• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian Lainnya Damos Dumoli Agusman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian Lainnya Damos Dumoli Agusman"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Volume 13 Mei—Agustus 2013 ARTIKEL

Pengembalian Aset Kejahatan Eddy O.S Hiariej

Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian Lainnya

Damos Dumoli Agusman

Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space Purna Cita Nugraha

Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional Harry Purwanto

Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara-Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia

Mutiara Hikmah

RESENSI BUKU

Hukum Tentang Ekstradisi AM. Sidqi

(2)

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINIO JURIS

Volume 13 Mei—Agustus2013

DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA

(3)

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINIO JURIS

Volume 13 Mei—Agustus 2013

Diterbitkan oleh

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri

Sejak Oktober 2009

Penanggung Jawab

Linggawaty Hakim, SH, LL.M Raudin Anwar, SH, LL.M

Redaktur

Yoshi Iskandar, SH; Kemal Haripurwanto, SH, LL.M; Amrih Jinangkung, SH, LL.M; Elmar Iwan Lubis, SH; ADH. Irfan, SH; Drs.Sukarsono; Sudarsono, SH., MM.; Rofita, SH.; Hendrar Pramudyo, SH.

Editor

AM. Sidqi, SIP; Santa Marelda Saragih, SH, MH.; Ratih Wulandari, SIP; Vina

Novianti, S.Hum; M. Ferdien, SH; Bibid Kuslandinu, SH.; Rike Octaviany, SH, LL.M.

Disain Grafis

AM. Sidqi, SIP; Drs. Didi Achmadi;

Sekretariat

Siti Fatimah, SH; Uki Subki, S.Sos, M.Si; Tasunah; Maisaroh, S.Sos

Alamat Redaksi:

Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri

Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat

Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: opiniojuris@kemlu.go.id Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website

http://pustakahpi.kemlu.go.id/

Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi

(4)
(5)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... i Pengantar Redaksi...ii Pengembalian Aset Kejahatan ... 1

Eddy O.S Hiariej

Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting Bagi Perjanjian Internasional Lainnya ... 16

Damos Dumoli Agusman

Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space ... 22 Purna Cita Nugraha

Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional ... 47

Harry Purwanto

Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara-Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia ... 81

Mutiara Hikmah

Resensi Buku ... 95 Hukum Tentang Ekstradisi

AM. Sidqi

Istilah Hukum ... 100 Tentang Penulis ... 103

(6)

PENGANTAR REDAKSI

Setelah dua volume sebelumnya mengangkat tema khusus yaitu: Asset Recovery dan Hukum Laut, maka volume kali ini memuat tulisan-tulisan hukum dengan tema yang bervariasi. Hal ini merupakan pertimbangan dari Redaksi guna menampilkan keanekaragaman isu hukum internasional dan menjaga antusiasme serta ketertarikan para pembaca.

Pada volume 13 tahun 2013 ini, redaksi menyajikan dua tulisan bertemakan perjanjian internasional yaitu “Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional” oleh Harry Purwanto dan “Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Perjanjian Lainnya” oleh Damos Dumoli Agusman dan tulisan dengan tema yang bervariasi yaitu: “Pengembalian Aset Kejahatan” oleh Eddy O.S. Hiariej, “Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara-Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia” oleh Mutiara Hikmah dan “Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space” oleh Purna Cita Nugraha. Dari sejumlah tulisan yang disajikan pada volume kali ini, terdapat tulisan yang cukup aktual seperti tulisan tentang Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN.

Pada kesempatan ini, Redaksi Opinio Juris tetap mengajak para pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang melalui email opiniojuris@kemlu.go.id.

Jurnal Opinio Juris volume 13 tahun 2013 dan volume sebelumnya dapat pula dibaca dalam bentuk e-journal melalui website http://pustakahpi.kemlu.go.id. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca yang tidak memperoleh hard copy-nya dapat mengakses dan terb uka luas untuk publik.

(7)

Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.

(8)
(9)

PENGEMBALIAN ASET KEJAHATAN

1

Eddy O.S Hiariej

Abstrak

Sebagai negara dengan indeks persepsi korupsi yang rendah, negara pihak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, dan peserta aktif dalam inisiatif pengembalian aset yang dicuri, Indonesia perlu melakukan lebih banyak upaya dalam mengembalikan aset-asetnya yang dicuri sebagai suatu bagian dari kebijakan nasional untuk memerangi korupsi. Artikel ini membahas tiga hal yang diperlukan untuk dipertimbangkan oleh Indonesia dalam pengembalian aset yang dicuri, yaitu prasyarat pengembalian aset yang dicuri, urgensi untuk membentuk hukum tentang pengembalian aset yang dicuri dan rezim pengembalian aset yang dicuri. Dalam prasyarat pengembalian aset yang dicuri, terdapat enam elemen yang dapat mendukung pengembalian aset tersebut. Artikel ini juga memaparkan urgensi pembentukan undang-undang tentang pengembalian aset yang dicuri. Sementara dalam rezim pengembalian aset yang dicuri, dijelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mendukung pengembalian aset yang dicuri.

Kata Kunci: Piagam ASEAN, organisasi internasional, pengembalian asset, korupsi.

Abstract

As a country with a low rating in corruption perception index, a State Party to the United Nations Convention Against Corruption, and an active participant in the Stolen Asset Recovery Initiative, Indonesia needs to take more efforts in recovering its stolen asset as a part of national measure to fight against corruption.

1

Artikel ini disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “Pengembalian Aset Curian dan Praktik Pelaksanaannya di Indonesia,” kerja sama antara Fakultas Hukum UGM dengan Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Kemlu, 4 Desember 2012.

(10)

This paper will discuss three things that need to be considered by Indonesia in recovering its stolen asset, i.e. the stolen asset recovery prerequisites, the urgency of having stolen asset recovery laws, and the regime of asset recovery.

In the stolen asset recovery prerequisites, there are six items that will support stolen asset recovery. This paper will elaborate the urgency of having stolen asset recovery laws. While in the stolen asset recovery law regime, it is explained which measures that must be taken to succeed stolen asset recovery.

Keywords: ASEAN Charter, international organization, asset recovery, corruption.

Pengantar

Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery) melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsi.

Permasalahan menjadi semakin sulit karena tempat penyembunyian (safe haven) hasil kejahatan tersebut melampaui lintas batas wilayah negara. Bagi negara-negara berkembang, menembus berbagai permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan hukum negara-negara besar akan terasa sulit. Terlebih jika negara berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan negara tempat aset curian disimpan. Belum lagi kemampuan teknologi negara berkembang yang sangat terbatas. Padahal salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan pelakunya memanfaatkan

(11)

kemajuan teknologi di bidang perbankan karena transaksinya yang bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal2.

Di Indonesia, korupsi menyebabkan kerugian besar keuangan negara. Dicurigai, setidaknya ada empat negara maju – Singapura, Australia, Amerika dan Swiss – sebagai tempat menyembunyikan ‘harta curian.’ Bahkan, harta tersebut seakan-akan dilindungi oleh aturan legal procedure negara setempat yang mengaturnya sebagai bagian dari kerahasiaan bank (bank secrecy act). Dengan demikian, akan mustahil untuk mengembalikan aset kejahatan tersebut apabila negara-negara maju tidak berperan aktif dan sungguh-sungguh membantu pengembalian aset tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, makalah ini akan mengulas tiga hal penting dalam rangka pengembalian aset negara, yakni prasyarat pengembalian aset, urgensi undang-undang pengembalian aset, dan rezim hukum pengembalian aset.

