BAB II
PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Pada umumnya perbuatan persetubuhan dapat dilakukan dengan pemaksaan
yang lebih dikenal dengan pemerkosaan dan dapat dilakukan tanpa pemaksaan.
Hukum positif yang berlaku di Indonesia telah mengatur perbuatan persetubuhan
secara umum terhadap orang yang dewasa dan anak-anak dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan secara khusus jika dilakukan terhadap anak
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
serta jika dilakukan terhadap orang yang masih termasuk dalam hubungan keluarga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
A. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pada umumnya jika membicarakan tentang hukum pidana, maka yang
dimaksudkan ialah peraturan-peraturan pidana yang terkumpul dalam suatu kitab
yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disingkat KUHP (Wetboek van
Strafrecht = H.v.S).133 E. Utrech mengatakan, bilamana orang mengatakan hukum
pidana maka pada umumnya yang dimaksud adalah hukum pidana materiil.134
133
C.S.T. Kansil, Op.Cit, hlm. 245. 134
Hukum pidana materil adalah hukum yang berisi tentang aturan tingkah laku
(perbuatan) yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai
macam pidana yang dapat dijatuhkan.135 Satochid Kartanegara menulis, hukum
pidana materil berisi peraturan-peraturan tentang perbuatan apa yang dapat dipidana
(masalah tindak pidana-pen), siapa-siapa yang dapat dipidana (masalah
pertanggungjawaban pidana-pen) dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap
pelanggar hukum (penjatuhan pidana-pen).136 Singkatnya hukum pidana materil
mengatur tentang apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum.137
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHP
memasukkan perbuatan persetubuhan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau
kejahatan terhadap kesopanan.138 Andi Hamzah139
Persetubuhan secara sederhana diartikan sebagai aktifitas/ hubungan seksual
yang umum dilakukan untuk memperoleh kenikmatan seksual atau untuk proses
memperoleh anak. Persetubuhan dengan demikian bukanlah sebuah bentuk kejahatan
tapi merupakan perbuatan manusiawi karena lumrah dilakukan bahkan merupakan menyatakan bahwa kesusilaan
(goede zeden) adalah kesusilaan moral dengan norma kesopanan, khususnya dibidang
seksual.
135
E. Y. Kanter & S. R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 20. 136
Satochid Kartanegara, Op.Cit, hlm. 1 137
C.S.T. Cansil, Op.Cit, hlm. 249. 138
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), dan R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesusilaan” sedangkan R. Soesilo, Op.Cit, mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesopanan”.
139
kebutuhan kodrati. Sifat jahat terhadap aktifitas seksual ini kemudian melekat jika itu
dilakukan tidak sesuai dengan hukum sehingga disebutlah perbuatan itu sebagai
kejahatan seksual.
Terminologi persetubuhan dan terminologi pencabulan memiliki perbedaan
prinsipil secara yuridis. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu
berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba
buah dada dan sebagainya.140 Menurut J. M. Van Bemmelen sebagaimana dikutip
oleh Neng Djubaedah,141
KUHP secara tegas memisahkan pengaturan perihal persetubuhan dengan
perbuatan cabul mengindikasikan bahwa kedua perbuatan ini secara hukum memiliki
perbedaan. Tindak pidana pencabulan terhadap orang dewasa diatur dalam Pasal mengemukakan bahwa perbuatan cabul itu termasuk
persetubuhan dan homoseksualitas atau perbuatan cabul yang bertentangan dengan
alam.
Perbuatan cabul tidak mengharuskan adanya hubungan kelamin asal saja
perbuatan itu dinilai sebagai pelanggaran kesusilaan dalam ruang lingkup nasfu
berahi, tetapi persebutuhan mengharuskan adanya hubungan kelamin. Perbuatan
cabul dengan demikian lebih mengandung pengertian yang lebih luas dari pengertian
persetubuhan sehingga dikatakan bahwa persetubuhan termasuk perbuatan cabul
tetapi perbuatan cabul tidak selalu dapat dikatakan persetubuhan.
140
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 212. 141
289142, Pasal 290 ayat (1)143, Pasal 294 ayat (2) KUHP144, sedangkan pencabulan
yang dilakukan khusus terhadap orang belum cukup umur 15 tahun diatur dalam
Pasal Pasal 290 ayat (2) dan (3) KUHP145, pencabulan terhadap orang yang belum
dewasa diatur dalam Pasal 292146, Pasal 293147 dan Pasal 294 ayat (1) KUHP148
142
Pasal 289 KUHP berbunyi: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusak kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan.
143
Pasal 290 ayat 1 KUHP berbunyi: Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
144
Pasal 294 ayat (2) KUHP berbunyi: 2. Dengan hukuman yang serupa dihukum: (1) Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga. (2) Pengurus, dokter, guru, pegawai/pejabat, pengawas, atau pembantu suatu lembaga pemasyarakatan, lembaga kerja negara, lembaga pendidikan, rumah yatim piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa, atau lembaga-lembaga kebajikan, yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan seseorang yang dimasukkan ke dalamnya.
145
Pasal 290 ayat 2 dan 3 KUHP berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: (2) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. (3) Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain.
146
Pasal 292 KUHP berbunyi: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum dewasa, diancam pidana penjara paling lama lima tahun.
147
Pasal 293 KUHP berbunyi: (1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyelahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaaan, atau dengan menyesatkan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. (3)Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 (sembilan) bulan dan 12 (dua belas) bulan.
