Bab 1
B
erbagai dampak sosial, politik dan budaya telah mencuat sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang terjadi pada akhir tahun 1997. Secara kuantitas dampak sosial yang terjadi dapat ditunjukkan dengan meningkatnya tiga kali lebih banyak penduduk miskin. Dari data yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik Agustus 1998, diketahui jumlah penduduk miskin sebanyak 79,4 juta orang (39,1 %), sedangkan pada tahun 1996 diperkirakan 22,6 juta orang atau 11,3 persen dari jumlah penduduk. Disamping itu kondisi ekonomi makro mengalami penurunan sebesar 13,68 persen dan nilai inflasi sekitar 77,68 persen.Bertambahnya jumlah penduduk miskin akibat krisis ekonomi, menunjukkan bahwa semakin meningkatnya ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Kondisi ini yang mengakibatkan semakin meningkatnya permasalahan sosial, karena kemiskinan yang bersumber dari ketidakberdayaan secara ekonomi akibat krisis,
Bab 1
masih merupakan penyebab utama munculnya permasalahan sosial lainnya seperti anak jalanan.
Fenomena sosial anak jalanan yang merupakan akibat langsung dari krisis, benar-benar terasa terutama di kota-kota besar. Berdasarkan kegiatan pemetaan dan survei anak jalanan tahun 1999 yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan Lembaga Penelitian Universitas Atmajaya Jakarta, jumlah populasi anak jalanan di 12 kota besar dilaporkan sebanyak 39.861 anak. Sekitar 48,0 persen diantaranya adalah anak-anak yang baru turun ke jalanan sejak tahun 1998 atau pada awal masa krisis.
Berdasarkan survei tersebut juga terungkap bahwa alasan utama dari sebagaian besar anak-anak bekerja di jalan setelah terjadinya krisis adalah karena membantu orang tua (35,0 %) dan menambah biaya sekolah (27,0 %). Hal ini menunjukkan bahwa alasan ekonomi keluarga merupakan pendorong utama semakin banyaknya anak-anak bekerja di jalan setelah ter-jadinya krisis. Selain itu dilaporkan bahwa hampir separuh (44,0 %) anak-anak jalanan masih sekolah dan sebagian besar (83,0 %) masih tinggal bersama dengan orang tua. Selain itu dampak krisis telah mengakibatkan keluarga miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Akibat krisis ini sejumlah 13,0 persen anak-anak jalanan mengalami putus sekolah.
Anak jalanan dengan mudah dapat ditemui terutama di kota-kota besar termasuk Pekanbaru. Mereka melakukan aktivitasnya di perempatan lampu merah, terminal, plaza, pasar dan tempat-tempat umum lainnya. Aktivitas yang dilakukan mereka cukup bervariasi seperti misalnya pengamen, pengasong, penyemir sepatu, ojek payung, kernet, pengemis, membantu berjualan atau berkeliaran tak menentu.
Anak-anak jalanan juga mengalami kerawanan atas hak-haknya yang tidak terpenuhi, karena mereka sangat
rentan dieksploitasi, diperlakukan salah, diterlantarkan, diperlakukan diskriminatif dan berada dalam situasi yang buruk untuk kelangsungan hidup dan tumbuh-kembangnya. Dalam kondisi yang sudah parah, anak jalanan cenderung melakukan tindak kriminal dan mendorong terjadinya instabilitas sosial, karena sering berada dalam lingkungan preman dan pelaku kejahatan di kota-kota besar.
Konvensi hak-hak anak menyatakan bahwa anak-anak mempunyai hak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi, tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa agama. asal usul sosial, harta kekayaan, dan lain-lain. Khusus pasal 32, secara jelas di akui hak anak untuk beristirahat, bermain, dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi yang sesuai dengan usia anak (Storer, 1994). Namun pada kenyataannya tidaklah demikian yang dialami oleh anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Mereka seringkali mengalami ketidak adilan dalam memperoleh hak-hak mereka sebagai anak. Kondisi tersebut lebih disebabkan oleh kondisi struktural, karena mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu (masyarakat kelas bawah).
Jumlah anak yang terabaikan hak-haknya sebagai anak cenderung bertambah. Asumsi ini didasarkan pada data yang menunjukan dari hari ke hari semakin besar jumlah pekerja anak yang tinggal di kota, dari 4,7 persen pada tahun 1986 proporsinya meningkat menjadi 14,0 persen pada tahun 1997 (Johnson, Wynandin, Arum, 1998).
Berbagai macam krisis yang melanda Indonesia, yang diawali dengan krisis sosial, TKI, El-Nino, politik, hutan terbakar, moneter dan ekonomi yang menimpa masyarakat Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan berbagai macam dampak sosial, antara lain meningkatnya jumlah pengangguran (Soemardjan dalah Raharjo ed, 1998). Hal ini berarti semakin bertambahnya keluarga yang tidak
mampu dan semakin banyak jumlah anak yang dapat di-kategorikan dari kelas bawah yang kehilangan kesempatannya dalam mendapatkan pendidikan yang memadai dan harapan hidup yang lebih baik. Data survey sosial ekonomi 1997 menunjukkan sekitar 4,44 juta anak berusia antara 7-15 tahun tidak bersekolah lagi dan kebanyakan dari mereka bekerja untuk membantu ekonomi keluaarga (Jonhson Cs, 1998) atau dikenal dengan istilah pekerja anak. Sebagai pekerja anak, jenis pekerjaan mereka sangat beragam, dari membantu orang tua (pekerja keluarga), pembantu rumah tangga, bekerja di pabrik, sampai bekerja di jalanan (penjual koran, penjaja makanan, semir sepatu, pemulung, dan lain-lain) atau seringkali disebut dengan istilah anak jalanan.
Studi yang dilakukan Cristina di lima negara me-nunjukkan bahwa bekerja sebagai buruh atau di jalanan lebih berisiko dari pada bekerja di rumah (membantu orangtua atau keluarga). Mereka dihadapkan pada bahaya fisik maupun eksploitasi. Para ibu yang memiliki anak-anak yang bekerja di jalan umumnya merasa khawatir saat anak-anak mereka mulai berkelana di jalan, sehingga berbagai upaya dilakukan agar anaknya tidak turun ke jalan (Blanc, 1994).
Sikap para orangtua yang demikian dapat dimaklumi mengingat beragamnya risiko yang dihadapi pekerja anak (lihat tabel 1.1.). Risiko-risiko yang dihadapi pekerja anak tersebut bervariasi, sesuai dengan kondisi kerja mereka. Jika melihat pada berbagai risiko yang dihadapi para pekerja anak, memperlihatkan bahwa kehidupan yang dialami mereka cukup berat. Kondisi lingkungan kerja mereka akan membuat mereka merasa lelah, baik jasmani maupun rohani. Pada saat yang demikianlah seseorang membutuhkan suasana ‘santai’, lepas dari segala kelelahan yang dirasakannya, namun suasana tersebut jarang mereka rasakan.
Tabel 1.1. Risiko yang dihadapi Pekerja Anak
Menurut studi yang dilakukan Christina, salah satu risiko yang dihadapi pekerja anak adalah kurangnya waktu luang, baik di tempat bekerja maupun setelah selesai bekerja. Pendapatan yang tidak seberapa, memaksa mereka untuk bekerja dengan jam kerja yang panjang (ILO, 1994). Selain itu mereka juga berisiko menhalami berbagai bentuk penyalah-gunaan (eksploitasi, dll) oleh majikan mereka akibat status yang ‘tidak jelas’ dari pekerja anak. Pengalaman yang dirasakan seorang anak ketika ia ‘mencuri’ waktu luang pada saat bekerja, berakhir dengan hukuman dari majikannya (Blanc, 1994) .
Bagi pekerja anak yang bekerja di sektor informal yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan cenderung terikat oleh kultur jalanan yang bebas dan tanpa aturan (YKAI, 1994). Kelonggaran yang dialami justeru memunculkan risiko masuk dalam aktivitas waktu luang yang secara normative dianggap janggal/ganjil atau masuk kategori sub-kultur tertentu (Heasman, 1973), misalnya minum sampai kecanduan minuman keras, ngelem, minum obat (pil BK), dan perilaku seks bebas (YKAI, 1994 & Irwanto, Laurike & Diao Ai Lin, 1995). Mengingat hal di atas dalam rangka otonomi daerah, peranan pemerintah daerah/kota dalam penanganan anak
Risiko Fisik
makanan yang tidak mencukupi dan tidak teratur, usaha-usaha berat, kelelahan fisik, kurang tidur, lingkungan yang tidak sehat
Risiko Psikososial
Ketidakcukupan kasih sayang dan perhatian orang tua, interaksi dengan kawan sebaya, waktu luang, variasi dalam aktivitas kerja, kepuasan dari tempat kerja
Risiko tempat kerja
Bahaya penyalahgunaan: seperti eksploitasi seksual, dll
Perbudakan (pada kasus di pelacuran, pekerja pabrik, pekerja rumah tangga, penjaga toko dan pengasuh anak)
jalanan menjadi sangat penting. Jika tidak ditangani secara serius masalah anak jalanan cenderung semakin berat di-pandang dari segi waktu, tenaga dan sumber daya. Pemerintah Kota Pekanbaru selaku institusi yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban dan keindahan kota merasa perlu melakukan upaya penanggulangan anak jalanan ini. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian dasar dan pemetaan terhadap anak jalanan yang berada di Kota Pekanbaru guna mendapatkan gambaran dasar (profil) bagi langkah awal pembuatan kebijakan ke arah itu.
