SISTEM BUDAYA INDONESIA
Editor: Dr. H. Junus Malalatoa
Oleh:
Yudha Andana Prawira
SISTEM BUDAYA INDONESIA
A. Identitas Buku
Judul : Sistem Budaya Indonesia
Penyunting : Dr. M. Junus Melalatoa
Penerbit : PT. Pamator, Jakarta
Tahun terbit : 1997
ISBN : 979-95194-0-3
Jumlah halaman: huruf iv, angka 262 halaman
Ukuran Kertas : B5 (eksklusif)
B. Deskripsi buku
a. Jenis : bungai rampai makalah penelitian budaya
nusantara
b. Kontributor penulis: M. Junus Mellatoa, Robertus R.
Suhartono, Sri Murni, Mahmud Tang, Noerid Haloei
Radam, Amri Marzali, Meutia F. Swasono, dan Hilarius
S. Taryanto.
c. Judul-judul makalah
Buku ini terdiri atas 15 (lima belas) bab, dengan
rincian sebagai berikut:
a) Rujukan Studi Indonesia
b) Silimo: Produk Peradaban Tua di Irian
c) Fordata: Budaya Seputar Dunia Wanita
d) Kebudayaan Sumba dalam Tenun Ikat
f) Kebudayaan Bugis: Menegakkan Siri’
g) Aspek Religi dalam Sistem Perladangan orang Bukit
h) Kebudayaan Kenyah di Long Merah
i) Kebudayaan Sunda: Kasus Cikalong Kulon
j) Kebudayaan Betawi: Kasus Kampung Bojong
k) Kebudayaan Mentawai: Konsepsi Tata Ruang
l) Budaya Malu: Sistem Budaya Gayo
m) Kebudayaan Aceh: Adat dan Agama
n) Perjalanan Budaya Transmisgran
o) Muatan “Kebudayaan Daerah” di Indonesia
C. Deskripsi umum
Buku ini terdiri dari 13 bab, bab 1 membahasa teori
analisis kebudayaan, sementara 12 bab lainnya merupakan
laporan pengamatan dari kontributor penulis dari berbagai
daerah di wilayah Nusantara. Mulai wilayah Aceh hingga
wilayah Papua. Laporan penelitian kebudayaan dalam buku
ini memang merupakan laporan lama (sekitar tahun 1990-an),
namun sebagian besar mungkin masih hampir sama kondisinya
dengan masa kini. Walaupun, bisa juga sudah sangat berubah.
Kumpulan hasil laporan penelitian disunting oleh Dr.
M, Junus Melalatoa, seorang dosen Ilmu Budaya dari
Universitas Indonesia.
Dari ketiga belas bab yang terdapat dalam buku ini,
penulis hanya memberikan ulasan pada tiga bab saja. Pertama
untuk bab awal tentang Rujukan Studi Indonesia, bab II
tentang Silimo, produk peradaban tertua di Irian, dan hasil
laporan pada bab IX tentang Kebudayaan Sunda, kasus
Cikalong Kulon.
Bab pertama penulis rangkum karena merupakan fondasi
untuk memahami buku ini adalah dengan pemahaman teori-teori
yang berkenaan dengan penelitian kebudayaan serta
nilai-nilai budaya pada kebudayaan Indonesia. Dengan membaca bab
Bab kedua penulis ulas, karena dari segi isi,
mencerminkan budaya paling tua di Indonesia yang masih bisa
dilacak dan ditelaah. Kebudayaan di Papua ini merupakan
sisa peradan prasejarah atau jaman neomezolitikum (zaman
batu). Namun sampai abad XX masih memiliki subjek yang
masih hidup. Dapat disebut sebagai fosil kebudayaan zaman
batu yang masih hidup.
Sementara bab IX tentang kebudayaan Sunda Kasus
Cikalong Kulon, penulis ulas juga, karena kebudayaan ini
yang paling dengan kehidupan penulis. Sehingga, penulis
dapat berempati pada kehidupan di Cikalong Kulon ini.