148
Pasal 294 ayat (1) KUHP berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa , diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
sementara itu ketentuan Pasal 295 KUHP149 adalah mengatur tentang menyebabkan/
memudahkan pencabulan oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak
asuhnya yang belum dewasa dengan pihak ketiga orang lain dan jika mangadakan
atau memudahkan perbuatan cabul itu menjadi pencaharian atau kebiasaan diatur
dalam Pasal 296 KUHP150
James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Neng Jubaidah,
. Keseluruhan pasal-pasal terkait tindak pidana pencabulan
dalam KUHP dimaksud tidak akan dibahas dalam tulisan ini secara luas, karena fokus
pembahasan tulisan ini adalah tentang tindak pidana persetubuhan.
151
1) Forcible rape, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang perempuan dengan menggunakan ancaman pemaksaan dan kekerasan yang menakutkan.
merumuskan
beberapa hubungan seksual yang termasuk kejahatan seksual (sexual offences)
diantaranya:
2) Statory rape, yaitu hubungan seksual yang telah dilakukan dengan seorang perempuan di bawah usia yang ditentukan (biasanya 16 tahun atau 18 tahun, tetapi kadang-kadang 14 tahun) dengan atau tanpa persetujuan dari perempuan tersebut.
3) Fornication, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang tidak (belum) dalam ikatan perkawinan.
149
Pasal 295 KUHP berbunyi: 1. Diancam: (1.1) Dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak yang dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain. (1.2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain. 2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
150
Pasal 296 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
151
4) Adultery, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sekurang-kurangnya salah satu dari mereka terikat perkawinan dengan orang lain.
5) Incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, antar saudara kandung, atau antara hubungan darah yang relatif dekat.
6) Sodomy, yaitu perbuatan-perbuatan hubungan seksual yang meliputi: a. Fellatio, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks laki-laki; b. Cunnilingus, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks
perempuan;
c. Buggery, yaitu penetrasi melalui anus;
d. Homosexuality, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya;
e. Bestiality, yaitu hubungan seksual dengan binatang;
f. Pederasty, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang anak laki-laki secara tidak alamiah;
g. Necrophilia, yaitu hubungan seksual dengan mayat.
1. Definisi Anak Menurut KUHP
KUHP tidak mengenal secara spesifik pengertian tentang anak, tetapi hanya
mengenal pengertian ”belum dewasa” atau ”belum cukup umur” (minderjarig).
Walau tidak ada pembatasan umur secara tegas tentang anak dalam KUHP, tetapi
tidak menjadikan pengertian anak dalam KUHP tidak ada sama sekali. Pengertian
anak dalam KUHP selalu terikat dengan ketentuan pasal yang terkait misalnya
tentang anak yang berumur di bawah 12 tahun, anak berumur di bawah 15 tahun,
anak yang berumur di bawah 16 tahun dan anak yang berumur di bawah 17 tahun
sehingga kesemuanya memiliki fungsi dan kepentingan yang berbeda. Anak versi
KUHP adalah dipandang dari berbagai sudut kepentingannya yang secara langsung
tertuang dalam pasal-pasal terkait. Keseluruhan pengertian anak tersebut termasuk
dalam kategori orang yang belum dewasa atau belum cukup umur yang lebih dikenal
Anak yang berumur di bawah 12 tahun misalnya dipergunakan sebagai dasar
untuk penuntutan tanpa pengaduan korban. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 287
ayat 2 KUHP yang berbunyi: ”Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan,
kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu
hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.”152
1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahunn atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat kawin.
Anak yang berumur di bawah 15 tahun dipergunakan sebagai syarat khusus
yang diharapkan diketahui oleh pelaku misalnya dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP dan
Pasal 290 angka 2 dan 3 KUHP. Pasal 290 angka (2) dan (3) berbunyi:
2. Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin.
Anak yang berumur di bawah 16 tahun dipergunakan sebagai pedoman bagi
hakim dalam penjatuhan hukuman (pemidanaan). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal
45 KUHP yang berbunyi:153
152
Pasal 291 KUHP adalah tentang perbuatan persetubuhan yang berakibat luka berat pada tubuh atau mati sedangkan Pasal 294 KUHP adalah tentang perbuatan cabul terhadap anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa atau anak yang belum dewasa yang pemiliharaanya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya.
153
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan itu merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaaran berdasarkan pasal-pasal 489,..”
Anak yang berumur di bawah 17 tahun dipergunakan sebagai syarat khusus
yang diharapkan diketahui oleh pelaku dalam bidang mempertunjukkan tulisan atau
gambar yang menyinggung perasaan kesopanan. Ketentuan ini misalnya diatur dalam
Pasal 283 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9000,- dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa orang itu belum cukup umur 17 tahun suatu tulisan, suatu gambar atau suatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau suatu cara yang dipergunakan untuk mencegah atau mengganggu kehamilan, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu diketahuinya.
