HUBUNGAN ANTARA KOPING DENGAN RESILIENSI PADA
PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI
HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Oleh
JAGENTAR PARLINDUNGAN PANE
127046043 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUBUNGAN ANTARA KOPING DENGAN RESILIENSI PADA
PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI
HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Oleh
JAGENTAR PARLINDUNGAN PANE
127046043 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Telah diuji
Pada tanggal: 5 Desember 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes.
Anggota : 1. Rosina Tarigan, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB
2. Prof.Dr.Dra. Irmawati Soeprapto, M.Si., Psikolog
Judul Tesis : Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien
Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Nama Mahasiswa : Jagentar Parlindungan Pane
Progam Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Penyakit gagal ginjal kronis berlangsung secara progresif dan irreversible tanpa memperhatikan penyebabnya. Pasien gagal ginjal kronis akan menjalani
hemodialisa sepanjang hidup apabila pasien tidak menjalani transplantasi ginjal.
Kondisi ketergantungan kepada mesin dialisa dan perubahan gaya hidup menjadi
masalah psikologis bagi pasien. Untuk memecahkan masalah terkait dengan
penyakit dan prosedur perawatan hemodialisa, diperlukan suatu cara yang disebut
dengan koping yaitu usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi
ketidaknyamanan, ancaman akibat tindakan cuci darah yang sedang berjalan.
Strategi koping terbagi atas 2 jenis yaitu koping yang berfokus pada masalah dan
koping yang berfokus pada emosi. Penelitian Yi, Smith, and Vitaliano (2005) dan
Sutanto (2005) mengatakan individu dikatakan memiliki resiliensi tinggi apabila
individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah (problem
focused coping) sedangkan individu dikatakan memiliki resiliensi rendah apabila
individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion
focused coping). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara strategi
koping dengan resiliensi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Desain penelitian cross-sectional, jumlah sampel sebanyak 92 orang diambil dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner Resiliensi yang disusun oleh
menunjukkan tidak ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan
resiliensi tinggi dan strategi koping berfokus emosi dengan resiliensi rendah.
Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis “ada hubungan strategi koping berfokus
pada masalah dengan tingkat resiliensi tinggi dan ada hubungan strategi koping
berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi rendah ditolak”. Strategi koping
berfokus masalah dan strategi koping berfokus emosi sering terjadi secara
bersamaan (Lazarus & Folkman, 1984). Penelitian ini menemukan 56,5%
responden memiliki resiliensi tinggi, 12% resiliensi sedang dan 31,5% resiliensi
rendah. Disarankan bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan cuci
darah yang tingkat resiliensi rendah diperlukan upaya-upaya untuk memperkuat
sumber-sumber resiliensi yang mengacu pada teori Grotberg (2001) yaitu I have, I am dan I can. I have adalah dukungan eksternal mencakup dukungan orang terdekat, yaitu keluarga, saudara atau kekasih. I am adalah pengembangan kekuatan batin mencakup intensitas beribadah yang lebih sering sehingga
menunjukkan religiusitas yang lebih tinggi. I can adalah keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah, dalam hal ini lebih dominan pada
kemampuan sosial yang baik.
Thesis Title : Correlation between Coping and Resilience in
Chronic Kidney Failure Patients who are treated
in Hemodialysis in Haji Adam Malik General
Hospital Medan
Name : Jagentar Parlindungan Pane
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
close relatives (family, siblings, or beloved), ‘I am’ means moral support development which includes the intensity of service to God which indicates that the person is more religious, and ‘I can’ means interpersonal skill and problem solving which are more dominant than good social capacity.
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karuniaNya peneliti dapat menyelesaikan Tesis dengan judul: Hubungan
Antara Koping dengan Resiliensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang
menjalani Hemodialisis di RSUP. Haji Adam Malik Medan.” Tesis ini dibuat
dalam rangka memenuhi sebagian syarat guna menyelesaikan Program Studi
Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Medikal Bedah Universitas Sumatera
Utara.
Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
2. Setiawan, S.Kp., MNS, Ph.D, selaku Kaprodi Magister Ilmu Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
3. Achmad Fathi, S.Kep,Ns, MNS, selaku Sekretaris Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
4. Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku pembimbing I yang telah
membimbing penulis dengan sabar, tekun dan sangat cermat memberikan
5. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB, selaku pembimbing II yang dengan
sabar membimbing penulis dan senantiasa meluangkan waktu untuk perbaikan
tesis ini.
6. Prof.Dr.Dra. Irmawati Soeprapto, M.Si. Psikolog dan Ikhsanuddin Ahmad
Harahap, S.Kp.,MNS selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan
untuk perbaikan tesis ini.
7. Pimpinan Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi “RASYIDA” beserta staf
yang telah memberikan kesempatan kepada Peneliti untuk melaksanakan Uji
Reliabilitas Instrumen Penelitian.
8. Direktur RSUP. Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis dalam melakukan penelitian.
9. Seluruh Perawat ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan
yang telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian
10.Yayasan Widya Fraliska Medan yang telah memberikan kepercayaan kepada
saya untuk melanjutkan pendidikan ke Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
11.Seluruh staf dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang
telah banyak membantu penulis selama proses pendidikan.
12.Responden penelitian yang dengan sukarela meluangkan waktunya untuk
berpartisipasi.
13.Ibunda Tercinta, R. Br. Siburian serta Mertua St.D.E. Malau/Th. Br.
Simbolon, yang selalu mendoakan dan mendukung penulis sehingga tesis ini
14.Istri tercinta,Tiodora br Malau, yang menjadi teman sekaligus sahabat yang
selalu berbagi, yang selalu menjadi motivator dan selalu mendukung dan
mencari solusi terbaik sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan
baik.
15.Putri tercinta, Febby Valentin Gabriella Pane yang menjadi sumber kekuatan
yang menguatkan penulis dalam suka dan duka untuk selalu melakukan yang
terbaik sehingga tesis ini dapat selesai dengan baik.
16.Rekan kerja penulis, Br. Amos Ginting, SKM dan Pomaria Simbolon, M.Kes.,
yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.
17.Teman-teman seangkatan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu saling menopang satu
dengan yang lain, sehingga bersama-sama kita berusaha untuk dapat
menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Semoga kebaikan Bapak, Ibu, Bruder dan Saudara mendapat pahala yang
berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini
dapat bermanfaat untuk peningkatan pelayanan Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah.
Medan, 5 Desember 2014
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Jagentar Parlindungan Pane
Tempat/Tanggal lahir : Medan, 30 Desember 1977
Agama : Katolik
Alamat : Jln. Jamin Ginting No.161 Padang Bulan Medan
No.Telp/HP : 061-8220701/085370867449
Riwayat Pendidikan :
Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulusan
SD St. Yosef Sidikalang 1990
SMP St. Paulus Sidikalang 1993
SMA Cahaya 2 Sidikalang 1996
Akademi Keperawatan St. Elisabeth Medan 1999
S1
Ners
Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan
Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan
2005
2005
S2 Prodi Magister Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan USU Medan
2014
Riwayat Pekerjaan :
Tahun 2003 - Sekarang : Dosen Tetap di STIKes Santa Elisabeth Medan
Tahun 1999 - 2003 : Staf Perawat di Ruang Unit Gawat Darurat
Kegiatan Akademik Penunjang Studi:
Peserta pada seminar Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan
Pengembangan Pengetahuan Bidang Kesehatan, 18 Desember 2012,
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Peserta pada workshop Analisis Data Kualitatif Dengan Metode Contents
Analysis & Sofware WEFT-QDA”, 31 Januari 2013, Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
Peserta pada seminar Medan International Nursing Conference “The Application of Caring Science in Nursing Education Advanced Research and Clinical
Practice”, 1-2 April 2013; Hotel Garuda Plaza Medan, Sumatera Utara.
Peserta pada seminar dan workshop “Diagnostic Reasoning- NANDA dan ISDA
Basic, 24 Nopember 2013; Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera
DAFTARISI
3.6 Variabel dan Defenisi Operasional ... 40
BAB 5. PEMBAHASAN……….. 58
5.1 Hubungan Umur Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……….. 58
5.2 Hubungan Jenis kelamin Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……… 59
5.3 Hubungan Pekerjaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa………. 60
5.4 Hubungan Pendidikaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……….. 61
5.5 Hubungan Status perkawinan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa………... 62
5.6 Strategi Koping yang digunakan oleh responden Gagal Ginjal Kronik selama menjalani tindakan cuci darah (hemodialisa)………... 63
5.7 Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa………... 64
5.8 Hubungan Strategi Koping Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan………. 65
5.9 Keterbatasan Penelitian………... 65
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………... 67
6.1. Kesimpulan……… 67
6.2. Saran………... 68
DAFTAR PUSTAKA……….. 71
LAMPIRAN……… 75
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.5.1 Instrumen B: Kuesioner Strategi Koping ………. 35
Tabel 3.5.2 Instrumen C: Kuesioner Resiliensi ………... 38
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Data Demografi di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan……….. 50
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Strategi Koping Responden Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik………….. 51
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah
Sakit Haji Adam Malik Medan……….. 52
Tabel 4.4 Hubungan Umur Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan……… 52
Tabel 4.5 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan……….. 53
Tabel 4.6 Hubungan Pekerjaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ……… 54
Tabel 4.7 Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani
hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan ……… 55
Tabel 4.8 Hubungan Status Pernikahan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Instrumen Penelitian……….. 75
Lampiran 2 Biodata Expert………... 82
Judul Tesis : Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien
Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Nama Mahasiswa : Jagentar Parlindungan Pane
Progam Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Penyakit gagal ginjal kronis berlangsung secara progresif dan irreversible tanpa memperhatikan penyebabnya. Pasien gagal ginjal kronis akan menjalani
hemodialisa sepanjang hidup apabila pasien tidak menjalani transplantasi ginjal.
Kondisi ketergantungan kepada mesin dialisa dan perubahan gaya hidup menjadi
masalah psikologis bagi pasien. Untuk memecahkan masalah terkait dengan
penyakit dan prosedur perawatan hemodialisa, diperlukan suatu cara yang disebut
dengan koping yaitu usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi
ketidaknyamanan, ancaman akibat tindakan cuci darah yang sedang berjalan.
Strategi koping terbagi atas 2 jenis yaitu koping yang berfokus pada masalah dan
koping yang berfokus pada emosi. Penelitian Yi, Smith, and Vitaliano (2005) dan
Sutanto (2005) mengatakan individu dikatakan memiliki resiliensi tinggi apabila
individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah (problem
focused coping) sedangkan individu dikatakan memiliki resiliensi rendah apabila
individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion
focused coping). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara strategi
koping dengan resiliensi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Desain penelitian cross-sectional, jumlah sampel sebanyak 92 orang diambil dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner Resiliensi yang disusun oleh
menunjukkan tidak ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan
resiliensi tinggi dan strategi koping berfokus emosi dengan resiliensi rendah.
Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis “ada hubungan strategi koping berfokus
pada masalah dengan tingkat resiliensi tinggi dan ada hubungan strategi koping
berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi rendah ditolak”. Strategi koping
berfokus masalah dan strategi koping berfokus emosi sering terjadi secara
bersamaan (Lazarus & Folkman, 1984). Penelitian ini menemukan 56,5%
responden memiliki resiliensi tinggi, 12% resiliensi sedang dan 31,5% resiliensi
rendah. Disarankan bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan cuci
darah yang tingkat resiliensi rendah diperlukan upaya-upaya untuk memperkuat
sumber-sumber resiliensi yang mengacu pada teori Grotberg (2001) yaitu I have, I am dan I can. I have adalah dukungan eksternal mencakup dukungan orang terdekat, yaitu keluarga, saudara atau kekasih. I am adalah pengembangan kekuatan batin mencakup intensitas beribadah yang lebih sering sehingga
menunjukkan religiusitas yang lebih tinggi. I can adalah keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah, dalam hal ini lebih dominan pada
kemampuan sosial yang baik.
Thesis Title : Correlation between Coping and Resilience in
Chronic Kidney Failure Patients who are treated
in Hemodialysis in Haji Adam Malik General
Hospital Medan
Name : Jagentar Parlindungan Pane
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
close relatives (family, siblings, or beloved), ‘I am’ means moral support development which includes the intensity of service to God which indicates that the person is more religious, and ‘I can’ means interpersonal skill and problem solving which are more dominant than good social capacity.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal ginjal kronis merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversibel tanpa
memperhatikan penyebabnya (Smeltzer, 2001). Istilah penyakit ginjal tahap akhir
atau end stage renal disease sering digunakan oleh pemerintah seperti Health
Care Financing Administration (HCFA) dan telah menjadi sinonim gagal ginjal
kronis. Sidabutar, 1992 (dalam Lubis, 2006) menyatakan bahwa gagal ginjal
kronis semakin banyak menarik perhatian dan makin banyak dipelajari karena
walaupun sudah mencapai gagal ginjal tahap akhir akan tetapi pasien masih dapat
hidup panjang dengan kualitas hidup yang cukup baik disamping prevalensinya
yang terus meningkat setiap tahun.
Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) di Amerika
Serikat prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20-25% setiap
tahunnya. Di Kanada insiden penyakit gagal ginjal tahap akhir meningkat rata-rata
6,5 % setiap tahun (Canadian Institute for Health Information (CIHI), 2005),
dengan peningkatan prevalensi 69,7 % sejak tahun 1997 (CIHI, 2008). Sedangkan
di Indonesia prevalensi pasien gagal ginjal hingga kini belum ada yang akurat
karena belum ada data yang lengkap mengenai jumlah pasien gagal ginjal kronis
di Indonesia. Tetapi diperkirakan, bahwa jumlah pasien gagal ginjal di Indonesia
semakin meningkat. WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan
Pasien gagal ginjal kronis yang mengalami kerusakan fungsi ginjal akan
memerlukan terapi seperti cuci darah (hemodialisis) pada jangka waktu tertentu
atau melakukan transplantasi ginjal (Pearce, 1995). Waktu yang dibutuhkan
pasien selama tindakan hemodialisis berlangsung rata-rata 12-15 jam setiap
minggunya, dimana tindakan hemodialisis ini dibagi menjadi dua atau tiga sesi
yang setiap sesinya berlangsung 3-6 jam. Tindakan hemodialisis ini akan
berlangsung seumur hidup kecuali pasien melakukan transplantasi ginjal
(Smeltzer, S.C, Bare, 2005).
Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information
Clearinghouse (NKUDIC, 2006), hemodialisis merupakan terapi yang paling
sering digunakan pada pasien gagal ginjal kronis. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Caninsti, R (2007) di unit hemodialisis RSAL Mintoharjo Jakarta, pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis khawatir dan takut jika
pada proses hemodialisis terjadi hal-hal diluar dugaan yang menyebabkan pasien
meninggal dunia. Pasien juga mengalami depresi berupa hilangnya minat
melakukan aktifitas yang menyenangkan, rasa bersalah kepada keluarga,
istri/suami karena merasa dirinya sebagai beban, dan perasaan tidak berdaya
karena ketergantungan pada hemodialisis seumur hidup. Perubahan yang terjadi
dalam hidup pasien hemodialisis merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya
stress yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dan pola
perilaku individu.
Di Unit rawat jalan hemodialisis RS. Turki, ada sebanyak 5.307 pasien
sebanyak 5.647 (Cinar et al, 2009). Penelitian oleh Mollahadi (2010) tentang
hubungan antara tingkat depresi dengan stres pasien dialisis, didapatkan bahwa
64,5% pasien mengalami depresi, 51,4% stres yang jelas dan 49,7% stres yang
tersembunyi. Cristovao pada tahun 1999 (dalam Gerogianni, 2013) melakukan
penelitian dengan 1.101 pasien yang menjalani dialisis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa stres yang paling sering dilaporkan oleh pasien adalah
kelelahan, ketidakpastian tentang masa depan, keterbatasan dalam liburan dan
hilangnya fungsi tubuh serta faktor biaya.
Di Indonesia jumlah pasien yang menjalani hemodialisis tahun 2012
sebanyak 24.141 orang. Di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013
jumlah pasien yang menderita gagal ginjal sebanyak 191 orang kasus, sedangkan
di RS Pirngadi sebanyak 184 orang kasus gagal ginjal secara rutin menjalani
pengobatan hemodialisis (Askes, 2013).
Ketergantungan pada obat-obatan dan pemakaian alat dalam jangka waktu
yang sangat lama merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stres bagi pasien
yang menderita penyakit gagal ginjal kronik. Pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis dalam jangka waktu yang sangat panjang sebenarnya
masih memiliki kekuatan dari dalam dirinya untuk beradaptasi dengan pemicu
stres. Kemampuan individu untuk bangkit dan beradaptasi dengan kondisinya ini
disebut dengan resiliensi.
Teori Resiliensi diperkenalkan pertama kali oleh Wagnild & Young
(1990). Resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi pada situasi
menggambarkan sikap dan perilaku manusia ketika individu berhadapan dengan
kemalangan atau kesulitan hidup (Sulistyaningsih, 2009). Hasil penelitian
Smokowski dkk (2000 dalam Sulistyaningsih, Wiwik (2009), menunjukkan
bahwa individu yang berhasil adalah mereka yang memiliki ciri sifat optimis
terhadap masa depan, tekun, memiliki kebulatan tekad, dan mampu mengambil
pelajaran dari kehidupan masa lalu untuk mengatasi kesulitan hidup. Pendapat ini
didukung oleh Penelitian Susan De Nisco (2011) tentang resiliensi pada wanita
yang menderita diabetes mellitus 2 pada wanita Afrika mengatakan bahwa
individu yang memiliki nilai resiliensi yang tinggi akan mampu mengontrol kadar
gula darah, sementara menurut penelitian yang dilakukan oleh Carver dan Scheier
(1999 dalam Sulistyaningsih, Wiwik (2009) menyatakan bahwa orang yang
optimis mampu mengatasi stres dengan cara yang lebih adaptif daripada orang
yang pesimis. Orang optimis cenderung menggunakan coping yang terpusat pada
masalah dan berorientasi pada tindakan.
Sulistyaningsih, Wiwik (2009) mengatakan resiliensi adalah lebih dari
sekedar pemecahan masalah atau coping . Pendapat ini didukung oleh penelitian
Yi, Smith, and Vitaliano (2005), dimana atlet remaja putri dibagi menjadi 2
kelompok yaitu individu dengan resiliensi tinggi dan individu dengan resiliensi
rendah. Individu dikatakan memiliki resilien tinggi apabila individu menggunakan
strategi koping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping)
dengan jenis koping mencari dukungan sosial sedangkan individu dikatakan
berfokus pada emosi (emotion focused coping) dengan jenis koping menghindar
dari masalah/Avoidance dan menyalahkan orang lain/Blame others.
Coping didefenisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah
secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu yang
dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang (Lazarus &
Folkman, 1984). Coping dapat juga dikatakan sebagai bentuk adaptasi karena
coping merupakan bagaimana cara seseorang bereaksi terhadap sebuah stimulus
yang didapat dari lingkungannya (Costa, Somerfield & McCrae, 1996 dalam
Primaldhi 2006).
Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi coping menjadi dua yaitu
strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan strategi
coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Secara umum,
Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping
mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu
masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif,
mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif
dan menjalani alternatif yang dipilih (Lazarus dan Folkman, 1984), sedangkan
Emotion-focused coping diarahkan untuk mengurangi perasaan emosional seperti
menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, dan
mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang yang menggunakan
emotion-focused coping mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta
dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal yang
memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka sendiri
(Lazarus dan Folkman, 1984).
