• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KOPING DENGAN RESILIENSI PADA

PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI

HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

JAGENTAR PARLINDUNGAN PANE

127046043 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HUBUNGAN ANTARA KOPING DENGAN RESILIENSI PADA

PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI

HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JAGENTAR PARLINDUNGAN PANE

127046043 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

Telah diuji

Pada tanggal: 5 Desember 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes.

Anggota : 1. Rosina Tarigan, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB

2. Prof.Dr.Dra. Irmawati Soeprapto, M.Si., Psikolog

(5)
(6)

Judul Tesis : Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien

Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : Jagentar Parlindungan Pane

Progam Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Penyakit gagal ginjal kronis berlangsung secara progresif dan irreversible tanpa memperhatikan penyebabnya. Pasien gagal ginjal kronis akan menjalani

hemodialisa sepanjang hidup apabila pasien tidak menjalani transplantasi ginjal.

Kondisi ketergantungan kepada mesin dialisa dan perubahan gaya hidup menjadi

masalah psikologis bagi pasien. Untuk memecahkan masalah terkait dengan

penyakit dan prosedur perawatan hemodialisa, diperlukan suatu cara yang disebut

dengan koping yaitu usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi

ketidaknyamanan, ancaman akibat tindakan cuci darah yang sedang berjalan.

Strategi koping terbagi atas 2 jenis yaitu koping yang berfokus pada masalah dan

koping yang berfokus pada emosi. Penelitian Yi, Smith, and Vitaliano (2005) dan

Sutanto (2005) mengatakan individu dikatakan memiliki resiliensi tinggi apabila

individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah (problem

focused coping) sedangkan individu dikatakan memiliki resiliensi rendah apabila

individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion

focused coping). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara strategi

koping dengan resiliensi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Desain penelitian cross-sectional, jumlah sampel sebanyak 92 orang diambil dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner Resiliensi yang disusun oleh

(7)

menunjukkan tidak ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan

resiliensi tinggi dan strategi koping berfokus emosi dengan resiliensi rendah.

Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis “ada hubungan strategi koping berfokus

pada masalah dengan tingkat resiliensi tinggi dan ada hubungan strategi koping

berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi rendah ditolak”. Strategi koping

berfokus masalah dan strategi koping berfokus emosi sering terjadi secara

bersamaan (Lazarus & Folkman, 1984). Penelitian ini menemukan 56,5%

responden memiliki resiliensi tinggi, 12% resiliensi sedang dan 31,5% resiliensi

rendah. Disarankan bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan cuci

darah yang tingkat resiliensi rendah diperlukan upaya-upaya untuk memperkuat

sumber-sumber resiliensi yang mengacu pada teori Grotberg (2001) yaitu I have, I am dan I can. I have adalah dukungan eksternal mencakup dukungan orang terdekat, yaitu keluarga, saudara atau kekasih. I am adalah pengembangan kekuatan batin mencakup intensitas beribadah yang lebih sering sehingga

menunjukkan religiusitas yang lebih tinggi. I can adalah keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah, dalam hal ini lebih dominan pada

kemampuan sosial yang baik.

(8)

Thesis Title : Correlation between Coping and Resilience in

Chronic Kidney Failure Patients who are treated

in Hemodialysis in Haji Adam Malik General

Hospital Medan

Name : Jagentar Parlindungan Pane

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

(9)

close relatives (family, siblings, or beloved), ‘I am’ means moral support development which includes the intensity of service to God which indicates that the person is more religious, and ‘I can’ means interpersonal skill and problem solving which are more dominant than good social capacity.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan karuniaNya peneliti dapat menyelesaikan Tesis dengan judul: Hubungan

Antara Koping dengan Resiliensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang

menjalani Hemodialisis di RSUP. Haji Adam Malik Medan.” Tesis ini dibuat

dalam rangka memenuhi sebagian syarat guna menyelesaikan Program Studi

Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Medikal Bedah Universitas Sumatera

Utara.

Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan

dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Setiawan, S.Kp., MNS, Ph.D, selaku Kaprodi Magister Ilmu Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

3. Achmad Fathi, S.Kep,Ns, MNS, selaku Sekretaris Program Studi Magister

Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku pembimbing I yang telah

membimbing penulis dengan sabar, tekun dan sangat cermat memberikan

(11)

5. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB, selaku pembimbing II yang dengan

sabar membimbing penulis dan senantiasa meluangkan waktu untuk perbaikan

tesis ini.

6. Prof.Dr.Dra. Irmawati Soeprapto, M.Si. Psikolog dan Ikhsanuddin Ahmad

Harahap, S.Kp.,MNS selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan

untuk perbaikan tesis ini.

7. Pimpinan Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi “RASYIDA” beserta staf

yang telah memberikan kesempatan kepada Peneliti untuk melaksanakan Uji

Reliabilitas Instrumen Penelitian.

8. Direktur RSUP. Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis dalam melakukan penelitian.

9. Seluruh Perawat ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

yang telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian

10.Yayasan Widya Fraliska Medan yang telah memberikan kepercayaan kepada

saya untuk melanjutkan pendidikan ke Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh staf dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang

telah banyak membantu penulis selama proses pendidikan.

12.Responden penelitian yang dengan sukarela meluangkan waktunya untuk

berpartisipasi.

13.Ibunda Tercinta, R. Br. Siburian serta Mertua St.D.E. Malau/Th. Br.

Simbolon, yang selalu mendoakan dan mendukung penulis sehingga tesis ini

(12)

14.Istri tercinta,Tiodora br Malau, yang menjadi teman sekaligus sahabat yang

selalu berbagi, yang selalu menjadi motivator dan selalu mendukung dan

mencari solusi terbaik sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan

baik.

15.Putri tercinta, Febby Valentin Gabriella Pane yang menjadi sumber kekuatan

yang menguatkan penulis dalam suka dan duka untuk selalu melakukan yang

terbaik sehingga tesis ini dapat selesai dengan baik.

16.Rekan kerja penulis, Br. Amos Ginting, SKM dan Pomaria Simbolon, M.Kes.,

yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

17.Teman-teman seangkatan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu saling menopang satu

dengan yang lain, sehingga bersama-sama kita berusaha untuk dapat

menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Semoga kebaikan Bapak, Ibu, Bruder dan Saudara mendapat pahala yang

berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini

dapat bermanfaat untuk peningkatan pelayanan Asuhan Keperawatan Medikal

Bedah.

