10
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang berakal budi, sehingga manusia
mampu mengembangkan kemampuan yang spesisifik, yang menyangkut daya
cipta, rasa maupun karsa. Dengan akal budinya, maka kemampuan bersuara bisa
menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi serta juga menyebabkan
manusia mampu berpikir abstrak dan konseptual sehingga manusia disebut
sebagai makhluk pemikir.
Manusia adalah mahkluk yang memiliki akal dan tujuan dalam menjalani
kehidupannya. Tujuan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, beberapa
diantaranya yaitu dari segi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Tujuan ini dapat
terwujud apabila manusia memiliki ilmu pengetahuan yang cukup di berbagai
aspek dalam kehidupan. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang
digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan
pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan
gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu.1
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan
seseorang dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas
pula pengetahuannya. Tujuan dari pendidikan sudah tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk meningkatkan
1
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang serta untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.2
Untuk mencapai tujuan dari pendidikan tersebut, diperlukan
penyelenggaraan pendidikan yang baik. Pendidikan haruslah diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa, serta diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna.
Serta membantu terwujudnya
tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke
IV yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
3
Pengelolaan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional merupakan
tanggung jawab pemerintah melalui menteri. Dimana pemerintah
menyelenggarakan sekurang – kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan dan pemerintah daerah melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan
penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota
untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sementara penyelenggaraan
Perguruan Tinggi memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan di lembaganya.
2
Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 3
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam proses perkembangan di masyarakat. Karena Pendidikan Tinggi merupakan
jenjang pendidikan tertinggi, setelah pendidikan menengah yang mencakup
program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan
program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh Perguruan
Tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.4
Salah satu bentuk badan penyelenggara Perguruan Tinggi yang lazim
ditemukan di masyarakat adalah berbentuk badan hukum Yayasan. Yayasan
adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunnyai anggota.
Satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi adalah
Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi tersebut berdasarkan penyelenggaranya
terbagi atas dua, yaitu Perguruan Tinggi negeri dan Perguruan Tinggi swasta.
Perguruan Tinggi negeri merupakan Perguruan Tinggi yang didirikan dan
diselenggarakan oleh pemerintah, sedangkan Perguruan Tinggi swasta adalah
Perguruan Tinggi yang didirikan oleh masyarakat.
5
Sebagai badan penyelenggara Perguruan Tinggi, Yayasan terbagi dalam
organ – organ Yayasan yang terdiri dari tiga organ yaitu:
Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta
pendirian Yayasan memperoleh pengesahan dari kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
4
Pasal 1 Butir 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
5
1. Pembina Yayasan adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang
tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas yang terdiri dari orang
perseorangan yang merupakan pendiri Yayasan dan atau mereka yang
berdasarkan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi
untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.6
2. Pengurus Yayasan adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan
Yayasan yang diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina
untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk
satu kali masa jabatan. Pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian
pengurus harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalam
anggaran dasar Yayasan, dan pengurus dapat diganti setiap saat sebelum masa
jabatannya berakhir jika dinilai oleh Pembina melakukan tindakan yang
merugikan Yayasan.7
3. Pengawas Yayasan adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan
pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan
kegiatan Yayasan. Pengawas Yayasan diangkat dan sewaktu waktu dapat
diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina sesuai dengan ketentuan
dalam anggaran dasar, serta dapat memberhentikan pengurus Yayasan untuk
sementara dengan mengemukakan alasan-alasan pemberhentian dan
melaporkan dalam jangka waktu yang ditetapkan kepada Pembina dan pembina
6
Chatamarrasjid Ais, Op.Cit.,Hal. 10 7
yang akan menentukan apakah pengurus diberhentikan untuk seterusnya atau
pemberhentiannya dibatalkan.8
Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan berarti sangat
bergantung terhadap organ – organ Yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan.
Hal ini berarti organ – organ Yayasan adalah pihak yang dapat menyelenggarakan
pendidikan tersebut. Terutama pengurus Yayasan yang memiliki peran sangat
dominan dalam melaksanakan kegiatan Yayasan, dalam hal ini penyelenggaraan
pendidikan.
Berbagai masalah timbul dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,
baik itu permasalahan non akademis sampai permasalahan akademis.