Pernyataan Lazarus dan Folkman (1984) didukung oleh penelitian Kumar
et al (2003) di India, pasien yang menjalani terapi hemodialisis lebih sering
menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused
coping), sedangkan menurut penelitian Yeh,S.J & Chou, H (2007) di Taiwan,
pasien hemodialisis lebih sering menggunakan strategi coping yang berorientasi
pada emosi. Sementara penelitian Wu Li-Min et al (2013) mengatakan bahwa
koping yang berorientasi pada masalah (problem focused coping) adalah koping
yang sering digunakan oleh remaja selama menjalani pengobatan kanker, hal ini
disebabkan karena problem-focused coping dianggap sebagai faktor pelindung
yang mendorong pemulihan pada remaja yang menderita penyakit kanker dan
dapat mengurangi kecemasan, kekhawatiran serta meningkatkan resiliensi pada
remaja yang menderita penyakit kanker sedangkan koping yang berfokus pada
emosi (emotion-focused coping) jarang digunakan.
Allen dan Leary (dalam Susanto, 2012) mengatakan bahwa individu yang
mempunyai kemampuan koping tinggi akan cenderung pada PFC (problem
focused coping) sedangkan kemampuan koping yang relatif rendah akan
cenderung pada EFC (emotion focused coping) dalam penyelesaian masalah.
Penelitian Susanto (2012) mengatakan bahwa resiliensi pada individu PFC
(problem focused coping) akan lebih tinggi dibandingkan dengan resiliensi pada
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Adam Malik Medan.
1.1. Perumusan Masalah
Bagaimanakah hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien
Gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan Tahun 2014?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Menganalisis hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien yang
menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Adam Malik Medan Tahun 2014.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik ( umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,
status perkawinan) pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji
Adam Malik Medan.
b. Mengidentifikasi strategi koping yang digunakan pasien dalam menjalani
tindakan cuci darah (hemodialisis) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
c. Mengidentifikasi resiliensi pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah
Sakit Haji Adam Malik Medan.
d. Menganalisis hubungan karakteristik (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan) dengan resilensi pasien yang menjalani
e. Menganalisis hubungan strategi koping berfokus masalah dengan resilensi
tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan.
f. Menganalisis hubungan strategi koping berfokus emosi dengan resilensi
rendah pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan.
1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian, atau kesimpulan
teoritis yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui analisis terhadap
bukti-bukti empiris (Setiadi, 2007). Hipotesis penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan tingkat
resiliensi tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji
Adam Malik Medan.
2. Ada hubungan strategi koping berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi
rendah pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Rumah Sakit/Unit hemodialisis
Memberikan masukan kepada Rumah Sakit Adam Malik Medan
khususnya Unit Hemodialisis agar memperhatikan strategi koping dan tingkat
1.5.2. Bagi Praktek keperawatan
Untuk mengembangkan kajian teoritis maupun penelitian yang
berhubungan dengan konsep koping dan resiliensi terkait penanganan psikologis
pada pasien yang menjalani tindakan cuci darah (hemodialisis)
1.5.3. Bagi Keluarga pasien
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu keluarga dalam
mempersiapkan strategi koping dan resiliensi anggota keluarga sehingga
keberhasilan hemodialisis dapat tercapai dan pasien tetap hidup berkualitas.
1.5.4. Bagi Penelitian selanjutnya
Memberikan rekomendasi yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian
keperawatan serta memberikan masukan untuk penelitian berikutnya dalam
perencanaan penelitian keperawatan yang berfokus kepada tindakan keperawatan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Koping Dan Resiliensi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis
Sulistyaningsih (2009) mengatakan koping merupakan bagian dari
resiliensi. Koping didefenisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah
secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu yang
dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang (Lazarus &
Folkman, 1984).
Koping dapat juga dikatakan sebagai bentuk adaptasi karena koping
merupakan bagaimana cara seseorang bereaksi terhadap sebuah stimulus yang
didapat dari lingkungannya (Costa, Somerfield & McCrae, 1996 dalam Primaldhi
2006). Hasil penelitian Susan De Nisco (2011) tentang resiliensi pada wanita yang
menderita diabetes mellitus 2 di Afrika memperlihatkan bahwa individu yang
memiliki nilai resiliensi yang tinggi akan mampu mengontrol kadar gula darah.
Yi, Smith, and Vitaliano (2005), membagi atlet remaja putri menjadi 2 kelompok
yaitu individu dengan resiliensi tinggi dan individu dengan resiliensi rendah.
Individu dikatakan memiliki resilien tinggi apabila individu menggunakan strategi
Koping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping) dengan
jenis koping mencari dukungan sosial sedangkan individu dikatakan memiliki
resiliensi rendah apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus
pada emosi (emotion focused coping) dengan jenis koping menghindar dari
Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi koping menjadi dua yaitu
strategi koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan strategi
koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Secara umum,
Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping
mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu
masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif,
mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif
dan menjalani alternatif yang dipilih (Lazarus dan Folkman, 1984), sedangkan
Emotion-focused coping diarahkan untuk mengurangi penderitaan emosional
seperti menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian,
dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang yang menggunakan
emotion-focused coping mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta
dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal yang
terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya dimana kesemua proses tersebut
memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka sendiri
(Lazarus dan Folkman, 1984).
Penelitian Kumar et al (2003) di India, pasien yang menjalani terapi
hemodialisis lebih sering menggunakan strategi koping yang berfokus pada
masalah (problem-focused coping), sedangkan menurut penelitian Yeh,S.J &
Chou, H (2007) di Taiwan, pasien hemodialisis lebih sering menggunakan strategi
koping yang berorientasi pada emosi. Sementara penelitian Wu Li-Min et al
(2013) mengatakan bahwa koping yang berorientasi pada masalah (problem
menjalani pengobatan kanker, hal ini disebabkan karena problem-focused coping
dianggap sebagai faktor pelindung yang mendorong pemulihan pada remaja yang
menderita penyakit kanker dan dapat mengurangi kecemasan, kekhawatiran serta
meningkatkan resiliensi pada remaja yang menderita penyakit kanker sedangkan
koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) jarang digunakan.
