INTERNASIONAL DI INDONESIA
Mutiara Hikmah
Abstrak
Dengan pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, penegakan putusan arbitrase internasional dapat diberlakukan di Indonesia, karena hukum acara yang mengatur tentang putusan arbitrase telah menjadi jelas. Untuk pengelolaan masalah keputusan arbitrase internasional yang lebih baik dalam hierarki perundang-undangan, pada tanggal 12 Oktober 1999 diundangkan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut, terdapat bagian khusus yang membahas Arbitrase Internasional. Artikel ini membahas bagaimana perkembangan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia sebelum Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 hingga saat ini, dengan menganalisis putusan arbitrase internasional dan perintah pengadilan setelah berlakunya Undang-Undang Arbitrase.
Kata kunci: arbitrase internasional, alternatif penyelesaian sengketa, konvensi New York 1958, UU Arbitrase.
Abstract
With the enactment of Supreme Court Law No. 1 Year 1990 on the Procedures for the Implementation of Foreign Arbitral Awards, the enforcement of international arbitral awards can begin to be implemented in Indonesia, because the procedural law governing the procedure of the arbitration decision is clear. To better manage the problem of international arbitral decision in the hierarchy of legislation, on 12 October 1999 promulgated the Law of Arbitration and Alternative Dispute Resolution. In that Law, there is a special section that discusses the International Arbitration. This article examines how the development of the implementation of international arbitral awards in Indonesia before Indonesia became a member of New York
Convention 1958, to date, by analyzing the international arbitration decisions and court order after the enactment of the Law of Arbitration. Keywords: international arbitration, alternative dispute settlement, New York Convention 1958, Law on Arbitration.
Indonesia telah menjadi anggota Konvensi New York 1958 melalui Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 34 Tahun 1981 dan diterbitkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1981 No. 40. Dengan ikut sertanya negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Pada awalnya, sikap Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung RI), tidak mengakui pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Akan tetapi, kesadaran bahwa negara Indonesia akan terus tumbuh menjadi bagian dari aktivitas bisnis dunia, maka Pemerintah Indonesia harus memikirkan langkah ke depan untuk dapat mengakui dan melaksanakan putusan-putusan arbitrase internasional. Khususnya dalam upaya menarik perhatian para investor untuk memilih Indonesia sebagai tempat utama dalam aktivitas investasinya. Maka negara Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti trend penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diikuti dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya1.
Apalagi jika melihat tendensi yang terjadi pada akhir-akhir ini, dalam kontrak-kontrak yang ditanda tangani oleh Badan Usaha Milik Negara
1
Ricardo Simanjuntak, “Konflik Yurisdiksi Antara Arbitrase Dan Pengadilan Negeri”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 85.
(BUMN) atau Perusahaan Negara di satu pihak dengan pihak asing, baik dalam bentuk Kerja Sama Operasi(KSO)/Joint Operation Contract (JOC) atau lain-lain usaha bersama dan perjanjian yang bersifat ”internasional”, dipakai klausul mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan di luar negeri2. Walaupun dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa, namun pelaksanaan pemeriksaan arbitrasenya dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan pemeriksaan dan proses arbitrase berlangsung di luar negeri, ketika putusan arbitrase diucapkan dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah pihak dari Indonesia, maka hal ini akan berakibat pihak yang menang dalam proses arbitrase tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut di Indonesia.
Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sangat terkait dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan. Pengadilan-pengadilan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut3. Dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat memaksakan pelaksanaan putusannya4, melainkan lembaga pengadilan
2
Sudargo Gautama (a), Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 1.
3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional, cetakan kedua, (Jakarta : N.V. Van Dorp & Co, 1954), hal. 74.
4
Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang untuk mengeksekusi putusannya sendiri. Hal tersebut dikarenakan:
yang harus memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut5. Dalam prakteknya, pengadilan dapat sewaktu-waktu campur tangan dalam hal pemeriksaan proses arbitrase sedang berjalan. Campur tangan pengadilan itu bisa berupa menunjuk arbiter ketiga, apabila dua arbiter pertama gagal menunjuk arbiter ketiga. Bentuk campur tangan yang lain misalnya membantu proses arbitrase mendapatkan bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.
