• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik pencucian uang bukan hal asing lagi di dunia internasional, bahkan dunia telah sepakat untuk mencegah dan memberantasnya dengan cara mengadakan kerjasama internasional dalam berbagai forum. Indonesia mengikuti perkembangan pencucian uang tersebut dengan bergabung dalam badan-badan atau organisasi internasional. Undang-undang Anti Pencucian Uang Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah diundangkan pada tanggal 17 April 2002 melalui Lembaran Negara No. 30 tahun 2002. Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui revisi rancangan undang-undang anti pencucian uang pada tanggal 25 Maret 2002, satu tahun setelah diajukan pertama kali ke DPR pada bulan Juni 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dengan adanya undang-undang tersebut yang pada intinya membuat pencucian uang sebagai suatu tindak terpisah dan tersendiri.1

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 masih mengandung beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar, antara lain: pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur, dan banyaknya unsur yang harus

1

(2)

dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian. Kedua, kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya. Ketiga, masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis pelaporannya. Keempat, perlunya pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor.

Kelima, terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penyitaan aset hasil kejahatan. Keenam, terbatasnya pihak yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Ketujuh, keterbatasan kewenangan dari PPATK.2

Beberapa kelemahan dan kendala legislasi tersebut akan menjadi sorotan dan perhatian dari komunitas internasional, yaitu FATF, APG, IMF, dan world bank dalam mengevaluasi kepatuhan terhadap Indonesia terhadap standar internasional yang disepakati bersama, yaitu 40+9 FATF recommendations.3

Sehubungan dengan hal-hal-hal tersebut di atas dan mengingat pentingnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai landasan hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia serta guna menghindari adanya penilaian negatif komunitas internasional yang Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh komunitas internasional tersebut bernilai negatif, akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional sehingga tidak tertutup kemungkinan Indonesia kembali dianggap sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

2

Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 1.

3

(3)

tentunya akan berdampak buruk terhadap stabilitas dan integritas sistem keuangan dan sistem perekonomian, maka disarankan untuk segera melakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dengan mengikuti standar internasional yang telah berubah sebagaimana tercermin dalam “revised 40+9 FATF recommendations” serta ketentuan anti money laundering regime yang berlaku secara internasional (international best practice).4

Seorang pelaku kejahatan kemungkinan dapat melarikan diri ke luar negeri begitu juga dengan pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang dengan berharap bahwa ia tidak dapat diadili oleh negara asalnya. Tidak semudah itu seseorang pelaku lari dengan mudah, karena suatu negara kemungkinan telah membuat perjanjian ekstradisi terlebih dahulu. Praktek negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak semata-mata tergantung pada adanya perjanjian tersebut. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara dapat lebih memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan pada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seorang atau beberapa orang

4

(4)

penjahat pelarian bukan pula karena didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.5

Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Di samping itu pula praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.6 Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan masyarakat sekarang ini. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini.7

Ekstradisi ternyata merupakan sarana untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan oleh negara locus delicti atau negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya itu. Dengan demikian sekaligus rasa keadilan dari si korban atau anggota masyarakat dapat dipulihkan.

8

Berdasarkan hal itu tentunya kejahatan pencucian uang menjadi persoalan yang rumit dalam perjanjian ekstradisi, memang setiap negara dalam perjanjian Para pelaku kejahatan yang mempunyai niat untuk melarikan diri ke negara lain mungkin akan berpikir dua kali di dalam melaksanakan niatnya itu, sebab dia akan merasa dibayang-bayangi oleh ekstradisi.

