menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mengamankan dan mendukung penyelenggaraan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia dewasa ini telah menyebabkan wilayah negara yang satu dengan lainnya hampir tanpa batas. Keadaan ini di samping mempunyai dampak posisitf juga membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. Salah satu dampak negatifnya adalah semakin meningkatnya tindak pidana yang tidak hanya berskala nasional, tetapi juga transnasional serta global dengan modus operandi semakin canggih, sehingga dalam upaya penanggulangan dan pemberantasannya perlu ditingkatkan kerjasama antaranegara. Menyadari kenyataan ini, Pemerintah Republik Indonesia dan Australia mengadakan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta. Perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama yang efektif dalam rangka penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan antara kedua negara yang meliputi : a. pengambilan alat bukti/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang, termasuk pelaksanaan surat rogatoir; b. pemberian dokumen dan catatan lain; c. lokasi dan identifikasi dari orang; d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian dan penyitaan; e. upaya-upaya untuk mencari, menahan, dan menyita hasil kejahatan; f. mengusahakan persetujuan dari orang-orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di Negara Peminta, dan jika orang itu berada dalam tahanan, mengatur pemindahan sementara ke Negara tersebut; g. penyampaian dokumen; dan h. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini yang tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta. Untuk meningkatkan efektifitas kerjasama dalam penanggulangan tindak pidana, terutama yang bersifat transnasional, maka pelaksanaan prinsip-prinsip umum hukum internasional yang menitikberatkan pada asas penghormatan kedaulatan hukum dan kedaulatan negara harus mengacu pada asas tindak pidana ganda (double criminality).

Beberapa bagian penting dalam Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana adalah : 1. Penolakan pemberian bantuan (Pasal 4) Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam

(4)

bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak mutlak dalam arti dapat menolak. Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu perjanjian internasional yang berkaitan dengan proses peradilan pidana antara lain yang berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar belakang politik, tindak pidana militer, penuntutan yang telah kadaluarsa, dan ne bis in idem. Hak Negara Diminta untuk menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak berlandaskan prinsip resiprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Peminta (extraterritorial crime) dan tidak diatur menurut hukum Negara Diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. 2. Perlindungan terhadap kerahasiaan dan pembatasan penggunaan alat-alat bukti dan barang bukti serta informasi (Pasal 8) Dalam pelaksanaan perjanjian ini, permintaan bantuan harus dijamin kerahasiaannya, baik oleh Negara Diminta maupun Negara Peminta. 3. Menghadirkan tahanan, narapidana, atau orang lain untuk memberikan kesaksian atau membantu penyidikan (Pasal 12 dan Pasal 13)

Dalam hal adanya persetujuan dari tahanan, narapidana, atau orang lain, maka tahanan, narapidana, atau orang lain tersebut, apabila diminta oleh Negara Peminta, dapat dipindahkan sementara atau dihadirkan ke Negara Peminta untuk membantu penyidikan dan memberikan kesaksian serta harus dikembalikan pada saat selesai pelaksanaannya. 4. Jaminan perlindungan keselamatan (Pasal 14) Saksi atau ahli yang telah menyatakan persetujuan untuk memberikan kesaksian harus mendapat jaminan perlindungan keselamatan yang berupa jaminan untuk tidak ditahan, dituntut, atau dipidana di Negara Peminta, atas tindak pidana yang terjadi sebelum saksi atau ahli itu meninggalkan Negara Diminta, apabila saksi atau ahli tersebut diminta dihadirkan di Negara Peminta, kecuali saksi atau ahli tersebut melakukan tindak pidana pada waktu memberikan kesaksian berupa sumpah palsu, pernyataan palsu, atau penghinaan peradilan (contempt of court). 5. Berlaku dan berkahirnya perjanjian (Pasal 22) a. Perjanjian mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari sesudah masing-masing pihak memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya bahwa persyaratan masing-masing pihak untuk berlakunya perjanjian terpenuhi. b. Perjanjian berlaku juga bagi permintaan bantuan terhadap perbuatan atau omisi yang relevan yang terjadi, baik sebelum maupun sesudah berlakunya perjanjian. c. Masing-masing pihak dapat mengakhiri perjanjian setiap saat melalui pemberitahuan tertulis dan perjanjian berakhir pada hari ke 180 (seratus delapan puluh) setelah tanggal pemberitahuan disampaikan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas

(5)

CATATAN

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI

BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN

CRIMINAL MATTERS)

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI

BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

Republik Indonesia dan Australia

BERHASRAT untuk saling mengadakan kerjasama seluas-luasnya dalam menanggulangi kejahatan.

TELAH MENYETUJUI hal-hal sebagai berikut:

Pasal 1

RUANG LINGKUP PENERAPAN PERJANJIAN

1. Kedua Pihak saling memberikan bantuan dalam penyidikan atau proses acara yang menyangkut masalah pidana berdasarkan Perjanjian ini.

2. Masalah pidana ini meliputi hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan yang tercantum dalam daftar seperti terlampir pada Perjanjian ini.

3. Bantuan dapat juga diberikan atas kebijaksanaan dari Negara Diminta untuk perbuatan lain atau suatu omisi yang merupakan suatu kejahatan jika kejahatan itu, menurut hukum Kedua Belah Pihak, adalah kejahatan yang untuk penyidikannya dapat diberikan bantuan.

4. Bantuan semacam itu terdiri atas:

a. pengambilan alat bukti/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang, termasuk pelaksanaan surat rogatoir;

b. pemberian dokumen dan catatan lain; c. lokasi dan identifikasi dari orang;

d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian dan penyitaan;

e. upaya-upaya untuk mencari, menahan dan menyita hasil kejahatan; f. mengusahakan persetujuan dari orang-orang yang bersedia memberikan

kesaksian atau membantu penyidikan di Negara Peminta, dan jika orang itu berada dalam tahanan, mengatur pemindahan sementara ke Negara tersebut;

g. penyampaian dokumen; dan

h. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini yang tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta.

5. Bantuan tidak meliputi: a. ekstradisi seseorang;

b. pelaksanaan di Negara Diminta mengenai putusan pidana yang dijatuhkan di Negara Peminta, kecuali dalam batas yang diperbolehkan oleh hukum Negara Diminta dan oleh Perjanjian ini; dan

c. pemindahan orang dalam penjara untuk menjalani pidana.

