• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Pada umumnya perbuatan persetubuhan dapat dilakukan dengan pemaksaan

yang lebih dikenal dengan pemerkosaan dan dapat dilakukan tanpa pemaksaan.

Hukum positif yang berlaku di Indonesia telah mengatur perbuatan persetubuhan

secara umum terhadap orang yang dewasa dan anak-anak dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan secara khusus jika dilakukan terhadap anak

diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

serta jika dilakukan terhadap orang yang masih termasuk dalam hubungan keluarga

diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

A. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pada umumnya jika membicarakan tentang hukum pidana, maka yang

dimaksudkan ialah peraturan-peraturan pidana yang terkumpul dalam suatu kitab

yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disingkat KUHP (Wetboek van

Strafrecht = H.v.S).133 E. Utrech mengatakan, bilamana orang mengatakan hukum

pidana maka pada umumnya yang dimaksud adalah hukum pidana materiil.134

133

C.S.T. Kansil, Op.Cit, hlm. 245. 134

(2)

Hukum pidana materil adalah hukum yang berisi tentang aturan tingkah laku

(perbuatan) yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai

macam pidana yang dapat dijatuhkan.135 Satochid Kartanegara menulis, hukum

pidana materil berisi peraturan-peraturan tentang perbuatan apa yang dapat dipidana

(masalah tindak pidana-pen), siapa-siapa yang dapat dipidana (masalah

pertanggungjawaban pidana-pen) dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap

pelanggar hukum (penjatuhan pidana-pen).136 Singkatnya hukum pidana materil

mengatur tentang apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum.137

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHP

memasukkan perbuatan persetubuhan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau

kejahatan terhadap kesopanan.138 Andi Hamzah139

Persetubuhan secara sederhana diartikan sebagai aktifitas/ hubungan seksual

yang umum dilakukan untuk memperoleh kenikmatan seksual atau untuk proses

memperoleh anak. Persetubuhan dengan demikian bukanlah sebuah bentuk kejahatan

tapi merupakan perbuatan manusiawi karena lumrah dilakukan bahkan merupakan menyatakan bahwa kesusilaan

(goede zeden) adalah kesusilaan moral dengan norma kesopanan, khususnya dibidang

seksual.

135

E. Y. Kanter & S. R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 20. 136

Satochid Kartanegara, Op.Cit, hlm. 1 137

C.S.T. Cansil, Op.Cit, hlm. 249. 138

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), dan R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesusilaan” sedangkan R. Soesilo, Op.Cit, mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesopanan”.

139

(3)

kebutuhan kodrati. Sifat jahat terhadap aktifitas seksual ini kemudian melekat jika itu

dilakukan tidak sesuai dengan hukum sehingga disebutlah perbuatan itu sebagai

kejahatan seksual.

Terminologi persetubuhan dan terminologi pencabulan memiliki perbedaan

prinsipil secara yuridis. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar

kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu

berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba

buah dada dan sebagainya.140 Menurut J. M. Van Bemmelen sebagaimana dikutip

oleh Neng Djubaedah,141

KUHP secara tegas memisahkan pengaturan perihal persetubuhan dengan

perbuatan cabul mengindikasikan bahwa kedua perbuatan ini secara hukum memiliki

perbedaan. Tindak pidana pencabulan terhadap orang dewasa diatur dalam Pasal mengemukakan bahwa perbuatan cabul itu termasuk

persetubuhan dan homoseksualitas atau perbuatan cabul yang bertentangan dengan

alam.

Perbuatan cabul tidak mengharuskan adanya hubungan kelamin asal saja

perbuatan itu dinilai sebagai pelanggaran kesusilaan dalam ruang lingkup nasfu

berahi, tetapi persebutuhan mengharuskan adanya hubungan kelamin. Perbuatan

cabul dengan demikian lebih mengandung pengertian yang lebih luas dari pengertian

persetubuhan sehingga dikatakan bahwa persetubuhan termasuk perbuatan cabul

tetapi perbuatan cabul tidak selalu dapat dikatakan persetubuhan.

140

R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 212. 141

(4)

289142, Pasal 290 ayat (1)143, Pasal 294 ayat (2) KUHP144, sedangkan pencabulan

yang dilakukan khusus terhadap orang belum cukup umur 15 tahun diatur dalam

Pasal Pasal 290 ayat (2) dan (3) KUHP145, pencabulan terhadap orang yang belum

dewasa diatur dalam Pasal 292146, Pasal 293147 dan Pasal 294 ayat (1) KUHP148

142

Pasal 289 KUHP berbunyi: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusak kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan.

143

Pasal 290 ayat 1 KUHP berbunyi: Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

144

Pasal 294 ayat (2) KUHP berbunyi: 2. Dengan hukuman yang serupa dihukum: (1) Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga. (2) Pengurus, dokter, guru, pegawai/pejabat, pengawas, atau pembantu suatu lembaga pemasyarakatan, lembaga kerja negara, lembaga pendidikan, rumah yatim piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa, atau lembaga-lembaga kebajikan, yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan seseorang yang dimasukkan ke dalamnya.

145

Pasal 290 ayat 2 dan 3 KUHP berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: (2) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. (3) Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain.

146

Pasal 292 KUHP berbunyi: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum dewasa, diancam pidana penjara paling lama lima tahun.

147

Pasal 293 KUHP berbunyi: (1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyelahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaaan, atau dengan menyesatkan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. (3)Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 (sembilan) bulan dan 12 (dua belas) bulan.