Bersasarkan penelitian Li-Ching Ma et al, 2013, ditemukan bahwa pasien
yang sedang menjalani tindakan hemodialisis lebih banyak menggunakan strategi
koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) daripada
menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused
coping). Juga dikatakan bahwa resiliensi individu yang baik akan mengurangi
tekanan-tekanan yang disebabkan oleh dampak-dampak negatif dari penyakit
gagal ginjal kronis. Hal senada juga ditemukan oleh Yi, Smith, and Vitaliano
(2005), pada atlet remaja putri yang sedang menjalani pertandingan, yang
menemukan bahwa apabila atlet remaja putri menggunakan strategi koping
berfokus pada masalah (problem focused coping) akan menghasilkan resiliensi
tinggi dibandingkan dengan penggunanaan strategi koping berfokus pada emosi.
2. 2. Kepustakaan
2.2.1. Koping
1. Pengertian Koping
Koping adalah usaha untuk menghindari atau menekan ancaman,
ketidaknyamanan dan kehilangan atau usaha untuk mengurangi berbagai macam
penyebab stress atau dengan kata lain koping merujuk kepada tindakan langsung
didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan
untuk mengelola tuntutan eksternal dan/ atau internal tertentu yang dinilai berat
dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang.
Keliat (1999) mendefinisikan koping adalah cara yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon
terhadap situasi yang mengancam, sedangkan menurut Rasmun (2004), koping
merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik
maupun psikologik.
2. Pembagian Strategi Koping
Lazarus dan Folkman (1984), membagi strategi koping menjadi dua yaitu
problem-focused coping dan emotion-focused coping. Secara umum, Lazarus dan
Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping mengarah pada
penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu masalah,
mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan
alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif, dan menjalani
alternatif yang dipilih (Lazarus & Folkman, 1984). Jadi dalam problem-focused
tidak hanya berencana sebanyak mungkin, tapi segera melakukan rencana terbaik
dari semua pilihan yang ada seperti mencari informasi mengenai suatu masalah,
mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan
alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif dan menjalani
alternatif yang dipilih.
problem-focused muncul saat kondisinya masih ada kemungkinan berubah dan
dapat diperbaiki. Emotion-focused coping menurut Lazarus dan Fokman (1984),
merupakan sekumpulan proses kognitif yang diarahkan untuk mengurangi
penderitaan emosional dan mencakup strategi seperti menghindari,
meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, perbandingan positif,
dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang menggunakan
emotion-focused biasanya mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal
fakta dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal
yang terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya di mana kesemua proses
tersebut memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka
sendiri (Lazarus & Folkman, 1984).
Pada tahun 1989, Carver dkk menyusun sebuah instrument yang diberi
nama Brief COPE berdasarkan teori Lazarus dan Folkman (1984) tentang koping.
Sebagaimana Lazarus dan Folkman, Carver (1989) mengatakan strategi koping
terdiri dari 2 (dua) yaitu strategi koping berfokus masalah dan strategi koping
berfokus emosi.
Berikut ini penjelasan teori yang mendasari Brief COPE menurut Carver (1997):
I. Strategi Koping yang berfokus pada masalah (Problem- focused coping)
Ada 5 (lima) jenis koping yang termasuk ke dalam strategi problem-focused
coping adalah :
1. Active Coping (Penyelesaian masalah secara aktif)
Disebut aktif karena ada penekanan pada tindakan aktif individu untuk
tersebut. Jenis Koping ini meliputi langkah awal pengambilan tindakan
langsung, peningkatan usaha individu dan upaya untuk mencoba
melakukan koping dengan langkah yang bijaksana.
2. Planning (Perencanaan)
Melibatkan usaha memikirkan, menyusun rencana strategi tindakan dan
langkah yang akan diambil, serta kemungkinan berhasilnya usaha tersebut.
Planning terjadi selama fase penelitian sekunder (proses pengolahan di
otak tentang suatu potensi respon terhadap ancaman), sedangkan active
coping terjadi pada fase melaksanakan koping.
3. Suppression of competiting activities (Penekanan pada kegiatan lain)
Mencakup usaha membatasi ruang gerak atau aktifitas lain yang tidak
berhubungan dengan masalah. Jadi individu mengesampingkan urusan
lain, berusaha menghindari hal lain yang dapat menyebabkan teralihnya
perhatian individu dari masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan
agar perhatian individu sepenuhnya tercurah untuk mengatasi stres.
4. Restraint coping (Penundaan perilaku mengatasi stress)
Usaha mengatasi masalah dengan tidak melakukan tindakan apapun
(menunggu) sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak. Oleh
karena itu membutuhkan kontrol/kendali diri yang cukup baik.
5. Using instrumental support (Menggunakan instrument sebagai dukungan)
Merupakan usaha mencari dukungan sosial berupa nasehat, informasi atau
bantuan yang diharapkan agar membantu individu memecahkan masalah
II. Strategi Koping yang berfokus pada emosi (Emotion- focused coping)
Ada 10 (sepuluh) jenis koping yang termasuk ke dalam strategi
emotion-focused coping adalah :
1. Using emotional support (Menggunakan dukungan emosional)
Mencari dukungan moral, simpati, atau pengertian yang bertujuan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan ketidaknyamanan emosional akibat
masalahnya. Kecenderungan mencari dukungan sosial emosi memiliki
fungsi ganda, yaitu setelah individu merasa yakin berkat dukungan yang
diperoleh kemudian timbul tingkah laku Koping yang terpusat pada
masalah. Defenisi ini hampir serupa dengan dukungan sosial pada
problem-focused koping namun bedanya kecenderungan mencari
dukungan sosial emosional ini adalah hanya mencari dukungan emosional
untuk menenangkan dirinya atau mengeluarkan perasaan saja, sehingga
penggunaan strategi ini dinilai terkadang tidak selalu adaptif.
2. Positive reframing (Mengkaji ulang kejadian masa lalu ke arah positif)
Carver, menggunakan istilah ini didasarkan pada teori Lazarus dan
Folkman (1984) tentang konsep penilaian yang positif. Penilaian kembali
secara positif adalah strategi koping yang berfokus untuk mengelola
perasaan tertekan dan bukan berurusan dengan stressor itu sendiri.
3. Acceptance (Penerimaan)
Individu menerima kenyataan akan situasi yang penuh stres, menerima
bahwa kenyataan tersebut pasti terjadi. Penerimaan dapat memiliki dua
sikap menerima karena belum adanya strategi menghadapi masalah secara
aktif yang dapat dilakukan.
4. Humor (Humor)
Individu mencoba membuat lelucon mengenai masalah yang sedang
dihadapi.
5. Religion (Agama)
Individu mencari pegangan pada agama saat ia mengalami stres, misalnya
dengan lebih sering berdoa dan memperbanyak ibadah. Hal ini dapat
terjadi karena agama dapat berfungsi sebagai sumber dukungan emosional
dan sarana untuk menafsirkan kembali masalah yang dihadapi secara
positif maupun lebih dewasa.
