• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Konsep Ketahanan Pangan :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Konsep Ketahanan Pangan :"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Ketahanan Pangan

Berdasarkan UU No, 7 tahun 1996 tentang Pangan, diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1996). Dengan demikian di dalam ketahanan pangan mencakup aspek produksi dan penyediaan, distribusi serta konsumsi pangan. Penyediaan pangan yang cukup merupakan prasyarat untuk memenuhi konsumsi pangan rumah tangga yang akan terus berkembang dari waktu ke waktu.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, untuk mewujudkan penyediaan pangan dapat dilakukan melalui kegiatan : (1) mengembangkan sistem produksi pangan yang bertimpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal (2) mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan (3) mengembangkan teknologi produksi pangan (4) mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan (5) mengembangkan dan mempertahankan lahan produktif.

Sebagai salah satu subsistem dari sistem ketahanan pangan maka FAO mengedepakan sistem penyediaan pangan dengan lima karakterisrik yang harus dipenuhi, yaitu : (1) kapasitas (capacity) : mampu menghasilkan, mengimpor, dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk (national food suficiency) (2) pemerataan (equity) : mampu mendistribusikan makanan pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga (3) kemandirian (self-relience) : mampu menjamin kecukupsediaan makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman fluktuasi pasar dan tekanan politik internasional dapat ditekan seminimum mungkin (4) kehandalan (reliability) : mampu meredam dampak variasi musiman maupun siklus tahunan sehingga kecukupansediaan pangan dapat dijamin setiap saat (5) keberlanjutan (sustainability) : mampu menjaga keberlanjutan dan

(2)

kecukupsediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas hidup (Soetrisno, 2005).

Mewujudkan ketahanan pangan adalah kewajiban bersama seluruh komponen bangsa, yaitu pemerintah, pemerintah daerah, masyrakat termasuk para pelaku usaha yang terkait dengan pangan. Pada era otonomi daerah saat ini, peran pemerintah aalah menyediaan fasilitas dan rambu-rambu bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha produksi, pengolahan dan perdagangan pangan secara efisien, adil dan bertanggungjawab (Suryana, 2004).

Ketahanan pangan sendiri sebenarnya mengandung makna makro dan mikro. Makna makro terkait dengan ketersediaan pangan di seluruh wilayah setiap saat. Sedangkan unsur mikro terkait dengan kemampuan rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan sesuai kebutuhan dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Pada sisi makro elemen utama ketahanan pangan adalah subsistem produksi, distribusi, pengolahan dan pemasaran pangan, termasuk di dalamnya ekspor dan impor dan pengelolaan konsumsi pangan. Sisi makro dan mikro ketahanan pangan ditunjang oleh kinerja ekonomi secara keseluruhan yang menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakat (Suhardjo, 1998; Suryana, 2004).

Menurut Soetrisna (2005), ada dua pilihan untuk mencapai ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah, yaitu dengan mencapai swasembada pangan atau mencapai kecukupan pangan. Swasembada pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan pangan. Sedangkan kecukupan pangan memasukkan variabel perdagangan internasional atau antar wilayah. Dengan konsep ini dituntut kemampuan untuk menjaga tingkat produksi domestik ditambah dengan kemampuan untuk mengimpor agar dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Pemerintah Indonesia saat ini, tampakanya lebih memilih menggunakan konsep kecukupan pangan untuk mencapai ketahanan pangan nasional.

(3)

Konsep dari ketahanan pangan berkelanjutan adalah menkombinasikan pangan, pertanian dan penduduk menjadi tujuan dan dasar dari pembangunan. Untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dibutuhkan lebih dari sekedar meningkatkan produktivitas pertanian dan keuntungan usahatani serta meminimalisasi kerusakan lingkungan. Konsepnya lebih luas daripada pertanian berkelanjutan, yaitu menggabungkan tujuann dari ketahanan pangan rumah tangga dan pertanian berkelanjutan. Sehingga tidak hanya berbicara tentang jumlah ketersediaan pangan tetapi juga mengenai pendapatan dan distribusi lahan, mata pencaharian rumah tangga dan kebutuhan konsumsi pangan, distribusi pangan dan pangan tercecer, status perempuan dan posisi tawar mereka, tingkat kelahiran dan populasi penduduk, perlindungan dan regenerasi sumberdaya vital bagi produksi pangan (Speth, 1993).

Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan

Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari pembangunan subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi. Keberhasilan pembangunan ketiga subsistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan dalam kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu, juga perlu ditunjang oleh faktor-faktor seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan. Ketahanan pangan diselenggarakan oleh banyak pelaku yang dibina oleh institusi sektoral, subsektoral, serta dipengaruhi oleh interaksi lintas wilayah. Tujuan yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak azasi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, serta meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional (BBKP, 2001).

Dalam rangka melaksanakan dan mencapai sasaran pembangunan ketahanan pangan, pemerintah berperan dalam memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan swasta untuk berperan dalam pembangunan ketahanan pangan. Sedangkan program pemantapan ketahanan pangan perlu dirumuskan dan dimantapkan di daerah dengan lebih mempertibangkan permasalahan serta kondisi agroekosistem dan sosial budaya pangan lokal daerah. Agar lebih efektif dan berdaya guna, perlu menggunakan pendekatan

(4)

pengembangan wilayah dengan memperhatikan tiga kriteria utama, yaitu wilayah rawan pangan, wilayah perbatasan dan wilayah sentra produksi pangan. Hal ini perlu dilakukan karena permasalahan ketahanan pangan di masing-masing wilayah tersebut memerlukan penanganan yang berbeda-beda (Suryana, 2001).

