• Tidak ada hasil yang ditemukan

Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan Implikasinya Terhadap Ukhuwah Islamiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan Implikasinya Terhadap Ukhuwah Islamiyah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar

dan Implikasinya Terhadap Ukhuwah Islamiyah

Safaini

STKIP Al-Washliyah Banda Aceh

Email: safaini.stkipawbna@gmail.com

Abstrak Doktrin sebagai suatu bentuk ajaran, asas suatu aliran keagamaan yang bersifat absolut, sebagai suatu prinsip atau kepercayaan yang dianggap benar dan satu-satunya yang dapat diterima telah menjadi tradisi di dunia dayah. Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam yang sampai saat ini masih eksis di Aceh seharusnya tidak mempersempit pemahaman fikih dan tauhid didalam pembelajarannya. Tetapi kenyataannya dayah hanya mengajarkan fiqh mazhab Syafi’i dan tauhid Asy’ari serta menanamkan doktrin-doktrin tasawuf kepada santrinya. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tujuan dayah mendoktrin santrinya agar santri lebih mencintai ajaran agamanya, dibidang tauhid adalah agar keimanan santri lebih kokoh dan kuat sehingga tidak mudah goyah saat berhadapan dengan pemahaman tauhid yang sesat atau pemahaman tauhid yang berbeda dengan mereka. Diarahkannya santri kepada mazhab yang satu dalam mempelajari fikih agar santri lebih terfokus dan terarah dalam memahami hukum agama Islam, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Aceh. Tujuan dayah menerapkan doktrin tasawuf adalah agar terhindar dari pemahaman tasawuf yang sesat dan untuk membina akhlak santri dengan sifat terpuji.

Kata Kunci: Doktrin, Pendidikan Islam, Dayah Salafi

PENDAHULUAN

Pada masa Nabi Muhammad saw dan satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum mengenal adanya kaum mutakallimin atau ahli kalam, ahli hukum atau ahli fikih maupun ahli tasawuf. Pada saat itu, kaum muslimin masih merupakan masyarakat etika yang berlandaskan doktrin-doktrin yang jelas tentang Tuhan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dengan meningkatnya intelektual dan semakin dikenalnya cara cara pembahasan filosofis telah melahirkan paling tidak dua hal penting, Pertama sistem hukum yang terorganisirkan, dan kedua teologi yang sistematis (Nurkhalis Madjid, 1997).

Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang disebut akidah. Akidah Islam berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Islam bersumber kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.

(2)

Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam untuk mencapai tujuannya ditanamkanlah doktrin-doktrin tertentu agar santri senantiasa berpegang teguh pada ajaran yang diajarkan gurunya. Adapun doktrin yang diikuti oleh dayah adalah doktrin Ahlusunnah wal Jamaah. Doktrin Ahlusunnah wal Jamaah di dayah dapat dilihat dari hal-hal berikut ini: Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat. Dalam bidang tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran al Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdady (Zamakhsyari Dhofier, 1985).

Dasar penerapan doktrin ini adalah berawal dari pemahaman tentang Iman, Islam, dan Ihsan yang merupakan trilogi agama yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputisyarî'ahsebagai realitas hukum,tharîqahsebagai jembatan dan haqîqatyang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak yang terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (iman Islam, dan ihsan), masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat.

Seiring dengan perkembangan zaman yang terus maju, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu Tauhid. Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi hukum keislaman melahirkan disiplin ilmu Fiqh. Kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu Tasawuf atau Akhlak (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005). Dayah sebagai Lembaga Pendidikan Islam menanamkan nilai Tauhid, Fiqh dan Akhlak kepada para santri dalam proses Pendidikannya. Tulisan ini berusaha untuk menelusuri dan menemukan doktrin apa saja yang ditanamkan kepada para santri dalam proses pembelajaran di dayah salafi Aceh Besar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi historis yaitu, sebuah proses yang meliputi pengumpulan data dan penafsiran peristiwa ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk generalisasi yang berguna dalam usaha

(3)

untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah, maka ia dapat berguna untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang (Winarno Surachmad, 1982).

Penggunaan metode tersebut untuk menemukan sejumlah data dan fakta yang autentik serta relevan dengan objek yang penulis bahas. Sumber-sumber tersebut penulis peroleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu melalui library re-search. Dalam hal ini penulis menelaah buku-buku yang ada di perpustakaan yang ada hubungan dengan objek pembahasan ini.

LANDASAN TEORI

Pada prinsipnya dalam setiap penelitian karya ilmiyah selalu memerlukan data-data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode dan cara tertentu sesuai dengan permasaalahan yang hendak dibahas. Dalam pembahasan tulisan ini digunakan metode kualitatif deskriptif analisis, yaitu sebuah metode yang menggambarkan realitas yang terjadi dilapangan, peneliti berusaha masuk dan terjun secara langsung kedalam dunia pendidikan dayah.