6. Denial (Penolakan)
Menolak untuk percaya bahwa suatu stressor itu ada, atau mencoba
bertindak seolah-olah stressor tersebut tidak nyata. Kadang-kadang
penolakan menjadi pemicu masalah baru jika tekanan yang muncul
diabaikan karena dengan menyangkal suatu kenyataan dari masalah yang
dihadapi seringkali mempersulit upaya menghadapi masalah yang
seharusnya lebih mudah untuk pemecahan masalah.
7. Venting (Pelampiasan emosi)
Kecenderungan melepaskan emosi yang dirasakan.
8. Substance Use (Penggunaan zat atau alcohol/obat-obatan)
Individu menggunakan alkohol atau obat-obatan lainnya sebagai cara
9. Self-Distraction (Pengendalian diri)
Merupakan variasi dari tindakan pelarian, terjadi ketika kondisi pada saat
itu menghambat munculnya tindakan pelarian. Strategi yang
menggambarkan pelarian secara mental ini adalah melakukan
tindakan-tindakan alternatif untuk melupakan masalah seperti melamun, melarikan
diri dengan tidur dan menyibukkan diri dengan menonton televisi.
10.Self Blame
Lebih fokus pada apa saja yang dilakukan seseorang untuk menjauhkan
pikiran dari pemicu stres.
11.Behavioral disengagement (Pelepasan perilaku)
Mengurangi usaha seseorang untuk menghadapi stressor, menghentikan
usaha menghilangkan stressor yang mengganggu. Behavioral
disengagement digambarkan melalui gejala perilaku yang disebut
“helplessness” (ketidakberdayaan).
Pada tahun 1997, Carver melakukan penelitian koping terhadap penyakit
kronik (kanker payudara, HIV) menggunakan instrument Brief COPE yang
disusun sebelumnya, hasilnya ada beberapa jenis koping yang dieliminasi, diubah
serta ditambahkan kedalam jenis koping. Adapun jenis strategi koping yang
dieliminasi dari koping yang berfokus masalah (problem-focused coping) adalah
restraint coping dan suppression of competing activities dengan alasan kedua
jenis koping ini sudah dimasukkan ke dalam jenis koping yaitu active coping,
sedangkan jenis koping yang diubah supaya tidak menimbulkan ambiguitas dari
reinterpretation and growth menjadi positive reframing, focus on and venting
emotions menjadi venting, mental disengagement menjadi self distraction.
Selanjutnya terdapat satu jenis koping yang ditambahkan ke dalam komponen
strategi koping yang berfokus emosi (emotion-focused coping) yaitu self blame.
Carver (1997) mengatakan bahwa instrumen Brief COPE yang telah
direvisi dapat digunakan untuk semua situasi sesuai dengan kebutuhan dan
imaginasi (gambaran) dari peneliti. Oleh karena itu peneliti menggunakan
instrument Brief COPE untuk menilai strategi koping yang digunakan oleh pasien
gagal ginjal kronik yang sedang menjalani tindakan cuci darah (hemodialisa).
Berdasarkan keterangan di atas, maka instrument Brief COPE yang akan
digunakan dalam penelitian ini yakni strategi koping berfokus masalah terdiri dari
Active coping, Planning, Using Instrumental Support sedangkan yang termasuk
ke dalam strategi koping berfokus emosi terdiri dari Using Emotional Support,
Positive reframing, Acceptance, Humor Religion Denial, Venting, Substance use,
Self Distraction, Self Blame, Behavioral disengagement.
2.2.2 Resiliensi
1. Defenisi Resiliensi
Setiap orang pernah tersandung dan jatuh dari waktu ke waktu, tetapi
masing-masing dari kita memiliki kemampuan untuk bangkit dan segar kembali.
Kemampuan untuk bangkit dan segar kembali disebut dengan resiliensi. Sebagai
suatu kontruk psikoanalitik, resiliensi didefinisikan oleh Block dan Block (1980,
dalam Wagnild & Young, 1993) sebagai “ the dynamiccapacity of an individual
the demand characteristics of the environmental context”. Block menjelaskan
konstruk ini dengan menyebutnya “egoresilience” yang terentang pada suatu
kontinum. Pada salah satu ujung kontinum terdapat karakteristik fleksibel,
memiliki berbagai sumber daya dan strategi pemecahan masalah yang beragam
sedangkan pada ujung kontinum yang berlawanan terdapat karakteristik “
ego-brittleness” atau kerapuhan yang menunjukkan kurangnya fleksibilitas dalam
menghadapi berbagai situasi yang sulit.
Resiliensi mempunyai arti sebagai stamina emosional dan digunakan
untuk menjelaskan orang yang menunjukan keberanian dan kemampuan
beradaptasi pada situasi hidup yang sulit (Wagnild & Young, 1990). Rutter (1987
dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor
penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik.
Druss dan Douglas (1988 dalam Wagnild & Young, 1993) menjelaskan
individu yang resilien adalah individu yang memiliki keberanian yang luar biasa
dan optimisme dalam menghadapi kematian, penyakit, dan cacat bawaan. Individu
memiliki kepercayaan tidak dapat dikalahkan dan fokus pada aspek positif dari
kondisi mereka. Konsep resiliensi menurut Kadner (1989 dalam Wagnild &
Young, 1993) sebagai kemampuan individu untuk bangkit kembali dari kesulitan
psiko-sosial " dan mendefenisikan resiliensi sebagai kekuatan ego (efektivitas
semua fungsi ego dalam meningkatkan adaptasi terhadap lingkungan), keintiman
sosial, dan sumberdaya.
Dari beberapa pengertian resiliensi menurut beberapa ahli maka dapat
kembali dari tantangan atau dengan kata lain resiliensi mengandung arti memiliki
kekuatan batin, kemampuan, optimis, fleksibel dan kemampuan untuk mengatasi
kesulitan secara efektif. Konsep resiliensi digunakan untuk menggambarkan sikap
dan perilaku manusia ketika ia berhadapan dengan kemalangan atau kesulitan
hidup baik kesulitan itu bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga
maupun situasi dan konteks lingkungan hidup sekitarnya (Sulistyaningsih, 2009).
2. Karakteristik Resiliensi
Wagnild dan Young (1993) menyebutkan ada lima karakteristik resiliensi:
a. Self-Reliance (keyakinan pada diri sendiri), yakni keyakinan pada diri sendiri
dengan memahami kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri.