Tujuan program ketahanan pangan yang terdapat dalam Rencana Pembangunan Pertanian 2005 – 2009 adalah untuk memfasilitasi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Untuk mencapai tujuan di atas, Program Peningkatan Ketahanan Pangan dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa subprogram, yaitu: (1) Peningkatan Produksi dan Ketersediaan Pangan, (2) Pengembangan Diversifikasi Produksi dan Konsumsi Pangan, (3) Penerapan Standar Kualitas dan Keamanan Pangan, (4) Penurunan Tingkat Kerawanan Pangan, (5) Pengembangan dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan, dan (6) Pengembangan Manajemen Pembangunan Ketahanan Pangan.

Secara lebih spesifik tujuan pembangunan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2005-2009 adalah untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat mikro/tingkat rumah tangga dan individu serta ditingkat makro/nasional, sebagai berikut :

1. Mempertahankan ketersediaan energi pr kapita minimal 2200 kkal/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari.

2. Meningkatkan konsumsi pangan perkapita untuk mmenuhi kecukupan nergi minimal 2.000 kkal/hari dan protein sebesar 52 gram/hari.

3. Meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) minimal 80.

4. Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pengan yang dikonsumsi masyarakat.

5. mengurangi jumlah/presentase penduduk rawan pangan kronis (yang mengkonsumsi kurang dari 80% AKG) dan penduduk miskin minimal 1 persen per tahun.

6. Meningkatkan kemandirian pangan melalui pencapaian swasembada beras berkelanjutan, swasembada jagung pada tahun 2007, swasembada kedelai pada tahun 2015, swasembada gula pada tahun 2009 dan swasembada daging

(5)

sapi pada tahun 2010; serta meminimalkan impor pangan utama yaitu lebih rendah 10% dari kebutuhan nasional.

7. Meningkatan rasio lahan per orang (land-man-ratio) melalui penetapan lahan abadi beririgasi minimal 15 juta ha dan lahan kering minimal 15 juta ha. 8. Meningkatkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah

dan pemerintah.

9. Meningkatkan jangkauan jaringan distribusi dan pemasaran pangan ke seluruh daerah.

10. Meningkatkan kemampuan nasional dalam mengenali, mengantisipasi dan menangani secara dini serta dalam melakukan tanggap darurat terhadap masalah kerawanan pangan dan gizi ( DKP, 2006).

Keberhasilan upaya penganekaragaman di bidang penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter. Parameter tingkat keanekaragaman pangan dapat menggunakan Pola Pangan Harapan (PPH). Dengan pendekatan PPH, keadaan perenanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapakan dapat memenuhi tidak hanya kecukupan gizi (nutritional adequancy), akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestability), daya terima masyarakat (acceptability), kuantitas dan kualitas daya beli (affortability) (Hardinsyah, Madanijah & Baliwati, 2002).

Indikator Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan memiliki tiga sub sistem: ketersediaan, akses/distribusi dan konsumsi. Ketersediaan pangan adalah kombinasi dari fungsi stok pangan dalam negeri, impor pangan, bantun pangan dan produksi pangan sehingga tersedia untuk konsumsi baik ditingkat rumah tangga maupun wilayah. Akses/distribusi pangan dipengaruhi oleh ketersediaan dan harga pangan di pasar. Selain itu akses pangan juga merupakan fungsi dari kondisi fisik lingkungan, lingkungan sosial dan politik/kebijakan. Sedangkan konsumsi pangan direfleksikan oleh status gizi individu, yang dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, pola pengasuhan serta kondisi kesehtan. Oleh karena itu analisis kondisi ketahanan pangan pada negara berkembang umumnya

(6)

menggunakan banyak indikator untuk merefleksikan beragam aspek yang melingkupinya. Beberapa tipe indikator yang sering digunakan untuk mengukur kondisi ketahanan pangan adalah sebagai berikut : (1) produksi pangan; (2) pendapatan; (3) total pengeluaran; (4) pengeluaran untuk kebutuhan pangan; (5) persentase pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan; (6) konsumsi kalori, dan (7) status gizi (Riely et al, 1999)

Dimensi ketahanan pangan sangat luas mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran dan dimensi sosial ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya. Dari dimensi waktu, pengukuran ketahanan pangan dilakukan diberbagai tingkatan, dari tingkat global, nasional, regional sampai tingkat rumah tangga dan individu. Pada tingkat global, nasional dan regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel tingkat kerusakan tanaman/ternak/perikanan, rasio stok dengan konsumsi pangan; skor PPH; keadaan keamanan pangan; kelembagaan pangan dana pemerintah dan harga pangan (Handewi, Rachman, Ariani, 2002).