148

Pasal 294 ayat (1) KUHP berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa , diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(5)

sementara itu ketentuan Pasal 295 KUHP149 adalah mengatur tentang menyebabkan/

memudahkan pencabulan oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak

asuhnya yang belum dewasa dengan pihak ketiga orang lain dan jika mangadakan

atau memudahkan perbuatan cabul itu menjadi pencaharian atau kebiasaan diatur

dalam Pasal 296 KUHP150

James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Neng Jubaidah,

. Keseluruhan pasal-pasal terkait tindak pidana pencabulan

dalam KUHP dimaksud tidak akan dibahas dalam tulisan ini secara luas, karena fokus

pembahasan tulisan ini adalah tentang tindak pidana persetubuhan.

151

1) Forcible rape, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang perempuan dengan menggunakan ancaman pemaksaan dan kekerasan yang menakutkan.

merumuskan

beberapa hubungan seksual yang termasuk kejahatan seksual (sexual offences)

diantaranya:

2) Statory rape, yaitu hubungan seksual yang telah dilakukan dengan seorang perempuan di bawah usia yang ditentukan (biasanya 16 tahun atau 18 tahun, tetapi kadang-kadang 14 tahun) dengan atau tanpa persetujuan dari perempuan tersebut.

3) Fornication, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang tidak (belum) dalam ikatan perkawinan.

149

Pasal 295 KUHP berbunyi: 1. Diancam: (1.1) Dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak yang dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain. (1.2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain. 2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

150

Pasal 296 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

151

(6)

4) Adultery, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sekurang-kurangnya salah satu dari mereka terikat perkawinan dengan orang lain.

5) Incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, antar saudara kandung, atau antara hubungan darah yang relatif dekat.

6) Sodomy, yaitu perbuatan-perbuatan hubungan seksual yang meliputi: a. Fellatio, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks laki-laki; b. Cunnilingus, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks

perempuan;

c. Buggery, yaitu penetrasi melalui anus;

d. Homosexuality, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya;

e. Bestiality, yaitu hubungan seksual dengan binatang;

f. Pederasty, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang anak laki-laki secara tidak alamiah;

g. Necrophilia, yaitu hubungan seksual dengan mayat.

1. Definisi Anak Menurut KUHP

KUHP tidak mengenal secara spesifik pengertian tentang anak, tetapi hanya

mengenal pengertian ”belum dewasa” atau ”belum cukup umur” (minderjarig).

Walau tidak ada pembatasan umur secara tegas tentang anak dalam KUHP, tetapi

tidak menjadikan pengertian anak dalam KUHP tidak ada sama sekali. Pengertian

anak dalam KUHP selalu terikat dengan ketentuan pasal yang terkait misalnya

tentang anak yang berumur di bawah 12 tahun, anak berumur di bawah 15 tahun,

anak yang berumur di bawah 16 tahun dan anak yang berumur di bawah 17 tahun

sehingga kesemuanya memiliki fungsi dan kepentingan yang berbeda. Anak versi

KUHP adalah dipandang dari berbagai sudut kepentingannya yang secara langsung

tertuang dalam pasal-pasal terkait. Keseluruhan pengertian anak tersebut termasuk

dalam kategori orang yang belum dewasa atau belum cukup umur yang lebih dikenal

(7)

Anak yang berumur di bawah 12 tahun misalnya dipergunakan sebagai dasar

untuk penuntutan tanpa pengaduan korban. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 287

ayat 2 KUHP yang berbunyi: ”Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan,

kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu

hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.”152

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahunn atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat kawin.

Anak yang berumur di bawah 15 tahun dipergunakan sebagai syarat khusus

yang diharapkan diketahui oleh pelaku misalnya dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP dan

Pasal 290 angka 2 dan 3 KUHP. Pasal 290 angka (2) dan (3) berbunyi:

2. Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin.

Anak yang berumur di bawah 16 tahun dipergunakan sebagai pedoman bagi

hakim dalam penjatuhan hukuman (pemidanaan). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal

45 KUHP yang berbunyi:153

152

Pasal 291 KUHP adalah tentang perbuatan persetubuhan yang berakibat luka berat pada tubuh atau mati sedangkan Pasal 294 KUHP adalah tentang perbuatan cabul terhadap anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa atau anak yang belum dewasa yang pemiliharaanya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya.

153

(8)

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan itu merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaaran berdasarkan pasal-pasal 489,..”

Anak yang berumur di bawah 17 tahun dipergunakan sebagai syarat khusus

yang diharapkan diketahui oleh pelaku dalam bidang mempertunjukkan tulisan atau

gambar yang menyinggung perasaan kesopanan. Ketentuan ini misalnya diatur dalam

Pasal 283 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9000,- dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa orang itu belum cukup umur 17 tahun suatu tulisan, suatu gambar atau suatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau suatu cara yang dipergunakan untuk mencegah atau mengganggu kehamilan, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu diketahuinya.

Secara umum pengertian-pengertian belum cukup umur atau belum dewasa

dalam KUHP adalah semakna dengan pengertian anak sebagai lawan kata dari

dewasa. Menurut L.N. 1931 No. 54, pengertian ”belum dewasa” bagi orang Indonesia

adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin.154

4 ini kemudian telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.1/ PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 yang menegaskan bahwa batas usia anak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum yaitu minimal berumur 12 (dua belas) tahun. Putusan MK ini sejalan dengan batas usia yang telah direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment

pada 10 Februari 2007. 154

R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 61.