5

(5)

ekstradisi telah menetapkan kerjasama dalam beberapa tindak pidana yang telah diatur dalam isi perjanjian tersebut. Kerumitan dalam proses pembuktian pencucian uang ini ditambah dengan pelaku kejahatan yang melarikan diri menyebabkan sulitnya mengungkapnya baik masih tahap penyelidikan maupun penyidikan. Supaya orang-orang semacam ini tidak terlepas dari tanggung jawabnya atas kejahatan yang dilakukannya, maka diperlukan kerja sama untuk mencegah dan memberantasnya.9

Oleh karena negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat si pelaku kejahatan itu berada, negara-negara tersebut dapat menempuh secara legal untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu. Apabila suatu negara melindungi pelaku kejahatan pencucian uang yang memang sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi, secara tidak langsung menjadikan wilayahnya sebagai gudang tempat penampungan para pelaku kejahatan tersebut.

Sebab pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang hanya dilakukan oleh negara-negara secara sendiri-sendiri, dalam hal-hal tertentu tidak bisa dipertahankan lagi terlebih pada masa abad teknologi sekarang ini.

10

Dalam pergaulan internasional maupun nasional, dimana tersangkut kepentingan umum atau negara pada satu pihak dan kepentingan individu pada lain pihak, masalahnya adalah mencari keseimbangan antara keduanya itu. Pokok persoalannya adalah bagaimana mencegah dan memberantas kejahatan pencucian

9Ibid

, hal 5-6.

10

(6)

uang dengan segala akibatnya demi ketenteraman dan ketertiban umat manusia, tetapi harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.

Perjanjian ekstradisi telah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Singapura tanggal 27 April 2007. Suatu prestasi diplomasi yang cukup baik dilihat dari kacamata betapa lama harus menunggu untuk menandatangani perjanjian ekstradisi tersebut. Ini karena keengganan Pemerintah Singapura menandatanganinya, dengan berbagai alasan.11

Terganjalnya ekstradisi Hendra Rahardja oleh pemerintah Australia adalah karena alasan diskriminasi terhadap etnis China di Indonesia, peraturan-peraturan hukum yang diskriminatif dan peristiwa Mei 1998. Hal-hal seperti inilah yang harus diantisipasi. Belum lagi kepentingan nasional Indonesia harus ditonjolkan selain mengektradisi para buronan (fugitives) juga adalah kepentingan

Salah satu sebabnya adalah sistem hukum yang berbeda dan penegakan hukum di Indonesia yang belum memadai dan tidak konsisten. Menyusul prestasi diplomasi ini meski pelaksanaannya konon baru tahun depan pemerintah Indonesia, khususnya lembaga-lembaga penegak hukum, perlu segera membenahi sistem hukum, dan perlu konsistensi penegakan hukum. Jangan sampai orang-orang, baik tersangka atau terpidana yang buron dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia, ternyata lolos dari tuntutan hukum, entah karena kurang bukti, suap, ketidakprofesionalan, dana kurang atau keengganan para penegak hukum dan birokrasi menegakkan hukum dalam memberantas korupsi.

(7)

mengembalikan aset negara yang dibawa raib para tersangka, terpidana, baik eks debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) maupun tindak pidana korupsi lainnya. Tanpa pengembalian aset negara ini perjanjian ekstradisi kedua negara tidak banyak manfaatnya dan hanya merupakan macan kertas saja.12

Bilamana orang- orang yang diekstradisi sebagian besar lolos dari tuntutan hukum, maka Pemerintah Singapura akan kecewa dan akan meninjau kembali manfaat perjanjian tersebut. Jadi yang paling utama dan penting pascapenandatanganan perjanjian ekstradisi itu adalah pembenahan ke dalam, khususnya pembenahan penegakan hukum, konsistensi penegakan hukum, pembenahan sistem hukum yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia.

Dalam konteks APBN yang defisit dan negara memerlukan dana untuk pembangunan, pengembalian aset negara dan uang negara ini sangat penting. Semua ini harus tercermin dalam mutual legal assistance antara kedua negara. Persoalannya sekarang, adakah niat tersebut di kalangan penegak hukum dan birokrasi? Bagaimana dengan fakta pentransferan uang Tommy Suharto di Bank Paribas, London, ke rekening Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia? Bagaimana dengan konsistensi penegakan hukum di dalam negeri yang dikenal dengan "tebang pilih?".