Prasyarat Pengembalian Aset

Pengembalian aset suatu negara yang telah dicuri, kendatipun tidak selamanya terkait erat dengan hasil kejahatan, yang paling dominan biasanya berhubungan dengan berbagai kejahatan ekonomi yang meliputi korupsi, kejahatan perpajakan, kejahatan perbankan, perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang serta kejahatan pencucian uang. Pencurian aset juga sering kali bertalian dengan suatu rezim otoriter yang korup.

Oleh karena itu, untuk mengembalikan aset-aset yang telah dicuri, salah satu prasyarat yang dibutuhkan adalah kemauan politik negara3.

2

Sambutan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Pembukaan Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.

(12)

Tidak hanya kemauan politik pemerintah semata sebagai eksekutif, tetapi juga kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif.

Kemauan politik dari parlemen terkait dengan seperangkat aturan hukum yang harus disiapkan mulai dari pelacakan aset, pembekuan aset, penyitaan aset, perampasan aset, pengelolaan aset, penyerahan aset sampai pada pemanfaatan dan pengawasan aset yang telah diserahkan. Demikian pula yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hubungan kerja sama timbal balik antarnegara. Dalam konteks yang demikian, peranan parlemen untuk membentuk undang-undang sangat dominan. Sudah barang tentu undang-undang yang dibentuk seyogyanya memudahkan kinerja aparat penegak hukum dalam rangka pengembalian aset tersebut. Sementara kemauan politik dari lembaga yudikatif terkait dengan sistem peradilan yang transparan, akuntabel dan dapat dipercaya.

Apabila kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif tersebut telah ada, barulah kemudian yang dibutuhkan adalah kemauan politik pemerintah yang biasanya ditindaklanjuti dengan langkah hukum. Kemauan politik negara yang sungguh-sungguh dalam rangka pengembalian aset merupakan jaminan utama bagi para aparat penegak hukum untuk bertindak secara leluasa berdasarkan seperangkat aturan yang ada tanpa tekanan atau beban psikologis apapun.

Pengalaman beberapa negara yang berhasil mengembalikan aset-aset yang telah dicuri oleh rezim yang korup dan otoriter menunjukan bahwa kemauan politik negara sangat menentukan. Di Filipina, beberapa hari setelah runtuhnya rezim Ferdinand Marcos, Pemerintah Filipina di

3

Negara di sini meliputi tiga kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif, sebagaimana sistem separation of power atau pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu. Lihat selanjutnya dalam Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws, diterjemahkan oleh M. Khoril Anam, Nusamedia, Bandung, hlm. 106.

(13)

bawah kepemimpinan Corazon Aquino membentuk The Presidential

Commission on Good Government (PCGG) yang bertugas

mengembalikan aset yang telah dicuri Marcos. Langkah pertama yang dilakukan PCGG adalah membuka perwakilan informal di pengadilan Amerika dan Swiss untuk mendapatkan informasi dan kemudian meminta membekukan aset Marcos. Syarat yang diajukan oleh kedua negara tersebut adalah agar pengadilan di Filipina mengajukan gugatan yang intinya untuk mengambil alih simpanan Marcos. Selanjutnya, PCGG mengajukan gugatan perdata ke Sandiganbayan4 dan setelah itu asetnya dapat dikembalikan dalam kurun waktu kurang lebih 17 tahun.

Demikian pula yang terjadi di Nigeria setelah berakhirnya rezim Sani Abacha. Presiden Obasanjo membentuk Special Police Investigation (SPI) untuk mengembalikan aset yang dicuri Abacha. Lebih sederhana dari apa yang pernah ditempuh Filipina, SPI meminta bantuan Swiss Law Firm, Mofrini And Partners.

Begitu juga yang terjadi di Peru, Presiden Alberto Fujimori membentuk Special Prosecutor untuk menyelidiki kasus Vladimiro Montesinos yang mencuri aset negara sekitar US$ 2 miliar. Jauh lebih mudah dari apa yang terjadi di Filipina dan Nigeria, pengembalian aset di Peru dengan cepat dilakukan karena Vladimiro Montesinos sebagai pelaku utama masih hidup5.

Selain masalah political will, harmonisasi peraturan perundang-undangan dan sistem peradilan adalah hal penting dalam rangka pengembalian aset. Seperti yang telah diutarakan di atas, bahwa pengembalian aset tidak selalu berkaitan dengan kejahatan korupsi tetapi

4

Sadiganbayan adalah pengadilan khusus di Filipina untuk mengadili kejahatan korupsi dan penyelewenagan lainnya yang dilakukan oleh pejabat publik.

5

Peter Mahmud Marzuki, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata, Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008, hlm. 14.

(14)

juga dengan kejahatan lainnya. Bahkan tidak selamanya pengembalian aset terkait perkara pidana, namun dapat juga perkara perdata. Oleh karena itu, masalah pengembalian aset membutuhkan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan sistem peradilan yang tepat.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah agar tidak terjadi tumpang tindih antara ketentuan undang-undang yang satu dengan ketentuan undang-undang yang lain. Dalam konteks Indonesia, kejahatan-kejahatan yang berpotensi menimbulkan pencurian aset negara, seharusnya memiliki rezim hukum tersendiri. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, penegakan hukum untuk memproses kejahatan-kejahatan tersebut secara prosedural dapat berbeda dengan yang telah ada.

Selanjutnya yang akan diulas adalah sistem peradilan. Berkaitan dengan sistem peradilan, tidak mungkin dipisahkan dari sistem hukum yang berlaku di sebuah negara. Hal ini adalah suatu kewajaran sebab sistem peradilan adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan, yang meskipun secara garis besar hampir sama, namun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya dan politik yang dianut6.

Secara sederhana, sistem peradilan, dalam hal ini adalah sistem peradilan pidana, adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan akhirnya pengadilan. Sebagaimana yang diungkapkan Carvadino dan Dignan bahwa sistem peradilan pidana

6

Eddy, O.S Hiariej, 2005, Criminal Justice System In Indonesia, Between Theory and Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute, hlm. 25.

(15)

adalah ”A term covering all those institution which respond officially to the commission of offences, notably the police, prosecution authorities and the court”7. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini tidak hanya

mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak hukum yang lain8.

Dalam perkembangan selanjutnya, sistem peradilan pidana dengan model due process mendominasi sistem peradilan pidana di berbagai belahan dunia karena dianggap lebih menjamin hak asasi manusia, lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan suatu kejahatan juga mulai menggunakan due process of law dalam sistem beracaranya.

Mengingat proses pengembalian aset akan berhadapan dengan lebih dari satu sistem hukum, Indonesia sebaiknya menggunakan sistem peradilan dengan model yang diterima secara universal, yakni due process of law.