(9)

sudah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, tetapi sudah kawin atau

pernah kawin.155

2. Persetubuhan Dengan Paksaan Dalam KUHP

Persetubuhan dengan paksaan umumnya lebih dikenal dengan istilah

pemerkosaan. Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai

"penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain

atau suatu benda-bahkan jika dangkal-dengan cara pemaksaan baik fisik atau

non-fisik.”156 Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pemerkosaan sebagai suatu

proses atau cara perbuatan memerkosa, sedangkan perkosa atau memerkosa berarti

menundukkan dengan kekerasan atau memaksa dengan kekerasan.157

Tindak pidana pemerkosaan (verkrachting) diatur secara spesifik dalam Pasal

285 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman

akan memakai kekerasan memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin

158

155

Ibid, hlm. 216.

di luar pernikahan dengan dirinya, karena bersalah melakukan perkosaan dipidana

dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Jika pemerkosan itu

mengakibatkan korbannya mati maka pelaku diancam hukuman penjara

selama-lamanya lima belas tahun (Pasal 291 ayat 2 KUHP).

156

157

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1059. 158

(10)

Merujuk ketentuan Pasal 285 KUHP di atas dapat diambil beberapa syarat

penting yang harus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai pemerkosaan yaitu :

a) Adanya hubungan kelamin di luar perkawinan.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.159 Perkawinan menurut hukum

Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholitdhan

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.160

Van Vemmellen dan Van Hattum berpendapat bahwa untuk adanya suatu

perbuatan hubungan kelamin tidak disyaratkan telah terjadinya suatu ejaculatio

seminis, melainkan cukup jika orang telah memasukkan penisnya161 kedalam

vagina162 seorang wanita.163

159

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 160

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

Arrest tanggal 5 Februari 1912 W. 9292 Hoge Raad

161

Penis darphallus, yang

memiliki arti sama adalah ruan

phallus) dipakai dalam konteks

meneganglingam) adalah salah satu penggambaran falus.

zakar. Banyak masyarakat menganggap organ ini

dibicarakan secara terbuka, berbagai eufemisme (penghalusan kata atau makna) dipakai untuk menyatakannya, seperti "burung", "pisang", dick, atau cock (bahasa Inggris). Fungsi penis secara dan sebagai alat bantu organ kelamin luar yang penting untuk kopulasi. Kopulasi adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan wanita bertujuan memindahkan sel sperma ke saluran kelamin wanita. Lihat Yanti, Buku Ajar: Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta: Pustaka Rihama, 2011), hlm. 39.

162

Vagina kat

berbentuk tabung yang menghubungka

monotrem, dan beberapa jenis

(11)

memutuskan bahwa suatu persinggungan di luar antara alat-alat kelamin pria dan

wanita bukan merupakan persatuan antara alat-alat kelamin yang diperlukan dalam

suatu perkosaan.164 Kiranya cukup jelas tulis P.A.F. Lamintang dan Theo

Lamintang165 bahwa yang tidak dikehendaki oleh ketentuan Pasal 285 KUHP adalah

timbulnya akibat berupa dimasukkannya penis pelaku ke dalam vagina korban,

sehingga pasal ini dapat dikatakan sebagai delik materil.166

Merujuk pendapat di atas, maka penggunaan sarana/ alat berupa alat-alat seks

(sex toys) yang mungkin dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam vagina wanita

walau diluar perkawinan dan dengan paksaan tidak dapat disebut pemerkosaan.

Penetrasi

167

Adanya syarat ini menjadikan hubungan kelamin dalam perkawinan tidak

akan pernah masuk kategori pemerkosaan meskipun dilakukan dengan paksaan. penis terhadap vagina harus benar-benar terjadi jika masih diluar vagina

maka tidak dapat disebut pemerkosaan tetapi termasuk percobaan pemerkosaan.

Bagian yang sudah termasuk bagian dalam vagina ialah jika telah menyentuh labia

minora (bibir dalam vagina).

Disaat rangsangan seksual, ukuran panjang dan lebar vagina akan meningkat. Keelastisan vagina dapat membantu proses dalam ekskresi uterus (rahim) pada haid, untuk jalan lahir dan untuk kopulasi (persetubuhan). Lihat, Yanti,

Op.Cit, hlm. 34.

Delik berarti tindak pidana, merupakan perbuatan melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang. Lihat Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 29-30. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai jika akibat yang dilarang telah terjadi. Sedangkan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai jika tindakan yang dilarang dalam rumusan undang-undang telah terpenuhi. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 237.

167

(12)

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka

perkawinan yang dimaksud disini haruslah merujuk ketentuan undang-undang itu

khususnya ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan yang menegaskan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”.

b) Harus dilakukan terhadap wanita.

R. Soesilo menyatakan bahwa pembuat undang-undang ternyata menganggap

tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk

bersetubuh, bukanlah semata-mata kondisi ini dianggap tidak mungkin tetapi karena

perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak berakibat buruk atau merugikan, justeru

perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak karena itu.168

Ketentuan ini mensyaratkan bahwa objek pemerkosaan itu haruslah seorang

wanita. KUHP menyebutkan adanya berbagai wanita, yaitu wanita yang belum

mencapai usia dua belas tahun (pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum

mencapai usia lima belas tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP),

wanita yang belum dapat dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP) dan wanita pada

umumnya. Adapun yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP ialah wanita pada

umumnya.

169

Adanya syarat ini, menutup kemungkinan laki-laki dapat dianggap sebagai

korban pemerkosaan. Hal ini logis mengingat bukankah mustahil akan berhasil

168

R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 210. 169

(13)

terpenuhi penetrasi sehingga juga tidak mungkin terjadi persetubuhan jika kondisi

laki-laki sedang dalam keadaan terancam atau sedang tidak mood atau psikologisnya

sedang terancam?

c) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa.