HASIL PENELITIAN

A. Doktrin- Doktrin dalam Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar

Doktrin sebagai suatu bentuk ajaran, asas suatu aliran keagamaan yang bersifat absolut, sebagai suatu prinsip atau kepercayaan yang dianggap benar dan satu-satunya yang dapat diterima telah menjadi tradisi didayah. Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam yang sampai saat ini masih eksis di Aceh masih mendoktrin pemahaman fikih dan tauhid didalam pembelajarannya. didayah hanya diajarkan fiqh mazhab Syafi’i dan tauhid Asy’ari serta menanamkan doktrin-doktrin tasawuf al-Ghazaly kepada santrinya.

Adapun doktrin- doktrin dalam pendidikan Islam yang diterapkan didayah dapat diketahui dari klarifikasinya sebagai berikut ini:

1. Doktrin dalam bidang akidah

Akidah dalam bahasa Indonesia berarti: kepercayaan, keyakinan. Pengertian ini sesuai dengan etemologinya yang berasal dari bahasa arab ’aqidah yang berarti sesuatu yang diyakini oleh hati, kepercayaan orang yang dianut dalam beragama. Pada permulaan Islam

(4)

akidah belum digunakan untuk menyebut pokok pertama kepercayaan Islam yang disebut:

syahadat, Akidah baru disebut-sebut dalam diskusi para teolog Islam yang membicarakan

secara luas kepercayaan-kepercayaan yang terkandung dalam pengertian syahadat itu, yang kemudian bermuara dalam beberapa aliran teologi Islam, Akidah juga dipergunakan untuk menyebut semacam teks pengajaran dasar kepercayaan Islam, yang diberikan kepada anak anak muslim.

Pangkal pokok ajaran agama Islam adalah tauhid, atau pengesaan Tuhan, Suatu monotheisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Inti ajaran al-Quran adalah tauhid merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan. Sepanjang ajaran al-Quran, tauhid adalah inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan Nabi sepanjang zaman (Nurchalis majdid, 1992). Tidak diketahui bagaimana wujud tauhid itu dizaman Nabi Muhammad saw sendiri, Tauhid dimasa Nabi hanya dapat diketahui dengan studi cermat tentang ajaran ajaran dalam kitab suci dan sunnah Nabi atau tradisi dan sejarah Nabi. Akan tetapi pada masa sekarang kaum muslimin lebih mengenal ajaran tauhid itu melalui karya karya para sarjana ilmu kalam atau teologi Islam terutama skolastisisme al- Asy’ari (Zurkani Jahja, 1996).

Dayah sebagai lembaga pendidikan yang berpegang teguh kepada Ahlussunnah wal Jamaah berpedoman pada akidah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Al-Hasan Al- Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Kedua tokoh Ahlu sunnah wal Jamaah ini nyaris sepakat dalam masalah akidah, meliputi sifat-sifat Wajib, Mustahil dan Ja'iz bagi Allah, sifat-sifat Wajib, Mustahil dan Ja'iz bagi rasul. Berikut penulis akan menyebut secara ringkas tentang doktrin keimanan Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam bidang tauhid sebagai berikut:

1. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.

2. Tuhan itu ada, namanya Allah, dan ada 99 nama bagi Allah.

3. Tuhan mempunyai sifat banyak sekali, secara umum disimpulkan dalam tiga sifat yaitu: Tuhan mempunyai sifat-sifat Jalal (kebesaran), Jamal (keindahan), dan Kamal (kesempurnaan)

4. Sifat Allah yang wajib diketahui oleh sekalian mukmin yang baligh berakal adalah: 20 sifat yang wajib, 20 sifat mustahil dan satu sifat yang harus ada bagi-Nya

5. Wajib dipercayai bahwa Malaikat ada, mereka banyak. Tetapi yang wajib dipercayai secara terperinci hanyalah 10 malaikat saja.

(5)

6. Wajib dipercayai adanya kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul Nya untuk disampaikan kepada ummatnya. Kitab-kitab itu banyak, tetapi yang wajib diketahui secara terperinci adalah 4 (empat)

7. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai semua rasul-rasul yang diutus Allah SWT kepada manusia.

8. Setiap orang Islam wajib mempercayai adanya hari akhirat. Permulaan hari akhirat itu bagi setiap manusia adalah sesudah mati.

9. Mempercayai adanya Qadha dan Qadar yaitu takdir ilahi.

10. Allah SWT bersama nama-Nya dan sifat-Nya semuanya qadim, karena nama dan sifat itu berdiri di atas zat yang qadim, maka dengan demikian semua nama dan sifat Allah SWT adalah qadim, tidak ada pemulaannya.

11. Al Quran adalah kalam Allah yang qadim. Sedangkan apa yang tertulis dalam mushaf yang menggunakan huruf dan suara merupakan gambaran dari Al Quran yang qadim tersebut.

12. Rizki sekalian manusia sudah ditaqdirkan dalam azal, tidak bertambah dan tidak berkurang, tetapi manusia diperintahkan untuk mencari rizki, diperintahkan untuk berusaha dan tidak boleh berpangku tangan menunggu saja.

