• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI REGULASI ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "URGENSI REGULASI ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI REGULASI ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA Agus Widiarto

[email protected]

Program Studi Ilmu Administrasi Negara STIA Banten

ABSTRAK

Ketika bangsa ini memasuki era reformasi tahun 1999, MPR telah mengeluarkan TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang kehidupan berbangsa. Beberapa pertimbangan dikeluarkannya Tap tersebut antara lain, bahwa etika kehidupan berbangsa saat itu mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi. Oleh karena itu, diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan dalam rangka menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa.

Menyadari semakin merosotnya etika kehidupan berbangsa, terutama di kalangan penyelenggara negara, Fraksi PKS DPR-RI berinisitaif mengajukan usulan RUU Etika Penyelenggara Negara yang kemudian ditetapkan sebagai bagian dari Prolegnas tahun 2014. Akan tetapi, sejak digulirkannya RUU ini, nasibnya kian tidak jelas. Sempat mengalami pasang surut. Bahkan, sampai sekarang kabarnya hampir tidak pernah terdengar lagi. Padahal, RUU ini memiliki misi yang teramat mulia, yaitu terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, etis, amanah, berakhlak mulia, serta mencegah praktik perbuatan yang menyimpang dari nilai, norma, dan aturan dalam menjalankan tugas pemerintahan dalam upaya mewujudkan etika penyelenggaraan negara yang sesuai dengan prinsip dan cita-cita bangsa.

Dalam kehidupan politik dan pemerintahan akhir-akhir ini, praktik penyelenggaraan pemerintahan kian tampak mempertontonkan perilaku yang jauh dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip etik, terutama yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Sikap dan perilaku tidak jujur, melakukan kebohongan publik, ingkar janji, penyalahgunaan kewenangan, memperlakukan warga negara secara tidak sama di depan hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat, semakin terang dipertontonkan ke tengah-tengah masyarakat. Tidak adanya instrumen hukum yang bisa mencegah pelanggaran etika, atau memaksa dan memberikan sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang melanggar etika, berakibat pada maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan banyak penyelenggara negara. Perilaku ingkar janji, tidak jujur, kerap berbohong yang dilakukan pejabat publik pun telah menimbulkan kegelisahan dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Pengabaian terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip etika penyelenggaraan negara tersebut dan tidak adanya regulasi yang bisa melakukan pencegahan atas pelanggaran etika, berpotensi pada retaknya harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga bisa mengancam integrasi bangsa ini. Padahal bangsa ini dibangun di atas nilai-nilai etika yang tercermin dalam setiap sila dari Pancasila.

Kata kunci: Etika, Penyelenggaraan Negara, PENDAHULUAN

Dalam kehidupan politik dan pemerintahan akhir-akhir ini, praktik penyelenggaraan pemerintahan kian tampak mempertontonkan perilaku yang jauh dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip etik, terutama yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Sikap dan perilaku tidak jujur, melakukan kebohongan publik, ingkar janji, penyalahgunaan

kewenangan, memperlakukan warga negara secara tidak sama di depan hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat, semakin terang dipertontonkan ke tengah-tengah masyarakat. Tidak adanya instrumen hukum yang bisa mencegah pelanggaran etika, atau memaksa dan memberikan sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang melanggar etika, berakibat pada

(2)

maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan banyak penyelenggara negara. Perilaku ingkar janji, tidak jujur, kerap berbohong yang dilakukan pejabat publik pun telah menimbulkan kegelisahan dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu terdapat beberapa rumusan masalah yang patut dikedepankan untuk merekonstruksi tentang perlunya sebuah regulasi terkait etika bagi penyelenggara Negara ini, yaitu sebagai berikut.

1. Apa definisi etika, penyelenggara negara, dan etika penyelenggara negara?

2. Bagaimana hubungan antara etika, norma, dan hukum?

3. Regulasi apa sajakah yang telah ada terkait dengan etika penyelenggara Negara?

4. Apakah selama ini regulasi tersebut telah dilaksanakan oleh sebagian besar penyelenggara Negara?

5. Apakah Penyelenggara Negara sudah merasa terikat oleh norma atau etika yang terdapat dalam ketentuan dasar internal instansi yang bersangkutan? 6. Apakah ketentuan tersebut sudah

mencakup seluruh etika yang semestinya berlaku untuk penyelenggara Negara

Melalui tulisan ini mencoba mengungkapkan secara umum maksud dan tujuan penulisan yang pada intinya adalah:

1. Untuk memberikan gambaran tentang berbagai praktik perilaku tidak etik yang dilakukan oleh penyelenggara negara

2. Memberikan pemahaman pentingnya etika bagi penyelenggara negara dalam menjalankan pemerintahan dan negara

3. Memberikan gambaran dampak penyelenggaraan negara yang bertentangan dengan etika

4. Memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan dan pemangku

kepentingan lainnya dalam merumuskan sebuah regulasi terkait dengan etika penyelenggara negara. Tujuan RUU Etika Penyelenggara Negara adalah sebagai landasan hukum untuk membangun aparatur negara yang berkarakter, bermoral dan berakhlaq mulia.

KAJIAN LITERATUR 1. Pengertian etika

Etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti kebiasaan atau watak. Sementara, menurut bahasa Sansekerta, etika lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup yang lebih baik. Dalam Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, etika diartikan sebagai berikut. 1) a set of moral principles or values; 2) the principle of conduct governing an individual or a group; 3) a guiding philosophy; 4) a consciousness of moral importance. Sementara, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dimaknai sebagai berikut: 1) Ilmu tentang apa yg baik dan apa yg buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; 2) Kumpulan asas atau nilai yg berkenaan dengan akhlak; 3) Nilai mengenai benar dan salah yg dianut suatu golongan atau masyarakat. Laura Portolese Dias dan Amit J. Shah dalam bukunya Demonstrating Ethical Behavior And Social Responsibility dalam Introduction to Business”, Etika dipahami sebagai standar moral perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan masyarakat sekitar sebagai sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah, dan biasanya bersumber dari agama dan budaya. Senada dengan definisi di atas, dalam Ensiklopedi Indonesia, etika disebut sebagai ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.

(3)

Sebagai sebuah nilai, etika menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah laku di dalam kelompok tersebut, tidak terlepas dari tindakan-tindakan tidak etis. Tindakan tidak etis tersebut adalah tindakan melanggar etika yang berlaku dalam lingkungan kehidupan tersebut.