Studi ini akan mencakup aspek-aspek dari pemetaan anak jalanan. Beberapa faktor penting yang akan dikaji dalam studi ini adalah:
a. Karakteristik Pribadi yang mencakup jenis kelamin, usia, suku, agama, pendidikan, latar belakang rumah tangga/ keluaraga. Pola pemukiman (tempat tinggal), status dan kondisi tempat tinggal.
b. Aktivitas Sosial Ekonomi yang mencakup alasan menjadi anak jalanan. Lokasi kerja, lama menjadi anak jalanan, waktu yang dihabiskan di jalanan, pekerjaan dan peng-hasilan, dan tingkat kesehatan.
c. Relasi Sosial yang mencakup pengalaman kekerasan yang pernah dialami, penertiban, organisasi/perkumpulan anak jalanan.
d. Pola Migrasi yang mencakup daerah asal, mobilitas intra-wilayah, rencana menetap.
e. Harapan anak jalanan yang mencakup aspirasi tentang masa depan, bantuan-bantuan yang dinginkan dan program-program yang diharapkan bagi pemberdayaan hidup mereka.
Tujuan umum studi ini adalah mencari alternatif kebi-jakan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
anak jalanan. Secara khusus studi ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui penyebab utama meningkatnya populasi anak jalanan di Kota Pekanbaru
b. Mengidentifikasikan faktor pendorong dan alasan utama anak-anak melakukan kegiatan di jalanan
Kegunaan studi ini adalah diperolehnya masukan bagi Pemerintah Kota Pekanbaru dalam mengambil kebijakan bagi upaya pemberdayaan anak jalanan terutama dalam hal: a. Peningkatan efektivitas dan efisiensi pelayanan sosial bagi
anak jalanan.
b. Mendapatkan sumber atau potensi yang dapat ditingkatkan, khususnya dana, SDM, sarana dan prasarana pelayanan bagi anak jalanan.
c. Informasi untuk membuat perencanaan pengembangan program dan pengambilan keputusan terhadap anak jalanan, terutama dalam kaitannya dengan otonomi daerah.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, di mana dari keseluruhan populasi obyek penelitian yang akan diteliti, akan diambil sampel yang dapat mempresentasikan kelompok anak jalanan. Sampel akan ditarik secara accidental, yaitu siapa saja calon responden yang memenuhi syarat akan dijadikan responden. Dari kegiatan sampling ini ditetapkan sebanyak 115 anak jalanan dari berbagai jenis kegiatannya menjadi responden.
Persebaran anak jalanan di Kota Pekanbaru lebih ter-konsentrasi pada simpang-simpang jalan utama seperti Simpang Jalan Harapan Raya-Sudirman, Simpang Jalan Gajah Mada-Sudirman, Simpang Jalan Tuanku Tambusai-Sudirman dan juga pusat-pusat pertokoan dan pasar seperti Plaza Sukaramai, Plaza Senapelan, Mal Matahari, Terminal Mayang Sari dan beberapa tempat hiburan lainnya. Lokasi
kosentrasi anak jalanan di atas akan menjadi sasaran studi ini. Pengumpulan data menggunakan instrumen sesuai kodenya dilakukan secara wawancara berstruktur, wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), dan studi do-kumentasi. Data yang diperoleh selanjutnya diolah, yang meliputi kegiatan pengolahan manual dan atau pra dan pasca komputer (coding, editing, tabulating), penyajian tabel-tabel, penyajian grafik, bagan alir, seleksi foto, seleksi jawaban informan yang memiliki makna subyektif.
Bab 2
KONSEP
Bab 2
KONSEP ANAK JALANAN
D
alam ketentuan umum pasal 1 ayat 1 UU RI No 23Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sebagai seorang anak sudah selayaknya semua kebutuhannya terpenuhi secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Seorang anak yang tidak memperoleh hak dasarnya terpaksa harus berada di jalanan unuk mencari nafkah. Defenisi Anak jalanan adalah “anak laki – laki atau perempuan berusia kurang dari 18 tahun yang melewatkan, menghabiskan, atau memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari – hari di jalanan. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri psikis dan fisik menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN 2000: 6)adalah sebagai berikut:
1. Ciri – ciri fisik:
- warna kulit kusam,
- rambut bewarna kemerah – merahan, - kebanyakan berbadan kurus,
- pakaian tidak terurus. 2. Ciri – ciri psikis:
- mobilitas tinggi,
- bersikap acuh tak acuh, - penuh curiga,
- sangat sensitif, - berwatak keras, - kreatif,
- memiliki
- semangat hidup tinggi, - berani menanggung resiko, - mandiri,
Lebih lanjut Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak membuat kategorisasi anak jalanan adalah sebagai berikut: a. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan ciri adalah:
a) Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu.
b) Berada di jalanan seharian untuk bekerja dan meng-gelandang.
c) Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun.
d) Tidak bersekolah lagi.
b. Anak jalanan yang bekerja di jalanan cirinya adalah: a) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni
pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.
b) Berada di jalanan sekitar 8 sampai dengan 12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam.
c) Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan orang tua atau saudaranya atau di tempat kerjanya di jalan.
d) Tidak bersekolah lagi.
c. Anak yang rentan menjadi anak jalanan:
a) Setiap hari bertemu dengan orang tuanya (teratur). b) Berada di jalanan sekitar 4 sampai dengan 6 jam untuk
bekerja.
c) Tinggal dan tidur bersama orang tua atau wali. d) Masih bersekolah.
Haryadi dan Indrasari (1995:7) menjelaskan bahwa Tenaga kerja anak-anak merupakan fenomena yang nyata terjadi di sekitar kita. Pekerjaan yang mereka lakukan pada umumnya dibagi menjadi 2 kelompok besar yakni :
a) Pekerjaan reproduktif adalah kegiatan-kegiatan kerja yang tidak mempunyai implikasi langsung terhadap penghasilan, pada dasarnya adalah pekerjaan yang menyangkut rumah tangga seperti membersihkan rumah, memasak, mengasuh anak kecil.
b) Pekerjaan produktif adalah pekerjaan yang berimplikasi langsung pada penghasilan, yaitu bermacam-macam pekerjaan yang bila dilakukan pelakunya akan memperoleh imbalan berupa uang (upah).
Untuk itu maka pelaksanaan konvensi hak anak, pemahaman tentang kehadiran anak itu perlu dan sangat relevan untuk dipahami, sebab pemahaman itu dapat
ber-macam – ber-macam yang dapat mempengaruhi seseorang atau suatu masyarakat dalam memberi makna pada kehadiran anak dan terhadap pelaksaaan konvensi. Sebagai contoh, dalam agama Islam keberadaan anak dipahami sebagai amanah, kewenangan dan titipan Tuhan kepada orang tua atau walinya. Anak merupakan ciptaan Tuhan yang lemah tetapi berke-dudukan mulia. Semua anak dilahirkan suci sebelum akil balik, yang dimiliki anak adalah hanya hak, tidak mempunyai kewa-jiban. Hak – hak itu antara lain hak untuk mendapatkan per-lindungan ketika anak dalam kandungan, hak untuk disusui selama dua tahun, hak untuk diberi pendidikan dan ajaran.
Di sebagian besar masyarakat anak dianggap investasi keluarga, sebagai jaminan tempat bergantung dihari tua. Sedangkan bagi masyarakat atau keluarga yang kurang mampu, anak bernilai ekonomi; anak adalah tenaga kerja dalam rumah tangga, dari menyapu, mengambil air, mengumpulkan kayu bakar bahkan sampai putus sekolah karena harus bekerja untuk mencari nafkah membantu orang tua memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Konvensi hak anak merupakan bagian integral dari konvensi Hak Asasi Manusia, dengan sifat dan kondisi anak yang belum cukup matang, masih tergantung, rentan, dan rawan terhadap berbagai keadaan. Disamping anak merupa-kan aset penting masa depan suatu bangsa, maka anak harus diberi perhatian dan perlakuan khusus dan menempat-kan isu anak pada tatanan politik tertinggi di masing – masing negara yang membuat komitmen. Dari segi hokum pada dasarnya konvensi tersebut berisi penegasan hak–hak anak, perlindu-ngan anak oleh negara yang ikut meratifikasi dan peran serta berbagai pihak dalam menjamin hak– hak anak.
Pada dasarnya hak-hak anak tersebut dapat diklasifkasi-kan kedalam empat macam:
a) Hak kelangsungan hidup dan hak untuk memperoleh tertinggi yang bias dijangkau dan hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya pera-watan kesehatan primer.
b) Hak mendapat perlindungan dari diskriminasi; hak men-dapat perlindungan dari kekerasan, penyalahgunaan sampai pada penelantaran; hak mendapat perlindungan bagi anak – anak tanpa keluarga, hak mendapat perlindu-ngan bagi anak – anak pengungsi.
c) Hak untuk tumbuh kembang, termasuk hak untuk dapatkan segala bentuk pendidikan, hak untuk men-dapatkan kehidupan yang layak yang cukup bagi per-kembangan fisik, mental dan kepribadiannya.
d) Hak untuk berpartisipasi dalam mengungkapkan apa yang menjadi pandangnya, kepeduliannya, dan perhatiannya, terutama menyangkut hal – hal yang akan mempengaruhi kehidupannya. UU RI No 23 Tahun 2002 tentang perlin-dungan anak menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak – hak anak. Rang-kaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang po-tensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Berdasar UU RI NO 23 Tahun 2002 pasal 3 “Perlindungan anak bertujuan untk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi ter-wujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, UU ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas -asas sebagai berikut:
a) Non diskriminasi
b) Kepentingan yang terbaik bagi anak
c) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Perlindungan khusus pada anak juga tertuang dalam UU RI NO 23 Tahun 2002 pasal 59 yaitu “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak peran masyarakat juga diperlukan baik melalui lembaga pendidikan, perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, dan media massa.