Sementara dalam sistem peradilan perdata, pada hakekatnya memiliki karakteristik yang sama hampir di seluruh dunia, yaitu inisiatif beracara datang dari para pihak, hakim bersifat pasif dan kebenaran yang dicari adalah kebenaran formal yang terikat pada alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Prasyarat pengembalian aset berikutnya adalah kerja sama kelembagaan, yakni kerja sama antarlembaga yudisial dan

7

Michael Cavadino and James Dignan, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE Publication Ltd. hlm. 7.

8

University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman Center, University Of Leicester, hlm.24.

(16)

lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama, pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah rezim hukum keperdataan. Kedua, tidak selamanya pula aset yang akan dikembalikan, disimpan dalam bentuk uang, deposito, giro, saham atau sejenisnya, namun juga aset yang dicuri dalam wujud benda, misalnya tanah. Ketiga, kendatipun aset yang akan dikembalikan tersebut dalam bentuk uang, deposito, giro atau sejenisnya, kerja sama antarlembaga tetap dibutuhkan dalam rangka mempermudah pengembalian aset.

Jika aset yang akan dikembalikan berada dalam rezim hukum keperdataan, tidak menutup kemungkinan adanya gugatan pihak ketiga terhadap aset tersebut. Demikian pula jika aset yang dicuri dalam bentuk benda tidak bergerak seperti tanah, maka dalam rangka pembekuan, penyitaan dan pengembalian aset, dibutuhkan kerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional. Sementara jika aset yang dicuri kemudian ‘dicuci’ seolah-olah merupakan aset yang diperoleh secara legal, maka kerja sama dengan lembaga lainnya seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mutlak dibutuhkan.

Prasyarat terakhir pengembalian aset adalah kerja sama internasional yang meliputi kerja sama bilateral maupun kerja sama multilateral. Pengembalian aset yang berada di luar wilayah teritorial Indonesia tentunya memerlukan kerja sama bilateral antarnegara. Pengembalian aset merupakan tujuan dan salah satu prinsip dalam Konvensi PBB mengenai antikorupsi dengan tujuan utama kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi. Pengembalian aset erat terkait dengan kejahatan korupsi, dan menurut konvensi tersebut, korupsi merupakan kejahatan internasional. Terlebih saat ini, Komisi Hukum PBB sedang membahas untuk memasukkan korupsi dan narkotika sebagai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jika hal tersebut disetujui, maka konsekuensi selanjutnya yang berlaku adalah asas universal yang berarti

(17)

bahwa setiap negara berhak melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan internasional.

Urgensi Undang-Undang Pengembalian Aset di Indonesia

Paling tidak ada enam alasan yang mendasari perlunya undang-undang pengembalian aset di Indonesia. Pertama, indeks prestasi korupsi di Indonesia cukup mencengangkan dalam beberapa tahun terakhir ini dan hanya bisa disamai oleh Mexico. Sudah barang tentu uang yang dikorupi sebagian besar tidak berputar di Indonesia tetapi dilarikan ke luar negeri.

Kedua, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang mana asset recovery merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi tersebut. Konsekuensi lebih lanjut, Indonesia harus segera menghasilkan sejumlah peraturan perundangan pelaksana – termasuk undang-undang pengembalian aset – sesuai dengan konvensi tersebut.

Ketiga, Indonesia telah mengatur tentang mutual legal assistance dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, yang mana salah satu prinsip dasarnya adalah asas resiprokal. Jika Indonesia menginginkan asetnya yang telah dicuri dan dibawa ke luar negeri dikembalikan, maka Indonesia pun harus mempunyai pengaturan yang jelas mengenai pengembalian aset yang juga menjamin pengembalian aset dari negara lain yang disimpan di Indonesia.

Keempat, Indonesia berperan aktif dalam Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative yang mana dibutuhkan kerja sama internasional, baik bilateral, maupun multilateral dalam rangka pengembalian aset tersebut. Keberadaan undang-undang pengembalian aset, berdasarkan sejumlah instrumen hukum internasional maupun hukum nasional yang ada, merupakan suatu keniscayaan yang harus segera dibentuk sebagai bagian dari paket undang-undang antikorupsi.

(18)

Kelima, banyak kejahatan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini menimbulkan kerugian yang besar bagi keuangan negara, termasuk kejahatan-kejahatan yang menghasilkan aset yang cukup besar. Kejahatan-kejahatan yang asetnya menjadi ruang lingkup pengembalian aset adalah korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, penyelundupan senjata, narkotika, psikotropika, hak kekayaan intelektual, kepabeanan dan cukai, kehutanan serta perikanan.

Keenam, pengembalian aset merupakan salah satu “missing link” dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Rumusan dan implementasi yang efektif tentang pengembalian aset hasil korupsi memiliki makna ganda bagi pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia. Pertama, implementasi yang efektif dari ketentuan tentang pengembalian aset tersebut akan membantu negara dalam upaya menanggulangi dampak buruk dari kejahatan korupsi. Kedua, adanya legislasi yang memuat klausula tentang pengembalian aset hasil kejahatan korupsi merupakan pesan jelas bagi para pelaku korupsi bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan korupsi (no safe haven), baik harta kekayaan Indonesia yang dilarikan ke luar negeri maupun harta kekayaan luar negeri yang ada di Indonesia.

Rezim Hukum Pengembalian Aset

Dalam kaitan dengan rezim hukum pengembalian aset, pertanyaannya adalah apakah hukum pengembalian aset termasuk ke dalam rezim hukum perdata ataukah pidana. Hukum privat atau perdata, adalah hukum yang mengatur tata tertib masyarakat mengenai keluarga dan mengenai kekayaan para individu, dan mengatur pula perhubungan hukum yang diadakan antara para individu yang satu dengan yang lain, antara individu dengan badan negara, bilamana badan

(19)

negara turut serta dalam pergaulan hukum sebagai atau seolah-olah individu”9.

Sedangkan hukum publik, yang mana di dalamnya termasuk pula hukum pidana, mengatur hubungan antara individu dengan negara. Secara lebih spesifik, hukum pidana merupakan “hukum yang melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat atau perdata maupun kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam kepentingan itu dengan membuat suatu sanksi istimewa”10.

Dalam konteks yang demikian, rezim hukum pengembalian aset tentunya tidak dapat dikualifikasi sebagai hukum pidana. Akan tetapi, mengingat pengembalian aset berkaitan dengan aset-aset yang dihasilkan atau digunakan dalam suatu kejahatan tertentu, maka sangat erat kaitannya dengan hukum acara pidana, yang juga merupakan bagian dari rezim hukum pidana atau hukum administrasi negara.

Berdasarkan hal-hal di atas dan dengan memperhatikan hukum pengembalian aset sebagai suatu ketentuan hukum yang mengatur tata cara negara untuk mengembalikan dan mengelola aset yang digunakan atau dihasilkan dari suatu tindak pidana, maka ketentuan yang mengatur tata cara pengembalian aset haruslah merupakan ketentuan hukum yang masuk ke dalam rezim hukum publik yang memiliki karakteristik tersendiri dan dinamakan sebagai Hukum Acara Pengembalian Aset.

Secara garis besar hukum acara pengembalian aset dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan dan dalam waktu yang bersamaan pokok perkara pidananya sedang diproses. Kedua, pengembalian aset yang diduga terkait dengan

9

E.Utrecht, 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, hlm. 94.