Penjelasan yang sangat tepat terhadap maksud kekerasan atau ancaman

kekerasan tidak dijumpai dalam undang-undang baik dalam yurisprudensi. Simon

menyatakan yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap penggunaan tenaga

badan yang tidak terlalu ringan.170 Menurut R. Soesilo171 melakukan kekerasan

artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak

sah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak,

menendang dan sebagainya. Andi Hamzah172

Menurut Hoge Raad dalam arrest tanggal 5 Januari 1914, NJ 1914 halaman

397, W. 9604 dan tanggal 18 Oktober 1915, NJ 1915 halaman 1116, mengenai

ancaman kekerasan disyaratkan yakni:

mendefinisikan ancaman sebagai

tekanan yang ditujukan terhadap kejiwaan psikis orang. Menurut ketentuan Pasal 89

KUHP ditegaskan bahwa “Yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu

membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya”.

173

a. Bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam,

170

Ibid, hlm. 98. 171

R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 98. 172

Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 10. 173

(14)

bahwa yang diancam itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya;

b. Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.

Wujud adanya ancaman kekerasan ini haruslah ditafsirkan secara kasuistis

dengan mempertimbangkan tingkat kematangan kejiwaan dan kognisi (kecerdasan)

korban yang diancam, sehingga dengan membandingkan dengan orang yang rata-rata

sama kematangan jiwa dan kognisinya dengan korban misalnya, ditemukan kesamaan

penilaian terhadap ancaman kekerasan, maka ancaman kekerasan ini haruslah

dianggap telah terjadi.

Menurut ketentuan pasal ini, unsur kekerasan dengan unsur ancaman

kekerasan bersifat alternatif, dalam pengertian tidaklah harus kekerasan itu telah

nyata-nyata terjadi cukup jika telah terbukti adanya ancaman kekerasan yang dapat

menimbulkan kesan merugikan atau membahayakan bagi yang diancam, sehingga

pada akhirnya kesan merugikan atau membahayakan ini logis karena disertai pula

dengan perbuatan pelaku berupa memaksa korban untuk melakukan persetubuhan.

d) Dengan dirinya sendiri.

Yang dimaksud dengan kata-kata “dengan dirinya” adalah diri orang yang

dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan telah memaksa korban untuk

mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan.174

174

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 105.

Itu berarti jika seorang

(15)

dengan orang selain dirinya sendiri bukan termasuk pemerkosaan tetapi masuk

kategori membantu terjadinya pemerkosaan.

Berdasarkan syarat-syarat pada huruf a, b, c dan d di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pemerkosaan hanya dapat terjadi jika pelakunya adalah seorang

laki-laki (karena objeknya perempuan), yang berakibat terjadinya penetrasi penis

kedalam vagina diluar perkawinan yang sah untuk dirinya sendiri, penetrasi itu terjadi

karena pemaksaan akibat kekerasan atau ancaman kekerasan.

3. Persetubuhan Tanpa Paksaan Dalam KUHP

Persetubuhan tanpa paksaan dari pelaku terhadap korban di atur dalam KUHP

dengan berbagai bentuk yang dapat dilihat dari dua sisi yaitu: pertama, dari sudut

hubungan perkawinan; dan kedua, dari sudut umur korban. Jika melihat dari sudut

hubungan perkawinan dibagi menjadi persetubuhan tanpa paksaan di luar dan di

dalam perkawinan, sedangkan jika dilihat dari sudut umur korban maka dapat dibagi

menjadi dua kategori yaitu persetubuhan tanpa paksaan terhadap dewasa dan

persetubuhan tanpa paksaan terhadap anak.

a) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau

tidak berdaya.

Hal ini diatur dalam Pasal 286 KUHP yang berbunyi “Barang siapa

melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan dengan seorang wanita yang ia

(16)

keadaan tidak berdaya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan

tahun”.

Syarat hubungan kelamin, di luar perkawinan dan dengan wanita sama dengan

pembahasan pasal 285 KUHP. Syarat mutlak lainnya untuk terpenuhinya perbuatan

ini adalah adanya keadaan korban (wanita) yang pingsan atau tidak berdaya ini bukan

disebabkan perbuatan pelaku. Jika keadaan pingsan atau tidak berdaya itu disebabkan

oleh perbuatan pelaku maka perbuatannya diklasifikasikan sebagai tindak pidana

pemerkosaan sebagaimana ketentuan Pasal 285 KUHP karena keadaan pingsan atau

tidak berdaya secara yuridis disamakan dengan melakukan kekerasan (vide Pasal 89

KUHP).

Simon sebagaimana dikutip oleh P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang175

Istilah medis untuk pingsan adalah sinkop yang didefinisikan sebagai

kehilangan kesadaran sementara dan lemahnya / jatuhnya postural tubuh ditandai

dengan onset cepat, berdurasi pendek, dan pemulihan spontan akibat hipoperfusi

serebral global yang disebabkan oleh hipotensi.

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan berada dalam keadaan pingsan ialah

berada dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan

berada dalam keadaan tidak berdaya ialah berada dalam keadaan tidak berdaya secara

fisik, yang membuat wanita tersebut tidak berdaya untuk memberikan perlawanan.

176

175

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 111.

Pingsan atau sinkop adalah suatu

176

(17)

kondisi kehilanga

disebabkan oleh kurangnya alir177

b) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita yang umurnya belum lima belas

tahun.

Ketentuan Pasal 286 KUHP, tidak secara eksplisit menegaskan perihal umur

korban apakah dewasa atau anak tetapi hanya menegaskan perihal kondisi berupa

pingsan atau tidak berdaya dan hubungan di luar perkawinan. Pertanyaannya adalah

bagaimana jika sekiranya wanita itu dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya dan

masih di bawah umur? Peneliti berpendapat bahwa pasal ini dapat diposisikan

sebagai ketentuan hukum yang mengatur tentang persetubuhan tanpa paksaan diluar

perkawinan baik terhadap wanita dewasa ataupun wanita belum dewasa atau anak.