Permasalahan yang timbul disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya keadaan
sosial di masyarakat, pengaruh negatif dari media ataupun konflik internal dari
penyelenggara pendidikan yang berdampak terhadap para siswanya. Dalam
beberapa tahun terakhir sering terdengar di media bahwa terjadi permasalahan
penyelenggaraan pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi, dimana kasus yang
terjadi banyak Perguruan Tinggi swasta yang dinyatakan illegal. Contohnya
adalah kasus PTS Universitas Generasi Muda (UGM) Medan dan Universitas of
Sumatera9
8
Ibid, Hal. 19
, dimana Perguruan Tinggi swasta tersebut dinyatakan illegal karena
dituduh tidak memiliki izin operasional untuk menyelenggarakan pendidikan,
namun tetap membuka penerimaan mahasiswa dan tetap memberikan ijazah
kepada mahasiswanya.
9
Medan Bisnis Daily, Dua PTS Dilaporkan Kopertis Ke Kepolisian, diakses dari:
Permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di
Perguruan Tinggi tidak dapat dipisahkan dengan undang undang yang berkaitan
dengan sistem pendidikan nasional dan Pendidikan Tinggi. Undang – undang no
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengatur mengenai
ketentuan pidana dari penyelenggaraan pendidikan tanpa izin dalam Pasal 71
dimana Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah
atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dan juga mengenai ketentuan
pidana tentang pemberian ijazah tanpa hak yaitu Pasal 67 ayat (1) dimana
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan
ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sementara Undang –
undang no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga mengatur mengenai
penyelenggara Pendidikan Tinggi yang terdapat di dalam Pasal 42 ayat (4) dimana
penyelenggara Pendidikan Tinggi harus memiliki hak untuk memberikan ijazah,
dan apabila melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).10
Salah satu kasus penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yang juga
menjadi sorotan di masyarakat adalah kasus penyelenggaraan pendidikan oleh
10
Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) yang disebabkan oleh konflik
internal Yayasan sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan legalitas dan
izin operasional pendidikan. Permasalahan ini berujung ke permasalahan pidana
terhadap penyelenggaraan pendidikan dimana Mahkamah Agung RI melalui
putusan No: NO 275 K/PID.SUS/2012 akhirnya menjatuhkan pidana terhadap
pengurus Yayasan UISU yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan
tanpa izin, dimana dalam putusan tersebut, yang dijatuhkan pidana adalah
pengurus Yayasan, dalam hal ini ketua Yayasan Universitas Islam Sumatera
Utara. Hal ini perlu dikaji lebih dalam karena dalam Kasus Yayasan UISU
tersebut yang menjadi penyebab permasalahan izin penyelenggaraan pendidikan
tersebut dikarenakan adaya konflik internal dari Pengurus Yayasan.
Izin penyelenggaraan pendidikan merupakan hal yang esensial dalam
penyelenggaraan pendidikan di Universitas, karena apabila suatu universitas tidak
memiliki izin penyelenggaraan, pihak yang paling dirugikan adalah mahasiswa
serta alumni lulusan universitas tersebut. Ijazah yang dikeluarkan oleh Universitas
yang tidak memiliki izin dianggap tidak sah dan tidak berlaku, dan gelar
akademik yang diperoleh tidak dapat digunakan. Hal ini akan berpengaruh
terhadap kepentingan mahasiswa kedepannya karena akan kesulitan untuk
mendapatkan pekerjaan di masa depan.
Berdasarkan latar belakang diatas serta berbagai permasalahan yang terjadi
di dunia pendidikan, terutama masalah tentang pertanggungjawaban pidana oleh
pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin serta tindak pidana
berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan kepentingan dunia pendidikan
di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi pokok
permasalahan dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan
pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan perspektif hukum positif di
Indonesia?
2. Bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan
tanpa izin?
3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan dalam
penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan
mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/2012 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan
dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan
pendidikan di Perguruan Tinggi.
2. Untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana terhadap penyelenggaraan
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan dalam
penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan
mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/ 2012.
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain sebagai
berikut :
1. Secara Teoritis.
Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang
pada suatu saat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan
ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa
izin.
2. Secara Praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi
Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat.
b. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah
waawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus
Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.
D. Keaslian Penelitian
Adapun judul dari skripsi ini adalah “Pertanggungjawaban Pidana
Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan
Tentang Yayasan UISU)”. Pembahasan pada skripsi ini dititikberatkan untuk
melihat aspek pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan yang
menyelenggarakan pendidikan tanpa izin di Perguruan Tinggi.
Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta jurnal online
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Jurnal Mahupiki),
belum ada judul yang membahas mengenai dengan pertanggungjawaban pidana
oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin, sehingga
dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah tindakan yang dinilai melanggar ketentuan KUHP.
