BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh Anak
2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Keluarga yang utuh adalah impian setiap anak dalam menjalani kehidupannya. Keluarga
tetap merupakan bagian yang paling penting dari jaringan sosial bagi anak, sebab anggota
keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting dalam
bersosialisasi. Tetapi ketika keluarga mengalami pecah akibat perceraian, maka yang dibutuhkan
dalam mengembalikan kepercayaan anak terhadap orang tua ialah pengaruh sikap orang tua pada
hubungan keluarga. Pada dasarnya hubungan orang tua terhadap anak akan menjadikan perilaku
anak menjadi positif. Begitu juga dalam mengasuh anak, sikap orang tua di tuntut agar anak
dapat memiliki hubungan yang baik terhadap lingkungannya (Hurlock, 2009:202-205).
Pengasuhan anak adalah sebuah interaksi yang terjadi antara pengasuh (orangtua, orang
dewasa) dengan anak-anak yang diasuh. Pengasuhan merupakan usaha yang diarahkan untuk
mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pengasuh . Menurut Abrahi (1998) pengasuh
anak menjadi sangat penting dalam perkembangan anak karena melalui proses pengasuhan itulah
anak tumbuh dan berkembang menjadi sebuah sosok individu dengan seperangkat karakteristik
sejalan dengan yang ia terima selama proses pengasuhan berlangsung (Okvina.wordpress.com).
Apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri sedang mereka mempunyai anak kecil,
maka ibu yang berhak dari ayah untuk mengasuh anak tersebut selama tidak terdapat halangan.
Peningkatan perhatian masyarakat banyak terdapat masalah kehidupan keluarga dan pengasuhan
meluas. Jarang sekali generasi orang dewasa menunjukkan kesungguhan perhatian yang disertai
keprihatinan yang mendalam terhadap generasi muda (Singgih, 2011:18 ).
Perceraian yang terjadi ditengah-tengah keluarga membuat sebagian anak menjadi
kehilangan peran sesungguhnya dari orangtua laki-laki maupun perempuan. Walaupun salah
satunya dapat memberikan peran ganda terhadap anak demi perkembangan psikologisnya. Tetapi
tidak sedikit dampak yang dialami oleh anak ketika salah satu orangtua biologisnya untuk
bertemu mengalami kesulitan. Terkadang anak menjadi seperti barang hidup yang bisa
dipindah-pindahkan demi dapat bertemu dan berkumpul bersama sang buah hati.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kekuasaan orangtua bersifat
tunggal, tidak dapat dihapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik,
maka kewajiban pengasuhan anak oleh orang tuanya tidak terdapat masalah. Pengasuhan yang
dilakukan oleh suami isteri yang telah bercerai, dapat secara bersama-sama dan saling membantu
serta dengan penuh kasih sayang melaksanakan kewajiban mengasuh anak mereka. Ketika
berlangsungnya suatu perkawinan, anak merupakan hal yang yang dinanti-nantikan oleh
orangtua dalam memberikan kebahagiaan di dalam keluarga. Tetapi jika suatu saat timbul
masalah tentang siapa yang paling berhak mengasuh anak pasca perceraian, maka orang tua,
dapat memohon kepada Pengadilan agar hak kuasa asuh jatuh di salah satu pihak.
Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang paling menonjol atau paling dominan
dalam menangani anaknya sehari-hari. Pola asuh orang tua tersebut seperti dalam mendisiplinkan
anak, dalam menanamkan nilai-nilai hidup, dan mengajarkan keterampilan hidup, dan mengelola
emosi. Dari beberapa cara penilaian gaya pengasuhan, yang paling sensitif adalah mengukur
anak mengenai bagaimana ia diperlakukan oleh orang tuanya, itulah gaya pengasuhan (Sunarti,
2004:93).
Anak adalah penerus keturunan dan tumpuan harapan dari orang tuanya agar anak
menjadi sukses di kemudian hari. Sehingga, ketika anak mengalami suatu kondisi yang tidak
nyaman karena perceraian maka harus tetap diusahakan agar hak pengasuhan dan pembinaan
anak pasca perceraian orang tua harus berada di tangan orang yang paling tepat dan dapat
melakukan pengasuhan yang terbaik bagi anak. Tidak ada kriteria khusus tentang umur seorang
anak yang berada di bawah pengasuhan ibunya atau bapaknya. Hanya saja pada umumnya
anak-anak yang masih sangat kecil dan sangat membutuhkan kasih sayang ibunya akan diserahkan
kepada ibunya. Untuk hal ini dapat disebut didalam yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia tanggal 25 Juni 1974, Nomor 906 K/Sip/1973 yang berbunyi: “Kepentingan si anaklah
yang harus dipergunakan selaku patokan untuk menentukan siapa dari orang tuanya yang
diserahkan pengasuhan si anak.”
Ada beberapa hal untuk menentukan siapa yang paling tepat di antara ayah dan ibu dalam
mendapatkan hak asuh, seperti tidak hanya dengan mempertimbangkan kemampuan finansial,
tetapi harus dengan mempertimbangkan sifat, perilaku dan kebiasaan, keadaan jasmani dan
rohani serta spiritual. Selain itu juga dapat melihat kesalahan siapa yang menjadi penyebab
terjadinya perceraian. Harus selalu disadari bahwa penetapan pihak yang melakukan pengasuhan
anak pasca perceraian bukanlah suatu kompetisi untuk mencari pemenang di antara ayah dan ibu.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi dan monitoring atas pengasuhan yang dilakukan oleh pihak
yang telah ditentukan tersebut.
Menurut Balson ada 2 dimensi secara garis besar dalam pengasuhan anak yang
membentuk empat bentuk dasar pengasuhan yaitu saling memberi dan saling menerima.
Memberi dalam artian mendukung anak dan responsif terhadap pemenuhan kebutuhan,
keinginan dan harapan anak. Sementara menerima dalam artian menuntut adanya kedisiplinan
dari anak untuk mengikuti segala bentuk aturan dan batasan yang diberikan/ditentukan orang tua.