Secara umum pengertian-pengertian belum cukup umur atau belum dewasa
dalam KUHP adalah semakna dengan pengertian anak sebagai lawan kata dari
dewasa. Menurut L.N. 1931 No. 54, pengertian ”belum dewasa” bagi orang Indonesia
adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin.154
4 ini kemudian telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.1/ PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 yang menegaskan bahwa batas usia anak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum yaitu minimal berumur 12 (dua belas) tahun. Putusan MK ini sejalan dengan batas usia yang telah direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment
pada 10 Februari 2007. 154
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 61.
sudah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, tetapi sudah kawin atau
pernah kawin.155
2. Persetubuhan Dengan Paksaan Dalam KUHP
Persetubuhan dengan paksaan umumnya lebih dikenal dengan istilah
pemerkosaan. Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai
"penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain
atau suatu benda-bahkan jika dangkal-dengan cara pemaksaan baik fisik atau
non-fisik.”156 Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pemerkosaan sebagai suatu
proses atau cara perbuatan memerkosa, sedangkan perkosa atau memerkosa berarti
menundukkan dengan kekerasan atau memaksa dengan kekerasan.157
Tindak pidana pemerkosaan (verkrachting) diatur secara spesifik dalam Pasal
285 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman
akan memakai kekerasan memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin
158
155
Ibid, hlm. 216.
di luar pernikahan dengan dirinya, karena bersalah melakukan perkosaan dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Jika pemerkosan itu
mengakibatkan korbannya mati maka pelaku diancam hukuman penjara
selama-lamanya lima belas tahun (Pasal 291 ayat 2 KUHP).
156
157
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1059. 158
Merujuk ketentuan Pasal 285 KUHP di atas dapat diambil beberapa syarat
penting yang harus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai pemerkosaan yaitu :
a) Adanya hubungan kelamin di luar perkawinan.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.159 Perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholitdhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.160
Van Vemmellen dan Van Hattum berpendapat bahwa untuk adanya suatu
perbuatan hubungan kelamin tidak disyaratkan telah terjadinya suatu ejaculatio
seminis, melainkan cukup jika orang telah memasukkan penisnya161 kedalam
vagina162 seorang wanita.163
159
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 160
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
Arrest tanggal 5 Februari 1912 W. 9292 Hoge Raad
161
Penis darphallus, yang
memiliki arti sama adalah ruan
phallus) dipakai dalam konteks
meneganglingam) adalah salah satu penggambaran falus.
zakar. Banyak masyarakat menganggap organ ini
dibicarakan secara terbuka, berbagai eufemisme (penghalusan kata atau makna) dipakai untuk menyatakannya, seperti "burung", "pisang", dick, atau cock (bahasa Inggris). Fungsi penis secara dan sebagai alat bantu organ kelamin luar yang penting untuk kopulasi. Kopulasi adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan wanita bertujuan memindahkan sel sperma ke saluran kelamin wanita. Lihat Yanti, Buku Ajar: Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta: Pustaka Rihama, 2011), hlm. 39.
162
Vagina kat
berbentuk tabung yang menghubungka
monotrem, dan beberapa jenis
memutuskan bahwa suatu persinggungan di luar antara alat-alat kelamin pria dan
wanita bukan merupakan persatuan antara alat-alat kelamin yang diperlukan dalam
suatu perkosaan.164 Kiranya cukup jelas tulis P.A.F. Lamintang dan Theo
Lamintang165 bahwa yang tidak dikehendaki oleh ketentuan Pasal 285 KUHP adalah
timbulnya akibat berupa dimasukkannya penis pelaku ke dalam vagina korban,
sehingga pasal ini dapat dikatakan sebagai delik materil.166
Merujuk pendapat di atas, maka penggunaan sarana/ alat berupa alat-alat seks
(sex toys) yang mungkin dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam vagina wanita
walau diluar perkawinan dan dengan paksaan tidak dapat disebut pemerkosaan.
Penetrasi
167
Adanya syarat ini menjadikan hubungan kelamin dalam perkawinan tidak
akan pernah masuk kategori pemerkosaan meskipun dilakukan dengan paksaan. penis terhadap vagina harus benar-benar terjadi jika masih diluar vagina
maka tidak dapat disebut pemerkosaan tetapi termasuk percobaan pemerkosaan.
Bagian yang sudah termasuk bagian dalam vagina ialah jika telah menyentuh labia
minora (bibir dalam vagina).
Disaat rangsangan seksual, ukuran panjang dan lebar vagina akan meningkat. Keelastisan vagina dapat membantu proses dalam ekskresi uterus (rahim) pada haid, untuk jalan lahir dan untuk kopulasi (persetubuhan). Lihat, Yanti,
Op.Cit, hlm. 34.
Delik berarti tindak pidana, merupakan perbuatan melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang. Lihat Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 29-30. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai jika akibat yang dilarang telah terjadi. Sedangkan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai jika tindakan yang dilarang dalam rumusan undang-undang telah terpenuhi. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 237.
167
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka
perkawinan yang dimaksud disini haruslah merujuk ketentuan undang-undang itu
khususnya ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang menegaskan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”.
b) Harus dilakukan terhadap wanita.
R. Soesilo menyatakan bahwa pembuat undang-undang ternyata menganggap
tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk
bersetubuh, bukanlah semata-mata kondisi ini dianggap tidak mungkin tetapi karena
perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak berakibat buruk atau merugikan, justeru
perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak karena itu.168
Ketentuan ini mensyaratkan bahwa objek pemerkosaan itu haruslah seorang
wanita. KUHP menyebutkan adanya berbagai wanita, yaitu wanita yang belum
mencapai usia dua belas tahun (pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum
mencapai usia lima belas tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP),
wanita yang belum dapat dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP) dan wanita pada
umumnya. Adapun yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP ialah wanita pada
umumnya.