Sumarwan dan Sukandar (1998) mengukur ketahanan pangan wilayah yaitu ketahanan pangan kabupaten di seluruh Indonesia yang diukur dari kemampuan wilayah untuk memproduksi empat jenis pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar). Selai itu juga digunakan peubah jumlah penduduk, curah hujan dan Produk Domestik Regional/Broto (PDRB). Metode penentuan ketahanan pangan yang dilakukan tersebut mengacu pada formula yang dikembangkan oleh Syarief (1991) sebagai berikut :

TP = 0,089 + 272×10χ1 – 2,25χ2 + 2,0355χ3 + 2,8542χ4 + 0,9966χ5 + 1,1032χ6

Dimana TP adalah Ketahanan Pangan, sementara χ1 sampai χ6 secara berturut-turut adalah fungsi dari : curah hujan bulan Februari (mm); pendapatan daerah (Rp/kap/thn); produksi gabah (ton/kap/thn); produksi jagung pipil (ton/kap/thn); produksi ubi kayu (ton/kap/thn); dan produksi ubi jalar (ton/kap/thn). Kriteria yang digunakan untuk menentukan derajat ketahanan pangan wilayah adalah :

(7)

1. Jika TP < k/1,2 maka wilayah tersebut kurang tahan pangan 2. Jika k1/2 < TP < k maka wilayah tersebut tahan pangan 3. Jika TP > k maka wilayah tersebut sangat tahan pangan

Ketahanan pangan adalah merupakan kebutuhan dasar penduduk yang harus dipenuhi, untuk dapat mencapai situasi ketahanan pangan yang mantap maka dibutuhkan sumberdaya. Salah satu kegiatan penting untuk menunjang ketahanan pangan dan membutuhkan ketersediaan sumberdaya secara berkelanjutan untuk memproduksi pangan adalah kegiatan pertanian secara luas. Sumberdaya dapat dikategorikan menjadi sumberdaya alam (tanah, air, dll), sumberdaya produksi (jalan, pabrik, dll), dan sumberdaya manusia (tenaga kerja, tingkat ketrampilan tenaga kerja, dll). Sumberdaya merupakan faktor kritis dari ketahanan pangan karena mempengaruhi kemampuan rumah tangga, individu maupun wilayah untuk memperoleh pangan melalui produksi dan perdagangan. Sementara konsumsi dan belanja dapat dilihat sebagai bentuk alternatif dari penggunaan sumberdaya, dimana konsumsi dalam bentuk konsumsi pangan merupakan bentuk dasar dari penggunaan sumberdaya oleh manusia. Sehingga kertesediaan sumberdaya dan pengguaan sumberdaya yang terkait dengan produksi dan konsumsi pangan dapat dijadikan indikator mengukur ketahanan pangan (www.ers.usda.gov).

Sementara itu untuk menentukan sitausi pangan pada suatu wilayah Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian bekerjasama dengan World Food Programmed United Nation, berdasarkan data tahun 2002 telah menebitkan peta kerawanan pangan wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Ada 14 indikator yang digunakan untuk menentukan apakah suatu wilayah tergolong rawan pangan atau tidak. Indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

(8)

Tabel 1 Indikator penentu kerawanan pangan wilayah

Dimensi Kelompok Indikator Indikator

Ketersediaan pangan 1. Konsumsi normative perkapita terhadap rasio ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar

Akses pangan dan mata pencaharian

2. % penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan

3. % desa yang tidak bisa dilaui roda empat 4. % desa yang tidak mempunyai akses

listrik

Kesehatan dan gizi 5. Angka harapan hidup pada saat lahir 6. Berat badan balita dibawah standart 7. % perempuan buta huruf

8. % penduduk tanpa akses ke air bersih 9. Angka kemiskinan bayi

10. % penduduk yang tinggal > 5 km dari Puskesmas

Kerawanan Pangan 11. % daerah berhutan 12. % daerah puso 13. Daerah rawan banjir 14. Penyimpangan curah hujan (BKP Prop. Jawa Timur, 2006)

Daya Dukung Pangan Wilayah (Nutritional Carrying Capacity)

Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi dari suatu spesies yang dapat disupport oleh suatu wilayah tanpa mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mensupport spesies yang sama pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia. Namun manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi lingkungan dan menciptakan teknologi untuk memproduksi pangan dan energi (Richard, 2002).

Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal penggunaan sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang tanpa mempengaruhi keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa awal perkembangan konsep mengenai human carrying capacity, menurut Erlich dan Holdren (1971; 1974 dalam Anonymous, 1994) menyebutkan bahwa akibat yang yang ditimbulkan dari adanya manusia pada suatu wilayah adalah sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah besarnya sumberdaya yang mampu

(9)

diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah sedikit penduduk dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar pada tingkat yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan jumlah sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah populasi penduduk yang dapat disupprot secara berkelanjutan oleh sebuah wilayah, tetapi menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air bersih) yang dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mensupport populasi wilayah tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu yang tidak terbatas.

Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan social carrying capacity. Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang dapat disupport oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa penggunaan teknologi. Sedangkan social carrying capacity adalah biophysical carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard, 2002).

Untuk memperkiraan besarnya regional carrying capacity dapat menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui. Energi matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan obat-obatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar minyak (Richard, 2002).

(10)

Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut pada akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah. Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity, akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, Anne & Gretchen, 1993). Untuk itu diperlukan suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu wilayah agar produksi pangan bagi kepentingan konsumsi penduduknya dapat terwujud secara berkesinambungan.