Mengingat bahwa perlunya perluasan pelayanan khusus bagi anak telah dinyatakan dalam deklarasi Hak – hak anak yang disetujui Majelis Umum PBB pada tahun 1959 dan diakui dalam Deklarasi hak – hak asasi manusia sedunia, dalam
perjanjian Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (khususnya pasal 23 dan 24) dalam perjanjian Internasional tentang hak -hak ekonomi, sosial, dan budaya (khususnya pasal 10). Ketentuan-ketentuan dan instrument- instrumen terkait dari badan khusus dan organisasi–organisasi inter-nasional yang berkepentingan dengan kesejahteraan anak. Sebagaimana dinyatakan dalam deklarasi hak–hak anak, “anak karena ketidak matangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahiran”.
Bab 3
KONDISI SOSIAL
EKONOMI
Bab 3
KONDISI SOSIAL EKONOMI
K
ota Pekanbaru merupakan ibukota dari Provinsi Riau yang mempunyai wilayah seluas 632,26 Km2 yang padatahun 2002 mempunyai 8 wilayah Pemerintahan Kecamatan. Penduduk kota pekanbaru sampai tahun 2002 adalah sebanyak 625.313 jiwa, sehingga tingkat kepadatan kota pekanbaru 989 jiwa dalam setiap Km. Oleh karena itu tingkat kepadatan penduduk tergolong tinggi.
Sebagai Ibukota Propinsi yang kaya akan hasil sumber daya alamnya, kota ini menjadi salah satu daerah tujuan migran, oleh karena itu pertumbuhan penduduk kota Pekan-baru tergolong cukup tinggi. Hal ini telah menimbulkan berbagai persoalan sosial yang salah satu bentuknya adalah masalah kemiskinan. Produk dari masalah kemiskinan itu adalah memunculkan anak jalanan.
Tingginya angka pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan penyediaan lapangan kerja, data me-nunjukkan penduduk yang sedang mencari kerja 43.303 jiwa,
sedangkan yang sudah bekerja sebanyak 208.376 jiwa. Berarti terdapat pengangguran sebanyak 17,21 persen. Gambaran umum Kota Pekanbaru di atas akan diuraikan lebih rinci me-nurut kecamatan yang ada menyangkut gambaran demografi, keadaan sosial ekonomi dan sosial budaya yang menyangkut persoalan tingkat pendidikan, jumlah panti, anak terlantar.
3.1. Demografi
3.1.1. Jumlah Penduduk
Sampai dengan bulan Desember 2002 penduduk Kota Pekanbaru berjumlah 625.313 jiwa yang terdiri dari 315.859 berjenis kelamin laki-laki, 309.454 adalah wanita, dan jumlah rumah tangga Penduduk adalah 140.836 KK yang berarti setiap Rumah Tangga mempunyai rerata anggota adalah 4,4 jiwa.
Selanjutnya kalau dilihat pula luas Kota Pekanbaru adalah 632,26 Km2 yang berarti kepadatan kota Pekanbaru 989 jiwa/
Km2. Untuk jelasnya jumlah penduduk, rumah tangga, luas
wilayah dan rerata anggota rumah tangga dan kepadatan menurut kecamatan dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 3.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kota Pekanbaru Tahun 2002
Sumber: Pekanbaru Dalam Angka
No Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan 1 Tampan 75.820 74.017 149.837 2 Bukit Raya 98.226 95.854 194.080 3 Lima Puluh 20.131 21.102 41.233 4 Sail 11.018 10.618 21.636 5 Pekanbaru Kota 15.616 15.272 30.888 6 Sukajadi 30.240 30.671 60.911 7 Senapelan 17.772 17.469 35.241 8 Rumbai 46.036 45.451 91.487 Jumlah 315.859 309.261 625.313
Tabel 3.2. Jumlah Rumah Tangga, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Menurut Kecamatan di Kota Pekanbaru Tahun 2002
Sumber: Pekanbaru Dalam Angka
Tabel di atas menjelaskan jumlah penduduk, Rumah Tangga, Luas Wilayah, Kepadatan dan Rerata Anggota Rumah Tangga Kecamatan Yang ada di Kota Pekanbaru. Melihat tabel di atas terlihat bahwa penduduk Pekanbaru berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Hal ini menanda-kan bahwa Pemenanda-kanbaru merupamenanda-kan salah satu kota tujuan migran sedangkan yang banyak dilakukan adalah wanita. Karena penduduk pendatang menjadi penyebab utama pertumbuhan penduduk Pekanbaru.
Dari 8 kecamatan yang paling banyak jumlah penduduk-nya adalah Kecamatan Bukit Raya, yaitu 194.080 jiwa (31,0 %) dan yang paling sedikit adalah Kecamatan Sail, yaitu sebanyak 21.636 atau 3,5 persen dari penduduk Pekanbaru. Selanjutnya kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Bukit Raya dan yang terkecil adalah Kecamatan Pekanbaru Kota. Namun yang terpadat justru adalah Kecamatan Pekanbaru kota, sedangkan yang terjarang adalah Kecamatan Rumbai.
No Kecamatan Jml RT Luas Km2 Jumlah Penduduk Kepadatan Per Rmh Tg Km 2 1 Tampan 38.231 108,84 149.837 3,9 1376,7 2 Bukit Raya 40.274 299,88 194.080 4,8 647,2 3 Lima Puluh 8.843 4,04 41.233 4,7 10206,2 4 Sail 6.213 3,26 21.636 3,5 6636,8 5 Pekanbaru Kota 6.229 2,26 30.888 5,0 13667,3 6 Sukajadi 12.689 5,1 60.911 4,8 11943,3 7 Senapelan 7.297 6,65 35.241 4,8 5299,4 8 Rumbai 21.060 203,03 91.487 4,3 450,6 Jumlah 140.836 632,26 625.313 4,4 989,0
3.1.2. Umur Penduduk
Kalau dikelompokkan umur penduduk dengan jarak 4 tahun maka jumlah kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 20 hanya 24 tahun. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 3.3. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2002
Sumber: Pekanbaru Dalam Angka 2001
Melihat tabel di atas terlihat kelompok usia terbanyak adalah yang berusia 20-24 tahun yang berjumlah 13,0 persen dari keseluruhan penduduk, sedangkan penduduk yang ber-potensi untuk menjadi anak jalanan atau yang berusia 5 hingga 14 tahun dijumpai sebanyak 18,86 persen.
No Kelompok Umur Jumlah Presentase
1 0 - 4 72.136 11,54 2 5 - 9 61.153 9,78 3 10 - 14 56.788 9,08 4 15 - 19 69.901 11,18 5 20 - 24 81.281 13,00 6 25 - 29 74.755 11,95 7 30 - 34 58.314 9,33 8 35 - 39 45.837 7,33 9 40 - 44 34.186 5,47 10 45 - 49 24.064 3,85 11 50 - 54 15.362 2,46 12 55 - 59 11.650 1,86 13 60 + 19.886 3,18 Jumlah 625.313 100
3.1.3. Perkembangan Penduduk
Melihat perkembangan penduduk untuk tahun 2001 adalah sebanyak 2,0 persen. Kalau dilihat perkembangan penduduk 10 tahun terakhir secara rerata sebesar 4,3 persen pertahun. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.4. Perkembangan Penduduk Pekanbaru 1993-2002
Sumber: Pekanbaru dalam Angka 2002
Tabel di atas menjelaskan perkembangan penduduk Pekanbaru yang tertinggi adalah pada tahun 1996, yaitu sebanyak 11,64 persen dan yang terendah adalah pada tahun 1993.
3.2. Sosial Ekonomi
3.2.1. Pendapatan Penduduk
Hasil perhitungan dari BPS bahwa Produk Domestik Regional Bruto Kota Pekanbaru mengalami kenaikan. Per-hitungan atas harga yang berlaku pada tahun 1999 adalah sebesar Rp. 2.194.962.29 juta tahun 2000 menjadi Rp. 3.212.
Presentase 11,54 9,78 9,08 11,18 13,00 11,95 9,33 7,33 5,47 3,85 2,46 1,86 3,18 100
No Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan
1 1993 401.477 1,04 2 1994 412.918 2,85 3 1995 431.464 4,49 4 1996 481.681 11,64 5 1997 512.123 6,32 6 1998 523.078 2,14 7 1999 531.632 1,64 8 2000 586.232 10,27 9 2001 597.971 2,00 10 2002 625.313 4,57
380.80 juta atau naik sebesar 46,35 persen. Sedangkan pendapatan perkapita penduduk pekanbaru juga mengalami kanaikan. Perhitungan atas dasar harga yang berlaku tahun 1999 pendapatan perkapita penduduk adalah sebesar Rp. 3.413 040.10 naik menjadi Rp. 5.093 714.30 pada tahun 2000 atau naik sebesar 49,24 persen. Adanya kenaikan pendapatan perkapita Pekanbaru dalam kenyataannya tidak dialami secara merata oleh seluruh penduduk karena itu banyak diantara penduduk kota Pekanbaru yang masih hidup dibawah garis kemiskinan, bahkan masih dijumpai Rumah Tangga fakir miskin.
