• Tidak ada hasil yang ditemukan

Judul : Hukum tentang Ekstradisi

Penulis buku : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M

Penerbit : Fikahati Aneska

Bahasa : Indonesia

Jumlah halaman : x + 389 Tahun penerbitan : 2011 Pembuat resensi : AM. Sidqi

Maraknya pemberitaan tentang

upaya Kejaksaan Agung RI

mengekstradisi Joko Tjandra, terpidana BLBI, dari Papua Nugini menghiasi media massa Februari 2013. Sebelumnya, pelarian M. Nazarudin dan Nunun Nurbaeti pada tahun 2011 lalu memunculkan perdebatan berlarut-larut tentang ekstradisi di kalangan penegak hukum, akademisi, politikus, dan masyarakat umum. Jamak dikatakan bahwa dikarenakan tidak adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura, menjadikan Negara Singa Laut itu menjadi safe haven bagi pelarian kejahatan kerah putih. Akan tetapi, meskipun Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Kolumbia, M. Nazarudin tetap bisa dibawa pulang ke Tanah Air untuk diadili. Selain itu, publik juga mengenal sengkarut upaya ekstradisi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap terpidana penyalahgunaan BLBI, Hendra Rahardja, dari Australia yang pada

akhirnya kasus pidananya gugur demi hukum karena Hendra Rahardja meninggal pada tanggal 26 Januari 2003.

Perdebatan-perdebatan seputar hukum tentang ekstradisi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar yang wajib dipahami oleh semua: apa dan bagaimana perkembangan hukum tentang ekstradisi tersebut?

Untuk itu, buku “Hukum tentang Ekstradisi” yang ditulis oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M ini terbit timely untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat perihal definisi, karakteristik, dan perkembangan pelbagai model tentang ekstradisi. Disusun dalam bahasa Indonesia yang mudah sederhana membuat buku ini mudah dipahami oleh masyarakat awam hukum sekalipun. Selain itu, kepakaran Romli Atmasasmita sebagai salah satu ahli dalam hukum mengenai ekstradisi tidak lagi diragukan, mengingat Romli memiliki daftar panjang pengalaman sebagai ketua delegasi pemerintah Indonesia ke berbagai konferensi PBB yang membahas kejahatan transnasional.

Berdasarkan UU 1/1979 tentang Ekstradisi, ekstadisi diartikan sebagai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka tau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memindananya.

Perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi, menunjukkan bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu ekstradisi sebagai suatu pranata hukum secara resmi telah diakui dan diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Praktik perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru karena setelah kemerdekaan RI, Indonesia telah mengikatkan diri ke dalam perjanjian ekstradisi dengan lima negara, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, Australia; dua perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam

Masalah Pidana (mutual legal assistance treaty), yakni dengan Australia dan RRT; dan satu perjanjian penyerahan pelanggar hukum yang melarikan diri antara Indonesia dengan Hongkong.

Buku yang terbit pada tahun 2011 ini disusun dalam empat bab, yakni asal-usul dan karakteristik ekstradisi (bab I); prinsip umum ekstradisi yang diakui dalam hukum internasional dan beberapa pengecualian (bab II); perkembangan praktik ekstradisi dan perbandingan model-model ekstradisi (bab III); dan pentutup yang berisi pandangan dan sikap penulis terhadap perkembangan ekstradisi dan masalah yang berkaitan dengan berbagai model hukum tentang ekstradisi (bab IV).

Romli Atmasasmita mengkritik pengertian ekstradisi yang sering diucapkan banyak orang termasuk praktisi hukum, tetapi belum dipahami makna sesungguhnya dari pengertian istilah tersebut. Sering disebutkan bahwa ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition, l’extradition) berasal dari bahasa latin, yaitu “extradere”. Ex berarti keluar, sedangkan tradere berarti menyerahkan. Kata bendanya adalah extraditio artinya penyerahan. Sedangkan menurut Romli, pemaknaan pengertian istilah tersebut sangat menyesatkan karena tidak benar.

Romli mendefinisikan ekstradisi secara etimologis berasal dari dua suku kata, yaitu “extra” dan “tradition”. Sehingga demikian, ekstradisi berarti suatu konsep hukum yang berlawanan dengan “tradisi” yang telah berabad-abad dipraktikan antarbangsa-bangsa. Praktik tradisi tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi pelindung (asylum) bagi siapa saja yang memohon perlindungan, dan tradisi untuk memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara tuan rumah atas mereka yang memohon perlindungan tersebut. Praktik asylum yang mendahului ekstradisi menunjukan bahwa ekstradisi merupakan kekecualian dari asylum.

Dalam catatan sejarah, ekstradisi telah dipraktikan sejak tahun 1280 SM antara Raja Ramses II dari Mesir dan Raja Hattusili III dari Hitites,

kemudian diikuti oleh kerajaan Yunani dan kekaisaran Romawi. Model perkembangan ekstradisi abad tersebut dilandaskan untuk menjaga stabilitas politik kerajaan sehingga ekstradisi terbatas pada kejahatan politik. Dalam perkembangannya, ekstradisi pasca abad ke-20 bukan lagi semata-mata merupakan hak dan kewajiban sebagaimana dinyatakan dalam suatu perjanjian, melainkan juga bagian dari hak asasi tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk menyatakan pendapatnya terhadap permintaan suatu negara untuk mengekstradisikan ybs. Hal tersebut pernah dipraktikan oleh Hendra Raharja yang menolak ekstradisi dirinya dari Austarlia dengan alasan Pemerintah Indonesia diskrimatif dan tahanan di Indonesia tidak menjamin keselamatan tersangka.

Perkembangan ekstradisi sejak awal kelahirannya pada abad 15—16, disepakati bahwa yang dapat diekstradisikan hanya kejahatan politik (makar) dan kejahatan penodaan terhadap agama. Perkembangan ekstradisi selama tahun 1700 dan awal 1800an, justru kejahatan politik termasuk kejahatan tidak dapat diekstradisi (non-extraditable crime) sampai dengan tahun 1830-an. Gagasan bahwa tersangka tidak dapat diekstradisikan untuk tindak pidana yang memiliki motivasi politik, dikemukakan oleh Belgia dan Perancis. Pengakuan tersebut dikuatkan di dalam MLE UN 1990 yang menegaskan bahwa, kejahatan politik merupakan kejahatan yang tidak dapat diekstradisi-kan dan bersifat wajib (mandatory obligation).

Prinsip penolakan atas dasar kejahatan politik dewasa ini semakin sirna terutama dengan peristiwa terorisme pemboman World Trade Centre di New York, Amerika Serikat. Kasus ekstradisi mantan PM Thailand, Thaksin Sinawatra, merupakan contoh teranyar (2009) yang mencerminkan prinsip penolakan ekstradisi dengan alasan kejahatan politik masih menguat di dalam hubungan kerja sama internasional dalam pencegahan dan penindakan kejahatan transnasional. Kasus Thaksin mirip dengan permohonan ekstradisi mantan Presiden Peru Alberto Fujimori. Permohonan Peru kepada Chile untuk mengekstradisi

Fujimori tidak begitu terkendala, karena pengadilan Chile melihat dakwaan terhadap Fujiori murni didasarkan pada pelanggaran korupsi dan pelanggaran HAM.

Akhirnya, buku mengenai hukum ekstradisi merupakan substansi yang relatif baru dalam kepustakaan hukum Indonesia, meskipun praktik dan perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru. Masih sering dijumpai bahwa masih ada yang keliru menyamakan ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters) baik di kalangan pejabat tinggi pemerintah maupun para sarjana hukum. Dengan terbitnya buku ini, maka diharapkan dapat menjernihkan pemahaman ekstradisi bagi para sarjana hukum, terutama yang sehari-hari menggeluti hukum internasional, dan masyarakat pada umumnya.

Dokumen terkait