169
Adanya syarat ini, menutup kemungkinan laki-laki dapat dianggap sebagai
korban pemerkosaan. Hal ini logis mengingat bukankah mustahil akan berhasil
168
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 210. 169
terpenuhi penetrasi sehingga juga tidak mungkin terjadi persetubuhan jika kondisi
laki-laki sedang dalam keadaan terancam atau sedang tidak mood atau psikologisnya
sedang terancam?
c) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa.
Penjelasan yang sangat tepat terhadap maksud kekerasan atau ancaman
kekerasan tidak dijumpai dalam undang-undang baik dalam yurisprudensi. Simon
menyatakan yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap penggunaan tenaga
badan yang tidak terlalu ringan.170 Menurut R. Soesilo171 melakukan kekerasan
artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak
sah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak,
menendang dan sebagainya. Andi Hamzah172
Menurut Hoge Raad dalam arrest tanggal 5 Januari 1914, NJ 1914 halaman
397, W. 9604 dan tanggal 18 Oktober 1915, NJ 1915 halaman 1116, mengenai
ancaman kekerasan disyaratkan yakni:
mendefinisikan ancaman sebagai
tekanan yang ditujukan terhadap kejiwaan psikis orang. Menurut ketentuan Pasal 89
KUHP ditegaskan bahwa “Yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu
membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya”.
173
a. Bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam,
170
Ibid, hlm. 98. 171
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 98. 172
Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 10. 173
bahwa yang diancam itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya;
b. Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.
Wujud adanya ancaman kekerasan ini haruslah ditafsirkan secara kasuistis
dengan mempertimbangkan tingkat kematangan kejiwaan dan kognisi (kecerdasan)
korban yang diancam, sehingga dengan membandingkan dengan orang yang rata-rata
sama kematangan jiwa dan kognisinya dengan korban misalnya, ditemukan kesamaan
penilaian terhadap ancaman kekerasan, maka ancaman kekerasan ini haruslah
dianggap telah terjadi.
Menurut ketentuan pasal ini, unsur kekerasan dengan unsur ancaman
kekerasan bersifat alternatif, dalam pengertian tidaklah harus kekerasan itu telah
nyata-nyata terjadi cukup jika telah terbukti adanya ancaman kekerasan yang dapat
menimbulkan kesan merugikan atau membahayakan bagi yang diancam, sehingga
pada akhirnya kesan merugikan atau membahayakan ini logis karena disertai pula
dengan perbuatan pelaku berupa memaksa korban untuk melakukan persetubuhan.
d) Dengan dirinya sendiri.
Yang dimaksud dengan kata-kata “dengan dirinya” adalah diri orang yang
dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan telah memaksa korban untuk
mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan.174
174
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 105.
Itu berarti jika seorang
dengan orang selain dirinya sendiri bukan termasuk pemerkosaan tetapi masuk
kategori membantu terjadinya pemerkosaan.
Berdasarkan syarat-syarat pada huruf a, b, c dan d di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pemerkosaan hanya dapat terjadi jika pelakunya adalah seorang
laki-laki (karena objeknya perempuan), yang berakibat terjadinya penetrasi penis
kedalam vagina diluar perkawinan yang sah untuk dirinya sendiri, penetrasi itu terjadi
karena pemaksaan akibat kekerasan atau ancaman kekerasan.
3. Persetubuhan Tanpa Paksaan Dalam KUHP
Persetubuhan tanpa paksaan dari pelaku terhadap korban di atur dalam KUHP
dengan berbagai bentuk yang dapat dilihat dari dua sisi yaitu: pertama, dari sudut
hubungan perkawinan; dan kedua, dari sudut umur korban. Jika melihat dari sudut
hubungan perkawinan dibagi menjadi persetubuhan tanpa paksaan di luar dan di
dalam perkawinan, sedangkan jika dilihat dari sudut umur korban maka dapat dibagi
menjadi dua kategori yaitu persetubuhan tanpa paksaan terhadap dewasa dan
persetubuhan tanpa paksaan terhadap anak.
a) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya.
Hal ini diatur dalam Pasal 286 KUHP yang berbunyi “Barang siapa
melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan dengan seorang wanita yang ia
keadaan tidak berdaya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan
tahun”.
Syarat hubungan kelamin, di luar perkawinan dan dengan wanita sama dengan
pembahasan pasal 285 KUHP. Syarat mutlak lainnya untuk terpenuhinya perbuatan
ini adalah adanya keadaan korban (wanita) yang pingsan atau tidak berdaya ini bukan
disebabkan perbuatan pelaku. Jika keadaan pingsan atau tidak berdaya itu disebabkan
oleh perbuatan pelaku maka perbuatannya diklasifikasikan sebagai tindak pidana
pemerkosaan sebagaimana ketentuan Pasal 285 KUHP karena keadaan pingsan atau
tidak berdaya secara yuridis disamakan dengan melakukan kekerasan (vide Pasal 89
KUHP).
Simon sebagaimana dikutip oleh P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang175
Istilah medis untuk pingsan adalah sinkop yang didefinisikan sebagai
kehilangan kesadaran sementara dan lemahnya / jatuhnya postural tubuh ditandai
dengan onset cepat, berdurasi pendek, dan pemulihan spontan akibat hipoperfusi
serebral global yang disebabkan oleh hipotensi.