Produksi Pangan

Pertanian berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai praktek usahatani yang dapat memberikan hasil guna memenuhi kebutuhan pangan dan serat pada saat sekarang maupun yang akan datang untuk kepentingan ekosisitem dan untuk hidup sehat, selain itu praktek usahatani tersebut dilakukan dengan memaksimalkan manfaat bagi masyarakat saat semua biaya dan keuntungan dari usaha tersebut telah terpenuhi. Namun praktek usahatani dapat menurunkan kemampuan ekosistem untuk mendukung produksi, misalnya penggunaan pupuk dan pestisida dalam dosis tinggi. Tugas utama dari usahatani dalam arti luas adalah untuk menyediakan pangan bagi penduduk, jika kemampuan produksi pertanian meningkat secara berkelanjutan maka proporsi penduduk yang mengalami kelaparan akan berkurang (Tilma et al, 2002).

Produksi pangan secara berkelanjutan mengahdapi banyak tantangan, terutama dari ketersedian dalam jumlah dan mutu dari sumberdaya atau input produksi yang semakin lama semakin mengalami penurunan. Sumberdaya tersebut diantaranya adalah ketersediaan lahan pertanian, kesuburan tanah,

(11)

ketersediaan air, dan keberagaman biotik. Namun demikian dengan semakin berkembangnya teknologi, tercipta pula teknologi yang dapat meningkatkan kemampuan produksi pangan. Misalnya adalah terciptanya sistem irigasi, penemuan bibit unggul melalui proses bioteknologi, adanya pupuk dan pestisida, teknologi pasca panen yang mengurangi rasio pangan terbuang akibat pengolahan saat panen, dan diversifikasi pakan ternak yang akan meningkatkan ketersediaan pangan hewani (Ehrlich, Ehrlich & Daily, 1993)

Faktor-faktor Produksi Pangan

Istilah faktor produksi sering pula disebut dengan ’korbanan produksi”, karena faktor produksi tersebut ”dikorbankan” untuk menghasilkan produksi. Faktor produksi ini disebut dengan input. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pertanian dapat dibedakan menjadi dua kelompok : (1) faktor biologi, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat kesuburannya, bibit, varitas, pupuk, obat-obatan, gulma, dan sebagianya dan (2) faktor sosial ekonomi, seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, risiko dan ketidakpastian, kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya (Soekartawi, 2003).

Dalam model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dikembangkan oleh Puslitbag Tanaman Pangan (2003), efek sinergisme antar komponen produksi perlu digali dan dikembangkan agar diperoleh manfaat yang lebih besar. Beberapa komponen produksi yang memiliki efek sinergis antara lain adalah:

1. Pengolahan tanah secara sempurna yang dikombinasikan dengan pengairan berselang (intermittent) memberikan ruang yang kondusif bagi pertumbuhan dan distribusi akar tanaman padi, sehingga dapat menyerap hara dan air pada lapisan tanah lebih dalam. Dampak selanjutnya, meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, tanaman lebih sehat, tahan rebah, dan toleran kekeringan. 2. Dengan pengairan berselang akan terjadi pengeringan lahan sesaat. Kondisi ini

dapat mengurangi akumulasi gas beracun dalam tanah.

3. Pengendalian gulma secara mekanis bukan hanya bertujuan untuk membebaskan ahan dari gulma, tetapi juga untuk memperbaiki aerasi tanah, merangsang pertumbuhan akar tanaman padi, dan mengembalikan bahan organik ke dalam tanah.

(12)

4. Sinergisme lainnya dapat terjadi pada interaksi bibit muda dengan teknik irigasi berselang (intermittent) dan bahan organik dengan pemberian pupuk. 5. Pengeringan lahan sawah dapat menekan perkembangan beberapa hama dan

penyakit tanaman.

Hasil tanaman erat berkaitan dengan kondisi cuaca selama pertumbuhannya. Di lain pihak, varietas tanaman dengan karakter morfofisiologis tertentu merespon kondisi cuaca itu dengan pola pertumbuhan dan potensi hasil yang berbeda. Maka hasil tanaman berbeda sesuai musim dan varietasnya. Perbedaan itu pada gilirannya juga membedakan kebutuhan hara tanaman. Ketersediaan hara dalam tanah sangat bergantung pada sifat tanah. Karenanya takaran pupuk yang diperlukan juga sangat spesifik lokasi. Nilai status hara tanah yang didapatkan melalui analisis atau uji tanah dapat digunakan sebagai dasar penentuan takaran keperluan pupuk secara lebih cepat dan spesifik (Makarim A, 2005).

Pertimbangan utama dalam pengembangan komoditas tanaman pertanian adalah kesesuaian/kecocokan tanaman terhadap lahan, sedangkan untuk peternakan, selain kecocokan tanaman pakan terhadap lahan, juga perlu diperhatikan kecocokan lingkungan terhadap ternak. Di samping itu, pengembangan peternakan berkaitan dengan benda yang sifatnya mobil/aktif. Peternakan, selain memerlukan lahan tersendiri juga dapat dikombinasikan dengan usaha pertanian lainnya, misalnya perkebunan atau tanaman pangan. Ada tiga pola pengembangan peternakan yang dikenal, yaitu: (1) pola ekstensif, ternak digembalakan atau dilepaskan begitu saja, (2) pola semiekstensif, ternak digembala secara terkendali sambil diaritkan, dan pada malam hari ternak dikandangkan, dan (3) pola intensif, yaitu ternak dikandangkan dan diaritkan. Pola yang pertama sesuai untuk daerah yang masih mempunyai padang penggembalaan Pada pola kedua dan ketiga, usaha peternakan tidak memerlukan lahan khusus untuk ternak. Biasanya pola ini terintegrasi dengan usaha pertanian lainnya. Usaha ini sangat tergantung pada keberadaan lahan yang dapat menyediakan pakan ternak, baik itu limbah pertanian maupun hijauan pakan ternak (Suratman, 2004).