Etika juga tidak terlepas dari hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hukum tersebut, selain merekonstruksi kondisi sosial kultural masyarakat, juga mengatur tingkah laku manusia yang mempunyai pikiran dan kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (etika). Jika dikaitkan dengan etika, maka hukum juga berkaitan dengan moral. Dengan demikian, hukum yang berlaku di masyarakat sangat erat hubungannya dengan norma, moral, dan etika masyarakat

Dengan demikian, secara sederhana etika dapat dimaknai sebagai seperangkat pedoman berupa nilai, prinsip, dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sesuatu yang benar dan salah agar tercipta kehidupan masyarakat yang sesuai nilai dan norma yang berlaku.

2. Pengertian penyelenggara negara Dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN, pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa penyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislative, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara, dalam ayat (2) dinyatakan bahwa penyelenggara yang bersih adalah penyelenggara negara yang menaati azas-azas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.

Dalam pasal 2 UU ini disebutkan bahwa penyelenggara Negara meliputi pejabat Negara pada lembaga tertinggi Negara, pejabat Negara pada lembaga tinggi Negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, pengertian yang terkait dengan pegawai negeri dan pejabat Negara, termaktub dalam UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian. Dalam pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang (Pasal 1 angka 4).

3. Pengertian Etika Penyelenggara negara

Dari uraian di atas, baik definisi etika maupun penyelenggara negara, kita bisa simpulkan bahwa etika penyelenggara Negara adalah nilai dan norma yang mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara Negara dalam bersikap, berbicara, berperilaku, dan bertindak dalam menjalankan tugas dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan

(4)

Negara yang bersih dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.

Dengan demikian, etika penyelenggara negara dapat disebut sebagai instrumen norma pengendalian sosial yang bersifat preventif terhadap berbagai potensi tindakan koruptif yang dilakukan penyelenggara negara.

4. Etika Politik dan Pemerintahan Dalam TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan berbangsa, terdapat prinsip-prinsip etika yang perlu dikedepankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Dalam TAP tersebut juga diuraikan beberapa pokok-pokok etika, di antaranya adalah etika politik dan pemerintahan.

Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.

Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan

pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.

Etika Politik dan Pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan. Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

5. Nilai Sejarah Etika Penyelenggaraan Negara

Dalam perspektif sejarah, bangsa Indonesia memiliki guru-guru pendidikan dan pengembangan etika dan karakter dalam lintas sejarah bangsa. Salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara yang ditasbihkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Ajaran pendiri Taman Siswa ini lekat dalam dunia pendidikan etik dan karakter. Di masa sulit perjuangan merebut kemerdekaan, Ki Hajar menemukan filosofi pendidikan yang sesungguhnya yaitu pendidikan untuk

(5)

mencerdaskan dan pendidikan untuk membangun etika dan karakter bangsa.

Ki Hajar Dewantara mengajarkan prinsip, yang terdengar sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia, yang sangat terkenal, yaitu: Ing Ngarso, Sung Tuladha (Di depan menjadi teladan) ; Ing Madya, Mangun Karso (Di tengah ikut serta) ; Tut Wuri, Handayani (di belakang memberi dorongan).

a. Ing Ngarso, Sung Tuladha

Prinsip ini mengajarkan sebagai seorang pemimpin, perlu adanya keteladanan untuk ditiru dan menjadi contoh yang benar. Keteladanan tidak berhenti terhadap waktu karena berlangsung 24 jam sehari dan 7 hari seminggu serta dilakukan bukan hanya di masyarakat, namun juga di rumah, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, dan lingkungan terkait lainnya. Keteladanan itu berefek kepada tutur kata, sikap, gaya bahasa tubuh dan implikasi dalam relasi pemimpin itu kepada bawahan dan orang lain. Keteladanan itu bersatunya antara kata dan perbuatan. Keteladanan tidak hanya sebatas ucapan janji, tetapi mewujud dalam tindakan. Bagi pemimpin, keteladanan berarti terpenuhinya janji-janji dalam bentuk kebijakan.

Dalam konteks pencegahan dan pemberantasan korupsi, sudah sepantasnya teladan itu dari para pemimpin mulai dari presiden, anggota DPR, menteri, dan pejabat publik lainnya. Semangat dan perjuangan antikorupsi yang efektif harus dimulai dari para pemimpin dan pejabat publik, dengan keteladanan yang kuat. Sayangnya, kenyataan yang terjadi sebaliknya, salah satu yang menjadikan korupsi merajalela adalah karena korupsi di Indonesia nyatanya justru dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan dan kedudukan. Padahal dalam filosofi prinsip Ki Hajar Dewantara merekalah yang memiliki

peluang besar untuk memberikan teladan, memberi contoh positif bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kalau mereka sendiri yang mencontohkan korupsi, bagaimana nasib orang-orang yang dipimpinnya?

Perilaku berbohong, ingkar janji, dan koruptif oleh pejabat publik di Indonesia sangat mengabaikan bahkan melecehkan prinsip Ing ngarso sung tuladha yang diajarkan oleh Ki Hajar. Ini sangat berbahaya karena pemimpin ini menentukan baik buruknya bangsa yang dipimpin. Oleh karena itu pesan kuat yang ingin disampikan Ki Hajar, jangan main-main dengan kedudukan seorang pemimpin. Pemimpin harus menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpin. Orang tua menjadi contoh bagi anak-anak. Guru digugu dan ditiru oleh murid-muridnya. Atasan harus menjadi panutan bagi bawahannya, demikian seterusnya. b. Ing Madya, Mangun Karso

Prinsip ini menerangkan keikutsertaan kita dalam bekerja bersama-sama. Dalam suka dan duka, semua ditanggung bersama, untuk memperbaiki nasib dan meningkatkan taraf dalam ke semua hal, entah taraf kehidupan, taraf pendidikan, taraf kebersamaan dan lain sebagainya. Pemimpin yang bijak akan berada bersama dengan yang dipimpin, sama-sama melinting lengan baju dan ikut membuat tangannya kotor dan berkeringat agar ada perbaikan bersama menuju hari esok yang lebih baik.