Hal ini diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Barang siapa mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dengan seorang wanita, yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga bahwa wanita itu belum mencapai usia lima belas tahun ataupun jika tidak dapat diketahui dari usianya, wanita itu merupakan seorang wanita yang belum dapat dinikahi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Menurut van Bemmelen dan van Hattum, ketentuan pidana dalam Pasal 287

ayat (1) KUHP dibuat untuk mencegah penyalahgunaan ketidakpengalaman

anak-anak (het misbruik maken van jeudige onervarenheid) oleh orang dewasa.178

177

Itulah

sebabnya undang-undang melarang perbuatan hubungan kelamin di luar pernikahan

178

(18)

dengan anak-anak yang belum berusia lima belas tahun atau yang belum dapat

dinikahi.179

Ancaman hukuman dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP ini dapat diperberat

menjadi selama-lamanya 12 (dua belas) tahun jika menyebabkan luka berat pada

tubuh (vide Pasal 291 ayat (1) KUHP) dan jika menyebabkan mati

Kata-kata “belum dapat dinikahi” adalah terminologi yuridis yang bermaksud

merujuk kepada aturan syarat-syarat perkawinan yang khusus di Indonesia ditentukan

bahwa perkawinan diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (vide Pasal 7

ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Itu berarti bahwa sejak

berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka usia wanita yang

dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP di atas selain belum mencapai usia lima

belas tahun juga mencakup wanita yang belum mencapai usia 16 tahun.

180

179 Ibid.

diperberat lagi

180

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat

(19)

menjadi 15 (lima belas) tahun (vide Pasal 291 ayat (2) KUHP). Luka berat pada tubuh

secara yuridis ditentukan dalam Pasal 90 KUHP yaitu: penyakit atau luka yang tak

boleh diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau menimbulkan bahaya maut,

tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan

pencarian, kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita sakit

lumpuh, terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, gugur atau matinya

kandungan seorang perempuan.

Dengan demikian pasal ini termasuk kedalam ketentuan hukum yang

mengatur perihal persetubuhan tanpa paksaan diluar perkawinan khusus terhadap

anak yang belum berusia 15 tahun dan belum berusia 16 tahun.

c) Persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang belum dapat dinikahi.

Persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang belum dapat dinikahi

diatur dalam Pasal 288 KUHP yang berbunyi:

1. Barang siapa mengadakan hubungan kelamin dalam pernikahan dengan seorang wanita yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga bahwa wanita tersebut belum dapat dinikahi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun, jika perbuatan itu menimbulkan luka pada tubuh.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat pada tubuh, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun.

3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Pernikahan yang dimaksud oleh rumusan pasal 288 KUHP di atas adalah

pernikahan yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

(20)

No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.181

Tentang wanita mana yang dapat dipandang sebagai wanita yang belum dapat

dinikahi, undang-undang sendiri ternyata tidak memberikan penjelasan, akan tetapi

dengan menggunakan metode penafsiran secara teleologis

182

kiranya wanita yang

dimaksud disini adalah wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun, karena

undang-undang pidana kita pada dasarnya bermaksud melindungi wanita yang belum

mencapai usia lima belas tahun.183

Maksud “wanita yang belum dapat dinikahi” adalah harus merujuk ketentuan

Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang secara khsusus menentukan bahwa perkawinan

hanya diizinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur

16 tahun, walaupun memang pada ayat (2) diberikan ruang penyimpangan dari

ketentuan ayat (1) dengan meminta dispensasi184

181

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 126. 182

Penafsiran teleologis (sosiologis) adalah sebuah cara penafsian undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang sehingga tujuan lebih diperhatikan ketimbang bunyi kata-katanya dan penafsiaran ini terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Lihat Bambang Sutioso, Metode Penemuan Hukum:Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 88.

183

Ibid, hlm. 127. 184

Dispensasi adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan khusus; pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 335. WF. Prins sebagaimana dikutip Ridwan HR mengatakan bahwa disepensasi adalah tindakan pemerintahan yang menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxatio legis). Lihat Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 205. Tampak disini bahwa WF. Prins memandang “pemerintah” diartikan secara luas yang meliputi seluruh kelengkapan negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam arti sempit hanya kekuasaan eksekutif.

kepada Pengadilan. Artinya “wanita

(21)

belum mencapai umur 16 tahun maka satu-satunya alasan yang dapat mengijinkan

pernikahan itu adalah dispensasi pengadilan.

Hal itu berarti bahwa sejak berlakunya UU Perkawinan, ketentuan Pasal 288

KUHP ini hanya dapat diterapkan terhadap keadaan persetubuhan dalam suatu

perkawinan yang dilangsungkan atas dasar dispensasi pengadilan dan ternyata

kemudian akibat persetubuhan itu timbul luka pada tubuh atau luka berat atau bahkan

berakibat mati.

Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti persetujuan dari

penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan

melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.185

185

Ridwan HR, Op.Cit, hlm. 207-208.

Jika

melihat bunyi Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi “Untuk melangsungkan

perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua

orang tuanya” dan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi “Perkawinan hanya

diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 tahun” dapat diketahui bahwa pada pokoknya seseorang baik

laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai umur 21 tahun dilarang/ tidak dapat

kawin tanpa izin kedua orang tuanya dan khusus laki-laki yang belum mencapai umur

19 tahun dan wanita yang belum mencapai umur 16 tahun dilarang/ tidak dapat

kawin kecuali ada izin orang tuanya dan sekaligus juga harus ada dispensasi dari

(22)

Pasca berlakunya UU Perkawinan maka ketentuan Pasal 288 KUHP ini dapat

dikatakan sebagai aturan hukum yang mengatur perihal pesetubuhan tanpa paksaan

dalam perkawinan terhadap anak perempuan yang berusia di bawah 16 tahun. Akan

tetapi jika memperhatikan rumusan pasal ini dikaitkan dengan isi Pasal 7 ayat (1) UU

Perkawinan maka otomatis Pasal 288 KUHP ini secara faktual telah kehilangan daya

berlakunya.

