• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEMANASAN GLOBAL. hidup termasuk manusia didalamnya. Alam dan makhluk hidup secara natural

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEMANASAN GLOBAL. hidup termasuk manusia didalamnya. Alam dan makhluk hidup secara natural"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANASAN GLOBAL

A. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Bumi adalah tempat tumbuh dan berkembang berbagai spesies makhluk hidup termasuk manusia didalamnya. Alam dan makhluk hidup secara natural membentuk keseimbangan, sinergi, homeostatis, rantai makanan, dan daur hidup. Segala sesuatunya berhubungan di alam dan saling melengkapi satu sama lain. Namun, manusia kadang lalai bahwa bumi ini tidak dihuni sendiri oleh mereka, banyak spesies, flora dan fauna yang semuanya berbagi ruang kehidupan dengan manusia.22

Pemanasan global ditandai dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (Green House Gases). Gas rumah kaca adalah gas-gas yang terdapat di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca pertama sekali ditemukan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier, seorang matematikawan dan fisikawan Perancis pada tahun 1824.23

Istilah efek rumah kaca awalnya diambil dari cara menanam yang digunakan petani di daerah/negara yang memiliki empat musim. Petani tersebut menanam sayuran di dalam rumah kaca untuk menjaga suhu ruangan agar tetap hangat. Sinar matahari yang masuk dipantulkan oleh benda-benda permukaan       

22 Kuncoro Sejati, Global Warming, Food, and Water Problems, Solutions, and The Changes

of World Geopolitical Constellation (Pemanasan global, Pangan, dan Air Masalah, Solusi, dan Perubahan Konstelasi Geopolitik Dunia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2011. Hal 7.

23 “Jean Baptiste Joseph Fourier”, http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Baptiste_Joseph_Fourier, diakses pada 20 Oktober 2013.

(2)

dalam rumah kaca tersebut, saat dipantulkan, sinar tersebut berubah menjadi energi panas berupa sinar inframerah, selanjutnya energi panas tersebut terperangkap dalam rumah kaca dan tidak bercampur dengan udara di luar yang dingin. Maka suhu dalam rumah kaca akan lebih tinggi daripada suhu di luar rumah kaca.24 Sama halnya dengan atmosfer bumi, fungsinya sama dengan rumah kaca yang digunakan oleh petani dalam becocok tanam. Menurut Protokol Kyoto, Gas-gas rumah kaca tersebut terdiri dari : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Sulphur Hexafluoride (SF6), Hydro Fluoro Carbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC).25

Gas rumah kaca sebenarnya sangat dibutuhkan oleh semua makhluk di bumi, karena tanpa gas rumah kaca maka bumi akan menjadi sangat dingin. Suhu rata-rata bumi adalah 15° Celcius, bumi sebenarnya telah lebih panas 33° Celcius dari suhunya semula. Jika tidak ada gas rumah kaca, suhu bumi hanya -18° Celcius sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi.26

Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami, tetapi dapat juga timbul karena aktivitas manusia. gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau, dan sungai. Karbon dioksida (CO2) yang timbul dari berbagai proses alam seperti letusan vulkanik, pernapasan hewan dan manusia (yang menghurup oksigen (O2) dan melepaskan karbon dioksida (CO2)), juga pembakaran material organik. Karbon dioksida

      

24 Abdul Razak, “Kajian Yuridis Carbon Trade dalam Penyelesaian Efek Rumah Kaca”, Makalah Etika dan Kebijakan Perundangan Lingkungan, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada, 2008. Hal 7-8.

25 “Protokol Kyoto”, Loc. Cit. 26 “Pemanasan Global”, Loc. Cit.

(3)

dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap oleh tanaman untuk proses fotosintesis.27

Matahari merupakan sumber energi bagi bumi. Sebagian besar energi tersebut adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan bumi, energi ini akan berubah dari energi cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi.

Permukaan bumi menyerap sebagian panas dan memantulkan sisanya ke luar angkasa. Sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sinar tampak adalah gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang kita rasakan. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya (komposisinya berlebihan). Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas ke angkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah efek rumah kaca berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah

      

27 Abdul Razak, Kajian Yuridis Carbon Trade dalam Penyelesaian Efek Rumah Kaca, Op. Cit, hal. 11.

(4)

pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.28

Sumbangan gas rumah kaca juga diberikan oleh aktivitas internal bumi, juga aktivitas manusia. Aktivitas internal bumi ternyata menimbulkan dampak terhadap bumi itu sendiri. Contoh proses vulkanik gunung berapi yang menyebabkan pemanasan global adalah letusan Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda yang terjadi pada 26-28 Agustus 1883. Letusan Gunung Krakatau sangat dahsyat. Gunung Krakatau yang pada mulanya merupakan pulau vulkanis yakni Pulau Krakatau, pada tahun 1883 Pulau Krakatau terangkat ke atas menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, batu, pasir, dan debu, kemudian terlempar dengan kekuatan yang sangat amat dahsyat mencapai ketinggian troposfer, bahkan sampai sangat mungkin sampai pada ketinggian stratosfer. Hal ini dikarenakan material vulkanik tidak hanya jatuh di Selat Sunda tetapi sampai ke daerah-daerah lain. Bahkan debu (abu) vulkanik setelah berbulan-bulan masih menutupi atmosfer Eropa. Konon, setelah lewat dari 6 bulan, sebagian debu (abu) vulkanik jatuh di daratan Eropa.29 Pada saat debu (abu) vulkanik Krakatau melayang-layang di atmosfer, terjadilah lapisan “selimut abu” mengungkung bumi. Jadilah Pemanasan global pada tahun 1883 yang disebabkan aktivitas internal bumi.30

Sedangkan sumbangan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia menurut hasil laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007, secara umum kontributor emisi gas rumah kaca ini dapat dibagi menjadi tujuh       

28 Haneda, “Hubungan Efek Rumah Kaca Pemanasan global dan Perubahan Iklim”, 2004. Sebagaimana dimuat dalam http://www.scribd.com/doc/137891172/Efek-Rumah-Kaca-1, diakses pada 5 November 2013.

29 Wisnu Arya Wardana, Dampak Pemanasan global, Op. Cit. Hal. 55-56. 30 Ibid. Hal. 59.

(5)

kategori. Lebih dari seperempat emisi gas rumah kaca dihasilkan dari produksi listrik dan panas (26%). Sementara itu kegiatan industri menyumbang seperlima bagian (20%). Proporsi yang hampir mirip jika dibandingkan dengan gabungan emisi transportasi (13%) dan bangunan (8%). Deforestasi atau penebangan hutan di negara-negara berkembang juga menyumbanang hampir seperlima bagian (17%). Kegiatan perkebunan, terutama yang menghasilkan gas metan (methane) mewakili 13% emisi global, dan sampah yang juga menghasilkan gas metan hanya 3%.31

Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil/BBF (Bahan Bakar Fosil).32 Pengguna terbesarnya adalah negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dan lain-lain. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negera-negara selatan. Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan

      

31 Araund Bohre, Nick Eyre, dan Nicholas Howarth, Carbon Markets An International

Bussiness Guide, London, Earthscan, 2009, hal. 8.