Medan, 5 Desember 2014

Penulis

(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Jagentar Parlindungan Pane

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 30 Desember 1977

Agama : Katolik

Alamat : Jln. Jamin Ginting No.161 Padang Bulan Medan

No.Telp/HP : 061-8220701/085370867449

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulusan

SD St. Yosef Sidikalang 1990

SMP St. Paulus Sidikalang 1993

SMA Cahaya 2 Sidikalang 1996

Akademi Keperawatan St. Elisabeth Medan 1999

S1

Ners

Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan

Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan

2005

2005

S2 Prodi Magister Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan USU Medan

2014

Riwayat Pekerjaan :

Tahun 2003 - Sekarang : Dosen Tetap di STIKes Santa Elisabeth Medan

Tahun 1999 - 2003 : Staf Perawat di Ruang Unit Gawat Darurat

(14)

Kegiatan Akademik Penunjang Studi:

Peserta pada seminar Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan

Pengembangan Pengetahuan Bidang Kesehatan, 18 Desember 2012,

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta pada workshop Analisis Data Kualitatif Dengan Metode Contents

Analysis & Sofware WEFT-QDA”, 31 Januari 2013, Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

Peserta pada seminar Medan International Nursing Conference “The Application of Caring Science in Nursing Education Advanced Research and Clinical

Practice”, 1-2 April 2013; Hotel Garuda Plaza Medan, Sumatera Utara.

Peserta pada seminar dan workshop “Diagnostic Reasoning- NANDA dan ISDA

Basic, 24 Nopember 2013; Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera

(15)

DAFTARISI

3.6 Variabel dan Defenisi Operasional ... 40

(16)

BAB 5. PEMBAHASAN……….. 58

5.1 Hubungan Umur Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……….. 58

5.2 Hubungan Jenis kelamin Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……… 59

5.3 Hubungan Pekerjaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa………. 60

5.4 Hubungan Pendidikaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……….. 61

5.5 Hubungan Status perkawinan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa………... 62

5.6 Strategi Koping yang digunakan oleh responden Gagal Ginjal Kronik selama menjalani tindakan cuci darah (hemodialisa)………... 63

5.7 Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa………... 64

5.8 Hubungan Strategi Koping Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan………. 65

5.9 Keterbatasan Penelitian………... 65

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………... 67

6.1. Kesimpulan……… 67

6.2. Saran………... 68

DAFTAR PUSTAKA……….. 71

LAMPIRAN……… 75

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.5.1 Instrumen B: Kuesioner Strategi Koping ………. 35

Tabel 3.5.2 Instrumen C: Kuesioner Resiliensi ………... 38

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Data Demografi di Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik Medan……….. 50

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Strategi Koping Responden Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani

Hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik………….. 51

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah

Sakit Haji Adam Malik Medan……….. 52

Tabel 4.4 Hubungan Umur Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan……… 52

Tabel 4.5 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

Medan……….. 53

Tabel 4.6 Hubungan Pekerjaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ……… 54

Tabel 4.7 Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani

hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik Medan ……… 55

Tabel 4.8 Hubungan Status Pernikahan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian……….. 75

Lampiran 2 Biodata Expert………... 82

(20)

Judul Tesis : Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien

Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : Jagentar Parlindungan Pane

Progam Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Penyakit gagal ginjal kronis berlangsung secara progresif dan irreversible tanpa memperhatikan penyebabnya. Pasien gagal ginjal kronis akan menjalani

hemodialisa sepanjang hidup apabila pasien tidak menjalani transplantasi ginjal.

Kondisi ketergantungan kepada mesin dialisa dan perubahan gaya hidup menjadi

masalah psikologis bagi pasien. Untuk memecahkan masalah terkait dengan

penyakit dan prosedur perawatan hemodialisa, diperlukan suatu cara yang disebut

dengan koping yaitu usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi

ketidaknyamanan, ancaman akibat tindakan cuci darah yang sedang berjalan.

Strategi koping terbagi atas 2 jenis yaitu koping yang berfokus pada masalah dan

koping yang berfokus pada emosi. Penelitian Yi, Smith, and Vitaliano (2005) dan

Sutanto (2005) mengatakan individu dikatakan memiliki resiliensi tinggi apabila

individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah (problem

focused coping) sedangkan individu dikatakan memiliki resiliensi rendah apabila

individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion

focused coping). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara strategi

koping dengan resiliensi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Desain penelitian cross-sectional, jumlah sampel sebanyak 92 orang diambil dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner Resiliensi yang disusun oleh

(21)

menunjukkan tidak ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan

resiliensi tinggi dan strategi koping berfokus emosi dengan resiliensi rendah.

Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis “ada hubungan strategi koping berfokus

pada masalah dengan tingkat resiliensi tinggi dan ada hubungan strategi koping

berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi rendah ditolak”. Strategi koping

berfokus masalah dan strategi koping berfokus emosi sering terjadi secara

bersamaan (Lazarus & Folkman, 1984). Penelitian ini menemukan 56,5%

responden memiliki resiliensi tinggi, 12% resiliensi sedang dan 31,5% resiliensi

rendah. Disarankan bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan cuci

darah yang tingkat resiliensi rendah diperlukan upaya-upaya untuk memperkuat

sumber-sumber resiliensi yang mengacu pada teori Grotberg (2001) yaitu I have, I am dan I can. I have adalah dukungan eksternal mencakup dukungan orang terdekat, yaitu keluarga, saudara atau kekasih. I am adalah pengembangan kekuatan batin mencakup intensitas beribadah yang lebih sering sehingga

menunjukkan religiusitas yang lebih tinggi. I can adalah keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah, dalam hal ini lebih dominan pada

kemampuan sosial yang baik.

(22)

Thesis Title : Correlation between Coping and Resilience in

Chronic Kidney Failure Patients who are treated

in Hemodialysis in Haji Adam Malik General

Hospital Medan

Name : Jagentar Parlindungan Pane

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

(23)

close relatives (family, siblings, or beloved), ‘I am’ means moral support development which includes the intensity of service to God which indicates that the person is more religious, and ‘I can’ means interpersonal skill and problem solving which are more dominant than good social capacity.

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gagal ginjal kronis merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan

fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversibel tanpa

memperhatikan penyebabnya (Smeltzer, 2001). Istilah penyakit ginjal tahap akhir

atau end stage renal disease sering digunakan oleh pemerintah seperti Health

Care Financing Administration (HCFA) dan telah menjadi sinonim gagal ginjal

kronis. Sidabutar, 1992 (dalam Lubis, 2006) menyatakan bahwa gagal ginjal

kronis semakin banyak menarik perhatian dan makin banyak dipelajari karena

walaupun sudah mencapai gagal ginjal tahap akhir akan tetapi pasien masih dapat

hidup panjang dengan kualitas hidup yang cukup baik disamping prevalensinya

yang terus meningkat setiap tahun.

Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) di Amerika

Serikat prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20-25% setiap

tahunnya. Di Kanada insiden penyakit gagal ginjal tahap akhir meningkat rata-rata

6,5 % setiap tahun (Canadian Institute for Health Information (CIHI), 2005),

dengan peningkatan prevalensi 69,7 % sejak tahun 1997 (CIHI, 2008). Sedangkan

di Indonesia prevalensi pasien gagal ginjal hingga kini belum ada yang akurat

karena belum ada data yang lengkap mengenai jumlah pasien gagal ginjal kronis

di Indonesia. Tetapi diperkirakan, bahwa jumlah pasien gagal ginjal di Indonesia

semakin meningkat. WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan

(25)

Pasien gagal ginjal kronis yang mengalami kerusakan fungsi ginjal akan

memerlukan terapi seperti cuci darah (hemodialisis) pada jangka waktu tertentu

atau melakukan transplantasi ginjal (Pearce, 1995). Waktu yang dibutuhkan

pasien selama tindakan hemodialisis berlangsung rata-rata 12-15 jam setiap

minggunya, dimana tindakan hemodialisis ini dibagi menjadi dua atau tiga sesi

yang setiap sesinya berlangsung 3-6 jam. Tindakan hemodialisis ini akan

berlangsung seumur hidup kecuali pasien melakukan transplantasi ginjal

(Smeltzer, S.C, Bare, 2005).

Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information

Clearinghouse (NKUDIC, 2006), hemodialisis merupakan terapi yang paling

sering digunakan pada pasien gagal ginjal kronis. Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Caninsti, R (2007) di unit hemodialisis RSAL Mintoharjo Jakarta, pasien

gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis khawatir dan takut jika

pada proses hemodialisis terjadi hal-hal diluar dugaan yang menyebabkan pasien

meninggal dunia. Pasien juga mengalami depresi berupa hilangnya minat

melakukan aktifitas yang menyenangkan, rasa bersalah kepada keluarga,

istri/suami karena merasa dirinya sebagai beban, dan perasaan tidak berdaya

karena ketergantungan pada hemodialisis seumur hidup. Perubahan yang terjadi

dalam hidup pasien hemodialisis merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya

stress yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dan pola

perilaku individu.

Di Unit rawat jalan hemodialisis RS. Turki, ada sebanyak 5.307 pasien

(26)

sebanyak 5.647 (Cinar et al, 2009). Penelitian oleh Mollahadi (2010) tentang

hubungan antara tingkat depresi dengan stres pasien dialisis, didapatkan bahwa

64,5% pasien mengalami depresi, 51,4% stres yang jelas dan 49,7% stres yang

tersembunyi. Cristovao pada tahun 1999 (dalam Gerogianni, 2013) melakukan

penelitian dengan 1.101 pasien yang menjalani dialisis. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa stres yang paling sering dilaporkan oleh pasien adalah

kelelahan, ketidakpastian tentang masa depan, keterbatasan dalam liburan dan

hilangnya fungsi tubuh serta faktor biaya.

Di Indonesia jumlah pasien yang menjalani hemodialisis tahun 2012

sebanyak 24.141 orang. Di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013

jumlah pasien yang menderita gagal ginjal sebanyak 191 orang kasus, sedangkan

di RS Pirngadi sebanyak 184 orang kasus gagal ginjal secara rutin menjalani

pengobatan hemodialisis (Askes, 2013).

Ketergantungan pada obat-obatan dan pemakaian alat dalam jangka waktu

yang sangat lama merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stres bagi pasien

yang menderita penyakit gagal ginjal kronik. Pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis dalam jangka waktu yang sangat panjang sebenarnya

masih memiliki kekuatan dari dalam dirinya untuk beradaptasi dengan pemicu

stres. Kemampuan individu untuk bangkit dan beradaptasi dengan kondisinya ini

disebut dengan resiliensi.

Teori Resiliensi diperkenalkan pertama kali oleh Wagnild & Young

(1990). Resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi pada situasi

(27)

menggambarkan sikap dan perilaku manusia ketika individu berhadapan dengan

kemalangan atau kesulitan hidup (Sulistyaningsih, 2009). Hasil penelitian

Smokowski dkk (2000 dalam Sulistyaningsih, Wiwik (2009), menunjukkan

bahwa individu yang berhasil adalah mereka yang memiliki ciri sifat optimis

terhadap masa depan, tekun, memiliki kebulatan tekad, dan mampu mengambil

pelajaran dari kehidupan masa lalu untuk mengatasi kesulitan hidup. Pendapat ini

didukung oleh Penelitian Susan De Nisco (2011) tentang resiliensi pada wanita

yang menderita diabetes mellitus 2 pada wanita Afrika mengatakan bahwa

individu yang memiliki nilai resiliensi yang tinggi akan mampu mengontrol kadar

gula darah, sementara menurut penelitian yang dilakukan oleh Carver dan Scheier

(1999 dalam Sulistyaningsih, Wiwik (2009) menyatakan bahwa orang yang

optimis mampu mengatasi stres dengan cara yang lebih adaptif daripada orang

yang pesimis. Orang optimis cenderung menggunakan coping yang terpusat pada

masalah dan berorientasi pada tindakan.

Sulistyaningsih, Wiwik (2009) mengatakan resiliensi adalah lebih dari

sekedar pemecahan masalah atau coping . Pendapat ini didukung oleh penelitian

Yi, Smith, and Vitaliano (2005), dimana atlet remaja putri dibagi menjadi 2

kelompok yaitu individu dengan resiliensi tinggi dan individu dengan resiliensi

rendah. Individu dikatakan memiliki resilien tinggi apabila individu menggunakan

strategi koping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping)

dengan jenis koping mencari dukungan sosial sedangkan individu dikatakan

(28)

berfokus pada emosi (emotion focused coping) dengan jenis koping menghindar

dari masalah/Avoidance dan menyalahkan orang lain/Blame others.

Coping didefenisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah

secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu yang

dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang (Lazarus &

Folkman, 1984). Coping dapat juga dikatakan sebagai bentuk adaptasi karena

coping merupakan bagaimana cara seseorang bereaksi terhadap sebuah stimulus

yang didapat dari lingkungannya (Costa, Somerfield & McCrae, 1996 dalam

Primaldhi 2006).

Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi coping menjadi dua yaitu

strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan strategi

coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Secara umum,

Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping

mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu

masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif,

mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif

dan menjalani alternatif yang dipilih (Lazarus dan Folkman, 1984), sedangkan

Emotion-focused coping diarahkan untuk mengurangi perasaan emosional seperti

menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, dan

mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang yang menggunakan

emotion-focused coping mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta

dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal yang

(29)

memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka sendiri

(Lazarus dan Folkman, 1984).

Pernyataan Lazarus dan Folkman (1984) didukung oleh penelitian Kumar

et al (2003) di India, pasien yang menjalani terapi hemodialisis lebih sering

menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused

coping), sedangkan menurut penelitian Yeh,S.J & Chou, H (2007) di Taiwan,

pasien hemodialisis lebih sering menggunakan strategi coping yang berorientasi

pada emosi. Sementara penelitian Wu Li-Min et al (2013) mengatakan bahwa

koping yang berorientasi pada masalah (problem focused coping) adalah koping

yang sering digunakan oleh remaja selama menjalani pengobatan kanker, hal ini

disebabkan karena problem-focused coping dianggap sebagai faktor pelindung

yang mendorong pemulihan pada remaja yang menderita penyakit kanker dan

dapat mengurangi kecemasan, kekhawatiran serta meningkatkan resiliensi pada

remaja yang menderita penyakit kanker sedangkan koping yang berfokus pada

emosi (emotion-focused coping) jarang digunakan.