(13)

Permasalahan Produksi dan Ketersediaan Pangan

Pembangunan ketahanan pangan diharapkan mampu menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, terutama berasal dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup aman, dan terjangkau dari waktu ke waktu. Permasalahan dalam pengembangan ketahanan pangan antara lain :

1. Jumlah penduduk yang cukup besar dengan laju pertumbuhan sebesar 1,5% per tahun membawa konsekuensi adanya peningkatan permintaan pangan terus menerus dengan jumlah besar

2. Meningkatnya kompetisi pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, menyebabkan terganggunya kapasitas produksi pangan

3. Pola konsumsi pangan masyarakat masih belum beragam (didominasi sumber karbohidrat beras dan sumber protein nabati)

4. Kebijakan pengembangan pangan yang selama ini masih terfokus pada beras sehingga mengurangi penggalian dan pemanfaatan potensi pangan yang lain 5. Masyarakat di beberapa daerah masih terdapat yang mengalami kerawanan

pangan, baik karena musim paceklik ataupun karena bencana alam (Krisnamurthi, 2003; Suryana 2005).

Kebijakan pembangunan pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan seharusnya tidak hanya berorientasi pada pemenuhan target produksi saja. Tetapi juga harus memperhatikan petani dalam arti luas yang memiliki peran ganda yaitu sebagai produsen sekaligus konsumen pangan. Karena ternyata sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk golongan miskin adalah mereka yang berprofesi sebagai petani. Beberapa persoalan umum petani dan pertanian di Indonesia menurut Saragih (2005) adalah :

1. Indonesia terperangkap dalam kebijakan pangan yang menokultur, yakni kebijakan yang mengarah menuju ketergantungan pada tanaman padi untuk menghasilkan beras sebagai bahan pokok pangan

2. Indonesia terjebak dalam kebijakan harga pangan yang murah, untuk menopang pengembangan industri, dan pengembangan sektor lainnya

3. Harga beras impor yang lebih rendah dari beras produksi lokal mengakibatkan petani yang memproduksi pangan semakin miskin dan berupaya menggantikan tanaman pangannya dengan tanaman pertanian lainnya

(14)

4. Adanya dorongan pada petani dan perusahaan-perusahaan untuk menanam tanaman ekspor seperti sawit dan karet, akibatnya tanah-tanah yang seharusnya cocok untuk tanaman pangan dialihfungsikan untuk tanaman perkebunan

5. Pengadaan sarana produksi pertanian seperti bibit, benih dan alat-alat teknologi pertanian yang hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan internasional

6. Semakin berkurangnya peran pemerintah dalam mengatur kebijakan pangan 7. Terjadinya penguasaan dan pemilikan sumber agraria terutama tanah dan air

pada orang atau pihak-pihak tertentu saja.

Permasalahan produksi pangan untuk menunjang ketahanan pangan juga tercermin dari banyaknya bahan pangan yang masih diimpor, antara lain beras (Indonesia importir terbesar di dunia), kedelai (importir terbesar di dunia), gula pasi (importir terbesar kedua di dunia), pangan hewani (daging sapi dan susu serta produk olahannya), serta buah dan sayur segar. Besarnya impor menyebabkan ketahanan pangan suatu negara atau wilayah rapuh (Husodo & Muchtadi, 2004).

Hal tersebut dapat terjadi karena laju peninggakatan kebutuhan pangan domestik lebih cepat dibandingkan dengan laju kemampuan produksi. Ketersediaan lahan yang semakin berkurang karena penduduk, persaingan dengan sektor ekonomi non pangan, menurunnya kualitas lahan karena eksploitasi yang eksesif, berkurangnya fungsi penyimpaanan air karena kerusakan hutan dan daerah tangkapan air. Pada produksi pangan nabati, produktivitas tanaman pada berbagai komoditas pangan relatif stagnan, yang antara lain disebabkan lambatnya penemuan penemuan dan pemasyarakatan teknologi inovasi serta rendahnya insentif finansial untuk menetapkan teknologi secara maksimal. Melemahnya sistem penyuluhan pertanian juga merupakan kendala bagi proses penyebaran teknologi kepada para petani pengguna (Suryana, 2004).

Berdasarkan hasil perhitungan skor PPH Nasional pada tahun 2003 menunjukkan bahwa pangan hewani masih jauh dibawah ideal menurut PPH. Salah satu sumber pangan hewani adalah ikan, Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi perikanan laut yang besar selain itu juga potensial untuk

(15)

dikembangkan perikanan budidaya (Dahuri, 2004: Nikijuluw & Abdurahman, 2004).

Pulau-pulau besar di kawasan barat Indonesia berpotensi untuk pengembangan budidaya air tawar. Sementara pengembangan budidaya laut lebih berpotensi dikembangkan di kawasan timur. Pulau Jawa, baik di pantai utara maupun selatan adalah lokasi yang potensial untuk pengembangan budidaya terpadu mina-padi dan kolam air tawar berpotensi untuk dikembangkan di seluruh wilayah Jawa. Pada tabel 2 berikut ini dapat dilihat potensi budidaya perikanan di Indonesia berdasarkan lokasinya.