10

(20)

kejahatan, dengan tidak ada pokok perkara pidananya. Akan tetapi, pemeriksaan pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan, baik yang pertama maupun yang kedua, adalah hal yang terpisah pemeriksaannya dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan. Dalam hal yang pertama, kewenangan untuk melacak, membekukan dan menyita ada pada penyidik, baik penyidik Polri, Kejaksaan, maupun penyidik pegawai negeri sipil lainnya yang diperintah oleh undang-undang atas kejahatan yang merupakan cakupan dari rezim hukum pengembalian aset. Dalam melakukan pelacakan, penyidik dapat meminta bantuan lembaga pengelola aset. Sedangkan dalam hal pembekuan – selama aset tersebut berupa uang atau saham – dan penyitaan, dilakukan oleh penyidik setelah mendapat izin berupa penetapan dari pengadilan negeri yang berwenang.

Selanjutnya, terkait pengelolaan, penyerahan sampai pada pengawasan terhadap aset tersebut dilakukan oleh lembaga pengelolan aset. Pengelolaan aset dilakukan selama putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap, sementara penyerahan aset dilakukan jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada saat pengelolaan tersebut, dimungkinkan gugatan dari pihak ketiga atas aset tersebut, dan jika dikabulkan, maka setelah putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, barulah diserahkan kepada pihak ketiga yang berhak dan juga kepada negara.

Dalam hal yang kedua, pengembalian aset dilakukan oleh jaksa pengacara negara dengan mengajukan “Permohonan Penyitaan, Perampasan dan Pengembalian Aset” kepada pengadilan negeri yang berwenang. Pada saat melakukan pemeriksaan atas permohonan jaksa pengacara negara, intervensi dari pihak ketiga juga dimungkinkan.

(21)

Selain itu, ada pemikiran lain perihal proses acara pengembalian aset, yakni dengan afdoening buiten process11 atau penyelesaian di luar proses. Kendatipun tetap diakomodasi dalam hukum acara pidana, namun afdoening buiten process tidak serumit “Permohonan Penyitaan, Perampasan dan Pengembalian Aset”. Afdoening buiten process memiliki dua bentuk, yaitu submissie dan compositie. Pada submissie, jika terdakwa dan jaksa penuntut umum memaparkan persoalan kepada hakim karena sulitnya pembuktian, maka akan diambil keputusan tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan compositie dipergunakan oleh jaksa penuntut umum. Di sini terdakwa dapat mencegah atau menghentikan proses penuntutan dengan cara membayar sejumlah uang tertentu12.

Dalam konteks pengembalian aset, kiranya afdoening buiten process yang lebih tepat adalah bentuk submissie. Jika pengembalian aset terkait dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan, maka terdakwa yang hartanya akan disita bersama-sama dengan dengan penuntut umum mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan penetapan agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga pengelolaan aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya pembuktian dari kedua belah pihak. Terhadap terdakwa yang hartanya telah disita dan dikembalikan maka dapat dijatuhkan pidana yang lebih ringan. Sementara jika pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan tanpa pokok perkara pidana yang sedang diperiksa, maka orang atau pihak yang hartanya akan disita bersama-sama dengan jaksa pengacara negara mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan penetapan agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga

11

Afdoening buiten process diatur dalam pasal 82 sampai pasal 84 WvS 1993 dan hanya dikhususkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang ancaman pidananya hanya denda.

12

(22)

pengelolaan aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya pembuktian dari kedua belah pihak.

Dalam rangka mempermudah pembuktian pengembalian aset berdasarkan “positive wettelijk bewijs teorie”, beban pembuktian atau bewijslast yang harus diterapkan adalah omkering van bewijslast atau pembuktian terbalik. Dalam konteks pengembalian aset, jika negara yang diwakili oleh jaksa pengacara negara akan meminta pembekuan, penyitaan bahkan sampai pada pengembalian aset, orang atau pihak yang mendaku bahwa aset tersebut adalah miliknya, dialah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal. Artinya, aset tersebut diperoleh bukan dari suatu perbuatan yang melawan hukum.

Apabila orang atau pihak yang mendaku memiliki hak atas aset yang akan disita dapat membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah, maka jaksa pengacara negara dibebani kewajiban untuk membuktikan sebaliknya. Akan tetapi, jika orang atau pihak yang mendaku memiliki hak atas aset yang akan disita tidak dapat membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah, maka pengadilan menjatuhkan putusan untuk menyatakan aset tersebut adalah milik negara dan memerintahkan pembekuan, penyitaan dan pengembalian aset tersebut.

Daftar Pustaka

Atmasasmita, Romli, 2003, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, dalam Makalah Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap Sistem Hukum Nasional, Diselenggarakan oleh; Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, di Bali tanggal; 14-15 Juni 2006. ________________, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

Internasional, Mandar Maju, Bandung.

Bassiouni, Cherif M., 2003, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publishers, Inc., Ardsley, New York.

Cavadino, Michael and Dignan James, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE Publication Ltd.

(23)

Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Sambutan Pembukaan Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006. Marzuki, Peter Mahmud, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata,

Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008.

Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Montesquieu, C.S.B.D., 2007, The Spirit Of Laws, diterjemahkan oleh M.khoril Anam,

Nusamedia, Bandung.

Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Stolpe, Oliver, 2008, Legal Framework on Asset Recovery – The UN Convention Against Corruption.

The International Bank For Reconstruction and Development / The World Bank, 2007,

Stolen Asset Recovery ( StAR) Initiatives: Challenges, Opportunities and Action Plan, Washington, 2007.

United Nations Convention Against Corruption.

University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman Center, University Of Leicester.

Utrecht, E., 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.

(24)

KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

PIAGAM ASEAN: ARTI PENTING BAGI PERJANJIAN

INTERNASIONAL LAINNYA

Damos Dumoli Agusman

Abstrak

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang apakah Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945 telah memberikan gambaran lebih mengenai politik hukum Indonesia terhadap hubungan antara perjanjian internasional dan hukum nasional. Dalam putusan MK, yang disertai dengan opini berbeda (dissenting opinion) dari beberapa hakim, dinyatakan bahwa MK memiliki kewenangan untuk menguji Piagam ASEAN secara materiil. Pernyataan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam perspektif hukum formal, Piagam ASEAN dipandang telah menjadi bagian dari hukum nasional dengan ratifikasi melalui undang-undang. Alasan ini yang kemudian dikaji oleh penulis berdasarkan teori-teori di dalam hukum internasional dan praktik-praktik di negara lain.

Kata kunci: Piagam ASEAN, Mahkamah Konstitusi, perjanjian internasional, ratifikasi, hukum nasional, teori monisme, teori dualisme.

Abstract

The decision of Indonesian Judicial Court on the case that questioning whether the ASEAN Charter is inconsistent with the Indonesian Constitution has given more views on Indonesian legal politics regarding the relation between treaty and national law. In the Judicial Court’s decision, with dissenting opinion from some of the judges, it is stated that the Judicial Court has legal standing to materially examine the ASEAN Charter. Such statement resulted from the consideration that in formal legal perspective, the ASEAN Charter has become a part of national law through ratification by law. This reasoning that will be then analyzed by the writer of this article based on theories in international law and practices in other countries.

Keywords: ASEAN Charter, Judicial Court, international treaty, ratification, national law, theory of dualism, theory of monism.