KAJIAN BUKU
A. Rujukan Studi Indonesia
a) Bab 1: Rujukan Studi Indonesia
Dalam bab ini dikemukakan tentang gambaran umum kebudayaan di Indonesia. Pertama diungkapkan bahwa
kebudayaan di Indonesia telah menarik perhatian para
ahli sejak beberapa abad lalu. Karena itu, sejak abad
ke-16 hingga tahun 1970-an tidak kurang dari 80 buku
bibliografi dan katalog kebudayaan Indonesia, seperti
yang dirangkum Koentjaraningrat (1974) dan Wangania
(1974). Karya etnografi yang populer diantaranya karya
C. Snouck Hurgronje dan A.C. Kruyt.
Berikutnya, membahas tentang pemahaman tentang sistem kebudayaan. Dalam hal ini ada dua tafsir tentang
budaya, yaitu arti sempit dan arti luas. Arti sempit
kebudayaan bermakna sekitar wilayah berkesenian.
Sementara arti luas bermakna sistem gagasan milik yang
dijadikan acuan bagi perilaku dalam kehidupan sosial
Secara sederhana sistem budaya ini diskemakan sebagai
berikut:
Sementara itu, untuk menyatakan kebudayaan Indonedia merupakan hal yang sangat sulit karena masyarakat
Indonesia sangat beragam. Karena itu, Suparlan (1992)
menyebutkan ada tiga macam kebudayaan Indonesia, yaitu
o kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945
o kebudayaan suku-suku bangsa
o kebudayaan umum lokal sebagai sebuah wadah untuk
lestarinya perbedaan identitas suku bangsa
Simpulan menurut penulis mendefinisikan budaya sebagai sistem ide atau sistem gagasan yang dapat dirinci lagi
pada unsur—unsur budaya yang lebih kecil. Selain itu,
juga menyebutkan bahwa kebudayaan bersifat tetap namun
cenderung berubah. Hal ini karenabersifat dinamis untuk
menyesuaikan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi.
Nilai-nilai taqwa, iman, tertib, disiplin, tolong
menolong, ikhtiar, atau musyawarah masih relevan dalam
kaitan kebangsaan.
B. Bab 2: Silimo: Produk Peradaban Tua di Irian
Pengertian silimo, yaitu wujud arsitektur berupa kompleks pemukiman yang terdiri dari sejumlah unit
bangunan dan unsur-unsur lingkungannya. Kompleks
tersebut mewujudkan suatu pola. Pola ini lahir
dilandasi pengetahuan budaya sebagai hasil pengalaman
masyarakat dalam rentang sejarah kehidupan mereka.
Lokasi penelitian adalah daerah kecamatan Kurulu Kabupaten Jayawijaya. Tepatnya daerah lembah baliem.
Masyarakat yang tinggal dikenal dengan sebutan suku
Dani. Konon masyarakay Dani tinggal di tempat
tersebut sejak 24.000 tahun SM (Koentjaraningrat,
Populasi penduduk sekaligus penutur bahasa Dani berjumlah sekitar 200 ribu orang (pada tahun
1950-an). Namun pada tahun 1983, berjumlah sekitar 317.000
jiwa.
Mata pencaharian utama adalah bercocok tanam di ladang. Tanaman utama adalah hipere atau ubi jalar.
Ada sekitar 46 jenis hipere. Mereka juga mengenal
tanaman lain seperti talas, pisang, tebu, atau
tembakau.
Pola perkampungan. Silimo sebagai unit terkecil pemukiman orang Dani dengan pola menyebar. Satu
silimo dengan silimo lain dihubungkan dengan jalan
setapak. Dalam perkembangan terakhir silimo—silimo
tersebut berada di pinggir Trans-Irian yang dilalui
kendaraan roda dua dan roda empat. Selain itu juga,
sudah terdapat bangunan lainnya seperti sekolah
(SD/SMP), puskesmas, rumah dokter, gereja, bahkan
penginapan.
Sistem kekerabatan. Kelompok kerabat terkecil adalah keluarga inti. Satu keluarga inti umumnya poligami.
Seorang lelaki bisa memiliki 4-5 orang perempuan.
Kelompok kerabat yang lebih penting adalah keluarga
luas virilokal (virilokal extended family). Jumlah
satu silimo antara 15-60 orang.
Sistem religi. Orang Dani percaya pada kekuatan gaib, roh leluhur, dan roh kerabat yang telah meninggal.