Tabel 2 Potensi lahan budidaya perikanan menurut daerah

Budidaya Lokasi (rangking)

Tambak

Kolam air tawar Perairan umum Mina-padi

Budidaya pantai : udang Budidaya laut : kakap Budidaya laut : kerapu

Kalimantan (1), Maluku dan Papua (2), Jawa (3) Jawa (1), Sumatera (2), Sulawesi (3)

Kalimantan (1), Sumatera (2), Sulawesi (3) Jawa (1), Sumatera (2), Sulawesi (3) Kalimantan (1), Sumatera (2), Sulawesi (3) Sumatera (1), Sulawesi (2), Kalimantan (3) Jawa (1), Bali dan NT (2), Maluku dan Papua (3) (Nikijuluw & Abdurahman, 2004).

Saat ini, banyak ekspor pangan dari Indonesia ditolak oleh konsumen luar negeri sehingga menjadikan harga ekspor produk-produk pertanian dan pangan tertekan. Pada waktu yang akan datang, peningkatan kualitas pertanian dan pangan perlu memperoleh perhatian yang memadai. Tantangan yang harus dihadapi di bidang produksi pangan, yaitu peningkatan volume produksi, peningkatan kualitas produk dan penganekaragaman produk serta meningktakan daya saing. Secara umum di bidang pertanian juga peternakan dan perikanandiperlukan perubahan-perubahan yang mendasar, terutama dengan meningkatkan skala usaha petani, perikanan dan peternakan, menjadikan setiap usaha tani, usaha peternakan dan usaha perikanan mencapai skala ekonomi yang dapat membuat pelakunya sejahtera (Husodo, 2003).

(16)

Perencanaan Pangan Berdasarkan PPH

Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang dan tempat tinggal. Pembangunan dilakukan guna memenuhi kebutuhan dasar penduduk tersebut dengan memperhitungkan alokasi sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk. khususnya dalam hal pangan. Segala sumberdaya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Nagamine, 1981).

Perencanaan sistem pangan adalah suatu bentuk perencanaan multidisipliner yang mencakup aspek lingkungan, transportasi, kondisi sosial, kesehatan masyarakat dan lain sebainya. Sedangkan sistem pangan sendiri adalah rantai aktivitas yang diawali dari produksi pangan beserta seluruh pergerakannya meliputi proses produksi, panen dan pasca panen, distribusi, perdagangan sampai konsumsi pangan bahkan masalah pangan tercecer atau terbuang selama semua proses tersebut (APA Division Council, 2006). Sistem pangan yang kokoh dalam suatu komunitas dapat membantu para petani dan keluarnya tetap memiliki mata pencaharian yang layak, memastikan setiap anggota masyarakat tersebut memiliki akses yang sama terhadap pangan yang berkualitas, menciptakan lapangan pekerjaan di bidang pangan, dan memberikan pendapatan bagi masyarakat. Perhatian khusus yang diberikan pemerintah suatu daerah dalam perencanaan sistem pangan dapat membantu daerah tersebut untuk mencapai kehidupan masyarakat yang berkualitas secara lebih komperhensif (Abel & Thomson, 2006).

Seiring dengan dilakukannya pembangunan di bidang ekonomi dan perbaikan gizi penduduk, maka diperlukan juga peningkatna produksi pertanian agar tercipta surplus pangan di pasar, selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan, juga untuk kebutuhan pakan ternak dan industri lainnya. Peningkatan produksi pangan juga dibutuhkan untuk mendukung stok cadangan pangan guna menjamin ketersediaan pangan sepanjang waktu, baik dimasa paceklik atau saat darurat akibat adanya bencana alam atau masalah lainnya (College of Human Ecology – University of the Philippines Los Banos, 1999).

(17)

Dalam melakukan perencanaan pangan, keberadaan data sangat penting artinya. Keberhasilan suatu perencanaan pangan sangat tergantung dari keakuratan data yang dipakai sebagai dasar pembuatan perencanaan. Untuk itu kualitas data yang dikumpulkan harus menjadi perhatiaan. Akan tetapi data-data yang dikumpulkan harus sesuai dengan landasan teori serta permasalahan kebijakan pangan yang akan dianalisis. Sehingga data yang dikumpulkan akan mampu memberikan informasi dan menjawab permasalahan pangan tersebut. Data-data tersebut dapat bersumber dari data primer yang biasanya berasal dari rumah tangga serta data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai institusi terkait. (Braun, 1993). Sehingga hubungan antara data yang dikumpulkan dan permasalahan kebijakan pangan adalah timbal balik seperti yang terlihat pada gambar 1.

Gambar 1 Hubungan dan timbal balik antara kebijakan dan data (Braun, 1993) Terdapat beberapa permasalahan yang cukup serius dalam hal pengumpulan data dan pada akhirnya banyak data yang telah dikumpulkan menjadi tidak berguna. Banyak kegiatan pengumpulan data yang terfokus pada proses pengumpulan data itu sendiri, tetapi tidak pada pemanfaatan data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang sering digunakan untuk melakukan perencanaan pangan adalah data konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Data konsumsi pangan biasanya merupakan data primer. Selama ini data hasil survei konsumsi pangan belum banyak digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan

Masalah Kebijakan Pangan Konsep/Teori Pengumpulan Data Analisa Data / Generalisasi Informasi

(18)

dalam hal perencanaan pangan yang lebih luas dan hanya terbatas pada perencanaan program intervnsi gizi.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar informasi yang diperoleh dari survei ditingkat rumah tangga dapat digunakan untuk perencanaan. Pertama, informasi yang dikumpulkan harus dapat dipercaya, yang berarti bahwa data tersebut harus berkualitas dan dianalisis dengan benar pula. Kedua, informasi yang dikumpulkan harus relevan dengan permasalahan yang ingin dianalisis. Ketiga, informasi tersebut haruslah tepat waktu atau aktual sehingga dapat memberikan gambaran keadaan sebenarnya. Tepat waktu ini sangat penting, karena setiap data memiliki karakteristik sendiri kapan seharusnya dikumpulkan misalnya setiap minggu, bulan atau tahun. Keempat, informasi yang diperoleh harus dapat dipresentasikan pada orang lain sebagai sumber acuan yang terpercaya (Andersen, 1993).