Balson membagikan 4 bentuk pola asuh dari dimensi arahan atau disiplin di dalam
keluarga, yaitu pola asuh authoritarian (otoritatif), pola asuh authoritative (demokratis), pola asuh permisif (serba membolehkan), dan pola asuh cuek (penelantar).
a) Pola asuh otoritatif
Pola ini merupakan pola pengasuhan yang memberikan banyak hal tetapi menuntut
banyak hal pula dari si anak. Pola pengasuhan ini merupakan pola pengasuhan yang didasarkan
kepada tuntutan dan nilai-nilai yang bersifat absolute. Orang tua dengan pengasuhan ini sangat
sensitif dengan apa yang diperintahkan tidak menghiraukan dan tidak menghormati perintah
orang tua. Hal ini dapat menyebabkan sianak akan kehilangan kepercayaan diri dan tidak mampu
untuk mengambil keputusan serta cenderung sulit untuk mempercayai orang-orang disekitarnya.
Adapun ciri-ciri dari pengasuhan otoritatif ini seperti cenderung akan menetapkan
peraturan dan tata tertib yang kaku dan dibuat hanya sepihak orang tua, memperlakukan anak
dengan kasar, komunikasi dengan anak serta anggota keluarga yang bersifat searah, menjaga
jarak dengan anak dan tidak adanya keramahan dalam keluarga. Sehingga anak-anak tidak
mampu dalam proses pemupukan/pembentukan pengekspresian dan kepercayaan diri si anak
dalam lingkungan keluarga.
Pola pengasuhan ini lebih memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu
mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola pengasuhan ini bersikap rasional, selalu
mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua dengan tipe ini akan
lebih bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang
melampaui kemampuan anak, dan akan menghargai hak-hak anak seperti pendidikan,
mendapatkan kasih sayang dan kebutuhan dasarnya. Orang tua yang mendidik anak dengan
pola pengasuhan ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan
suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
c) Pola asuh permisif
Pola pengasuhan permisif ini sangat bertolakbelakang sekali dengan pola pengasuhan
otoritatif (authoritarian). Dalam pola pengasuhan permisif, anak diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun yang dia inginkan dimana orang tua cenderung untuk
mendukung tindakan si anak serta memanjakannya secara berlebihan. Orang tua dengan pola
pengasuhan ini cenderung takut menasehati anak jika melakukan kesalahan sehingga
membentuk anak menjadi pribadi yang manja, tidak disiplin, malas dan egois.
d) Pola asuh cuek (penelantar)
Pola pengasuhan ini mempunyai indikator bahwasanya orang tua cenderung kurang
memberikan perhatian kepada anaknya, sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan menganggap
anak sebagai beban dalam hidupnya. Pola pengasuhan ini lebih mengarahkan kepada tidak
mempedulikan anak sama sekali, dimana orangtua sudah pada taraf apatis terhadap tanggung
jawabnya sebagai orangtua. Pola pengasuhan orangtua pada anak akan sangat menentukan
bentuk kepribadian si anak. Namun, ada masa dimana lingkungan pergaulan anak akan sangat
pergaulan anak dan pendekatan pada anak secara intensif serta bersahabat sangatlah diperlukan
agar anak tetap bisa terbuka pada orang tua dan tidak terbawa arus pergaulan terutama dalam hal
penyalahgunaan narkoba. Adanya keterbukaan dan hubungan yang lebih bersifat bersahabat
antara anak dan orangtua akan memudahkan bagi orangtua untuk dapat berkomunikasi dengan
anak terutama pada anak usia remaja muda secara terbuka.
Orangtua yang telah telah berpisah secara putusan pengadilan memberikan dampak yang
negatif ketika menjalani pengasuhan terhadap anak. Tidak sedikit orang tua tunggal dalam
mengasuh anaknya dengan cara menganggap bahwa anak-anaknya belum mampu untuk
menyelesaikan masalah dengan sendiri. Sehingga orang tua tunggal memperlakukan anaknya
dengan keinginannya agar mereka tidak mengalami seperti orang tuanya. Ada beberapa
kesalahan orang tua tunggal di keluarga yang telah bercerai dalam cara mengasuh anak.
Kesalahan itu salah satunya adalah menganggap masa anak-anak sebagai sebuah jembatan semua
orang melewatinya dengan perilaku buruk mereka merupakan gejala yang akan segera lenyap
ketika mereka telah dewasa dan menganggap anak yang semakin dewasa sebagai ancaman yang
harus diselesaikan melalui pengendalian dan dominasi yang makin kuat sekaligus
memperlihatkan bahwa mereka oang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.
Orang tua tunggal yang sudah bercerai dalam memberikan pola pengasuhan yang salah
untuk mengasuh anak-anaknya, Balson menyebutkan ada beberapa pola pengasuhan yang salah
di terapkan orang tua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya, seperti:
1. Pola Pengasuhan Permisif
Membiasakan anak dengan pola ini bertindak tanpa kendali orang tua. Orang tua yang
terlalu permisif bertindak menghindari konflik ketika mereka merasa tak berdaya untuk
kalangan anak-anak. Sehingga anak menafsirkan bahwa pola pengasuhan permisif ini memiliki
sikap yang cenderung memanjakan anak sehingga orang tuanya merupakan undangan terbuka
untuk berbuat menurut keinginan mereka.
2. Pola Pengasuhan Otokratik
Sikap orang tua yang permisif merupakan metode mengasuh anak yang tidak efektif
untuk membina anak, karena sikap orang tua yang keras akan merusaknya. Pendekatan yang
keras/kejam didukung dengan anggapan bahwa orang tua harus bertanggung jawab penuh
terhadap perilaku anak-anaknya, dan menjadi orang tua yang efektif menjadi jaminan untuk
berperilaku baik. Jika orang tua berusaha memaksakan anak-anak agar berbuat dengan cara
mereka, maka anak akan memberikan reaksi yang sesuai dengan keinginan mereka. Peningkatan
usaha orang tua untuk mengendalikan anak mereka dengan cara yang keras hanya akan
mengundang timbulnya daya menentang dan pembangkangan dari anak-anaknya (Balson,
1999:24).
2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Menurut Darling (1999) dalam bukunya berjudul Pareting Style and Corelates
mengatakan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi pola asuh dalam keluarga, yaitu:
1. Jenis kelamin anak
Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak
dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua bersikap lebih ketat kepada anak perempuan dan
memberi kebebasan yang lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar akan
2. Kebudayaan
Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga berkaitan
dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu budaya.
3. Kelas sosial ekonomi
Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah keatas cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cenderung authoritarian.
2.2 Pengertian Anak
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara
seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Buah dari perkawinan dengan tidak menyangkut
bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan
tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang
merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan
nasional.
Anak adalah aset bangsa. Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang
berada ditangan anak sekarang. Semakin baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik
pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu juga sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut
buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang
berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan.
Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga
mereka tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa
mereka bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa.
Anak bukan orang dewasa yang berukuran kecil. Anak itu sendiri mempunyai dunianya
fisik atau sosial, sifat-sifatnya, maupun tabiat-tabiatan dari seorang anak sangat jelas perbedaan
yang terdapat dari dalam diri anak-anak. Sama halnya dalam memperlakukan anak, tidak sama
dengan memperlakukan orang dewasa. Kebutuhan anak jauh lebih banyak daripada kebutuhan
orang dewasa. Anak memerlukan ayah atau ibu yang dapat memahami pola pikirnya dan segala
kebutuhannya. Karena anak bukan hanya sekedar diberi makan atau minum melainkan anak
merupakan sosok yang perlu diperhatikan segala perkembangannya
(Nadesul, 1999:1-2).
Menurut Hurlock (1980), manusia berkembang melalui beberapa tahapan yang
berlangsung secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu,
terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu dan bias berlaku umum. Untuk
lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian tersebut:
1. Masa pra-lahir : dimulai sejak terjadinya konsepsi lahir
2. Masa jabang bayi : satu hari-dua minggu
3. Masa Bayi : dua minggu-satu tahun
4. Masa anak terdiri dari beberapa tahap yaitu :
a.masa anak-anak awal : 1 tahun-6 bulan
b. Anak-anak lahir : 6 tahun-12/13 tahun
c.Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun
d. Masa dewasa : 21 tahun-40 tahun
e.Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun
Terhadap anak itu sendiri terdapat berbagai pengertian dan pemahaman tentang anak,
yang mana masing-masing dapat dilihat dari sudut pandang hukum yang antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1
yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai Anak adalah individu
yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.
c. Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Pasal 2, dikatakan bahwa yang
dikatakan sebagai Anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun.
d. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa
anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.
e. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 6 ayat 2 (dua) yang
memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun mendapati izin kedua orang tua. Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan
minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita
16 (enam belas) tahun.
f.Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat 5 (lima)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tesebut adalah demi kepentingan.
g. Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak pasal 1 ayat 1 (satu) disebutkan Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
2.3 Perceraian
2.3.1 Pengertian Perceraian
Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai dua arti sebagai pisah
dan putusnya hubungan sebagai suami isteri. Kemudian kata perceraian mengandung arti
perpisahan dan perihal bercerai (antara suami isteri) atau sebagai suatu perpecahan yang
mengakibatkan hubungan suami isteri berpisah. Perihal bercerai atau perpecahan yang terjadi
antara suami isteri didalam suatu keluarga. Perceraian juga dapat memicu terpisahnya keintensan
antara anak dengan orangtua yang sudah bercerai sehingga hubungan keduanya tidak serat dulu
(Syaifuddin., dkk, 2013:15,18).
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian berarti
berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami isteri yang disebabkan oleh
beberapa hal seperti kematian, perceraian, atas keputusan sendiri dan atas putusan Pengadilan.
Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan, dimana
pasangan suami isteri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang
berlaku. Istilah perceraian dilihat secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang
mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami isteri sebagaimana diartikan dalam Kamus
Ajaran agama apapun tidak menganjurkan untuk melakukan perceraian di tengah-tengah
keluarga. Namun, dalam kenyataan ada beberapa alasan yang dijadikan sebagai bukti kuat untuk
melakukan perceraian tersebut. Perceraian ini tidak pantas untuk dijadikan pilihan utama dalam
menyikapi ketidakharmonisan suatu perkawinan. Putusnya suatu ikatan dalam hubungan suami
isteri berarti putusnya hubungan hukum perkawinan, sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan
sebagai suami dan isteri dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga.
Namun, putusnya perkawinan tersebut tidak membuat putusnya hubungan silahturahmi. Antara
mantan suami isteri yang telah mempunyai anak-anak selama berumah tangga memerlukan
hubungan yang terjalin dalam urusan anak demi perkembangan psikis dengan berjalannya waktu
(Syaifuddin., dkk, 2013:18).
2.3.2 Alasan dan Penyebab Perceraian
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh National Fatherhood dengan menanyakan orang-orang, alasan paling umum yang menjadi penyebab dari pernikahan mereka tidak bisa
dipertahankan adalah :
a) Karena kurangnya komitmen
Ikatan perkawinan sangat perlu dijaga. Menjaga komitmen yang telah ditetapkan
bersama merupakan salah satu kunci dari berhasilnya suatu pernikahan. Disaat satu pihak
tidak bisa menjaga komitmen yang telah disepakati bersama maka akan mengakibatkan
terjadinya perpisahan.
b) Terlalu banyak pertengkaran
Membina rumah tangga dalam ikatan perkawinan, tidak terlepas dari kerikil-kerikil
pertengkaran. Survey yang dilakukan dapat menyatakan bahwa pertengkaran sering juga
akan menemukan titik temu dan solusi yang baik. Dalam membina hubungan yang sehat,
diperlukan komunikasi yang baik antar kedua belah pihak. Pertengkaran akan membuat
kedua belah pihak menjadi capek dan lelah dalam melanjutkan hubungan pernikahan.
c) Perselingkuhan
Menjalani sebuah ikatan tidak ada orang yang suka diduakan. Sama halnya dalam
satu hubungan terlebih lagi dalam pernikahan. Hal ini akan berdampak buruk pada
hubungan berdua. Tidak mengherankan bila perselingkuhan memainkan peran penting
dalam perceraian.
d) Menikah terlalu dini
Usia yang matang merupakan syarat terpenting dalam memulai perkawinan. Usia
ideal untuk melakukan suatu pernikahan adalah di usia 19 tahun keatas, karena dalam usia
ini tidak lagi dikatakan sebagai anak-anak melainkan dewasa dini. Sehingga seseorang itu
dapat bertanggungjawab dengan apa yang ia lakukan dan psikologi emosionalnya sudah
terkendali. Dengan usia terlalu dini dapat dikatakan sebagai faktor dalam bubarnya
perkawinan. Menurut Centers for Disease Control dan pencegahan, hampir setengah dari perkawinan remaja gagal dalam lima belas tahun pertama. Jumlah itu turun menjadi 35
persen untuk pasangan yang menikah di usia pertengahan dua puluhan.
e) Tidak sesuai dengan harapan
Konflik dalam berumah tangga yang terjadi membuat pasangan suami isteri jatuh
dalam masalah. Banyak pasangan yang tidak mengantisipasi berbagai konflik yang dapat
muncul dalam perkawinan. Terkadang kehidupan dalam perkawinan tidak sesuai dengan
ekspektasi mereka dan inilah yang tidak bisa diterima dengan baik. Harapan yang tidak
f) Ketidakseimbangan ataupun ketidaksetaraan menjadi pemicu lainnya yang membuat orang
melakukan perceraian. Kesenjangan dari tanggung jawab untuk faktor ekonomi pun dapat
termasuk dalam ketidaksetaraan. Apabila hal ini tidak bisa dengan segera ditemukan
solusinya, maka hubungan bisa berada dalam bahaya.
g) Kurangnya persiapan
Zaman yang semakin modern banyak anak-anak muda sekarang yang sudah
melakukan suatu perkawinan. Mereka menganggap bahwa dengan melakukan perkawinan
dengan usia dini tanpa memikirkan kedepannya, bisa lebih menikmati masa mudanya
dengan pasangan hidupnya. Padahal dengan kurangnya persiapan dapat menyebabkan
sebagian yang sebelum melakukan perkawinan sebaiknya harus dipersiapkan dahulu
dengan matang-matang karena dengan kurangnya persiapan tidak bisa hanya
dikelompokkan dari segi materi saja. Persiapan mental dan pikiran pun perlu dilakukan
ketika memutuskan ingin menikah. Kesiapan diri untuk menerima pasangan apa pun
kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya sangatlah penting.
h) Adanya kekerasan dalam rumah tangga
Faktor perceraian yang dialami oleh sebahagian pasangan suami isteri, mempunyai
beberapa alasan. Salah satu alasannya dalam rumah tangga adalah terjadi kekerasan. Dapat
dipastikan ini menjadi sumber pemicu perceraian. Yang paling penting adalah untuk
memastikan bahwa kita dalam keadaan aman sebelum menyatakan ingin berpisah atau
ingin melakukan perceraian (http://www. IndoTopInfo.com/H:\Alasan Umum Penyebab
Perceraian.htm diakses pada hari Kamis tanggal 6 Februari 2014, pukul 14.30).
Melakukan suatu perceraian harus ada beberapa alasan yang kuat, bahwa antara suami
mempersulit terjadinya perceraian dengan menetapkan syarat-syarat dan harus dilakukan didepan
persidangan. Bukan sedikit pasangan suami isteri memberikan alasan-alasan yang dapat
dijadikan sebagai dasar terjadinya perceraian menurut pasal 39 ayat 2 (dua) Undang-undang No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah :
1. Salah satu pihak melakukan perzinahan, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun secara berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat membahayakan
terhadap pihak yang lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, perkawinan mempunyai
maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan
yang mengakibatkan putusnya perkawinan karena perceraian harus benar-benar
dipertimbangkan dan dipikirkan baik-baik (Latief, 1999:108).
Tingginya angka perceraian berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Medan tahun
2012 yang mencapai hingga angka 12.000, maka timbul berbagai pertanyaan dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU) tentang apa yang menjadi
pasangan suami-isteri dalam rumah tangga bercerai terutama pada pasangan muda? Faktor-faktor
penyebab perceraian di Pengadilan Agama Medan, dari Januari sampai dengan 27 November
Tabel 2.1
No Penyebab Perceraian Jumlah Perkara
1. Poligami Tidak Sehat 2 Perkara
2. Krisis Akhlak 25 Perkara
3. Cemburu 1 Perkara
4. Kawin Paksa 3 Perkara
5. Ekonomi 99 Perkara
6. Tidak Ada Tanggungjawab 395 Perkara
7. Kawin di Bawah Umur 4 Perkara
8. Kekejaman Jasmani 210 Perkara
9. Kekejaman Mental 81 Perkara
11. Cacat Biologis 1 Perkara
12. Politis 7 Perkara
13. Gangguan Pihak Ketiga 164 Perkara
14. Tidak ada Keharmonisan 297 Perkara
Jumlah Total 1289 Perkara
Sumber : Data Sekunder Pengadilan Tinggi Agama Medan
2.3.3 Akibat-akibat Perceraian
Secara pengertian ilmu psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup
bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan
batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri
(Soelaeman, dalam Shochib, 2003:17). Pada umumnya keluarga mempunyai ciri-ciri kelompok
primer yang cukup penting dalam menjalani keluarga, antara lain :
a) Mempunyai hubungan yang lebih intim, yang mengarah pada keintensan anatara orangtua
dengan anak.
b) Kooperatif
c) Face to face
Terjalinnya keluarga sebagai suatu organisasi yang mempunyai arti mendalam dari
organisasi-organisasi yang lain. Terlihat dari sistem jaringan interaksi yang bersifat hubungan
interpersonal. Hubungan ini memungkinkan akan memberikan keharmonisan ditengah-tengah
keluarga antara ayah, ibu dan anak atau sebaliknya. Sangat bahagia jika suatu keluarga itu saling
bekerjasama dengan baik demi mempertahankan suatu hubungan dan untuk membuat
pernikahan berhasil. Tidak hanya dibutuhkan kerja sama saja tetapi juga membutuhkan
penyesuaian, saling menghormati satu sama lain, menghargai dan saling mencintai. Jika semua
itu sudah tidak ada lagi maka bisa saja orang memilih untuk bercerai.
Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam
membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Kepercayaan dari
orang tua yang dirasakan oleh anak akan menghasilkan arahan, bimbingan dan bantuan orangtua
yang diberikan kepada anak akan menyatu dan memudahkan anak untuk menangkap makna dari
upaya yang dilakukan. Keluarga dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya juga
dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi
kesenjangan hubungan perlu diimbangi dengan kualitas dan intensitas hubungan sehingga
dengan ketidakadaan ayah atau ibu di rumah tetap dirasakan kehadirannya secara psikologis
(Khairuddin, 2007:48).
Usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri terkandung perealisasian
peran dan fungsi sebagai orangtua. Tetapi dengan terjadinya perceraian ditengah-tengah keluarga
yang utuh dapat menyebabkan terganggunya beberapa fungsi keluarga. Beberapa fungsi keluarga
a) Fungsi Ekonomis
Keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, yang dimana anggota keluarga
mengkonsumsi barang-barang yang diproduksinya. Fungsi ini dilakukan dengan cara mencari
sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan
penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk memenuhi
kebutuhan keluarga di masa datang.
b) Fungsi Sosial
Keluarga memberikan prestasi dan status kepada anggota-anggotanya. Ini dilakukan agar
dapat membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan
tingkat perkembangan anak.
c) Fungsi Edukatif
Memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Fungsi ini dilakukan agar dapat menjadi
pegangan hidup pada anak kelak ketika sudah beranjak dewasa dengan pendidikan dasar.
d) Fungsi Protektif
Keluarga melindungi anggota-anggonya dari berbagai ancaman fisik, ekonomis dan
psikososial yang bertujuan untuk melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik,
sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
e) Fungsi Religius
Pengalaman keagamaan dalam keluarga perlu di terapkan kepada anak-anak dalam
keluarga. Pengalaman keagamaan merupakan dasar pengetahuan. Fungsi ini diberikan
kepada anak dan bertujuan dengan memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota
menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain
setelah di dunia ini.
f) Fungsi Rekreatif
Keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggotanya. Fungsi ini dilakukan agar anggota
keluarga dapat lebih meluangkan waktunya untuk bermain, bercengkrama, dan berlibur
bersama dengan keluarga.
g) Fungsi Afektif
Keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan. Fungsi diberikan dalam
bentuk memberikan kasih sayang dan rasa aman, serta memberikan perhatian di antara
anggota keluarga. Melahirkan keturunan merupakan fungsi yang bertujuan untuk meneruskan
keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga.
Ikatan yang mempertalikan suami dan isteri dalam perkawinan kadangkala rapuh dan
bahkan putus sehingga terjadi perpisahan atau bahkan perceraian. Dengan terjadinya perceraian
maka dengan sendirinya fungsi keluarga mengalami gangguan dan pihak bercerai maupun
anak-anak harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru. Dengan demikian peningkatan angka
perceraian dalam masyarakat pun membawa peningkatan gaya hidup khas keluarga bercerai,
seperti hidup sendiri menjanda atau menduda, adanya anak yang harus hidup dengan salah satu
orangtua saja, dan bahkan terpisah dengan saudara kandung lain (Sunarto, 2000: 64).
Terjadinya perceraian memberikan dampak terhadap perubahan fungsi keluarga tersebut.
Secara historis keluarga telah menghilangkan berbagai fungsi-fungsi karakteristik yang telah
melayani anggota keluarganya dan masyarakat. Anak yang berada di keluarga yang kurang utuh
sehingga orangtua harus senantiasa memahami keinginan anak-anak walaupun dalam kondisi
yang berbeda.
Ketidakutuhan yang terjadi di dalam keluarga, maka salah satu dari orangtua harus dapat
menjadi sosok yang dapat memerankan dua fungsi dalam keluarga yang telah hilang akibat
perceraian. Sangat disayangkan jika anak akan kehilangan peran salah satu orang tua yang tidak
berada di kehidupan sosialnya karena dapat membahayakan perkembangan anak di kemudian
hari. Keretakan dalam suatu perkawinan mengakibatkan keluarga utuh yang semestinya didiami
oleh adanya ayah, ibu dan anggota kandung menjadi terpisah. Tetapi dengan terjadinya
perceraian yang dialami sebuah keluarga, akan mengubah menjadi keluarga yang berorang tua
tunggal.
Adapun sifat-sifat yang harus di perankan oleh salah satu orang tua yang mengalami
perceraian, yakni :
1. Sifat Kebapakan
Sifat ini di perankan oleh seorang Ibu dalam mengasuh anak yang kehilangan peran bapak di
dalam keluarga. Dalam hal seorang Ibu harus dapat memberikan perlindungan kepada anak,
seperti mengawasi, melindungi dan memberikan penghargaan jika anak mendapat prestasi.
2. Sifat ke-ibu-an
Sifat ini di perankan oleh seorang Bapak yang mempunyai hak dalam mengasuh anak.
Didalam sifat ini, seorang Bapak harus dapat mengimbangi apa yang biasanya dilakukan oleh
seorang Ibu kepada anak. Seperti mendidik anak, merawat, memelihara, menyanyangi serta
berusaha menjadi seseorang yang dapat peka terhadap perasaan anak.
Sifat kebapak-ibuan ini biasanya di temukan pada salah satu wali yang mendapat
kepercayaan untuk mengasuh anak dan biasanya ini anak-anak berada di Yayasan atau Panti
Asuhan yang memiliki Ibu atau kakak pengasuh. Sifat ini akan membantu si anak dalam proses
perkembangan psikologis dan sosial daripada sianak (Shochib, 2003:17-18).
2.3.4 Dampak Perceraian Terhadap Anak
Apapun alasannya, tidak ada perceraian yang ideal dialami oleh pasangan suami isteri.
Begitu juga dengan harapan anak yang tidak menginginkan adanya perpisahan antara kedua
orangtuanya. Jika saja orang tua bersedia mencari penasihat sebelum bercerai, bukannya setelah
bercerai sebagian masalah tentang anak-anak praktis akan tertangani. Anak-anak tidak
mempunyai pikiran bahwa orang tuanya akan bercerai, walaupun mereka sering menyaksikan
pertengkaran. Mereka akan terkejut, marah, merasa bersalah dan bingung jika diberitahukan
bahwa orang tuanya akan bercerai (Balson, 1999:18).
Perceraian pasti membawa dampak negatif yang dapat mengganggu psikologis pada
tumbuh kembang anak. Perceraian tak hanya mengakibatkan penurunan prestasi belajar anak
melainkan juga menyebabkan anak mengalami kesulitan beradaptasi terhadap lingkungan yang
baru sehingga menimbulkan pemberontakan dalam skala kecil dan besar yang diwujudkan dalam
perilaku anak dalam lingkungan sekolah maupun rumah. Adapun dampak perceraian terhadap
anak dilihat dari perspektif Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
a. Anak akan merasa terbuang dan tidak diperhatikan
Jika Ibu dan Ayah berpisah atau bersiap-siap untuk berpisah, maka biasanya anak akan
disergap rasa takut kehilangan salah satu dari orangtuanya. Anak akan berpikir bahwa ia akan
menjadi seorang yang sendiri di dunia ini.
Tak hanya dari orangtuanya tapi juga dari keluarga besar lainnya yang membuat sianak
akan merasa kurang diperhatikan dari sebelum kedua orangtuanya berpisah. Sebab dalam
pikiran anak akan terbentuk pola pikir yang mengarah bahwa jika kedua orangtuanya
bercerai maka ia juga akan kehilangan sebahagian dari keluarga besar lainnya.
c. Merasa bersalah
Banyak anak korban perceraian yang menganggap bahwa salah satu penyebab perceraian
orangtuanya adalah karena kesalahannya. Misalnya, karena sianak malas belajar, nakal, dan
suka berbohong jadi ayah dan ibu bercerai.
d. Anak akan berubah menjadi tidak kooperatif
Biasanya ditandai dengan kenakalan-kenakalan yang tidak wajar seperti merusak barang,
anak menjadi pemberang dan mudah tersinggung. Anak-anak yang menjadi korban
perceraian dari orangtuanya, dapat juga menimbulkan anak tidak peduli dengan keadaan
sekelilingnya, karena ia merasa cemburu dengan teman-teman sebaya atau anak-anak yang
lainnya yang masih mempunyai keluarga lengkap.
e. Anak terlihat depresi dan selalu menyendiri
Tanda yang paling terlihat dari dampak ini adalah anak jadi sulit makan, sering
membicarakan hal-hal yang menyedihkan bahkan cenderung melakukan hal-hal yang
membahayakan dan selalu memikirkan orangtuanya yang bercerai.
f. Pemberontakan terhadap ajaran agama
Pemberontakan disini dimaksudkan bahwa anak akan melakukan perlawanan terhadap
ajaran agama yang ia yakini, sekan-akan Tuhan tidak melindungi keluarganya dari
Saat ini baik di Indonesia maupun di negara-negara lain sering kita lihat, dengar dan baca
dari media elektronik dan media cetak anak-anak yang dianiaya, ditelantarkan bahkan dibunuh
hak-haknya oleh orangtuanya sendiri maupun oleh kerasnya kehidupan. Hak asasi mereka
seakan-akan tidak ada lagi dan tercabut begitu saja oleh orang-orang yang kurang
bertanggungjawab. Sebagaimana halnya dengan orang dewasa, anak-anak juga memiliki hak.
Hak-hak untuk anak-anak ini diakui dalam Konvensi Hak Anak yang dikeluarkan oleh Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989. Menurut konvensi tersebut, semua anak tanpa
membedakan ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, asal-usul keturunan maupun bahasa
memiliki 4 hak dasar yaitu :
a. Hak Atas Kelangsungan Hidup
Termasuk di dalamnya adalah hak atas tingkat kehidupan yang layak, dan pelayanan
kesehatan. Artinya anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak
dan perawatan kesehatan yang baik bila anak jatuh sakit.
b. Hak Untuk Berkembang
Termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu
luang, berkreasi seni dan budaya, juga hak asasi untuk anak-anak cacat, dimana mereka
berhak mendapatkan perlakuan dan pendidikan khusus.
c. Hak Partisipasi
Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan
berkumpul serta ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Jadi,
seharusnya orang-orang dewasa khususnya orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya
kepada anak karena bisa jadi pemaksaan kehendak dapat mengakibatkan beban psikologis
d. Hak Perlindungan
Termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan
kejam dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana maupun dalam hal lainnya.
Contoh eksploitasi yang paling sering kita lihat adalah mempekerjakan anak-anak di bawah
umur.Untuk itu ada baiknya para orangtua, lembaga-lembaga pendidikan maupun lembaga
lain yang terkait dengan anak mengevaluasi kembali, apakah semua hak-hak asasi anak telah
dipenuhi/terpenuhi.
Dari hak-hak anak tersebut di atas, saat ini sudah banyak anak-anak yang tidak terpenuhi
haknya, dan anak-anak tersebut kehilangan masa-masa yang mana dapat menunjang tumbuh
kembang anak.
2.4 Kesejahteraan Anak
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan
sejahtera adalah ketika hak-hak dan kewajiban anak terpenuhi. Didalam pasal 13 ayat 1 (satu)
dikatakan “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan
Diskriminasi, Eksploitasi, Penelantaran, Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
Ketidakadilan, dan Perlakuan yang salah”.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 9
bahwa “Orangtua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan
anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1
ayat 2, ditentukan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum
yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun sosial”.
Prof Dr. Singgih D Gunarsa menyatakan bahwa ”anak membutuhkan orang lain bagi
perkembangannya dan orang lain yang paling pertama dan utama bertanggungjawab adalah
oarangtuanya sendiri”, orangtualah yang bertanggung jawab memperkembangkan keseluruhan
eksistensi si anak. Pendapat tersebut memperkuat pernyataan tentang hak-hak anak dan
ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak seperti tercantum dalam Bab III megenai tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan
anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Menurut Undang-Uundang Perkawinan sangat jelas hak dan kewajiban orangtua terhadap
anak demi kesejahteraan anak. Ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan mengenai hak dan
kewajiban orangtua terhadap anak antara lain :
1. Tentang usia belum dewasa bagi seorang anak
Setiap anak yang belum dikatakan dewasa berada dibawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Misalnya anak tersebut ingin
melangsungkan perkawinan, maka anak tersebut harus mendapat ijin dari kedua orang tuanya
karena anak yang dibawah umur masih dalam pengawasan orang tua.
2. Kewajiban dan kekuasaan orangtua
Pada Pasal 45 ayat 1 dikatakan bahwa “Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya”. Menurut Prof.H.R.Sardjono, memelihara disini
berarti member nafkah hidup bagi sang anak, baik berupa sandang maupun pangan.
Mendidik artinya member pendidikan kepada anak seperti menyekolahkan anak dengan
pernyataan pada Undang-Undang Perlindungan Anak pada Bab IV yang mengenai tentang
kewajiban dan hak orangtua.
3. Kewajiban anak terhadap orangtua
Kewajiban anak sudah sepantasnya untuk menghormati dan menaati kehendak orangtua
mereka. Segala yang ditaati oleh sianak tidaklah semua kehendak orangtua saja melainkan
segala kehendak yang baik.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 (dalam Soerjono Soekanto. 1992:127) yang
mengatur kesejahteraan anak Pasal 2, menyebutkan hak-hak anak sebagai berikut :
1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang
di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang secara wajar.
2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya
sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik
dan berguna.
3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan.
4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
2.5 KPAID-SU (Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara)
Beberapa tahun terakhir ini, tindak kekerasan, pemaksaan, eksploitasi bahkan
perdagangan anak semakin banyak terjadi. Tindakan tersebut dilakukan oleh perorangan atau
penculikan anak, perkosaan/ sodomi anak, tenaga kerja anak dan sebagainya. Praktek penjualan
bayi sering dilakukan dengan dalih adopsi.
Kondisi ekonomi keluarga yang miskin, tidak harmonis, pengangguran ikut pula
menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Harapan orangtua yang terlalu
tinggi dalam mendidik anak serta tanpa melihat potensi tumbuh kembang anak, minat dan bakat
dan keinginan anak dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap anak. Di sisi lain
perlindungan terhadap anak semakin bervariasi dan beragam bentuk dan tempatnya, mulai dari
lingkungan rumah tangga, yayasan/ panti asuhan, pondok pesantren, lembaga swdaya
masyarakat (LSM), yayasan pemerintah dan sebagainya.
Berdasarkan pengalaman tidak diketahuinya kasus-kasus tersebut di tengah-tengah
masyarakat, karena tidak tersedianya sarana dan informasi yang mudah di akses kemana mereka
memberikan pengaduan atau rujukan atas kasus yang dialami. Pada sisi lain tidak semua aparat
penegak hukum (Kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara/ advokat) mengerti tentang
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Ada ketentuan-ketentuan hukum tersebut
yang belum dilakukan sinkronisasi dan hormonisasi oleh masyarakat karena apabila masyarakat
mengadukan permasalahan kekerasan terhadap anak kepada pihak kepolisian dapat
menimbulkan citra buruk dalam keluarga.
Sesuai dengan amanat Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
bahwa setiap daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota dapat membentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID). Pembentukan KPAID bukan merupakan
kewajiban atau keharusan tetapi merupakan kebutuhan daerah masing-masing. Karena itu,
KPAID-SU merupakan refleksi dari kedudukan KPAI seperti tercantum pada pasal 9 ayat (1)
pelaksanaan tugasnya Komisi Perlindungan Anak dapat membentuk perwakilan di daerah”. Kata
perwakilan dalam rumusan tersebut merupakan perwakilan lembaga pusat di daerah, demi
kepentingan terbaik bagi anak, sesuai dan semangat UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi
daerah. Hubungan kerja KPAI dan KPAID-SU bukan bersifat hirarkis tetapi bersifat koordinatif
fungsional. Dengan demikian sifat independensi KPAID-SU tetap terjamin sejalan dengan visi,
misi dan strategi KPAI.
Sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi Sumatera Utara
No.463/026.K/2006, maka dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera
Utara (KPAID-SU) yang terletak di Kantor Gubernur Sumatera Utara Jl. Dipnegoro No. 30
Medan Sumatera Utara.
KPAID-SU bersifat independen yang dibentuk untuk mendorong dan memfasilitasi dan
mengawasi penyelenggaraan perlindungan hak-hak anak baik hak hidup, hak sipil, hak tumbuh
kembang, hak berpartisipasi sesuai dengan keinginan, minat, bakat dan kebutuhannya.
Pemenuhan hak-hak tersebut dilakukan dengan tujuan ”demi kepentingan terbaik bagi anak”
sebagai generasi penerus sekaligus pemilik dan pengelola masa depan bangsa dan negara.
Adapun dasar hukum yang menguatkan lembaga Negara ini, yakni UUD 1945 dan Pasal
28, dan adapun dasar hukum lainnya yang seperti :
a. Undang-undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
b. KEPRES No. 39 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak tahun 1989
c. KEPRES No. 77 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak Indonesia
d. SK. Gubernur Sumatera Utara No. 463/026.K/2006 tanggal 23 Januari 2006 tentang
e. SK. Gubernur Sumatera Utara No. 463/1682/K/Tahun 2009 tanggal 19 Mei 2009 tentang Komisi
Perlindungan Anak Indonesia.
Adapun strategi yang di ciptakan dalam dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID-SU) yaitu :
a. Pengarusutamaan anak (child measntreamling) dalam perumusan dan pelaksanaan pembangunan b. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) dalam upaya mendorong partisipasi
masyarakat bagi pelaksanaan perlindungan anak
c. Pengembangan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya perlindungan anak
d. Membangun kesadaran anak akan hak-haknya
e. Pengkajian, penyempurnaan, penyerasian produk hukum dan penegak supermasi hukum dalam
rangka perlindungan anak
Fungsi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara
(KPAID-SU) itu sendiri adalah sebagai berikut :
a) Fungsi Sosialisasi dan Pembangunan
b) Fungsi Riset dan Kajian
c) Fungsi Monitoring dan Evaluasi
d) Fungsi Supervisi
e) Fungsi Penyelia Data dan Informasi
Tugas utama daripada Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera
Utara (KPAID-SU) itu sendiri adalah sebagai berikut :
a) Melakukan Sosialisasi dan Advokasi tentang Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan
b) Melakukan Pengkajian peraturan Perundang-undangan, Kebijakan Pemerintah dan kondisi
pendukung lainnya baik di bidang sosial, ekonomi dan budaya
c) Menyampaikan dan member masukan, saran dan pertimbangan kepada berbagai pihak
terutama Gubernur, DPRD, Instansi Pemerintah terkait di tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota
d) Mengumpulkan data dan informasi tentang masalah perlindungan anak
e) Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di Provinsi Sumatera
Utara
f) Memberikan laporan, saran, masukan atau pertimbangan kepada Gubernur Provinsi Sumatera
Utara dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak di Provinsi Sumatera Utara.
2.6 Kerangka Pemikiran
Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara insan manusia yang berbeda dengan
berlandaskan kasih sayang dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Zaman yang semakin modern dan canggih, landasan
perkawinan tidak lagi menjadi tujuan yang harus ditegakkan. Selain faktor ekonomi yang
menjadi alasan utama terjadinya perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kurang adanya
kesiapan dan usia yang terlalu dini, tidak sedikit perkawinan yang terjadi diakibatkan dengan
faktor politik atau bisnis yang mengharuskan seorang anak kawin dengan anak teman bisnis
orangtua, sehingga keluarga tersebut mengalami perpecahan atau perceraian.
Kasus perceraian sekarang sudah menjadi hal yang tidak tabu lagi untuk dibahas, karena
dengan jumlah yang semakin bertambah tiap tahun. Kasus perceraian tidak lagi sebagai aib
keluarga yang semestinya tidak terjadi melainkan masalah sosial yang akan berdampak pada
anak. Anak korban dari perceraian pasti akan mengalami dampak yang dapat memberikan ia
pukulan yang terberat, seperti anak akan merasa kehilangan kasih sayang, merasa terbuang dan
tidak diperhatikan, pemberontak, merasa bersalah dan lain-lain. Perceraian orangtua tentu akan
membuat mereka malu dan semakin menutup diri.
Sama halnya dalam mengasuh anak pun kedua orangtua harus bersama-sama
memberikan yang terbaik buat anak dengan mempertemukan salah satu orangtua kandungnya
walaupun sudah tidak serumah lagi. Namun di saat sekarang ini tidak sedikit orang tua yang
melalaikan kepentingan si anak seperti memberi kasih sayang, berekreasi, dan sekedar bertemu.
Ini yang menyebabkan anak menjadi tidak kooperatif dengan salah satu orang tua yang telah
berpisah dengan memiliki keluarga yang baru. Karena bagaimana pun di dalam perceraian tidak
ada istilah dengan sebutan mantan anak sehingga sangatlah tepat jika sang buah hati harus di
asuh dengan orangtuanya.
KPAID Sumut merupakan lembaga yang berkonsentrasi terhadap semua permasalahan
anak. Lembaga ini memberikan fasilitas terhadap anak-anak ketika hak mereka dirampas. Ketika
Pengadilan Agama menetapkan hak kuasa asuh jatuh kepada salah satu pihak tetapi tidak
memenuhi hak anak, maka KPAID Sumut dapat menjadi Mediator akan permasalahan ini.
KPAID Sumut akan memfasilitasi kedua pihak dalam membicarakan yang terbaik untuk anak
lewat sebuah mediasi. Kesepakatan itu memberikan cara orang tua yang bercerai dapat
Bagan Alur Pikir
2.7 Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.7.1 Definisi Konsep
Definisi konsep merupakan sejumlah pengertian serta cirri-ciri yang berkaitan dengan
berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan lain-lain yang sejenis. Konsep diciptakan dengan
mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai cirri-ciri yang sama.
Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara
mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang diteliti serta menghindari salah pengertian
yang dapat mengaburkan penelitian (Silalahi, 2009:112). Komisi Perlindungan Anak
Indonesia Daerah (KPAID) Sumut
Anak Korban Perceraian
Pola Asuh Orang Tua
1. Pola Asuh Otoritatif 2. Pola Asuh Demokrasi 3. Pola Asuh Permisif 4. Pola Asuh Cuek
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek
penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang
diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian
disebut dengan definisi konsep. Secara sederhana definisi disini diartikan sebagai batasan arti.
Definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu
penelitian (Siagian, 2011:138).
Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah :
1. Pola Asuh orang tua merupakan usaha orang tua yang diarahkan untuk mengubah tingkah
laku anak sesuai dengan keinginan pengasuh (orang tua) yang bertujuan untuk menjadi sosok
individu dengan karakteristik yang baik. Serta pola perilaku orang tua yang paling menonjol
atau paling dominan dalam menangani anaknya sehari-hari ermasuk mendisiplinkan
anak,mdalam menanamkan nilai-nilai hidup, dan mengelola emosi.
2. Anak korban perceraian dampingan, dalam penelitian ini yang dimaksud adalah seseorang
yang berusia dibawah 18 (delapan belas) yang menjadi dampingan KPAID-SU secara
langsung terlibat dalam keadaan yang dialaminya.
3. Perceraian, dalam penelitian ini adalah perpisahan, perihal bercerai atau perpecahan yang
terjadi antara suami isteri didalam suatu keluarga serta dapat memicu terpisahnya keintensan
antara anak dengan orangtua yang sudah bercerai sehingga hubungan keduanya tidak serat
dulu.
2.7.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah lanjutan dari perumusan definisi konsep. Jika perumusan
definisi konsep ditunjukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep baik berupa
upaya mentransformasikan konsep ke dunia nyata sehingga konsep penelitian dapat diobservasi
(Siagian, 2011:141).
Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini diukur dari
indikator-indikator berikut ini :
I. Pola Asuh. Indikator ini dapat dikembangkan lagi ke dalam beberapa sub indikator, seperti:
(a) cara orang tua yang bercerai dari pasangannya dalam mengasuh anak, (b) keintensan
waktu bertemu dengan anak, (c) frekuensi berekreasi bersama anak, (d) mengunjungi
keluarga besar.
II. Anak Korban perceraian. Indikator ini dapat dikembangkan lagi ke dalam beberapa sub
indikator, seperti : (a) penyesuaian diri (b) kelimpahan kasih sayang (c) hubungan dengan
orang dan lingkungan