Formulasi Pasal 288 KUHP tidaklah mungkin lagi terpenuhi karena terhalang

oleh ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang hanya mengijinkan perkawinan

bagi wanita jika telah berumur 16 tahun atau di bawah umur 16 tahun dengan

kompensasi pengadilan, artinya adalah perkawinan hanya mungkin terjadi jika wanita

telah berumur 16 tahun. Wanita di bawah umur 16 tahun belum dapat dinikahi berarti

tidak mungkin ada perkawinan kecuali kompensasi pengadilan, sehingga juga tidak

mungkin terpenuhi formulasi “persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang

belum dapat dinikahi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP. UU

Perkawinan menjamin bahwa perkawinan hanya dapat terjadi terhadap wanita yang

dapat dinikahi.

B. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-undang yang secara spesifik mengatur perihal perlindungan anak

adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada pasal

(23)

menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Sedangkan yang dimaksud dengan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia

yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah dan negara.186

Menurut Maidin Gultom, perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya

menyangkut langsung pengaturan dalam perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha

dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama

didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan

dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan

dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.187

1. Definisi Anak Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Perlindungan Anak secara spesifik memberikan definisi

tentang anak yaitu pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”. Pengertian anak versi Undang-Undang Perlindungan Anak ini sekaligus

menegaskan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang berumur di

bawah 18 tahun digolongkan sebagai anak tanpa memperhatikan status perkawinan,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

186

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 187

(24)

Definisi anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah sebuah

definisi anak secara umum tanpa terikat kondisi tertentu kecuali demi kepentingan

hukumnya yang sangat istimewa misalnya karena demi perlindungan kehidupannya

atau demi pembagian warisan dari orang tuanya sehingga anak yang dalam

kandungan dimasukkan sebagai anak. Sedangkan definisi anak secara khusus jika

berkaitan dengan kondisi-kondisi tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA) yang akan

diberlakukan sejak tanggal 30 Juli 2014 mendatang.

Definisi anak versi UUSPPA dapat dilihat dari berbagai sudut kepentingan

hukumnya yaitu: pertama, dari sudut karena berkonflik dengan hukum; kedua, karena

korban tindak pidana; dan ketiga, dari sudut karena saksi dalam tindak pidana yang

kesemuanya dipandang sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Pada Pasal 1

angka 2 UUSPPA berbunyi: “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak

yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak

yang menjadi saksi tindak pidana”. Anak yang berkonflik dengan hukum diatur

dalam pasal 1 angka 3 UUSPPA yang berbunyi: “Anak yang berkonflik dengan

hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)

tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana”.188

188

Batas umur minimal anak yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana yaitu 12 tahun dalam UU ini telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yaitu Putusan No.1/ PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011.

Anak yang menjadi korban tindak pidana diatur dalam Pasal 1 ayat 4

(25)

disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang disebabkan

oleh tindak pidana. Sedangkan anak yang menjadi saksi tindak pidana diatur dalam

Pasal 1 angka 5 UUSPPA yang berbunyi: “

Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”

Undang-Undang Perlindungan Anak tidak mengenal istilah “belum dewasa”

sebagaimana yang selama ini dianut dalam KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata) yang diartikan sebagai orang yang belum berumur 21 tahun

dan belum kawin. Pasal 330 KUHPerdata menyebutkan: “Belum dewasa adalah

mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih

dahulu telah kawin”. Syarat “tidak terlebih dahulu kawin” merupakan syarat

kumulatif dengan syarat “umur belum genap 21 tahun” dalam arti selain belum

mencapai umur genap 21 tahun juga tidak telah/ pernah kawin. Maka jika seseorang

berumur di bawah 21 tahun tetapi sudah/ pernah kawin, otomatis telah dianggap

dewasa oleh KUHP dan KUHPerdata. Undang-Undang Perlindungan Anak tidak

mengenal persyaratan ini, karena yang menjadi tolak ukurnya adalah apakah umurnya

di bawah 18 tahun atau tidak tanpa mempersoalkan apakah sudah/ pernah kawin atau

tidak, seseorang di bawah umur 18 tahun ex jure dianggap anak.

Definisi anak dikaitkan dengan pengertian hak anak dalam Undang-Undang

(26)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UUHAM) yang pada

Pasal 1 angka 5 menyebutkan: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah

18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Merujuk formulasi

anak dalam UUHAM di atas, maka seorang disebut sebagai anak jika belum berusia

18 tahun ditambah syarat lain berupa belum pernah kawin, karenanya jika telah

pernah kawin walaupun berusia di bawah 18 tahun tidak lagi termasuk anak sehingga

tidak dapat menikmati hak anak yang diuraikan dalam Pasal 52 hingga Pasal 66 UU

HAM.189

189 Pasal 52

berbunyi: (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 53 berbunyi: (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Pasal 54 berbunyi: Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 55 berbunyi: Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Pasal 56 berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri. (2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 berbunyi: (1) setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. (3) Orang tua angkat attau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Pasal 58

berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk

(27)

Convention on the Right of the Child/CRC190

tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alas an dan atauran yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. (2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Pasal 60

berbunyi: (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. (2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dam memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepattutan. Pasal 61 berbunyi: Setiap anak berhak untuk istirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya. Pasal 62 berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mentak spiritualnya.