13. Ajal setiap manusia sudah ditentukan waktunya oleh Allah SWT tidak dimajukan waktunya, juga tidak dapat ditunda walaupun sekejap mata.

14. Anak-anak orang kafir yang mati kecil (bayi) masuk surga.

15. Nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat oleh manusia, tetapi harus seperti yang telah ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang shahih.

16. Kalau terdapat ayat-ayat suci Al-Qur’an yang seolah-olah menyatakan bahwa Allah SWT bertubuh seperti manusia, atau bertangan seperti manusia, atau bermuka serupa manusia, maka ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mentakwilkan atau menafsirkan ayat di atas secara majazi, yakni bukan menurut asal dari perkataan itu. 17. Bangkit sesudah mati hanya satu kali. Manusia mulanya tidak ada, kemudian lahir ke

dunia kemudian mati. Lalu hidup kembali (bangkit) dari kematian setelah peniupan terompet dan berkumpul di padang Mahsyar sesuai dengan ayat Al-Qur’an pada surat Al Baqarah ayat 28.

(6)

18. Upah (pahala) yang Allah SWT berikan kepada oang-orang yang saleh bukanlah karena Allah SWT terpaksa untuk memberikannya dan bukan pula kewajiban Allah SWT untuk membalas jasa orang itu. Begitu juga hukuman bagi orang yang durhaka tidaklah Allah SWT terpaksa menghukumnya atau bukanlah kewajiban Allah SWT untuk menghukumnya, tidak. Allah SWT memberikan pahala kepada manusia dengan karunia-Nya dan menghukum dengan keadilan-Nya.

19. Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala, bukan dengan mata hati saja. Tetapi tidak boleh berpersepsi bahwa Allah SWT berada dalam surga. Hanya kita yang bertempat dalam surga yang melihat-Nya.

20. Pada waktu di dunia tidak ada manusia dapat yang melihat Allah SWT kecuali Nabi Muhammad SAW, pada malam Mi’raj.

21. Mengutus rasul-rasul adalah karunia Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menunjuki jalan yang lurus, bukanlah kewajiban Allah SWT untuk mengutus rasul-rasul-Nya. 22. Wajib diyakini bahwa yang paling mulia di antara makhluk Tuhan ialah Nabi

Muhammad SAW, sesudah itu Rasul-rasul yang lain, lalu para Nabi, para Malaikat, barulah Muslimin yang lain.

23. Kerasulan seorang rasul adalah karunia Allah SWT. Pangkat tersebut tidak bisa didapatkan dengan diusahakan, umpamanya dengan bersekolah atau bertapa dan lain-lain.

24. Rasul-rasul yang dibekali dengan mu’jizat, yaitu perbuatan yang ganjil yang diluar kemampuan manusia biasa,.

25. Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudah beliau. 26. Wajib dipercayai adanya Arsy, yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang dijadikan

dari nur, terletak di tempat yang tinggi dan mulia, yang tidak diketahui hakekatnya dan kebesarannya. Hanya Allah SWT yang mengetahui, kita hanya wajib mengimaninya. 27. Wajib diketahui adanya “Kursi Allah SWT” yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang

bedekatan dan bertalian dengan Arsy. Hakekat keberadaannya diserahkan kepada Allah SWT. Yang wajib kaum Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mempercayainya. 28. Wajib dipercayai adanya Qalam, yaitu suatu benda yang dijadikan Allah SWT untuk

‘menuliskan’ segala sesuatu yang akan terjadi di Lauh Mahfudh. Sekalian yang terjadi di dunia ini sudah dituliskan dengan Qalam di Lauh Mahfudh terlebih dahulu.

(7)

29. Surga dan neraka bersama penduduknya akan kekal selama-lamanya, tidak akan habis. Keduanya dikekalkan Allah SWT agar yang berbuat baik merasakan selama-lamanya ni’mat pekerjaan dan yang berbuat dosa merasai selama-lamanya siksa atas pebuatannya.

30. Dosa itu, menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, terbagi dua, ada dosa besar dan ada dosa kecil. Dosa besar itu ialah syirik (mempersekutukan Allah) ini paling berat atau paling besar, membunuh manusia dengan tidak hak, makan riba/rente uang, lari dari medan perang (perang sabil), menjadi tukang sihir, mendurhakai ibu bapak, berbuat zina, berbuat liwath, berdusta terhadap Nabi dan lain-lain sebagainya. Kalau dosa besar tidak dikerjakan, maka dosa-dosa kecil akan diampuni saja oleh Allah. Dosa besar hanya dapat diampuni kalau si pembuatnya taubat kepada Allah.