3.2.2. Jumlah Keluarga Fakir Miskin
Di Kota Pekanbaru pada tahun 2002 terdapat 4.433 Rumah Tangga fakir miskin yang berarti ada 3,14 persen Rumah Tangga yang tergolong fakir miskin. Kondisi ini menggambarkan belum meratanya hasil pembangunan di daerah ini. Untuk jelasnya pada masing-masing kecamatan dapat dilihat tabel berikut:
Tabel 3.5. Jumlah Keluarga Fakir Miskin diKota Pekanbaru Tahun 2002
No Kecamatan Jumlah Persentase
1 Tampan 637 14,4 2 Bukit Raya 1346 30,4 3 Lima Puluh 392 8,8 4 Sail 219 4,9 5 Pekanbaru Kota 342 7,7 6 Sukajadi 186 4,2 7 Senapelan 344 7,8 8 Rumbai 967 21,8 Jumlah 4.433 100,0
Tabel di atas menjelaskan jumlah Keluarga Fakir Miskin pada tahun 2002 di masing-masing kecamatan dalam kota Pekanbaru di mana yang paling banyak dijumpai di kecamatan Bukit Raya dan yang paling sedikit adalah di Kecamatan Sukajadi. Sementara itu jumlah penduduk yang tergolong miskin sampai akhir tahun 2003 di kota Pekanbaru berjumlah 13.300 KK atau sekitar 12,0 persen dari jumlah penduduk kota ini (Riau Pos, Jum’at, 2 Januari 2004).
Melihat jumlah keluarga yang tergolong miskin pada tahun 2001 berjumlah 2.415 KK, tahun 2002 berjumlah 4.433 KK dan tahun 2003 berjumlah 13.300 KK yang berarti setiap tahunnya terjadi peningkatan dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Meskipun di lihat dari pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 terjadi peningkatan pendapatan perkapita sebesar 16,14 persen. Seharusnya jumlah fakir miskin tentu akan semakin berkurang, namun kenyataannya tidak demikian. Kondisi ini menimbulkan prasangka bahwa di kota Pekanbaru terjadi kesenjangan yang semakin tinggi.
3.2.3. Jumlah Penduduk Pencari Kerja
Dari 625.313 jiwa penduduk Pekanbaru di tahun 2002, yang sudah bekerja sebanyak 208.370 yang berarti rasio beban tanggungan adalah 3,0. Kondisi ini menggambarkan persoalan lapangan kerja yang tidak dapat menyerap Tenaga kerja yang ada. Jumlah penduduk usia kerja di Pekanbaru sebesar 251.679 jiwa, berarti dari jumlah tenaga kerja tersebut yang terserap hanya sebesar 82,8 persen.
3.3. Sosial Budaya 3.3.1. Pendidikan
Salah satu faktor penting yang menjadi mekanisme perubahan sosial adalah pendidikan. Oleh karena itu, banyak
ahli mengatakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh suatu masyarakat akan menjadi penghambat bagi perkembangan masyarakat.
Pekanbaru dengan jumlah penduduk 625.313 jiwa, dijumpai 133.289 jiwa yang berusia di bawah 10 tahun. Sedangkan yang berusia 10 tahun ke atas adalah sebanyak 492.024 jiwa. Penduduk yang berusia 10 tahun ke atas ini kalau dibagi tingkat pendidikannya, maka sebagian besar masih berpendidikan rendah. Hal ini dapat dilihat komposisinya pada tabel berikut.
Tabel 3.6. Jumlah Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2002
Sumber: Pekanbaru Dalam Angka
Tabel di atas menunjukkan tingkat pendidikan penduduk Pekanbaru yang berusia 10 tahun ke atas, di mana kelompok tingkat pendidikan SLTA merupakan kelompok yang terbanyak yaitu sebanyak 38,74 persen. Untuk kelompok tingkat pendidikan wajib belajar yaitu sekolah dasar hingga SLTP dijumpai sebanyak 40,32 persen. Penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang belum mengenyam pendidikan sebanyak 1.265 jiwa (0,25 %) dari penduduk berumur 10 tahun ke atas dan kelompok ini menjadi embrio masalah sosial dalam masyarakat.
No Tingkat Pendidikan Frekuensi Peresentase
1 Belum Sekolah 1.265 0,25 2 Tidak tamat SD 48.114 9,35 3 Tamat SD 95.095 18,50 4 Tamat SLTP 112.282 21,82 5 Tamat SLTA 199.375 38,74 6 Akademi 23.267 4,52 7 Universitas 35.269 6,85 Jumlah 514.667 100,00
3.3.2. Jumlah Anak Terlantar
Pekanbaru sebagai Ibukota Provinsi Riau yang mem-punyai jumlah penduduk 625.313 jiwa masih memmem-punyai 497 jiwa anak yang terlantar. Anak terlantar ini akan menjadi salah satu sumber dari anak jalanan. Dari 497 anak terlantar ini paling banyak dijumpai di Kecamatan Tampan untuk jumlah anak terlantar menurut kecamatan dapat diuraikan dalam tabel berikut.
Tabel 3.7. Jumlah Anak Terlantar Menurut Kecamatan di Kota Pekanbaru Tahun 2002
Tabel di atas menggambarkan jumlah anak terlantar menurut kecamatan, di mana jumlah anak terlantar yang terbanyak berada di kecamatan Tampan sebesar 18,10 persen, dari jumlah yang terdapat di kota Pekanbaru dan yang paling sedikit berada di Kecamatan Sail sebanyak 8,65 persen. Berdasarkan jenis kelamin, anak terlantar berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan sek rasio sebesar 1,07.
3.3.3. Panti Asuhan
Salah satu lembaga sosial yang dasar dan penting dalam kehidupan manusia adalah lembaga keluarga. Namun dalam No Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah Peresen
tase Laki-Laki Perempuan 1 Tampan 45 45 90 18,10 2 Bukit Raya 36 37 73 14,69 3 Lima Puluh 25 20 45 9,05 4 Sail 20 23 43 8,65 5 Pekanbaru Kota 38 20 58 11,67 6 Sukajadi 20 30 50 10,06 7 Senapelan 25 25 50 10,06 8 Rumbai 48 40 88 17,71 Jumlah 257 240 497 100,00
kenyataannya tidak semua anak dapat memiliki lembaga tadi. Salah satu pengganti lembaga keluarga adalah panti asuhan yang di Pekanbaru dijumpai sebanyak 7 buah panti asuhan dengan jumlah anak asuh sebanyak 480 orang, dengan rincian menurut masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut : Tabel 3.8. Jumlah Panti Asuhan Anak Asuh Menurut Kecamatan
di Pekanbaru Tahun 2002
Dari delapan kecamatan yang ada hanya empat keca-matan yang terdapat panti asuhan di wilayahnya. Kecakeca-matan Bukit Raya memiliki panti asuhan yang terbanyak, yaitu tiga buah dengan jumlah anak asuhnya sebanyak 242 orang, yang diikuti oleh Kecamatan Sukajadi sebanyak dua buah dengan anak asuh 133 orang. Dua kecamatan lainnya seperti Keca-matan Tampan dan Sail masing-masing terdapat satu buah panti asuhan di wilayah tersebut.
No Kecamatan Jumlah Panti Asuhan
Jumlah
Anak Asuh Keterangan
1 Tampan 1 65 13,54
2 Bukit Raya 3 242 50,42
3 Sail 1 40 8,34
4 Sukajadi 2 133 27,70
Bab 4
PROFIL ANAK
JALANAN
Bab 4
PROFIL ANAK JALANAN
P
ersoalan yang ingin dibahas pada bagian profil anak jalanan ini “Siapa anak jalanan di Kota Pekanbaru” dan dari keluarga yang bagaimana mungkin mereka “itu berasal.” Persoalan pertama menyangkut karakteristik individu dari anak jalanan yang menyangkut umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, daerah asal, tempat tinggal dan status rumah yang mereka tempati. Sedangkan persoalan kedua menyangkut status perkawinan keluarga, pekerjaan orang tua, jumlah saudara, pendidikan dan tempat tinggal orang tua. Kedua persoalan itu akan diketengahkan pada bagian berikut.4.1. Karakteristik Anak Jalanan 4.1.1. Umur Anak Jalanan
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Berkerja tentu bukan dunia anak, terutama sektor-sektor yang berbahaya khususnya untuk perkembangan fisik dan jiwanya.anak-anak yang yang masih berada di bawah 18 tahun semestinya belum
dibolehkan untuk bekerja. Tetapi kondisi ekonomi berbicara lain dan “memaksa” anak bekerja. Salah satu dampak krisis banyak dirasakan keluarga pada lapisan bawah, yang terpaksa mendayagunakan anak-anak untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Dampak krisis moneter\ekonomi oleh banyak pihak dilihat sebagai penyebab semakin banyaknya anak jalanan. Bahkan menurut penjelasan resmi Mensos Justika S. Baharsjah, jumlah anak jalanan di berbagai kota besar di Tanah Air kini mencapai sekitar 50.000 jiwa lebih.