Prinsip ini sepantasnya kita refleksikan pada kepemimpinan bangsa kita. Kita memerlukan pemimpin yang merasakan beban dan penderitaan rakyatnya agar tidak tersisa celah sedikitpun bagi perilaku korup. Pemimpin itu tidak berjarak dengan rakyatnya. Sederhana sebagaimana kesederhanaan mayoritas rakyatnya. Sederhana tidak sebatas penampilan, tetapi sederhana yang berpihak kepada kepentingan

(6)

publik. Sederhana tidak sebatas pencitraan yang diliput oleh media massa secara besar-besaran yang menghilangkan esensi kepemimpinan itu sendiri.

c. Tut Wuri Handayani

Prinsip ini merupakan pelengkap semboyan yang tidak kalah pentingnya bahwa sebagai seorang pemimpin bijak, seyogyanya ketika bawahan atau rakyat yang dipimpin sedang mengalami kesusahan dan keterpurukan, pemimpin harus turun ke bawah, mengayomi serta memberikan dorongan dan mengangkat mereka yang jatuh.

Semboyan Ki Hajar Dewantara yang luar biasa ini bukan hanya berlaku dalam dunia pendidikan belaka, tetapi juga dalam sektor kepemimpinan dapat diterapkan dengan tepat.

Dalam konteks perang melawan korupsi, apa yang tersisa dari pemimpin yang selalu mendorong dan memotivasi bangsanya untuk maju, tumbuh, dan berkembang. Adakah tersisa ruang untuk korupsi? Pemimpin seperti ini tidak akan tega melakukan korupsi karena seluruh hidupnya dicurahkan untuk mendorong dan memajukan orang-orang yang dipimpinnya.

Sadar bahwa pemimpin adalah motivator, ia mendorong bangsanya untuk bekerja keras, tidak menggadaikan prinsip kejujuran, tidak mencari cara-cara instan sebagaimana para koruptor mencapai tujuannya.

6. Hubungan Etika, Norma, dan Hukum Teori klasik menyatakan bahwa hukum merupakan serapan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sering menyisakan beberapa nilai yang tidak terkemas dalam hukum. Nilai yang tidak terkemas dalam norma hukum ini kemudian masuk dalam kemasan nilai lainnya. Ada berbagai sebab sebuah nilai tidak dapat terkemas dalam norma hukum mulai dari tidak cocoknya nilai tersebut jika dikemas dalam norma

hukum sampai pada rigidnya hukum sehingga tidak mampu mengejar dinamika nilai yang senantiasa mengikuti perubahan zaman. Untuk itulah meski tidak seefektif norma hukum, norma-norma lain termasuk etika masih sangat dibutuhkan.

Oleh karena etika itu selalu berkembang sedemikian rupa mengikuti perkembangan zaman, dan sering kali hukum tidak mampu mengimbangi dinamika etika. Oleh karena itu, meskipun hukum itu sudah eksis, etika masih tetap diperlukan dalam rangka untuk menutup kelemahan hukum.

Hal mendasar yang sudah dipahami bersama adalah bahwa etika tidak memiliki daya dukung yang memadai dalam memberikan respons atas pelanggarannya. Tak ada institusi khusus yang dibentuk oleh Negara untuk menjadi penegak etika.

Etika yang sedikit banyak juga terdapat pada berbagai norma-norma yang berlaku di Indonesia akan mengalami penguatan dan pelemahan. Penguatan dan pelemahan ini, salah satunya, disebabkan oleh norma yang mengemas etika tersebut. Pada tataran penegakan, Norma kesusilaan, norma kesopanan dan agama tidak sekuat norma hukum karena institusi atau ,minimal, komunitas yang mengawal dari masing-masing norma tersebut tidak sekuat Negara sebagai institusi tunggal penegak hukum.

Dari keempat norma tersebut kesusilaan dan kesopanan merupakan norma yang memiliki potensi paling tinggi untuk melakukan penguatan dan pelemahan. Pergeseran nilai dari zaman ke zaman sangat terasa pada dua norma ini. Pelanggaran secara terus menerus atas nilai ini tanpa disertai penegakaan norma akan menjadi nilai baru yang berlawanan dengan nilai semula. Pada titik tertentu justru penerapan nilai awal dianggap sebagai pelanggaran atas nilai

(7)

baru. Sebaliknya ketika penegakan nilai sangat tinggi dan konsisten maka nilai yang bersangkutan akan mengalami penguatan.

Pada norma agama, nilai yang terkandung cenderung kaku dalam arti tidak mudah untuk berubah. Namun oleh karena norma ini sangat khas maka yang mengalami dinamika adalah pada tataran pelaksanaan norma ini. Pengabaian atas norma ini tidak akan menghilangkan nilai asli yang terkandung. Pengabaian hanya akan mengakibatkan norma ini terpendam sampai suatu saat akan muncul kembali seiring dengan kesadaran komunitas yang merasa terikat dengan norma ini.

Norma hukum sebagai satu-satunya norma yang dikawal secara langsung oleh Negara memiliki tingkat keterikatan yang sangat tinggi bagi masyarakat. Legalitas dan legitimitas yang dimiliki pemerintah memberikan wewenang yang besar dalam menegakkan norma ini.

Perbedaaan nilai dan kondisi sosiologis atas keempat jenis norma ini, dalam hal-hal tertentu, dimanfaat oleh sebagian masyarakat untuk merasa terikat atau tidak terikat berdasar atas kepentingan pragmatis mereka. Sering kali para pelanggar norma tertentu berlindung dibalik norma lain yang mengemas nilai yang dilanggar itu bukan sebagai pelanggaran.

Norma yang paling sering dipakai untuk alat perlindungan atas pelanggaran norma lain adalah norma hukum. Para pelanggar norma itu berpendapat bahwa selama tidak melanggar hukum maka norma yang lain dapat diabaikan karena memang tidak memiliki kekuatan pemaksa dalam memberikan sanksi.

Kondisi sosiologis ini amat disadari oleh masyarakat khususnya komunitas profesi. Oleh karena profesi itu menyangkut soal hubungan dengan masyarakat lain, profesionalitas, pandangan ideal masyarakat atas profesi

tertentu, tuntutan untuk tidak melakukan kesalahan dan sebagainya, maka komunitas tersebut merasa perlu untuk menjaga profesi mereka secara komunal. Mereka merasa bahwa para pelanggar nilai itu tidak mencerminkan profesi mereka. Mereka harus memiliki “jendela” bahwa para pelanggar nilai merupakan oknum dari komunitas profesi mereka yang bertindak secara

pribadi dan harus

mempertanggungjawabkan pelanggaran tersebut secara pribadi pula di hadapan masyarakat secara umum dan di hadapan komunitas profesi mereka. Dengan demikian komunitas profesi ini menjadi terselamatkan.