31. Orang mukmin bisa menjadi kafir kembali (riddah) dengan melakukan hal-hal di bawah ini (Sirajuddin Abbas, 2008):

a) Dalam i’tiqad: ragu atas adanya Tuhan. Ragu akan ke-rasulan Nabi Muhammad Saw. Meragukan bahwa Al-Qur’an itu wahyu Tuhan, ragu bahwa akan ada hari kiamat, hari akhirat, surga, neraka ragu bahwa Nabi Muhammad Saw Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasad. Meng-i’tiqadkan bahwa Allah tidak mempunyai sifat seperti ilmu, hayat, qidam baqa’, dan lain-lain. Meng-i’tiqadkan bahwa Allah bertubuh serupa manusia. Menghalalkan pekerjaan yang telah sepakat ulama’ Islam mengharamkannya, seperti meyakini bahwa zina boleh baginya, berhenti puasa boleh baginya, membunuh orang boleh baginya, makan minum haram boleh baginya dan lain-lain sebagainya. Mengharamkan pekerjaan yang sudah sepakat ulama’ Islam membolehknnya, seperti kawin haram baginya, jual beli haram baginya, makan minum haram baginya dan lain-lain sebagainya. Meniadakan suatu amalan ibadah yang telah sepakat ulama’ Islam mewajibkannnya, seperti sembahyang, puasa, zakat dan lain-lain sebagainya. Mengingkari kesahabatan para sahabat-sahabat Nabi yang utama seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khathab dan lain-lain sebagainya. Mengingkari sepotong atau seluruhnya ayat suci Al-Qur’an atau menambah sepotong atau seluruh ayat suci al-Qur’an dengan tujuan menjadikannya menjadi Al-Qur’an. Mengingkari salah seorang Rasul yang telah sepakat ulama’-ulama’ Islam mengatakannya Rasul. Mendustakan Rasul-rasul

(8)

Allah. Meng-i’tiqadkan ada Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Mendakwahkan jadi Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad Saw

b) Dalam amalan: Sujud kepada berhala, pada matahari, pada bulan dan lain-lain. Sujud kepada manusia dengan suka rela. Menghina Nabi-nabi atau Rasul-rasul dengan lisan maupun perbuatan. Menghina kitab-kitab suci dengan lisan atau perbuatan. Mengejek-ejek agama atau Allah dengan lisan atau tulisan.

c) Dalam perkataan antara lain: Mengucapkan “Hai kafir”, kepada orang Islam. Mengejek-ejek atau menghina nama Allah. Mengejek-ejek hari akhirat, surga dan neraka. Mengejek-ejek salah satu syari’at, misalnya shalat, puasa, zakat, haji, thawaf keliling Ka’bah, wukuf di Arafah dan lain-lain sebagainya. Mengejek-ejek malaikat-malaikat Mengejek-ejek Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Mengejek-ejek keluarga Nabi. Mengejek-ejek Nabi Muhammad saw.

2. Doktrin dalam bidang fiqh

Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam secara khusus menerapkan dan mengajarkan fiqh dalam pembelajarannya. Kaum santri dalam hal ini mewajibkan mengikuti salah satu dari empat imam madzhab fiqh yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Dan di Indonesia sendiri mazhab yang dianut mayoritasnya adalah mazhab imam Syafii (Nurcholish Madjid, 1997).

Dayah membatasi pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah kepada orang-orang yang mengikuti aqidah yang dirumuskan oleh imam al-Asy’ary, fiqih berpegang kepada salah satu mazhab yang empat dan mengamalkan tasawuf dalam pendidikannya. Ada alasan mendasar mengenai pembatasan Ahlusunnah wal Jamaah hanya kepada empat madzhab ini. Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatiftawâzun(berimbang) dalam mensinergikan antara dalilaql(rasio-logis) dan dalilnaql(teks-teks keagamaan) (Sayyid Bakri Syatha ad- Dimyathi, 2009). Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adh-Dzahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung rasionalis. Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh Ahlusunnah wal jamaah di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat dan jalan terbaik diantara yang baik.

(9)

Fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang keyakinannya hanya sampai kepada derajat

Zhanni. Seorang mujtahid bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Ijtihad sangat diperlukan dalam

agama karena masyarakat selalu mengalami perubahan, baik mengenai waktu atau tempat, nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola tingkah laku, maupun interaksi sosial lainnya (Soerjono Soekanto, 1988).

Ijtihad merupakan salah satu istilah yang dipergunakan dalam ilmu fiqh sebagai hasil usaha dari para ahli fikih. Ijtihad menurut bahasa adalah berusaha sekuat tenaga agar meraih maksud tertentu,. Sedangkan Ijtihad menurut istilah adalah para fuqaha menggunakan daya nalarnya untuk menetapkan hukum syariat Islam atau upaya ahli fikih guna merumuskan hukum yang sifatnya hipotetik (zhanni) (HM Haedari, 2004). Dengan tujuan Untuk mengembangkan, menggali hukum Islam yang belum ditemukan dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah secara tegas.