13

Persoalan-persoalan seperti inilah yang masih mengganjal pemerintah Indonesia. Memang penting menarik aset negara dan uang negara yang raib di luar negeri, tetapi aset negara dan uang negara di dalam negeri juga masih banyak

12Ibid

.

13

(8)

yang perlu dicari. Seperti, misalnya, keberhasilan Kejaksaan Agung mendapatkan aset Edi Tanzil berupa berhektare-hektare tanah di dalam negeri.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana urgensi perjanjian ekstradisi dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang melarikan diri ke luar negeri?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang merupakan hukum positif dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.

2. Untuk mengetahui urgensi perjanjian ekstradisi dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencucian uang.

Sedangkan manfaat dari penulisan ini ialah: 1. Secara Teoritis

(9)

bentuk-bentuk hubungan perjanjian ekstradisi sebagai upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang pada khususnya.

b) Menambah informasi pengetahuan yang lebih konkret bagi usaha perkembangan hukum pidana, terutama sebagai upaya memperkecil tindak pidana pencucian uang.

2. Secara Praktis

Dapat memberi masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap tindak pidana pencucian uang baik eksekutif, yudikatif dan legislatif agar dapat diperoleh solusi dalam penegakan hukum pidana khususnya dengan meningkatkan perjanjian ekstradisi kepada negara-negara lain. D. Keaslian Penulisan

Sepanjang informasi yang diperoleh dari penelusuran literatur dan bahan-bahan kepustakan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.

(10)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003,

Pencucian uang merupakan perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.14

Money laundering is the process by which one counceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and than disguises that income to make it appear legitimate”.

Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius, baik terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multi dimensi dan bersifat transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang yang cukup besar.

Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni “money laundering”. Apa yang dimaksud dengan money laundering, memang tidak ada defenisi yang universal, baik negara-negara maju maupun negara-negara dunia ketiga masing-masing mempunyai defenisi sendiri-sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Namun, para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan pencucian uang.

Pengertian pencucian uang (money laundering) telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Menurut Welling, “money laundering” adalah:

15

14

Lihat UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003.

15

Sarah N. Welling, “Smurfs, Money Laundering and the United States Criminal Federal Law”. Dalam Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss, The Money Trail (Confiscation of Proceed of Crime. Money Laundering and Cash Transaction Reporting), Sydney: The Law Book Company Limited, 1992, hal. 201 dikutip dalam buku Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 10.

(11)

mula pendapatan yang ilegal, dan pendapatan disamarkan seolah-olah merupakan sumber yang sah)

Sedangkan Fraser mengemukakan bahwa:

Money laundering is quite simple the process through with ‘dirty’, money proceed of crime, is washed through ‘clean’ or legitimate sources and interprises so that the ‘bad guys’ may more safe enjoy their ill gotten gains”.16

Money laundering is the concealment of the existence, nature of illegal source of illicit fund in such a manner that the funds will appear legitimate if discovered”.

(Pencucian uang adalah suatu proses sederhana yang sama sekali dilalui dengan cara kotor, uang diproses dengan tindak kejahatan, dicuci sampai bersih atau sumber yang sah sehingga ditafsirkan menjadi sesuatu yang tidak baik bisa dikatakan menikmati uang yang tidak halal).

Pamela H. Bucy dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime: Cases and Materials, defenisi “money laundering” diberikan pengertian sebagai berikut:

17

Money laundering is the conversion of transfer of property, knowing that such property is derived from criminal activity, for the purpose of concealing the illicit nature and origin of the property from government authorities”.

(Pencucian uang adalah merahasiakan keberadaan sumber dana yang gelap dengan cara ilegal sehingga dana tersebut seolah-olah tampak sah jika ditemukan).