32 Bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang terbentuk dari proses alam seperti dekomposisi anaerobik dari sisa-sisa organisme termasuk fitoplankton dan zooplankton yang mengendap ke bagian bawah laut (atau danau) dalam jumlah besar, selama jutaan tahun. Bahan bakar fosil merupakan sumber daya tak terbarukan karena proses pembentukannya memerlukan waktu jutaan tahun, sedangkan cadangan di alam habis jauh lebih cepat daripada proses pembentukannya. Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah penduduk dunia juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga peningkatan akan kebutuhan energi tidak dapat dihindarkan lagi. Saat ini, hampir semua kebutuhan energi yang manusia gunakan diperoleh dari konversi sumber energi fosil, misalnya energi untuk pembangkit listrik, industri dan berbagai macam alat-alat transportasi. Lihat: Intisolar, “Dampak Pemakaian Energi Fosil”, sebagaimana dimuat dalam: http://www.intisolar.com/news/dampak_pemakaian_energi_fosil.html, diakses pada 24 Februari 2014.

(6)

skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrialisme dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara.33

Berdasarkan kronologis sejarah pemanasan global dimulai dari tahun 1841. Saat itu ilmuwan Jean Baptiste Joseph Fourier menulis tentang pemanasan bumi di surat kabar “Milwaukee Sentinel and Wisconsin Farmer” pada 4 Desember 1841. Namun saat itu pemanasan bumi dianggap sebagai suatu perkembangan positif bagi kehidupan manusia.

Pada tahun 1894 mulai banyak tulisan di surat kabar yang memberitakan tentang revolusi industri, seperti dimuat dalam “The Daily Mail North Western” dan di “The Daily Nebraska State Journal”.34 Pada zaman ini peradaban manusia menemukan momentumnya ketika muncul revolusi industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap, lampu dan telepon. Manusia kemudian menciptakan mesin-mesin yang memudahkan hidupnya. Industrialisasi memberi banyak kebaikan sehingga pertumbuhan populasi manusia mulai meningkat pesat. Namun para ilmuwan mencatat periode ini menjadi titik awal polusi lingkungan dan proses industrialisasi.35

      

33 “Efek Global Warming Terhadap Perubahan Iklim”, sebagaimana dimuat dalam http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global/1589--efek-global-warming -terhadap-perubahan-iklim, diakses pada 6 Januari 2013.

34 Divisi Penerbitan dan Dokumentasi PPLH Seloliman Malang Science Research Institution,

Ada Apa Dengan Ozon?, Mojokerto, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman,

2007, hal. 29.

35 Proses industrialisasi merupakan bagian dari proses modernisasi dimana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi. Dalam industrialisasi ada perubahan filosofi manusia dimana manusia mengubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih kepada rasionalitas (tindakan didasarkan pada pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan). Menurut para peneliti ada factor yang menjadi acuan industrialisasi, mulai dari lingkungan politik dan hukum yang menguntungkan untuk dunia industry dan perdagangan, bisa juga dengan sumber daya alam yang beragam dan melimpah, dan juga sumber daya manusia yang cenderung rendah biaya, memiliki kemampuan, dan dapat beradaptasi dengan pekerjaannya. Sebagaimana dimuat dalam “Industrialisasi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Industrialisasi, diakses pada 24 Februari 2014.

(7)

Mulai dari jaman revolusi industri, konsentrasi gas karbon dioksida di atmosfer telah meningkat. Peningkatan gas-gas ini menyebabkan kemampuan atmosfer untuk menahan panas menjadi lebih besar. Sulfat aerosol, yaitu polutan udara yang umum ditemui, mendinginkan atmosfer dengan merefleksikan kembali radiasi cahaya dari matahari ke luar angkasa. Tetapi senyawa sulfat ini mempunyai siklus umur yang pendek di atmosfer.

Para ilmuwan berasumsi bahwa pembakaran dari bahan bakar fosil dan beberapa aktivitas manusia yang memicu dan menjadi penyebab utama meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Respirasi dari tanaman dan proses dekomposisi bahan organik melepaskan karbon diokasida sepuluh kali lebih banyak dari yang mampu dihasilkan oleh aktivitas manusia, tetapi selama berabad-abad pelepasan karbon diokasida ini diimbangi dengan penyerapan karbon dioksida oleh vegetasi terestial dan laut. Keseimbangan ini terganggu disebabkan adanya pelepasan tambahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Bahan Bakar Fosil (BBF) dibakar sebagai sumber energi untuk menggerakan hampir seluruh peralatan manusia. Meningkatnya kegiatan agrikultural, penggundulan hutan, dibukanya area kosong sebagai tempat pembuangan, produksi industri, dan pertambangan juga meningkatkan emisi dengan bagian yang cukup signifikan.36

Tahun 1913-1914 ilmuwan Swedia Laureate Svente Arrthenius memprediksi iklim bumi akan memanas secara perlahan. Seperti dikutip dalam

      

36Forum Hijau Indonesia, “Menyingkap Kebenaran Pemanasan Global”, 2012, sebagaimana dimuat dalam https://www.facebook.com/ForumHijauIndonesia/posts/321688517922252, diakses padaAgustus 2013.

(8)

Washington Post tanggal 23 Maret 1913, Arrhenius memprediksi perubahan ini

akan terjadi ribuan tahun yang akan datang.

Tahun 1949-1950 seorang peneliti bernama GS Callendar menulis di Koran “The Nebraska State Journal” pada tanggal 23 Oktober 1949, bahwa efek gas rumah kaca adalah diakibatkan oleh ulah manusia. Respon dari para ilmuwan saat itu adalah mengembangkan cara baru untuk mengukur iklim bumi.

Tahun 1950-1970 pengembangan teknologi baru membawa kekhawatiran lebih besar tentang pemanasan global dan efek rumah kaca. Sejumlah studi menunjukkan tingkat karbon dioksida di atmosfir terus meningkat setiap tahunnya dan sarat tentang bahaya polusipun semakin meningkat.37

Manusia telah mulai menyadari masalah pemanasan global ini merupakan masalah global yang perlu dibicarakan secara serius di tingkat internasional. Tahun 1972 dilaksanakan konfrensi lingkungan hidup pertama di Stockholm, Swedia. Pada pertemuan ini menghasilkan pendirian United Nations Environment

Programme (UNEP),38 Maurice Strong dari Kanada mengetuai konferensi dan akan ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif UNEP yang pertama.39

Pertemuan lingkungan hidup ini lah yang menjadi cikal bakal pertemuan-pertemuan selanjutnya untuk membahas masalah lingkungan global terutama       

37 Divisi Penerbitan dan Dokumentasi PPLH Seloliman Malang Science Research Institution,

Ada Apa Dengan Ozon?, Op. Cit. Hal. 29-31.