Berpijak dari pengertian ini maka tugas dan beban ijtihad hanya dilakukan oleh mujtahid yang mempunyai keilmuan yang memadai, Bila seseorang belum mencapai tingkatan mujtahid muthlak, maka Ahlussunnah Wal-jamaah melegalkan taqlid, Bahkan mewajibkannya bagi orang yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad, serta tidak boleh mengambil hukum langsung dari ayat ataupun hadis (Said ‘Alwi Assaqafi, 2004). Kewajiban taqlid ini didasari firman Allah swt surat an-Nahlu ayat 43:

َنوُﻣَﻠْﻌَﺗ َﻻ ْمُﺗْﻧُﻛ ْنِإ ِرْﻛﱢذﻟا َلْھَأ اوُﻟَﺄْﺳﺎَﻓ Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui.(QS. An-Nahl: 43)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa bagi kaum muslimin yang tidak mengerti hukum tidak diperbolehkan baginya untuk mencari, tapi ia harus bertanya kepada orang-orang yang alim atau mujtahid. Karena merekalah tempat bertanya tentang permasaalahan hukum-hukum agama Islam. Sehingga para mujtahid dapat ditempatkan sebagai sandaran sebuah hukum, dan perkataan mereka sebagai dalil dalil syar’i. Sesungguhnya fatwa seorang mujtahid itu bagi orang-orang awam adalah seperti halnya dalil dalil al-Quran dan hadis, karena para mujtahid itu diharuskan untuk selalu berpegang teguh kepada al-Quran sebagai

(10)

dalil dan bukti. Maka, begitu pula orang-orang awam diharuskan untuk berpegang teguh kepada fatwa dan ijtihad para ulama (Said Ramadhan al-Buthi, 2001).

Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia diberikan kemampuan yang berbeda, sebagian mampu menggali hukum sendiri, dan sebagian lagi tidak mempunyai kemampuan. Yang tidak punya kemampuan inilah yang diwajibkan padanya taqlid. Taqlid hanya haram bagi orang yang benar-benar memiliki kapasitas sebagai mujtahid muthlak, karena dia mungkin untuk melakukan ijtihad (Said ‘Alwi Assaqafi, 2004). Dengan demikian, Ahlusunnah Waljamaah tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, asalkan orang yang memasukinya orang yang cukup syaratnya untuk menjadi mujtahid mutlak. Apabila ijtihad diwajibkan pada setiap orang maka mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad ini, sama saja memaksakan sesuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat yang tidak mampu inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh Ahlusunnah wal Jamaah (Sirajuddin Abbas, 2008).

Untuk menjadi mujtahid tidak boleh sembarangan orang dan tidak semudah yang di bayangkan karena harus memenuhi kriteria, ini diperlukan agar hukum Islam tidak dipermainkan oleh orang yang berkepentingan jahat dan mengikuti hawa nafsunya, kriteria tersebut adalah sebagai berikut (Sirajuddin Abbas, 2008):

a. Menguasai bahasa arab dari segala aspeknya, karena Al-Quran dan hadis diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih yang mutunya sangat tinggi dan pengertiannya luas dan dalam.

b. Memiliki kemampuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah hukum, serta mampu membahas ayat tersebut.

c. Mengetahui dan mengerti nash Al-Quran dan hadist Nabi yang berhubungan dengan dengan hukum baik Qauliyah, fi’liyah maupun taqririyah.

d. Mengerti tentang asbabun nuzul.

e. Mengerti dan tahu fatwa imam mujtahid terdahulu agar tidak terjerumus kepda mengeluarkan hukum yang sudah pernah dibahas.

f. Mengenal ijmak bagi yang beranggapan bahwa ijmak sebagai dalil syara’ sehingga tidak memberikan fatwa yang bertentang dengan ijma’ itu.

g. Mengerti ilmu ushul fikih

(11)

Bila diperhatikan syarat menjadi mujtahid, Maka alangkah sulit dan beratnya mendapatkan orang yang memenuhi kriteria tersebut, Maka oleh karena itu guru dan santri dayah lebih memilih bertaqlid kepada salah seorang dari empat imam mazhab, khususnya mazhab Syafii. Dan mendoktrinnya agar tidak mengambil pendapat ulama diluar mazhab Syafii khususnya dan mazhab yang empat umumnya. demikian juga dalam berfatwa tidak boleh keluar dari mazhab yang empat. Hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan kebingungan, keresahan dan perpecahan ditengah masyarakat, Demikian juga santri dilarang melakukan talfiq mazhab dalam mengamalkan suatu paket ibadah. Ini bertujuan agar ibadah yang dilakukan sah dan diterima Allah swt.

Ketika ada persoalan baru, maka dayah mempunyai cara tersendiri dalam memutuskan setiap persoalan itu, yaitu dengan merujuk kepada empat mazhab, dan mengqiyaskannya dengan pendapat yang pernah ada dalam mazhab yang empat, khususnya mazhab Syafii. Hal ini berbeda dengan Kelompok modernis yang berpendirian bahwa tidak ada derajat atau tingkatan ijtihad dan setiap orang berhak melakukan ijtihad (M. Hasbi Amiruddin, 2010).

3. Doktrin dalam bidang Tasawuf

Dalam Islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segi tiga aspek yang sangat berhubungan erat. Segi tiga itu yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali yang meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya lebih akrab disebut dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspeki’tiqadiyang termasuk didalamnya iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, hari ahir dan takdirNya. Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi yaitu aspek kejiwaan.

Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlaq yang berpedoman pada konsep tasawufakhlaqiatauamali, yang dirumuskan oleh Al-ghazali. Inti ajaran tasawuf berkisar pada pembersihan hati dari segala sifat tercela, menghiasi diri dengan sikap terpuji dan berakhir dengan ibadah yang sempurna seolah olah melihat Allah.

Corak tasawuf Al-Ghazali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu

(12)

lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.

Tasawuf merupakan sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya.

Tasawuf Secara Etimologi berasal dari kata Shuffah, yaitu sebutan bagi orang orang yang hidup di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah saw di sekitar mesjid Madinah, Mereka ikut Nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka hijrah dengan meninggalkan harta benda, mereka hidup miskin, bertawakal dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah swt (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005).

Secara terminologi sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zakaria al-Anshari tasawuf adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Imam Junaidi al-Baghdadi berpendapat : Tasawuf adalah membersihkan hati dari yang selain Allah, berjuang memadamkan semua ajakan yang berasal dari hawa nafsu, mementingkan kehidupan yang lebih kekal, menyebarkan nasihat kepada umat manusia, dan mengikuti contoh Rasulullah saw dalam segala hal. Diantaranya ada ulama yang mengatakan bahwa tasawuf secara keseluruhan adalah akhlak, Barang siapa memberimu bekal dengan akhlak maka dia telah memberimu bekal dengan tasawuf. Ibnu ‘Ajibah berkata tasawuf adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui cara untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan menghiasinya dengan beragam akhlak terpuji (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005).

Dari segi bahasa dan istilah, kita dapat memahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu mensucikan diri dari akhlak tercela, menghiasi diri dengan akhlak terpuji, kesucian diri, selalu beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan umat manusia dan selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia yang sudah menghiasi

(13)

jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, untuk ber-taqarrub dan ber-musyahadah kepada Allah SWT, dan menjalin hubungan yang baik dengan manusia.

Dayah sebagai lembaga pendidikan agama Islam berusaha membentuk karakter anak didik agar berakhlak mulia, selalu mendoktrin santrinya agar senantiasa menjadi hamba yang selalu beribadah kepada Allah swt dan salah satu metode agar sampai kepada Allah adalah dengan cara melakukan suluk.

Menurut Trimingham, Suluk merupakan terminologi lain dari tarekat yang berarti: Suatu metode praktis untuk membimbing si salik dalam mengikuti suatu jalan pikiran, perasaan dan tindakan agar berhasil melewati maqamat untuk bias menghayati hakekat ketuhanan (Zurkani Jahja, 1996). Suluk versi al-Ghazali mirip dengan suatu sistem dalam pendidikan. Karena itu penyajian konspsi al-Ghazali tentang suluk ini diberikan dengan cara menjelaskan setiap komponen dalam pendidikan formal, yaitu tujuan, anak didik (murid), pendidik (guru), alat dan kegiatan (Zurkani Jahja, 1996).

Suluk berasal dari bahasa Arab salaka-yasluku, secara literar berarti melalui atau menempuh jalan atau juga berarti penerangai atau prilaku suluk selalu dikaitkan dengan aktivitas rohaniah seseorang yang mengambil jalan tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian suluk merupakan praktek tasawuf. Dalam kalangan dayah selain suluk dikenal juga khaluet dan tawajuh (Sehat Ihsan Shadiqin, 2008). Sedangkan kata tarekat juga berasal dari bahasa Arab yaitu “Thariqat“ yang berarti jalan, cara, keadaan, atau metode tertentu (Lois Ma’luf, 1986). Tarekat juga diartikan sebagai jalan, atau metode yang mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan tertentu yang dihubungkan dengan sederetan guru sufi (Sri Mulyati, 2005).

Sedangkan menurut istilah, tarekat adalah “jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang di contohkan oleh Nabi Muhammad saw, sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, turun tumurun sampai kepada guru- guru secara berantai sampai pada masa kita ini”. (Mustafa Zahri, 1995) Tarekat juga dipahami sebagai suatu organisasi yang mempunyai syaikh, upacara ritual, dan mempunyai bentuk zikir tertentu (Harun Nasution, 2020).

Dari definisi di atas disimpulkan bahwa tarekat/suluk adalah tata cara atau metode dalam mendekatkan diri kepada Allah yang di dalamnya berisi amalan ibadah, mempunyai syaikh, Kaifiyah zikir (metode berzikir) (Abuddin Nata,2008) dan upacara ritual berupa bai’at,

(14)

ijazah atau khirqah, silsilah, talqin dan wasiat dari guru. Masing masing disertai penghayatan yang mendalam dengan tujuan agar memperoleh hubungan sedekat mungkin dengan Allah (Sri Mulyati, 2005).