Demikian juga dengan Department of Justice Kanada mengemukakan bahwa:

18

Dalam Statement on Prevention of Criminal Use of the Banking System for the Purpose of Money Laundering yang dikeluarkan pada bulan Desember 1988,

Basle Committee tidak memberikan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan “money laundering”, tetapi menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan

money laundering itu dengan memberikan beberapa contoh kegiatan yang (pencucian uang merupakan suatu perubahan mentransfer hak milik, yang diketahui hak tersebut diperoleh dari kegiatan kejahatan, dengan tujuan untuk menyamarkan sumber yang gelap dan seolah-olah asli miliknya dari kekuasaan pemerintah).

(12)

tergolong kegiatan-kegiatan yang dimaksud money laundering. Dalam

statementnya telah disebutkan bahwa kejahatan dan rekanan mereka menggunakan sistem keuangan untuk membuat perpindahan dan pembayaran dana dari satu rekening kepada yang lain; untuk menyembunyikan sumber dari kepemilikan uang diuntungkan; dan untuk menyediakan penyimpanan untuk catatan bank melalui suatu fasilitas deposito aman. Aktivitas ini biasanya dikenal sebagai pencucian uang.19

Demikian juga dengan yang dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary20

Dari beberapa defenisi penjelasan mengenai apa yang dimaksud pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah.

, Money Laundering diartikan sebagai berikut:

Term used to describe investment or other transfer of money flowing from raceklteering, drug transactions, and either illegal sources into legitimate channels so that its original source can not be traced”. (Istilah yang digunakan untuk menguraikan investasi atau perpindahan uang lain yang mengalir dari transaksi obat/racun, dan yang manapun sumber tidak sah ke dalam saluran sah sedemikian sehingga sumber yang aslinya tidak bisa diusut).

19Ibid

, hal. 12.

20

(13)

Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotik, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Money laundering

atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang legal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.21

21

Ibid, hal. 16.

2. Objek Pencucian Uang

Objek pencucian uang yang tertera pada Pasal 2 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 yaitu:

“Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, narkotika, psikotropika, perdagangan budak; wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.”

Jadi hasil tindak pidana tersebut harus berjumlah Rp500.000.000,00 atau lebih, jadi apabila tidak memenuhi jumlah nominal yang ditentukan tidak termasuk dalam tindak pidana pencucian uang.

(14)

“Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia”.

Jadi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang baru ditambahkan beberapa ketentuan hasil tindak pidana yang berjumlah keseluruhannya menjadi 25 butir.

3. Pengertian Ekstradisi dan Unsur-Unsur Ekstradisi

Banyak para pakar hukum mengemukakan pendapat mengenai ekstradisi diantaranya,

L. Oppenheim menyatakan pengertian ekstradisi merupakan:

Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have commited, or to have been convicted of, acrime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”.22

“Istilah ekstradisi menunjuk kepada proses di mana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas suatu negara untuk menyerahkan kepada negara lain atas permintaanya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut”.

(Ekstradisi ialah suatu penyerahan si tertuduh atau terhukum kepada suatu negara, tentang kejahatan yang dituduhkan di wilayah yang dilakukan pada saat kejadian tersebut).

J.G. Starke, menyatakan sebagai berikut:

23

Menurut I Wayan Parthiana,

22

L. Oppenheim, International Law, a treatise, 8th edition, 1960, hal. 696 dikutip dalam buku I Wayan Parthiana, Op.cit hal. 16.

23

(15)

“Ekstradisi ialah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seorang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang menuduh atau menghukum sebagai negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya”.24

“Ekstradisi ialah suatu proses penyerahan tersangka atau terpidana karena telah melakukan kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut”.

Menurut M. Budiarto,

25

Unsur subyek hukumnya, yaitu subyek-subyek hukum yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi yang terdiri atas; negara peminta dan negara diminta.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, pengertian ekstradisi ialah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.

Adapun unsur-unsur ekstradisi berupa: a) Unsur subyek hukumnya

26

24

I. Wayan Parthiana, Op.cit, hal. 15.

25

M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 13.