Dalam dunia profesi, etika ini ditegakkan oleh institusi khusus yang sengaja dibentuk oleh organisasi profesi untuk menjadi penegak etika terhadap para anggotanya. Sanksi pelanggaran terberat dari etika adalah dikeluarkannya sang pelanggar tersebut dari keterikatannya dengan etika itu. Dalam bahasa yang lebih popular adalah dikeluarkan dari keanggotaan profesi tersebut.

Nilai-nilai yang ada pada etika sangat beragam antara satu lingkungan profesi dengan lingkungan profesi yang lain. Sangat mungkin baik buruknya sebuah perilaku yang dilihat dari kacamata etika dari sebuah profesi tidak memiliki makna yang sama dengan profesi lainnya.

Pada ranah privat sector, misalnya, terdapat organisasi profesi semacam persatuan advokat, ikatan dokter,persatuan insinyur dan sebagainya. Organisasi ini mengatur anggotanya sedemikian rupa dalam rangka untuk memberikan kemanfaatan yang maksimal serta memberikan marwah atas organisasi profesi tersebut dan para anggotanya. Maka diaturlah mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang buruk dan mana yang baik beserta sanksi internal yang

(8)

diberlakukan kepada anggota pelanggarnya.Semua itu dimulai dari pemikiran filosofis tentang nilai dalam paradigm organisasi profesi masing-masing.

Pada public sector, secara sporadis dan istilah yang berbeda-beda soal etika ini juga sudah diatur. Di lembaga Negara semacam Dewan Perwakilan Rakyat terdapat badan Kehormatan DPR yang mengurusi persoalan pelanggaran etika begitu juga dengan lingkungan Pegawai Negeri Sipil yang memiliki Badan Pertimbangan Kepegawaian dan lain sebagainya.

Ketentuan yang sporadis ini pada dasarnya hanya mengikat pada obyek tertentu dengan nilai yang tertentu dan ditegakan secara bervariasi oleh institusi tertentu pula. Dengan demikian ketentuan yang sporadis ini tidak mampu untuk menjaring seluruh institusi yang terkategorikan sebagai public sector. Kondisi ini menciptakan “diskriminasi” perlakuan pelanggar etika di kalangan penyelenggara Negara.

Beberapa faktor penyebab dari “diskriminasi” ini adalah antara lain adalah sebagai berikut:

a. Belum ada nilai-nilai yang dikemas secara lengkap dalam bentuk hukum sebagai alat utama untuk memberikan sanksi bagi para pelanggarnya.

Nilai nilai yang tersebar ke dalam berbagai norma kesopanan, kesusilaan, agama dan yang nilai yang belum terkemas dalam tiga norma tersebut tidak mampu secara efektif memaksa untuk menjalankan seluruh nilai-nilai yang hidup di Negara ini. Akibatnya pelanggaran nilai-nilai tersebut dianggap tidak memiliki sanksi karena memang tidak melanggar hukum.

b. Nilai-nilai yang sudah dikemas dalam bentuk hukum tidak mampu menjangkau seluruh penyelenggara Negara.

Berbagai nilai yang tersebar dalam ketentuan pada dasarnya hanya diberlakukan untuk kalangan tertentu saja sehingga penyelenggara negara di luar kalangan tersebut merasa tidak terikat dengan nilai-nilai tersebut. Keadaan ini menimbulkan pemikiran bahwa ada beberapa tempat atau instansi atau institusi yang merasa control terhadap perilaku mereka sangat ketat namun ada beberapa tempat atau institusi atau instansi yang sangat leluasa melakukan berbagai tindakan tanpa takut untuk dikenai sanksi.

c. Institusi penegak nilai saat ini tidak mampu menjangkau seluruh penyelenggara Negara.

Ketentuan yang tersebar saat ini hanya menjangkau kalangan tertentu sehingga institusi yang dibentuk oleh ketentuan tersebut secara otomatis juga hanya menjangkau kalangan tertentu saja. Biasanya institusi yang dibuat memang diperuntukkan secara internal melakukan penegakan nilai. Dalam kasus-kasus tertentu keputusan atas penegakan nilai juga didasar semangat pembelaan institusi.

Idealnya setiap penyelenggara Negara selalu terikat dengan nilai-nilai yang harus dipatuhinya. Semakin tinggi kedudukan penyelenggara tersebut maka semestinya pula kualitas dan kuantitas nilai yang harus dipatuhi menjadi lebih besar. Untuk dapat membuat system nilai yang dipatuhi oleh seluruh penyelenggara Negara maka mau tidak mau system nilai tersebut harus dikemas dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu sudah saatnya negeri ini memiliki system nilai yang jelas dan terukur serta mampu mengikat seluruh penyelenggara Negara ini untuk mematuhi nilai tersebut tanpa terkecuali.

(9)

Untuk merealisasikannya perlu ada langkah konkrit yang dapat diusulkan sebagai berikut:

a. Pemetaan ketentuan yang sudah mengatur tentang etika penyelenggara negara

Pemetaan atas ketentuan yang sudah mengatur ini menjadi penting untuk mengetahui hal-hal antara lain: 1) seberapa jauh nilai-nilai etis itu sudah

dikemas dalam bentuk peraturan perundang-undangan

2) seberapa jauh nilai-nilai yang belum terkemas dalam peraturan perundang-udangan

3) seberapa jauh daya jangkau pemberlakuan ketentuan itu untuk para penyelenggara

4) bentuk institusi penegak etika

5) mekanisme penegakan system nilai yang bersangkutan

b. Pemetaan tentang penerapan nilai-nilai yang mengikat penyelenggara Negara saat ini

Pemetaan penerapan ini akan mampu mengidentifikasi:

1) Tingkat kepatuhan penyelenggaraa Negara terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

2) Efektifitas lembaga penegak nilai. 3) Efektifitas dan efisiensi prosedur

penegakan nilai.

4) Bentuk sanksi dan sikap para pelanggar nilai yang dikenai sanksi. c. Pemetaan penyelenggara Negara

yang belum terikat oleh nilai-nilai Pemetaan ini akan mendapatkan data

mengenai:

1) Instansi penyelenggara yang belum memiliki ketentuan tentang nilai-nilai yang harus dipatuhi mereka. 2) Nilai-nilai yang belum diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan

d. Inventarisasi perilaku para penyelenggara yang belum diikat oleh system nilai yang dikemas dalam

bentuk peraturan perundang-undangan.