Maksudnya ialah dimana bila ada seseorang melakukan tindakan melanggar
hukum maka orang tersebut dapat dikenai salah satu Pasal dalam KUHP, yang
dimaksud pelanggaran adalah tindakan menurut hukum yang berlaku tidak boleh
dilakukannya misalnya melakukan tindakan penadahan. Dapat dimengerti apa
yang dimaksudkan dengan istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda
strafbaar feit yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku Indonesia, ada istilah
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dilakukan
merupakan “subyek” tindak pidana.11
Didalam peraturan perUndang – undangan di Indonesia tidak ditemukan
definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini
merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.12 Para ahli hukum pidana umumnya
masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana.
Demikian dengan apa yang didefinisikan oleh simons dan van hamel. Simons
mengatakan strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana,
bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggungjawab.13 Sedangkan Van Hamel mengatakan
bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang –
undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan.14
Dalam hukum pidana di Indonesia, sebagaimana di Negara – Negara civil
law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun
demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan
perUndang – undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara
bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Tindak pidana berisi larangan
terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama – tama suatu tindak pidana berisi
11
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT.Eresco, 2000), Hal. 55
12
Chairul Huda, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), Hal. 26
13
S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia danPpenerapannya, ( Jakarta: Alumni Ahaem-Pthaem, 1986), Hal. 205
14
larangan terhadap kelakuan – kelakuan tertentu. Tindak pidana berisi rumusan
tentang akibat – akibat yang terlarang untuk diwujudkan15
2. Pertanggungjawaban Pidana
.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang
pembunuhan, perampokan, dsb)16. Hal pertama yang perlu diketahui mengenai
pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya
dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana.
Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi
pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana17
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat
(liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur
suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai factor
penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur
mental dalam tindak pidana. Setiap sistem hukum modern mengadakan
pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah
melakukan tindak pidana. Baik di Negara – Negara civil law maupun common
law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negative. Hal ini
. Dengan demikian,
pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak
pidana.
15
Chairul Huda, Op.Cit, Hal. 31 16Kamus Besar Bahasa Indonesia
, Edisi Kedua, (Jakarta Balai Pustaka, 1991), hal. 1006 17
berarti, dalam hukum pidana di Indonesia, sebagaimana sistem civil law lainnya,
Undang – undang justru merumuskan keadaan – keadaan yang dapat
menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.18 Dengan demikian, yang
diatur adalah keadaan – keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak
dipidana, yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan
dalam praktik peradilan di negara –negara common law, diterima berbagai alasan
umum pembelaan (General Defence) ataupun alasan umum peniadaan
pertanggungjawaban (general excusing liability)19
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan alasan
penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan
sepanjang pembuat tidak memiliki ‘defence’, ketika melakukan suatu tindak
pidana. Dalam lapangan acara pidana hal ini berarti seorang terdakwa dipandang
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat
membuktikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak
pidana itu. Untuk menghindari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat
membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika
melakukan tindak pidana.20
Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa
atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan
hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang
adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus
18
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1983), Hal. 260 19
Chairul Huda, Op.Cit, Hal. 63 20
dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk
adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah:
a. Melakukan perbuatan pidana
b. Mampu bertanggung jawab
c. Dengan sengaja atau kealpaan
d. Tidak adanya alasan pemaaf
3. Penyelenggaraan Pendidikan
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah pengaturan, perencanaan,
pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi
pelaksanaan jalur, jenjang, dan jenis Pendidikan Tinggi oleh Menteri untuk
mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.21
Penyelenggaraan pendidikan merupakan sistem pelaksanaan pendidikian
baik dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat/ swasta. Setiap
satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin
Pemerintah Penyelenggaraan pendidikan tanpa izin merupakan salah satu tindak
pidana di bidang pendidikan. tujuan pendidikan pada hakekatnya memiliki