26

I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya, Bandung, 2009 hal. 39.

(16)

negara, sebab dalam kenyataannya ada kejahatan yang dilakukan oleh seseorang bisa tunduk pada yurisdiksi lebih dari satu negara atau seseorang melakukan berbagai macam kejahatan yang masing-masing tunduk pada yurisdiksi lebih dari satu negara. Jadi, negara ini berkedudukan sebagai negara atau pihak yang meminta.

Negara diminta sebagai tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum) itu berada, negara diminta ini boleh jadi sebagai negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut atau boleh sama sekali tidak memiliki yurisdiksi. Negara ini disebut negara diminta, negara diminta ini memainkan peranan sentral dalam masalah ekstradisi sebab ditangannyalah nasib orang yang diminta itu akan ditentukan.

b) Unsur obyek hukumnya

Yaitu orang atau individu si pelaku kejahatan sebagai orang yang diminta. Sebagai orang yang diminta, boleh jadi dia berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun sebagai terhukum.27

Unsur ini meliputi tata cara untuk mengajukan permintaan dengan segala persyaratannya, tata cara untuk memberitahukan apakah permintaan itu

Dalam hubungan ini kedudukannya adalah sebagai obyek atau sasaran dari permintaan negara peminta kepada negara diminta maupun sebagai obyek dari pengekstradisian atas dirinya oleh negara diminta kepada negara peminta, apabila permintaan negara peminta itu dikabulkan oleh negara diminta.

c) Unsur tata cara atau prosedur

27

(17)

dikabulkan ataukah ditolak dan jika dikabulkan selanjutnya adalah tata cara untuk menyerahkan orang yang diminta. Dengan demikian, ada suatu prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu yang harus dipenuhi atau diikuti oleh kedua pihak. Itulah sebabnya permintaan ataupun penyerahannya lazim disebut permintaan ataupun penyerahan yang dilakukan secara formal.28

Hal ini harus berawal dari negara yang memiliki yurisdiksi atas si pelaku kejahatan ataupun atas kejahatan yang dilakukannya, disebabkan karena negara inilah yang berkepentingan untuk mengadili ataupun menghukum si pelaku kejahatan yang berada di wilayah negara diminta. Jadi, negara itulah yang harus pertama-tama berinisiatif untuk mengajukan permintaan kepada negara yang belakangan, supaya negara menyerahkan si pelaku kejahatan atau orang yang diminta yang berada di dalam wilayahnya.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa prosedur atau tata cara tersebut dilakukan melalui saluran diplomatik, tegasnya melalui saluran resmi dari negara ke negara atau antarnegara. Hal itu bukanlah ekstradisi, melainkan cara-cara lain di luar ekstradisi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ekstradisi ini adalah masalah antarnegara.

29

Negara tempat si pelaku kejahatan itu berada tidak boleh menangkap ataupun menahan orang yang bersangkutan, sepanjang keberadaannya di negara itu tidak bertentangan dengan hukum ataupun kepentingan nasional dari negara Jika tidak ada permintaan dari negara itu maka tidak akan ada kasus ekstradisi atas orang yang bersangkutan antara dua negara.

28Ibid

, hal. 41.

29

(18)

itu. Negara yang bersangkutan hanya boleh menangkap dan menahan orang tersebut apabila kejahatan yang dilakukannya itu juga tunduk pada yurisdiksinya dan negara itu bermaksud untuk mengadili sendiri orang tersebut berdasarkan hukum nasionalnya sendiri.