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan berada dalam keadaan pingsan ialah
berada dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
berada dalam keadaan tidak berdaya ialah berada dalam keadaan tidak berdaya secara
fisik, yang membuat wanita tersebut tidak berdaya untuk memberikan perlawanan.
176
175
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 111.
Pingsan atau sinkop adalah suatu
176
kondisi kehilanga
disebabkan oleh kurangnya alir177
b) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita yang umurnya belum lima belas
tahun.
Ketentuan Pasal 286 KUHP, tidak secara eksplisit menegaskan perihal umur
korban apakah dewasa atau anak tetapi hanya menegaskan perihal kondisi berupa
pingsan atau tidak berdaya dan hubungan di luar perkawinan. Pertanyaannya adalah
bagaimana jika sekiranya wanita itu dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya dan
masih di bawah umur? Peneliti berpendapat bahwa pasal ini dapat diposisikan
sebagai ketentuan hukum yang mengatur tentang persetubuhan tanpa paksaan diluar
perkawinan baik terhadap wanita dewasa ataupun wanita belum dewasa atau anak.
Hal ini diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Barang siapa mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dengan seorang wanita, yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga bahwa wanita itu belum mencapai usia lima belas tahun ataupun jika tidak dapat diketahui dari usianya, wanita itu merupakan seorang wanita yang belum dapat dinikahi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Menurut van Bemmelen dan van Hattum, ketentuan pidana dalam Pasal 287
ayat (1) KUHP dibuat untuk mencegah penyalahgunaan ketidakpengalaman
anak-anak (het misbruik maken van jeudige onervarenheid) oleh orang dewasa.178
177
Itulah
sebabnya undang-undang melarang perbuatan hubungan kelamin di luar pernikahan
178
dengan anak-anak yang belum berusia lima belas tahun atau yang belum dapat
dinikahi.179
Ancaman hukuman dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP ini dapat diperberat
menjadi selama-lamanya 12 (dua belas) tahun jika menyebabkan luka berat pada
tubuh (vide Pasal 291 ayat (1) KUHP) dan jika menyebabkan mati
Kata-kata “belum dapat dinikahi” adalah terminologi yuridis yang bermaksud
merujuk kepada aturan syarat-syarat perkawinan yang khusus di Indonesia ditentukan
bahwa perkawinan diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (vide Pasal 7
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Itu berarti bahwa sejak
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka usia wanita yang
dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP di atas selain belum mencapai usia lima
belas tahun juga mencakup wanita yang belum mencapai usia 16 tahun.
180
179 Ibid.
diperberat lagi
180
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat
menjadi 15 (lima belas) tahun (vide Pasal 291 ayat (2) KUHP). Luka berat pada tubuh
secara yuridis ditentukan dalam Pasal 90 KUHP yaitu: penyakit atau luka yang tak
boleh diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau menimbulkan bahaya maut,
tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian, kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita sakit
lumpuh, terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, gugur atau matinya
kandungan seorang perempuan.
Dengan demikian pasal ini termasuk kedalam ketentuan hukum yang
mengatur perihal persetubuhan tanpa paksaan diluar perkawinan khusus terhadap
anak yang belum berusia 15 tahun dan belum berusia 16 tahun.
c) Persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang belum dapat dinikahi.
Persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang belum dapat dinikahi
diatur dalam Pasal 288 KUHP yang berbunyi:
1. Barang siapa mengadakan hubungan kelamin dalam pernikahan dengan seorang wanita yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga bahwa wanita tersebut belum dapat dinikahi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun, jika perbuatan itu menimbulkan luka pada tubuh.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat pada tubuh, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun.
3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pernikahan yang dimaksud oleh rumusan pasal 288 KUHP di atas adalah
pernikahan yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.181
Tentang wanita mana yang dapat dipandang sebagai wanita yang belum dapat
dinikahi, undang-undang sendiri ternyata tidak memberikan penjelasan, akan tetapi
dengan menggunakan metode penafsiran secara teleologis
182
kiranya wanita yang
dimaksud disini adalah wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun, karena
undang-undang pidana kita pada dasarnya bermaksud melindungi wanita yang belum
mencapai usia lima belas tahun.183
Maksud “wanita yang belum dapat dinikahi” adalah harus merujuk ketentuan
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang secara khsusus menentukan bahwa perkawinan
hanya diizinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur
16 tahun, walaupun memang pada ayat (2) diberikan ruang penyimpangan dari
ketentuan ayat (1) dengan meminta dispensasi184
181
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 126. 182
Penafsiran teleologis (sosiologis) adalah sebuah cara penafsian undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang sehingga tujuan lebih diperhatikan ketimbang bunyi kata-katanya dan penafsiaran ini terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Lihat Bambang Sutioso, Metode Penemuan Hukum:Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 88.
183
Ibid, hlm. 127. 184
Dispensasi adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan khusus; pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 335. WF. Prins sebagaimana dikutip Ridwan HR mengatakan bahwa disepensasi adalah tindakan pemerintahan yang menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxatio legis). Lihat Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 205. Tampak disini bahwa WF. Prins memandang “pemerintah” diartikan secara luas yang meliputi seluruh kelengkapan negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam arti sempit hanya kekuasaan eksekutif.
kepada Pengadilan. Artinya “wanita
belum mencapai umur 16 tahun maka satu-satunya alasan yang dapat mengijinkan
pernikahan itu adalah dispensasi pengadilan.