Dalam tradisi tarekat ada beberapa hal yang merupakan doktrin yang wajib diikuti oleh murid diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Murid wajib patuh secara total kepada guru

Dalam tarekat otoritas mursyid terhadap murid sangat dominan, sehingga ia dapat membentuk karakter muridnya sesuai dengan sasaran yang ingin di capai, oleh karena tarekat adalah sarana perjalanan menuju Allah maka harus ada pola hubungan yang ketat antara guru dan murid untuk terciptanya satu disiplin dalam kehidupan bersama. Seorang murid tidak hanya sekedar belajar dan beramal tetapi juga diharuskan menjaga tatakrama dan loyalitas kepada guru agar ilmu yang didapat itu diberkati. Dari sekian banyak tata aturan dan pola hubungan dalam tarekat dapat di rumuskan dalam beberapa hal yang penting.

Ketaatan dan kepatuhan kepada guru secara utuh, baik sewaktu berada dilingkungan ribath maupun di tempat lain. Menjaga kehormatan guru baik sedang berhadapan maupun berjauhan semasa guru hidup maupun sesudah meninggal. Murid dilarang membantah ajaran guru, apa saja ajaran guru harus diikuti (Rivay Siregar, 2002). Menjadi guru dalam ilmu tarekat ini tidaklah sama dengan guru dalam ilmu biasa, Guru dalam bidang terakat ini diseleksi dengan sangat ketat dan harus memenuhi beberapa criteria dan sedikit yang mencapainya, kriterianya dalah sebagai berikut (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005):

a. Mursyid itu harus mengetahui semua hukum-hukum yang sifatnya fardhu ain. b. Guru atau mursyid itu Makrifatnya kepada Allah sudah tinggi(‘arif billah)

c. Guru atau mursyid itu harus mengetahui teknik teknik pensucian jiwa dan sarana sarana untuk mendidiknya

d. Guru atau mursyid itu harus mendapat izin untuk membimbing manusiad dari mursyid atau dari syaikhnya.

2. Ijazah guru menjadi syarat dalam mengamalkan sesuatu amalan

Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak menjanjikan ijazah layaknya sekolah atau perguruan tinggi pada umumnya, tetapi santri mendapatkan ijazah dalam bentuk lisan dari gurunya. Mendapatkan ijazah dari guru merupakan sesuatu hal yang wajib,

(15)

bahkan sorang murid ketika hendak melakukan sesuatu amalan wajib mendapatkan ijazah dari guru. Suatu amalan yang tidak diambil dari guru maka amalannya kurang sempurna, Imam al-Nawawi al-Jawi menegaskan, Orang yang hendak berdzikir wajib mengikuti salah seorang imam dari imam-imam tasawuf (Imam Nawawi al-Jawi,tt).

Begitu juga dalam halnya mata rantai ijazah itu harus jelas dan sampai pada Rasul saw, Mata rantai ini disebut dengan istilah silsilah. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi sebuah tarekat, yang menjadi tolak ukur tarekat itu mu’tabarah, di anggap sah atau tidak. Silsilah ini berisi deretan nama guru sambung menyambung sampai kepada Rasulullah saw. Adanya silsilah dan ijazah itu merupakan akibat dari doktrin kerahasiaan, Doktrin itu bertitik tolak dari ajaran bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw datang kedunia membawa dua macam ajaran yaitu ajaran umum dan ajaran khusus, yang umum adalah agama Islam sebagaimana yang dianut kaum muslimin seluruhnya, Sedangkan yang khusus berupa ajaran tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah yang disampaikan Nabi saw kepada salah seorang sahabat yang berkenan di hati beliau (Nurchalis Madjid, 1997).

Dayah dalam melaksanakan pembelajarannya menerapkan kewajiban berzikir khususnya setelah shalat. Hal ini dimaksudkan agar santri terbiasa dengan ibadah sehingga kebiasaan beribadah ini akan menjadi karakter murid dan akan terbentuk pribadi shaleh dan shalehah dalam sepanjang hidupnya.

Paparan diatas menunjukkan bahwa dayah menerapkan doktrin dalam pendidikannya. Ada tiga bidang keilmuan yang didalamnya terdapat doktrin yang sangat berpengarauh pada jiwa santri dan sangat berperan dalam menciptakan ukhuwah dimasyarakat. Pertama dalam ilmu aqidah santri didoktri agar berpegang teguh pada aqidah yang telah dirumuskan oleh imam Al-Asy’ary dan penerusnya. Hal ini disebabkan aqidah Asy’ary sesuai dengan aqidah rasulullah saw sahabat, tabi’ dan tabi,in, imam mazhab serta ulama ulama besar setelahnya. Dalam ilmu fiqih diantara doktrinnya adalah bahwa santri wajib berpegang pada mazhab Syafii, jika tidak didapatkan dalam mazhab Syafii baru beralih kepada mazhab lain, wajib mengambil pendapat yang kuat dalam mazhab Syafii, tidak boleh mengajar dan belajar fiqih diluar mazhab syafii, tidak boleh mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan mazhab Syafii, dalam beramal tidak boleh talfiq mazhab. Yaitu menggabungkan dua mazhab secara bersamaan dalam satu rangkaian ibadah yang antara dua imam mazhab saling berbeda tentang sahnya ibadah. Dalam bidang tasawuf diantara doktrin yang diterima santri, bahwa