orientasi yang sangat mulia, namun di sisi lain bahwa dalam pelaksanaan
pendidikan sering terjadi pelanggaran – pelanggaran terhadap norma – norma
hukum atau kaidah – kaidah hukum yang ada. Pelanggaran-pelanggaran terhadap
21
kaidah-kaidah normatif pendidikan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
pendidikan.22
a. Dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan yang ada di
dalamnya
Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa tindak pidana pendidikan adalah
suatu sikap tindak yang :
b. Berupa kejahatan ataupun pelanggaran dengan segala tujuannya
c. Baik disengaja maupun tidak disengaja
d. Pelakunya dapat siapa saja , baik ia itu seorang pengajar baik di dalam
ataupun di luar lembaga pendidikan formal, ataupun seorang murid,
ataupun pihak orang tua/wali murid ataupun mungkin juga orang lain lagi
yang sikap tindaknya baik secara langsung ataupun tidak langsung
mendatangkan pengaruh yang buruk pula terhadap kelangsungan suatu
pendidikan, baikpendidikan tersebut bersifat formal maupun nonformal
e. Berwujud sebagai suatu kesalahan baik yang sudah di atur maupun yang
belum di atur secara yuridis dalam peraturanperaturan hukum yang
berlaku23
4. Badan Hukum Yayasan
Yayasan merupakan salah satu badan hukum yang melaksanakan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Yayasan adalah badan hukum yang
terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di
22
A. Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan Suatu Ttinjauan Filosofis-Edukatif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 108
23
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai
anggota.24
1. Pembina
Dalam pelaksanaannya Yayasan terdiri dari tiga organ Yayasan
yaitu:
Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang
tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang – undang
ini atau anggaran dasar, kewenangan Pembina Yayasan meliputi25
a. Keputusan mengenai perubahan anggaran dasar
:
b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota
pengawas
c. Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan anggaran dasar
d. Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan
e. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran
Yayasan.
Anggota Pembina diangkat dari orang – perseorangan yang adalah
pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan rapat anggota
Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud
dan tujuan Yayasan. Pembina mempunyai semua kewenangan yang tidak
diserahkan, baik kepada pengurus maupun pengawas oleh Undang –
undang ataupun anggaran dasar.26
24
Chatamarrasjid Ais, Op.Cit.,Hal. 2 25
Pasal 28 ayat (2) Undang – undang RI no 16 tahun 2001 tentang Yayasan Jo. Undang – undang No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang undang No 16 tahun 2001 tentang Yayasan
26
Pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya harus menjadi Pembina.
Anggota Pembina dapat dicalonkan oleh penguus atau pengawas.
Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus
dan/atau anggota pengawas. Selanjutnya, anggota Pembina, pengurus,
dan pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai anggota organ suatu
badan usaha yang didirikan Yayasan bersangkutan atau badan usaha di
mana Yayasan bersangkutan menanamkan modalnya.27
2. Pengurus
Peranan pengurus sangat dominan pada suatu organisasi. Pengurus
adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.
Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau pengawas.
Larangan perangkapan jabatan dimaksud untuk menghindari
kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggungjawab
antara Pembina, pengurus, dan pengawas yang dapat merugikan
kepentingan Yayasan atau pihak lain.28
Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan
rapat Pembina untuk jangka waktu selama lima tahun dan dapat
diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pengangkatan,
pemberhentian, dan penggantian pengurus harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang terdapat di dalam anggaran dasar Yayasan.
Pengurus dapat diganti setiap saat sebelum masa jabatannya berakhir
jika dinilai oleh Pembina melakukan tindakan yang merugikan
27Ibid
, Hal. 11 28
jabatan.29
Pengurus Yayasan, sesuai dengan asas persona standi in judicio,
mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan. Jika pengurus
melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan, anggaran
dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan
bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih
dahulu dari Pembina dan atau pengawas, misalnya untuk menjaminkan
kekayaan Yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit.
Selanjutnya pengurus Yayasan juga dilarang mengadakan perjanjian
dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, organ Yayasan,
dan karyawan Yayasan, kecuali bila perjanjian tersebut bermanfaat
bagi tercapainya tujuan Yayasan. Pengurus yang dinyatakan bersalah
oleh pengadilan dalam mengurusi suatu Yayasan, selama lima tahun
sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat
menjadi pengurus Yayasan manapun.
Susunan pengurus Yayasan terdiri dari ketua, sekretaris dan
bendahara.
30
3. Pengawas
Pengawas merupakan organ Yayasan yang bertugas melakukan
pengawasan terhadap pengurus Yayasan. Wewenang, tugas dan
tanggung jawab pengawas Yayasan diatur dalam anggaran dasar
Yayasan itu sendiri. Pengawas tidak boleh merangkap sebagai
Pembina atau pengurus. Pengawas diangkat dan sewaktu – waktu
29Ibid
. 30
dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina sesuai
dengan ketentuan dalam anggaran dasar.