Allen dan Leary (dalam Susanto, 2012) mengatakan bahwa individu yang

mempunyai kemampuan koping tinggi akan cenderung pada PFC (problem

focused coping) sedangkan kemampuan koping yang relatif rendah akan

cenderung pada EFC (emotion focused coping) dalam penyelesaian masalah.

Penelitian Susanto (2012) mengatakan bahwa resiliensi pada individu PFC

(problem focused coping) akan lebih tinggi dibandingkan dengan resiliensi pada

(30)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui

bagaimana hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Adam Malik Medan.

1.1. Perumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien

Gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam

Malik Medan Tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Menganalisis hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien yang

menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Adam Malik Medan Tahun 2014.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik ( umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,

status perkawinan) pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji

Adam Malik Medan.

b. Mengidentifikasi strategi koping yang digunakan pasien dalam menjalani

tindakan cuci darah (hemodialisis) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

c. Mengidentifikasi resiliensi pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah

Sakit Haji Adam Malik Medan.

d. Menganalisis hubungan karakteristik (umur, jenis kelamin, pekerjaan,

pendidikan, status perkawinan) dengan resilensi pasien yang menjalani

(31)

e. Menganalisis hubungan strategi koping berfokus masalah dengan resilensi

tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam

Malik Medan.

f. Menganalisis hubungan strategi koping berfokus emosi dengan resilensi

rendah pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam

Malik Medan.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian, atau kesimpulan

teoritis yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui analisis terhadap

bukti-bukti empiris (Setiadi, 2007). Hipotesis penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan tingkat

resiliensi tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji

Adam Malik Medan.

2. Ada hubungan strategi koping berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi

rendah pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam

Malik Medan.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Rumah Sakit/Unit hemodialisis

Memberikan masukan kepada Rumah Sakit Adam Malik Medan

khususnya Unit Hemodialisis agar memperhatikan strategi koping dan tingkat

(32)

1.5.2. Bagi Praktek keperawatan

Untuk mengembangkan kajian teoritis maupun penelitian yang

berhubungan dengan konsep koping dan resiliensi terkait penanganan psikologis

pada pasien yang menjalani tindakan cuci darah (hemodialisis)

1.5.3. Bagi Keluarga pasien

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu keluarga dalam

mempersiapkan strategi koping dan resiliensi anggota keluarga sehingga

keberhasilan hemodialisis dapat tercapai dan pasien tetap hidup berkualitas.

1.5.4. Bagi Penelitian selanjutnya

Memberikan rekomendasi yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian

keperawatan serta memberikan masukan untuk penelitian berikutnya dalam

perencanaan penelitian keperawatan yang berfokus kepada tindakan keperawatan

(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koping Dan Resiliensi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis

Sulistyaningsih (2009) mengatakan koping merupakan bagian dari

resiliensi. Koping didefenisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah

secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu yang

dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang (Lazarus &

Folkman, 1984).

Koping dapat juga dikatakan sebagai bentuk adaptasi karena koping

merupakan bagaimana cara seseorang bereaksi terhadap sebuah stimulus yang

didapat dari lingkungannya (Costa, Somerfield & McCrae, 1996 dalam Primaldhi

2006). Hasil penelitian Susan De Nisco (2011) tentang resiliensi pada wanita yang

menderita diabetes mellitus 2 di Afrika memperlihatkan bahwa individu yang

memiliki nilai resiliensi yang tinggi akan mampu mengontrol kadar gula darah.

Yi, Smith, and Vitaliano (2005), membagi atlet remaja putri menjadi 2 kelompok

yaitu individu dengan resiliensi tinggi dan individu dengan resiliensi rendah.

Individu dikatakan memiliki resilien tinggi apabila individu menggunakan strategi

Koping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping) dengan

jenis koping mencari dukungan sosial sedangkan individu dikatakan memiliki

resiliensi rendah apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus

pada emosi (emotion focused coping) dengan jenis koping menghindar dari

(34)

Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi koping menjadi dua yaitu

strategi koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan strategi

koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Secara umum,

Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping

mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu

masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif,

mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif

dan menjalani alternatif yang dipilih (Lazarus dan Folkman, 1984), sedangkan

Emotion-focused coping diarahkan untuk mengurangi penderitaan emosional

seperti menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian,

dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang yang menggunakan

emotion-focused coping mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta

dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal yang

terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya dimana kesemua proses tersebut

memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka sendiri

(Lazarus dan Folkman, 1984).

Penelitian Kumar et al (2003) di India, pasien yang menjalani terapi

hemodialisis lebih sering menggunakan strategi koping yang berfokus pada

masalah (problem-focused coping), sedangkan menurut penelitian Yeh,S.J &

Chou, H (2007) di Taiwan, pasien hemodialisis lebih sering menggunakan strategi

koping yang berorientasi pada emosi. Sementara penelitian Wu Li-Min et al

(2013) mengatakan bahwa koping yang berorientasi pada masalah (problem

(35)

menjalani pengobatan kanker, hal ini disebabkan karena problem-focused coping

dianggap sebagai faktor pelindung yang mendorong pemulihan pada remaja yang

menderita penyakit kanker dan dapat mengurangi kecemasan, kekhawatiran serta

meningkatkan resiliensi pada remaja yang menderita penyakit kanker sedangkan

koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) jarang digunakan.

Bersasarkan penelitian Li-Ching Ma et al, 2013, ditemukan bahwa pasien

yang sedang menjalani tindakan hemodialisis lebih banyak menggunakan strategi

koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) daripada

menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused

coping). Juga dikatakan bahwa resiliensi individu yang baik akan mengurangi

tekanan-tekanan yang disebabkan oleh dampak-dampak negatif dari penyakit

gagal ginjal kronis. Hal senada juga ditemukan oleh Yi, Smith, and Vitaliano

(2005), pada atlet remaja putri yang sedang menjalani pertandingan, yang

menemukan bahwa apabila atlet remaja putri menggunakan strategi koping

berfokus pada masalah (problem focused coping) akan menghasilkan resiliensi

tinggi dibandingkan dengan penggunanaan strategi koping berfokus pada emosi.

2. 2. Kepustakaan

2.2.1. Koping

1. Pengertian Koping

Koping adalah usaha untuk menghindari atau menekan ancaman,

ketidaknyamanan dan kehilangan atau usaha untuk mengurangi berbagai macam

penyebab stress atau dengan kata lain koping merujuk kepada tindakan langsung

(36)

didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan

untuk mengelola tuntutan eksternal dan/ atau internal tertentu yang dinilai berat

dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang.