Hal itu berarti bahwa sejak berlakunya UU Perkawinan, ketentuan Pasal 288
KUHP ini hanya dapat diterapkan terhadap keadaan persetubuhan dalam suatu
perkawinan yang dilangsungkan atas dasar dispensasi pengadilan dan ternyata
kemudian akibat persetubuhan itu timbul luka pada tubuh atau luka berat atau bahkan
berakibat mati.
Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti persetujuan dari
penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.185
185
Ridwan HR, Op.Cit, hlm. 207-208.
Jika
melihat bunyi Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi “Untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua
orang tuanya” dan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun” dapat diketahui bahwa pada pokoknya seseorang baik
laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai umur 21 tahun dilarang/ tidak dapat
kawin tanpa izin kedua orang tuanya dan khusus laki-laki yang belum mencapai umur
19 tahun dan wanita yang belum mencapai umur 16 tahun dilarang/ tidak dapat
kawin kecuali ada izin orang tuanya dan sekaligus juga harus ada dispensasi dari
Pasca berlakunya UU Perkawinan maka ketentuan Pasal 288 KUHP ini dapat
dikatakan sebagai aturan hukum yang mengatur perihal pesetubuhan tanpa paksaan
dalam perkawinan terhadap anak perempuan yang berusia di bawah 16 tahun. Akan
tetapi jika memperhatikan rumusan pasal ini dikaitkan dengan isi Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan maka otomatis Pasal 288 KUHP ini secara faktual telah kehilangan daya
berlakunya.
Formulasi Pasal 288 KUHP tidaklah mungkin lagi terpenuhi karena terhalang
oleh ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang hanya mengijinkan perkawinan
bagi wanita jika telah berumur 16 tahun atau di bawah umur 16 tahun dengan
kompensasi pengadilan, artinya adalah perkawinan hanya mungkin terjadi jika wanita
telah berumur 16 tahun. Wanita di bawah umur 16 tahun belum dapat dinikahi berarti
tidak mungkin ada perkawinan kecuali kompensasi pengadilan, sehingga juga tidak
mungkin terpenuhi formulasi “persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang
belum dapat dinikahi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP. UU
Perkawinan menjamin bahwa perkawinan hanya dapat terjadi terhadap wanita yang
dapat dinikahi.
B. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang yang secara spesifik mengatur perihal perlindungan anak
adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada pasal
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara.186
Menurut Maidin Gultom, perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya
menyangkut langsung pengaturan dalam perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha
dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama
didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan
dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan
dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.187
1. Definisi Anak Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Perlindungan Anak secara spesifik memberikan definisi
tentang anak yaitu pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. Pengertian anak versi Undang-Undang Perlindungan Anak ini sekaligus
menegaskan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang berumur di
bawah 18 tahun digolongkan sebagai anak tanpa memperhatikan status perkawinan,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
186
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 187
Definisi anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah sebuah
definisi anak secara umum tanpa terikat kondisi tertentu kecuali demi kepentingan
hukumnya yang sangat istimewa misalnya karena demi perlindungan kehidupannya
atau demi pembagian warisan dari orang tuanya sehingga anak yang dalam
kandungan dimasukkan sebagai anak. Sedangkan definisi anak secara khusus jika
berkaitan dengan kondisi-kondisi tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA) yang akan
diberlakukan sejak tanggal 30 Juli 2014 mendatang.
Definisi anak versi UUSPPA dapat dilihat dari berbagai sudut kepentingan
hukumnya yaitu: pertama, dari sudut karena berkonflik dengan hukum; kedua, karena
korban tindak pidana; dan ketiga, dari sudut karena saksi dalam tindak pidana yang
kesemuanya dipandang sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Pada Pasal 1
angka 2 UUSPPA berbunyi: “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana”. Anak yang berkonflik dengan hukum diatur
dalam pasal 1 angka 3 UUSPPA yang berbunyi: “Anak yang berkonflik dengan
hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana”.188
188
Batas umur minimal anak yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana yaitu 12 tahun dalam UU ini telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yaitu Putusan No.1/ PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011.
Anak yang menjadi korban tindak pidana diatur dalam Pasal 1 ayat 4
disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang disebabkan
oleh tindak pidana. Sedangkan anak yang menjadi saksi tindak pidana diatur dalam
Pasal 1 angka 5 UUSPPA yang berbunyi: “
Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”
Undang-Undang Perlindungan Anak tidak mengenal istilah “belum dewasa”
sebagaimana yang selama ini dianut dalam KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) yang diartikan sebagai orang yang belum berumur 21 tahun
dan belum kawin. Pasal 330 KUHPerdata menyebutkan: “Belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih
dahulu telah kawin”. Syarat “tidak terlebih dahulu kawin” merupakan syarat
kumulatif dengan syarat “umur belum genap 21 tahun” dalam arti selain belum
mencapai umur genap 21 tahun juga tidak telah/ pernah kawin. Maka jika seseorang
berumur di bawah 21 tahun tetapi sudah/ pernah kawin, otomatis telah dianggap
dewasa oleh KUHP dan KUHPerdata. Undang-Undang Perlindungan Anak tidak
mengenal persyaratan ini, karena yang menjadi tolak ukurnya adalah apakah umurnya
di bawah 18 tahun atau tidak tanpa mempersoalkan apakah sudah/ pernah kawin atau
tidak, seseorang di bawah umur 18 tahun ex jure dianggap anak.