Kegiatan pengumpulan data survei tingkat rumah tangga menjadi penting diperhatikan karena merupakan salah satu informasi dasar yang digunakan untuk membuat perencanaan pangan bersama-sama dengan data-data indikator makroekonomi, jumlah konsumsi dan produksi di tingkat nasional atau wilayah, serta informasi demografi. Hal tersebut diperlukan agar data hasil survei rumah tangga dapat memberikan gambaran secara agregat keadaan masyarakat atau populasi suatu wilayah. Oleh karena itu suatu kerjasama lintas institusi untuk memenuhi berbagai macam data yang diperlukan untuk melakukan perencanaan pangan agar lebih akurat dan terpercaya (Mule, 1993).

Survei Konsumsi Gizi (SKG) adalah dalah satu contoh kegiatan survei rumah tangga yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan untuk mengetahui tingkat konsumsi pangan masyarakat. Data konsumsi pangan meliputi jenis dan jumlah pangan oleh seseorang atau kelompok orang (keluarga/rumah tangga) pada saat atau periode tertentu. Bila data konsumsi pangan dikumpulkan dalam kurun waktu yang panjang maka data konsumsi pangan tersebut dapat mencerminkan kebiasaan atau perilaku makan kelompok yang disurvei. Data konsumsi pangan dapat diperoleh berupa data sekunder maupun data primer. Data sekunder konsumsi pangan tersedia berupa data konsumsi pangan Susenas maupun data hasil Survei/Pemantauan Konsumsi Gizi (S/PKG). Dalam konteks ketahanan

(19)

pangan, survei konsumsi pangan diperlukan untuk menilai situasi konsumsi pangan atau perilaku konsumsi pangan masyarakat (Hardinsyah et al, 2003).

Informasi-informasi yang dibutuhkan untuk perencanaan dalam sistem pangan adalah sebagai berikut :

1. Data produksi pertanian : data peramalan panen, monitoring produksi/panen tiap bulan (luas, hasil, produksi panen), produksi pertanian dan makanan olahan, penjualan hasil panen dan hasil peternakan/perikanan, hasil tangkapan ikan, harga yang diterima dan yang harus dikeluarkan oleh petani, input tenaga kerja serta hasil pertanian tercecer.

2. Data proses pengolahan makanan dan statistik pasar : data pengolahan pangan nabati maupun hewani, harga pada setiap tahap pengolahan yang berbeda dan rantai pemasaran, biaya, margin, dan keuntungan pada jalur pemasaran, data inventaris pangan dan kesejahteraan rumah tangga, struktur dan organisasi pasar, dan inefisiensi pasar.

3. Data perdagangan pangan : volume dan harga dari ekspor dan impor pangan, kondisi permintaan dan harga yang relevan pada pasar dunia, informasi tentang suplier utama pada komoditas pangan tertentu.

4. Data mengenai konsumsi pangan : Neraca Bahan Makanan (NBM), rata-rata konsumsi aktual, konsumsi pangan berdasarkan kelompok pendapatan, harga pangan di tingkat konsumen pada berbagai tempat dan konsumsi pangan on farm.

5. Data kondisi sosial dan gizi masyarakat : monitoring data-data sosial, data pada kelompok dengan pendapatan rendah, pola konsumsi pangan, konsumsi pangan pada kelompok masyarakat yang menjadi target.

6. Informasi dan analisis kebijakan : informasi mengenai kebijakan tentang siste pangan, analisis dari dampak dari kebijakan yang diberlakukan (Muller, 1993).

Pangan adalah bagian vital dalam suatu masyarakat, sehingga perencanaan pangan harus diintegrasikan dalam rencana pembangunan sutau wilayah. Untuk mewujudkan hal tersebut hal-hal yang perlu dilakukan adalah :

(20)

1. Mengumpulkan informasi mengenai sistem pangan dalam masyarakat misalnya : produksi, proses, distribusi, konsumsi dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pangan.

2. Menentukan hubungan antara pangan dan fokus perencanaan pembangunan lainnya.

3. Mempertimbangkan pengaruh rencana pembangunan yang saat ini berlangsung terhadap sistem pangan di masyarakat.

4. Memasukkan ketahanan pangan ke dalam tujuan pembangunan masyarakat. 5. Memberikan pengetahuan dan informasi kepada para pembuat kebijakan dan

rencana pembangunan mengenai masalah-masalah pangan. (Abel & Thomson, 2006).