Berbeda dengan arbitrase, mengenai pelaksanaan putusan pengadilan asing, kebanyakan sistem hukum yang dianut oleh banyak negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini berlaku di negara-negara yang menganut sistem Civil Law dan sistem Common Law. Penolakan eksekusi terhadap putusan pengadilan asing terkait erat dengan konsep
1. Lembaga arbitrase bukan merupakan institusi negara, sehingga lembaga tersebut tidak memiliki wewenang yang bersifat publik yang dapat dijalankan dengan paksa kepada pihak-pihak lain;
2. Tidak terdapat landasan hukum bagi lembaga arbitrase untuk melaksanakan eksekusi putusannya sendiri;
3. Lembaga arbitrase tidak memiliki jurusita sebagaimana terdapat pada lembaga peradilan yang bertugas melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksekusi.
Lihat: Tin Zuraida, Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori
dan Praktek yang Berkembang, cetakan pertama, (Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika,
2009), hal. 222. 5
Di dalam Konvensi New York 1958, diatur mengenai peran pengadilan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Peran Pengadilan ini dapat dilihat juga di dalam UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration yang menjadi rekomendasi Majelis Umum PBB kepada para anggota pada tahun 1985 sebagai standar hukum yang modern dalam arbitrase. Dibeberapa negara, campur tangan Pengadilan dimungkinkan pada waktu proses arbitrase sedang berjalan atas permintaan pihak yang merasa dirugikan. Di Singapura, pengadilan dapat mengenyampingkan putusan arbitrase dalam keadaan-keadaan yang amat terbatas, dengan mengangkat ketentuan-ketentuan yang sama dengan Model Law.
kedaulatan negara. Sebuah negara yang memiliki kedaulatan tidak akan mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi, kecuali negara tersebut sukarela menundukkan diri. Mengingat pengadilan merupakan alat perlengkapan yang ada pada suatu negara, maka wajar apabila pengadilan tidak akan melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan pengadilan asing. Pendirian ini sesuai dengan asas kedaulatan territorial (principle of territorial souvereignty), berarti keputusan hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah negara lain atas kekuatannya sendiri. Dengan tidak adanya perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara lain, tidak dapat diadakan pelaksanaan keputusan-keputusan asing di wilayah RI (Pasal 436 RV).
Pelaksanaan putusan arbitrase internasional mendapat pengaturan dalam perjanjian internasional karena dalam hukum internasional dikenal adanya kedaulatan dan yurisdiksi. Pelaksanaan yurisdiksi kekuasaan negara hanya dapat dilakukan di wilayah teritorialnya. Pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara di negara lain harus seizin otoritas yang berwenang di negara lain tersebut. Putusan arbitrase internasional yang dibuat di suatu negara dan hendak dilaksanakan di negara lain, maka harus ada pengakuan dan pelaksanaan dari negara dimana pengakuan dan pelaksanaan dimintakan. Oleh karena itu pengaturan tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan dalam bentuk perjanjian internasional, yang kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk perundang-undangan nasional6.
Sejak Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 pada tahun 1981, pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan
6
Hikmahanto Juwana (a), “Pembatalan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 72.
Perma), masih terdapat hambatan-hambatan bagi pelaku usaha asing dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mahkamah Agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia berpendirian bahwa putusan arbitrase internasional tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan tegas dinyatakan oleh Mahkamah Agung RI yang menolak eksekusi putusan arbitrase internasional pada perkara PT Nizwar vs. Navigation Maritime Bulgare7, putusan Mahkamah Agung RI No.2944 K/Pdt/1983 yang diputus pada tanggal 29 November 1984.
Pada kasus tersebut, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tidak dapat diterima, karena belum ada peraturan pelaksana mengenai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York 1958. Hal ini berbeda dengan putusan Pengadilan Jakarta Pusat, yang menerima pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Sikap Mahkamah Agung RI pada saat itu tetap menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional, walaupun saat itu Indonesia sudah menjadi anggota Konvensi New York 19588.
Menurut Sudargo Gautama, Konvensi New York 1958 bersifat self executing, artinya tidak diperlukan lagi suatu peraturan pelaksana yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI, karena di dalam konvensi tersebut tercantum bahwa cara pelaksanaan putusan arbitrase yang diucapkan di luar negeri ini adalah sama dengan cara pelaksanaan arbitrase yang diucapkan dalam negeri anggota peserta konvensi. Hal tersebut seperti yang tercantum di dalam Pasal III Konvensi New York 1958 yang menyatakan:
7
Erman Rajagukguk (Lihat: Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hal. 38-40.
8
Sudargo Gautama (b), Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 2.