Individu yang resilien sadar akan kekuatan yang ia miliki dan
mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan
yang ia lakukan. Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup
yang dialami sehari-hari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan
kemampuan dirinya sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari
pengalaman hidup yang didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan
berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya.
b. Existential aloneness (Sifat unik), yaitu kesadaran bahwa setiap individu unik
dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang harus
dihadapi sendiri. Individu yang resilien belajar untuk hidup dengan
keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus menerus mengandalkan
orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun
Karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan
pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain, melainkan
menerima diri sendiri apa adanya.
c. Meaningfulness (tujuan hidup), merupakan kesadaran individu bahwa
hidupnya memiliki tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan
tersebut. Wagnild (2010) menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan
karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat
karakteristik yang lain, karena menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan
sia-sia karena tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Tujuan mendorong
individu untuk melakukan sesuatu dalam hidup tak terkecuali ketika ia
mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang
menghadapi kesulitan tersebut.
d. Equaminity (Ketenangan hati), yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh
individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya
semasa hidup yang dianggap merugikan. Namun demikian inidivu harus
mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat
hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang
sedang dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh
karena itu individu yang resilien dapat menertawakan situasi apapun yang
sedang dihadapi, melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak
terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat di dalamnya.
e. Perseverance (Ketekunan), yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan
keinginan seseorang untuk terus berjuang dalam mengembalikan kondisi
seperti semula. Dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan
pada diri individu ketika berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang
menguntungkan baginya.
2.2.3 Gagal Ginjal Kronis
1. Pengertian Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal menahun (CRF = Chronic Renal Failure) merupakan suatu
kegagalan fungsi ginjal yang berlangsung perlahan-lahan, karena penyebabnya
yang berlangsung lama, sehingga tidak dapat menutupi kebutuhan biasa lagi dan
menimbulkan gejala sakit (Junadi, 1989).
Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan
irreversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia atau
azotemia (Brunner & Suddarth, 2000).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup
lanjut (Suyono, 2001).
2. Stadium Gagal Ginjal Kronis
Klasifikasi gagal ginjal kronis tidak selalu sama. Price & Wilson (2005)
membagi perjalan klinis umum gagal ginjal kronis menjadi tiga stadium. Stadium
pertama disebut penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum,
Stadium kedua disebut juga insufisiensi ginjal, dimana terdapat lebih dari
75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak atau GFR 25% besarnya dari
normal. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi
kadar normal serta mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.
Stadium ketiga merupakan stadium akhir gagal ginjal kronis yang sering
disebut gagal ginjal terminal atau uremia. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi
apabila sekitar 90% dari massa nefron telah rusak, atau hanya sekitar 200.000
nefron yang masih utuh. Pada stadium ini pasien mulai merasakan gejala-gejala
yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis
cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pada gagal ginjal tahap akhir urin menjadi iso
osmotis, pasien biasanya menjadi oliguria dan terjadi sindrom uremia yang
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.
3. Penyebab Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang yang
progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Perjalanan gagal
ginjal tahap akhir hingga tahap terminal bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40
tahun. Price & Wilson (2005) mengklasifikasikan penyebab gagal ginjal kronis
menjadi delapan kelas yaitu: 1).Penyakit infeksi tubulointerstisial seperti
pielonefritis kronik atau refluks nefropati; 2).Penyakit peradangan seperti
glomerulonefritis; 3).Penyakit vaskular hipertensif seperti nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis; 4).Gangguan jaringan ikat
seperti lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan sklerosis sistemik
dan asidosis tubulus ginjal; 6).Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, gout,
hiperparatiroidisme, dan amiloidosis; 7).Nefropati toksik akibat penyalahgunaan
analgesik dan nefropati timah; 8).Nefropati obstruktif pada traktus urinarius
bagian atas seperti batu ginjal, neoplasma, fibrosis retroperitoneal dan nefropati
obstruktif pada traktus urinarius bagian bawah seperti hipertrofiprostat, anomali
kongenital leher vesika urinaria dan uretra. Selain penyebab tersebut ada empat
faktor risiko utama dalam perkembangan gagal ginjal tahap akhir yaitu usia, ras,
jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Gagal ginjal tahap akhir yang disebabkan
oleh nefropati hipertensif 6,2 kali lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika
daripada orang kaukasia. Secara keseluruhan insiden gagal ginjal tahap akhir lebih
besar pada laki-laki yaitu 56,3% daripada perempuan 43,7% (Fauci & Longo’s,
2001; Price & Wilson, 2005).
4. Manifestasi Gagal Ginjal Kronis
Manifestasi klinik Gagal ginjal kronis menurut Suyono (2001) adalah
sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi pericardial
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
b. Gangguan pulmoner
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea dan vomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau amoniak.
d. Gangguan musculoskeletal
Pegal pada kaki, rasa kesemutan dan terbakar terutama di telapak kaki, tremor,
miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas).
e. Gangguan integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi
dan aminore. Gangguan metabolik gula, gangguan metabolik lemak dan
vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. Gangguan hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga
rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga
5. Terapi Gagal Ginjal Kronis
Menurunnya fungsi ginjal dan semakin buruknya gejala uremia pada gagal
ginjal kronis tahap akhir mengharuskan diberikannya pengobatan kepada pasien.
Wilson (2005) menyatakan bahwa pengobatan gagal ginjal kronis dibagi dalam
dua tahapan, dimana tahap pertama merupakan tindakan konservatif yang
ditujukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif fungsi ginjal
dan tahap kedua yaitu tindakan untuk mempertahankan kehidupan dengan dialisis
dan transplantasi ginjal. Prinsip-prinsip penatalaksanaan konservatif didasarkan
pada batas ekskresi yang dapat dicapai ginjal yang terganggu. Tindakan
konservatif berupa diet, pembatasan cairan, dan konsumsi obat-obatan
(Suhardjono, 2001; Potter & Perry, 2005; Wilson,2005).
Pada gagal ginjal kronis tahap akhir dibutuhkan tindakan yang bisa
mengganti fungsi ginjal untuk mempertahankan kehidupan karena tindakan
konservatif saja tidak efektif. Penggantian fungsi ginjal bisa dengan transplantasi
dan dialisa. Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang lebih baik karena
pasien tidak terlalu terbatas hidupnya dan biasanya tidak ada pantangan diet serta
tidak membutuhkan banyak waktu untuk melakukan dialisis (Potter & Perry,
2005; Wilson, 2005). Namun di Indonesia transplantasi ginjal masih terbatas
karena banyak kendala yang dihadapi seperti faktor ketersediaan donor ginjal,
biaya, dan sistem kesehatan yang belum mendukung (Yayasan Ginjal Nasional,
2000) sehingga dialisa bagi pasien gagal ginjal kronis tahap akhir merupakan
Wilson (2005) mendefinisikan dialisa sebagai suatu proses difusi zat
terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen
cair menuju kompartemen cair lainnya. Penggunaan dialisa ditujukan untuk
pengobatan gagal ginjal kronis pertamakali diusulkan oleh Abel, Rowntree &
Turner pada tahun 1913 (Gibson, 1983; Van Stone, 1983).