38 UNEP merupakan organisasi utama PBB di bidang lingkungan hidup, yang pada dasarnya melakukan pemantauan dan penelitian secara ilmiah pada tingkat global dan regional serta memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. UNEP juga melakukan kemitraan dan dukungan kapasitas pada tingkat nasional dengan tujuan untuk mengangkat isu lingkungan dalam pembangunan. Baca: Ella Syafputri, “Indonesia Usul UNEP Diperkuat”, 2013, sebagaimana dimuat dalam http://www.antaranews.com/berita/359758/indonesia-usul-unep-diperkuat, diakses pada 3 Januari 2014.

39 Fitria, “Kejadian Penting Perlindungan Lingkungan Dunia 1945 – 2002”, 2013, sebagaimana dimuat dalam http://lingkungan.net/2013/04/kejadian-penting-perlindungan-lingkungan-dunia-1945-2002/, diakses pada 3 Januari 2014.

(9)

masalah pemanasan global. Bagian ini hanya membahas sejarah pemanasan global. Sedangkan konferensi-konferensi internasional terkait pemanasan global secara rinci akan dibahas pada bagian selanjutnya.

B. Dampak Pemanasan Global dan Upaya Internasional Dalam Menyelamatkan Bumi Dari Pemanasan Global

Dunia internasional saat ini sedang mengarahkan perhatiannya terhadap pemanasan global. Pemanasan global berdampak langsung terhadap perubahan iklim. Maknanya bahwa pemanasan global berdampak pada seluruh makhluk hidup di bumi. Mencairnya gunung-gunung es di kutub, naiknya permukaan air laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil merupakan beberapa efek domino yang sekarang terpantau jelas di depan mata. Hilangnya sejumlah spesies, putusnya mata rantai makanan, munculnya berbagai macam penyakit, berkurangnya kemampuan tumbuhan untuk berkembang secara baik, merupakan dampak lain yang kini kian dirasakan.

Dampak dari pemanasan global yang melanda bumi ini salah satunya dapat menyebabkan hilangnya daratan. Pemanasan global menyebabkan permukaan es mencair. Es yang mencair tersebut menyebabkan volume air laut meningkat, sehingga lambat laun dapat menenggelamkan daratan yang ada di bumi ini.

Sebagai contoh pada abad ke-20, permukaan air laut naik sebesar 10-20 cm. Memuainya air laut disebabkan oleh panas atmosfer yang menembus ke dalam laut dengan kedalaman 3000m. Sehingga kenaikan suhu paling terlihat

(10)

terjadi di kedalaman 300m, di mana suhunya naik sekitar 0,25Ԩ. Keadaan seperti itu terjadi dalam 40 tahun terakhir ini. Daratan di bumi ini bisa lebih cepat lagi terendam air laut, jika tidak ada air yang tertimbun di dalam waduk atau perairan lain yang ada di daratan.40

Meskipun kenaikan suhu udara dan muka air laut kelihatannya kecil, beberapa tempat atau ekosistem atau masyarakat tertentu akan sangat rentan menghadapi perubahan tersebut. Kondisinya akan diperburuk apabila kemampuan ekosistem atau masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim rendah. Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami, dan keanekaragaman hayati.

Dampak lainnya yang akhir-akhir ini terjadi adalah pada awal Januari 2014 di belahan selatan Bumi, Australia memanas. Pada 3 Januari 2014, ABC melaporkan bahwa Australia mengalami musim panas ekstrem akibat pengaruh gelombang panas. Wilayah Queensland mencapai suhu 40° Celsius. Beberapa tempat lain bahkan melebihi 45° Celsius.

Sementara Australia luar biasa panas, Amerika Serikat luar biasa dingin akibat pengaruh “polar vortex”. Suhu di beberapa wilayah Amerika Serikat misalnya di Allaghas, Maine, bisa mencapai -36° Celsius, sementara di Kansas City bisa mencapai -22° Celsius. Dengan pengaruh angin, warga bisa merasakan

      

(11)

seolah berada di tempat bersuhu hingga -50° Celsius.41 Peristiwa ini menyebabkan sekitar 21 orang tewas.42

“Polar vortex” adalah semacam siklon yang terdapat di kutub yang dalam kondisi normal tetap berada di wilayah kutub. Namun, aliran massa udara panas dari Pasifik menyebabkan udara dingin dari kutub bergerak ke selatan. Massa udara panas berperan sebagai pemandu. Sebagai akibatnya, udara dingin dari kutub menjalar jauh ke selatan, mencapai wilayah utara dan tengah Amerika Serikat, memicu musim dingin ekstrem.43

Pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Army Susandi, mengatakan, fenomena musim panas dan dingin ekstrem di Australia dan Amerika merupakan bukti perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat tidak menandatangani Protokol Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi pemanasan Global. Belakangan Kanada ikut keluar dari Protokol Kyoto. Sekarang kedua negara tersebut terlanda suhu dingin ekstrem.44

Sementara itu, daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman. Peningkatan suhu pada gilirannya akan mengubah pola dan distribusi curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi semakin basah sehingga kelestarian sumber daya air akan       

41 Nurul Folda, “Serangan Suhu Dingin Di Amerika Serikat – Dampak Pemanasan Global?” sebagaimana dimuat dalam http://id.voi.co.id/voi-komentar/5235-serangan-suhu-dingin-di-amerika-serikat-dampak-pemanasan-global, diakses pada 17 Januari 2014.

42 “The Big Thaw Begins: FROZEN BODIES Found in Snow as Temperatures Begin to Rise After Brutal Polar Vortex Leaves 21 Dead and 11,000 Flights Grounded”, http://www.dailymail.co.uk/news/article-2535695/So-cold-Hell-frozen-Small-Michigan-town-country-plunged-freezing-temperatures polar vortex-things-warming-day-two.htm l#ixzz2qmjkifel, diakses pada 19 Januari 2014.

43 Nurul Folda, Loc. Cit. 44 Ibid.

(12)

terganggu. Maka perlu ada tindakan nyata dari dunia internasional dalam upaya penyelamatan bumi serta usaha-usaha pencegahan agar dampak pemanasan global dapat dikurangi.45

Dampak pemanasan global yang terjadi sekarang ini sudah terasa di seluruh penjuru bumi. Pemanasan global yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Hal ini dikarenakan zaman yang semakin maju, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) semakin berkembang.

Sadar atau tidak berbagai aktivitas manusia tersebut memicu menipisnya lubang ozon sehingga mengakibatkan pemanasan global. Negara maju46 maupun negara berkembang47 sudah menyadari terjadinya pemanasan global yang telah memberi banyak dampak bagi negara mereka.