Kemiskinan memang bukanlah satu-satunya faktor penyebab anak berkeliaran di jalanan. Tetapi daerah kemiskinan merupakan faktor signifikan sebagai penyebab semakin banyaknya anak jalanan termasuk di Kota Surabaya. Dampak krisis akan semakin menekan kelompok masyarakat terutama golongan bawah, khususnya yang berada di perkotaan. Pada saat krisis berlangsung daya beli masyarakat, terutama golo-ngan bawah biasanya akan semakin merosot dikarenakan harga-harga kebutuhan pokok semakin melambung. Semen-tara penghasilan yang diperoleh relatif tetap atau bahkan tak menentu.
Memang alasan ekonomi bukan satu-satunya faktor penyebab anak terjun di jalanan. Tetapi data dari survei ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 anak yang mulai terjun kejalanan jumlahnya paling besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Anak-anak yang mulai terjun kejalanan dimulai tahun 1998 jumlahnya mencapai 275 jiwa (30,9 %), sementara tahun 1999 sebesar 12,0 persen. Jika dilihat setelah krisis jumlah anak yang mulai terjun kejalanan mencapai sebesar 42,9 persen.
Untuk memahami konsep tentang umur anak jalanan di Kota Pekanbaru dilakukan agar dapat mempermudah pena-nganan hidup dan masa depan mereka diperlukan suatu kesamaan konsep. Selama ini pergantian umur seseorang disebut anak jalanan masih mempunyai pengertian yang
bervariasi. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang dikeluarkan tahun 1990, batasan usia anak adalah yang berusia di bawah 18 tahun. Sedangkan dalam Undang-undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979. Sedangkan yang disebut sebagai anak adalah seseorang yang berusia sampai dengan 21 tahun. Untuk studi ini batasan umur anak jalanan yang dijaring adalah anak yang berumur 18 tahun ke bawah sesuai dengan batasan yang diberikan oleh Konvensi Hak Anak.
Hasil studi ini menemukan usia anak jalanan di Kota Pekanbaru adalah kelompok usia 12-14 tahun yaitu 49,52 persen. Kemudian yang berusia 9-11 tahun 23,81 persen, yang berusia 15 hingga 16 tahun 22,86 persen dan yang berusia 17-18 tahun sebanyak 9,52 persen. Untuk jelasnya dapat dilihat rincian tabel berikut.
Tabel 4.1. Komposisi Usia Anak Jalanan di Kota Pekanbaru
Sumber: Hasil Survei Lapangan Tahun 2003
Dengan demikian hampir separo anak jalanan di Kota Pekanbaru tergolong berusia 12-14 tahun yang tergolong usia yang sangat penting untuk dunia pendidikan, yang ternyata sebagian besar dari mereka sudah tidak lagi bersekolah lagi.
No Kelompok Usia (Tahun) Frekuensi Persentase
1 < 5 1 0,87 2 6 – 8 3 2,61 3 9 – 11 25 21,74 4 12 – 14 52 45,22 5 15 – 16 24 20,87 6 17 > 10 8,70 Jumlah 115 100,00
4.1.2. Jenis Kelamin
Anak jalanan yang menghabiskan waktu mereka di jalanan yang seharusnya mereka gunakan untuk bermain dan belajar, namun karena desakan kehidupan, mereka harus bekerja, sebagian besar mereka berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2. Jenis Kelamin Anak Jalanan di Kota Pekanbaru
Sumber: Hasil Survei Lapangan Tahun 2003
Tabel di atas menjelaskan jenis kelamin anak jalanan di mana 92,17 persen adalah anak laki-laki dan 7,83 persen adalah
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
1 Laki-Laki 106 92,17
2 Perempuan 9 7,83
anak perempuan. Hasil studi ini menunjukkkan kenyataan yang sama dengan jenis kelamin anak terlantar di Kota Pekan-baru didominasi anak laki-laki lebih banyak dari pada anak perempuan. Banyaknya anak laki-laki di jalanan adalah sesuatu yang lumrah karena secara budaya anak laki-laki lebih cende-rung untuk keluar rumah mengikuti para ayah. Sebaliknya anak wanita cenderung berperan dalam rumah dan kalau norma-norma sosial menyamakan peran laki-laki dan perempuan maka sudah barang tentu anak wanita juga akan dijumpai jumlah yang sama dengan anak laki-laki untuk jadi anak jalanan.
Keterangan : Anak perempuan sebagai pemulung
4.1.3. Pendidikan
Pembangunan di sektor pendidikan khususnya di tingkat dasar dan menengah telah ditempuh, misalnya melalui Program Wajib Belajar 6 tahun. Melalui program ini, anak-anak minimal memiliki pendidikan sekolah dasar atau sederajat. Kemudian dilanjutkan dengan program serupa dengan tingkatan lebih tinggi, yaitu Wajib Belajar 9 tahun. Melalui program ini
anak-anak diharapkan memiliki tingkatan pendidikan minimal SLTP atau sederajat.
Untuk mempercepat keberhasilan penanganan pen-didikan khususnya penpen-didikan dasar dan menengah telah me-ngumumkan keputusan pemerintah untuk menghapus uang SPP bagi murit SD, SLTP dan SMU\SMK Negeri pada tahun ajaran 1998\1999 di seluruh tanah air (Surya, 18 Juni 1998). Dalam surat edaran Dirjen Dikdasmen No. 3974/C/KU/98 tanggal 5 Mei 1998 secara lebih rinci juga diumumkan bahwa pemerintah telah membebaskan uang pendaftaran termasuk uang gedung dalam penerimaan siswa baru tahun ajaran 1998/ 1999 dan membebaskan SPP serta iuran BP3 bagi siswa SD dan SLTP.
Hasil studi tentang pendidikan anak jalanan dijumpai 30,43 persen yang masih duduk di bangku sekolah. Hal ini dapat dilihat status pendidikan dari anak jalanan sebagai berikut:
Tabel 4.3. Status Pendidikan Anak Jalanan di Kota Pekanbaru
Sumber: Hasil Survei Lapangan Tahun 2003
Tabel di atas menjelaskan 30,42 persen anak jalanan di Pekanbaru masih merupakan anak sekolah, sedangkan pendidikan anak jalanan yang masih sekolah itu dapat dilihat pada tabel berikut.
No Status Pendidikan Frekuensi Persentase
1 Masih Bersekolah 35 30,43
2 Tidak Bersekolah 80 69,57
Tabel 4.4. Jumlah dan Tingkat Pendidikan Anak Jalanan di Kota Pekanbaru yang Masih Sekolah
Sumber: Hasil Survei Lapangan Tahun 2003
Dengan demikian sebagian besar anak jalanan yang masih sekolah merupakan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar dimana mereka masih panjang hari yang mereka gunakan untuk menempuh pendidikan, sementara peluang untuk berhenti sekolah terbuka lebar sebab dari seluruh res-ponden 69,57 persen dari anak-anak tersebut sudah tidak lagi di sekolah.
Selanjutnya kalau diperhatikan pula tingkat pendidikan yang pernah dan sedang ditempuh oleh anak jalanan dapat digambarkan pada tabel berikut:
Tabel 4.5. Tingkat Pendidikan Anak Jalanan di Kota Pekanbaru
Sumber: Hasil Survei Lapangan Tahun 2003
Gambaran tingkat pendidikan anak-anak jalanan dikota Pekanbaru yanng masih bersekolah sebanyak 30,43 persen dan yang tidak bersekolah sebanyak 69,57 persen. Dari anak yang
No Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase
1 SD 26 74,26
2 SLTP 9 25,74
Jumlah 35 100,00%
No Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase
1 Tidak Pernah Sekolah 4 3,48
2 SD Tidak/ Belum Tamat 50 43,48
3 Tamat SD 38 33,04
4 Tidak Tamat SLTP 18 15,65
5 Tamat SLTP 5 4,35
tidak bersekolah dijumpai 3,48 anak yang tidak pernah sekolah dan kalau dikaitkan dengan umur anak-anak yang berumur 5 tahun hanya satu (1) orang. Karena itu masih dijumpai 3 (3,48 %) anak yang tergolong tergolong sekolah tapi tidak pernah duduk dibangku sekolah. Sedangkan untuk keselluruhan responden baik yang masih sekolah maupun yang tidak bersekolah lagi 43,48 persen tidak tamat sekolah dasar, 33,04 persen tamat SD, 15,65 persen tidak tamat SLTP dan 4,35 persen yang tamat SLTP.
Bagi anak jalanan yang tamat SLTP yang berjumlah 5 anak (4,35 %). Sedangkan anak yang berusia 17 tahun keatas yang merupakan usia tamat SLTP yang berjumlah 10 anak (8,70 %) tentu dijumpai 5 anak yang sudah tergolong drop out untuk tingkat SLTP.
4.1.4. Agama
Hasil survey ditemukan tiga jenis agama yang dianut oleh anak jalanan, yaitu Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik yang jumlahnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.6. Jumlah dan Jenis Agama Anak Jalanan di Kota Pekanbaru
Sumber: Hasil Survei Lapangan Tahun 2003
Tabel diatas menjelaskan 91,30 persen agama anak jalanan adalah agama Islam, 7,83 persen Kristen Protestan, dan 0,87 persen Kristen Katolik. Oleh karena itu, sebagian besar agama yang dianut oleh anak jalanan adalah agama Islam.