Pengawas dapat memberhentikan pengurus untuk sementara
dengan mengemukakan alasan alasan pemberhentian dan melaporkan
dalam jangka waktu yang ditetapkan kepada Pembina dan Pembina
yang akan menentukan apakah pengurus diberhentikan untuk
seterusnya atau justru pemberhentian dibatalkan.31
Pengawas dalam melakukan tugasnya harus berdasarkan ”duty of
skill and care”, yaitu harus berdasarkan kecakapan dan kehati – hatian
yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengawas. Oleh karena itu, bila
kepailitan terjadi karena kesalahan dan atau kelalaian, seperti juga
pada pengurus, setiap anggota pengawas secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian tersebut, kecuali anggota yang dapat
membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaian
anggota tersebut. Anggota pengawas yang dinyatakan bersalah
berdasarkan putusan pengadilan, dalam jangka waktu paling lama lima Pengawas diangkat oleh Pembina untuk jangka waktu lima tahun
dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pembina
wajib memberitahukan secara tertulis perihal penggantian ini kepada
menteri hukum dan hak asasi manusia, dan kepada instansi terkait.
Penggantian pengawas harus sesuai dengan anggaran dasar.
31
tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat
menjadi pengawas Yayasan manapun.32
Dalam penelitian skripsi ini, metode penelitian diperlukan agar lebih
terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum
normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap
norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan – peraturan mengenai
pertanggungjawaban pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan
tanpa izin. Selain itu juga untuk memperoleh data maupun keterangan yang
terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs
internet, Koran dan sebagainya F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
33
Penggunaan metode hukum normatif dimaksudkan untuk meneliti
berbagai bacaan yang mempunyai sumber relevansi dengan judul skripsi ini yang
dapat diambil secara teoritis ilmiah sehingga dapat menganalisa permasalahan
yang dibahas dalam skripsi ini. Penelitian hukum normative seringkali hukum
dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perUndang – undangan .
32Ibid
, Hal. 20 33
atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang
dianggap pantas.34
Sifat penelitian yang dipergunakan adalah menggunakan metode penelitian
deskriptif yang bertujuan menggambarkan keadaan objek atau masalah tanpa
maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum.
Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan
yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang menjadi objek kajian. 2. Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perUndang – undangan yang
ada sudah cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada berkaitan
dengan pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan
pendidikan tanpa izin.
3. Sifat Penelitian
35
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat
yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini. Seperti berbagai peraturan perundang undangan yang
meliputi Undang – undang, peraturan pemerintah, dll. 4. Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan data sekunder yang terdiri atas:
34
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 118
35
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang
memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku –
buku, dan pendapat para ahli hukum.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus
hukum, dan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
5. Teknik Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan
dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku, literatur, peraturan
perundang-undangan dan artikel yang selanjutnya dicatat relevansinya dalam
rangka memecahkan masalah.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat
ditafsirkan. Dalam hal ini, analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif
yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.
Dengan demikian maka setelah data primer dan data sekunder berupa
dokumen diperoleh lengkap, selanjutnya dianalisis dengan peraturan yang
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap bab terbagi lagi atas tiap sub –
sub bab, agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini yang digambarkan
sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan, sub bab ini merupakan gambaran umum yang berisi
tentang , Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode
Penelitian, dan Sistematika penulisan.
BAB II: Pembahasan mengenai kedudukan pengurus Yayasan dalam
penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan
hukum positif di Indonesia, yang dimulai dengan bagaimana tugas
dan wewenang dari pengurus Yayasan sebagai organ Yayasan,
kemudian mengenai kedudukan pengurus Yayasan dalam
penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi.
BAB III: Pembahasan mengenai pengaturan ketentuan tindak pidana
penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yaitu ditinjau dari Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional dan dari undang undang Republik Indonesia
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
BAB IV: Pembahasan mengenai aspek pertanggungjawaban pengurus
Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi
berdasarkan putusan MA no 275 K/ Pid.Sus/ 2012 yang dimulai
penyelenggara pendidikan, kemudian dilanjutkan pembahasan
putusan mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/ 2012 dimulai dari
kronologi kasus, dakwaan, tuntutan, putusan, serta analisis putusan
tersebut.
BAB V: Kesimpulan dan Saran. Merupakan rangkaian dari bab – bab
sebelumnya yang memuat kesimpulan berdasarkan uraian skripsi