Perencanaan pangan berorientasi pada kebutuhan konsumen, permintaan yang dikaitkan dengan suplai pangan serta keadaan sosial ekonomi penduduk. Perencanaan adalah suatu syarat mutlak untuk mengendalikan dan mengefisienkan pelaksanaan pembangunan, termasuk di bidang pangan. Perencanaan pangan merupakan perencanaan multisektoral yang dipengaruhi oleh situasi nasional atau wilayah yang mencakup berbagai bidang seperti kesehatan, pertanian, ekonomi dan lain-lain (Suhardjo, 1989).

Pendekatan yang digunakan untuk perencanaan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan ada tiga macam, yaitu : (1) pendekatan kecenderungan (tren) konsumsi/permintaan, (2) pendekatan kecenderungan produksi dan (3) pendekatan gizi seimbang dan permintaan (PPH). Sejak tahun 1988, FAO-RAPA mencetuskan pendekatan yang diharapkan dapat membantu perencanaan produksi dan konsumsi pangan dengan pendekatan Desirable Dietary Pattern atau Pola Pangan Harapan (PPH) (Hardinsyah, Madanijah & Baliwati, 2002). Selain itu dapat pula digunakan informasi-informasi dari Neraca Bahan Makanan (NBM) sebagai penunjangnya.

Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan

(21)

dan atau konsumsi pangan. Dengan pendekatan PPH mutu konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan berimbang. PPH dapat diimplementasikan dalam perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan untuk dikonsumsi (BKP-Deptan & GMSK-IPB, 2005).

Untuk menjadikan PPH sebagai instrumen perencanaan pangan disuatu wilayah diperlukan kesepakatan tentang pola konsumsi pangan dengan mempertimbangkan : (1) pola konsumsi pangan penduduk saat ini, (2) kebutuhan gizi yang dicerminkan oleh pola kebutuhan energi, (3) mutu gizi pangan yang dicerminkan oleh kombinasi makanan yang mengandung pangan nabati dan hewani, (4) permasalahan pangan dan gizi di wilayah tersebut, (5) kecenderungan permintaan pangan, dan (6) kemampuan penyediaan pangan daerah (Suryana, 2001).

Pola pikir perencanaan dengan pendekatan PPH merupakan konsep perencanaan pangan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang dan jangka pendek. Berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemenuhan kebutuhan jangka panjang adalah sebagai berikut :

1. Kondisi atau situasi pangan saat ini. Kondisi saat ini didasarkan pada situasi produksi, penyediaan dan konsumsi pangan saat ini serta pada tren produksi, tren ketersediaan, dan tren konsumsi pangan dan gizi masa lalu. 2. Kondisi yang diharapkan. Perumusan perencanaan pangan tersebut

dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu gizi dan keragaman konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi secara berkelanjutan.

3. Kondisi dan potensi sosial ekonomi, dan agroekologi juga turut menetukan, yang meliputi pendapatan keluarga, potensi agroekologi untk produksi pangan, potensi agroindustri pangan dan potensi ekspor serta laju pertumbuhan penduduk.

4. Aspek regulasi dan kebijakan pangan, seperti kebijakan dan regulasi global, nasional maupun lokal (PSKPG dan BBKP-Deptan, 2001).

(22)

Gambar 2 Faktor yang mempengaruhi penyusunan PPH Di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah dijadikan indikator output dalam kebijakan pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan dan diversifikasi pangan.

Angka Kecukupan Gizi Ketersedian gizi saat ini Tingkat kecukupan gizi - pendapatan - potensi agroekologi - tantangan global & lingk - ekspor

Pola ketersediaan pangan saat ini (jumlah & jenis)

Pola Pangan Harapan (PPH) Laju keters pangan

Laju ekonomi Laju penduduk Kebijkan & regul

Gambar

Tabel 1  Indikator penentu kerawanan pangan wilayah
Gambar 1 Hubungan dan timbal balik antara kebijakan dan data (Braun, 1993)  Terdapat beberapa permasalahan yang cukup serius dalam hal  pengumpulan data dan pada akhirnya banyak data yang telah dikumpulkan  menjadi tidak berguna
Gambar 2 Faktor yang mempengaruhi penyusunan PPH

Referensi

Dokumen terkait

Ada hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa di daerah tropis seperti di Indonesia, dengan curah hujan yang tinggi, maka setelah fasilitas pemilahan,

1) Normal probability plot of the studentized residuals to check for normality of residuals. 2) Studentized residuals versus predicted values to check for constant error. 3)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa: (1) Pembelajaran inkuri terbimbing dapat dipakai sebagai alternatif model pembe lajaran bagi guru dalam

Demikian juga menurut Atun (wawancara, 11 Juli 2016) daya dukung pondok pesantren dalam meningkatkan fungsi manajemen dakwah di Pondok pesantren Robbi Rodliyya Banjardowo

Pada umumnya pengangkatan anak akan menyebabkan anak angkat akan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan orang tua angkatnya, bahkan pada beberapa suku, anak yang

• Makromolekul sistem biologis yg bekerja sbg komponen reseptor mempunyai gugus protein atau asam amino yg dapat membentuk komplek melalui transfer muatan, yaitu : • a. sebagai

Qusyairi juga memberikan gambaran lain tentang penyelewengan para sufi yang terjadi pada kurun ketiga dan kelima hijriah dengan mengatakan: ”Jalan kesufian ini telah sampai

tergantung pada latihan yang sering dilakukan untuk mengembangkan berpikir kritis (Fakhriyah, 2014) Kenyataan yang ditemui pada mahasiswa PGSD FKIP Universitas