Masalah ekstradisi baru muncul, jika negara yang memiliki yurisdiksi atau negara peminta mengajukan permintaan secara formal kepada negara tempat si pelaku kejahatan itu berada atau negara diminta, supaya menyerahkan orang tersebut kepadanya. Negara diminta setelah menerima permintaan negara kemudian mempertimbangkannya untuk selanjutnya mengambil keputusan apakah permintaan negara peminta itu akan dikabulkan atau ditolak.

d) Unsur maksud dan tujuan

Permintaan negara peminta ataupun penyerahan oleh negara diminta atas diri orang yang diminta adalah dengan maksud dan tujuan untuk mengadilinya atas kejahatan yang telah dilakukannya yang menjadi yurisdiksi dari negara peminta, atau jika dia sudah berstatus sebagai terhukum adalah dengan maksud dan tujuan untuk pelaksanaan hukuman atau sisa hukumannya di negara peminta.30

Semua unsur di atas tersebut, haruslah didasarkan pada suatu dasar atau landasan hukum supaya legalitasnya benar-benar terjamin. Dasar atau landasan Jika hal itu sudah berhasil dilakukan berarti maksud dan tujuan dari ekstradisi itu sudah tercapai.

e) Unsur dasar atau landasan hukum

I

(19)

hukumnya bisa berupa perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya antara kedua pihak atau jika perjanjian ekstradisi itu belum ada, sepanjang para pihak bersedia dapat didasarkan atas hubungan baik secara timbal balik.31

1. Jenis Penelitian

Apabila para pihak (negara peminta dan negara diminta) sebelumnya sudah terikat dalam suatu perjanjian ternyata pada suatu waktu menghadapi suatu kasus ekstradisi, penyelesaiannya haruslah berdasarkan pada perjanjian tersebut. Sebaliknya jika para pihak belum terikat pada perjanjian ekstradisi dan menghadapi kasus ekstradisi, jika para pihak setuju, proses atau prosedurnya itu dapat didasarkan atas hubungan baik dengan mengacu pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum tak tertulis tentang ekstradisi.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut.

1) Bahan hukum primer, antara lain: a. norma atau kaedah dasar

31

(20)

b. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang

c. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ekstradisi

2) Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang dan buku yang berkaitan dengan ekstradisi. Dan juga berupa artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya.

3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

(21)

Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.32

Dalam bab ini dibahas mengenai adanya hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian tindak pidana pencucian uang; objek pencucian uang; pengertian ekstradisi; unsur-unsur ekstradisi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Dalam bab ini dibahas mengenai perumusan tindak pidana pencucian menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, perbuatan pidana lain yang termasuk dalam tindak pidana pencucian uang dan juga proses pencucian uang tersebut.

BAB III URGENSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG MELARIKAN DIRI KE LUAR NEGERI

32

(22)

pencucian uang, perjanjian ekstradisi sebagai upaya kerjasama dengan negara lain dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang melarikan diri ke luar negeri. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Analisis karakteristik gempa di kota Bengkulu dibagi dalam beberapa analisis sederhana, yaitu penentuan frekuensi kejadian gempa dalam rentang tahun yang ditinjau,

Mengetahui hubungan paparan intensitas getaran mesin, usia, masa kerja, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan jumlah rokok yang dikonsumsi dengan keluhan nyeri punggung bawah

Dalam surat al-Qiya>mah ayat 37-39 telah dijelaskan bahwa ‚manusia dahulu berasal dari mani yang ditumpahkan (kedalam rahim) kemudian mani itu menjadi segumpal darah,

Bencana alam dapat menyebabkan kondisi lingkungan yang merugikan seperti banjir atau angin kencang+ Kerusakan structural dari kejadian seperti gempa bumi dapat mengubah

Dalam analisis multivariate adanya outliers dapat diuji dengan statistik chi square (x 2 ) terhadap nilai mahalanobis distance square pada tingkat signifikan 0,001 dengan

TOPSIS adalah salah satu metode pengambilan keputusan multikriteria atau alternatif pilihan yang merupakan alternatif yang mempunyai jarak terkecil dari solusi ideal positif dan

scientific, yaitu mendorong serta membimbing siswa dalam proses pengamatan. Hal ini terlihat dari beberapa kali observasi yang dilakukan, yaitu dalam hal

Hal ini berarti bahwa likuiditas (CR), leverage (DER) dan ukuran perusahaan (Total Aktiva) tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu penyajian