Roh tersebut dikenal dengan konsep atou. Komunikasi
antara roh dan manusia yang hidup dilakukan dengan
upacara. Upacara yang dilakukan biasa untuk kegiatan
bercocokan tanam, perkawinan, penyembuhan, perang ,
atau kematian. Dalam rangka keselamatan dari roh
gaib, mereka percaya pada benda-benda yang memiliki
kekuatan yang disebut dengan kaneke (bhs sunda=
jimat), yang disimpan dalam lemari khusus dengan
Dalam setiap upacara ubi jalar dan babi harus selalu
ada sebagai persembahan dalam rangka komunikasi
vertikal dengan leluhur (Jarona,1996). ru
Sistem Silimo. Merupakan unsur teknologi berdasarkan tradisi masyarakat Dani yang berupa kompleks tempat
kediaman yang terdiri dari beberapa unit dan
perangkat lainnya.
Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:
Silimo Asal. Desa tertua adalah Watlangku yang saat ini merupakan tempat upacara ada. Watlangku ini
diyakini sebagai cikal bakal suku Dani. Ada tiga
silimo yang merupakan milik Klan Mabel, Klan Dabi,
dan Klan Logo. Silimo ini terkesan angker dan tidak
sembarang orang maupun sembarang waktu bisa memasuki
wilayah tersebut. Ketiga silimo itu pun diyakini
sebagai simbol dari Silimo Matahari, Silimo Bintang,
dan Silimo Bulan. Ketiganya merupakan lambang perang,
perdamaian, dan kemakmuran.
Pilamo. Pilamo adalah rumah lelaki dalam sistem silimo yang berada segaris luarus dengan pintu masuk.
Atapnya berupa kubah atau silinder. Garis tengahnya
5-7 meter disangga dengan empat tiang besar. Lantai
tidak menapak pada tanah, namun berpa rumah panggung.
Di dalam pilamo ini terdapat sebuah lemari tempat
menyimpan benda pusaka. Nama lemarinya adalah
hessik. Benda-benda pusaka berupa kapak batu, panah
batu, kalung dari kulit kerang, dan kantong kulit
(noken).
Ebe-ae, yaitu rumah perempuan, dari segi bentuk sama dengan pilamo, hanya ukuran lebih kecil. Di lantai
bawah ada tungku untuk menghangatkan ruangan atau
membakar ubi.
beberapa tungku untuk memasak yang jumlahnya sesuai
dengan jumlah isteri.
Okutlu, di bagian tengah silimo terdapat okutlu. Berupa halaman yang luas. Di tengahnya terdapat pohon
besar dan lubang untuk memasak pada upacara adat.
Penghuni silimo, umumnya masih dalam kerabat dekat, baik keluarga inti maupun keluatrga luas yang masih
bersifat patrilineal dalam satu klan. Namun dalam
beberapa silimo ada juga yang dihuni oleh keluarga
dari klan berbeda. Hal ini dinamakan konfederasi.
Penutup.
Masyarakat Dani adalah masyarakat yang lama terkurung
dalam isolasi alam dan komunikasi. Hubungan dengan
dunia luar relatif masuh baru. Selama isolasi
teknologi dan peralatan tidak mengalami banyak
peruabhan. Salah satu yang tidak berubah adalah
silimo, sebagai suatu bentuk teknologi perlindungan/
rumah.
Silimo menggambarkan tingkat kemampuan teknologi dan
peralatan yang mereka miliki. Bentuk dan struktur
bangunan silimo merupakan tanggapan aktif mereka
terhadap lingkungan alam yang berhawa dingin dan
angin kencang, juga binatang buas.
Harapan atas keselamatan ditunjang sistem keyakinan
dengan dibantu benda pusaka. Selain itu, muatan
sistem keyakinan juga melekat pada tiga silimo asal
di Watlangku menyangkut konflik, perdamaian, dan
kesuburan. Konflik tidak terlepas dari budaya perang.
Konflik juga sebagai perwujudan kontrol sosial, agar
satu pihak tidak ditindas pihak lain. Dengan sistem
ini akan menghasilkan keseimbangan yang mereka
rasakan setelah selesai konflik. Upaya pemerintah
rumah tidak sehat karena tidak berjendela dan
ventilasi, nampaknya gagal karena orang Dani lebih
kuat pada keyakinan di lingkungannya.
C. Bab 8:Kebudayaan Sunda: Kasus Cikalong Kulon
Pendahuluan:
Dalam tulisan ini aspek yang digambarkan adalah nilai
kebudayaan, sistem kekerabatan, sistem perkawinan,
rumah tangga, sosialisasi, pendidikan, kepercayaan
keagamaan dan afiliasi politik.
Lokasi, lingkungan alam, dan penduduk
Kecamatan Cikalong Kulon adalah kecamatan paling
utara di kabupaten Cianjur. Luasnya 166,25 kilometer
persegi. Jumlah penduduk 66.216 jiwa (1986). Mata
pencaharian utama 73-77% adalah bidang pertanian.
Sejarah lokal meyakini bahwa Cikalong Kulon merupakan
asal mula kerajaan Cianjur yang didirikan Raden Aria
Wiratanu pada sekitar tahun 1600an. Kerajaannya
bernama Cibalagung. Aria Wiratanu meninggal pada
tahun 1633 dan dimakamkan di desa Cijagang. Saat ini
dikenal dengan sebutan makam Dalem Cikundul. Setelah
meninggal, digantikan Raden Aria Wiratanu Datar Kedua
(1633-1690). Pada masa ini pusat kerajaan di Pusat
Kerajaan Cibalagung dipindahkan dari Cikalong Kulon
ke Cianjur.
Identitas Kultural
Orang Cikalong Kulon mengidentifikasi diri sebagai
orang Sunda. Secara lebih khusus mereka mengaku sebagai orang Sunda Cianjur. Orang “Sunda Cianjur” dipandang lebih halus tutur bahasanya dan memiliki
satu jenis kesenian yang juga “halus” yaitu tembang
berkembang di pusat kerajaan Cianjur di kalangan
menak.
Bahasa Sunda Cianjur (menurut Ekajati,1984) umumnya
sama dengan bahasa Sunda umumnya di wilayah jawa
barat. Namun bahasa Sunda Cianjur ini yang dijadikan
standar dalam pembelajaran bahasa Sunda di sekolah.
Dalam bahasa Sunda Cianjur ini, tuturan pilihan kata,
struktur kalimat, dan lagu bahasa disesuaikan dengan
sosial sang penutur. Karena itu, ada tiga tingkatan
bahasa (undak usuk basa) dalam bahasa Sunda lemes,
sedeng, dan kasar (Glicken,1987). Sementara itu,
tembang Cianjuran, merupakan lagu yang panjang berupa
pantun yang saat menlantunkannya diiringi kecapi dan
suling.
Meskipun orang Cikalong Kulon mengaku sebagai orang
Sunda Cianjur, namun orang Cianjur yang tinggal di
sekitar kota Cianjur menganggap Cikalong sebagai
daerah pinggiran. Istilah pinggiran ini tidak hanya
secara geografis, namun juga dalam sistem
kulturalnya, sebagai daerah terbelakang, agak kasar,
dan kurang makmur. Dan menganggap bahwa kehalusan
kultur Sunda Cianjur tidak terwakili oleh masyarakat
dan budaya orang Cikalong Kulon.
Orang Cikalong Kulon sendiri hanya komunitas yang
terdapat di sekitar kota kecamatan yang dianggap
maju, padahal sebagian besar desa dan penduduk
terdapat lebih pinggir lagi di pegunungan-pegunungan
yang sukar dicapai kendaraan umum. Desadesa di
pegunungan oleh orang “kota” cikalong disebut sebagai
pinggiran juga.
Dalam tulisan ini, lebih banyak menyoroti orang
Cikalong Kulon yang pinggiran dari pinggiran. Bukan
seluruh orang Sunda maupun Sunda Cianjur secara
keseluruhan.
Pelapisan Sosial
Orang Cikalong Kulon sangat menghormati orang yang
lebih tua, penghormatan ini diungkapkan dalam
perilaku maupun bertutur. Misalnya, jika berjalan
dengan orang yang lebih tua, maka akan mengikuti
bukan sejajar. Sampai saat ini (1997) senioritas
masih merupakan kriteria penting dalam struktur
sosial.
Sistem kekerabatan
Kelompok kekerabatan di luar keluarga batih tidak
memiliki peran yang terlalu penting. Pembinaan
praktik hubungan solidaritas dalam kehidupan
sehari-hari hanya terlihat di dalam keluarga batih, misalnya
antara anak dan orang tua sangat kental. Namun
sayangnya di Cikalong Kulon keluarga batih sangat
lemah sosialisasinya. Karena itu, orang Sunda
Cikalong Kulon mengenal kerabat sampai generasi
kedua, baik ke atas, ke bawah, maupun ke
samping/kolateral. Hanya orang Sunda kalangan menak
yang memerhatikan hubungan kekerabatan sampai ketujuh
turunan.
Sistem Perkawinan
Dalam mencari jodoh, orang Sunda Cikalong Kulon
relatif liberal. Walaupun keputusan mengenai
perkawinan tetap menjadi keputusan seluruh anggota
keluarga. Hubungan muda-mudi pun sangat kendur dalam
arti tidak terlalu banyak pantangan, sehingga
memiliki kemungkinan yang besar untuk terjadinya
hubungan badan sebelum menikah.
Bila satu pasangan sudah saling kenal dan saling
merasa cocok, sang jejaka akan melapor pada orang
tuanya. Orang tua jejaka akan mencari pihak ketiga
untuk menghubungi pihak mojang. Hal ini sebagai
lamaran tidak resmi. Jika lamaran tidak resmi sudah
yang akan dilakukan orang tua jejaka bersama pihak
ketiga sebelumnya kepada pihak mojang. Sebagai tanda
lamaran diterima, pihak jejaka memberikan
panyangcang/pajanten.
Beberapa hari menjelang hari pernikahan, pihak jejaka
akan memberikan cacandakan atau seserahan, baik
berupa pakaian maupun uang. Pernikahan resmi
dilakukan di depan amil baik di kantor desa maupun
rumah mojang. Perkawinan dilakuan secara Islam.
Setelah upacara perkawinan barulah dilakukan
selamatan.
Namun sayangnya, angka perceraian juga cukup tinggi,
baik yang dilakukan secara formal maupun yang tidak
tercatat. Bahkan di kampung Cijambe Hilir, hampir
separuh lekaki pernah mengalami perceraian dengan
isteri sebelumnya. Mereka beralasan ringan saja, tak
jodoh. Kemungkinan tinggi angka perceraian ini karena
usia pernikahan yang relatif muda, yaitu 14-16 tahun
(pada tahun 1990-an). Pasangan pernikahan yang
relatif stabil adalah mereka yang telah berusia
diatas 40 tahunan. Salah satu alasan pernikahan di
usia muda adalah adanya anggapan buruk terhadap
perawan jomblo. Menurut mereka, kawin dahulu lebih
baik, apapun kondisinya setelah menikah. Bahkan ada satu pepatah “kawin ayeuna, isuk pepegatan” masih lebih bagus daripada jomblo terus (Ekajati,1984).
Setelah menikah, suami bertanggung jawab terutama
terhadap ekonomi keluarga. Sementara isteri
bertanggung jawab mengurus rumah tangga. Di cikalong
Kulon, isteri juga membantu pekerjaan suami (yang
mayoritas bertani), misalnya menanam, menyiangi, atau
menuai padi. Bahkan ada pepatah, “najan manehna
Namun kini kondisinya sudah berbeda, nilai-nilai
budaya rumah tangga seperti di atas mulai
ditinggalkan. Kini isteri-isteri Sunda lebih banyak
mendapat kebebasan dan kehaormatan dari suaminya.
Isteri lebih berani menolak keinginan suami. Namun
konflik ini seringkali diakhir dengan perceraian.
Sosialisasi dan pendidikan
Anak-anak Sunda Cikalong Kulon dididik secara liberal
dengan tujuan mencapai keselarasan hidup dengan
lingkungan sosial. Namun sayangnya, orang tua
cenderung terlalu memanjakan anak-anaknya. Anak-anak
kurang dibiasakan dengan tantangan hidup yang keras.
Akibatnya ketika dewasa, sering kali kesulitan
menghadapi kehidupan. Seringkali juga mengalah
sebelum berupaya maksimal, sehingga terkesan
kasieunan.
Menurut data BPS tahun 1985, kkondisi pendidikan juga
tidak menggembirakan. Kebanyakan keluarga yang
terdidik adalah keluarga guru dan pegawai pemerintah.
Namun demikian, untuk pendidikan keagamaan agak
bagus. Masjid dan langgar banyak didirikan. Majelis
taklim banyak diselenggarakan di desadesa. Juga
sistem pendidikan Islam tradisioonal melalui
pesantren yang sudah lama dikenal masyarakat,
memiliki tempat yang agak bagus. Lulusan pesantren
maupun para kiai, memiliki pengaruh yang signifikan
di masyarakat. Scara umum dalam aspek keagamaan
orang Cikalong Kulon seperti kebanyakan orang Sunda
jawa barat umumnya, yang menurut Jackson (1980)
PANDANGAN TERHADAP BUKU SISTEM KEBUDAYAAN
INDONESIA
A. Metode Penelitian dalam Buku
Buku ini disusun berdasarkan tulisan beberapa peneliti
dalam bidang kebudayaan dan antropologi, yang dikumpulkan
dan disunting oleh Dr. M. Junus Melalatoa. Para peneliti
dalam buku ini tentu sudah menyandarkan metodologi
pengumpulan data berdasarkan prosedur yang sesuai kriteria
dan kaidah penelitian etnik yang berkembang saat itu. Tentu
saja jika dibandingkan dengan penelitian saat ini ada
beberapa bagian yang berbeda.
Hasil penelitian yang disampaikan sangat bermanfaat
bagi pengembangan khazanah pengetahuan pemerhati
perkembangan budaya Indonesia. Namun demikian dalam buku
ini ada beberapa hal yang perlu dicermati lebih mendalam,
antara lain terutama berkenaan dengan waktu penelitian.
Penelitian terhadap masyarakat Cikalong Wetan ini
dilakukan sekitar tahun 1990-an. Dengan demikian yang
menjadi sumber data tentu sudah berbeda dengan kondisi saat
ini. Baik sumber data berupa manusia maupun lingkungan.
B. Keragaman dan Temuan Gagasan
a. Sistem pelaspisan sosial, pada saat dilakukan penelitian
diungkapkan bahwa orang Cikalong Kulon sangat
menghormati orang yang lebih tua, sehingga jika berjalan
dengan orang yang lebih tua, selalu beriringan yang
lebih tua di depan (1997)
b. Sistem kekerabatan, nampaknya kekerabatan hanya terjadi
di keluarga batih. Jika digambarkan jika kekerabatan ke
atas atau ke bawah, hanya sebatas dua generasi. Demikian
pula kekerabatan secara horisontal, paling jauh sebatas
saudara sepupu. Hal ini nampaknya berlaku hampir di
c. Sistem perkawinan, umumnya liberal dalam arti pengaruh
keluarga dalam penentuan mempelai sebatas menyetujui
atau merestui bukan menunjuk calon mempelai. Namun ada
dampak buruknya dari moderatnya orang tua, karena sudah
tidak tumbuh lagi pantangan-pantangan, akibatnya banyak
pemuda-pemudi yang berhubungan badan sebelum menikah.
Namun temuan menarik dari penelitian ini yang jika
dipandang dari satu sudut pandang menjadi dua hal yang
bertolak belakang.
Misalnya, peneliti menyatakan bahwa setelah menikah,
suami bertanggung jawab keberlangsungan keluarga baik
finansial maupun materi lainnya. Sementara isteri
bertanggung jawab mengurus rumah tangga. Sehingga ada
pepatah “najan manehna ngajak ka liang cocopet oge,
manehna kudu daek ngawaro/ngilu ka caroge”. Hal ini sangat bagus tentunya.
Namun yang menjadi terkesan bertolak belakang menurut
data pemerintah desa maupun KUA, ternyata angka
perceraian juga cukup tinggi. Terutama untuk pasangan
yang masih relatif muda. Pasangan yang relatif stabil
bertahan adalah yang berusia di atas 40. Dengan demikian
sepertinya terjadi kontradiksi pernyataan.
C. Saran
Setelah membaca dan menelaah seluruh bab dalam buku
ini, pandangan penulis adalah bahwa mengingat penelitian
yang dilaporkan dalam buku ini terjadi sekitar tahun
1990-an, sehingga nampaknya dengan kondisi saat ini sudah jauh
berbesa. Namun hal ini juga sangat baik untuk melakukan
penelitian ulang di wilayah yang telah diteliti secara
mendalam oleh peneliti sebelumnya.
Wallahu alam bi sowab.