No Agama Frekuensi Persentase
1 Islam 105 91,30
2 Kristen Protestan 9 7,83
3 Kristen Katolik 1 0,87
Sebagai penganut agama Islam yang pada usia mereka yang harus belajar. Ajaran agama agar mereka memahami tata aturan kehidupan ternyata sebagian besar dari mereka tidak lagi belajar (mengaji) bahkan banyak diantaranya yang tidak dapat membaca al-Qur'an. Kondisi yang demikian tentu akan menjadi potensi untuk melakukan tindakan-tindakan di luar agama. Demikian juga anak yang beragama Kristen Protestan dan Katolik, dari 10 anak ternyata 3 orang menyatakan tidak pernah ke gereja.
4.1.5. Tempat Tinggal Anak Jalanan
Untuk menangani persoalan anak jalanan di Kota Pekan-baru tidak dapat dilepaskan dari masyarakat di sekitarnya. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadi anak-anak turun dan menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan adalah faktor lingkungan dimana anak itu berada. Karena itu melakukan penanganan anak jalanan tidak dapat hanya tertuju kepada anak itu sendiri. Tetapi juga ditujukan pada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap anak, termasuk di dalamnya orang tua sendiri atau saudara.
Penanganan masalah anak jalanan terutama di Kota Pekanbaru tidak dapat dilepaskan dari keberadaan orang tuanya. Data di lapangan menunjukan bahwa sebagian besar (75,7 %) anak jalanan di Kota Pekanbaru ini tinggal dengan orang tuanya. Karena itu berhasil-tidaknya intervensi yang dilakukan terhadap anak jalanan tergantung pula pada pen-dekatan kepada orang tua dan dukungan yang diberikannya. Tampa dukungan dari orang tua penanganan masalah anak jalanan akan menemui kendala. Dari segi kewenangan untuk “memberikan” sesuatu kepada anak, orang tua lebih berwenang dari siapapun.
Salah satu aspek yang sangat penting dalam penanganan anak jalanan adalah diperlukan untuk memahami tempat
tinggal anak jalanan. Persoalan yang akan dipahami adalah dengan siapa anak jalanan itu tinggal. Kondisi sosial tempat tinggal anak akan sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Hasil studi menunjukkan tidak semua anak jalanan ini tinggal di rumah orang tua mereka, bahkan ada diantaranya yang tidak mempunyai tempat tinggal. Hal itu dapat dilihat pada tabel berikut yang akan menggambarkan dengan siapa anak tinggal.
Tabel 4.7. Tempat Tinggal Anak Jalanan di Kota Pekanbaru
Sumber: Hasil Survei Lapangan Tahun 2003
Tabel di atas menggambarkan 69,57 persen responden tinggal dengan orang tua, yang kehidupan orang tua responden akan digambarkan dalam profil keluarga. Selanjutnya res-ponden yang ikut enggan famili (kerabat) sebanyak 23,48 persen, yang ikut dengan orang lain yang tidak ada hubungan kerabat sebanyak 6,09 persen. Sedangkan 0,87 persen anak jalanan menyatakan tidak mempunyai tempat tinggal dan tidur di sembarang tempat.
4.1.6. Status Rumah Tempat Tinggal
Sebagian besar rumah yang ditempati baik oleh orang tua maupun kerabat responden sebagian besar merupakan rumah kontrakan. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
No Tempat Tinggal Frekuensi Persentase
1 Ikut Orang Tua 80 69,57
2 Ikut Famili 27 23,48
3 Ikut Orang Lain 7 6,09
4 Tidak Punya Tempat Tinggal 1 0,87
Tabel 4.8. Jumlah Responden Menurut Status Rumah Tempat Tinggal
Sumber: Survei Lapangan Tahun 2003
Data tabel di atas dapat dijelaskan status rumah tempat tinggal responden 20,18 persen adalah rumah milik sendiri, 71,93 persen rumah yang disewa dan 7,89 persen adalah rumah yang menumpang. Sedangkan rumah orang tua dari 80 orang 72 (90,0 %) merupkan rumah yang disewa, oleh karena itu responden yang tinggal bukan dengan orang tua rumah yang ditempati merupakan milik sendiri.
Keterangan : Kondisi rumah anak jalanan
No Status Rumah Tempat Tinggal Frekuensi Persentase
1 Milik Sendiri 23 20.18
2 Disewa/ Dikontrak 82 71.93
3 Menumpang 9 7.89
4.2. Profil Keluarga
Untuk mendukung pemahaman kehidupan anak jalanan d kota Pekanbaru, berikut ini akna digambarkan latar belakang kehidupan keluarga anak jalanan tersebut sebagai berikut:
4.2.1. Perkawinan Orang Tua
Hasil studi menemukan 72 orang responden atau 62,61 masih utuh dalam kehidupan perkawinan. Sedangkan untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.9. Status Perkawinan Orang Tua Anak Jalanan di Kota Pekanbaru
Sumber: Survei Lapangan 2003
Melihat tabel di atas, maka 62.61 persen orang tua res-ponden, perkawinan mereka masih utuh. 24,35 persen bercerai. Karena itu kedua orang tua yang masih hidup baik sudah ber-cerai merupakan yang masih uutuh adalah sebanyak 100 orang atau sebanyak 86,96 persen. Sedangkan yang ayah sudah meninggal sebanyak 49 (3,48 %) ibu yang sudah meninggal sebanyak 7 orang (6,09 %) dan yang sudah meninggal kedua-nya adalah sebakedua-nyak 4 orang atau 3,48 persen. Selanjutkedua-nya dari 48 orang tua yang tidak lengkap (cerai hidup mati) 22 orang sudah menikah lagi.
No Status Perkawinan Frekuensi Persentase
1 Lengkap 72 62,61
2 Cerai Mati 15 13,04
3 Cerai Hidup 28 24,35
4.2.2. Suku Bangsa Orang Tua
Yang dimaksud dengan suku bangsa orang tua ada dua pengertian yaitu suku bangsa ayah dan suku bangsa ibu. berdasarkan hasil survei ada asal suku bangsa orang tua laki-laki, yaitu Batak, Jawa, Melayu, dan Minangkabau. Dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.10. Jumlah dan Suku Bangsa Orang Tua Laki-Laki Responden
Sumber: Survei Lapangan 2003
Tabel di atas menjelaskan asal suku bangsa orang tua laki-laki responden di mana yang berasal dari etnik Melayu sebanyak 8,70 persen, Minangkabau 70,43 persen, Jawa 3,48 persen, Batak 16,25 persen, dan Nias sebanyak 0,87 persen. Dengan demikian etnik orang tua laki-laki responden terbanyak berasal dari etnik Minangkabau. Sementara untuk orang tua perem-puan responden terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.11. Jumlah dan Suku Bangsa Orang Tua Perempuan Responden
Sumber: Survei Lapangan 2003
No Suku Bangsa Frekuensi Persentase
1 Melayu 10 8,70 2 Minangkabau 81 70,43 3 Jawa 4 3,48 4 Batak 19 16,52 5 Nias 1 0,87 Jumlah 115 100,00
No Suku Bangsa Jumlah Persentase
1 Melayu 8 6,96 2 Minangkabau 88 76,52 3 Jawa 4 3,48 4 Batak 14 12,17 5 Nias 1 0,87 Jumlah 115 100,00
Dengan melihat tabel yang mangambarkan etnik ibu responden, sebagian besar berasal dari etnik Minangkabau, yaitu sebanyak 76,52 persen dan Batak 12,17 persen.
Kalau dilihat hubungan tabel yang menjelaskan etnik ibu dan etnik ayah, maka angka-angka tersebut menggambarkan juga bahwa ayah dan ibu responden ada berasal dari etnik yang tidak sama yang berarti sudah ada perkawinan antar suku.
4.2.3. Status Pekerjaan
Pekerjaan orang tua responden yang paling banyak dijumpai adalah sebagai pedagang. Pedagang kecil 34 orang, sementara itu dijumpai pula 8 orang yang tidak bekerja. Dari 107 responden yang ayahnya masih hidup dijumpai rincian pekerjaan pada tabel berikut:
Tabel 4.12. Jumlah dan Jenis Pekerjaan Orang Tua Responden
Sumber: Survei Lapangan 2003
No Jenis Pekerjaan Orang Tua Frekuensi Persentase
1 Petani 15 14,02 2 Pedagang 34 31,78 3 Buruh 28 26,17 4 Penjahit 7 6,54 5 Sopir 5 4,67 6 Tukang Ojek 5 4,67 7 Nelayan 1 0,93 8 Pengemis 3 2,80 9 Bengkel 1 0,93 10 Tidak Bekerja 8 7,48 Jumlah 107 100,00
Gambaran pekerjaan orang tua anak jalanan di Kota Pekanbaru sebagai petani sebanyak 14,02 persen yang pada umumnya diungkapkan oleh responden yang ikut dengan famili dan orang lain, sementara orang tua mereka tinggal di kampung. Pekerjaan kedua adalah sebagai pedagang yang merupakan jenis pekerjaan paling dominan, yaitu sebanyak 31,78 persen. Pekerjaan pedagang yang dilakukan oleh orang tua responden adalah pedagang kecil seperti pedagang cendol, pedagang sate, dan pedagang buah. Pekerjaan kedua terbanyak adalah sebagai buruh, buruh bangunan, buruh angkut, yaitu sebesar 26,17 persen dan pekerjaan lain seperti tukang jahit, pengrajin, bengkel dan jumlahnya lebih kurang 20,54 persen.