Negara-negara maju disebut-sebut sebagai negara-negara penghasil emisi karbon yang lebih besar daripada negara berkembang tidak luput dari dampak pemanasan global, walaupun dampak yang mereka rasakan tidak sebesar yang dirasakan oleh negara berkembang yang kebanyakan berada di sekitar khatulistiwa. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, Tanzania, Brazil, dan lain-lain yang umumnya berada di sekitar khatulistiwa menderita       

45 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Jakarta, Kompas, 2003. Hal. 18-19.

46 Negara maju disebut juga developed countries yang pada umumnya memiliki cirri-ciri seperti: tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), telah merdeka atau memperoleh kemerdekaannya sebelum tahun 1945, memiliki industri yang kuat dan kebanyakan berada di Benua Eropa atau memiliki tradisi Eropa (Amerika Serikat, Kanada, dan Australia). Negara maju, kecuali Jepang juga diistilahkan sebagai negara-negara Barat (Western States). Lihat dalam Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju”, Pidato Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001, hal. 2.

47 Negara Berkembang yang tergabung dalam Kelompok-77(Group-77) dapat dicirikan sebagai negara yang memperolehkemerdekaan setelah tahun 1945, sedang dalam proses membangun,dan kebanyakan berada di Benua Asia, Afrika dan sebagian BenuaAmerika (Amerika Latin). Dalam Hikmahanto Juwana, Loc. Cit.

(13)

dampak kenaikan suhu bumi. Negara-negara berdataran rendah juga menderita banjir besar seperti Bangladesh, Laos, Nigeria, Argentina, dan lain-lain. Tampaklah bahwa dampak perubahan iklim memukul negara berkembang lebih besar ketimbang negara maju.48

Kesadaran bahwa pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim akan mengancam keberlanjutan kehidupan di dunia, menjadikan negara-negara di dunia baik negara maju maupun negara berkembang berputar otak mencari cara untuk mengatasi pemanasan global yang tengah terjadi.

Pemanasan global telah lama disadari bahwa benar terjadi dan mengancam peradaban di bumi. Namun baru mulai kurun waktu 1970an diadakan pertemuan yang secara sungguh-sungguh membahas masalah lingkungan terutama pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. Sejak masa itulah masyarakat internasional mulai mencoba mencari solusi untuk menurunkan emisi karbon yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim dengan berbagai cara.

Cara yang paling mudah untuk mengurangi karbon dioksida di udara adalah dengan reboisasi (reforestation). Selain itu banyak dikembangkan cara-cara lain seperti penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir masih kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya.

Alat penyaring khusus gas buangan perlu digunakan oleh kendaraan bermotor pada bagian knalpot (tempat keluar gas buangan) yang dapat       

48 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Op. Cit. Hal xiii.

(14)

menetralisir dan mengurangi dampak negatif gas buangan tersebut. Bisa juga dengan mengganti bahan bakar dengan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, seperti tenaga surya (matahari) atau biodisel. Perlu dikeluarkan regulasi tentang usia kendraan bermotor yang boleh beroperasi agar tidak

menimbulkan pencemaran.

Selain itu perlu diadakan kerja sama internasional untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Apabila pada suatu negara diterapkan peraturan kebijakan lingkungan yang ketat, maka ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang serius, konsisten, dan berkelanjutan agar masalah pemanasan global ini dapat diatasi atau diminimalisir.

Salah satu upaya internasional dalam menyelamatkan dunia dari pemanasan global selain dari teknologi-teknologi tersebut adalah perdagangan karbon antar negara di dunia. Cara ini diharapkan dapat menekan emisi karbon yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia. Perdagangan karbon ini dapat menimbulkan simbiosis mutualisme antara negara-negara pelaku bisnis perdagangan karbon itu sendiri.

Perdagangan karbon diharapkan dapat membantu menekan emisi karbon yang bermanfaat bagi pembangunan berkelanjutan49 dan bermanfaat bagi

      

49 Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, efisien, dan memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang. Di dalamnya terkandung dua gagasan penting, yaitu: (a) Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup, (b) Gagasan keterbatasan, yakni keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan baik masa kini maupun masa

(15)

perekonomian negara-negara pelaku perdagangan karbon. Selain cara-cara yang dapat dilakukan manusia untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan di bumi, manusia juga sudah sejak lama memikirkan untuk mencari planet pengganti bumi yang usianya sudah semakin menua. Para ilmuwan dunia melakukan berbagai studi tentang penemuan planet pengganti bumi yang disebut

Super-Earth50 sejak sekitar dua dasawarsa lalu. Penemnuan terakhir pada tahun 2013, ditemukan beberapa planet yang berjarak 22 tahun cahaya dari matahari.

Planet-planet ini dapat dihuni, karena diperkirakan memiliki permukaan dan atmosfer yang sama dengan bumi, juga memiliki hari dan tahun yang sama panjangnya dengan bumi. Penemuan mengatakan bahwa siang planet-planet tersebut akan diterangi oleh matahari dan saat malam hari bulan juga akan bersinar, sama halnya di bumi.51

       

yang akan datang. Lihat: Sri Hayati, “Pembangunan Berkelanjutan”, sebagaimana dimuat dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196202131990012-SRI_HAYATI/ MK-EKOLOGI_DAN_LINGKUNGAN/PB.pdf, diunduh pada 24 Februari 2014.

50

Nicolas B. Cowan, a postdoctoral fellow at Northwestern University said thatSuper-Earths are expected to have deep oceans that will overflow their basins and inundate the entire surface, but we show this logic to be flawed. Terrestrial planets have significant amounts of water in their interior. Super-Earths are likely to have shallow oceans to go along with their shallow ocean basins. In the study, the research team treated exoplanets like Earth, which has a significant amount of water in its mantle. Rock within the mantle contains tiny amounts of water, but because the mantle is so large - those small amounts of water add up to a large quantity. A water cycle deep within the Earth moves water between oceans and the mantle. The division of water between the oceans and mantle is determined by seafloor pressure, which is relative to gravity.

Lihat dalam: Brett Smith, http://www.redorbit.com/news/space/1113042735/super-earths-may-be-like-planet-earth-010914/, diakses pada 17 Januari 2014.

51 “Three Super-Earths Discovered In Habitable Zone Of Same Star For The First Time”, sebagaimana dimuat dalam http://rt.com/news/super-earths-habitable-zone-228/, diakses pada tanggal 17 Januari 2014.