Keliat (1999) mendefinisikan koping adalah cara yang dilakukan individu

dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon

terhadap situasi yang mengancam, sedangkan menurut Rasmun (2004), koping

merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik

maupun psikologik.

2. Pembagian Strategi Koping

Lazarus dan Folkman (1984), membagi strategi koping menjadi dua yaitu

problem-focused coping dan emotion-focused coping. Secara umum, Lazarus dan

Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping mengarah pada

penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu masalah,

mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan

alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif, dan menjalani

alternatif yang dipilih (Lazarus & Folkman, 1984). Jadi dalam problem-focused

tidak hanya berencana sebanyak mungkin, tapi segera melakukan rencana terbaik

dari semua pilihan yang ada seperti mencari informasi mengenai suatu masalah,

mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan

alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif dan menjalani

alternatif yang dipilih.

(37)

problem-focused muncul saat kondisinya masih ada kemungkinan berubah dan

dapat diperbaiki. Emotion-focused coping menurut Lazarus dan Fokman (1984),

merupakan sekumpulan proses kognitif yang diarahkan untuk mengurangi

penderitaan emosional dan mencakup strategi seperti menghindari,

meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, perbandingan positif,

dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang menggunakan

emotion-focused biasanya mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal

fakta dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal

yang terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya di mana kesemua proses

tersebut memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka

sendiri (Lazarus & Folkman, 1984).

Pada tahun 1989, Carver dkk menyusun sebuah instrument yang diberi

nama Brief COPE berdasarkan teori Lazarus dan Folkman (1984) tentang koping.

Sebagaimana Lazarus dan Folkman, Carver (1989) mengatakan strategi koping

terdiri dari 2 (dua) yaitu strategi koping berfokus masalah dan strategi koping

berfokus emosi.

Berikut ini penjelasan teori yang mendasari Brief COPE menurut Carver (1997):

I. Strategi Koping yang berfokus pada masalah (Problem- focused coping)

Ada 5 (lima) jenis koping yang termasuk ke dalam strategi problem-focused

coping adalah :

1. Active Coping (Penyelesaian masalah secara aktif)

Disebut aktif karena ada penekanan pada tindakan aktif individu untuk

(38)

tersebut. Jenis Koping ini meliputi langkah awal pengambilan tindakan

langsung, peningkatan usaha individu dan upaya untuk mencoba

melakukan koping dengan langkah yang bijaksana.

2. Planning (Perencanaan)

Melibatkan usaha memikirkan, menyusun rencana strategi tindakan dan

langkah yang akan diambil, serta kemungkinan berhasilnya usaha tersebut.

Planning terjadi selama fase penelitian sekunder (proses pengolahan di

otak tentang suatu potensi respon terhadap ancaman), sedangkan active

coping terjadi pada fase melaksanakan koping.

3. Suppression of competiting activities (Penekanan pada kegiatan lain)

Mencakup usaha membatasi ruang gerak atau aktifitas lain yang tidak

berhubungan dengan masalah. Jadi individu mengesampingkan urusan

lain, berusaha menghindari hal lain yang dapat menyebabkan teralihnya

perhatian individu dari masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan

agar perhatian individu sepenuhnya tercurah untuk mengatasi stres.

4. Restraint coping (Penundaan perilaku mengatasi stress)

Usaha mengatasi masalah dengan tidak melakukan tindakan apapun

(menunggu) sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak. Oleh

karena itu membutuhkan kontrol/kendali diri yang cukup baik.

5. Using instrumental support (Menggunakan instrument sebagai dukungan)

Merupakan usaha mencari dukungan sosial berupa nasehat, informasi atau

bantuan yang diharapkan agar membantu individu memecahkan masalah

(39)

II. Strategi Koping yang berfokus pada emosi (Emotion- focused coping)

Ada 10 (sepuluh) jenis koping yang termasuk ke dalam strategi

emotion-focused coping adalah :

1. Using emotional support (Menggunakan dukungan emosional)

Mencari dukungan moral, simpati, atau pengertian yang bertujuan untuk

mengurangi bahkan menghilangkan ketidaknyamanan emosional akibat

masalahnya. Kecenderungan mencari dukungan sosial emosi memiliki

fungsi ganda, yaitu setelah individu merasa yakin berkat dukungan yang

diperoleh kemudian timbul tingkah laku Koping yang terpusat pada

masalah. Defenisi ini hampir serupa dengan dukungan sosial pada

problem-focused koping namun bedanya kecenderungan mencari

dukungan sosial emosional ini adalah hanya mencari dukungan emosional

untuk menenangkan dirinya atau mengeluarkan perasaan saja, sehingga

penggunaan strategi ini dinilai terkadang tidak selalu adaptif.

2. Positive reframing (Mengkaji ulang kejadian masa lalu ke arah positif)

Carver, menggunakan istilah ini didasarkan pada teori Lazarus dan

Folkman (1984) tentang konsep penilaian yang positif. Penilaian kembali

secara positif adalah strategi koping yang berfokus untuk mengelola

perasaan tertekan dan bukan berurusan dengan stressor itu sendiri.

3. Acceptance (Penerimaan)

Individu menerima kenyataan akan situasi yang penuh stres, menerima

bahwa kenyataan tersebut pasti terjadi. Penerimaan dapat memiliki dua

(40)

sikap menerima karena belum adanya strategi menghadapi masalah secara

aktif yang dapat dilakukan.

4. Humor (Humor)

Individu mencoba membuat lelucon mengenai masalah yang sedang

dihadapi.

5. Religion (Agama)

Individu mencari pegangan pada agama saat ia mengalami stres, misalnya

dengan lebih sering berdoa dan memperbanyak ibadah. Hal ini dapat

terjadi karena agama dapat berfungsi sebagai sumber dukungan emosional

dan sarana untuk menafsirkan kembali masalah yang dihadapi secara

positif maupun lebih dewasa.

6. Denial (Penolakan)

Menolak untuk percaya bahwa suatu stressor itu ada, atau mencoba

bertindak seolah-olah stressor tersebut tidak nyata. Kadang-kadang

penolakan menjadi pemicu masalah baru jika tekanan yang muncul

diabaikan karena dengan menyangkal suatu kenyataan dari masalah yang

dihadapi seringkali mempersulit upaya menghadapi masalah yang

seharusnya lebih mudah untuk pemecahan masalah.

7. Venting (Pelampiasan emosi)

Kecenderungan melepaskan emosi yang dirasakan.

8. Substance Use (Penggunaan zat atau alcohol/obat-obatan)

Individu menggunakan alkohol atau obat-obatan lainnya sebagai cara

(41)

9. Self-Distraction (Pengendalian diri)

Merupakan variasi dari tindakan pelarian, terjadi ketika kondisi pada saat

itu menghambat munculnya tindakan pelarian. Strategi yang

menggambarkan pelarian secara mental ini adalah melakukan

tindakan-tindakan alternatif untuk melupakan masalah seperti melamun, melarikan

diri dengan tidur dan menyibukkan diri dengan menonton televisi.

10.Self Blame

Lebih fokus pada apa saja yang dilakukan seseorang untuk menjauhkan

pikiran dari pemicu stres.

11.Behavioral disengagement (Pelepasan perilaku)

Mengurangi usaha seseorang untuk menghadapi stressor, menghentikan

usaha menghilangkan stressor yang mengganggu. Behavioral

disengagement digambarkan melalui gejala perilaku yang disebut

helplessness” (ketidakberdayaan).

Pada tahun 1997, Carver melakukan penelitian koping terhadap penyakit

kronik (kanker payudara, HIV) menggunakan instrument Brief COPE yang

disusun sebelumnya, hasilnya ada beberapa jenis koping yang dieliminasi, diubah

serta ditambahkan kedalam jenis koping. Adapun jenis strategi koping yang

dieliminasi dari koping yang berfokus masalah (problem-focused coping) adalah

restraint coping dan suppression of competing activities dengan alasan kedua

jenis koping ini sudah dimasukkan ke dalam jenis koping yaitu active coping,

sedangkan jenis koping yang diubah supaya tidak menimbulkan ambiguitas dari

(42)

reinterpretation and growth menjadi positive reframing, focus on and venting

emotions menjadi venting, mental disengagement menjadi self distraction.

Selanjutnya terdapat satu jenis koping yang ditambahkan ke dalam komponen

strategi koping yang berfokus emosi (emotion-focused coping) yaitu self blame.

Carver (1997) mengatakan bahwa instrumen Brief COPE yang telah

direvisi dapat digunakan untuk semua situasi sesuai dengan kebutuhan dan

imaginasi (gambaran) dari peneliti. Oleh karena itu peneliti menggunakan

instrument Brief COPE untuk menilai strategi koping yang digunakan oleh pasien

gagal ginjal kronik yang sedang menjalani tindakan cuci darah (hemodialisa).

Berdasarkan keterangan di atas, maka instrument Brief COPE yang akan

digunakan dalam penelitian ini yakni strategi koping berfokus masalah terdiri dari

Active coping, Planning, Using Instrumental Support sedangkan yang termasuk

ke dalam strategi koping berfokus emosi terdiri dari Using Emotional Support,

Positive reframing, Acceptance, Humor Religion Denial, Venting, Substance use,

Self Distraction, Self Blame, Behavioral disengagement.

2.2.2 Resiliensi

1. Defenisi Resiliensi

Setiap orang pernah tersandung dan jatuh dari waktu ke waktu, tetapi

masing-masing dari kita memiliki kemampuan untuk bangkit dan segar kembali.

Kemampuan untuk bangkit dan segar kembali disebut dengan resiliensi. Sebagai

suatu kontruk psikoanalitik, resiliensi didefinisikan oleh Block dan Block (1980,

dalam Wagnild & Young, 1993) sebagai “ the dynamiccapacity of an individual

(43)

the demand characteristics of the environmental context”. Block menjelaskan

konstruk ini dengan menyebutnya “egoresilience” yang terentang pada suatu

kontinum. Pada salah satu ujung kontinum terdapat karakteristik fleksibel,

memiliki berbagai sumber daya dan strategi pemecahan masalah yang beragam

sedangkan pada ujung kontinum yang berlawanan terdapat karakteristik “

ego-brittleness” atau kerapuhan yang menunjukkan kurangnya fleksibilitas dalam

menghadapi berbagai situasi yang sulit.

Resiliensi mempunyai arti sebagai stamina emosional dan digunakan

untuk menjelaskan orang yang menunjukan keberanian dan kemampuan

beradaptasi pada situasi hidup yang sulit (Wagnild & Young, 1990). Rutter (1987

dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor

penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik.

Druss dan Douglas (1988 dalam Wagnild & Young, 1993) menjelaskan

individu yang resilien adalah individu yang memiliki keberanian yang luar biasa

dan optimisme dalam menghadapi kematian, penyakit, dan cacat bawaan. Individu

memiliki kepercayaan tidak dapat dikalahkan dan fokus pada aspek positif dari

kondisi mereka. Konsep resiliensi menurut Kadner (1989 dalam Wagnild &

Young, 1993) sebagai kemampuan individu untuk bangkit kembali dari kesulitan

psiko-sosial " dan mendefenisikan resiliensi sebagai kekuatan ego (efektivitas

semua fungsi ego dalam meningkatkan adaptasi terhadap lingkungan), keintiman

sosial, dan sumberdaya.

Dari beberapa pengertian resiliensi menurut beberapa ahli maka dapat

(44)

kembali dari tantangan atau dengan kata lain resiliensi mengandung arti memiliki

kekuatan batin, kemampuan, optimis, fleksibel dan kemampuan untuk mengatasi

kesulitan secara efektif. Konsep resiliensi digunakan untuk menggambarkan sikap

dan perilaku manusia ketika ia berhadapan dengan kemalangan atau kesulitan

hidup baik kesulitan itu bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga

maupun situasi dan konteks lingkungan hidup sekitarnya (Sulistyaningsih, 2009).

2. Karakteristik Resiliensi

Wagnild dan Young (1993) menyebutkan ada lima karakteristik resiliensi:

a. Self-Reliance (keyakinan pada diri sendiri), yakni keyakinan pada diri sendiri

dengan memahami kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri.

Individu yang resilien sadar akan kekuatan yang ia miliki dan

mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan

yang ia lakukan. Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup

yang dialami sehari-hari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan

kemampuan dirinya sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari

pengalaman hidup yang didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan

berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya.

b. Existential aloneness (Sifat unik), yaitu kesadaran bahwa setiap individu unik

dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang harus

dihadapi sendiri. Individu yang resilien belajar untuk hidup dengan

keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus menerus mengandalkan

orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun

(45)

Karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan

pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain, melainkan

menerima diri sendiri apa adanya.

c. Meaningfulness (tujuan hidup), merupakan kesadaran individu bahwa

hidupnya memiliki tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan

tersebut. Wagnild (2010) menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan

karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat

karakteristik yang lain, karena menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan

sia-sia karena tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Tujuan mendorong

individu untuk melakukan sesuatu dalam hidup tak terkecuali ketika ia

mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang

menghadapi kesulitan tersebut.

d. Equaminity (Ketenangan hati), yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh

individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya

semasa hidup yang dianggap merugikan. Namun demikian inidivu harus

mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat

hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang

sedang dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh

karena itu individu yang resilien dapat menertawakan situasi apapun yang

sedang dihadapi, melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak

terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat di dalamnya.

e. Perseverance (Ketekunan), yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan

(46)

keinginan seseorang untuk terus berjuang dalam mengembalikan kondisi

seperti semula. Dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan

pada diri individu ketika berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang

menguntungkan baginya.