Kegiatan ini bertujuan untuk membuktikan hipotesa bahwa penyelenggara Negara yang tidak diikat dengan system nilai yang kuat dari aspek penegakannya cenderung memiliki perilaku melanggar nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. e. Perumusan nilai-nilai utama yang

harus mengikat setiap penyelenggara Negara

Perumusan ini akan menghasilkan materi muatan undang-undang yang berfungsi untuk mengikat peneyelenggara untuk selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai yang telah dirumuskan

f. Perumusan Institusi penegak dan prosedur penegakan nilai

Aktifitas ini akan menghasilkan konsep tentang lembaga penegak etika penyelenggara Negara serta meknisme kerjanya.

Pengemasan nilai-nilai etis dalam bentuk norma hukum ini sesungguhnya akan mampu menghindari perilaku para pelanggar etika untuk menghindari sanksi dari suatu norma (kesusilaan, kesopanan, dan agama dan nilai etika lain) dengan cara berlindung dibalik norma lain (norma hukum) dengan kata lain sepanjang norma hukum tidak memberi sanksi maka seluruh nilai dari norma lain dapat dilanggarnya. 7. Peraturan Perundang-Undangan

Yang Sudah Ada

Jika sebelumnya kita membahas hubungan antara etika, norma, dan hukum, sekarang kita mencoba menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan etika.

Sebenarnya telah banyak peraturan perundang-undangan terkait dengan etika penyelenggara

(10)

Negara, mulai dari TAP MPR, UU, Peraturan Pemerintah, sampai dengan kode etik institusi atau lembaga Negara.

a. TAP MPR

TAP MPR yang terkait dengan etika penyelenggara Negara, misalnya: 1) TAP MPR No. X/MPR/1998

Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. Pelaksananan reformasi di bidang sosial budaya adalah untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang sosial budaya. Agenda yg harus dijalankan adalah menyiapkan sarana dan prasarana, program aksi dan perundangundangan bagi tumbuh dan tegaknya etika usaha, etika proses, dan etika pemerintahan

2) Tap MPR No. V/MPR/2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Nilai2 agama dan budaya bangsa tidak dijadikan sumber etika dalam berbangsa & bernegara oleh sebagian masyarakat, sehingga melahirkan krisis akhlak dan moral berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran HAM. Menugaskan Badan Pekerja MPR-RI untuk merumuskan etika kehidupan berbangsa

3) Tap MPR No. VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa: etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.

4) Tap MPR No. VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan

Pemberantasan dan Pencegahan KKN, Membentuk Undang-undang

beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi (antara lain) ”Etika Pemerintahan” b. Undang-Undang

1) UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

2) UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme

3) UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi,

4) UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,

5) UU No.9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

6) UU tentang kepolisian Negara (UU Nomor 2/2002) 7) UU tentang MD3 8) UU tentang MA 9) UU tentang Kejaksaan 10) UU BI 11) UU BPK

12) UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Aparatur Sipil Negara

c. Peraturan pemerintah

1) PP Nomor 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa korps dan Kode Etik PNS pasal 7 “Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap PNS wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesame PNS yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010

(11)

Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

8. Kondisi Obyektif Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Dalam Perspektif Etika Bernegara

Berbagai peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam bagian sebelumnya, sesungguhnya merupakan upaya merekonstruksi pelaksanaan etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Rekonstruksi tersebut merupakan hasil identifikasi, baik melalui proses perjalanan sejarah bangsa, maupun identifikasi potret sosiologis bangsa. Pertanyaannya adalah, apakah berbagai peraturan tersebut sudah benar-benar menjawab persoalan praktek etika dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara? Ataukah, para penyelenggara Negara itu sendiri yang belum sepenuhnya mematuhi dan terikat dengan berbagai peraturan tersebut?

Di aras pembentukan sistem politik dan ketatanegaraan, sejak Indonesia merdeka, telah mengalami pergantian sistem mulai dari demokrasi liberal parlementer (di fase awal kemerdekaan 1950-1959), lalu berganti menjadi demokrasi terpimpin (dalam kurun 1959 hingga 1965), lalu menjadi demokrasi pembangunan dengan titik tekan pada stabilitas vis-à-vis kebebasan politik semasa Orde Baru (dalam kurun yang panjang 32 tahun) hingga mencapai antiklimaks pada kurun 1997/1998 yang menghasilkan reformasi dan penerimaan luas atas sistem demokrasi dalam realitas politik bernegara. Amandemen UUD 1945 dalam empat tahap sejak 1999 sampai dengan 2002 menegaskan dan meneguhkan pilihan sistem demokrasi bagi indonesia pasca reformasi.

Namun demikian, semangat reformasi tidak serta merta berjalan mulus dalam membangun satu sistem demokrasi yang stabil. Nyatanya, empat kali pemilu pascareformasi (1999, 2004,

2009, dan 2014) belum mampu mewujudkan demokrasi yang bermakna, demokrasi yang berbudaya, dan demokrasi yang mensejahterakan rakyat. Demokrasi masih sebatas prosedural, bukan substansial. Demokrasi prosedural sekedar memenuhi tahapan-tahapan yang mesti dilalui dalam pelaksanaan sistem demokrasi. Misalnya, bagaimana proses pemilu berlangsung mulai dari pendaftaran peserta pemilu sampai penetapan pemenang pemilu. Akan tetapi, pelaksanaan demokrasi belum memenuhi substansi dari demokrasi itu sendiri, yaitu pemerintahan yang bersumber dari kedaulatan rakyat yang mengandung makna menguatnya kedudukan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Misi besar reformasi untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme masih jauh dari harapan. Proses konsolidasi demokrasi terhambat oleh proses “demokratisasi” (perluasan dan pendalaman) korupsi. Praktik korupsi melanda seluruh lembaga dan instansi kenegaraan, serta merembes ke segala lapisan dari pusat hingga daerah.

Seiring dengan laju korupsi, wajah negeri seperti tercermin dari warta media menampakkan buruk rupa: kebohongan, kemiskinan keteladanan, kehilangan keadilan dan perlindungan hukum, kesenjangan sosial, keretakan jalinan sosial, perluasan tindak kekerasan, kejahatan dan premanisme, gurita narkoba, kerusuhan di wilayah tambang dan perkebunan, kecelakaan transportasi dan kerawanan sarana publik.