Definisi anak dikaitkan dengan pengertian hak anak dalam Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UUHAM) yang pada
Pasal 1 angka 5 menyebutkan: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Merujuk formulasi
anak dalam UUHAM di atas, maka seorang disebut sebagai anak jika belum berusia
18 tahun ditambah syarat lain berupa belum pernah kawin, karenanya jika telah
pernah kawin walaupun berusia di bawah 18 tahun tidak lagi termasuk anak sehingga
tidak dapat menikmati hak anak yang diuraikan dalam Pasal 52 hingga Pasal 66 UU
HAM.189
189 Pasal 52
berbunyi: (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 53 berbunyi: (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Pasal 54 berbunyi: Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 55 berbunyi: Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Pasal 56 berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri. (2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 berbunyi: (1) setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. (3) Orang tua angkat attau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Pasal 58
berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
Convention on the Right of the Child/CRC190
tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alas an dan atauran yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. (2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Pasal 60
berbunyi: (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. (2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dam memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepattutan. Pasal 61 berbunyi: Setiap anak berhak untuk istirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya. Pasal 62 berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mentak spiritualnya.
Pasal 63 berbunyi: Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan,
sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64
berbunyi: Setiap anak berhak untukmemperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan
setiap pekerjaan yang membehayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya. Pasal 65 berbunyi: Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya. Pasal
66 berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. (3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. (4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. (5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. (6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. (7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
190
Convention on the Right of the Child/CRC adalah bermula dari dicanangkannya tahun 1979 sebagai “Tahun Anak Internasional”. Untuk momen ini, Pemerintah Polandia mengusulkan perumusan dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak secara yuridis. Pada tahun 1989 rancangan Convention on the Right of the Child/CRC (Konvensi Hak Anak/ KHA) diselesaikan dan pada tahun itu juga disahkan dengan bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 yang dituangkan dengan Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. KHA ini telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Kepres Nomor 36 Tanggal 25 Agustus 1990. Lihat, Hadi Supeno, Op.Cit, hlm. 33.
memberikan batasan anak dalam
Pasal 1 yaitu “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut
undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasan dicapai lebih awal”. Itu berarti
bahwa CRC masih membuka ruang untuk mengakui kedewasaan seseorang dapat
2. Pasal Yang Mengatur Tentang Persetubuhan Terhadap Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Perlindungan Anak secara tegas mempergunakan
terminologi ”persetubuhan” yang secara spesifik terdapat pada Pasal 81 sedangkan
dalam Pasal 82191 dipergunakan terminologi ”pencabulan” dan Pasal 88192
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
mempergunakan terminologi ”eksploitasi seksual”. Oleh karena itu istilah
persetubuhan, pencabulan dan eksploitasi seksual telah menjadi terminologi yuridis
dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan:
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Merujuk ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) di atas dapat diambil
beberapa syarat penting yang harus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai
persetubuhan terhadap anak yaitu:
191
Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
192
a) Adanya persetubuhan.
Persetubuhan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu
harus benar-benar terjadi berupa penetrasi penis ke dalam vagina yang umum
dilakukan untuk memperoleh kepuasan seksual atau untuk memperoleh anak. Jika
tidak sampai terjadi penetrasi penis ke dalam vagina (misalnya hanya sebatas
perbuatan berupa meraba, mencium atau memeluk) maka perbuatan itu menjadi
ruang lingkup perbuatan cabul yang secara khusus diatur dalam Pasal 82
Undang-Undang Perlindungan Anak.
b) Harus dilakukan terhadap anak.
Persetubuhan itu harus dilakukan terhadap seorang anak yaitu seorang yang
masih berusia di bawah 18 tahun. Anak yang dimaksud disini dapat berarti anak
laki-laki maupun anak jenis kelamin perempuan. Pelaku disini dapat saja masih berusia
yang tergolong anak dan juga pelaku usia dewasa. Jika berpatokan kepada pendapat
bahwa laki-laki tidak mungkin berhasil melakukan penetrasi dalam keadaan di bawah
ancaman kekerasan karena akan mengganggu psikologisnya maka anak sebagai
korban disini tidaklah mungkin seorang laki-laki sehingga istilah ”anak” dalam Pasal
81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak otomatis haruslah dianggap sebagai
anak jenis kelamin perempuan karena itu pelakunya haruslah laki-laki, tetapi jika
memperhatikan bunyi Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak di atas,
kemungkinan anak laki-laki dapat sebagai korban persetubuhan karena dilakukan
yang semua upaya itu masih dimungkinkan dapat merangsang birahi seorang anak
laki-laki untuk melakukan penetrasi sehingga pelaku persetubuhan (sebagai korban)
disini dapat berjenis kelamin laki-laki dan juga jenis kelamin perempuan.
c) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau membujuk.
Terjadinya persetubuhan terhadap anak itu haruslah dimotivasi oleh perbuatan
berupa kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk anak. Penjelasan tentang melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan disini sama dengan penjelasan sebelumnya pada pasal 285
KUHP.
Adami Chazawi menyatakan bahwa ”tipu muslihat diartikan sebagai suatu
perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan atau kepercayaan
tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar”.193 Hoge Raad
dalam Arrestnya tanggal 30-01-1911 menyatakan bahwa tipu muslihat adalah
perbuatan-perbuatan yang menyesatkan, yang dapat menimbulkan dalih-dalih yang
palsu dan gambaran-gambaran yang keliru dan memaksa orang untuk
menerimanya.194 Tipu muslihat, tulis R. Soesilo adalah suatu tipu yang demikian
liciknya sehingga seseorang yang berfikiran normal dapat tertipu.195
193
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media, 2004), hlm. 126.