(25)

Setelah ditunggu hampir 2 tahun pasca diajukannya gugatan oleh sejumlah LSM tanggal 5 Mei 2011, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 26 Februari 2013 menentukan sikap terhadap nasib Piagam ASEAN. Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Artinya, Piagam ASEAN tidak bertentangan dengan UUD.

Putusan ini mungkin melegakan Pemerintah karena menjadi terhindar dari kemungkinan pelanggaran kewajiban internasionalnya, namun bukan berita yang menggembirakan bagi para pakar hukum khususnya hukum internasional. Bagi kalangan ini, bukan hasil putusannya yang penting namun argumen yang menggiring ke arah putusan itu, karena argumen ini (sering disebut ratio decidendi) kelak akan menentukan nasib perjanjian-perjanjian internasional lainnya.

MK mengatakan bahwa lembaga ini berwenang untuk menguji Piagam ASEAN karena dokumen ini tidak lain dan tidak bukan adalah bagian yang tak terpisahkan dari UU yang merupakan objek yang sah untuk diuji oleh MK. Karena secara formal Piagam ini adalah UU maka tidak ada alasan bagi MK untuk tidak dapat mengujinya. Setelah memutuskan bahwa MK berwenang, selanjutnya para Hakim masuk ke materi Piagam ASEAN dan menemukan bahwa Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah kebijakan makro dan belum berlaku efektif. Secara nasional berlakunya kebijakan makro tersebut tergantung kepada masing-masing negara anggota ASEAN untuk melaksanakan. Atas argumen ini maka gugatan pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Argumen ini telah menguak politik hukum Indonesia tentang perjanjian internasional yang selama ini masih misteri dan dalam literatur masih diperdebatkan. Dengan tegas MK memberi pesan bahwa selama perjanjian internasional dibuat dalam bentuk UU maka semua perjanjian internasional dapat diuji oleh MK. Artinya, semua perjanjian

(26)

internasional lainnya dapat diuji dan berpotensi untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD. Argumen ini sangat logis dan dapat dipahami. Namun yang lebih menarik adalah bahwa MK telah memilih aliran hukum yang menjadi kontroversi selama ini bahwa UU yang meratifikasi Piagam ASEAN tidak berbeda dengan UU lainnya dan tidak menemukan alasan yang meyakinkan mengapa UU ini harus dibedakan dengan UU lainnya, sekalipun tersedia doktrin yang menyatakan sebaliknya.

Argumen apakah Piagam ASEAN ini merupakan UU sudah sering diperdebatkan dalam dunia akademis. Kontroversi ini tampaknya mengemuka dalam perdebatan para hakim konstitusi. Dua hakim Konstitusi melalui dissenting opinion keberatan dengan argumen yang mengidentikkan UU No. 38/2008 dengan UU pada umumnya. Menurut kedua hakim ini: ‘memang benar, formil UU 38/2008 adalah Undang-Undang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang dan tidak dapat dijadikan obyek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah. Selanjutnya ditegaskan bahwa UU ini bukanlah suatu peraturan perundang-undangan yang substansinya bersifat normatif, yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kepada setiap orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan UU.

Kontroversi tentang status UU yang meratifikasi suatu perjanjian internasional juga melanda sistem hukum lainnya. Pengadilan Belanda pernah mengalami perdebatan ini. Beberapa ahli menilai UU (Wet) ratifikasi memiliki 2 fungsi yaitu, menyetujui Raja/Ratu melakukan ratifikasi terhadap perjanjian dan sekaligus menjadikan perjanjian itu menjadi hukum nasional yang setara dengan UU. Namun pengadilan Belanda pada 2 Januari 1899 menolak argumen ini dalam kasus ”Konvensi Manhnheim on Rhine Navigation (1868) dengan menyatakan bahwa kekuatan hukum Konvensi ini tidak bersumber dari Wet yang

(27)

mengesahkannya melainkan pada tindakan pertukaran instrumen ratifikasi antara kedua negara (Belanda dan Jerman). Jurisprudensi ini menyelesaikan perdebatan pada waktu itu dan kemudian menjadi politik hukum dalam revisi Konstitusi Belanda tahun 1953 yang secara tegas menempatkan perjanjian berada di atas hukum nasional Belanda dan bahkan di atas Konstitusi.

Negara berkembang seperti Kolombia juga telah menuntaskan persoalan klasik ini pada awal abad 20. Duduk perkaranya sama dengan yang dialami oleh MK saat ini. UU No. 14 Tahun 1914 yang meratifikasi Treaty antara AS dan Kolombia tentang pengakuan kedaulatan Panama digugat ke Pengadilan Kolombia karena bertentangan dengan UUD. Pengadilan Kolombia tidak tertarik mengulas tentang apakah benar treaty ini bertentangan dengan UUD, melainkan hanya menjawab apakah Pengadilan memiliki kewenangan untuk menguji UU No. 14 Tahun 1914 dan treaty. Pengadilan ternyata berpendapat bahwa sekalipun UU ini adalah produk legislatif namun tetap harus dibedakan dengan UU pada umumnya. UU ini hanya merupakan wujud ekspresi unilateral dari Kolombia untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian dan tidak menjadikan perjanjian itu berkekuatan mengikat karena masih tergantung pada tindakan yang sama dari negara pihak lainnya.

MK dalam pengujian Piagam ASEAN ternyata mengambil sikap yang sangat berbeda dengan kedua negara di atas. Tampaknya terdapat kesulitan juridis bagi sebagian besar hakim konstitusi untuk keluar dari asas legalitas bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian tidak lain dan tidak bukan adalah UU. Kesulitan ini dapat terbaca karena di bagian lain MK mengatakan bahwa pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk formil Undang-Undang perlu ditinjau kembali. Namun sayangnya, kesimpulan ini dibangun dari premis yang agak lain dan terkesan bahwa mengambil bentuk UU adalah sistem yang keliru. Pilihan bentuk UU untuk persetujuan DPR bukan hal yang baru dalam praktek negara-negara. Belanda, Kolombia, Jerman dan banyak

(28)

negara lainnya memilih bentuk formil UU untuk persetujuan DPR. Dalam hal ini, bukan bentuk formil UU ini yang menjadi akar masalah namun bagaimana MK memberi makna terhadap UU ini yang menjadi faktor penentu. Dalam hal ini, Prof. Utrecht, seorang pakar hukum di awal kemerdekaan, mengartikan lain bahwa suatu perjanjian internasional yang disetujui DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang persetujuan (goedkeuringswet) adalah UU yang bersifat formil saja.

Di lain pihak terdapat pula argumentasi MK yang kelihatannya logis dari sisi hukum tata negara namun menjadi tidak logis dalam hukum internasional. Bagi MK, pemuatan Piagam ASEAN di Jakarta ke dalam UU 38/2008 dinilai sebagai pemindahan format treaty ke dalam format UU yang memiiki konsekuensi bahwa negara pihak harus terikat pada UU ini. Padahal dalam konsepsi hukum publik dikenal suatu model masuknya perjanjian internasional ke dalam hukum nasional melalui proses transformasi. Teori transformasi menjelaskan bahwa Piagam ASEAN dalam formatnya sebagai treaty mengikat semua negara pihak dalam tataran hukum internasional, sedangkan UU 38/2008 jika hendak dianggap sebagai UU transformasi maka hanya diartikan sebagai Piagam ASEAN yang ditransformasikan ke dalam hukum nasional dan bertujuan hanya untuk mengikat subyek-subyek dalam hukum nasional.