Pada titik genting krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara justru seperti kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Kepemimpinan eksekutif, legislatif, dan yudikatif lebih mempedulikan “apa yang dapat diambil dari negara”, bukan “apa yang dapat

(12)

diberikan pada negara”. Kepemimpinan negara hidup dalam penjara narsisme yang tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya. Perhatian elit politik lebih tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan; lebih mengutamakan kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Kehidupan publik kita merefleksikan nilai-nilai moralitas kita, demikian pula sebaliknya. Sebegitu jauh, kehidupan politik selama ini lebih merefleksikan nilai-nilai buruk, dan kurang mengaktualisasikan nilai-nilai luhur masyarakat. Praktik politik di negeri ini telah direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti sipilitas, responsibilitas, keadilan dan integritas runtuh.

Pejabat dan penyelenggara negara di semua cabang kekuasan kerap menampilkan perilaku yang jauh dari harapan publik. Padahal tugas utama dan kewajiban penyelenggara negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD Tahun 1945 adalah melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak sipil masyarakat. Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan.

Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan

pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya.

Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi” seperti dikemukakan oleh Wilson, dalam Widodo (2001), menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.

Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan untuk melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki kewenangan secara umum disebut “discretionary power”, yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan “secara baik dan tidak secara buruk”.

Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.

(13)

Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002), mengatakan bahwa: “Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat”. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.

Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari public service tersebut demi mensejahterakan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Widodo (2001) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Namun demikian, pada kenyataannya pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan.

Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena

ketidakefisienan dan

ketidakefektifannya, birokrasi sering kali

dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit.

Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya. Sudah tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat). Bahkan Sutoro Eko (2003) menyatakan bahwa raksasa birokrasi Indonesia yang tidak bermutu, justru menjadi beban yang sangat berat bagi negara dan masyarakat. Birokrasi Indonesia adalah institusi yang lebih banyak menghabiskan ketimbang menghasilkan. Sebagai sarang korupsi dan pencurian, birokrasi adalah penyumbang terbesar krisis finansial negara. Benar-benar sebuah ironi yang konyol kalau negara menderita krisis tetapi para pengelolanya bisa hidup kaya dan mewah.

Grafik korupsi penyelenggara negara, baik yang dilakukan oleh eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, di indonesia masih sangat tinggi jika melihat data-data yang ada. Media massa hampir setiap saat memberitakan kasus-kasus korupsi seolah tiada hari tanpa korupsi.

Pada tahun 2012, peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menurun dari tahun sebelumnya. Dari 176 negara yang diukur oleh Transparancy

(14)

International, Indonesia menempati urutan ke-118. Padahal tahun 2011, Indonesia menempati urutan ke-100 dari 183 negara.

Peringkat Indonesia tahun 2012 sejajar dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan Madagaskar. Sedangkan di Asia Tenggara, peringkat Indonesia berada di bawah Singapura (urutan ke-5), Brunei Darussalam (46), Malaysia (54), Thailand (88), dan Filipina (108). Indonesia unggul di atas Vietnam (123) dan Myanmar (172). Berdasarkan IPK, dengan semakin turun peringkat berarti negara itu semakin korup, begitu pula sebaliknya.

Bahkan menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), merujuk pada rilis beberapa lembaga, menyampaikan bahwa data kasus korupsi mencapai 1.408 kasus telah terjadi di Indonesia dengan kerugian uang negara sebesar Rp39,3 triliun selama 2004-2011.

Akibat dari korupsi berdampak sistematis pada masa depan pembangunan Indonesia. Banyak program pembangunan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dan terhambat. Mengabaikan semua prinsip good governance. Bahkan, yang lebih mengerikan korupsi merusak mental dan budaya masyarakat secara sistematik. Inilah yang tergambar dalam Alinea pertama Penjelasan Umum UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang menyatakan: ”Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan

langkah-langkah pencegahan tingkat nasional maupun internasional.

Dalam laporan hasil penelitian “Etika dan Kewaspadaan terhadap fraud dalam Pemerintahan: Suatu Upaya Membangun Etika untuk Mencegah fraud pada Pemerintah Daerah” yang dilakukan oleh BPKP (2005) menunjukkan bahwa, secara umum intensitas terjadinya fraud pada aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, dan pengawasan berada dalam kategori “pernah terjadi fraud”. Kegiatan yang dianggap signifikan dalam intensitas kemunculan fraud adalah meninggikan anggaran dalam pengajuan kegiatan serta menggunakan barang milik negara untuk kepentingan pribadi. Bidang kegiatan yang teridentifikasi dalam kategori sering terjadi tindakan fraud yaitu bidang perizinan, pengadaan barang dan jasa, pemilihan kepala daerah, kepegawaian, pemeliharaan fasilitas umum, penerimaan pendapatan daerah, pengawasan, dan pertanggungjawaban kepala daerah.

Dalam studi Ilmu Administrasi Negara, sudah sejak lama Drucker (1980) melakukan identifikasi adanya enam dosa besar administrator publik, yaitu: 1) Perumusan tujuan yang ambigu,

tanpa adanya target yang jelas sehingga tujuan tersebut tidak dapat diukur dan dinilai tingkat pencapaiannya;

2) Pengerjaan beberapa kegiatan dalam waktu yang bersamaan tanpa adanya prioritas yang jelas;

3) Keyakinan bahwa ’besar itu berkah’, artinya orientasi pekerjaan adalah pada banyaknya aktivitas yang dapat mendatangkan penghasilan, dan bukannya pada kompetensi;

4) Berperilaku dogmatis, bukannya eksperimental. Artinya prosedur standar dianggap sebagai sesuatu yang sangat sakral yang tidak boleh dilanggar, sehingga administrator

(15)

tidak berani melakukan tindakan yang bertentangan dengan prosedur atau yang belum ada prosedurnya;

5) Ketidakmampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu dan keengganan untuk memperhatikan umpan balik;

6) Kuatnya asumsi bahwa program itu sifatnya berkelanjutan dan kuatnya keengganan untuk menghentikan program yang gagal atau tidak tepat sasaran.

Enam dosa besar tersebut kemudian dikenal sebagai bentuk-bentuk penyimpangan administrasi atau mal-administrasi (maladministration), yang dalam perkembangannya terus ditambahkan daftarnya sehingga semakin lama daftar dosa administrator menjadi semakin banyak dan sangat panjang.