”Each contracting state shall recognize arbitral awards as binding and
enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where the award is relied upon, under the condition laid down in the following articles. There shall nor imposed substantially more onerous conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement of arbiral to which this Convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral awards”.
(Terjemahan bebas dari penulis: Setiap negara anggota dapat mengakui putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat dan melaksanakannya sesuai dengan tata cara di wilayah dimana putusan tersebut dimintakan, sesuai dengan keadaan yang diatur dalam pasal-pasal selanjutnya. Tidak diperbolehkan mengenakan secara substansi yang lebih berat atau lebih tinggi biaya untuk pengakuan dan pelaksanaan putuan arbitrase yang diterapkan dalam konvensi ini dari pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase domestik/nasional).
Contoh lain mengenai penolakan putusan arbitrase internasional oleh Mahkamah Agung RI terlihat pada perkara PT. Bakrie Brothers vs. Trading Corporation of Pakistan Limited. Pakistan Trading yang berkedudukan di Karachi Pakistan, telah mengajukan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase, Award of Arbitration yang ditetapkan oleh Federation of Oils, Seed and Fats Association Limited, No. 2282 tanggal 8 September 1981 di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap PT. Bakrie Brothers yang berkedudukan di Jakarta Selatan. Permohonan mana telah dikabulkan dengan Ketetapan Eksekusi No.fol.22/48/JS/1983 tanggal 13 Februari 19849. Namun pihak PT. Bakrie Brothers mengajukan
9
Dalam kasus ini, Pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan asas resiprositas yang dianut di dalam Konvensi New York 1958. Untuk mempelajari perkara ini, lihat: Tineke L.T. Longdong, Asas Ketertiban Umum & Konvensi New York 1958. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 227.
bantahan. Dalam perkara tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menerima bantahan dari Pihak PT Bakrie Brothers yang mendalilkan, bahwa putusan arbitrase asal London tidak bisa dilaksanakan di Indonesia karena diajukan oleh perusahaan asal Pakistan (yang bukan anggota peserta Konvensi New York 1958) sehingga tidak memenuhi asas resiprositas yang dianut di dalam Konvensi New York 1958. Dan bantahan tersebut diterima oleh Pengadilan tingkat pertama dan tingkat kedua. Kemudian Mahkamah Agung RI menguatkan putusan-putusan yang lebih rendah tingkatannya yang menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Contoh lain dapat dilihat pada perkara Safic-Alcan & Cie, vs. PT Foursa Tani Nusa. Sengketa ini adalah antara Alcan yang berkedudukan di Perancis, Pemohon (Pembeli) lawan Foursa Tani berkedudukan di Surabaya, sebagai Termohon (Penjual) yang mengadakan jual beli 20.000 metric tonnes Indonesian tapioce chips, yang ternyata tidak dapat dipenuhi oleh Foursa Tani, sehingga dituduh ingkar janji.
Berdasarkan surat dari Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 22 April 1993 karena adanya bantahan yang diajukan oleh PT Foursa Tani Nusa, maka pelelangan eksekusi atas aset PT tersebut, sesuai dengan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 065/1992 Eks ditangguhkan10.
Contoh perkara lain adalah antara Sikinos Maritime Ltd., vs. PT Perdata Lot. Memorandum of Agreement, tanggal 20 September 1991, antara PT Perdata Lot, berkedudukan di Jalan Sutomo 540, Medan Indonesia, sebagai Penjual dan Sikinos Maritime Ltd., berkedudukan di Vallette Malta, telah melakukan jual beli kapal “M.T. BUMEUGAH”. Permohonan akan fiat eksekusi ini meskipun telah dipertimbangkan bahwa putusan arbitrase ini adalah mengenai pembayaran sejumlah uang
10
US$ 617,046 berikut bunga 6,5% per tahun sejak 15 Desember 1991, sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, namun permohonan exequatur ditolak oleh Mahkamah Agung11.
Penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI ini telah memberi kesan buruk, mengingat tatacara/prosedur sudah dilakukan oleh pelaku usaha dan juga tidak ada ketertiban umum yang dilanggar. Salah satu contoh perkara yang ditolak pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya karena melanggar ketertiban umum adalah perkara Yani Haryanto vs. E.D.& F.Man (Sugar) Ltd12 (perusahaan yang berkedudukan di Inggris). E.D. & F. Man (Sugar) Ltd (dalam hal ini sebagai Penjual) telah memperoleh suatu putusan arbitrase dari The Council of the Refined Sugar Association, Arbitration Center di London yang telah menyalahkan pihak Yani Haryanto (sebagai pembeli) telah melakukan default dalam melangsungkan kontrak pengimporan atau pembelian gula pasir untuk diimpor ke Indonesia. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pihak Yani Haryanto mengajukan gugatan perdata melawan pihak E.D. & F Man sebagai Penjual yang berkedudukan di London. Penggugat mendalilkan dengan surat gugatannya tanggal 8 Agustus 1988 bahwa kontrak bersangkutan adalah bertentangan dengan Keppres RI No.43/1974 tanggal 14 Juli 1971 mengenai “penyelenggaraan koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan kebijaksanaan dalam bidang pengadaan penyaluran dan pemasaran gula pasir” dan keputusan Presiden RI No. 39/1978 tanggal 6 November 1978 Badan Urusan Logistik (selanjutnya disingkat dengan BULOG). Oleh karena itu menurut Pasal 1320 KUH Perdata ayat (4) agar perjanjian dianggap sah harus ada sebab
11
Ibid., hal. 239. 12
Mahkamah Agung RI No. 1203K/Pdt/1990 jo. Perdata No. 736/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST jo.PT Jkt No. 485/Pdt/1989/PT DKI.
yang halal (causa yang diperbolehkan). Suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengabulkan gugatan penggugat yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian jual beli bersangkutan dimana termuat klausula arbitrase itu adalah kontrak-kontrak yang mengandung cacat dan melanggar ketentuan peraturan yang berlaku di Indonesia karena itu mempunyai sebab atau kausa yang dilarang, maka perjanjian jual beli gula itu harus dibatalkan. Menurut Pengadilan Negeri, karena dasar dari putusan hakim asing tersebut bertentangan dengan ketertiban umum dan tertib hukum di Indonesia, maka putusan-putusan hakim asing tersebut tidak mempunyai daya pengikat13.
Disamping beberapa contoh perkara di atas, ada pula beberapa contoh perkara yang diterima permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya, itu terjadi setelah keluarnya Perma. Perkara tersebut dapat dilihat pada Ecom USA Inc., vs. PT Mahameru Centratama Mills (Penetapan Mahkamah Agung RI No. 4 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1992, 06-04-1994). Ecom USA Inc, perusahaan yang berkedudukan di Dallas-Texas, USA dalam sengketa ini telah bertindak sebagai Pemohon, yang diwakili oleh Executive Vice Presidentnya, Uwe Grobecker lawan PT Mahameru Centratama Mills yang berkedudukan di Bandung, sebagai Termohon14.
Selain itu, juga terdapat perkara PT Tripatria Citra Pratama vs. Abdulelah Jamal Al Zamzani Est cs. Mahkamah Agung RI telah mengabulkan permohonan exequatur yang diajukan oleh Pemohon Citra Pratama, yang telah diajukan oleh Manajernya sebagai kuasa dari Direktur Utamanya terhadap para Termohon, Abdulelah Al Zamzani
13
Tinneke L. Longdong, Op. Cit., hal. 244. 14
Holdings Pte. Ltd., yang berasal dari Saudi Arabia (Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1993, 3 Juni 199315.
Dari beberapa contoh perkara di atas, dapat dikatakan bahwa setelah Mahkamah Agung RI mengeluarkan Perma, pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia mulai mendapat kepastian, karena hukum acara yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional sudah jelas. Untuk mengatur pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia, pada 12 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terdiri dari XI Bab dan 82 Pasal. Pada Bab VI UU Arbitrase tersebut mengatur tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Perlu dilakukan kajian mendalam, apakah setelah berlakunya UU Arbitrase benar-benar tidak ada hambatan atau kendala lagi dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mengingat bahwa setelah berlakunya UU Arbitrase, masih terdapat penolakan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional oleh Mahkamah Agung RI dengan alasan ketertiban umum, yaitu pada perkara Bankers Trust Company vs. PT Mayora Indah16 dan perkara Bankers Trust Company vs. The Jakarta International Hotel & Development Tbk. Selain
15
Ibid., hal. 231-235. 16
PT Mayora Indah melawan Bankers Trust Company, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 489/PDT.G/1999/PNJS, tanggal 5 Oktober 1999. Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 211/PDT/2000/PT DKI, tanggal 20 Juli 2000. Jo Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 001/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST., tanggal 3 Februari 2000 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 01 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.
itu, ada pula beberapa putusan-putusan arbitrase internasional yang telah didaftarkan, namun belum mendapatkan penetapan eksekusi17.