4.2.4. Pendidikan Orang Tua
Dalam studi ini yang ditanyakan adalah pendidikan ter-akhir yang pernah ditempuh oleh orang tua responden dan pekerjaan responden. Tingkat pendidikan yang pernah di-tempuh oleh orang tua sebagian besar tidak tamat sekolah dasar. Hal ini bisa dilihat dalam tabel berikut:
Gambar di atas menjelaskan tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh orang tua responden. Dari 107 orang anak yang
0 5 10 15 20 25 30 35
Tdk Sekolah Tdk Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA
ayahnya masih ada dijumpai 17,78 persen tidak pernah sekolah, 26,17 persen tidak tamat SD, 33,64 persen tamat SD, 15,88 persen tamat SLTP, dan 6,54 persen tamat SLTA. Dengan demikian sebagian besar orang tua responden yang ber-pendidikan SD ke bawah yang tergolong ber-pendidikan terendah. Dengan melihat status pendidikan dan jenis pekerjaan dapat diperkirakan bahwa fakor kemiskinan keluarga yang mendorong anak-anak turun ke jalan untuk mencari uang. Hal ini dapat dilihat dari kasus Budi.
Kasus Budi Si Tukang Kue
Budi anak ke 10 dari 10 orang bersaudara berumur 11 tahun dan tinggal di jalan Pangeran Hidayat. Ayahnya bernama Munir bekerja sebagai tukang dan ibu Mar seorang pembuat kue.Budi dan keluarga tinggal disebuah rumah petak yang berukuran 4,4 x 9 M yang dikontrak Rp. 250.000 per bulan disebuah gang yang sanitasi lingkungannya sangat kotor. Ditempat itu ditempati 10 orang karena 2 abang Budi sudah bekerja didaerah lain, dari 8 saudara Budi yang tinggal dirumah itu 3 orang masih sekolah.Kini Budi tidak bersekolah lagi, ia hanya duduk sampai kelas III dan sudah hampir satu tahun berhenti. Alasan yang dikemukakan Budi kenapaia berhenti sekolah adalah karena ia tinggal kelas, faktor penyebabnya karena sering tidak masuk sekolah.Bapak Budi yang bekerja sebagai tukang bangunan mempunyai pendapatan Rp.. 30.000 – Rp. 40.000 perhari. Itupun tidak setiap saat dan hari bekerja. Paling tinggi ia bekerja dalam sebulan sebanyak 20 hari sedangkan ibu Budi bekerja mencuci dirumah tangga yang pendapatannya sebulan adalah Rp. 300.000 per bulan. Sehingga kalu ditotal pendapatan keluarga ini Rp. 1.000.000 dan pendapatan tersebut digunakan Rp. 250.000 untuk sewa rumah, Rp. 50.000 untuk biaya sosia sehingga Rp. 700.000 untuk biaya makan keluarga, sehinga biaya-biaya lain kadang-kadang harus dipenuhi sendiri oleh masing-masing anggota keluarga termasuk untuk membeli pakaian. Kondisi ini yang menjadi alasan bagi Budi untuk ikut serta mencari uang guna membnatu orang tuanya.
4.2.5. Jumlah Saudara
Sebagian besar responden berasal dari rumah tangga yang banyak mempunyai anak, dan kalau dikumpulkan sebagian besar mempunyai anak berkisar antara 4-6 oang. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.13. Jumlah Responden Menurut Jumlah Kelompok Saudara
Sumber: Survei Lapangan 2003
Tabel diatas menggambarkan jumlah saudara yang dimiliki oleh responden, dimana yang memiliki saudara 1-3 orang sebanyak 18,26 persen, yang memiliki 4-6 orang se-banyak 54,78 persen dan yang memiliki lebih dari 7 orang sebanyak 26,96 persen.
Dengan demikian sebagian besar responden berasal dari kelompok yang memiliki saudara antara 4-6 orang. Karena itu sebagian besar responden berasal dari rumah tangga yang memiliki anak. Dan kalau dilihat lebih dalam jumlah anak yang dimiliki oleh oranng tua responden yang berjumlah 629 orang dan kalau dibagi dengan jumlah responden berarti responden berasal dari rumah tangga yang rata-rata memiliki anak 5,47 orang.
4.2.6. Persepsi tentang Anak Jalanan
Banyak studi tentang anak jalanan menyimpulkan bahwa karekteristiknya adalah heterogen. Anak jalanan memiliki latar
No Jumlah Kelompok Saudara Frekuensi Prsentase
1 1 – 3 21 18,26
2 4 – 6 63 54,78
3 7 > 31 26,96
belakang masalah yang bervariasi, persoalan yang dihadapi maupun keinginan yang berbeda-beda. Kendati anak jalanan memiliki karakteristik yang heterogen, tetapi setidak-tidaknya dari studi ini dapat di klasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
Pertama, anak jalanan putus hubungan sementara dengan
orang tua. Karakteristik yang pertama ini dicirikan anak jalanan masih memiliki orang tua. Namun situasi dalam keluarga di-rasakan tidak menyenangkan bagi anak untuk tinggal sehingga anak meninggalkan sementara kelurganya, tetapi masih menjalin interaksi kendati amat jarang.
Pada keluarga-keluarga yang masih lengkap kedua orang tuanya maish hidup dan tinggal serumah, persoalan anak meninggalkan keluarga dipicu oleh beberapa persoalan misal-nya cara orang tua melakukan soisalisais/mendidik dengan “tangan besi”. Semua kemauan dan kehendak orang tua harus dituruti, orang tua cenderung mengatur-atur dan memposisi-kan anak pada tempat yang tidak tahu apa-apa.
Keinginan dan kemauan anak sedikit bahkan sama sekali tidak memiliki tempat untuk menentukan apa yang dikehen-daki. Akibatnya kalau tidak mau menuruti kemauan orang tua, maka kekerasan yang akan berbicara. Kekerasan yang dilakukan orang tua dapat dalam bentuk luapan kemarahan atau sampai yang pada tingkat kekerasan fisik berupa pemukulan. Suasana keluarga kalau semacam itu menjadikan anak tidak kerasan di rumah. Pada awalnya anak sering kelur dan senang di luar rumah dan lama-kelamaan kemudian anak menjadi jarang pulang. Bagi anak-anak yang tidak kuat lagi tinggal di rumah orang tuanya biasanya kemudian lari dari rumah. Bagi anak yang masih memiliki famili tujuan awal ke rumah familinya, tetapi yang tidak ada famili anak akan pergi tanpa tujuan.
Anak-anak jalanan juga dapat berasal dari keluraga yang sering cekcok. Kedua orang tuanya sering terlibat pertengkaran,
umumnya juga menyebabkan anak tidak kerasan di rumah. Suasana rumah yang penuh konflik diantara orang tuanya seringkali berakibat langsung pada si anak. Anak jadi pelampias kemarahan orang tua, di mana anak-anak yang tidak tahu menahu urusan orang tua menjadi korban.
Perceraian orang tua dapat juga sebagai penyebab anak menjadi anak jalanan. Setelah orang tua cerai, anak kemudian dihadapkan pada pilihan suka atau tidak suka ikut ayah atau ikut ibunya. Kalau orang tua cerai saja umumnya melum menjadi dorongan kuat anak terjun ke jalanan. Tetapi kalau kemudian orang tua yang diikuti kawin lagi dan hidup dengan orang tua sambungan akan menjadi dorongan kuat anak keluar dari rumah (minggat) dan terjun ke jalanan.
Anak-anak yang berasal dari latar belakang seperti ini biasanya pergi tanpa tujuan. Kemudian berkumpul dengan teman dijalanan. Ada yang kemudian hidup bersama teman-temannya dengan mengontrak rumah hidup di jalanan atau di Rumah Singgah. Anak-anak yang berasal dari latar belakang dari karakteristik seperi ini umumnya masih menjalin hubu-ngan dehubu-ngan orang tua yang dianggap berjasa, misalnya ibu yang melahirkan. Suatu saat nanti biasanya anak masih me-miliki keinginan kembali ke orang tuanya. Entah keluarga yang masih utuh atau kebali pada ibunya.
Kedua, anak jalanan yang masih tinggal dengan orang
tuanya. Baik orang tua masih lengkap bapak dan ibunya masih hidup atau tinggal ibu/bapaknya saja. Anak jalanan yang berasal dari latar belakang seperti ini ini biasanya didorong oleh faktor ekonomis. Karena ekonomi orang tua serba pas-pasan, umumnya mendorong anak untuk mencari altenatif mencari penghasilan sendiri.
Setidaknya tiga hal yang menjadi penyebab anak jalanan yang bermula dari faktor ekonomis keluarga, yaitu motivasi muncul dari anak itu sediri untuk membantu ekonomi keluarga,
ingin memenuhi kebutuhannya sediri dan dipaksa orang tua untuk mencari penghasilan.