Iriani, et al (2009) menyebut praktek mal-administrasi yaitu: inefisiensi, inefektifitas, tidak profesional, tidak netral, tidak disiplin, tidak patuh pada aturan, retrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tidak transparan, belum ada perubahan mindset, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang marak di berbagai jenjang pekerjaan, sebagai abdi masyarakat belum terbangun, pemerintahan belum akuntabel, belum transparan, tidak partisipatif dan kredibel, lemahnya political will dari pemerintah, belum ada kesamaan persepsi dan pemahaman visi, misi dan tujuan serta ketidakjelasan rencana tindak dalam lembaga negara, kurangnya pemanfaatan teknologi informasi (TI) dalam pemberantasan KKN, masih banyak ditemukan peraturan perundang-undangan yang rancu antara sektoral dan pemerintah daerah, pelayanan publik belum berkualitas dan pelayanan publik prima belum terbangun secara luas.

Menurut Widodo (2001), mal-administrasi merupakan suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi

yang menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi. Sedangkan Nigro dan Nigro dalam (Widodo, 2001), mengemukakan terdapat delapan bentuk mal-praktek (mal-administrasi) yaitu : 1) Ketidakjujuran (dishonesty), yaitu

suatu tindakan administrasi yang tidak jujur. Misalnya; mengambil uang dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari langganan (client), menarik pungutan liar, dan sebagainya. Dikatakan ketidakjujuran karena tindakan ini berbahaya dan menimbulkan ketidak-percayaan (dis-trust). Yang tampak sekarang, ketidakjujuran dan kebohongan justru semakin dipertontonkan oleh pejabat publik. Ironisnya, perilaku kebohongan itu menggejala menjadi sebuah kebiasaan. Pejabat yang diketahui secara luas melakukan kebohongan publik pun tidak mau meminta maaf kepada masyarakat, bahkan memproduksi kebohongan yang lainnya.

2) Perilaku yang buruk (unethical behaviour), pegawai (administrator publik) mungkin saja melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya, kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya dalam tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya familinya diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis karena mengabaikan objektivitas penilaian.

3) Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai (administrator publik) dapat mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan kepentingannya dan berpihak kepada pihak yang berkuasa.

(16)

Hukum hanya tajam ke pihak yang lemah dan lemah kepada pihak yang berkuasa. Ini berakibat pada ketidakpercayaan publik secara meluas. Misalnya kasus-kasus yang muncul di era pemerintahan Jokowi, berbagai pelaporan yang dilakukan oleh kubu oposisi seringkali diabaikan oleh aparat, ketimbang laporan yang dilakukan oleh pendukung rezim, aparat dengan sigap memprosesnya. 4) Favoritisme dalam menafsirkan

hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di wilayahnya harus bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai kader partai A merasa terpanggil memenangkan partai tersebut.

5) Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi.

6) Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugas secara memadai, para administrator disitu dinilai gagal, misalnya pemborosan dana secara berlebihan.

7) Menutup-nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai menutupi kesalahannya sendiri atau bawahannya, atau menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau melarang pers meliput kesalahan instansinya.

8) Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya. 9. Kasus Politik Kebohongan dan Ingkar

Janji Pejabat Publik

Praktik kebohongan publik semakin nyata di masyarakat. Ketiadaan tindakan hukum yang tegas dan budaya korupsi yang kian kuat makin menyuburkan perilaku kebohongan publik, mulai dari kebohongan ringan seperti plagiarisme, dugaan kebohongan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara, ingkar janji, sampai kebohongan tingkat berat yang berakibat fatal seperti kasus suap dan korupsi. Publik tentu masih ingat dengan kasus suap mantan Ketua Mahkamah konstitusi Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, kasus suap mantan Ketua DPR Setyo Novanto, kasus suap mantan Menteri Sosial Idrus Marham. Munculnya kasus-kasus tersebut tidak bisa dilepaskan dari perilaku tidak etis penyelenggara negara yang tidak jujur (bohong), tidak amanah, dan penyalahgunaan wewenang.

Bahkan, dalam kurun waktu 2012-2018, soal kebohongan dan ingkar janji yang dilakukan pejabat publik menghiasi media massa nasional. Misalnya, ada pejabat yang saat dilantik, tentu ada sumpah atau janji yang diucapkan yang pada pokoknya akan menjalankan amanah sebaik-baiknya. Amanah berarti kepercayaan untuk menjalankan seluruh janjinya. Akan tetapi, ada pejabat yang berjanji akan menuntaskan masa jabatannya selama 5 tahun, tetapi hanya bisa menjalankan pemerintahannya selama kurang lebih 2 tahun dari tahun 2012-2014.

Janji-janji yang ditebar saat kampanye pun kerap tak tertunaikan, mulai dari kebohongan akan tidak bagi-bagi kursi, kabinet ramping, bohong tidak akan menaikkan harga BBM, bohong tidak akan impor, bohong terkait mobil nasional Esemka. Ironisnya, meski kebohongan itu telah menjadi isu publik yang diketahui secara meluas, tidak ada satu katapun kata maaf yang keluar dari mulut pejabat publik yang bersangkutan. Mestinya,

(17)

ada politik keteladanan yang dicontohkan oleh setiap pejabat publik.

Menarik untuk menyimak komentar Jokowi soal kebohongan yang dilakukan pejabat publik. Jokowi melontarkan kritiknya soal politik kebohongan.

"Kita harus akhiri politik kebohongan, politik yang merasa benar sendiri, dan perkuat politik pembangunan. Politik kerja pembangunan, politik berkarya. Pembangunan bangsa sumber daya manusia yang siap bersaing di revolusi industri.”

Hal ini disampaikan Jokowi saat berpidato di puncak perayaan hari ulang tahun Partai Golkar di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu pada tanggal 21 Oktober 2018. Tentu, kritik ini ditujukan kepada siapapun, termasuk pejabat publik yang melakukan politik kebohongan.

Salah satu faktor penyebab maraknya gejala politik kebohongan dan ingkar janji yang dilakukan oleh pejabat publik ini bisa terjadi disebabkan oleh belum adanya sanksi yang tegas untuk menghukum para pejabat pelaku kebohongan tersebut. Mereka seenaknya meninggalkan jabatan atau amanah yang menjadi kewajibannya untuk mengejar kekuasaan yang lebih tinggi. Padahal, proses pemilihan pejabat yang telah mengeluarkan biaya besar dan biaya sosial lainnya harus dipertanggungjawabkan ke publik. Namun, secara tidak bertanggung jawab, mereka melepas begitu saja jabatan tersebut. Sekali lagi, hal ini terjadi karena tidak ada sanksi dan aturan yang tegas untuk menghukum pejabat publik yang telah berbohong dan ingkar janji kepada masyarakat. SIMPULAN

Persoalan Etika adalah pokok persoalan atau hulu dari potensi berbagai tindakan dan perilaku yang

tidak sesuai dengan norma yang seorang penyelenggara Negara memiliki etika yang benar, maka akan mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap kepatuhan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, jika seorang penyelenggara berperilaku tidak sesuai etika, maka tindakan tersebut berpotensi terhadap pelanggaran norma hukum yang ada.