Menurut teori di atas, pemuatan Piagam ASEAN ke dalam format UU 38/2008 adalah murni urusan hukum nasional dan tidak ada sangkut pautnya dengan status Piagam sebagai treaty menurut hukum internasonal, yang tetap tentunya mengikat negara pihak lainnya sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, argumen MK yang menyatakan bahwa negara lain harus terikat pada UU 38 Tahun 2008 sangat tidak mendasar dan bukan sebagaimana yang dimaksud oleh teori transformasi.

Namun terlepas dari itu, saran MK agar pilihan bentuk UU untuk Perjanjian Internasional ditinjau kembali sangat menarik. Dengan saran ini terdapat kecederungan bahwa seyogianya perjanjian internasional

(29)

tidak dapat diuji oleh MK. Dapat tidaknya perjanjian internasional diuji oleh pengadilan nasional hanya dapat dijawab setelah Indonesia menetapkan status perjanjian internasional dalam hukum nasional1. Sayangnya UUD 45 yang telah diubah di era reformasi ini tidak menyediakan politik hukum ini. MK telah mengisi sebagian kekosongan konstitutional ini. Menurut penulis, saran MK ini harus ditindaklanjuti dengan amandemen Pasal 11 UUD 45 karena materi putusan MK ini adalah materi Konstitusi.

1

Damos Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik, Bandung, 2010.

(30)

KONSEPSI KEDAULATAN NEGARA DALAM

BORDERLESS

SPACE

Purna Cita Nugraha

Abstrak

Teknologi komunikasi dan informasi telah merubah tingkah laku masyarakat dan kebudayaan secara global. Lebih lanjut, pengembangan teknologi informasi telah mengarah kepada suatu dunia baru tanpa batas dan menyebabkan perubahan-perubahan social yang terjadi dengan pesat. Internet mengalihkan cara komunikasi yang bersifat konvensial kepada suatu fenomena sosial dalam

Ruang publik untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan dengan dunia maya dimana satu pihak capat berkomunikan dengan yang lain tanpa dibatasi oleh batas-batas atau bahkan lintas negara (transnasional). Proses yang mengarah pada kemudahan dan manfaat dalam internet tidak selalu menjadi permasalahan karena dalam dunia maya juga terdapat permasalahan hukum yang timbul dalam bentuk kejahatan telematika. Dalam hal ini, negara perlu bekerjasama bersama-sama dalam menetapkan rejim yurisdiksi ekstrateritorial dalam hukum telematika untuk menetapkan kepastian hukum dalam implementasi dari peraturan hukum untuk semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam dunia maya.

Kata kunci: Kedaulatan negara, ruang tanpa batas, dunia maya

Abstract

Information and communication technology (ICT) has changed the behavior of human society and civilization globally. In addition to that, the development of information technology has led to a new world without borders (borderless) and cause significant social changes occurred too rapidly. The internet shifts the conventional way of communication to a new social phenomenon in the public space to communicate, a new world called the cyberspace where one party can communicate with others without being limited by borders or even cross country (transnational). The process leading to simplicity and goodness in the internet was not always the case because in cyberspace there are also legal issues that arise in the form of cybercrime.In this

(31)

regard, the sovereign states needs to cooperate together in establishing extraterritorial jurisdiction regime in cyberlaw to create legal certainty in the implementation of the rule of law for all activities carried out in cyberspace.

Key words : State Sovereignty, Borderless Space, cyber space

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah prilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.1 Pengembangan dan penerapan teknologi informasi telah mengakibatkan semakin mudahnya arus informasi diserap, sekaligus memudahkan orang untuk melakukan komunikasi tanpa terkendala batas ruang dan waktu.

Sebagaimana dinyatakan oleh Melville J. Herskovits bahwa teknologi merupakan salah satu unsur utama dari kebudayaan manusia.2 Teknologi dan hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger berpendapat bahwa di satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi di sisi lain teknologi juga dapat dilihat sebagai aktivitas manusiawi.3

Pada prinsipnya, teknologi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat

1

Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 1

2

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, hlm. 115

3

Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2012, hlm. 44

(32)

dan layanan bagi manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan keefektivitasan kerja. Teknologi memiliki ruang lingkup yang luas, karena mencakup : 1) tools and techniques; 2) organized systems such as factories; 3) applied science; 4) those methods that achieve, or are intended to achieve, a particular goal such as efficiency, the satifaction of human needs and wants, or control over the environment; and 5) the study of or knowledge about such things.4

Istilah teknologi juga dapat diartikan sebagai berikut:

“Technology thus sometimes includes what might also be called technique; making organization, bereaucracy, and even law itself into technologies. Such extended meanings of the term technology are not, however, what law journals focused on technology usually mean by the term.”5

Dalam hal tersebut di atas dijelaskan bahwa teknologi kadang-kadang mencakup apa yang juga bisa disebut teknik, pembuatan organisasi, birokrasi, dan bahkan hukum itu sendiri menjadi teknologi. Makna yang diperluas dari istilah teknologi tersebut tidak, bagaimanapun, seperti yang jurnal hukum biasanya maksud dalam penggunaan istilah.

Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi masyarakat dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi yang memaksa oleh otoritas tertinggi dalam suatu negara. Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan memberikan keadilan. Keadilan dan ketertiban tersebut dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu maupun kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan di dalam masyarakat

4

Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2012, hlm. 32

5 Ibid.

(33)

pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis karena terus berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi menuntut respon hukum dan hukum berada di persimpangan, di satu sisi berusaha mengakomodir perkembangan teknologi demi kepentingan masyarakat, di sisi lain hukum memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga teknologi yang ada sekarang, sehingga tetap menjaga berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas yang telah terpenuhi dengan teknologi yang telah ada itu.6

Pada permulaan abad ke-20, salah satu penemuan revolusioner di bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian adalah ditemukannya internet (interconnectionnetworking), sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Fasilitas internet adalah suatu jaringan computer yang sangat besar, terdiri atas jaringan-jaringan kecil yang menjangkau seluruh dunia.7

Adanya internet melahirkan suatu fenomena ruang sosial baru dalam masyarakat untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan dengan cyberspace (ruang siber) dimana pihak yang satu dapat berkomunikasi dengan pihak lainnya tanpa dibatasi oleh batas wilayah (borderless) atau bahkan lintas negara (transnasional).

Teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil, lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat menuju suatu sistem global.8

6 Ibid. 7

Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business, Harvindo, Jakarta, 2004, hlm. 1

8

Didik J. Rachbini, “Mitos dan Implikasi Globalisasi” : Catatan untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan, Pengantar Edisi Indonesia dalam Hirst, Paul dan Grahame Thompson, Globalisasi adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor, 2001, hlm. 2

(34)

Seperti yang ditulis dalam International Review of Law Computer and Technology:

Global information and communication networks are now an integral part of the way in which modern governments, business, education and economies operate. However, the increasing dependence upon the new information and communication technologies by many organizations is not without its price, they have become more exposed and vunerable to an expanding array of computer security risks or harm and inevitably to various kinds of computer misuse.9

Dalam hal ini, informasi global dan jaringan komunikasi yang sekarang merupakan bagian integral dari cara pemerintah modern, bisnis, pendidikan dan ekonomi beroperasi. Namun, meningkatnya ketergantungan pada informasi baru dan teknologi komunikasi oleh banyak organisasi bukan tanpa konsekuensi, salah satunya adalah menjadi lebih terekspos dan rentan dalam memperluas risiko keamanan komputer termasuk terhadap berbagai macam penyalahgunaan komputer.

Proses globalisasi tersebut melahirkan suatu fenomena yang mengubah model komunikasi konvensional dengan melahirkan kenyataan dalam dunia maya (virtual reality) yang dikenal sekarang ini dengan internet. Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti berpikir, berkreasi, dan bertindak dapat diekspresikan di dalamnya, kapanpun dan dimanapun.

9

International Review of Law Computers and Technology, Insider Cyber-Threat: Problems and Perspectives, Volume 14, 2001, hlm. 105-113.

(35)

Kehadirannya telah membentuk dunia tersendiri yang menawarkan realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata).10

Netizens11atau para pengguna internet merupakan para penghuni dari

konsep cybernetics yang telah melahirkan dunia baru yang dikenal dengan istilah cyberspace, global village, atau internet. Sama seperti dalam dunia konvensional, maka dalam cyberspace “hidup” masyarakat (cybersociety) yang terdiri dari milyaran pengguna internet dari segala penjuru dunia yang berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain melalui jaringan komputer. Sama seperti dalam dunia fisik kita sekarang, dalam cyberspace masyarakat memerlukan pengaturan baik inter-masyarakat maupun antar masyarakat, mulai dari norma sampai kepada hukum (cyberlaw).12

Indeks penggunaan internet di dunia menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, hal ini terlihat dari angka peningkatan yang mencapai 566.4% dalam kurun waktu 12 tahun (2000—2012). Pengguna internet (netizens) di benua Asia merupakan 44.8% dari pengguna internet di seluruh dunia, atau sejumlah 1,076,681,059 jiwa. China menduduki peringkat pengguna terbesar dalam peringkat pengguna internet di Asia yaitu sejumlah 538 juta jiwa pengguna internet, sedangkan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah 55 juta jiwa pengguna internet.13

Sejalan dengan pemikiran bahwa cyberspace memerlukan pengaturan baik inter-masyarakat maupun antar masyarakat, mulai dari norma

10

Agus Rahardjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 20

11

Business Dictionary, http://www.businessdictionary.com/definition/netizen.html,

netizen is citizen of cyberspace a dedicated internet user, diakses pada tanggal 31 Desember 2012 pukul 16.58 WIB

12

Josua Sitompul, op.cit, hlm. 31

13

Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population Stats, http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember 2012 pukul 15.24 WIB

(36)

sampai kepada hukum (cyberlaw) dan apabila dikaitkan dengan kewenangan suatu negara dalam melakukan pengaturan, hal tersebut tentu saja berhubungan langsung dengan yurisdiksi negara tersebut, misalnya saja mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan hukum di wilayahnya atau dalam hal ini ruang siber.

Internet adalah dunia yang ubiquotus (terhubung dan terbuka pada saat yang bersamaan di mana-mana), maka teori yurisdiksi yang menekankan pada locus dan tempus delicti sudah tidak memadai lagi untuk digunakan.14

Kondisi di atas menimbulkan suatu pertanyaan mendasar tentang bagaimana sistem hukum mengatur ruang siber yang notabene borderless tersebut. Lebih jauh lagi, harus juga dipikirkan bagaimana hubungan kewenangan negara dikaitkan dengan pengaturan terhadap setiap perbuatan/interaksi para pengguna internet yang tidak dibatasi oleh batas wilayah (borderless) tersebut. Hal ini tentu menimbulkan suatu kebutuhan dari hukum untuk menyesuaikan dirinya dengan perkembangan zaman dalam menjawab adanya pertanyaan-pertanyaan seputar kewenangan dan yurisdiksi negara atas internet dan ruang siber tersebut.

Adanya urgensi hukum dalam meregulasi ruang siber telah membentuk suatu rezim hukum baru di Indonesia. Dalam hal ini, perlu pula terlebih dahulu dipahami peristilahan dan ruang lingkup cyberlaw yang telah membentuk rezim hukum baru di Indonesia khususnya dalam kegiatan teknologi dan informasi. Peristilahan yang digunakan untuk hukum yang mengatur kegiatan di dalam cyberspace adalah the law of the

14

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 304

(37)

internet; the law of information technology; the telecommunication law; dan lex informatica.15

Pada sudut pandangan secara praktis, dapat dipahami misalnya dalam kegiatan e-commerce memerlukan “sense of urgency” untuk dicarikan jalan keluar atas akibat-akibat atau permasalahan hukum yang muncul. Di sisi lain, dengan memperhatikan pula praktik di negara lain, nampaknya akan lebih bijaksana apabila tidak dibatasinya secara sempit ruang lingkup dari cyberlaw itu sendiri.16

Cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru akan lebih memudahkan untuk dipahami dengan mengetahui ruang lingkup pengaturannya. Cyberlaw dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus (sui generis) atas kegiatan-kegiatan di dalam cyberspace (ruang siber), antara lain mencakup hak cipta, merek (trademark), fitnah atau pencemaran nama baik (defamation), privacy, duty of care, criminal liability, procedural issues, electronic contracts, digital signature, electronic commerce, electronic government, pornografi, dan pencurian (theft).17

Ruang siber dengan realitas virtual, di satu sisi memang menawarkan manusia untuk hidup dalam dunia alternatif, dunia yang dapat mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang bahkan dapat lebih nyata dari realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Ruang siber telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan, dan penjelajahan seperti teleshoping,

15

Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi (Regulasi dan Konvergensi), Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 129

16 Ibid. 17

(38)

teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty, dan cyberorgasm.18

Cyberspace atau internet juga terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), hal ini dikarenakan nature dan struktur dari internet yang membuat media ini secara luar biasa dapat memasukkan kreatifitas ke dalam komunitas global. Kreativitas yang timbul dari media ini dan kemampuan untuk menggunakan internet sebagai cara untuk mentransfer hasil karya kreatif memunculkan suatu kebutuhan akan pengaturan dan peraturan dari semua pemerintah, yaitu melindungi Hak Kekayaan Intelektual.