Pasal 63 berbunyi: Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan,

sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64

berbunyi: Setiap anak berhak untukmemperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan

setiap pekerjaan yang membehayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya. Pasal 65 berbunyi: Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya. Pasal

66 berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. (3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. (4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. (5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. (6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. (7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

190

Convention on the Right of the Child/CRC adalah bermula dari dicanangkannya tahun 1979 sebagai “Tahun Anak Internasional”. Untuk momen ini, Pemerintah Polandia mengusulkan perumusan dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak secara yuridis. Pada tahun 1989 rancangan Convention on the Right of the Child/CRC (Konvensi Hak Anak/ KHA) diselesaikan dan pada tahun itu juga disahkan dengan bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 yang dituangkan dengan Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. KHA ini telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Kepres Nomor 36 Tanggal 25 Agustus 1990. Lihat, Hadi Supeno, Op.Cit, hlm. 33.

memberikan batasan anak dalam

Pasal 1 yaitu “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut

undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasan dicapai lebih awal”. Itu berarti

bahwa CRC masih membuka ruang untuk mengakui kedewasaan seseorang dapat

(28)

2. Pasal Yang Mengatur Tentang Persetubuhan Terhadap Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Perlindungan Anak secara tegas mempergunakan

terminologi ”persetubuhan” yang secara spesifik terdapat pada Pasal 81 sedangkan

dalam Pasal 82191 dipergunakan terminologi ”pencabulan” dan Pasal 88192

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.

mempergunakan terminologi ”eksploitasi seksual”. Oleh karena itu istilah

persetubuhan, pencabulan dan eksploitasi seksual telah menjadi terminologi yuridis

dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan:

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Merujuk ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) di atas dapat diambil

beberapa syarat penting yang harus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai

persetubuhan terhadap anak yaitu:

191

Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

192

(29)

a) Adanya persetubuhan.

Persetubuhan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu

harus benar-benar terjadi berupa penetrasi penis ke dalam vagina yang umum

dilakukan untuk memperoleh kepuasan seksual atau untuk memperoleh anak. Jika

tidak sampai terjadi penetrasi penis ke dalam vagina (misalnya hanya sebatas

perbuatan berupa meraba, mencium atau memeluk) maka perbuatan itu menjadi

ruang lingkup perbuatan cabul yang secara khusus diatur dalam Pasal 82

Undang-Undang Perlindungan Anak.

b) Harus dilakukan terhadap anak.

Persetubuhan itu harus dilakukan terhadap seorang anak yaitu seorang yang

masih berusia di bawah 18 tahun. Anak yang dimaksud disini dapat berarti anak

laki-laki maupun anak jenis kelamin perempuan. Pelaku disini dapat saja masih berusia

yang tergolong anak dan juga pelaku usia dewasa. Jika berpatokan kepada pendapat

bahwa laki-laki tidak mungkin berhasil melakukan penetrasi dalam keadaan di bawah

ancaman kekerasan karena akan mengganggu psikologisnya maka anak sebagai

korban disini tidaklah mungkin seorang laki-laki sehingga istilah ”anak” dalam Pasal

81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak otomatis haruslah dianggap sebagai

anak jenis kelamin perempuan karena itu pelakunya haruslah laki-laki, tetapi jika

memperhatikan bunyi Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak di atas,

kemungkinan anak laki-laki dapat sebagai korban persetubuhan karena dilakukan

(30)

yang semua upaya itu masih dimungkinkan dapat merangsang birahi seorang anak

laki-laki untuk melakukan penetrasi sehingga pelaku persetubuhan (sebagai korban)

disini dapat berjenis kelamin laki-laki dan juga jenis kelamin perempuan.

c) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan atau membujuk.

Terjadinya persetubuhan terhadap anak itu haruslah dimotivasi oleh perbuatan

berupa kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan atau membujuk anak. Penjelasan tentang melakukan kekerasan atau

ancaman kekerasan disini sama dengan penjelasan sebelumnya pada pasal 285

KUHP.

Adami Chazawi menyatakan bahwa ”tipu muslihat diartikan sebagai suatu

perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan atau kepercayaan

tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar”.193 Hoge Raad

dalam Arrestnya tanggal 30-01-1911 menyatakan bahwa tipu muslihat adalah

perbuatan-perbuatan yang menyesatkan, yang dapat menimbulkan dalih-dalih yang

palsu dan gambaran-gambaran yang keliru dan memaksa orang untuk

menerimanya.194 Tipu muslihat, tulis R. Soesilo adalah suatu tipu yang demikian

liciknya sehingga seseorang yang berfikiran normal dapat tertipu.195

193

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media, 2004), hlm. 126.

194

Ibid, hlm. 126-127. 195

R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 261.

Rangkaian

(31)

seolah-olah benar adanya bagi korban, sehingga karena rangkaian maka kata bohong yang

satu dengan kata bohong yang lainnya memiliki hubungan atau kaitan dimana yang

satu menimbulkan kesan membenarkan atau menguatkan yang lain. Rangkaian

kebohongan mempuyai unsur: (1) berupa perkataan yang isinya tidak benar, (2) lebih

dari satu bohong, dan (3) bohong yang satu menguatkan bohong yang lain.196

Membujuk adalah berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk197 atau

melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu

menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang

sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian.198

d) Dengan dirinya sendiri atau orang lain.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 89 KUHP yang menyamakan melakukan

kekerasan dengan membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya, maka hanya

persetubuhan terhadap anak perempuanlah yang dapat menjadi korban dalam kondisi

pingsan atau tidak berdaya, karena seandainya anak laki-laki dalam kondisi pingsan

atau tidak berdaya tidak mungkin akan terjadi persetubuhan karena tidak akan

mungkin terjadi penetrasi penis ke dalam vagina.