Di samping ada pula beberapa putusan arbitrase internasional yang telah diberikan penetapan eksekusi, antara lain pada perkara Noble Cocoa vs. PT Wahana Adhireksa Wiraswasta18, perkara Oceanis Shipping Ltd vs. Bp/ibu R. Adji Suryodipuro19, perkara Son Han Pil vs. Herman Tanuraharja (PT Saka Dhana Nugraha)20, perkara Balmac International Incorporation New York vs. Firma Sinar Nusantara21 dan beberapa putusan arbitrase internasional yang dianalisis dalam laporan penulisan ini.
Setelah berlakunya UU Arbitrase, satu-satunya putusan arbitrase internasional yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah putusan arbitrase asal Jenewa, Swiss (tanggal 18 Desember 2000), yaitu pada perkara Karaha Bodas Company (selanjutnya disingkat dengan KBC) vs. PT Pertamina dan PLN22. Kasus tersebut mengundang perhatian berbagai pihak di dalam dan di luar negeri, karena selain melibatkan beberapa saksi ahli dari berbagai negara, juga putusan
17
Antara lain Putusan Arbitrase London No. 6795, tanggal 15 Desember 2006, Putusan Arbitrase London No. 6796, tanggal 15 Desember 2006, Putusan Arbitrase Italia, No. 0408/0553, Livorno, 16 Agustus 2004, Putusan Arbitrase Singapura, SIAC No. 0057 of 2005, 20 Agustus 2007, Putusan Arbitrase London, tanggal 26 Februari 2007, Putusan
London Maritime Arbitration Association, pendaftaran tanggal 16 Februari 2009.
18
Putusan Arbitrase The Cocoa Merchants Associated of Amerika Incorporation, 26 Oktober 1999, dengan Penetapan Eksekusi No. 143/2000, tanggal 4 September 2000. 19
Putusan Arbitrase London Intl Arbitration No. 775/1998, dengan Penetapan Eksekusi No. 05/2001, tanggal 16 April 2001.
20
Putusan Arbitrase Korean Commercial Arbitration International Board, no. 98113-0011, dengan Penetapan Eksekusi No. 25/2001, tanggal 18 April 2001.
21
Putusan Arbitrase The Cocoa Merchants Associated of America Inc, No. 00/04 dan 00/05, dengan penetapan eksekusi No. 44/2001 dan 45/2001.
22
Putusan No. 86/PDT-G/2002, tanggal 19 Agustus 2002, dengan Ketua Majelis Hakim H. Herri Swantoro, SH.
arbitrase tersebut dimohonkan pelaksanaannya oleh pihak KBC di beberapa negara, sehubungan dengan aset pihak PT Pertamina yang terdapat di beberapa negara23. Pembatalan putusan arbitrase Swiss oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Putusan No. 01/BANDING/WASIT-INT/2002, tanggal 8 Maret 2004. Dengan dibatalkannya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang Pembatalan Putusan Arbitrase asal Swiss, maka pihak KBC kemudian menuntut ganti rugi kepada pihak PT Pertamina atas dasar pada perjanjian JOC/Joint Operation Contract dan perjanjian ESC/Energy Sales Contract yang telah dibuat pada tahun 1994.
Salah satu kasus yang juga menjadi perdebatan para pihak mengenai putusan arbitrase tersebut apakah putusan arbitrase nasional atau internasional, terlihat pada kasus PT Pertamina dan PT Pertamina EP vs.
PT Lirik Petroleum (Putusan No.01/Pembatalan
Arbitrase/2009/PN.JKT.PST tanggal 31 Agustus 2009). Dalam perjanjian dengan klausul arbitrasenya, para pihak memilih tempat arbitrase di Jakarta dengan rules dari ICC Paris. Dalam kasus tersebut, pada bagian eksepsinya pihak Pertamina sebagai pemohon mengajukan pembatalan putusan arbitrase sehubungan bahwa putusan arbitrase tersebut masuk dalam ruang lingkup arbitrase nasional, bukan putusan arbitrase internasional24.
Pada tahun 2010, terdapat putusan arbitrase internasional asal Singapore International Arbitration Center/SIAC yang ditolak pelaksanaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta