• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Perkemba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Perkemba"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Perkembangannya dalam Kajian Islam

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu dan Pendekatan Multidisiplin

Ayis Mukholik Muhammad Refani

Fardana Khirzul Haq

Muhammad Fajaruddin Muttaqin Dalimunthe Ahmad Faiz Yunus

Eka Yulianti Nur Atika Dwi Adjeng

Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam Fakultas Pascasarjana

(2)

Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Perkembangannya dalam Kajian Islam A. Pendahuluan

The Structure of Scientific Revolutions merupakan buku yang ditulis oleh Thomas Kuhn untuk melawan arus ilmuwan empiris dengan Positivisme. Kuhn sendiri menegaskan bahwa proses perubahan dan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan berjalan lambat dan bertahap.

Seperti apakah teori paradigma yang ditawarkan oleh Kuhn? Bisakah teori ini diterapkan dalam kajian Islam?

B. Latar Belakang Pemikiran Thomas Kuhn

Nama lengkapnya adalah Thomas Samuel Kuhn lahir di Cicinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922. Ayahnya adalah Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri dan ibunya bernama Minette Stroock Kuhn. Pada tahun 1946 Kuhn belajar sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan gelar Ph.D dari Harvard pada tahun 1949. Tiga tahun berada di Harvard Junior Fellow sangat mempengaruhi perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah (dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James Conant.1

Sesaat setelah meninggalkan Harvard, Kuhn belajar di Universtitas Berkeley di California sekaligus sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menulis bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991. Kuhn memperoleh banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia wafat pada tahun 1996.2

1 Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham, Acumen: 2000) Hal. 1 2 http://tech.mit.edu/V116/N28/kuhn.28n.html

(3)

C. Paradigma

Paradigma merupakan konsep utama yang dikemukakan oleh Kuhn. Meski pada kenyataannya Kuhn sendiri tidak banyak menguraikan tentang paradigma secara jelas. Margaret Masterman menatakan bahwa Kuhn menggunakan konsep paradigma paling tidak dalam dua puluh satu cara yang berbeda-beda.3 Kuhn

berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak berlangsung sebagai akumulasi pengetahuan menurut suatu garis lurus, melainkan menurut suatu revolusi yang berkala, inilah yang disebut dengan perubahan paradigma (Paradigm shift). 4

Istilah paradigma sendiri diambil dari Bahasa Latin yang memiliki arti “Pola, contoh atau model”. Dalam Bahasa Yunani disebut Paradeigma.5 Dalam

pengertian lain, paradigma adalah kerangka kerja, hasil, dan prosedur di mana pekerjaan berikutnya menjadi terstruktur. Dari beberapa pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa, paling tidak paradigma memiliki pengertian sebagai berikut:

1. Cara memandang sesuatu.

2. Dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola dan contoh yang mana dari model-model inilah fenomena yang ada dijelaskan.

3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan suatu studi ilmiah yang nyata dan konkret.

4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem.6

Pada dasarnya, Kuhn menyatakan bahwa paradigma merupakan kerangka referensi atau pandangan dunia (worldview) yang dijadikan dasar keakinan dan pijakan suatu teori.7

Paradigma ada dasarnya mengajak kita melihat sesuatu lebih dalam dan membuat kita terhindar dari hal-hal lain. Inilah bagaimana kita melihat dunia. Karena kita sendiri yang melihat dunia, kita tidak bisa menanggalkan subjektifitas kita dalam memandangnya. Kita melihat dunia bukan karena dunia begitulah adanya, tapi kita melihatnya sebagaimana siapa kita sebenarnya.

3 George Ritzer, Sociological Theory (New York, McGraw Hill: 2011) Hal. Appendix 2.

4 T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta, Kompas:

2015) Hal. 98.

5 http://www.etymonline.com/index.php?term=paradigm

6 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta, Rajawali Press: 2016) Hal. 155. 7 Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-dasar Epistemologi Islam (Bandung, Pustaka Setia:

(4)

Secara tidak langsung Kuhn menentang pendapat yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan mengumpulkan pengetahuan dengan cara objektif, yaitu mengumpulkan data dan menafikan penilaian. Menurut Kuhn, apa yang telah dihasilkan oleh ilmiah, selalu dipengaruhi oleh kondisi dan keadaan, gaya dan tren juga politik dan kekuasaan.8

Menurut Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner, yaitu ketika ada peralihan dari satu paradigma ilmu pengetahuan ke paradigma ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni (Paradigm shift)9. Fase-fase yang

terjadi adalah sebagai berikut:

1. Pre-Paradigmatic Stage yaitu fase dimana ilmu pengetahuan belum

memiliki landasan metode, teori dan konsep, dengan kata lain, belum memiliki paradigma. Para ilmuwan belum mempunyai kesepakatan konseptual sebagai pijakan teori terhadap objek tertentu yang sama-sama mereka teliti.

2. Normal Science, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran pemikiran (teori) yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya. Inilah hasil dari suatu paradigma yang sudah disepakati oleh komunitas ilmiah.10

3. Anomaly, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun teoritis ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan dalam memecahkan masalah yang baru. Dalam sosiologi disebut anomi, yaitu tidak berlakunya norma yang lama, sementara belum ada norma baru yang muncul. Dalam ilmu pengetahuan, disebut dengan krisis, yaitu anomali yang muncul pada ilmu pengetahuan dan belum ada ilmu pengetahuan baru yang menggantikannya. Dalam teori sosial kritis istilah ini disebut kontradiksi, yaitu anomali yang muncul di masyarakat.

8 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 157.

9 Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner

(Yogyakarta: LKiS, 2015). Hal. 22.

10 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 160.

(5)

4. Puzzle solving11, fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan masalah krisis yang dihadapi pada fase sebelumnya.

Merujuk pada skema di atas, selama suatu paradigma yang dipakai memberikan hasil, kegagalan dalam menerapkan paradigma tersebut dalam ilmu pengetahuan dipandang sebagai kesalahan penerapan ilmuwan, yang membutuhkan evaluasi dan perbaikan. Hal ini sangat berbeda dari pendapat Popper mengenai bagaimana mempersoalkan kriteria falibilitas. Jika anomali yang terjadi semakin sering dan tak terbendung, hal ini akan menimbulkan krisis yang mengarahkan pada sebuah paradigma baru. Inilah yang disebut dengan proses revolusi ilmu pengetahuan.12

Contoh dalam Pre-Paradigmatic Stage adalah ketika era klasik sampai pada akhir abad ke-17, dimana tidak ada kesepakatan umum tentang sifat cahaya, bahkan banyak aliran bersaing dalam argumennya masing-masing. Sebagian mengatakan cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda berwujud; bagi yang lain berpendapat bahwa cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang di antara benda tersebut dengan mata; ada juga pendapat yang mengatakan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata. Setiap aliran menekankan pendapat masing-masing. Barulah pada abad ke-18 dengan menimba inspirasi dari semua kajian sebelumnya, Newton

11 Meminjam istilah dari T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran dari bukunya yang

berjudul Filsafat Ilmu Pengetahuan.

(6)

merumuskan sebuah paradigma bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus, sejak saat itulah paradigma ini hampir diterima serempak dalam bidang optik fisika.13

Dalam contoh lain, bahwa suatu ketika dikatakan air dan alkohol itu satu, setelah bertahan cukup lama pendapat tersebut, ada pernyataan bahwa air dan alkohol terpisah, keduanya dapat dipisahkan melalui pemanasan dan disatukan dalam proporsi tertentu. Dalam hal ini, tidak bisa diartikan bahwa pemahaman tenang air dan alkohol yang satu tidak berlaku lagi, tapi pengetahuan tersebut mengalami perubahan yang mendasar, atau perubahan paradigma.14

Paradigma lama setelah tidak mampu bertahan, akan digantikan dengan paradigma baru yang sangat berbeda dari paradigma yang lama. Inilah yang disebut dengan incommensurable, yaitu tidak mungkin mengetahui paradigm baru melalui paradigma yang lama. Dari sinilah Kuhn menyimpulkan bahwa sains merupakan social process, relatif dan tergantung pada faktor sosial yang berupa masyarakat ilmuwan.15

D. Paradigma dalam Kajian Islam

Untuk mengetahui Paradigma dalam kajian Islam, maka diperlukan sebuah paradigma pembanding, yaitu dengan erangkat dari sebuah pemahaman bahwa paradigma dalam kajian Islam dan paradigma kajian ilmu pengetahuan di barat (positivistik) sangat berbeda. Kajian positivistik memiliki paradigma hegemonik dan empiris, sedangkan kajian Islam sendiri memiliki paradigma teologis. Paradigma berpikir yang dikembangkan Barat saat ini, menurut Muhammad Arkoun (1994), telah gagal membimbing cita-cita humanisme umat manusia. Modernisasi di Barat cenderung mengarah kepada terbentuknya masyarakat sekuler. Harvey Cox (1965) pernah memprediksikan bahwa modernisme dan modernisasi hanya akan menciptakan secular city; ia adalah lonceng kematian bagi agama. Menurut teori ini, semakin modern suatu masyarakat, semakin jauh pula mereka dari agama; agama diprediksikan tidak akan pernah bangkit lagi dalam arus modernisasi dan sekularisasi yang tidak terbendung. Dengan kata lain, modernisme di samping sangat mengagulkan kemajuan materiil dan intelektual,

13 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 158.

14 T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hal. 100.

15 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 164.

(7)

juga punya kecenderungan kuat untuk menghilangkan atau mematikan spiritualitas.16

Berkenaan dengan perbedaan paradigma ini, menurut Kuhn, tidak bisa diambil kesimpulan bahwa salah satu dari keduanya terdapat kebenaran, sedang yang satunya sebagai pihak yang salah. Namun keduanya memiliki kaidah atau pola pikir sendiri yang telah disepakati oleh masing-masing komunitas pendukungnya.17

Dilihat dari konteks sains, paradigma bisa juga disebut dengan worldview. Sehingga istilah worldview islam lebih sering didengar daripada paradigma islam. Penekanan yang perlu dilakukan adalah bahwa Islam bukanlah paradigma, namun pemahaman tentang islam itulah yang disebut paradigma. Dalam melihat perbedaan paradigma antara islam dan barat, maka bisa disimpulkan sebagai berikut:

Paradigma Islam Paradigma barat

1 Prinsip Prinsip

Tauhidy dikotomi

2 Asas Asas

Wahyu, hadits, akal, pengalaman dan intuisi

Rasio, spekulatif, filosofis

3 Sifat Sifat

Otentitas dan finalitas Rasionalitas, terbuka dan selalu berubah

4 Makna Realitas Makna Realitas

Kajian metafisis Sosial kultual empiris

5 Objek Kajian Objek Kajian

Visible and invisible Tata nilai masyarakat

Perbedaan mendasar antara paradigma islam dan Barat di atas akan lebih mudah dipahami dengan sebuah contoh. Beberapa orientalis modern dan kontemporer mencoba menerapkan pendekatan ilmiah dalam studi mereka terhadap islam. Hal ini dianggap ilmiah dibandingkan pendekatan teologis,

16 http://hasby.lecture.ub.ac.id/archives/60

17 Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner, Hal.

(8)

sehingga banyak yang menerapkannya terhadap al-Qur’an, hadits dan syari’ah.18

Meskipun hal ini menurut mereka objektif, tapi, seperti apa yang dikatakan oleh Kuhn, bahwa apa yang telah dihasilkan oleh ilmiah, selalu dipengaruhi oleh kondisi dan keadaan, gaya dan tren juga politik dan kekuasaan,19 hal ini tidak bisa

diterima sepenuhnya, mengingat beberapa orientalis memiliki asas dalam paradigma mereka berupa rasio, spekulatif dan filosofis, sedangkan dalam paradigma islam berasaskan wahyu, hadits, akal dan intuisi. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Kuhn bahwa tidak adanya kesepakatan ilmiah dan perbedaan paradigma membuat hal ini tidak bisa dianggap objektif.

Selain hal diatas, dalam tradisi keilmuan Islam, ulama masa lampau sudah melakukan pendekatan ilmiah dalam menyelidiki otentisitas hadits. Artinya bahwa seorang periwayat hadits yang terpercaya tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang mencukupi, tapi dari perilaku dan karakter yang baik. Perlaku baik tidak hanya pada tataran aksiologi ilmu, namun juga pada ontologi dan epistemologi. Inilah mmetodologi yang digunakan dalam menyelidiki hadits. Hal ini bisa terlaksana jika paradigma para penyelidik sama, dalam hal ini semua memiliki kesepakatan ilmiah dalam penelitiannya.20

Dalam masalah Paradigma-Shift atau pergeseran paradigma, Pergeseran paradigma pemahaman keagamaan dalam bidang fiqh sempat terjadi. Hal ini bisa diambil contoh dari Syafi’i dengan konsep qaul qadim dan qaul jadid. Perbedaan paradigma dan kondisi sosial pada akhirnya membuat Syafi’i mengeluarkan dua fatwa tersebut. Qaul qadim adalah pendapat As Syafi’i yang pertama kali di fatwakan ketika beliau tinggal di Baghdad (Th. 195 H.) Qaul jadid adalah pendapat Imam Syafi’i di Mesir baik berupa tulisan maunpun fatwa.21

Fungsi Islam adalah sebagai pedoman mutlak umat Islam dalam membangun paradigma. Sedangkan paradigma bermanfaat memandu umat Islam dalam memahami teks, mengamalkan, dan mengembangkan peradaban serta kehidupannya. Gagasan Kuhn dalam paradigma memang bisa bermanfaat bagi khazanah keilmuwan islam, namun tidak semuanya mutlak bisa digunakan dalam

18 Adnin Armas, “Metodologi Ilmiah dalam Islam” dalam Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam

et. Adian Husaini (Jakarta, Gema Insani: 2013) Hal. 166-167.

19Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 157.

20Adnin Armas, “Metodologi Ilmiah dalam Islam” dalam Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam

et. Adian Husaini (Jakarta, Gema Insani: 2013) Hal. 178-184.

21https://rumaysho.com/11539-mengenal-qaul-jadid-dan-qaul-qadim-dari-imam-syafii.html

(9)

pengembangan kajian Islam. Bagaimanapun, nilai-nilai pokok Islam seperti akidah (ketauhidan), tidak bisa direvolusi, Karena ini bersifat mutlak.22

Paradigma islam ini memerlukan kerangka konsep keilmuan yang mana bisa didapatkan dengan kegiatan keilmuan. Jika Paradigma masyarakat telah memiliki konsep-konsep ilmu dan disiplinnya maka hal itu akan berkembang melalui cara-cara ilmiah.

Hal ini bisa kita lihat dari beberapa periode keilmuan yang dialami umat islam:

1. Periode turunnya wahyu

Pada tahap ini paradigma islam bermuara pada Nabi Muhammad sebagai pembawa wahyu dan juga orang yang menjelaskan wahyu tersebut.

2. Periode Madinah

Pada periode ini wahyu yang diturunkan mengandung tema-tema tentang penyempurnaan ibadah. Pada periode kedua ini timbul kesadaran bahwa wahyu mengandung struktur fundamental paradigma ilmiah. Munculnya istilah Iman, Halal, Haram dll. Telah menjadi kerangka untuk memicu timbulnya gerakan keilmuan.

3. Periode lahirnya tradisi keilmuan dalam dunia islam

Di periode inilah telah terjadi beberapa tradisi keilmuan seperti kajian hadits dll. Yang dimulai di Kuffah. Kelahiran Tradisi intelektual Islam bukti adanya masyarakat ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam. Penentuan disiplin suatu ilmu biasanya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki tradisi ilmiah. Dalam hal ini Prof. Alparslan membagi 3 tahap terbentuknya suatu disiplin ilmu:

1. Tahap problematik, (problematic stage) yaitu tahap dimana berbagai problem kajian dijaji secara acak dan ber tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu. Ini berlaku untuk beberapa lama.

2. Tahap disipliner, (disciplinary stage) yaitu tahap dimana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan ditentukan sesuai dengan bidang masing-masing. 3. Tahap penamaan, (naming pada tahap ini bidang yang telah memiliki

materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.23

22Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner, Hal.

27.

23 Alparslan Acikgence,Islamic Science, Towards Definition (Kuala Lumpur, ISTAC: 1996)

(10)

E. Kesimpulan

Ide-ide Kuhn memang di satu sisi oleh kalangan positivistik tidak bisa dikatan ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang cermelangnya tersebut, Khunian bisa menyentuh konteks masyarakat yang tidak bisa dijangkau oleh kaum positivistik. Misalnya, apakah kaum positivistik bisa menyentuh aspek sosiologis, psikologis, dan kepercayaan yang menancap kuat (benar-benar ada) pada suatu fenomena secara tepat dan mendalam.

Dari semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan bahwa gagasan paradigma dan revolusi ilmu pengetahuannya telah membuka jalan lebar bagi segala macam ilmu untuk ikut serta dalam pengembangan diri.

Kajian Islam memliki tradisi keilmuan tersendiri yang berdasarkan aturan-aturan tertentu. Hal ini sebenarnya sudah cukup ilmiah, namun di satu sisi, kajian islam yang mana sebagai suatu senjata agama Islam untuk mengembangkan ajarannya perlu diinovasi dan diperbarui. Yakni, salah satunya dengan cara reinterpasi atau penafsiran ulang terhadap sebagian paradigma lama yang dipandang sudah tidak mampu lagi memecahkan masalah kekinian, namun tetap pada koridor yang sudah ditetapkan.

F. Daftar Pustaka

Bird, Alexander. Thomas Kuhn Chesham, Acumen: 2000

Ritzer, George. Sociological Theory New York, McGraw Hill: 2011

T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan Jakarta, Kompas: 2015

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer Jakarta, Rajawali Press: 2016

(11)

Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-dasar Epistemologi Islam, Bandung, Pustaka Setia: 2011

Amin, Riqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner Yogyakarta: LKiS, 2015

Husaini, Adian. Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam, Jakarta, Gema Insani: 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang kesehatan reproduksi dengan sikap ibu

Banyak elemen-elemen yang mempengaruhi persepsi konsumen ketika mereka memasuki bagian dalam toko. Kebersihan sebuah toko adalah hal yang utama. Suara dan aroma

signifikansi sebesar 0,000 (<0,05) sehingga dapat dijelaskan bahwa ada pengaruh antara lingkungan kerja non fisik terhadap kinerja karyawan, hasilnya adalah positif,

yang dinormalisasi dengan cara membagi jumlah piksel bin warna dengan jumlah total piksel pada suatu citra, yang mana telah dijelaskan pada bab 2 butir 2.6. Histogram

Dengan demikian, hipotesis penelitian berbunyi “Terdapat pengaruh yang signifikan dalam penggunaan teori Gestalt dengan teknik pembalikan untuk meningkatkan rasa

Sebagai sumber air baku yang digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, tentunya perairan Situ Bagendit harus memenuhi kriteria fisik dan kimiawi air yang telah

Gambaran kebudayaan atau kebiasaan daerah setempat yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif yang diperoleh dari hasil penelitian ini, yaitu sebagian besar informan