(16)

C. Ketentuan Tentang Pemanasan Global dalam Hukum Internasional

Hukum Internasional52 menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara negara dengan negara, dan negara dengan subjek hukum lain yang bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.53 Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim merupakan permasalahan yang melintasi batas negara mengenai suatu fenomena dalam lingkup internasional, termasuk di dalamnya akan mencampurkan aspek ilmu pengetahuan alam hayati yang tentunya dibalut dalam nuansa scope internasional, sehingga dapat dilihat dan ditarik keterkaitan serta kompleksitas antara masalah lingkungan global dengan hubungan antar negara.

Pemanasan global merupakan isu lingkungan hidup yang pemahamannya berakar dari disiplin Ilmu Alam Hayati yang dijadikan menjadi isu internasional belakangan ini kerap diangkat dalam berbagai forum dan kajian kerjasama internasional. Isu pemanasan global menjadi salah satu kajian yang dapat diklasifikasikan dalam kajian yang keberadaannya dapat mendorong negara-negara atau masyarakat internasional untuk ikut terlibat dalam penanganannya,

       52

Lebih lanjut oleh Starke mendefinisikan hukum internasional sebagai seperangkat hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan perilaku dan azas-azas dimana negara-negara itu sendiri terikat dan menghormatinya dan oleh karenanya secara umum dihormati dalam hubungan antar negara satu sama lain serta mencakup juga: (a) peraturan-peraturan yang berkaitan dengan fungsi lembaga atau organisasi internasional, hubungan organisasi internasional dengan negara-negara serta dengan individu, (b) peraturan-peraturan tertentu berkenaan dengan individu-individu dan kesatuan kesatuan bukan negara sepanjang hak-hak dan kewajibannya menyangkut masyarakat internasional. Baca dari: Rosmi Hasibuan, Hukum Internasional, Bahan Perkuliahan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011. Hal. 2.

53 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Alumni, 2003. Hal. 1.

(17)

hal ini dikarenakan masalah pemanasan global dianggap bersifat implikatif yang menimbulkan reaksi berantai.

Begitu penting dan tingginya tingkat urgensi masalah pemanasan global hingga mendorong banyak pihak untuk mengangkat dan menjadikannya menjadi komoditas isu hangat dalam setiap pertemuan forum internasional yang menghasilkan beberapa perjanjian internasional seperti deklarasi, konvensi, protokol, dan juga agreement (persetujuan).

Deklarasi, konvensi, protokol dan agreement tersebut pada dasarnya sama yakni merupakan perjanjian internasional, namun terdapat perbedaan diantaranya. Deklarasi merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu dimasa yang akan datang. Bedanya dengan konvensi adalah deklarasi isinya ringkas dan padat serta mengeyampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal54. Konvensi biasanya bersifat

law-making yang artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat

internasional.55 Protokol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibanding konvensi. Protokol mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya.56 Sedangkan agreement mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil daripada deklarasi, konvensi maupun protokol. Perjanjian dalam bentuk-bentuk seperti tersebut diataslah yang dihasilkan dalam pertemuan-pertemuan yang mengkaji masalah pemanasan       

54 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika

Global, Bandung, PT. Alumni, 2011. Hal. 93-94.

55 Ibid, hal 91.       56 Ibid, hal 92-93.

(18)

global. Namun tidak tertutup kemungkinan perjanjian internasional dalam bentuk lain terbentuk pada pertemuan-pertemuan tersebut.

Isu pemanasan global pertama kali diangkat sebagai sebagai salah satu agenda dalam pertemuan negara-negara dalam ranah hubungan internasional pada tahun 1972, hal ini ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup di Stockholm, Swedia. Konfrensi Stockholm57 ini menghasilkan sebuah deklarasi yang disebut dengan Deklarasi Stockholm. Dalam Deklarasi Stockholm telah disadari bahwa kegiatan manusia dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang akhirnya berdampak pada pemanasan global.

Salah satunya dalam article 3 Deklarasi Stockholm diproklamirkan:58 “Man has constantly to sum up experience and go on discovering,

inventing, creating and advancing. In our time, man's capability to transform his surroundings, if used wisely, can bring to all peoples the benefits of development and the opportunity to enhance the quality of life. Wrongly or heedlessly applied, the same power can do incalculable harm to human beings and the human environment. We see around us growing evidence of man-made harm in many regions of the earth: dangerous levels of pollution in water, air, earth and living beings; major and undesirable disturbances to the ecological balance of the biosphere; destruction and depletion of irreplaceable resources; and gross deficiencies, harmful to the physical, mental and social health of man, in the man-made environment, particularly in the living and working environment.”

      

57 Dalam konfrensi Stockholm terdapat beberapa hal penting, yaitu: (a) Merupakan konfrensi pertama tentang lingkungan hidup di tingkat dunia, (b) Konfrensi ini menjadi acuan/referensi bagi para pakar hukum untuk menentukan hak dan kewajiban warga negara untuk lingkungan, (c) Mendorong lahirnya pertumbuhan hukum lingkungan di tingkat nasional, internasional dan multilateral, misalnya: diadakannya konfrensi perubahan iklim tahun 1992. Jelly Leviza, Bahan Kuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012.

58 “Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment”, dalam http://www.unep.org/Documents.Multilingual/Default.asp?documentid=97&articleid=1503, diakses pada 17 Maret 2014.

(19)

Artinya, manusia secara terus-menerus memperbanyak pengalamannya dan terus menggali, menemukan serta terus mengalami kemajuan, di masa kini, kemampuan manusia untuk mengubah lingkungannya jika digunakan secara bijak, dapat membawa manfaat yang membangun bagi semua bangsa dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup. Penerapan yang salah dan semena-mena, dapat sangat membahayakan manusia dan lingkungannya. Namun kenyataannya semakin banyak bukti dari kebrutalan kelakuan manusia di berbagai belahan dunia tingkat pencemaran baik air, udara, bumi serta makhluk hidup berada pada tingkatan yang berbahaya, bencana hebat yang tidak dikehendaki terhadap keseimbangan biosfer, kehancuran dan penipisan sumber daya non hayati.

Sejak Deklarasi Stockholm 1972 dideklarasikan, persoalan lingkungan hidup mulai menjadi pusat perhatian masyarakat Internasional. Satu dasawarsa setelah dilaksanakannya Konferensi Stockholm 1972, masyarakat Internasional berusaha untuk mengurangi rusaknya lingkungan. Pada tahun 1992 diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan yang lebih dikenal dengan nama United Nations Conference on

Environment and Development (UNCED) di Rio de Jeneiro, Brazil dalam rangka

penyelesaian masalah lingkungan di dunia. Para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi rencana-rencana besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan sementara menyejahterakan manusia melalui pembangunan.59

      

59 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Op.

(20)

Dalam KTT Bumi ini menghasilkan Deklarasi Rio, Prinsip-prisnsip Kehutanan (Forestry Principles), Agenda 21,60 Konvensi Perubahan Iklim

(United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) dan

Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pada kesempatan itu juga, 154 negara peserta. KTT Bumi menandatangani kerangka kerja perubahan iklim yang selanjutnya disebut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan paling utama konvensi ini adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada level mencegah bahaya terjadinya perubahan sistem iklim akibat kegiatan manusia. Hal ini dimuat dalam article 2 UNFCCC sebagai berikut:

“The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with the relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system. Such a level should be achieved within a time-frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally to climate change, to ensure that food production is not threatened and to enable economic development to proceed in a sustainable manner.”61

Para pihak yang meratifikasi UNFCCC ini kemudian tergolong dalam

Conference of Parties (CoP). CoP mengadakan pertemuan rutin yang membahas

mengenai permasalahan lingkungan global termasuk masalah pemanasan global dan perubahan iklim. Pada sidang pertama Konferensi Para Pihak (First Session of

the Conference of Parties CoP1) yang diadakan di Berlin, Jerman tahun 1995.

      

60 Agenda 21 merupakan program lingkungan di abad 21, yakni cara pengelolaan lingkungan hidup di dunia. Agenda 21 terbagi dua, yaitu, (a) Agenda 21 global, berisi antara lain: memberantas penyebaran penyakit di dunia, memberantas buta huruf, dan memberantas kemiskinan, (b) Agenda 21 nasional, berisi tentang bagaimana negara merencanakan penanganan masalah lingkungan hidup di negara tersebut. Jelly Leviza, Loc. Cit.

(21)

Dalam pertemuan tersebut menghasilkan komitmen negara-negara maju yang bertujuan untuk mengembalikan emisi ke tingkat 1990 menjelang 2000, sangat tidak memadai untuk mencapai tujuan panjang konvensi untuk menghindari pengaruh manusia yang membahayakan sistem iklim bumi. Petemuan ini menghasilkan Mandat Berlin (Berlin Mandate). Setelah delapan kali bersidang Ad Hoc Group in Berlin Mandate menghasilkan sebuah teks yang diajukan kepada CoP 3 untuk menghasilkaan negosiasi terakhir.62

Pada pertemuan CoP 3 yang diadakan di Kyoto pada tahun 1997. Konferensi tersebut menghasilkan suatu Protokol yang disebut dengan Protokol Kyoto (Kyoto Protocol). Dalam Protokol Kyoto mengatur lebih lanjut klausul-klausul tertentu dari Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) yakni menstabilkan gas rumah kaca seperti yang disebutkan dalam article 2 UNFCCC dan diarahkan melalui article 3 UNFCCC yang akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya.

Negara-negara yang sepakat ambil bagian dalam upaya menstabilkan gas rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim harus melakukan tindakan-tindakan untuk melindungi iklim yang bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Protokol inilah yang merupakan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012.63

Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi gas rumah kaca secara bersama-sama. Jumlah emisi gas rumah kaca yang harus diturunkan tersebut dapat       

62 Siti Khairunissa, Analisis Yuridis Atas Penerapan Carbon Trading Dalam Prepektif

Protokol Kyoto dan REDD+ Untuk Kawasan Hutan Di Indonesia, Medan, Skripsi Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012. Hal. 16

(22)

meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.

Penurunan gas rumah kaca melibatkan negara maju dan negara-negara berkembang. Dalam Protokol Kyoto negara-negara-negara-negara tersebut dibagi dalam negara-negara Annex I dan negara-negara non-Annex I. Negara-negara Annex I adalah negara-negara yang telah mengontribusikan gas rumah kaca hasil kegiatan manusia lebih banyak disbanding negara non-Annex I. Sedangkan negara-negara non-Annex I adalah negara-negara-negara-negara selain Annex I, yang mengemisikan gas rumah kaca jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding negara-negara Annex I.

Hingga memasuki periode kedua Protokol Kyoto tahun 2013, 200 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto.64 Amerika Serikat menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto, karena Amerika Serikat menganggap bahwa Protokol Kyoto akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian Amerika Serikat dan kewajiban negara maju menurunan emisi karbon dianggap tidak adil oleh Amerika Serikat.

Untuk memberi jalan bagi upaya pengurangan emisi, maka Protokol Kyoto membentuk tiga mekanisme yang disebut Flexible Mechanism atau mekanisme fleksibel. Disebut mekanisme fleksibel karena ketiga mekanisme ini memberi kesempatan bagi negara-negara yang menyetujui Protokol Kyoto untuk bisa memilih mekanisme mana yang akan membantu negara-negara tersebut untuk

       64

“Kesempatan Kedua untuk Protokol Kyoto”, dalam http://www.hijauku.com/2012/12/09/kesemp atan-kedua-untuk-protokol-kyoto/, diakses pada 17 Maret 2014.

(23)

mengurangi emisi.65 Ketiga mekanisme ini adalah: Emission Trading (Pasal 17),

Joint Implementation (Pasal 6), dan Clean Development Mechanism (Pasal 12).66

Mekanisme Fleksibel berpengaruh pada perekonomian dan pembangunan berkelanjutan di negara-negara yang mengimplementasikan Mekanisme Fleksibel ini. Mengenai Mekanisme Kyoto akan dibahas lebih rinci pada bab selanjutnya.

CoP 4 tahun 1998 diadakan di Buenos Aires, Argentina, mengadopsi

Buenos Aires Plan of Action (BAPA) yang dirancang untuk program

mengoprasikan secara detail Protokol Kyoto. Pada CoP 5 tahun 1999 di Bonn, Jerman, menargetkan pencapaian terukur agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum, pertemuan ini menghasilkan Plann Agreements.

Tahun 2000 diselenggarakan CoP 6 di Den Haag, Belanda, pertemuan ini gagal bersepakat mengambil keputusan dibawah BAPA. Lalu diadakan CoP 6 part II di Bonn pada tahun 2001. Para pihak mengadopsi perintah Bonn (Plann

Agreements), mendaftarkan consensus politik atau isu-isu kunci dibawah BAPA.

Para pihak juga menyelesaikan sejumlah keputusan detail namun masih menyisakan beberapa sisa kesepakatan.67

Pada CoP 7 di Marrakesh tahun 2001, memfinalkan dan mengadopsi hasil keputusan CoP 6b (CoP 6 part II) yang hasilnya disebut dengan Marrakesh

Accord. Isu-isu kritis yang dibahas dalam CoP 7 berkaitan dengan implementasi

BAPA, yakni menyangkut pedoman pelaksanaan Pasal 5 tentang sistem nasional       

65 Bernadinus Steni, Perubahan Iklim, REDD, dan Perdebatan Hak: Dari Bali Sampai

Copenhagen, Jakarta, Perkumpulan HuMa, 2010. Hal. 21.

66 Bernad Hansjurgens, dan Ralf Antes, ed., Economics and Management of Climate Change, Liepzig/Oldenburg, Springer, 2008. Hal. 3.

67 “CoP 13 Tonggak Sejarah DNPI”, 2013,

xdll_20131009_paper__Buku%205%20Tahun%20DNPI-Perubahan%20Iklim%20dan%20 Tantangan%20Peradaban%20Bangsa-Bab%201.pdf,diunduh pada 2 Maret 2014.

(24)

dan metodologi yang akan digunakan dalam inventarisasi emisi pada tingkat nasional, Pasal 7 tentang komunikasi informasi, dan Pasal 8 Protokol Kyoto tentang peninjauan informasi yang disampaikan para pihak; tentang Land Use,

Land Use Change, and Forestry (LULUCF), mekanisme protokol dan penataan. 68 Memberikan masukan bagi World Summit Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan yang menyebutkan perlunya:69

a. Menekankan prinsip Common But Differentiated Responsibilities/CBDR. b. Menegakkan terus pilar pembangunan berkelanjutan.

c. Keterkaitan antara UNFCCC dan CBD.

d. Mempertimbangkan kemajuan yang telah dibuat sejak UNCED di Rio de Jeneiro 1992.

Penguhujung tahun 2007, Bali, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan negara-negara guna membahas isu lingkungan global mengenai perubahan iklim sebagai kelanjutan dari KTT Bumi. Pertemuan ini dihadiri sekitar 180 negara di dunia.

Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali menghasilkan Bali Roadmap,dimana terdapat tiga hal penting, yaitu:70

1. Tercapainya kesepakatan dunia.

2. Menyepakati 4 agenda sebagai berikut:

a. Aksi untuk melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim (misalnya banjir dan kekeringan).

      

68 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim,Op.

Cit. Hal. 142.

69 Ibid, Hal 151-152.

70 “Bali Roadmap”, sebagaimana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Bali_roadmap, diakses pada tanggal 17 Januari 2014.

(25)

b. Cara mengurangi emisi GRK.

c. Cara mengembangkan dan memanfaatkan teknologi yang bersahabat dengan iklim.

d. Pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi.

3. Menyepakati target waktu pelaksanaan, yaitu pada tahun 2009.

Adapun Bali Roadmap sendiri terdiri atas lima hal, yaitu komitmen pasca 2012, dana adaptasi, alih teknologi, Reducing Emission from Deforestation in

Developing Countries atau dalam bahasa Indonesia disebut REDD (mengurangi

emisi akibat penggundulan hutan di negara berkembang), dan CDM (Clean

Development Mechanism).71

Pertemuan selanjutnya, diadakan Konferensi Perubahan Iklim 2009 (Uted

Nations Climate Change Conference 2009) atau biasa disebut CoP 15 yang

merupakan KTT internasional mengenai perubahan iklim di Copenhagen (Denmark). Dalam Copenhagen Accord yang dihasilkan dari konferensi ini, terdapat substansi prinsip-prinsip pokok sebagai berikut: Pertama, Accord menetapkan pembatasan peningkatan suhu global 2° Celcius dibanding tingkat praindustri pada 2050. Kedua, Accord memuat komitmen negara maju untuk menyediakan pendanaan US$30 miliar selama 2010-2012 bagi adaptasi (penyesuaian pola pembangunan) dan mitigasi (penurunan emisi) di negara berkembang. Ketiga, Accord menyepakati satu format penyampaian informasi tentang upaya mitigasi melalui target pembatasan dan penurunan emisi yang harus dapat dikuantifikasi bagi negara maju dan indikasi aksi mitigasi yang sejalan

      

(26)

dengan pembangunan berkelanjutan oleh negara berkembang. Keempat, Accord mengenali Proses Mid-Review, yaitu bahwa Accord akan dikaji ulang pada tahun 2015 termasuk kemungkinan mengubah target stabilisasi menjadi 1,5° Celsius.72

Pertemuan dilakukan kembali pada Desember 2010 di Cancun, Mexico. CoP 16 ini menghasilkan Cancun Agreements dengan kesepakatan kunci untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 2° Celcius. Cukup realistis untuk berharap agar CoP 16 Cancun menjadi momentum untuk membangun kepercayaan negara maju dan berkembang dalam perundingan multilateral perubahan iklim dibawah UNFCCC, serta menjadi pijakan untuk tercapainya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat.73 Hal ini berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan iklim.74

Dalam Cancun Agreements, kesepakatan untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 2° Celcius dikemukakan dalam article 3 dan 4:

Article 3: “Recognizes that warming of the climate system is unequivocal and that most of the observed increase in global average temperatures since the mid-twentieth century is very likely due to the observed increase in anthropogenic greenhouse gas concentrations, as assessed by the Intergovernmental Panel on Climate Change in its Fourth Assessment Report;”

Article 4: “Further recognizes that deep cuts in global greenhouse gas emissions are required according to science, and as documented in the Fourth Assessment Report of the Inter-governmental Panel on Climate

      

72 Amanda Katili Niode, “Memahami Hasil Dari Kopenhagen”, sebagaimana dimuat dalam http://www.wwf.or.id/berita_fakta/berita_fakta/newsclimateenergy.cfm?17420/Memahami-Hasil-dari-Kopenhagen, diakses pada 3 Januari 2014.

73 “Siaran Pers: COP 16 Cancun Harus Menjadi Pijakan Untuk Kesepakatan Perubahan Iklim yang Ambisius, Adil, dan Mengikat”, dimuat dalam http://www.iesr.or.id/2010/11/siaran-pers- cop-16-cancun-harus-menjadi-pijakan-untuk-kesepakatan-perubahan-iklim-yang-ambisius-adil-dan-mengikat/ diakses pada 17 Januari 2014.

74 Prinsip keadilan iklim mencakup keselamatan warga, utang ekologis, hak atas lahan dan pola yang adil dalam produksi dan konsumsi. Baca: Walhi, Kiara dan Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF), “COP 17 Durban : Indonesia Harus Memperjuangkan Keadilan Iklim”, sebagaimana dimuat http://csoforum.net/media-release/siaran-pers/506-cop-17-durban-indonesia-harus-memperjuangkan-keadilan-iklim.html, diakses pada 24 Februari 2014.

(27)

Change, with a view to reducing global greenhouse gas emissions so as to hold the increase in global average temperature below 2 °C above pre-industrial levels, and that Parties should take urgent action to meet this long-term goal, consistent with science and on the basis of equity; also recognizes the need to consider, in the context of the first review, as referred to in paragraph 138 below, strengthening the long-term global goal on the basis of the best available scientific knowledge, including in relation to a global average temperature rise of 1.5 °C;”75

Louis Verchot, peneliti senior CIFOR mengemukakan bahwa Perjanjian Cancun juga berhasil menyediakan kerangka kerja untuk beberapa komponen penting dalam upaya mengatasi perubahan Iklim, salah satunya adalah mekanisme REDD+76 (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation,

carbon stock enhancement and forest conservation). Perjanjian Cancun memberi

kerangka kuat bagi masuknya hutan hujan tropis dalam agenda utama penanganan perubahan Iklim, melalui skema REDD+, adaptasi, konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan.77

CoP 17 kembali melaksanakan pertemuan pada tahu 2011 di Durban, Afrika Selatan. Pertemuan ini menghasilkan Durban Platform. Ada dua kesepakatan utama dari CoP 17 Durban, yaitu diperpanjangnya mandat Kelompok Kerja Ad Hoc untuk kerjasama jangka panjang (The Ad Hoc Working Group On

Long-Term Cooperative Action Under The Convention) dan dibentuknya badan

baru yaitu Kelompok Kerja Ad Hoc Durban Platform (Ad Hoc Working Group on       

75 “The Cancun Agreements: Outcome of the work of the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention”, Article 3 and 4, diunduh melalui http://unfccc.int/resource/docs/2010/cop16/eng/07a01.pdf#page=2, diakses pada 17 Januari 2014.

76 REDD+ merupakan perluasan dari REDD, yang menambahkan areal peningkatan cadangan karbon hutan ke dalam cakupan awal strategi REDD berupa peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon. Lihat dalam “Hal-Hal Yang Sering Ditanyakan Tentang REDD”, Loc. Cit.

77 Nita Murjani, “Perjanjian Cancun dan REDD+ Di Indonesia”, sebagaimana dimuat dalam http://blog.cifor.org/1311/perjanjian-cancun-dan-redd-di-indonesia#.UtlfEdL-LMw, diakses pada 17 Januari 2014.

(28)

Durban Platform). Ad Hoc Working Group on Durban Platform bertugas

menyepakati kerangka multilateral perubahan iklim dengan dua pilihan utama, yaitu membentuk protokol baru atau melalui format hukum lain yang memiliki

legal certainty pasca berakhirnya komitmen kedua Protokol Kyoto.

Selain itu, CoP 17 juga menyepakati diperpanjangnya masa kerja Kelompok Kerja Ad Hoc untuk komitmen dibawah Protokol Kyoto (The Ad Hoc

Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol) antara lain adalah disepakatinya komitmen kedua dari Protokol Kyoto

yang dimulai tahun 2013 sampai 2020. Durban Platform ini menjadi pengikat terutama bagi negara-negara maju terhadap komitmen mereka pada perubahan iklim.78

Pada 2012, CoP 18 melakukan pertemuan di Qatar National Convention Centre, Doha. Konferensi ini sepakat untuk memperpanjang masa berlaku dari Protokol Kyoto yang sedianya akan berakhir pada akhir 2012 hingga tahun 2020, dan juga disepakati bahwa pengganti Protokol Kyoto akan dirumuskan pada tahun 2015, dan dilaksanakan pada tahun 2020. Konferensi ini juga memperkenalkan konsep "kerugian dan kerusakan" untuk pertama kalinya, yaitu prinsip kesepakatan yang menyatakan bahwa negara-negara kaya bisa bertanggung jawab secara finansial kepada negara-negara lain karena kegagalan mereka dalam mengurangi emisi karbon.79

      

78Sayulidewi Subagyo, “COP 17 dan Dampaknya Bagi Indonesia”, sebagaimana dimuat dalam http://www.oxfamblogs.org/indonesia/cop-17-dan-dampaknya-bagi-indonesia/, diakses pada 17 Januari 2014.

79 Roger Harrabin, “UN Climate Talks Extend Kyoto Protocol, Promise Compensation”, sebagaimana dimuat dalam http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-20653018, diakses pada 17 Januari 2014.

(29)

Dokumen hasil Konferensi ini diberi nama Doha Climate Gateway yang berisikan tentang perpanjangan masa berlaku Protokol Kyoto hingga tahun 2020, yang membatasi emisi karbon dioksida global dalam skop hanya 15% karena kurangnya partisipasi dari Kanada, Jepang, Rusia, Belarus, Ukraina, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Selain itu, fakta bahwa negara-negara berkembang seperti RRC (salah satu emitor terbesar di dunia), India dan Brazil juga tidak tunduk pada pengurangan emisi di bawah ketentuan Protokol Kyoto.

Konsep "kerugian dan kerusakan" (loss and damage) sebagaimana telah disebutkan diresmikan untuk pertama kalinya dalam dokumen konferensi. Konferensi ini juga membuat sedikit kemajuan terhadap pendanaan Green Climate Fund.80 Doha Climate Gateway memuat bahwa CDM dan mekanisme fleksibel di bawah Protokol Kyoto tetap berlanjut. Maka hal ini berkaitan dengan pasar karbon yang berpengaruh pada penurunan emisi karbon.

Perkembangan terakhir, digelar konferensi pada November 2013 lalu di Warsawa, Polandia, bahwa masalah pemanasan global dan perubahan iklim disoroti begitu tajam oleh hukum internasional. Hal ini membuat para pemikir serta para peneliti berpikir keras untuk mencari tahu pola perubahan iklim yang terjadi serta solusi yang dapat ditawarkan baik pada tataran mikro maupun makro.

Salah satu harapan besar dari pertemuan CoP di Warsawa, Polandia adalah hadirnya instrumen hukum yang bukan hanya efisien tapi juga lebih efektif dalam rangka melakukan penanggulangan perubahan iklim baik pada tataran preventif maupun represif. Salah satu ide besar yang coba diusung dalam pertemuan CoP       

80 “Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2012”, sebagaimana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Perubahan_Iklim_Perserikatan_Bangsa-Bangsa_20 12, diakses pada 17 Januari 2014.

(30)

tahun ini adalah menggerakkan komitmen dari negara berkembang untuk segera bertindak aktif dalam melakukan penanggulangan terhadap perubahan iklim

(applicable to all).81

      

81 “COP 19 : Menitip Asa di Warsawa”, sebagaimana dimuat dalam http://blog.epistemainstitute. org/?m=201311, diakses pada 3 Januari 2014.

Referensi

Dokumen terkait

1) Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan: suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering

terbagi dua, freehold yang boleh memiliki properti selamanya dan leasehold yang memiliki properti dengan waktu terbatas. Penulis berpendapat semakin banyak jenis

Tabel 5.10 Hasil penetapan kadar sari yang larut dalam etanol sampel Mojokerto lahan 2

Melakukan analisis kemampuan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan soal Open

Based on data analysis above, it can be explained some important thing associated with variable Internship (X) that the sub-variables: 1) quality of internship implementation: there

(II) Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dalam perkara Nomor

Setelah melakukan analisis dan implementasi sistem yang dilanjutkan dengan pengujian sistem, maka dari hasil implementasi dan pengujian tersebut dapat ditarik

Penetapan game dan animasi sebagai salah satu bagian dari pilar pengembangan industri kreatif oleh pemerintah telah menjadi satu momentum yang kuat dalam memajukan industri game