Biasanya ujian semester identik dengan perasaan beban. Tapi ujian semester mata kuliah Pengantar Kitab Suci kali itu bagi saya sangat menyenangkan. Saya menikmati persiapannya, juga menikmati proses ujiannya. Saat selesai menulis jawaban pertanyaan ujian pada lembar jawaban, saya menyempatkan diri untuk menulis ucapan terima kasih pada dosen pengampu, Pater Wim Van Der Weiden. Nilai akhir ujian saya tidak terlalu istimewa. Ada banyak teman yang mendapatkan nilai yang jauh lebih bagus dari yang saya dapatkan. Bagi saya itu tak soal, sebab saya mendapatkan makna yang jauh lebih berlimpah ketimbang angka nilai yang dikonversi menjadi IPK.
Saat awal mengikuti mata kuliahnya, saya duduk di tempat paling belakang (tempat favorit selama empat tahun kuliah). Kemudian, saya mencoba pindah ke tengah karena saya merasa tertarik dengan cara beliau menceritakan sejarah kitab suci seperti seorang kakek yang sedang mendongeng pada cucunya.
Waktu itu beliau “bercerita” tentang kisah Musa menyebrangi laut merah bersama orang-orang Israel. Sebagai yang awam tentang sejarah kitab suci, saya tentu memiliki prasangka bahwa kisah tersebut merupakan kisa sejarah yang pernah terjadi sama persis seperti apa yang tertulis di dalam kitab suci. Beliau bilang, “apakah kisah itu terjadi sama persis seperti yang ditulis dalam kitab suci? Tidak ada yang tahu. Yang jelas bahwa kisah itu tak langsung ditulis setelah orang-orang Israel selesai menyebrangi laut Merah”. Beliau menjelaskan bahwa kisah itu diceritakan turun-temurun, dari generasi ke generasi. Kemudian ada satu generasi yang merasa penting untuk menulis kembali kisah tersebut agar menjadi pegangan bagi generasi selanjutnya. Pertanyaannya adalah apakah generasi yang menulis kisah tersebut menulis sebuah kisah yang disaksikannya sendiri? Tentu saja tidak, mereka menulis sebuah kisah yang telah turun-temurun diceritakan. Ada banyak penambahan dan pengurangan kisah asli tersebut. Dalam istilah pater Wim, ada banyak hal yang sudah “dipompa-pompa” sehingga cerita tersebut terdengar prestisius. Lalu apakah kita mesti meninggalkan kitab suci setlah tahu bahwa kisah tersebut memiliki fakta historis yang tidaak bisa diandalkan?
Sabar dulu. Pater Wim menggunkan analogi yang sangat menarik untuk menjelaskan itu. Beliau katakan, “Saat kamu ke Lela, kamu menggunakan sepeda atau motor bukan? Itu karena sepeda memang merupakan alat tranportasi yang fungsinya memudahkan perjalananmu. Sekarang misalnya bajumu sobek, apa yang kamu gunakan untuk memperbaikinya? Apakah kamu gunakan sepeda untuk menjahit bajumu? Tentu saja tidak karena bajumu akan semakin rusak jika kamu gunakan sepeda untuk menggilas bajumu dan berharap baju itu akan menjadi seperti semula. Kamu tentu harus gunakan mesin jahit, karena fungso mesin jahit adalah sebagai sarana untuk memudahkanmu memperbaiki bajumu yang sobek. Begitu juga dengan kitab suci. Kalau kamu menggunakan kitab suci untuk belajar sejarah, kamu salah besar. Begitu juga kalau kamu gunakan kitab suci untuk belajar sains, kamu juga keliru. Kitab suci adalah buku iman”. Yang ditulis di dalam kitab suci adalah kisah iman. Bahwa ada beberapa fakta sejarah yang tepat, atau bahwa ada fakta ilmiah yang tepat itu wajar. Juga demikian halnya jika terdapat fakta sejarah yang keliru atau fakta tertentu yang diragukan status ilmiahnya. Yang menjadi tujuan kitab suci ditulis adalah bahwa makna kisah iman itu diwariskan dan dihidupkan kembali dalam konteks sehari-hari.