Kita bisa menyatakan bahwa maraknya kasus korupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengindikasikan adanya persoalan etika yang kronis. Perilaku tidak etis yang seringkali dipertontonkan oleh banyak kalangan mulai dari masyarakat bawah sampai penyelenggara Negara, menyiratkan kepada kita bahwa bangsa ini tengah menghadapi persoalan yang sangat luar biasa dalam etika kehidupan berbangsa dan bernegara di semua bidang, mulai dari bidang pemerintahan, hukum, dan ekonomi.

Dengan adanya formulasi regulasi yang jelas, seorang penyelenggara Negara akan bertindak benar atau salah karena adanya konsekuensi dari tindakannya yang berkaitan dengan reward dan punishment yang ia terima, baik dalam institusinya maupun masyarakat. Dengan demikian, regulasi etika bagi seorang penyelenggara Negara akan menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan fungsinya di tengah-tengah masyarakat.

Berbagai regulasi terkait etika yang disebutkan di atas tersebut, pada esensinya adalah sebagai pedoman bagi para penyelenggara Negara, baik di legislative, eksekutif, mapun yudikatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya di berbagai bidang penyelenggaraan Negara. Di pihak lain, meskipun demikian, kita juga menyaksikan masih banyaknya perilaku yang menyimpang dari norma yang berlaku yang dilakukan oleh banyak penyelenggara Negara. Oleh

(18)

karena itu, sebuah regulasi yang utuh dan memiliki daya ikat yang kuat terkait etika penyelenggara Negara menjadi beralasan. Urgensi berupa Undang-undang tentang etika penyelenggara Negara juga semakin relevan ketika perilaku tidak etis yang dilakukan penyelenggara Negara, bermuara pada perilaku korup.

Meskipun telah ada berbagai regulasi etik penyelenggara Negara, tetapi perilaku pelanggaran norma hukum masih saja terjadi. Padahal, etika adalah ukuran standar seseorang (penyelenggara Negara) yang dapat menentukan seseorang berperilaku konformitas atau menyimpang.

Penyelenggara Negara, baik pejabat politik ataupun pejabat karir memiliki kewenangan mengambil diskresi. Keputusan yang diambil dan efek dari pelaksanaannya memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan publik. Akan tetapi, adakalanya kita dengar pengambilan keputusannya atau perilakunya tidak didasarkan pada standar etika tertentu. Sering kita menyaksikan, para penyelenggara Negara mencampuradukkan antara urusan pribadi dan urusan public. Artinya, ada sebagian penyelenggara Negara yang dalam menjalankan tugasnya berupaya memanfaatkan jabatan publiknya untuk kepentingan pribadi. Perlakuan diskriminasi di depan hukum oleh penyelenggara Negara terhadap warganya juga kerap kita dengar. Misalnya, perlakuan istimewa terhadap kerabat pejabat Negara yang terlibat pelanggaran hukum. Kemudian, kita juga mendapati bahwa, banyak penyelenggara Negara yang memanfaatkan kewenangannya untuk “mengalahkan” lawan-lawan politiknya. Hal itu terjadi karena, masih banyak penyelenggara Negara yang tidak memegang etika dalam menjalankan fungsinya. Sehingga, pelanggaran etika

itu sering kali tidak bisa atau susah untuk dijangkau norma hukum. Padahal, jika saja para penyelenggara Negara memegang teguh etika, pastilah tugas dan fungsinya akan berkorelasi positif terhadap kinerjanya.

Reformasi menghasilkan perubahan yang sangat dinamis. Para penyelenggara Negara dihadapkan pada lingkungan yang berubah dengan cepat, masalah yang sangat kompleks, dan pilihan kebijakan yang seringkali dilematis. Mereka membutuhkan pedoman dalam mengambil pilihan. Oleh karena itu, Etika penyelenggara Negara Negara sangat diperlukan untuk menjadi pegangan bagi penyelenggara Negara dalam menjalankan pemerintahan negara. DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto. et.all. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM., Yogyakarta.

Djohermansyah Djohan, et.al. 2007. Etika Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.

BPKP. 2005. “Laporan Hasil Penelitian Etika Dan Kewaspadaan Terhadap Fraud Dalam Pemerintahan: Suatu Upaya Membangun Etika Untuk Mencegah Fraud Pada Pemerintah Daerah”, diunduh dari http://www.bpkp.go.id/index.php?id unit=11&idpage=599

Drucker, P., 1980. “The Deadly Sins in Public Administration.” Public Administration Review, Vol. 40 (March/April)

Enni Iriani. et al. 2009. Kajian Pengembangan Model Seleksi Fit And Proper Test Bagi Pejabat Publik. Bandung: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur 1-LAN.

Ryaas Rasyid. 1998. Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah

(19)

Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia. PT. Pustaka LP3ES,

Jakarta.

Joko Widodo. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Surabaya.

Artikel http://www.transparansi.or.id/2012/12/ pelayanan-publik-masih-buruk https://nasional.tempo.co/read/1146430 /jubir-prabowo-sebutkan- kebohongan-jokowi-selama-4-tahun/full&view=ok https://www.cnnindonesia.com/nasional /20181022112255-32-340349/pks- jokowi-harusnya-beri-contoh-politik-tanpa-kebohongan

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran Pengukuran merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menentukan nilai suatu besaran dalam bentuk angka (kuantitatif) maupun berupa pernyataan yang merupakan sebuah simpulan (kualitatif). Jadi mengukur adalah suatu proses mengaitkan angka secara empirik dan objektif pada sifat-sifat objek atau kejadian nyata sehingga angka yang diperoleh tersebut dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai objek atau kejadian yang diukur. Atau secara umum (sederhana) adalah membandingkan suatu besaran yang tidak diketahui harganya dengan besaran lain yang telah diketahui nilainya. Alat ukur digunakan untuk keperluan pengukuran.