Pasal 2 BANTUAN LAIN

Perjanjian ini tidak menghapuskan kewajiban yang ada diantara Kedua Pihak, baik itu berdasarkan persetujuan atau pengaturan lain maupun cara lain, serta tidak menghalangi Kedua Pihak untuk saling memberikan bantuan baik

(6)

Pasal 3 KANTOR PUSAT

1. Kedua Pihak menunjuk Kantor Pusat untuk mengirim dan menerima permintaan dalam rangka Perjanjian ini. Kantor Pusat untuk Australia adalah Departemen Kejaksaan Agung di Canberra dan Kantor Pusat untuk Republik Indonesia adalah Departemen Kehakiman di Jakarta. Kedua Pihak saling memberitahukan jika ada perubahan Kantor Pusat masing-masing.

2. Permintaan bantuan diajukan melalui Kantor Pusat yang akan mengatur pelaksanaan permintaan itu dengan segera.

Pasal 4 PENOLAKAN BANTUAN

1. Bantuan harus di tolak jika:

a. permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang dianggap oleh Negara Diminta sebagai: (1) kejahatan yang bersifat politik kecuali pembunuhan atau

percobaan pembunuhan terhadap Kepala Negara/Kepala Pemerintahan atau anggota keluarganya, atau

(2) Kejahatan berdasarkan hukum militer dari Negara Diminta yang bukan merupakan kejahatan yang termasuk dalam hukum pidana umum di Negara Diminta.

b. permintaan itu berkaitan dengan penuntutan terhadap seseorang atas kejahatan yang pelakunya telah dibebaskan atau diberi grasi atau telah selesai menjalani pidana yang dijatuhkan;

c. permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan terhadap seseorang atas suatu kejahatan yang jika dilakukan di Negara Diminta tidak dapat dituntut lagi karena alsan kadaluarsa, matinya tersangka, ne bis in idem, atau tidak dapat dituntut lagi karena alasan lain apapun;

d. terdapat alasan kuat untuk menduga bahwa permintaan bantuan itu dilakukan dalam rangka semata-mata untuk menuntut atau memidana seseorang karena alasan suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan atau pandangan politik atau bahwa posisi orang yang bersangkutan mungkin dirugikan karena hal-hal tersebut; atau

e. Negara Diminta berpendapat bahwa permintaan itu, jika dikabulkan, akan merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan nasional atau kepentingan utama lainnya.

2. Bantuan dapat ditolak jika:

a. permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan dalam hal perbuatan atau omisi yang disangkakan sebagai kejahatan itu, jika terjadi dalam yurisdiksi Negara Diminta, tidak merupakan kejahatan;

b. permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang dilakukannya di luar wilayah Negara Peminta, sedangkan hukum Negara Diminta tidak mengatur pemidanaan terhadap kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya di dalam situasi yang sama;

c. pemberian bantuan itu akan merugikan penyidikan atau proses acara di Negara Diminta, membahayakan keselamatan seseorang atau menimbulkan beban berat terhadap kekayaan Negara itu; atau

(7)

d. permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang terhadapnya pidana mati dapat dijatuhkan atau dilaksanakan.

3. Sebelum menolak untuk mengabulkan permintaan bantuan, Negara Diminta harus mempertimbangkan apakah bantuan dapat diberikan berdasarkan syarat-syarat yang dianggap perlu. Jika Negara Peminta menerima bantuan dengan syarat itu, maka Negara Peminta wajib menaati syarat-syarat tersebut.

Pasal 5 ISI PERMINTAAN

1. Permintaan bantuan harus memuat:

a. maksud permintaan dan uraian mengenai bantuan yang diminta;

b. nama instansi yang berwenang melakukan penyidikan atau proses acara yang berkaitan dengan permintaan itu;

c. uraian mengenai sifat dari masalah pidana termasuk isi dari undang-undang dan peraturan perundang-undang-undang-undangan yang relevan;

d. kecuali dalam hal permintaan penyampaian dokumen, uraian mengenai perbuatan atau emisi atau keadaan yang disangkakan sebagai kejahatan;

e. putusan pengadilan, jika ada, yang diminta untuk dilaksanakan dan suatu pernyataan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

f. rincian mengenai prosedur khusus atau syarat-syarat yang dikendaki oleh Negara Peminta untuk dipenuhi, termasik pernyataan apakah bukti atau pernyataan-pernyataan yang diperlukan dibuat dibawah sumpah atau janji;

g. persyaratan, jika ada, mengenai kerahasiaan dan alasan untuk itu; dan

h. spesifikasi mengenai batas waktu yang diinginkan untuk melaksanakan permintaan.

2. Permintaan bantuan, sejauh itu perlu dan dimungkinkan, harus memuat juga:

a. identitas, kewarganegaraa dan lokasi dari orang atau orang yang menjadi subyek atau orang yang mungkin memiliki informasi berkaitan dengan penyidikan atau proses acara;

b. uraian dari informasi, pernyataan atau bukti yang diminta;

c. uraian dari dokumen, catatan atau barang bukti yang harus diajukan demikian juga uraian mengenai orang yang tepat untuk diminta memberikan keterangan tersebut; dan

d. informasi mengenai tunjangan dan biaya yang menjadi hak dari orang yang akan hadir di Negara Peminta.

3. Permintaan, dokumen penunjang dan komunikasi lainnya yang dibuat berdasarkan Perjanjian ini harus dalam bahasa Negara Peminta dan disertai dengan terjemahan dalam bahasa Negara Diminta.

4. Jika Negara Diminta menganggap bahwa informasi yang terdapat dalam permintaan tersebut berdasarkan Perjanjian ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan bantuan, Negara Diminta dapat meminta informasi tambahan.

(8)

Pasal 6

PELAKSANAAN PERMINTAAN BANTUAN

1. Permintaan bantuan harus dilaksanakan menurut hukum Negara Diminta, dan sejauh hal itu tidak bertentangan dengan hukum negara tersebut, dilaksanakan dengan cara yang dikehendaki oleh Negara Peminta.

2. Negara Diminta dapat menangguhkan penyerahan barang yang diminta jika barang itu diperlukan untuk proses acara pidana atau perdata di Negara tersebut. Atas permintaan, maka Negara Diminta harus memberikan salinan resmi dokumen.

3. Negara Diminta harus memberitahukan dengan segera kepada Negara Peminta mengenai keadaan-keadaan, yang pada saat hal itu diketahui oleh Negara Diminta, dapat menimbulkan kelambatan yang cukup berarti dalam menjawab permintaan tersebut.