Hak cipta memandang internet sebagai media yang bersifat low-cost distribution channel atau saluran distribusi yang murah bagi penyebaran informasi dan produk-produk entertainment seperti film, musik, dan buku. Hal ini disebabkan internet memungkinkan data-data tersebut untuk diunduh secara mudah oleh konsumen.19

Christoper Millard mencatat tiga pertanyaan yang paling mendasar mengenai pelanggaran hak cipta di internet, yaitu: 1) siapa yang mungkin dapat bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak cipta di internet; 2) hukum dan yurisdiksi apa yang paling tepat/pantas diberlakukan; 3) perbuatan pelanggaran hukum seperti apa yang dapat termasuk ke dalam hukum yang berlaku saat ini. Menurutnya, para pelaku

18

Agus Raharjo, Model Hibrida HukumCyberspace (Studi tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia),

Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hlm. 6-7

19

Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm. 3-4 lihat juga Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hlm. 10

(39)

pelanggaran dapat masuk ke dalam tiga kategori, yaitu pengirim, penerima, dan operator jaringan yang ada di internet.20

Hak Kekayaan Intelektual telah dapat dijamin secara ekstensif di dalam literatur atau karya kesusastraan. Namun, sebahagian orang menganggap bahwa internet sebagai pertanda matinya hak cipta (copyright). Dalam hal ini, Ginsburg mencatat beberapa permasalahan dalam menegakkan Hak Kekayaan Intelektual di dalam internet, sebagai berikut:

Should one look to the country where copies were (first) recieved? To the country from which the author uploaded the work? To the country in which is localized the website from which the work first becomes available to the public? What are the consequences of these different characterizations of publication and country of origin?21

Internet juga dapat digunakan untuk melanggar atau bahkan merampok para pemilik hak cipta dari keuntungan hak cipta, internat juga telah digunakan dalam mencegah pengakuan atau pemberian suatu paten. Sebagai contoh Human Genome Project mempublikasikan atau mengunggah peta dari human genome dengan niat untuk membuat informasi dan data tersebut sebagai informasi publik/pengetahuan umum dan mencegah Celera Genomics, sebuah perusahaan swasta, untuk mendapatkan hak paten. Dari contoh ini, dapat diketahui bahwa penentuan yurisdiksi di internet khususnya dalam Hak Kekayaan Intelektual di internet sebagai sesuatu yang amat penting.22

20

Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000, hlm. 201

21

Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define and Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana Journal of Global Legal Studies: Vol. 10: Iss 2, 2003, hlm. 249

22

(40)

Di sisi lain, proses siberisasi yang menimbulkan kemudahan dan kebaikan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat persoalan hukum yang muncul berupa sisi gelap yang perlu kita perhatikan yaitu cybercrime dengan berbagai macam bentuknya. Sebagai contoh, carding, merupakan kasus yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara terkenal dalam cybercrime. Selain itu adalah hacking, sebagai bentuk baru dalam mengekspresikan kekecewaan, kekesalan dalam dunia bisnis dan politik, seperti kasus hacking terhadap situs-situs (websites) milik Malaysia sebagai bentuk protes terhadap kebijakan negara itu dalam menangani Tenaga Kerja Indonesia (TKI).23

Kejahatan yang berbasis teknologi informasi dengan menggunakan media komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan beberapa istilah yaitu computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer-assisted crime, computer-related crime, atau computer crime.24

Barda Nawawi Arief mengatakan dalam bukunya bahwa pengertian computer-related crime sama dengan pengertian cybercrime.25 TB Ronny R. Nitibaskara berpendapat bahwa kejahatan yang terjadi melalui atau pada jaringan komputer di dalam internet disebut cybercrime. Kejahatan ini juga dapat disebut kejahatan yang berhubungan dengan komputer ( computer-related crime), yang mencakup 2 kategori kejahatan, yaitu kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana atau alat, dan menjadikan komputer sebagai sasaran atau objek kejahatan.26

23

Ibid. hlm. 7

24

Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime, CV. Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2009, hlm. 23

25

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 259

26

(41)

Dalam background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000, disebutkan sebagai berikut:

“Cyber crime in a narrow sense (“computer crime”): any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them; and Cyber crime in a broader sense (“computer-related crime”): any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network.”27

Di sisi lain, dapat diperoleh informasi bahwa serangan siber di seluruh dunia mencapai 5,5 Milyar serangan dalam setahun. Sedangkan serangan siber (cyber attack) terhadap situs-situs Indonesia mencapai 40 ribu serangan per hari. Jenis serangan tersebut bermacam-macam seperti malware (piranti lunak berbahaya) dan spyware (piranti lunak mata-mata). Dalam hal ini, motif penyerangan ke situs-situs Indonesia bukan tergolong motif serius, seperti motif bersifat keamanan atau ekonomis.28 Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, menyebut jumlah serangan siber ke situs-situs berdomain go.id (situs milik lembaga/instansi pemerintah) lebih dari 3 juta kali pada tahun 2011.29

27

Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000

28

Rudi Lumanto, Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure, Serangan Siber ke Situs Indonesia 40 Ribu Kali/Hari,

http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribu-kalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

29 Ibid.

(42)

Pada tahun 2012 yang lalu, New York Times, sebuah media massa terkemuka AS melaporkan serangan siber yang dilakukan AS dan Israel terhadap Iran, bahkan Presiden Barack Obama secara langsung dan diam-diam memerintahkan serangan cyber menggunakan virus komputer Stuxnet terhadap Iran untuk melumpuhkan program nuklir Iran.30

Bukti lain adalah serangan Malware Stuxnet pada instalasi pengayaan nuklir di Natanz, Iran tahun 2009. Stuxnet mampu menyusup masuk dan menyabotase sistem dengan cara memperlambat atau mempercepat motor penggerak, bahkan membuatnya berputar jauh di atas kecepatan maksimum yang bisa menghancurkan sentrifuse sehingga tidak dapat memproduksi bahan bakar Uranium. Malware Stuxnet diakui sebagai serangan paling cerdas, paling canggih, dan paling hebat yang pernah dibuat yang pernah dibuat manusia.31

Menteri Telekomunikasi Republik Islam Iran, Reza Taghipour menyatakan akan melayangkan gugatan atau membawa masalah ini ke tingkat internasional atas serangan siber ke lembaga pemerintah Iran yang dianggapnya sebagai “state cyberterrorism against the country” tersebut kepada organisasi internasional terkait. Pengaduan Iran atas serangan siber tersebut akan dilayangkan kepada organisasi internasional terkait melalui Kementerian Luar Negeri Iran dan di berbagai pertemuan khusus seperti dalam sidang the International Telecommunication Union di Jenewa, dimana wakil Iran akan menyatakan protes resmi Tehran terkait masalah ini.32

30

http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

31

http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

32

http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahnya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Perbandingan Penerapan

Dari besarnya kekuatan geser alat sambung, kekuatan tumpu pelat, dapat ditentukan besarnya beban yang dapat dipikul oleh batang tarik yaitu dengan mengalikan beban

1) Untuk kompor gas-biomassa dengan bahan bakar pellet dari limbah bagas tebu, emisi rata-rata gas CO yang dihasilkan dari setiap pengujian bervariasi dari 16,33

Penciptaan karya seni grafis yang bersumber dari ekspresi wajah manusia, diciptakan tidak hanya memenuhi fungsi estetik, akan tetapi juga mengandung makna, pesan

Desain Interior Ruang Kreatif Media merupakan sebuah fasilitas yang dikembangkan sebagai media penyalur kreatifitas masyarakat serta memenuhi kebutuhan pengguna

Puji syukur atas karunia yang Allah SWT berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga diri meliputi; (1) pengalaman yaitu suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan dan kejadian yang pernah dialami individu

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Materi Lingkungan Alam dan Buatan Melalui Penggunaan Media Miniatur Lingkungan Alam dan Buatan Pada Siswa Kelas III Semester I SD Negeri