2.2.3 Gagal Ginjal Kronis

1. Pengertian Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal menahun (CRF = Chronic Renal Failure) merupakan suatu

kegagalan fungsi ginjal yang berlangsung perlahan-lahan, karena penyebabnya

yang berlangsung lama, sehingga tidak dapat menutupi kebutuhan biasa lagi dan

menimbulkan gejala sakit (Junadi, 1989).

Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan

irreversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan

keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia atau

azotemia (Brunner & Suddarth, 2000).

Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan

penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup

lanjut (Suyono, 2001).

2. Stadium Gagal Ginjal Kronis

Klasifikasi gagal ginjal kronis tidak selalu sama. Price & Wilson (2005)

membagi perjalan klinis umum gagal ginjal kronis menjadi tiga stadium. Stadium

pertama disebut penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum,

(47)

Stadium kedua disebut juga insufisiensi ginjal, dimana terdapat lebih dari

75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak atau GFR 25% besarnya dari

normal. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi

kadar normal serta mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.

Stadium ketiga merupakan stadium akhir gagal ginjal kronis yang sering

disebut gagal ginjal terminal atau uremia. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi

apabila sekitar 90% dari massa nefron telah rusak, atau hanya sekitar 200.000

nefron yang masih utuh. Pada stadium ini pasien mulai merasakan gejala-gejala

yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis

cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pada gagal ginjal tahap akhir urin menjadi iso

osmotis, pasien biasanya menjadi oliguria dan terjadi sindrom uremia yang

mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.

3. Penyebab Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang yang

progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Perjalanan gagal

ginjal tahap akhir hingga tahap terminal bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40

tahun. Price & Wilson (2005) mengklasifikasikan penyebab gagal ginjal kronis

menjadi delapan kelas yaitu: 1).Penyakit infeksi tubulointerstisial seperti

pielonefritis kronik atau refluks nefropati; 2).Penyakit peradangan seperti

glomerulonefritis; 3).Penyakit vaskular hipertensif seperti nefrosklerosis benigna,

nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis; 4).Gangguan jaringan ikat

seperti lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan sklerosis sistemik

(48)

dan asidosis tubulus ginjal; 6).Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, gout,

hiperparatiroidisme, dan amiloidosis; 7).Nefropati toksik akibat penyalahgunaan

analgesik dan nefropati timah; 8).Nefropati obstruktif pada traktus urinarius

bagian atas seperti batu ginjal, neoplasma, fibrosis retroperitoneal dan nefropati

obstruktif pada traktus urinarius bagian bawah seperti hipertrofiprostat, anomali

kongenital leher vesika urinaria dan uretra. Selain penyebab tersebut ada empat

faktor risiko utama dalam perkembangan gagal ginjal tahap akhir yaitu usia, ras,

jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Gagal ginjal tahap akhir yang disebabkan

oleh nefropati hipertensif 6,2 kali lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika

daripada orang kaukasia. Secara keseluruhan insiden gagal ginjal tahap akhir lebih

besar pada laki-laki yaitu 56,3% daripada perempuan 43,7% (Fauci & Longo’s,

2001; Price & Wilson, 2005).

4. Manifestasi Gagal Ginjal Kronis

Manifestasi klinik Gagal ginjal kronis menurut Suyono (2001) adalah

sebagai berikut:

a. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi pericardial

dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan

edema.

b. Gangguan pulmoner

(49)

c. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea dan vomitus yang berhubungan dengan metabolisme

protein dalam usus, perdarahan saluran gastrointestinal, ulserasi dan

perdarahan mulut, nafas bau amoniak.

d. Gangguan musculoskeletal

Pegal pada kaki, rasa kesemutan dan terbakar terutama di telapak kaki, tremor,

miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas).

e. Gangguan integumen

Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat

penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

f. Gangguan endokrin

Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi

dan aminore. Gangguan metabolik gula, gangguan metabolik lemak dan

vitamin D.

g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium

dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

h. Gangguan hematologi

Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga

rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis akibat

berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga

(50)

5. Terapi Gagal Ginjal Kronis

Menurunnya fungsi ginjal dan semakin buruknya gejala uremia pada gagal

ginjal kronis tahap akhir mengharuskan diberikannya pengobatan kepada pasien.

Wilson (2005) menyatakan bahwa pengobatan gagal ginjal kronis dibagi dalam

dua tahapan, dimana tahap pertama merupakan tindakan konservatif yang

ditujukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif fungsi ginjal

dan tahap kedua yaitu tindakan untuk mempertahankan kehidupan dengan dialisis

dan transplantasi ginjal. Prinsip-prinsip penatalaksanaan konservatif didasarkan

pada batas ekskresi yang dapat dicapai ginjal yang terganggu. Tindakan

konservatif berupa diet, pembatasan cairan, dan konsumsi obat-obatan

(Suhardjono, 2001; Potter & Perry, 2005; Wilson,2005).

Pada gagal ginjal kronis tahap akhir dibutuhkan tindakan yang bisa

mengganti fungsi ginjal untuk mempertahankan kehidupan karena tindakan

konservatif saja tidak efektif. Penggantian fungsi ginjal bisa dengan transplantasi

dan dialisa. Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang lebih baik karena

pasien tidak terlalu terbatas hidupnya dan biasanya tidak ada pantangan diet serta

tidak membutuhkan banyak waktu untuk melakukan dialisis (Potter & Perry,

2005; Wilson, 2005). Namun di Indonesia transplantasi ginjal masih terbatas

karena banyak kendala yang dihadapi seperti faktor ketersediaan donor ginjal,

biaya, dan sistem kesehatan yang belum mendukung (Yayasan Ginjal Nasional,

2000) sehingga dialisa bagi pasien gagal ginjal kronis tahap akhir merupakan

(51)

Wilson (2005) mendefinisikan dialisa sebagai suatu proses difusi zat

terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen

cair menuju kompartemen cair lainnya. Penggunaan dialisa ditujukan untuk

pengobatan gagal ginjal kronis pertamakali diusulkan oleh Abel, Rowntree &

Turner pada tahun 1913 (Gibson, 1983; Van Stone, 1983).

Pada dialisa, molekul solut berdifusi melalui membran semipermiabel

dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat atau konsentrasi solute

lebih tingggi ke cairan yang lebih encer atau konsentrasi solut lebih rendah.

Cairan mengalir lewat membran semipermiabel dengan cara osmosis atau

ultrafiltrasi (Daugirdas, Blake & Ing, 2001; Brunner & Suddarth, 2001; Daugirdas

& Wilson, 2005; Van Stone 1983).

Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa ada beberapa indikasi

pelaksanaan dialisis yaitu gagal ginjal yang tidak dapat lagi dikontrol dengan

penatalaksaan konservatif, perburukan gejala uremia yang berhubungan dengan

gagal ginjal tahap akhir, gangguan cairan dan elektrolit serta yang tidak dapat

dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhana.