Persetubuhan disini dapat ditujukan untuk diri pemaksa sendiri ataupun untuk

diri orang lain selain diri pemaksa ataupun untuk diri pelaku yang melakukan tipu

muslihat/ serangkaian kebohongan atau pembujuk atau selain dirinya. Kalimat

”...dengannya atau diri orang lain” sekaligus menunjukkan bahwa persetubuhan

196

Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 127. 197

R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 215. 198

(32)

dalam pasal ini dapat diterapkan juga terhadap pelaku perempuan dan pelaku

laki-laki.

Pelaku perempuan dapat dipersalahkan karena melakukan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang anak perempuan untuk melakukan

persetubuhan dengan laki-laki lain selain pemaksa. Pelaku perempuan juga dapat

disalahkan karena melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau

membujuk: pertama, anak laki-laki untuk melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan perempuan lain selain dengan dirinya, atau, kedua, seorang anak perempuan

untuk melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain.

Pelaku laki-laki dapat dipersalahkan karena melakukan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang anak perempuan untuk melakukan

persetubuhan dengan dirinya atau dengan diri orang lain selain diri pemaksa. Pelaku

laki-laki juga dapat dipersalahkan karena melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan atau membujuk: pertama, anak perempuan melakukan persetubuhan

dengan dirinya atau diri orang lain selain dirinya, atau kedua, seorang anak laki-laki

untuk melakukan persetubuhan dengan perempuan lain.

Ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak di atas

adalah persetubuhan yang didasarkan atas kekerasan atau ancaman kekerasan dengan

paksaan, sedangkan ketentuan ayat (2) nya adalah tentang persetubuhan yang

didasarkan karena adanya tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau bujukan.

(33)

kekerasan lebih nista dari persetubuhan atas dasar tipu muslihat, kebohongan atau

bujukan meskipun yang terakhir ini tetap saja tercela. Undang-Undang Perlindungan

Anak ternyata memandang kualifikasi ”persetubuhan karena kekerasan” dengan

”persetubuhan karena tipu muslihat, kebohongan atau bujukan” sebagai perbuatan

yang memiliki kesamaan dari sudut kesalahan. Hal ini secara tegas dapat dipahami

jika dilihat dari formulasi Pasal 81 ayat (2) yang memberlakukan ketentuan pidana

ayat (1) terhadap ayat (2) secara sama berat dan jenisnya.

C. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (selanjutnya disebut UUKDRT) tidak mengatur secara khusus

mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak, namun setidaknya ada pasal

tertentu yang memiliki jiwa yang sama dengan tujuan melindungi anak dari tindakan

persetubuhan yaitu Pasal 46 yang mempergunakan terminologi ”kekerasan seksual”

dan Pasal 47 yang menggunakan termonologi ”hubungan seksual”.

Pasal 46 UUKDRT berbunyi: ”Setiap orang yang melakukan perbuatan

kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf (a) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp

(34)

Pasal 47 UUKDRT berbunyi:

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf (b) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 8 huruf (a) dan (b) UUKDRT berbunyi:

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penjelasan Pasal 8 UUKDRT disebutkan bahwa: ”Yang dimaksud dengan

“kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa

pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar

dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan

komersial dan/atau tujuan tertentu”.

Pengertian terminologi “hubungan seksual” tidak ditemukan secara tegas

dalam UUKDRT, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 47 diketahui bahwa tingkat

ancaman pidana “hubungan seksual” terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, lebih

tinggi ketimbang ancaman “kekerasan seksual” dalam Pasal 46. Pemberatan pidana

dalam pasal 47 logis mengingat karena hubungan seksual itu didasarkan atas paksaan

(35)

Pemakaian pasal-pasal ini hanya terikat pada status pelaku dan korban sebagai

dalam lingkup rumah tangga yang meliputi suami, isteri, anak, orang-orang yang

mempunyai hubungan keluarga karena darah, perkawinan, susuan, pengasuhan,

perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut dan pembantu rumah tangga

yang menetap dalam rumah tangga tersebut.199

199

Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Hal ini berarti kekerasan seksual

yang diatur dalam Pasal 46 dan Pasal 47 UUKDRT, dapat menjerat pelaku

persetubuhan jika dilakukan terhadap seseorang yang termasuk anak, dimana

Referensi

Dokumen terkait

Kurangnya aktivitas karena perilaku sedentari menyebabkan individu yang sering menggunakan smartphone berada dalam posisi yang statis sehingga mengalami forward

Tabel ( tables ) adalahangka yang disusun sedemikian rupa menurut kategori tertentu sehingga memudahkan pembahasan dan analisisnya, sedangkan grafik (

Hasil penelitian yang diperoleh adalah KSPPS BMT Tumang Cabang Boyolali mengenai implementasi penilaian kinerja karyawan meliputi 3 tahap yaitu, menetapkan tujuan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kombinasi produk dan tingkat penjualan yang telah dihasilkan dapat mendatangkan laba maksimal bagi Perusahaan Roti

Unit analisis adalah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah entitas sosial budaya ekonomi dan politik, unit analisis pendukung penelitian dalam mempelajari kasus

Penggunaan media konvensional dalam mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi membuat siswa kurang tertarik dalam pelajaran, sehingga berpengaruh dalam hasil

Berdasarkan dari perhitungan peningkatan dengan hasil 62,5%maka dapat dikatakan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar shooting pada permainan bola basket dengan

Piutang merupakan salah satu unsur aktiva lancar yang akan menjadi salah satu komponen dalam modal kerja perusahaan, mengingat betapa pentingnya arti piutang sebagai aktiva