Bagi anak-anak yang memiliki karakteristik seperti ini umumnya sebagian besar masih sekolah dan memiliki aspirasi pendidikan yang lebih baik dibandingkan lainnya. Aktivitas di jalanan biasanya dilakukan sebelum berangkat dan setelah pulang sekolah. Aktivitas anak-anak ini biasanya mengantar koran ke langganan pada waktu pagi hari. Setelah mengantar koran ke langganan biasanya menjual koran kepada non-langganan dengan cara keliling ke tempat-tempat yang di-anggap potensi ada pembeli. Aktivitas penjual koran berkeliling ini dilakukan hingga menjelang sekolah.
Anak jalanan yang dari latar belakang ini, tak menutup kemungkinan lama-kelamaan akan semakin banyak meng-habiskan waktu dijalanan. Enaknya berada di luar rumah dengan memegang uang sendiri dan mengelolanya secara bebas akan mempengaruhi aktifitas sekolah bahkan mungkin meninggalkan sekolah. Di jalanan dapat memperoleh uang dengan mudah dan hidup dengan bebas, sementara di sekolah penuh aturan dan tidak mendapat uang menyebabkan seba-gian anak tidak kerasan lagi di sekolah.
Ketiga, hidup sebatang kara. Anak jalanan yang termasuk
kategori ini biasanya tidak lagi menjalin hubungan dengan orang tuanya. Anak ini biasanya tidak lagi memiliki orang tua, baik secara fisik maupun non-fisik. Keberadaan orang tua secara fisik diartikan orang tuanya masih hidup tetapi tidak ada hubungan lagi dengan anaknya. Orang tua tidak lagi mem-perhatikan nasib anaknya dan tidak mau tau lagi.
Anak-anak yang latar belakang semacam ini biasanya ikut orang lain, saudara, tinggal di rumah singgah, sesama teman atau bahkan tinggal tak menentu. Anak jalanan karak-teristik ini biasanya sedikit sekali yang sekolah. Dari segi perlindungan anak-anak jalanan ini biasanya sangat rawan mendapatkan perlakukan kekerasan.
Bab 5
Bab 5
AKTIVITAS EKONOMI
P
ada bagian yang aktifitas ekonomi anak jalanan di Kota Pekanbaru akan menjawab beberapa persoalan pertama: apa saja yang menjadi usaha atau pekerjaan yang mereka lakukan guna memenuhi kebutuhan, berapa banyak pendapatan yang mereka peroleh dalam sehari untuk, apa mereka gunakan pendapatan itu. Persoalan kedua akan membahas sejak kapan mereka mencari uang di jalanan dan apa alasan yang mendorong mereka mencari nafkah di jalanan.5.1 Jenis Usaha Anak Jalanan
Ada 13 jenis usaha/kegiatan yang dilakukan oleh anak jalanan di Kota Pekanbaru yang dipilih mereka untuk dapat menghasilkan uang. Adapun jenis usaha itu tukang koran, semir sepatu, pemulung, pengamen, penjual jasa, tukang angkut, tukang parkir, penjual rokok, penjual kue, penjual mainan, dan penjual kelontong. Untuk jumlah mereka pada masing-masing jenis usaha itu dapat dilihat gambar berikut:
Gambar di atas menjelaskan jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh anak jalanan di Kota Pekanbaru dimana yang paling banyak adalah penjual koran, yaitu sebanyak 26,09 persen, tukang semir sepatu 20,87 persen, tukang angkut barang-barang dipasar 1,74 persen, tukang parkir 1,74 persen, agen 0,87 persen, pemulung 3,48 persen, pengamen 9,75 persen, pengamen4,35 persen, penjual kue 8,70 persen, penjual rokok 11,30 persen, penjual mainan dan asesoris 4,35 persen, penjual kelontong 5,22 persen, dan penjual jasa sebanyak 1,74 persen.
Disamping melakukan pekerjaan di atas seorang anak jalanan juga kadang-kadang melakukan pekerjaan yang lain, artinya seorang anak tidak mesti tetap melakukan suatu pekerjaan. Namun menurut mereka pekerjaan di atas merupakan pekerjaan yang sering/dominan mereka lakukan sepanjang menjadi anak jalanan.
0 5 10 15 20 25 30 Jual Koran
Tk Semir Tk Angkut Tk Parkir Pemulung Jual Kue Jual Rokok
Ngamen Jual Mainan
Agen Penjual Jasa
Keterangan : Sekelompok anak pemulung hendak menyerahkan barang-barang bekas yang dihasilkannya dalam sehari
Keterangan : Anak-anak penjual koran sibuk menawarkan korannya pada pengendara kendaraan bermotor di perempatan lampu merah; rawan pemalakan
Keterangan : Menyemir sepatu sering menjadi pekerjaan lain yang dijalankan oleh anak-anak penjual koran
5.2. Jam Kerja
Menurut aturan pemerintah bahwa lamanya jam kerja dalam seminggu adalah 42 jam atau 7 jam sehari. Namun dalam kenyataannya banyak diantara anak jalanan meng-habiskan waktu di jalanan lebih dari 42 jam seminggu. Mereka kadang-kadang menghabiskan waktu untuk bekerja setiap hari lebih dari 10 jam. Namun dijumpai juga anak jalanan bekerja kurang dari 3 jam sehari. Untuk jelasnya kelompok jam kerja anak jalnan di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1. Jumlah Responden Menurut Kelompok Jam Kerja Sehari
Sumber: Survei Lapangan Tahun 2003
Tabel di atas menjelaskan kelompok jumlah jam kerja sehari, dimana responden yang bekerja antara 1 hingga 3 jam sehari sebanyak 8,70 persen, yang bekerja 4-6 jam sehari seba-nyak 40 persen dan bekerja lebih dari 7 jam adalah sebaseba-nyak 51,30 persen. Dengan demikian, jam kerja yang paling banyak dilakukan oleh anak jalanan adalah 7 jam ke atas. Hal ini terlihat dalam kasus berikut:
Sudirman Si Pengamen
Sudirman 14 Tahun kelas IV SD. Ayah berasal dari Pasaman (Sumbar), Ibu dari Bangkinang, anak ketiga dari 4 bersaudara. Ayah bekerja sebagai Agen mobil kerinci. Kakak tertua sudah bekerja sebagai buruh bangunan dibangkinang, kakak kedua menjadi pembantu Rumah tangga dan yang terkecil juga kadang-kadang ikut ngamen. Pada jam 07.00 pagi ia kesekolah. Jam 13.30 dan kadang jam 14.00 memulai aktivitas yang kg ngamen, kadang tukang semir. Namun yang sering dilakukan adalah ngamen yang pada siang hari manngkal di Plaza Citra, dan paling sering di bus kota. Pekerjaan ini dilakukan Sudirman sampai dengan jam 17.30 baru pulang kerumah. Setelah mandi dan makan, pada jam 19.00 siap-siap untuk melakukan aktivitas lagi di MTQ sampai dengan jam 22.30. sehinggga jumlah jam kerja sehari yang dilakukan oleh Sudirman adalah 7,5 jam swhari dengan pendapatan berkisar Rp. 20.000 – Rp. 30.000 sehari yang digunakan untuk membantu ekonomi keluarganya.
No Jam Kerja Sehari Frekuensi Persentase
1 1 – 3 10 8,70
2 4 – 6 46 40,00
3 7 > 59 51,30
5.3. Mengapa ke Jalanan
Untuk memahami alasan anak-anak turun ke jalan untuk bekerja, maka perlu dipahami umur pertama kali mereka turun ke jalan untuk melakukan aktivitas yang dapat menghasilkan pendapatan sebab kondisi umur akan mempe-ngaruhi. Siang anak turun ke jalan. Hasil studi umur yang paling banyak turun ke jalan untuk pertama kali digambarkan dalam tabel berikut.
Tabel 5.2. Persentase Umur Anak Pertama Turun ke Jalan
Sumber: Survei Lapangan Tahun 2003
Dengan demikian, kelompok umur yang dominan untuk pertama kali turun ke jalan adalah pada usia 9-11 tahun kemudian umur 12-14 tahun. Sedangkan jawaban kenapa anak turun ke jalan dapat dipahami dari dua sudut, pertama ada dorongan dari dalam diri anak yang muncul akibat berbagai kondisi lingkungan dan ini menjadi alasan anak turun ke jalan. Faktor dari dalam merupakan faktor pendorong anak turun ke jalan berupa keinginan sendiri, ikut teman, dan dipaksa orang tua.
Faktor dari dalam diri ini muncul karena alasan-alasan lingkungan seperti ekonomi keluarga yang miskin, maka timbul keinginan anak mencari tambahan biaya keluarga. Demikian juga alasan-alasan lain seperti mencari makan, mencari tambahan biaya sekolah dan membeli baju.
No Kelompok Umur Frekuensi Persentase
1 < 5 21 2,61
2 6 – 8 59 18,26
3 9 – 10 29 51,30
4 12 – 14 3 25,22
Keterangan : Anak-anak pemulung ditengah kesibukan mengais barang bekas
Kalau dilihat hasil studi tentang faktor pendorong dari dalam diri anak yang dominan adalah atas keinginan sendiri, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar di atas menjelaskan bahwa faktor dari dalam diri anak yang menjadi pendorong mereka turun ke jalan untuk bekerja dimana ada keinginan sendiri sebanyak 59,13 persen,
0 10 20 30 40 50 60 keinginan sendiri
Ikut teman dibawa saudara disuruh orang tua