Ada dua metode dialisis yaitu dialisa peritoneal dan hemodialisa. Diantara

kedua metode dialisa tersebut yang merupakan metode paling umum digunakan

untuk pasien gagal ginjal di Indonesia dan Amerika adalah hemodialisa (Kartono,

(52)

2.2.4 Hemodialisa

1. Pengertian Hemodialisis

Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksik

lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah dan

cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dialyzer (Hudak dan Gallo, 1996).

Hemodialisa merupakan suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal

ginjal untuk menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan untuk memperbaiki

ketidakseimbangan elektrolit dengan prinsip osmosis dan difusi dengan

menggunakan system dialisa eksternal dan internal (Tucher, 1998).

2. Prinsip-prinsip yang mendasari Hemodialisis

Pada hemodialisa aliran darah yang mengandung limbah metabolik

dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser untuk dibersihkan kemudian dikembalikan

lagi ke tubuh pasien. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan

terjadi melalui membran semipermeabel tubulus.

Pada proses kerja mesin dialisa ada tiga prinsip yang mendasarinya yaitu

osmosis, difusi, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah dikeluarkan dari dalam

darah melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki

konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.

Selanjutnya air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses

osmosis yang dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien

ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai

ultrafiltrasi pada mesin dialisa. Tekanan negatif ini diterapkan untuk memfasilitasi

(53)

Hemodialisa bagi pasien gagal ginjal kronis akan mencegah kematian yang

lebih cepat. Namun hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit

ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik yang

dilaksanakan oleh ginjal.

Di indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu dimana waktu yang

dibutuhkan untuk setiap tindakan hemodialisia adalah 5 jam, tetapi ada juga yang

melakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam, hal ini bergantung pada

keadaan pasien. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang

tertinggi sampai sekarang 14 tahun (Price & Wilson, 2005; Suhardjono dkk,

2001). Namun banyak komplikasi yang terjadi akibat terapi hemodialisa yang

mempengaruhi kehidupan pasien hemodialisa.

3. Komplikasi Hemodialisis

Komplikasi yang bisa terjadi saat pasien melakukan hemodialisa antara lain

hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus, gangguan keseimbangan dialisis,

kram otot, nyeri, mual, muntah, perembesan darah, sakit kepala, sakit punggung,

demam, menggigil, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,

hemolisis, hiperlipidemia, gangguan tidur dimana pasien selalu bangun lebih cepat

di pagi hari, dan hipoksemia (Smeltzer, 2001).

Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan

kondisi sakit yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupanya.

Pasien menghadapi masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan

pekerjaan, penurunan seksual serta impotensi, depresi akibat sakit kronik, dan

(54)

pernikahan mereka, anak-anak yang dimiliki dan beban yang ditimbulkan kepada

keluarga mereka. Gaya hidup terencana berhubungan dengan terapi hemodialisa

dan pembatasan asupan makanan serta cairan sering menghilangkan semangat

hidup pasien (Smeltzer, 2001).

Hemodialisa menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu

yang diperlukan untuk terapi hemodialisa akan mengurangi waktu yang tersedia

untuk melakukan aktifitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi, rasa

bersalah serta depresi di dalam keluarga. Keluarga pasien dan sahabat-sahabatnya

mungkin memandang pasien sebagai beban hidup karena keterbatasannya.

Barangkali sulit bagi pasien, pasangan, dan keluarganya untuk mengungkapkan

rasa marah serta perasaan negatif. Pasien yang menjalani tindakan hemodialisis

terkadang membutuhkan konseling dan psikoterapi (Brunner & Suddarth,2005).

Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan

marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi akibat

penyakit, serta terapinya di samping masalah keuangan, rasa sakit dan gangguan

rasa nyaman yang timbul akibat penyakit ataupun komplikasi terapi. Jika rasa

marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin perasaan ini akan diproyeksikan

kepada diri sendiri dan menimbulkan depresi, rasa putus asa serta upaya bunuh

diri. Insiden bunuh diri meningkat pada pasien-pasien hemodialisa. Jika rasa

marah tersebut di proyeksikan kepada orang lain, hal ini dapat merusak hubungan

(55)

2.3. Landasan Teori

Penulis menggunakan teori keperawatan menurut Sister Calista Roy sebagai

dasar penelitian ini. Menurut Sister Calista Roy, individu sebagai makhluk

biopsikososial dan spiritual memiliki koping untuk beradaptasi terhadap

perubahan yang ada di sekitarnya sehingga individu selalu berinteraksi terhadap

perubahan hidup. Perubahan hidup yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik

merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stres yang secara tidak langsung

dapat mempengaruhi kesakitan dan pola perilaku individu .

Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah penyakit yang mengancam jiwa. Ada

tiga pilihan terapi pengganti yang dapat dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal

tahap akhir yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, serta transplantasi ginjal

(Crawford & Lerma, 2008 dalam Al Nazly, E.A., et al (2013). Ketika penyakit

gagal ginjal kronik memasuki stadium akhir (end stage renal disease), pasien

harus menerima perawatan dialisis untuk bertahan hidup, dan mereka sering

rentan terhadap emosi seperti perasaan tidak berdaya, depresi, dan ketakutan.

Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan

perasaan marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut

terjadi pada dirinya. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena

harus tergantung seumur hidup pada alat cuci ginjal (Andri , 2012). Hal seperti ini

tentunya akan menimbulkan perasaan tertekan yang sering disebut dengan stres

(Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2012). Pada umumya seseorang yang

mengalami stress atau ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah

Gambar

Tabel.3.5.1 Instrumen B: Kuisioner Strategi Koping
Tabel.3.5.2 Instrumen C : Kuisioner Resiliensi
Tabel 3.5.3. Hasil uji validitas dan reliabilitas resiliensi
Tabel 3.5.5. Hasil uji validitas dan reliabilitas strategi koping
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

Berdasarkan tahapan dan jadwal lelang yang telah ditetapkan serta memperhatikan hasil evaluasi kualifikasi terhadap peserta yang lulus evaluasi dokumen penawaran,

satisfaction of retailers and, on the contrary, poor quality service will cause dissatisfaction; second, service quality has positive influence on trust, which means that good or

Hubungan persepsi perawat tentang manfaat discharge planning dengan pelaksanaan discharge planning di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, 9 orang

Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pe- ngusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan dinyatakan atau dinilai

Ada hubungan interval persalinan dalam kejadian VBAC dan interval persalinan memiliki peluang 4,387 kali dalam keberhasilan dilakukannya VBAC dengan interval persalinan

[r]

Permohonan memakai gereja untuk sakramen/sakramentali (misalnya: misa peringatan arwah, misa HUT perkawinan) akan diizinkan asal tidak bertabrakan dengan acara paroki yang