4. Negara Diminta harus memberitahukan dengan segera kepada Negara Peminta mengenai keputusannya untuk tidak memenuhi seluruh atau sebagian dari permintaan bantuan, dan alasan dari keputusan tersebut.

Pasal 7

PENGEMBALIAN BARANG KE NEGARA DIMINTA

Apabila diminta oleh Negara Diminta, Negara Peminta harus mengembalikan barang yang diberikan berdasarkan Perjanjian ini, jika barang itu tidak dibutuhkan lagi untuk penyidikan atau proses acara yang relevan.

Pasal 8

MELINDUNGI KERAHASIAAN DAN MEMBATASI PENGGUNAAN ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI SERTA INFORMASI

1. Negara Diminta, jika diminta, harus merahasiakan adanya permintaan bantuan, isi permintaan serta dokumen penunjangnya, dan adanya pemberian bantuan tersebut. Jika permintaan tidak dapat dilaksanakan tanpa melanggar kerahasiaan. Negara Diminta akan memeberitahukan kepada Negara Peminta yang akan memutuskan apakah permintaan itu harus tetap diajukan meskipun melanggar kerahasiaan.

2. Negara Peminta, jika diminta, harus merahasiakan informasi dan alat bukti serta barang bukti yang diberikan oleh Negara Diminta, kecuali jika alat bukti dan barang bukti serta informasi tersebut diperlukan untuk penyidikan dan proses acara sebagaimana diuraikan dalam permintaan.

3. Negara Peminta tidak akan menggunakan informasi atau alat bukti dan barang bukti yang didapatnya, atau segala sesuatu yang berasal dari itu, untuk tujuan-tujuan lain dari pada yang dinyatakan di dalam permintaan, tanpa persetujuan sebelumnya dari Negara Diminta.

Pasal 9

PENYAMPAIAN DOKUMEN

1. Negara Diminta harus menyampaikan dokumen yang dikirimkan kepadanya oleh Negara Peminta, untuk tujuan penyampaian dokumen ini oleh Negara Peminta.

2. Permintaan penyampaian dokumen yang memuat panggilan kehadiran seseorang harus diajukan kepada Negara Diminta sekurang-kurangnya empat puluh lima hari sebelum tanggal kehadirannya diperlukan. Dalam keadaan mendesak, Negara Diminta dapat mengesampingkan syarat ini.

3. Negara Diminta dapat menyampaikan dokumen melalui pos atau, jika Negara Peminta memintanya, dengan cara lain yang ditentukan oleh hukum Negara Peminta sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta.

(9)

4. Negara Diminta harus menyampaikan ke Negara Peminta bukti penyampaian dokumen. Jika penyampaian dokumen tidak dapat dilakukan. Negara Peminta akan diberitahu mengenai hal itu disertai alasannya.

Pasal 10

PENGAMBILAN ALAT DAN BARANG BUKTI

1. Dalam hal permintaan diajukan untuk keperluan proses acara yang berkaitan dengan masalah pidana di Negara Peminta, Negara Diminta, atas permintaan, harus mengambil keterangan saksi untuk dikirim ke Negara Peminta.

2. Untuk keperluan Perjanjian ini pemberian atau pengambilan alat bukti dan barang bukti harus meliputi pengadaan dokumen, catatan atau barang-barang lainnya.

3. Untuk keperluan permintaan menurut Pasal ini Negara Permintaan harus merinci hal-hal pokok mengenai siapa yang harus diperiksa termasuk pertanyaan yang perlu diajukan.

4. Pihak-Pihak yang ada hubungannya dengan proses acara di Negara Peminta, penasehat hukum dan wakil Negara Peminta, dengan mengikuti ketentuan hukum Negara Diminta, dapat hadir dan menanyai orang yang diperiksa. 5. Seseorang yang diminta untuk memberikan kesaksian di Negara Diminta

menurut Pasal ini dapat menolak memberikan kesaksian dalam hal:

a. hukum Negara Diminta membolehkan saksi itu menolak memberikan kesaksian dalam keadaan yang sama dalam proses acara yang berasal dari Negara Diminta; maupun

b. hukum Negara Peminta membolehkan saksi itu menolak memberikan kesaksian dalam proses acara yang sama di Negara Peminta.

6. Jika seseorang menyatakan bahwa terdapat hak untuk menolak memberikan kesaksian menurut hukum Negara Peminta, maka Kantor Pusat Negara tersebut, atas permintaan, harus memberikan surat keterangan ke Kantor Pusat Negara Diminta mengenai adanya hak itu. Jika tidak ada bukti sebaliknya, surat keterangan itu merupakan bukti yang cukup mengenai adanya hak tersebut.

Pasal 11

MEMPEROLEH PERNYATAAN DARI ORANG

1. Negara Diminta, atas permintaan, harus berusaha memperoleh pernyataan dari orang untuk keperluan penyidikan atau proses acara yang berkaitan dengan masalah pidana di Negara Peminta.

2. Untuk keperluan permintaan menurut Pasal ini Negara Peminta harus merinci hal-hal pokok mengenai pernyataan yang diperlukan dari orang termasuk pertanyaan yang akan diajukan kepada orang tersebut.

Pasal 12

MENGHADIRKAN TAHANAN/NARAPIDANA UNTUK MEMBERIKAN KESAKSIAN ATAU MEMBANTU PENYIDIKAN

1. Seseorang tahanan/narapidana dan Negara Diminta, jika diminta oleh Negara Peminta, dapat dipindahkan sementara ke Negara Peminta untuk membantu penyidikan atau untuk memberikan kesaksian.

2. Negara Diminta tidak boleh memindahkan tahanan/narapidana ke Negara Peminta kecuali orang itu menyetujui pemindahan tersebut.

(10)

3. Selama orang yang dipindahkan itu perlu tetap berada dalam tahanan/penjara menurut hukum Negara Diminta. Negara Peminta harus menempatkan orang itu dalam tahanan/penjara dan harus mengembalikan orang itu ke Negara Diminta pada saat selesainya uusan yang berkaitan dengan pemindahan yang diminta berdasarkan ayat (1) Pasal ini atau pada waktu yang lebih awal apabila kehadiran orang itu tidak diperlukan lagi. 4. Negara Peminta dapat meminta perpanjangan waktu sebagaimana ditentukan

dalam ayat (3) Pasal ini apabila Negara Peminta masih memerlukan kehadiran orang tersebut, jika orang itu menyetujuinya.

5. Apabila Negara Diminta menyatakan kepada Negara Peminta bahwa orang yang dipindahkan itu tidak perlu lagi ditahan dalam tahanan atas penjara, orang itu harus dibebaskan dan diperlakukan sebagai orang yang dimaksud dalam Pasal 13.

Pasal 13

MENGHADIRKAN ORANG LAIN UNTUK MEMBERIKAN KESAKSIAN ATAU UNTUK MEMBANTU PENYIDIKAN

1. Negara Peminta dapat meminta bantuan Negara Diminta memperoleh persetujuan seseorang untuk:

a. hadir sebagai saksi dalam proses acara yang berkaitan dengan masalah pidana di Negara Peminta kecuali orang itu adalah orang yang didakwa; atau

b. membantu penyidikan yang berkaitan dengan masalah pidana di Negara Peminta.

2. Jika Negara Diminta dapat menerima bahwa pengaturan yang memuaskan akan dilakukan oleh Negara Peminta untuk menjamin keamanan orang itu, Negara Diminta harus meminta persetujuan dari orang tersebut untuk hadir sebagai saksi dalam proses acara atau untuk membantu penyidikan.

Pasal 14

TINDAKAN JAMINAN KESELAMATAN

1. Dengan memperhatikan ayat (2), apabila seseorang berada di Negara Peminta berdasarkan permintaan yang diajukan menurut Pasal 12 atau 13: a. orang tersebut tidak akan ditahan, dituntut atau dihukum di Negara

Peminta, untuk pelanggaran apapun, atau tidak menjadi pihak dalam perkara perdata apapun, menjadi tergugat yang tidak dapat dikenakan padanya jika ia tidak berada di Negara Peminta, berkenaan dengan perbuatan atau omisi apapun yang dilakukannya sebelum orang itu meninggalkan Negara Diminta;

b. orang itu tidak boleh, tanpa persetujuannya, diminta untuk memberikan kesaksian dalam suatu proses acara atau membantu suatu penyidikan selain daripada proses acara atau penyidikan yang berkaitan dengan permintaan itu; dan

c. apabila orang yang diminta adalah warganegara dari Negara ketiga, maka Negara Peminta akan memberitahukan Kantor Perwakilan Negara tersebut mengenai masalah itu melalui saluran diplomatik.

2. Ayat (1) pasal ini tidak berlaku lagi jika orang itu, setelah bebas untuk pergi, tidak meninggalkan Negara Peminta dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah orang itu secara resmi diberitahu bahwa kehadirannya tidak diperlukan lagi atau setelah meninggalkan negara itu, ternyata kembali lagi.

(11)

3. Seseorang yang tampil di Negara Peminta berdasarkan permintaan yang diajukan menurut Pasal 12 atau 13 harus tunduk pada hukum yang berlaku di Negara Peminta mengenai penghinaan terhadap peradilan, sumpah palsu dan membuat pernyataan palsu.

4. Seseorang yang tidak memberikan persetujuan atas permintaan yang dimaksud dalam Pasal 12 atau 13 tidak akan, karena alasan itu diancam dengan suatu pidana atau dikenakan upaya paksa apapun, meskipun ada pernyataannya yang bertentangan didalam permintaan bantuan itu atau dalam dokumen apapun yang menyertainya.

Pasal 15

PENYEDIAAN DOKUMEN UNTUK UMUM DAN DOKUMEN RESMI

1. Jika diminta, Negara Diminta harus memberikan salinan dari dokumen dan catatan yang dapat diperoleh secara bebas oleh umum.

2. Jika diminta, Negara Diminta boleh memberikan salinan dari dokumen dan catatan yang merupakan bagian dari daftar umum atau daftar lain yang tidak dapat diperoleh secara bebas oleh umum.

3. Jika diminta, Negara Diminta dapat memberikan salinan dari dokumen atau catatan resmi sesuai dengan cara yang sama, dan dengan syarat-syarat yang sama seperti kalau dokumen atau catatan tersebut dapat diberikan kepada petugas penegak hukum atau pejabat peradilannya sendiri.

Pasal 16

PENGUATAN DAN PENGESAHAN

1. Dokumen atau barang-barang yang menunjang permintaan bantuan yang melibatkan penggunaan upaya paksa atau penyitaan hasil kejahatan harus disahkan sesuai dengan ayat (2). Dokumen atau barang yang diberikan sebagai jawaban atas permintaan harus disahkan dengan cara yang sama, jika diminta.

2. Dokumen dan barang adalah sah untuk keperluan Perjanjian ini jika: a. ditanda tangani atau dikuatkan oleh hakim, atau pejabat lain di atau

dari Negara yang mengirimkan dokumen; dan

b. dibubuhi dengan cap resmi dari Negara pengirim dokumen, atau dari Menteri, atau dari Departemen atau dari pejabat Pemerintah, dari Negara itu.

Pasal 17

PENCARIAN DAN PENYITAAN

1. Negara Diminta, sepanjang hukumnya mengizinkan, harus melaksanakan permohonan untuk mencari dan menyita serta menyerahkan barang ke Negara Peminta asalkan informasi yang diberikan, termasuk informasi tambahan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (4) Pasal 5, jika ada, membenarkan tindakan itu menurut hukum Negara Diminta.

2. Negara Diminta harus memberikan informasi sebagaimana diminta oleh Negara Peminta, mengenai hasil pencarian, tempat penyitaan, keadaan pada saat penyitaan, dan penyimpanan selanjutnya barang sitaan tersebut. 3. Negara Peminta harus memperhatikan setiap syarat yang ditetapkan oleh

Negara Diminta dalam kaitannya dengan barang sitaan yang diserahkan kepada Negara Peminta.

(12)

Pasal 18 HASIL KEJAHATAN

1. Negara Diminta, atas permintaan, harus berusaha untuk memastikan apakah hasil kejahatan berada di dalam yurisdiksinya dan harus memberitahukan kepada Negara Peminta mengenai hasil penyidikannya. Dalam mengajukan permintaan, harus memberitahukan kepada Negara Diminta mengenai alasan dari keyakinannya bahwa hasil kejahatan itu mungkin berada dalam yurisdiksinya.

2. Dalam hal, menurut ayat (1), hasil kejahatan yang dicurigai itu dikemukan, Negara Diminta harus mengambil tindakan yang diperbolehkan oleh hukumnya untuk mencegah jual beli, pengalihan atau pemusnahan hasil kejahatan tersebut, sambil menunggu penetapan akhir mengenai hasil kejahatan tersebut oleh Pengadilan dari Negara Peminta.

3. Negara Diminta sejauh diperbolehkan menurut hukumnya, harus melaksanakan penetapan atau putusan akhir yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negara Peminta untuk menyita atau merampas hasil kejahatan.

4. Dalam melaksanakan Pasal ini, hak dari pihak ketiga yang beritikat baik harus dihormati menurut hukum Negara Diminta. Dalam hal ada tuntutan dari pihak ketiga, Negara Diminta harus menahan barang tersebut dampai ada penetapan akhir dari pengadilan yang berwenang.

5. Negara Diminta harus mengembalikan barang yang dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini, atau nilai dari barang itu kepada Negara Peminta.

6. Dalam Pasal ini "hasil kejahatan" berarti setiap barang yang dicurigai, atau dinyatakan oleh pengadilan, sebagai barang yang berasal dari atau diperoleh, langsung atau tidak langsung, sebagai hasil dari dilakukannya suatu kejahatan atau harga lawan dari barang dan keuntungan lain yang berasal dari dilakukannya suatu kejahatan.

Pasal 19 PENGATURAN TAMBAHAN

Kantor Pusat masing-masing Pihak dapat membuat pengaturan tambahan yang sesuai dengantujuan Perjanjian ini dan dengan hukum kedua belah Pihak dalam Perjanjian.

Pasal 20

PERWAKILAN DAN BIAYA

1. Kecuali jika diatur lain dalam Perjanjian iini, Negara Diminta harus menyiapkan hal-hal yang diperlukan agar Negara Peminta diwakili secara hukum dalam setiap proses acara yang timbul karena adanya permintaan bantuan dan dengan demikina Negara Diminta akan mewakili kepentingan Negara Peminta.

2. Negara Diminta harus menanggung biaya untuk memenuhi permintaan bantuan kecuali biaya yang harus ditanggung oleh Negara Peminta yaitu:

a. biaya yang berhubungan dengan pengangkutan orang ke atau dari wilayah Negara Diminta, dan setiap upah, tunjangan atau biaya yang wajib dibayar kepada orang itu selama berada di Negara Peminta berdasarkan permintaan menurut Pasal 9, 12 atau 13;

b. biaya yang berhubungan dengan pengangkutan petugas tahanan/penjara atau petugas pengawal; dan

c. jika diminta oleh Negara Diminta, biaya khusus untuk memenuhi permintaan bantuan itu.

(13)

Pasal 21 KONSULTASI

Kedua Pihak harus mengadakan konsultasi dengan segera atas permintaan Pihak lainnya, mengenai penafsiran, penerapan atau pelaksanaan ketentuan Perjanjian ini baik secara umum meupun dalam kaitannya dengan kasus tertentu melalui Kantor Pusat.

Pasal 22

MULAI BERLAKU DAN BERAKHIRNYA PERJANJIAN

1. Perjanjian ini mulai berlaku tiga puluh hari sesudah tanggal masing-masing Pihak saling memberitahu kepada Pihak lainnya secara tertulis bahwa persyaratan masing-masing Pihak untuk berlakunya Perjanjian ini telah terpenuhi.

2. Perjanjian ini berlaku juga bagi permintaan bantuan terhadap perbuatan atau omisi yang relevan yang terjadi baik sebelum maupun sesudah berlakunya Perjanjian ini.

3. Masing-masing pihak dapat mengakhiri Perjanjian ini setiap saat melalui pemberitahuan tertulis dan Perjanjian berakhir berlakunya pada hari ke seratus delapan puluh setelah hari pemberitahuan disampaikan.

Sebagai bukti, yang bertanda tangan dibawah ini yang diberi kuasa oleh Pemerintah masing-masing telah menanda tangani Perjanjian ini. Dibuat di Jakarta tanggal dua puluh tujuh Oktober seribu sembilan ratus sembilan puluh lima dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kedua naskah mempunyai kekuatan sah yang sama.

UNTUK REPUBLIK INDONESIA UNTUK AUSTRALIA

ttd ttd

(14)

LAMPIRAN

DAFTAR KEJAHATAN YANG DIMAKSUD DALAM PASAL 1 AYAT (2)

1. pembunuhan berencana, pembunuhan;

2. kejahatan yang menyebabkan kematian orang;

3. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai pengguguran kandungan; 4. membantu atau membujuk atau menasehati atau memberikan sarana kepada

orang lain untuk melakukan perbuatan bunuh diri;

5. dengan maksud jahat atau berencana melukai atau mengakibatkan luka berat, penyerangan yang menyebabkan luka;

6. penyerahangan terhadap Hakim/Magistrat, Pejabat polisi atau pejabat umum;

7. penyerangan di kapal atau di pesawat udara dengan maksud membunuh atau menyebabkan luka berat;

8. perkosaan atau penyerangan seks; 9. perbuatan cabul dengan kekerasan;

10. memberi sarana, atau memperjual belikan wanita atau orang muda dengan maksud amoral, hidup dari hasil pelacuran, setiap kejahatan lain yang melanggar undang-undang mengenai pelacuran;

11. bigami;

12. penculikan, melarikan wanita atau anak dengan paksa, memenjarakan secara tidak sah, perdagangan budak;

13. mencuri, menelantarkan, menawarkan atau menahan anak secara melawan hukum;

14. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai suap;

15. memberikan sumpah palsu, membujuk orang untuk memberikan sumpah palsu, menghalangi atau menggagalkan jalannya peradilan;

16. perbuatan menimbulkan kebakaran;

17. kejahatan yang berhubungan dengan pemalsuan uang dan surat-surat berharga;

18. kejahatan yang melanggar undang mengenai pemalsuan atau undang-undang mengenai penggunaan apa yang dipalsukan;

19. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai pajak, bea cukai, pengawasan devisa, atau pendapatan negara lainnya;

20. pencurian, penggelapan: penukaran secara curang, pembukuan palsu dan curang, mendapatkan barang uang surat berharga atau kredit melalui upaya palsu atau cara penipuan lainnya; penadahan barang curian, setiap kejahatan yang berhubungan dengan penipuan;

21. pencurian dengan pemberatan, memasuki rumah orang lain tanpa izin: setiap kejahatan yang sejenis;

22. perampokan;

23. pemerasan atau pemaksaan dengan ancaman atau dengan penyalahgunaan wewenang;

24. Kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai kebangkrutan dan kepailitan;

(15)

26. kejahatan yang melanggar undang-undang keimigrasian;

27. 27 Kejahatan yang melanggar undang-undang lingkungan hidup; 28. pengrusakan barang dengan maksud jahat dan berencana;

29. perbuatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan orang-orang yang bepergian dengan kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara atau membahayakan atau merusak kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara;

30. pembajakan;

31. perbuatan yang melawan hukum terhadap kekuasaan nakhoda kapal laut atau kapten pilot pesawat udara;

32. merampas secara melawan hukum, atau secara melawan hukum menguasai pengendalian atas kapal laut atau pesawat udara, dengan paksaan atau ancaman kekerasan atau dengan setiap bentuk intimidasi lainnya;

33. perbuatan melawan hukum dari salah satu perbuatan yang diatur dalam ayat 1 Pasal 1 Konvensi mengenai Pemberantasan Tindakan-Tindakan Melawan Hukum Yang mengancam Keamanan Penerbangan Sipil;

34. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai obat-obatan berbahaya atau narkotika;

35. membantu, membujuk, menasehati atau memberikan saran, menjadi pembantu laku sebelum atau sesudah sesuatu perbuatan dilakukan, atau mencoba atau berkomplot melakukan suatu kejahatan yang disebut diatas.

(16)

TREATY BETWEEN

THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA

ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS

THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA,

DESIRING to extend to each other the widest measure of

cooperation to combat crime,

HAVE AGREED as follows:

Article 1 Scope of application

1. The Contracting Parties shall, in accordance with this Treaty, grant to each other assistance in investigations or proceedings in respect of criminal matters.

2. Criminal matter include matters connected with offences which are listed in the Annex to this Treaty.

3. Assistance may also be granted at the discretion of the Requested State for any other act or omission constituting an offence if the offence, according to the laws of both Contracting States, is one for which mutual assistance can be granted.

4. Such assistance shall consist of:

a. taking of evidence and obtaining of statements of persons including the execution of letters rogatory;

b. provision of documents and other records; c. location and identification of persons;

d. execution of requests for search and seizure;

e. measures to locate, restrain and forfeit the proceeds of crime; f. seeking the consent of persons to be available to give evidence or

to assist in investigations in the Requesting State, and where such persons are in custody arranging for their temporary transfer to that State;

g. service of documents; and

h. other assistance consistent with the objects of this Treaty which is not inconsistent with the law of the Requested State.

5. Assistance shall not include: a. tha extradition of any person;

b. the execution in the Requested State of criminal judgements imposed in the Requesting State except to the extent permitted by the law of the Requested State and this Treaty; and

c. the transfer of persons in custody to serve sentences.

Article 2 Other assistance

This Treaty shall not derogate from obligations subsisting between the Contracting Parties whether pursuant to other Treaties or arrangements or otherwise nor prevent the Contracting Parties providing assistance to each other pursuant to other Treaties or arrangements or otherwise.

(17)

Article 3 Central Office

1. The Contracting Parties shall each appoint a Central Office to transmit and receive requests for the purpose of this Treaty. The Central Office of Australia shall be the Attorney-General's Departmen, Canberra and the Central Office of the Republic of Indonesia shall be the Ministry of Justice of the Republic of Indonesia, Jakarta. Either State shall notify the other of any change of its Central Office.

2. Requests for assistance shall be made through the Central Offices which shall arange for the prompt carrying out of such requests.

Article 4

Refusal of assistance

1. Assistance shall be refused if:

a. the request relates to the prosecution or punishment of a person for an offence that is regarded by the Requested State as:

(1) an offence of a political character except the murder, or attempted murder, of the Head of State or members of his or her family; or

(2) (ii) an offence under military law of the Requested State which is not also an offence under the ordinary criminal law of the Requested State;

b. the request relates to the prosecution of a person for an offence in respect of which the offender has been finally acquitted or pardoned or has served the sentence imposed;

c. the request relates to the prosecution or punishment of a person for an offence which, had it been committed in the Requested State, could no longer be prosecuted by reason of lapse of time, the death of the alleged offender, double jeopardy or could no longer be prosecuted for any other reason;

d. there are substantial grounds for believing that the request for assistance has been made merely for the purpose of prosecuting or punishing that person on account of that person's race, sex, religion, nationality or political opinions or that person's position may be essential interests.

e. the Requested State is of the opinion that the request, if granted, would prejudice its sovereignty, security, national interest or other essential interests.

2. Assistance may be refused if:

a. the request relates to the prosecution or punishment of a person for an offence where the acts or omissions alleged to constitute thet offence would not, if they had taken place within the jurisdiction of the Requested State, have constituted an offence;

b. the request relates to the prosecution or punishment of person for an offence which is committed outside the territory of the Requesting State the law of the Requested State does not provide for the punishment of an offence committed outside its territory in similar circumstances;

c. provision of the assistance sought could prejudice an investigation or proceeding in the Requested State, prejudice the safety of any

(18)

d. the request relates to the prosecution or punishment of a person for an offence in respect of which the death penalty may be imposed or carried out.

3. Before refusing to grant a request for assistance the Requested State shall consider whether assistance may be granted subject to such conditions as it deems necessary. If the Requesting State accepts assistance subject to conditions it shall comply with those conditions. Article 5 Contents of requests

1. Requests for assistance shall include:

a. the purpose of the request and a description of the assistance sought;

b. the name of the competent authority conducting the investigation or proceeding to which the request relates;

c. a description of the nature of the criminal matter including a statement of the relevant laws;

d. except in cases of requests for service of documents, a description of the acts or omissions or matters alleged to constitute the offence;

e. the court order, if any, sought to be enforced and a statement to the effect that it is a final order;

f. details of any particular procedure or requirement that the Requesting State wishes to be followed, including a statement as to whether swom or affirmed evidence or statements are required;

g. the requirements, if any, of confidentiality and the reasons therefor; and

h. specification of any time limit within which compliance with the request is desired.

2. Requests for assistance, to the extent necessary and insofar as possible, shall; also include:

a. the identity, nationality and location of the person or persons who are the subject of or who may have information relevant to the investigation or proceeding;

b. a description of the information, statement or evidence sought; c. a description of the documents; records or articles of evidence to

be produced as well as a description of the appropriate person to be asked to produce them; and

d. information as to the allowances and expenses to which a person apprearing in the Requesting State will be entitled.

3. Requests, supporting documents and other communications made pursuant to this Treaty shall be in the language of the Requesting State and accompanied by a translation into the language of the Requested State. 4. If the Requested State considers that the information contained in the

request is not sufficient in accordance with this Treaty to enable the request to be dealt with, it may request additional information.

Article 6

Execution of requests

1. Requests for assistance shall be carried out in accordance with the law of the Requested State and, insofar as it'is not incompatible with that law, in the manner requested by the Requesting State.

(19)

2. The Requested State may postpone the delivery of material requested if such material is required for proceedings in respect of criminal or civil matters in that State. The Requested State shall, upon request, provide certified copies of documents.

3. The Requested State shall promptly inform the Requesting State of circumstances, when they become known to the Requested State, which are likely to cause a significant delay in responding to the request.

4. The Requested State shall promptly inform the Requesting State of a decision of the Requested State not to comply in whole or in part with a request for assistance and the reason for that decision.

Article 6 -9

TEKS ASLI TIDAK JELAS

Article 10 Taking of evidence

1. Where a request is made for the purpose of a proceeding in relation to a criminal matter in the Requesting State the Requested State shall, upon request, take the evidence of witnesses for transmission to the Requesting State.

2. For the purposes of this Treaty, the giving or taking of evidence shall include the production of documents, records or other materials.

3. For the Purposes of requests under this Article the Requesting State shall specify the subject matter about which persons are to be examined, including any questions to be put.

4. The parties to the relevant proceeding in the Requesting State, their legal representatives and representatives of the Requesting State may, subject to the law of the Requested State, appear and question the person being examined.

5. A person who is required to give evidence in the Requested State under this Article may decline to give evidence where either:

a. the law of the Requested State permits that witness to decline to give evidence in similar circumstances in proceedings originating in the Requested State; or

b. where the law of the Requesting State permits that witness to decline to give evidence in such proceedings in the Requesting State.

6. If any person claims that there is a right to decline to give evidence under the law of the Requesting State, the Central Office of that State shal, upon request, provide a certificate to the Central Office of the Requested State as to the existence of that right. In the absence of evidence to the contrary, the certificate shall provide sufficient evidence as to the existence of that right.

Article 11

Obtaining of statements of persons

1. The Regeusted State shall, upon request, endeavour to obtain statements of persons for the purpose of an investigation or proceeding in relation to a criminal matter in the Requesting State.

2. For the purpose of requests under this Article the Requesting State shall specify the subject matter about which it seeks statements from persons including any questions which it seeks to be put to the person.

(20)

Article 12

Availability of persons in custody to give evidence or to assist investigations

1. A person in custody in the Requested State may, at the request of the Requesting State, be temporarily transferred to the Requesting State to assist investigations or to give evidence.

2. The Requested State shall not transfer a person in custody to the Requesting State unless the person consents to that transfer.

3. While the person transferred is required to be held in custody under the law of the Requested State, the Requesting State shall hold that person in custody and shall return that person in custoody to the Requested State at the conclusion of the matter in relation to which transfer was sought under paragraph 1 of this Article or at such earlier time as the person's presence is no longer required.

4. The Requesting State may request the extension of the period stated in paragraph 3 of this Article if it still needs the presence of the person, if the person so consents.

5. Where the Requested State advises the Requesting State that the transferred person is no longer required to be held in custody, that person shall be set at liberty and be treated as a person referred to in Article 13.

Article 13

Availability of other persons to give evidence or assist investigations

1. The Requesting State may request the assistance of the Requested State in obtaining a person's consent to:

a. appear as a witness in proceedings in relation to a criminal matter in the Requesting State unless that person is the person charged; or b. assist investigations in relation to a criminal matter in the

Requesting State.

2. The Requested State shall, if satisfied that satisfactory arrangements for that person's security will be made by the Requesting State, request the person to consent to appear as a witness in proceedings or to assist in the investigations.

Article 14 Safe conduct

1. Subject to paragraph 2, where a person is in the Requesting State pursuant to a request made under Articles 12 or 13:

a. that person shall not be detained, prosecuted or punished in the Requesting State, for any offence, nor be subject to any civil suit, being a civil suit to which the person could not be subjected if the person were not in the Requesting State, in respect of any act or omission which preceded the person's departure from the Requested State;

b. that person shall not, without that person's consent, be required to give evidence in any proceeding or to assist in any investigation other than the proceeding or investigation to which the request relates; and

c. where that person is a citizen of a third State, the Requesting State shall inform the Representative Office of that State about the matter through the diplomatic channel.

(21)

2. Paragraph 1 of this Article shall cease to apply where that person, being free to leave, has not left the Requesting State within a period of thirty days after that person has been officially notified that person's presence is no longer required or, having left, has returned. 3. A person appearing in the Requesting State pursuant to a request made

under Articles 12 or 13 shall be subject to the law of that State relating to contempt of a court or tribunal, perjury and the making of false declarations.

4. A person who does not consent to a request pursuant to Articles 12 or 13 shall not, by reason thereof, be liable to any penalty or be subjected to any coercive measure, notwithstanding any contrary statement in the request or in any document accompanying the request.

Article 15

Provision of publicly available and official documents

1. If requested, the Requested State shall provide copies of documents and records which are publicly available.

2. If requested, the Requested State may provide copies of documents and records are part of a public register or otherwise which are not publicly available.

3. If requested, the Requested State may provide copies of any official document or record in the same manner and under the same conditions as such document or record may be provided to its own law enforcement and judicial authorities.

Article 16

Certification and authentication

1. Documents or materials supporting a request for assistance involving the use of compulsory measures or the forfeiture of proceeds of crime shall be authenticated in accordance with paragraph 2. Documents or materials furnished in response to a request shall be similarly authenticated, if requested.

2. Documents and materials are authenticated for the purposes of this Treaty if:

a. they purport to be signed or certified by a judge, magistrate or other officer in or of the State sending the document; and

b. they purport to be sealed with an official seal of the State sending the document or of a Minister of State, or of a Department or officer of the Government, of that State.

Article 17 Search and seizure

1. The Requested State shall, insofar as its law permits, carry out requests for search and seizure and delivery of material to the Requesting State provided the information supplied, including additional information requested pursuant to paragraph 4 of Article 5, if any, would justify such actions under the law of the Requested State.

2. The Requested State shall provide such information as may be required by the Requesting State concerning the result of any search, the place of seizure, the circumstances of seizure, and the subsequent custody of the material seized.

(22)

Article 18 Proceeds of crime

1. The Requested State shall, upon request, endeavour to ascertain whether any proceeds of a crime are located within its jurisdiction and shall notify the Requesting State of the results of its inquiries. In making the request, the Requesting State shall notify the Requested State of the basis of its belief that such proceeds may be located in its jurisdiction.

2. Where, pursuant to paragraph 1 suspected proceeds of crime are found the Requested State shall take such measures as are permitted by its law to prevent any dealing in transfer or disposal of, those suspected proceeds of crime, pending a final determination in respect of those proceeds by a court of the Requesting State.

3. The Requested State shall, to the extent permitted by its law, give effect to a final order forfeiting or confiscating the proceeds of crime made by a court of the Requesting State.

4. In the application of this Article, the rights of bona fide third parties shall be respected under the law of the Requested State. Where there is a claim from a third party, the Requested State shall retain the property until a final determination of the authoritative court. 5. The Requested State shall return the property referred to in paragraph 3

of this Article, or the value of that property, to the Requesting State. 6. In this Article "proceeds of crime" means any property suspected, or

found by a court, to be property derived or realized, directly or indirecly, as a result of the commission of an offence or to represent the value of property and other benefits derived from the commission of an offence.

Article 19

Subsidiary arrangements

The Central Office of each Contracting Party may enter into subsidiary arrangements, consistent with purpose of this Treaty and with the laws of both Contracting Parties.

Article 20

Representation and expenses

1. Uncless otherwise provided in this Treaty the Requested State shall make all necessary arrangements for the representation of the Requesting State in any proceedings arising out of a request for assistance and shall otherwise represent the interests of the Requesting State.

2. The Requested State shall meet the cost of fulfilling the request for assistance except that the Requesting State shall bear:

a. the expenses associated with conveying any person to or from the territory of the Requested State, and any fees, allowances or expenses payable to that person whilst in the Requesting State pursuant to a request under Articles 9, 12 or 13;

b. the expenses associated with conveying custodial or escorting officers; and

c. where required by the Requested State, exceptional expenses in fulfilling the request.

(23)

Article 21 Consultation

The Contracting Parties shall consult promptly, at the request of either, concerning the interpretation, the application or the carrying out of this Treaty either generally or in relation to a particular case, through the Central Offices.

Article 22

Entry into force and termination

1. This Tresty shall enter into force thirty days after the date on which the Contracting Parties have notified each other in writing that their respective requirements for the entry into force of this Treaty have been complied with.

2. This Treaty shall apply to requests whether or not the relevant acts or omissions occurred prior to this Treaty entering into force.

3. Either Contracting Party may terminate this Treaty by notice in writing at any time and it shall cease to be in force on the one hundred and eightieth day after the day on which notice is given.

IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly authorised thereto by their respective Governments, have signed this Treaty.

DONE at Jakarta

on the twenty seventh day of October, one thousand nine hundred and ninety five in both the English and Indonesian languages, both texts being equally authentic.

FOR THE REPUBLIC OF INDONESIA FOR AUSTRALIA

ttd. ttd.

OETOJO OESMAN MICHAEL LAVARCH

ANNEX

List Offences Referred To in Article 1, Paragraph 2 1. wilful murder, murder;

2. manslaughter;

3. an offence against the law relating to abortion;

4. aiding or abetting or counselling or procuring the commision of suicide; 5. maliciously or wilfully wounding or inflicting grievous bodily harm,

assault occasioning actual bodily harm;

6. assaulting a Magistrate, a police officer or a public officer;

7. assault on board of ship or aircraft with intent to destroy life or cause grievous bodily harm;

8. rape or sexual assault; 9. indecent assault;

(24)

11. bigamy;

12. Kidnapping; abduction; false imprisonment; dealing in slaves; 13. stealing, abandoning, exposing or unlawfully detainning a child; 14. an offence against the law relating to bribery;

15. perjury; subornation of perjury; obstructing or defeating the course of justice;

16. arson;

17. an offence relating to counterfeiting;

18. an ofference against the law relating to forgery or against the law relating to uttering what is forged;

19. an offence against the law relating to taxation, custom duties, foreign exchange control or other revenue matters;

20. stealing; embezzlement; fraudulent conversion; fraudulent false accounting; obtaining property, money, valuable securities or credit by false pretences or other form of deception; receiving stolen property, any offence involving fraud;

21. burglary; housebreaking; any similar offences; 22. robbery;

23. blackmail or extortion by means of threats or by abuse of authority; 24. an offence against the law relating to bankruptcy and insolvency; 25. an offence against the law relating to companies;

26. an offence against the immigration laws; 27. an offence against the environmental laws; 28. maliciously or wilfully damaging property;

29. an act done with the intention of endangering the safety of persons traveling on a railway, vehicle, ship or aircraft or of endangering or damaging a railway, vehicle, ship or aircraft;

30. piracy;

31. an unlawful act against the authority of the master of a ship or the commander of an aircraft;

32. the unlawful seizure, or unlawful exercise of control, of a ship or aircraft, by force or threat of force or by any other form of intimidation;

33. an unlawful act of any of the kinds specified in paragraph 1 of Article 1 of the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation;

34. an offence against the law relating to dangerous drugs or narcoties; or 35. aiding, abetting, counselling or procuring the commission of, being an

accessory before or after the fact to, or attempting or conspiring to commit, an offence described in preceding item.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun (2003 – 2012) diperoleh dari 15 pos hujan yang tersebar di Sulawesi Utara,

[r]

Pada penelitian ini telah dikembangakan produk berupa media bermain PVC Tubes dalam pembelajaran motorik anak usia 3-4 tahun: (a) pengembangan proses pengembangan

 Perasaan yang tidak jelas kepada diri sendiri atau orang lain  Sikap yang sangat agresif4.  Perasaan

8) Ikrar Wakaf, Sumber ini adalah hasil photo copy yang diberi Fahmi, selaku pengurus Pondok Pesantren Sirojul Huda. Sumber ini adalah asli yang diketik dalam kertas HVS

dilanjutkan dengan pengamatan lebih mendalam tentang proses komunikasi terapeutik terapis pada saat kegiatan terapi anak retardasi mental, dan mengumpulkan data

Dengan demikian, angsuran per bulan yang harus dibayar Atekan kepada KJKS BMT NUSYA yang terdiri dari angsuran pokok hutang dan biaya sewa adalah:. Angsuran Pokok :

Form pengolahan data nasabah adalah form yang ditampilkan sebagai form untuk mengolah data nasabah pada Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Bank Dikota Medan.. Adapun