(16)

setiap santri wajib menghormati dan memuliakan gurunya, tidak boleh membantah gurunya dengan cara tidak sopan, selesai belajar santri wajib mencium tangan gurunya untuk mendapatkan keridhaan dan keberkahan dari gurunya, bersikap ikhlas dalam segala hal termasuk mengajar tidak boleh mengharap pemberian orang, wajib ada zikir setelah shalat, membaca sayyidina sebelum menyebut nama nabi dalam shalawat, tidak boleh mempelajari karangan ulama tasawuf falsafi, setiap amalan zikir wajib ambil ijazah dari guru, wajib mempelajari dan membaca kitab yang dikarang oleh ulama shaleh dan ahli ibadah. Dan setiap santri wajib berakhlak baik.

Kesimpulan

Berdasarkan bahasan diatas menunjukkan bahwa tujuan dayah mendoktrin santrinya adalah agar santri lebih mencintai ajaran agamanya di bidang tauhid sehingga keimanan santri lebih kokoh dan kuat. Dengan demikian, santri tidak mudah goyah saat berhadapan dengan pemahaman tauhid yang berbeda ataupun sesat. Diarahkannya santri kepada mazhab yang satu dalam mempelajari fikih adalah agar santri lebih terfokus dan terarah dalam memahami hukum agama Islam, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Aceh. Tujuan dayah menerapkan doktrin dalam materi tasawuf untuk membina akhlak santri dengan sifat terpuji.

Daftar Pustaka

Abbas, Sirajuddin. 2008.I’tiqad Ahlussunnah Wal jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru. Abbas, Sirajuddin. Sejarah Dan Keagungan Mazhab Imam Syafii. Jakarta: Pustaka Tarbiyah

baru.

Ad- Dimyathi, Sayyid Bakri Syatha. 2009.I’anatut Thalibin. Jakarta; Darul Kutub al-Islamiyah. Al-Buthi, Said Ramadhan. 2001. Mazhab tanpa mazhab, bid’ah dalam syariat Islam, terj.

Gazira Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka al-Kaustar.

Al-Jawi, Imam Nawawi. tt.Nihayah al-Zayn. Bairut: Dar al-Fikr.

Assaqafi, Said ‘Alwi. 2004.Majmu’ah Kutubun Mufidah. edisi Indonesia: Haramain.

Dhofier, Zamakhsyari. 1985, Tradisi Pesantren; Tinjauan Tentang pandangan hidup Kiyai Jakarta: LP3ES.

(17)

Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI. 2000.Buku Teks

Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Bulan Bintang.

Haedari, HM dkk. 2004.Masa depan pesantren dalam tantangan modernitas dan tantangan

komplesitas global. Jakarta: IRD Press.

Jahja, Zurkani. 1996.Teologi Al-Ghazali pendekatan metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ma’luf, Lois. 1986.al- Munjid fi al- Lughah wa al- Adab wa al- Ulum. Beirut: Dar al Masyriq. Madjid, Nurchalis. 1997.Bilik Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina. Mulyati, Sri. 2005. Mengenal dan Memahani Tarekat- Tarekat Muktabarah Di Indonesia.

Jakarta: Kencana.

Nasution, Harun. 1982.Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: UI Press. Nata, Abuddin. 2008.Akhlak Tasauf. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Qadir, Syaikh Abdul Isa. 2005.Haqaiq al-Tashawwuf. al-Qahirah: Darul Maqtham. Shadiqin, Sehat Ihsan. 2008.Tasuwuf Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing.

Siregar, Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik dan Neo Sufism. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 1988.Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press. Zahri, Mustafa. 1995.Kunci Memahami Ilmu Tasauf. Surabaya: Bina Ilmu. .

Referensi

Dokumen terkait

Clients’ Perception on Service ProgramDesign Students’ English Course and Teaching Skills in Service Program Design Course.. Yogyakarta: English Language Education Study

Penambahan luas ini sebagai bagian dari komitmen pemerintah kabupaten terutama DKP yang terus melakukan pembangunan dan optimalisasi TPST untuk dapat memenuhi Sidoarjo Zero

Berdasarkan Instruksi Gubernur KDKI Jakarta nomor 298 taun 1987 tentang pengendalian dan pengawasan kebersihan di DKI Jakarta serta Instruksi Gubernur KDKI Jakarta

masing masing pixel mewakili lokasi dan nilai warna tertentu.sebagai cintoh, sebuah gambar file yang dihasilakan oleh kamerah yang tersusun dari pixel-pixel secara mosaik,

11 Dengan metode ini, peneliti bertujuan untuk mengetahui respon dari peserta didik dalam jawaban secara tertulis sesuai dengan pertanyaan mengenai pengaruh metode the learning

“Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di

AEC Blueprint merupakan pedoman bagi Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015 yang di dalamnya memuat empat pilar utama, yaitu (1) ASEAN sebagai

Harus disadari pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai strategis, yang antara lain mliputi: (a) Mempunyai poteni