194
Ibid, hlm. 126-127. 195
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 261.
Rangkaian
seolah-olah benar adanya bagi korban, sehingga karena rangkaian maka kata bohong yang
satu dengan kata bohong yang lainnya memiliki hubungan atau kaitan dimana yang
satu menimbulkan kesan membenarkan atau menguatkan yang lain. Rangkaian
kebohongan mempuyai unsur: (1) berupa perkataan yang isinya tidak benar, (2) lebih
dari satu bohong, dan (3) bohong yang satu menguatkan bohong yang lain.196
Membujuk adalah berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk197 atau
melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu
menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian.198
d) Dengan dirinya sendiri atau orang lain.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 89 KUHP yang menyamakan melakukan
kekerasan dengan membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya, maka hanya
persetubuhan terhadap anak perempuanlah yang dapat menjadi korban dalam kondisi
pingsan atau tidak berdaya, karena seandainya anak laki-laki dalam kondisi pingsan
atau tidak berdaya tidak mungkin akan terjadi persetubuhan karena tidak akan
mungkin terjadi penetrasi penis ke dalam vagina.
Persetubuhan disini dapat ditujukan untuk diri pemaksa sendiri ataupun untuk
diri orang lain selain diri pemaksa ataupun untuk diri pelaku yang melakukan tipu
muslihat/ serangkaian kebohongan atau pembujuk atau selain dirinya. Kalimat
”...dengannya atau diri orang lain” sekaligus menunjukkan bahwa persetubuhan
196
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 127. 197
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 215. 198
dalam pasal ini dapat diterapkan juga terhadap pelaku perempuan dan pelaku
laki-laki.
Pelaku perempuan dapat dipersalahkan karena melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang anak perempuan untuk melakukan
persetubuhan dengan laki-laki lain selain pemaksa. Pelaku perempuan juga dapat
disalahkan karena melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau
membujuk: pertama, anak laki-laki untuk melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan perempuan lain selain dengan dirinya, atau, kedua, seorang anak perempuan
untuk melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain.
Pelaku laki-laki dapat dipersalahkan karena melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang anak perempuan untuk melakukan
persetubuhan dengan dirinya atau dengan diri orang lain selain diri pemaksa. Pelaku
laki-laki juga dapat dipersalahkan karena melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk: pertama, anak perempuan melakukan persetubuhan
dengan dirinya atau diri orang lain selain dirinya, atau kedua, seorang anak laki-laki
untuk melakukan persetubuhan dengan perempuan lain.
Ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak di atas
adalah persetubuhan yang didasarkan atas kekerasan atau ancaman kekerasan dengan
paksaan, sedangkan ketentuan ayat (2) nya adalah tentang persetubuhan yang
didasarkan karena adanya tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau bujukan.
kekerasan lebih nista dari persetubuhan atas dasar tipu muslihat, kebohongan atau
bujukan meskipun yang terakhir ini tetap saja tercela. Undang-Undang Perlindungan
Anak ternyata memandang kualifikasi ”persetubuhan karena kekerasan” dengan
”persetubuhan karena tipu muslihat, kebohongan atau bujukan” sebagai perbuatan
yang memiliki kesamaan dari sudut kesalahan. Hal ini secara tegas dapat dipahami
jika dilihat dari formulasi Pasal 81 ayat (2) yang memberlakukan ketentuan pidana
ayat (1) terhadap ayat (2) secara sama berat dan jenisnya.
C. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (selanjutnya disebut UUKDRT) tidak mengatur secara khusus
mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak, namun setidaknya ada pasal
tertentu yang memiliki jiwa yang sama dengan tujuan melindungi anak dari tindakan
persetubuhan yaitu Pasal 46 yang mempergunakan terminologi ”kekerasan seksual”
dan Pasal 47 yang menggunakan termonologi ”hubungan seksual”.
Pasal 46 UUKDRT berbunyi: ”Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf (a) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp
Pasal 47 UUKDRT berbunyi:
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf (b) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 8 huruf (a) dan (b) UUKDRT berbunyi:
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Penjelasan Pasal 8 UUKDRT disebutkan bahwa: ”Yang dimaksud dengan
“kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu”.
Pengertian terminologi “hubungan seksual” tidak ditemukan secara tegas
dalam UUKDRT, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 47 diketahui bahwa tingkat
ancaman pidana “hubungan seksual” terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, lebih
tinggi ketimbang ancaman “kekerasan seksual” dalam Pasal 46. Pemberatan pidana
dalam pasal 47 logis mengingat karena hubungan seksual itu didasarkan atas paksaan
Pemakaian pasal-pasal ini hanya terikat pada status pelaku dan korban sebagai
dalam lingkup rumah tangga yang meliputi suami, isteri, anak, orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga karena darah, perkawinan, susuan, pengasuhan,
perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut dan pembantu rumah tangga
yang menetap dalam rumah tangga tersebut.199
199
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Hal ini berarti kekerasan seksual
yang diatur dalam Pasal 46 dan Pasal 47 UUKDRT, dapat menjerat pelaku
persetubuhan jika dilakukan terhadap seseorang yang termasuk anak, dimana