Pada dialisa, molekul solut berdifusi melalui membran semipermiabel
dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat atau konsentrasi solute
lebih tingggi ke cairan yang lebih encer atau konsentrasi solut lebih rendah.
Cairan mengalir lewat membran semipermiabel dengan cara osmosis atau
ultrafiltrasi (Daugirdas, Blake & Ing, 2001; Brunner & Suddarth, 2001; Daugirdas
& Wilson, 2005; Van Stone 1983).
Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa ada beberapa indikasi
pelaksanaan dialisis yaitu gagal ginjal yang tidak dapat lagi dikontrol dengan
penatalaksaan konservatif, perburukan gejala uremia yang berhubungan dengan
gagal ginjal tahap akhir, gangguan cairan dan elektrolit serta yang tidak dapat
dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhana.
Ada dua metode dialisis yaitu dialisa peritoneal dan hemodialisa. Diantara
kedua metode dialisa tersebut yang merupakan metode paling umum digunakan
untuk pasien gagal ginjal di Indonesia dan Amerika adalah hemodialisa (Kartono,
2.2.4 Hemodialisa
1. Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksik
lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah dan
cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dialyzer (Hudak dan Gallo, 1996).
Hemodialisa merupakan suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal
ginjal untuk menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan untuk memperbaiki
ketidakseimbangan elektrolit dengan prinsip osmosis dan difusi dengan
menggunakan system dialisa eksternal dan internal (Tucher, 1998).
2. Prinsip-prinsip yang mendasari Hemodialisis
Pada hemodialisa aliran darah yang mengandung limbah metabolik
dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser untuk dibersihkan kemudian dikembalikan
lagi ke tubuh pasien. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan
terjadi melalui membran semipermeabel tubulus.
Pada proses kerja mesin dialisa ada tiga prinsip yang mendasarinya yaitu
osmosis, difusi, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah dikeluarkan dari dalam
darah melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki
konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
Selanjutnya air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis yang dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien
ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisa. Tekanan negatif ini diterapkan untuk memfasilitasi
Hemodialisa bagi pasien gagal ginjal kronis akan mencegah kematian yang
lebih cepat. Namun hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit
ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik yang
dilaksanakan oleh ginjal.
Di indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu dimana waktu yang
dibutuhkan untuk setiap tindakan hemodialisia adalah 5 jam, tetapi ada juga yang
melakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam, hal ini bergantung pada
keadaan pasien. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun (Price & Wilson, 2005; Suhardjono dkk,
2001). Namun banyak komplikasi yang terjadi akibat terapi hemodialisa yang
mempengaruhi kehidupan pasien hemodialisa.
3. Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi yang bisa terjadi saat pasien melakukan hemodialisa antara lain
hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus, gangguan keseimbangan dialisis,
kram otot, nyeri, mual, muntah, perembesan darah, sakit kepala, sakit punggung,
demam, menggigil, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis, hiperlipidemia, gangguan tidur dimana pasien selalu bangun lebih cepat
di pagi hari, dan hipoksemia (Smeltzer, 2001).
Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan
kondisi sakit yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupanya.
Pasien menghadapi masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan
pekerjaan, penurunan seksual serta impotensi, depresi akibat sakit kronik, dan
pernikahan mereka, anak-anak yang dimiliki dan beban yang ditimbulkan kepada
keluarga mereka. Gaya hidup terencana berhubungan dengan terapi hemodialisa
dan pembatasan asupan makanan serta cairan sering menghilangkan semangat
hidup pasien (Smeltzer, 2001).
Hemodialisa menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu
yang diperlukan untuk terapi hemodialisa akan mengurangi waktu yang tersedia
untuk melakukan aktifitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi, rasa
bersalah serta depresi di dalam keluarga. Keluarga pasien dan sahabat-sahabatnya
mungkin memandang pasien sebagai beban hidup karena keterbatasannya.
Barangkali sulit bagi pasien, pasangan, dan keluarganya untuk mengungkapkan
rasa marah serta perasaan negatif. Pasien yang menjalani tindakan hemodialisis
terkadang membutuhkan konseling dan psikoterapi (Brunner & Suddarth,2005).
Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan
marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi akibat
penyakit, serta terapinya di samping masalah keuangan, rasa sakit dan gangguan
rasa nyaman yang timbul akibat penyakit ataupun komplikasi terapi. Jika rasa
marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin perasaan ini akan diproyeksikan
kepada diri sendiri dan menimbulkan depresi, rasa putus asa serta upaya bunuh
diri. Insiden bunuh diri meningkat pada pasien-pasien hemodialisa. Jika rasa
marah tersebut di proyeksikan kepada orang lain, hal ini dapat merusak hubungan
2.3. Landasan Teori
Penulis menggunakan teori keperawatan menurut Sister Calista Roy sebagai
dasar penelitian ini. Menurut Sister Calista Roy, individu sebagai makhluk
biopsikososial dan spiritual memiliki koping untuk beradaptasi terhadap
perubahan yang ada di sekitarnya sehingga individu selalu berinteraksi terhadap
perubahan hidup. Perubahan hidup yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik
merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stres yang secara tidak langsung
dapat mempengaruhi kesakitan dan pola perilaku individu .
Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah penyakit yang mengancam jiwa. Ada
tiga pilihan terapi pengganti yang dapat dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal
tahap akhir yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, serta transplantasi ginjal
(Crawford & Lerma, 2008 dalam Al Nazly, E.A., et al (2013). Ketika penyakit
gagal ginjal kronik memasuki stadium akhir (end stage renal disease), pasien
harus menerima perawatan dialisis untuk bertahan hidup, dan mereka sering
rentan terhadap emosi seperti perasaan tidak berdaya, depresi, dan ketakutan.
Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan
perasaan marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut
terjadi pada dirinya. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena
harus tergantung seumur hidup pada alat cuci ginjal (Andri , 2012). Hal seperti ini
tentunya akan menimbulkan perasaan tertekan yang sering disebut dengan stres
(Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2012). Pada umumya seseorang yang
mengalami stress atau ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah