• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA MENYENANGK PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA MENYENANGK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA MENYENANGK PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA MENYENANGK"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA:

MENYENANGKAN, KREATIF, DAN INOVATIF

Drs. Puji Santosa, M.Hum. (APU)

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Abstrak

Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah haruslah dapat menyenangkan, kreatif, dan inovatif bagi siswa dan guru. Pembelajaran apresiasi sastra yang dapat menyenangkan haruslah mengandung unsur hiburan dan tidak membosankan. Dengan adanya daya kreatif dan kreativitas itu siswa dan guru dapat melakukan kegiatan sehari-hari penuh vitalitas hidup, bersemangat, tidak mengenal kata putus asa, bahkan tampak lebih berseri, penuh rasa optimis. Daya kreatif siswa dan guru dapat menimbulkan daya inovatif, yakni kemampuan untuk diperdayakan dengan cara selalu mencari hal-hal yang baru, berbeda dari yang sudah ada, segar, dan cemerlang.

Kata Kunci: sastra, pembelajaran, apresiasi, menyenangkan, kreatif, inovatif

1. Pengantar

Salah satu faktor keberhasilan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah ditentukan oleh peranan guru yang profesional dalam menangani bidang garapannya. Guru memegang peranan utama dalam mencapai keberhasilan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Guru pulalah yang harus mampu memotivatasi siswanya untuk belajar membaca, mendengarkan, menonton, dan kemudian berbicara, menulis, mencintai, serta menghargai cipta sastra. Proses pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif itu bermula dari kemampuan persiapan seorang guru menyampaikan rencana pembelajaran apresiasi sastra di kelas kepada siswanya, kemudian terjadilah serentetan peristiwa pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif itu, seperti, (1) pemilihan materi pembelajaran apresaisi sastra, (2) pemilihan metode yang sesuai dengan keadaan siswa, (3) kegiatan belajar mengajar apresiasi sastra yang menyenagkan, kreatif, inovatif, dan (4) evaluasi belajar sebagai indikator keberhasilan pembelajaran apresaisi sastra.

(2)

2

cerah, bersih dan rapi tentu menjadi teladan bagi murid-muridnya. Secara mental seorang guru yang kompeten mengajar di depan kelas harus menguasai materi ajar, mengusai kelas, mengusai metode pembelajaran, dan tentu saja dapat menyelami jiwa siswa atau anak didiknya.

Apa artinya semunya itu? Kompeten mengusai materi ajar, artinya guru itu mampu atau dapat mengapresiasi sastra secara baik. Bekal utama dalam pembelajaran apresiasi sastra adalah mampu menguasai bahan atau materi ajar. Kompeten menguasai kelas, artinya guru itu mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, kreatif, inovatif, terkendali, dan dalam keadaan asah, asih, dan asuh. Kompeten mengusai metode dan kompeten menyelami jiwa anak didiknya, berarti seorang guru harus cakap

dan mampu mencurahkan segala perhatiannya kepada siswa-siswanya agar mereka merasa mendapat siraman kasih sayang melalui didikan gurunya dengan tulus.

2. Persiapan Pembelajaran Apresiasi Sastra

Tahap persiapan pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif pada umumnya dapat meliputi tiga pokok masalah sebagai berikut.

(1) Memilih Bahan atau Materi Ajar (2) Menentukan Metode Pembelajaran

(3) Menulis Satuan Acara Pembelajaran (SAP) atau Rencana Pembelajaran (RP)

2.1 Memilih Bahan atau Materi Ajar

(3)

3

buku-buku antologi sastra seperti Horison Sastra Indonesia 1, 2, 3, 4 (Editor Taufiq Ismail, dkk.), Kakilangit Sastra Pelajar (Editor Jamal D. Rahman), Angkatan 66: Prosa dan Puisi (Editor H.B. Jassin), dan Laut Biru Langit Biru (Editor Ajip Rosidi); dan (5) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Ungkapan dan Peribahasa, Kamus Istilah Sastra,

dan Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bahan atau materi ajar tersebut dapat diperoleh melalui perpustakaan sekolah, perpustakaan pemerintah daerah, toko-toko buku, pusat-pusat dokumentasi, ataupun pasar buku loakan. Apabila materi ajar itu belum tersedia dalam buku paket pelajaran sekolah (di perpustakaan sekolah), seorang guru harus mencarinya secara kreatif dan aktif ke tempat-tempat tersebut. Dalam pemilihan bahan ajar ini harus dipertimbangkan usia anak didik, tema puisi, pengarang, dan tentu saja mutu atau kualitas karya sastra yang akan dijadikan bahan ajar.

Sebagai salah satu contoh bahan ajar apresiasi sastra, khususnya apresiasi puisi, berikut dikutipkan puisi bertema kenabian, sosok Nabi Nuh di mata penyair Indonesia modern Taufiq Ismail.

Balada Nabi Nuh

Gemuruh air jadi lautan

Gemuruh dunia yang tenggelam Gemuruh air jadi lautan

Gemuruh dunia yang tenggelam

Wahai kaum yang nestapa Wahai anakku yang malang Wahai kaum yang nestapa Wahai anakku yang malang

Ooh Nabi Nuh

(Taufiq Ismail, 1994. Balada Nabi-Nabi, Gema Nada Pertiwi)

Materi puisi-puisi di atas dipilih dengan alasan (1) pengarangnya brilian, (2) temanya menarik tentang teladan Nabi Nuh, (3) bahasanya puitis, tapi sederhana, (4) mengandung informasi tentang sejarah keimanan manusia sehingga mampu mendidik, memberi pelajaran, dan menambah wawasan pembaca, (5) kaya makna dan amanat, serta (6) memberi hiburan yang segar, menyenangkan, dan penuh pesona jika dibacakan, dideklamasikan, atau dinyanyikan oleh Bimbo.

(4)

4

Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh (Puji Santosa, 2003) yang

membicarakan sepuluh puisi tentang Nabi Nuh, buku apresiasi sastra, buku sejarah kenabian atau kitab suci (Alkitab atau Al-Quran), buku Kamus Istilah Sastra dan buku Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pengertian bahan atau materi ajar di sini tidak sekadar

teks karya sastranya, tetapi juga teori, kritik, sejarah, kamus, dan buku-buku lain yang berhubungan dengan isi teks karya sastra yang dijadikan materi pembelajaran.

2.2 Menentukan Metode Pembelajaran

Setelah bahan atau materi ajar apresiasi sastra kita persiapkan dengan cara memilih seperti di atas, langkah berikutnya adalah menentunkan metode pembelajaran. Penentuan metode pembelajaran semestinya dipilih sesuai dengan keadaan dan suasana kelas. Metode apa pun yang digunakan sangat bergantung pada kemampuan guru dan keadaan kelas. Metode hanya sebuah cara mengajar yang digunakan oleh seorang guru di depan kelas. Beberapa metode untuk pembelajaran apresiasi sastra yang sekiranya cocok dapat digunakan, antara lain:

(1) metode berkisah, (2) metode pembacaan,

(3) metode peragaan (berdeklamasi, berteater) (4) metode tanya jawab,

(5) metode diskusi, dan (6) metode penugasan.

(5)

5

mengisahkan kembali puisi-puisi yang baru saja dibacanya dengan gaya bahasa dan pilihan kata-katanya sendiri.

Metode pembacaan perlu diberikan kepada siswa untuk melatih vokal. Pembacaan puisi dengan suara nyaring akan lebih menarik. Pembacaan cerpen, fragmen novel, dan dialog-dialog drama dapat disajikan di depan kelas oleh siswa. Dalam melaksanakan metode pembacaan ini perlu diperhatikan irama, intonasi, lagu kalimat, jeda, dan nada dengan tinggi rendahnya suara atau panjang pendeknya suara. Pembacaan yang menarik dicontohkan oleh seorang guru dapat mengundang perhatian siswa untuk ikut terlibat dan berempati dalam suasana karya sastra yang dibacanya. Siswa sekolah menengah umum dapat dengan cepat menangkap irama puisi yang dibaca oleh bapak atau ibu gurunya tanpa menghiraukan maknanya terlebih dahulu. Metode pembacaan dapat ditugaskan kepada siswanya yang berbakat (pilihan), atau secara bergiliran sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. Anak-anak dapat diberi tugas membaca puisi, cerpen, fragmen novel, atau dialog drama di depan kelas dengan gayanya masing-masing sesuai dengan pembawaannya. Guru harus bertindak demokratis, merdeka, dan bertangung jawab.

Pada awalnya metode peragaan lebih cenderung diberikan oleh bapak/ibu guru untuk memperagakan gerakan-gerakan yang tersirat dalam teks sastra, seperti berdeklamasi atau berteater. Metode peragaan ini hampir sama dengan metode demonstrasi yang mengkombinasikan teknik lisan dengan suatu perbuatan. Gerak raut wajah dan ucapan seseorang ketika sedang marah tentu berbeda dengan raut wajah dan ucapan seseorang yang sedang dirundung kesedihan. Tutur kata, perubahan raut muka, dan gerakan badan seorang tokoh dapat diperagakan oleh guru di depan murid-muridnya. Sementara itu, murid-murid dapat diberi tugas peragaan di depan kelas untuk memerankan tokoh tertentu, misalnya tokoh Nabi Nuh, tokoh Anak Nuh, tokoh kaum Nuh, tokoh seekor burung tempua, tokoh penebang kayu, dan tokoh penumpang kapal Nuh. Adegan peragaan yang dilakukan oleh siswa di depan kelas itu akan menarik siswa lainnya ikut terlibat dalam suasana pembelajaran sastra yang menyenangkan.

(6)

6

hingga yang paling kompleks. Perlu diperhatikan pula keadaan kelas dan tingkat kecerdasan siswa agar tanya jawab itu dapat berlangsung dengan lancar. Hal-hal yang dipertanyakan, misalnya, siapa tokoh aku lirik yang baru dibacanya? setujukah kamu dengan pendapat tokoh utama? dari mana asal-usul tokoh itu? Jawaban siswa atas pertanyaan yang satu dapat dikembangkan lebih lanjut dengan pertanyaan lain atau dilemparkan kepada siswa lainnya.

Banyak cara melaksanakan metode penugasan kepada siswa. Seorang guru dapat memberi tugas membaca, mendengar atau menyimak, ataupun menonton pertunjukan pentas sastra kepada murid-muridnya, berdiskusi, dan menulis laporan atau pendapatnya tentang karya sastra yang diapresiasi. Penugasan dapat dilakukan selama di dalam kelas ketika sedang berlangsung proses belajar mengajar atau dapat juga sebagai pekerjaan rumah. Jenis tugas pekerjaan rumah, misalnya siswa disuruh menghapalkan teks puisi, membaca cerpen atau novel yang akan dipelajarinya, membuat kliping, dan mencari makna kata-kata sukar yang tersurat dalam teks sastra. Pencarian makna kata-kata sukar yang tersurat dalam teks sastra itu dapat dengan cara membuka kamus. Dalam melaksanakan metode penugasan ini besar kecilnya tugas harus disesuaikan dengan kemampuan siswa.

2.3 Menuliskan Rencana Pembelajaran

Persiapan mengajar harian (PMH) merupakan suatu perencanaan yang dilakukan oleh seorang guru sebelum melaksanakan praktik pembelajaran di kelas. Di sekolah lanjutan (SLTP atau SLTA) PMH itu dikenal dengan istilah SAP (Satuan Acara Pembelajaran) atau RP (Rencana Pembelajaran). Bagi seorang guru menuliskan RP itu merupakan suatu usaha yang menuju keberhasilan pembelajaran di kelas yang terencana, terprogram, dan tersistem. Selain itu, penyusunan naskah RP menunjukkan bahwa guru tersebut profesional dalam mengelola bidang garapannya.

(7)

7 Contoh Format SAP atau RP

Model kolom ke samping

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia Pokok Bahasan : Apresiasi Puisi Indonesia Modern Kelas/Semester : 1/2

Alokasi Waktu : 90 menit/ dua jam pelajaran

Tema/Aspek : Meneladani tokoh Nabi/ Religiusitas

Materi : Teks puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail (Terlampir)

Contoh SAP atau RP kita konkretkan sebagai berikut.

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia Pokok Bahasan : Apresiasi Puisi Indonesia Modern Kelas/Semester : 1/2

Alokasi Waktu : 90 menit/ dua jam pelajaran

Tema/Aspek : Meneladani tokoh Nabi/ Religiusitas

Materi : Teks puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail (Terlampir)

Kompetensi Dasar

Mengapresiasi sastra melalui kegiatan mendengarkan pembacaan puisi

Hasil Belajar

Mendengarkan pembacaan puisi dengan pemahaman tema, makna, dan pesan yang terkandung dalam puisi yang dibacakan.

Indikator Hasil Belajar

* Siswa dapat menentukan tema puisi yang dibacakan.

* Siswa dapat mengungkapkan makna yang terkandung dalam puisi yang

(8)

8

* Guru bertanya kepada siswa apakah sudah pernah mendengar Kisah Nabi Nuh? (Beberapa siswa ada yang menjawab sudah dari pelajaran agama, guru merespon jawaban siswa, baiklah nanti kita simak kembali kisah Nabi Nuh itu dalam puisi)

* Guru menayangkan CD/DVD aminasi tentang kisah Nabi Nuh

* Guru bertanya kepada siswa apakah sudah mendengar atau mengenal nama penyair Taufiq Ismail dan Himpunan Musik Bimbo?

(Beberapa siswa ada yang sudah mendengar dan mengetahui nama penyair Taufiq Ismail yang bekerja sama dengan Himpunan Musik Bimbo sejak tahun 1973, namun ada beberapa siswa yang belum tahu siapa Taufiq Ismail dan siapa Himpunan Musik Bimbo itu. Guru merepon jawaban siswa dengan menerangkan sekelumit biodata Taufiq Ismail, dapat dari Horison Kakilangit, atau buku-buku antologi yang ada riwayat Taufiq Ismail, dan Himpunan Musik Bimbo).

* Guru memutar kaset Balada Nabi-Nabi dari Bimbo, salah satu lagunya berjudul “Balada Nabi Nuh” yang ditulis oleh Taufiq Ismail.

B. Langkah Inti

* Guru mebagikan teks puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail kepada para siswa (dapat fotokopian atau ditulis dengan cara didikte, ataupun ditulis di papan tulis dan siswa disuruh untuk menuliskan puisi itu di bukunya) * Guru memberi kesempatan siswa untuk membaca teks itu dalam hati, kurang

lebih selama lima menit.

* Beberapa siswa disuruh ke depan kelas membaca teks puisi dengan suara nyaring atau yang sudah hapal dapat berdeklamasi. Sementara itu, siswa yang tidak maju ke depan kelas disuruh menyimak teks pembacaan puisi itu.

* Siswa diuberi kesempatan untuk bertanya tentang kata-kata sukar yang belum dipahami maknanya.

* Guru membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS).

* Siswa ditugasi menuliskan nama dalam lembar LKS dan menjawab pertanyaan dalam lembar LKS. Apabila pertanyaan itu belum ada, guru dapat membuat pertanyaan itu dengan cara didiktekan atau dituliskan di papan tulis. Pertanyaan itu berkisar pada tema, makna, dan pesan yang

* Siswa diberi kesempatan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus dengan argumen-argumennya.

* Siswa dan guru membahas hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa.

* Guru memberi tindak lanjut untuk mencari dan menemukan teks-teks puisi lain yang berkisah tentang Nabi Nuh atau nabi-nabi lainnya.

(9)

9 Sarana dan Sumber

a. Teks puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail. b. Kaset CD/DVD animasi Kisah Nabi Nuh

c. Kaset Balada 25 Nabi Bimbo (Gema Nada Pertiwi, 1994) d. Tipe rekorder

e. Komputer/Laptop

f. Proyektor LCD (Infokus), Layar

g. “Taufiq Ismail” dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2003.

h. “Gugus Sajak Kenabian Karya Taufiq Ismail” dan “Wakil Zaman yang Menyedihkan” dalam Puji Santosa (2003). Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

i. Papan tulis, spidol, kertas, alat tulis siswa

Penilaian a. Tes tertulis b. Penugasan

3. Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra di kelas merupakan wujud nyata mempraktikan semua teori, pengetahuan yang dimiliki, dan pengabdian guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Demi masa depan negara dan generasi bangsanya, seorang guru rela berkorban mencurahkan ilmu dan pengetahuannya kepada siswa-siswanya. Dalam melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra ini tugas guru hanya sebagai pembimbing, fasilatator, dan narasumber dari murid-murid yang sedang belajar. Seorang guru yang berdiri di depan kelas menjadi model dan teladan bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, perilaku dan tindakan guru di depan kelas sering kali ditiru oleh murid-muridnya di rumah. Kadang secara cepat pula perilaku seorang guru dapat memperanguhi perilaku siswanya di rumah.

Pada hakikatnya pelaksanaan pembelajaran apresaisi sastra itu merupakan penjabaran dari kegiatan proses belajar mengajar. Adapun kegiatan proses belajar mengajar apresaisi sastra di sekolah lanjutan pertama itu dapat ditempuh dengan langkah-langkah atau prosedur yang telah umum dilakukan adalah sebagai berikut.

(1) Pra-Kegiatan Belajar Mengajar

(10)

10

semua siswa telah memiliki buku itu, guru tidak perlu lagi memberi salinan teks cipta sastra tersebut. Bersamaan dengan cipta sastra yang diterima oleh siswa itu, kemudian guru memberi tugas kepada siswa untuk membaca atau menghapalkannya di rumah. Selain itu, siswa juga diberi tugas mencari dan mencatat kata-kata sukar yang terdapat dalam teks cipta sastra tersebut. Setiap siswa diberi tugas mencatat kata-kata sukar yang terdapat dalam teks cipta sastra, dan kemudian mencari artinya di dalam kamus, misalnya. Catatan kata-kata sukar dan artinya yang telah ditemukan dalam kamus itu pada saat pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra di kelas harus dibawa.

(2) Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas

Sebagai kegiatan pendahuluan, seorang guru dapat menyapa siswa-siswanya dengan kalimat-kalimat puitis. Beberapa kalimat puitis dapat dikutip dari para penyair terkenal yang telah dipelajari siswa beberapa minggu sebelumnya. Sapaan guru ini sekadar memberi dorongan, menggugah ingatan, dan membangkitkan semangat siswa belajar apresiasi sastra, khususnya apresiasi puisi. Kemudian setelah itu guru baru menanyakan tugas membaca atau menghapalkan puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail, mencari dan menemukan kata-kata sukar yang terdapat dalam teks puisi yang telah diberikan minggu lalu.

Kegiatan berikutnya berupa informasi dari guru tentang hal-hal yang akan dilakukan dengan cipta sastra puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail yang telah dibaca atau dihapalkan di rumah. Menonton tayangan CD/DVD animasi tentang Kisah Nabi Nuh dan mendengarkan nyanyian “Balada Nabi Nuh” oleh himpunan musik Bimbo. Dua atau tiga orang siswa bergantian tampil di depan kelas membaca sajak atau berdeklamasi. Murid-murid yang tidak tampil di depan kelas diharap menyimak, memperhatikan pembacaan sajak atau deklamasi itu, dan kemudian mencatat hal-hal yang mengesankan dari pembacaan sajak atau deklamasi tersebut. Beberapa siswa juga dapat ditugaskan memperhatikan lagu kalimat, jeda, intonasi, ataupun vokal pembaca sajak atau sang deklamator.

(11)

11

yang dibaca atau dideklamasikan. Apabila siswa dalam membawakan cipta sastra tersebut terlalu over akting, sangat berlebihan, maka tugas guru mengingatkan untuk mengerem atau menguranginya. Demikian juga sebaliknya, jika pembawaan siswa terlalu lemah, tidak atau kurang bersemangat, maka tugas guru pula membangkitkan semangat dan menumbuhkan bakat dan minatnya. Guru yang baik tentu memahami dan mengetahui kelemahan dan kelebihan siswanya dari pengamatan yang dilakukan selama mengajar.

Agar guru pun dapat memahami jeda-jeda ataupun intonasi sebuah sajak dibaca atau dideklamasikan, berikut puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail. diberi batas jeda periodisasinya.

BALADA NABI NUH Gemuruh air/ jadi lautan/

Gemuruh dunia/ yang tenggelam/ Gemuruh air/ jadi lautan/

Gemuruh dunia/ yang tenggelam//

Wahai/ kaum yang nestapa/ Wahai/ anakku yang malang/ Wahai/ kaum yang nestapa/ Wahai/ anakku yang malang//

Ooh/ Nabi Nuh//

Dengan bekal pembatas sistem periodisasi itu guru dapat menunjukkan irama, nada, dan jeda larik-larik puisi itu diucapkan atau dilisankan, lalu dibandingkan pula dengan lagu “Balada Nabi Nuh” yang dinyanyikan Bimbo. Kemudian, dengan bekal itu pula guru memberi contoh pembacaan atau deklamasi dengan jeda yang benar. Setelah guru membacakan atau berdeklamasi sajak itu, barulah siswa diajak mendalami makna kata-kata yang terdapat dalam teks sajak. Guru dapat bertanya kepada siswanya, siapa yang belum tahu dan yang sudah tahu arti masing-masing kata yang terdapat dalam teks sajak? Bagi siswa yang sudah tahu, misalnya, judul sajak judul “Balada Nabi Nuh”, Sesuai dengan tugas yang diberikan minggu lalu, yaitu mencatat kata-kata sukar yang terdapat dalam teks puisi dan kemudian mencari dan menemukan arti kata itu dalam kamus.

(12)

12

Sebelum diungkapkan kembali secara lisan di depan kelas, siswa diminta untuk menuliskan selama sepuluh atau lima belas menit. Guru hendaknya bertindak demokratis mau menghargai apa pun yang ditulis oleh siswanya tentang puisi yang baru dibaca atau dideklamasikan. Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda mengungkapkan kembali sajak tersebut. Hasil pencatatan dan pencarian arti kata-kata sukar di rumah minggu lalu dan pengungkapan kembali sajak itu dapat dikumpulkan untuk kemudian diberi penilaian.

Salah seorang siswa yang cerdas dapat mengungkapkan kembali sajak itu dengan baik sehingga guru pun berhak memberi nilai tinggi pula, misalnya 10. Sebaliknya, siswa yang kurang mampu mengungkapkan kembali sajak itu tentu dapat nilai sedang-sedang saja, misalnya 6. Seorang siswa yang cerdas dan pandai itu, misalnya saja, menghasilkan ungkapan yang baik sebagai berikut.

Siswa Pertama:

Sajak “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail berbentuk syair lagu atau lirik lagu yang dinyanyikan oleh himpunan musik Bimbo. Bentuk balada dalam sajak ini amat pendek, sembilan larik yang dibagi menjadi tiga bait. Lazimnya sebuah syair lagu, bait pertama dan kedua berbentuk kuatrin atau sajak empat seuntai. Sedangkan yang satu bait hanya terdiri atas satu larik yang berupa frasa ekspresif berbentuk seruan. Dua bait dalam sajak “Balada Nabi Nuh” ini memiliki rima akhir yang menyerupai pantun, yaitu

rima bersilang [a b a b, c d c d]. Bentuk sajak konvensional ini setiap lariknya selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Larik-larik dikelompok menjadi bait yang disusun lurus ke bawah. Dengan kesederhanaan susunan bentuk sajak yang konvensional tersebut merepresentasikan umat yang masih terbelenggu oleh konvensi tertentu yang berlaku di masyarakatnya, misalnya adat-istiadat atau kebiasaan lama sebagai tradisi leluhurnya.

Siswa Kedua

(13)

13

sebenarnya sajak itu hanya terdiri atas lima larik. Perulangan kata awal empat larik, gemuruh dan wahai, disusun dari atas ke bawah merupakan bentuk perulangan vertikal.

Bentuk perulangan larik yang membentuk klausa yang disusun secara linier dari kiri ke kanan, masing-masing dua larik, menunjukkan perulangan secara horisontal. Bentuk perulangan secara vertikal dan horisontal itu merepresentasikan dua bentuk hubungan manusia secara vertikal dengan Sang Pencipta (hablun minallah) dan hubungan secara horisontal dengan sesama umat (hablun minannas).

Perulangan bunyi kata diulang sebanyak empat kali adalah kata gemuruh dan wahai. Kata yang diulang sebanyak enam kali adalah kata yang, dan kata yang diulang

sebanyak dua kali adalah kata: air, jadi, lautan, dunia, tenggelam, kaum, nestapa, anakku, dan malang. Kata yang sama sekali tidak mendapat perulangan adalah kata-kata yang terdapat pada larik terakhir, yaitu “Ooh Nabi Nuh”. Perulangan bunyi-bunyi yang

bergetar dan bernada suram, seperti gemuruh, air, lautan, dunia, tenggelam, dan nestapa menggambarkan keadaan bunyi air yang bergerak mengejar ke dataran yang lebih rendah. Perulangan bunyi-bunyi seperti itu juga menunjukkan adanya gerakan ombak yang bergulung-gulung atau selalu berulang-ulang. Gerakan air ombak itu akan berhenti menghantam karang atau bukit. Gambaran penghentian ombak yang menghentak atau menghantam karang ataupun bukit itu dengan ditampilkannya ekspresi pernyataan yang menghentak pula, hanya sekali, “Ooh Nabi Nuh”.

Siswa Ketiga

Bunyi-bunyi yang digunakan dalam sajak “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail ini cenderung merepresentasikan keadaan banjir besar yang dialami umat Nabi Nuh. Pemakaian bunyi konsonan getar [r], konsonan hambat velar [g], dan hambat dental [d] yang dipadukan dengan vokal berat-besar [u], seperti kata gumuruh, dunia, air, dan tenggelam yang diulang-ulang itu merepresentasikan gerak air yang besar dan berat

(14)

14

gemuruh air yang membanjiri dunia menghancurkan seluruh permukaan dunia hingga menjadi tenggelam, dan berubah menjadi lautan. Ini merupakan sesuatu gambaran yang menyeramkan, sesuatu yang meruntuh lantakan semua bangunan yang ada, gerakan yang mengejar, dan bergetar pula perasaan takut dan seram setiap orang yang mendengar suara gemuruh air tersebut.

Gambaran keadaan yang bernada menyeramkan itu berubah menyedihkan, pilu, dan memprihatinkan pada bait kedua. Bunyi-bunyi yang digunakan seperti bunyi bilabial semivokal bersuara [w], glotal frikatif tak bersuara [h], dan velar hambat tak bersuara [k] yang dipadukan dengan vokal [í] seperti kata wahai, dipadukan dengan vokal [u] seperti kata kaum dan anakku menimbulkan semangat keprihatinan itu. Terlebih, pemakaian nasal dengung [n, m, ng] seperti kata lautan, tenggelam, nestapa, dan malang semakin memperkuat rasa iba tersebut. Pemakaian lambang bunyi dalam sajak “Balada Nabi Nuh” mendukung isi yang menyeramkan dan menyedihkan.

Irama bunyi pada larik terakhir, “Ooh Nabi Nuh”, terasa menyentak sehingga

menjadi fokus perhatian pembaca. Pusat perhatian pembaca atau pendengar adalah pernyataan ekspresif yang berisi seruan keprihatinan terhadap Nabi Nuh. Pernyataan terakhir ini juga menggambarkan akhir dari segala malapetaka yang terjadi, yaitu Nuh dan umatnya selamat berkat lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Siswa Keempat

Sajak "Balada Nabi Nuh" karya Taufik Ismail hanya terdiri atas lima klausa yang pendek-pendek. Susunan klausa itu tampak sederhana, yaitu satu berbentuk klausa tunggal, dan yang lainnya menggunakan klausa tidak sempurna, yaitu hanya berupa frasa nomina. Kelima bentuk klausa tersebut sebagai berikut.

(1) Gemuruh air jadi lautan.

(15)

15 (5) Ooh Nabi Nuh.

Klausa (1) berbentuk klausa tunggal yang berpola S-P-Pel. Subjek klausa terletak pada frasa gemuruh air, predikat terletak pada kata jadi yang merupakan bentuk pendek dari kata menjadi, dan pelengkapnya adalah kata lautan. Bentuk klausa ini sebagai perwujudan klausa rapatan. Setelah kita merasakan bunyi klausa pertama ini terdapat elipsis, ada sesuatu yang hilang, tidak lengkap. Secara transformatif dapat saja dipahami menjadi: Air (men-)jadi lautan (bersuara) gemuruh. Struktur klausa ini juga merepresentasikan sesuatu yang hilang, lenyap dari pandangan–misalnya manusia, binatang, pepohonan dan bangunan-bangunan--berubah menjadi lautan.

Klausa (2) berbentuk klausa yang hanya berupa subjek saja, yaitu gemuruh dunia. Kehadiran kata yang dalam klausa tersebut berfungsi menerangkan kata yang

berada di depannnya. Jadi, gemuruh dunia diterangkan dalam keadaan tenggelam. Bentuk klausa ini hanya berupa frasa nomina. Seperti halnya bentuk klausa yang pertama, klausa kedua ini juga dapat dipahami secara transformasional, yaitu menjadi Dunia yang tenggelam (bersuara) gemuruh. Struktur klausa yang melesapkan predikat

ini juga merepresentasikan “sesuatu” yang lenyap, hilang tanpa bekas dalam proses

gerakan ditelan oleh gemuruh air sehingga menjadi tenggelam.

Klausa (3) dan (4) merupakan klausa seruan dengan menghadirkan kata seru wahai yang berfungsi menarik perhatian, memanggil, atau mempengingatkan. Seperti

halnya klausa(2), klausa (3) dan (4) ini berbentuk frasa nomina. Subjek klausa (3) adalah kaum yang diterangkan dalam keadaan nestapa. Klausa (4) memiliki subjek anakku yang diterangkan dalam keadaan malang. Adapun klausa (5) merupakan klausa

seruan dengan menghadirkan kata seru ooh. Subjek yang mendapat seruan adalah Nabi Nuh. Struktur klausa ini merepresentasikan kedaan yang menyedihkan perasaan,

dilambangkan dengan “sesuatu” yang terbuka menuju ke arah yang tertutup dengan

(16)

16

lebih merepresentasikan kehadiran Nuh sebagai wakil zaman yang menyedihkan, mengharukan karena banyak manusia, binatang, bangunan, dan pepohonan yang runtuh, gugur, dan hilang menjadi korban keganasan bencana air bah.

Siswa Kelima

Taufiq Ismail memberi judul sajaknya "Balada Nabi Nuh". Kata "balada" artinya ‘sajak sederhana yang mengisahkan cerita rakyat, bersifat mengharukan dan romantis dalam bentuk nyanyian’. Tradisi balada di Barat setiap baitnya berbentuk kuatrin

dengan pola rima a-b-a-b. Sementara itu, nama Nabi Nuh adalah nama nabi-rasul yang ketiga, setelah Adam dan Idris, yang dicatat sebagai nabi dan rasul dalam Al-Quran. Kata nabi yang melekat pada nama Nuh merupakan orang yang menjadi pilihan Allah untuk

menerima wahyu. Nuh termasuk kategori 25 nabi dan rasul yang tercatat dalam Al-Quran. Kata rasul itu sendiri berarti orang yang menerima wahyu Tuhan untuk

disampaikan kepada manusia yang lainnya. Berdasarkan pengertian di atas, judul “Balada Nabi Nuh” dapat diartikan bahwa kisah Nabi Nuh yang berasal dari kitab suci

ini sudah diangap sebagai cerita rakyat yang bersifat mengharukan dan romantis.

"Gemuruh air jadi lautan” merepresentasikan datangnya bencana air bah atau

(17)

17

Keadaan tersebut mengakibatkan "Gemuruh dunia yang tenggelam". Suara gaduh, hiruk-pikuk, hingar-bingar, jerit dan tangis makhluk hidup di dunia itu hilang musnah ditelan oleh datangnya suara gemuruh air bah. Seluruh permukaan dunia tenggelam oleh datangnya suara gemuruh air bah. Kata tenggelam berarti ‘karam, terbenam dalam air, hilang atau musnah ditelan oleh air’. Ini berarti tidak ada lagi

kehidupan di dunia. Sesuatu gambaran yang menyeramkan dan meruntuh-lantakan semua kehidupan. Dari segi semantik, pengulangan larik pertama dan kedua ke larik ketiga dan keempat menggambarkan suatu peristiwa banjir besar ini dapat terjadi pada suatu saat di berbagai daerah yang luas jangkauannya.

"Wahai kaum yang nestapa". Sang narator menyapa, berseru, kepada kaum, suku

bangsa atau golongan umat Nabi Nuh yang nestapa. Peristiwa itu begitu tragis dan menyedihkan sekali. Seluruh umat yang durhaka dan jahat menjadi musnah dan umat Nuh yang beriman pun ikut menderita akibat bencana air bah. Terlebih, Nabi Nuh pun kehilangan salah seorang anaknya. "Wahai anakku yang malang" merupakan seruan Nuh kepada anaknya yang tidak penurut itu betul-betul bernasib malang, celaka atau sial. Anak itu membangkang tidak bersedia masuk ke dalam kapal Nuh yang membawa keselamatan, terhindar dari bencana. Gemuruh air bah menyeret anak itu hingga mati tenggelam bersama-sama umat Nabi Nuh yang durhaka lainnya. Anak itu ikut menjadi korban keganasan musibah air bah.

Perulangan pada bait kedua ini menunjukkan banyaknya “kaum yang nestapa” dan “anak-anak yang malang” menjadi korban keganasan musibah air bah. Sang narator

(18)

18

zaman yang menyedihkan dan mengharukan karena mendapat cobaan Tuhan berupa bencana banjir besar atau air bah.

Begitulah kegaiatan pembelajaran apresiasi puisi di kelas dilaksanakan dengan meminta lima orang atau lima kelompok menanggapi sajak “Balada Nabi Nuh”. Dengan berbagai perbedaan pendapat siswa seperti itu akan membuat siswa senang, kreatif, dan inovatif. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pembelajaran puisi itu seorang guru dapat meminta siswanya mengerjakan tes, memperluas pembacaan sajak dengan gaya tertentu, membuat kliping puisi-puisi sejenis, atau tugas lain yang berhubungan dengan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

4. Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif di sekolah merupakan indikator keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga komponen dasar evaluasi, yaitu meliputi (1) kognisi, (2) afeksi, dan (3) ketrampilan. Aspek kognisi artinya lebih mengutamakan pengetahuan bernalar atau pengembangan daya pikir sebagai kecerdasan otak. Aspek afeksi artinya lebih mengutamakan unsur perasaan atau emosional. Adapun aspek ketrampilan itu lebih mengutamakan kemampuan siswa untuk menyelesaikan tugas. Artinya, siswa itu mampu dan memiliki cekatan menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya.

Dalam pembelajaran apresiasi sastra pada umumnya mengenal dua bentuk penilaian, yaitu (1) penilaian prosedur, yang meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar, dan (2) instrumen atau alat penilaian, yang meliputi esai tes dan pilihan ganda. Oleh karena itu, evaluasi harus dijelaskan komponen dasar yang akan dievaluasi, artinya harus jelas aspek-aspek yang akan dievaluasi. Cara yang digunakan untuk mengevaluasi, misalnya dengan (1) tanya jawab, (2) penugasan, (3) esai tes, dan (4) pilihan ganda, harus jelas pula.

(19)

19

secara lisan yang diajukan hanya kepada beberapa siswa. Jelas dengan cara tanya jawab untuk mengetahui secara langsung tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang sedang dipelajarinya.

Penugasan merupakan cara evaluasi untuk pengembangan kepribadian, perluasan daya berpikir siswa dan kreativitas emosional, serta memupuk ketrampilan siswa. Bentuk penugasan dapat dipilih dari yang paling sederhana, misalnya membaca sajak secara bergantian, menghapalkan teks sajak yang pendek atau berdekalamasi di depan kelas, hingga meningkat yang paling kompleks, seperti mencatat dan mencari arti kata-kata sukar dalam kamus, memberi ulasan sajak, atau merumuskan amanat sajak. Penugasan dapat dilakukan di kelas ketika sedang berlangsung proses belajar mengajar, misalnya membaca sajak secara bergantian, berdeklamasi, dan bermain peran tokoh dalam sajak, atau juga sebagai tugas rumah untuk menghapalkan sajak, menceritakan kembali sajak yang dibacanya, dan menyusun kamus kecil dari kata-kata yang terdapat dalam teks sajak yang dibacanya.

Esai tes diberikan kepada siswa untuk melatih menyusun kalimat secara baik dan benar, berpikir secara teratur atau runtut, dan menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Untuk esai pembelajaran apresiasi sastra anak tingkat sekolah dasar perlu dipilih bentuk-bentuk yang paling sederhana, misalnya ceritakan kembali dengan bahasamu sajak “Balada Nabi Nuh” berikut, tulisalah contoh perbuatan baik yang terdapat dalam teks sajak “Balada Nabi Nuh”, tulislah alasan mengapa Nabi Nuh menyeru kaumnya yang nestapa, apa seruan Nabi Nuh kepada anaknya yang malang, dan siapa yang perlu kita teladani dalam hidup ini? Dalam memberikan esai tes ini diharapkan seorang guru berpandai-pandailah membuat pertanyaan atau perintah yang sederhana kepada siswa.

(20)

20

empat pilihan “A, B, C, atau D”. Hal ini sangat bergantung pada situasi kelas dan tujuan yang hendak dicapai.

Bagaimana cara menilai pembacaan puisi atau deklamasi? Bentuk kegiatan ini merupakan latihan pengembangan diri kecerdasan emosional, memupuk bakat dan minat, serta melatih keterampilan siswa. Ada tiga unsur atau aspek utama yang dapat kita beri penilaian dalam kegiatan membaca sajak atau berdeklamasi, yaitu: (1) penghayatan, (2) vokal, dan (3) penampilan.

Unsur-unsur lain di luar ketiga hal itu, misalnya latar, musik, pakian, dan humor, dapat saja ditambahkan ataupun digabungkan dengan ketiga unsur utama.

Termasuk dalam penghayatan adalah keterlibatan secara emosional, intelektual, dan imajinasi ke dalam teks sastra yang dibaca, dideklamasikan, atau dikisahkan. Seorang apresiator yang dapat terlibat masuk ke dalam nada, suasana, dan atmosfier sastra yang dibawakannya, tentu bernilai tinggi. Sementara itu, bagi mereka yang kurang mampu menghayati nada, suasana, dan atmosfier teks sastra yang diapresiasinya, tentu nilainya kurang. Unsur penghayatan ini penting sehingga dapat diberi bobot 40% dari keseluruhan komponen penilaian.

Unsur-unsur vokal dapat meliputi nada atau tinggi rendah dan panjang pendeknya suara, jeda, intonasi, irama, dan lagu kalimat. Seorang pembaca sajak, deklamator, dan pendongeng hendaknya memiliki suara yang jelas, jernih, dan segar untuk didengar orang lain. Suara yang pecah, tidak jelas, tidak jernih, dan kurang segar menyebabkan orang lain muak mendengarnya, bosan, dan tidak enak didengarkannya. Besar kecilnya nilai untuk komponen vokal ini sangat bergantung atas kejernihan, kejelasan, dan kesegaran suara yang diperdengarkan. Pesan utama sastra yang diperdengarkan itu sampai atau tidaknya kepada audien sangat bergantung dari vokal pembawanya. Untuk komponen vokal ini dapat diberi bobot 30% dari keseluruhan komponen penilaian.

(21)

21

Komponen untuk penilaian bentuk esai tes atau narasi dapat meliputi: (1) keruntutan gagasan atau isi jawaban, (2) penggunaan bahasa, dan (3) penyajian.

Keruntutan gagasan dalam menjawab pertanyaan bukan hanya unsur benar dan salah, melainkan juga unsur keutuhan dan kemurnian pendapat. Unsur ini penting melatih siswa mengemukakan pendapatnya yang orisinal dan terpadu. Bobot nilai untuk keruntutan gagasan adalah 40%.

Adapun penggunaan bahasa dapat dilihat dari keteraturan susunan kalimat, kesalahan ejaan, pilihan kata, dan kesatuan wacananya. Bobot nilai untuk penggunaan bahasa ini adalah 30%.

Sementara itu, penyajian merupakan komponen yang menyajikan keseluruhan jawaban esai tes atau narasi, dari penyajian yang sederhana hingga yang kompleks, dari yang mudah hingga yang rumit. Bobot nilai untuk penyajian adalah 30% dari keseluruhan komponen penilaian.

Evaluasi tugas-tugas lain, seperti pencatatan dan pencarian arti kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sastra dan menemukannya dalam kamus, dapat diukur dari banyak atau sedekitnya yang dicatat dan yang ditemukan, serta akurat atau tidaknya arti kata yang dicatat. Bagi siswa yang asal catat dan mengartikan kata yang ditemukan dalam kamus itu tidak akurat, tentu berbeda dengan siswa yang benar-benar memilih dan menemukan maknanya dalam kamus secara tepat. Terlebih, apabila siswa itu mampu memberi contoh pemakaian kata itu dalam kalimat dan menghubungkannya dengan konteks, tentu nilainya amat tinggi.

5. Penutup

(22)

22

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Endraswara, Suwardi. 2002. “Reformasi Pembelajaran Sastra Anak ke Arah Penanaman Budi Pekerti”. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) XIII. Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI). Kerja Sama HISKI, Majalah Horison, Pusat Kebudayaan Jepang, Balai Bahasa Yogyakarta, dan Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta: 8–10 September 2002.

Ismail, Taufiq. 2008. Menggapai ke Langit Mengakar di Bumi. Jilid 4. Himpunan Puisi yang Dinyanyikan. 1973—2008. Jakarta: Horison dan Yayasan Hasjim Djojohadikusuma.

Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Besar. Surabaya: Kartika.

Rusyana, Yus. 1974. Penuntun Pengajaran Sastra di Sekolah. Bandung: CV Diponegoro.

--- 1979. Meningkatkan Kegiatan Apresiasi Sastra di Sekolah Lanjutan. Bandung: Gunung Larangan.

Santosa, Puji. 1984. “Rakyat Adalah Sumber Ilmu Karya W.S. Rendra: Sebuah Pendekatan Dikotomis”. Praskripsi Sarjana Muda, Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Santosa, Puji. 1986. “Tabiat Tanda-Menanda dan Tafsir Amanat dalam Puisi Rakyat Adalah Sumber Ilmu Karya Rendra: Sebuah Pendekatan Semiotika”. Skripsi Sarjana S-1, Jurusan Sastra Indonesia dan Filsafat, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Santosa, Puji. 1986. Teori Sastra. Madiun: IKIP PGRI Madiun. Modul kuliah S-1.

Santosa, Puji. 1992. “Berbagai Isu Tentang Pengajaran Sastra di Sekolah Menengah”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun IX, 1992, hlm. 61–77.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Santosa, Puji. 1993. “Mitos Nabi Nuh di Mata Tiga Penyair Indonesia”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 1 Tahun X, 1993, hlm. 55–66.

Santosa, Puji. 1993. “Nilai Budaya dalam Cerita Perpatih Nan Sebatang”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 2 Tahun X, 1993, hlm. 38–50.

Santosa, Puji. 1993. “Aliran, Upacara, dan Pikiran Utama dalam Lakon Sandyakala Ning Majapahit”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XI, 1993, hlm. 37–54.

(23)

23

Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan dalam Tanya-Jawab. Ende-Flores: Nusa Indah.

Santosa, Puji. 1996. “Refleksi Kekuasaan dan Ideologi dalam Kesusastraan”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 2 Tahun XIV, 1996, hlm. 27–44.

Santosa, Puji. 1996. “Hakikat dan Fungsi Studi Sastra”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 5 Tahun XIV, 1996, hlm. 41–59.

Santosa, Puji. 1996. “Sastra Marginal dalam Peta Sejarah Kesusastraan di Indonesia”. Dalam Pangsura Bilangan 3/Jilid 2, Julai–Desember 1996, hlm. 50–57.

Santosa, Puji. 1997. “Iptek Itu Bermula dari Mitos: Mengenal Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono”. Dalam Pangsura Bilangan 4/Jilid 3, Januari–Juni 1997, hlm. 49–62.

Santosa, Puji. 1997. “Empat Sajak Tentang Nabi Nuh: Sebuah Kajian Muatan Unsur Agama dalam Puisi Indonesia”. Dalam Horison Nomor 1 Tahun XXXI, Januari 1997, hlm. 13–20.

Santosa, Puji. 1998. “Citra Tokoh Wanita dalam Drama Indonesia Modern Periode Awal 1926–1945". Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 2 Tahun XVI, 1998, hlm. 49–72.

Santosa, Puji. 1998. “Analisis Struktur Sajak Pembicaraan Karya Subagio Sastrowar-dojo”. Dalam Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998, hlm. 3–15.

Santosa, Puji. 1998. “Refleksi Kekuasaan dan Ideologi dalam Kesusastraan”. Dalam Bahana Bilangan 215/Jilid 33, November 1998, hlm. 21–28.

Santosa, Puji. 1998. “Dimensi Ketuhanan dalam Drama Iblis dan Kebinasaan Negeri Senja”. Dalam Atavisme Nomor 1 Tahun 1, 1998, hlm. 1–15.

Santosa, Puji. 1999. “Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50.

Santosa, Puji. 1999. “Perkembangan Soneta di Indonesia dan Jatidiri Bangsa”. Dalam Pangsura Bilangan 9/Jilid 5, Julai–Desember 1999, hlm. 92–106.

Santosa, Puji. 1999. “Cerita Pendek Blencong Karya Dorothea Rosa Herliany: Sebuah Analisis Struktural”. Dalam MIBAS Nomor 21/Tahun XI/1999, hlm. 29–50.

Santosa, Puji. 1999. “Revitalisasi Sastra Marginal”. Dalam Kebudayaan Nomor 16 Tahun VIII, Maret 1999, hlm. 3–12.

Santosa, Puji. 1999. “Reformasi Ideologi dan Kekuasaan dalam Kesusastraan”. Dalam Kebudayaan Nomor 17 Tahun IX, Oktober 1999, hlm. 4–15.

(24)

24

Santosa, Puji. 2000. “Analisis Stilistika Cerpen Armageddon Karya Danarto”. Bahasa dan Sastra Nomor 4 Tahun XVIII, 2000, hlm. 17–37).

Santosa, Puji. 2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Jalan Menikung Karya Umar Kayam”. Dalam Kajian Linguistik dan Sastra Volume XII/ Nomor 22, Tahun 2000, hlm. 11–19.

Santosa, Puji. 2000. “Riwayat Hidup Sapardi Djoko Damono: Perjalanan Seorang Penyair dan Intelektual”. Dalam Kakilangit Nomor 37, Februari 2000, hlm. 12–13.

Santosa, Puji. 2000. “Proses Kreatif Sapardi Djoko Damono: Bermain Kata Membentuk Dunia”. Dalam Kakilangit Nomor 37, Februari 2000, hlm. 14–15.

Santosa, P. 2000. “Riwayat Hidup Goenawan Mohamad: Penyair Cendekia yang Piawai Membikin Pasemon”. Dalam Kakilangit Nomor 39, April 2000, hlm. 12–14.

Santosa, Puji. 2000. “Proses Kreatif Goenawan Mohamad: Estetika Puisi Sebagai Pasemon”. Dalam Kakilangit Nomor 39, April 2000, hlm. 15–17.

Santosa, Puji. 2000. “Anekdot: Jam Malam Kawin”. Dalam Kakilangit Nomor 40, Mei 2000, hlm. 28.

Santosa, Puji. 2000. “Ulasan Novel Toha Mohtar: Kembali ke Akar Kembali ke Asal”. Dalam Kakilangit Nomor 41, Juni 2000, hlm. 7–9.

Santosa, Puji. 2000. “Riwayat Hidup Toha Mohtar (1926–1992): Sastrawan Bersahaja yang Piawai Melukiskan Suasana”. Dalam Kakilangit Nomor 41, Juni 2000, hlm. 10–11.

Santosa, Puji. 2000. “Proses Kreatif Toha Mohtar: Memadukan Realitas dengan Imajinasi”. Dalam Kakilangit Nomor 41, Juni 2000, hlm. 12–14.

Santosa, Puji. 2000. “Ulasan Novel Achdiat K. Mihardja: Benturan Dua Dunia”. Dalam Kakilangit Nomor 45, Oktober 2000, hlm. 8–10.

Santosa, Puji. 2000. “Proses Kreatif Achdiat K. Mihardja: Peran Orang Tua, Pendidikan, dan Karier”. Dalam Kakilangit Nomor 45, Oktober 2000, hlm. 11–13.

Santosa, Puji. 2000. “Riwayat Hidup Pengarang Achdiat K. Mihardja: Perjalanan Seorang Intelektual”. Dalam Kakilangit Nomor 45, Oktober 2000, hlm. 14–16.

Santosa, Puji. 2000. “Pengetahuan Sastra: Soneta Masa Pra-Pujangga Baru”. Dalam Kakilangit Nomor 46, Februari 2000, hlm. 25–27.

(25)

25

Santosa, Puji. 2000. “Kekuasaan, Ideologi, dan Politik dalam Dunia Kesusastraan”. Dalam Soediro Satoto dan Zainuddin Fanani (editor). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Santosa, Puji. 2001. “Analisis Stilistika Sajak ‘Pada Suatu Hari’ Karya Agus R. Sardjono”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 4 Tahun XIX, 2001, hlm. 17–37.

Santosa, Puji. 2001. “Sumbangan Sastra Jawa dalam Menghadapi Zaman Edan”. Dalam Fenomena Nomor 2 Tahun 9, Agustus 2001, hlm. 212–234.

Santosa, Puji. 2001. “Tuhan Kita Begitu Dekat” Karya Abdul Hadi W.M. Dalam Kajian Semiotika Riffaterre”. Dalam Pangsura Bilangan 13/Jilid 7, Julai–Desember 2001, hlm. 126–137.

Santosa, Puji. 2001. “Ulasan Drama Trisno Sumardja: Peran Kaum Terpelajar di Awal Kemerdekaan”. Dalam Kakilangit Nomor 53, Juni 2001, hlm. 8–10.

Santosa, Puji. 2001. “Proses Kreatif Trisno Sumardjo: Kesenian Bukan Alat Mengejar Materi”. Dalam Kakilangit Nomor 53, Juni 2001, hlm. 11–13.

Santosa, Puji. 2001. “Riwayat Hidup Pengarang Trisno Sumardjo (1916–1969): Pejuang Kesenian yang Tekun”. Dalam Kakilangit Nomor 53, Juni 2001, hlm. 14–16.

Santosa, Puji. 2002. “Makna Kehadiran Nuh dalam Puisi Indonesia Modern”. Tesis Sarjana S-2, Magister Humaniora, Program Studi Ilmu Susastra, Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Pascasarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Santosa, Puji. 2002. “Kabar Yang Bertolak dari Realitas: Politik dan Gerakan Mahasiswa dalam Sajak-Sajak Taufiq Ismail”. Sujarwanto dan Jabrohim (editor). Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Panitia PIBSI XXIII, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Gama Media.

Santosa, Puji. 2003. “Asmaradana dalam Sastra Bandingan”. Dalam Trisman, B. et al (editor). Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-sajak Nuh. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Santosa, Puji. 2003. “Hanya Satu Karya Amir Hamzah dalam Analisis Semiotika Todorov”. Dalam Pangsura Bilangan 16/Jilid 9, Januari-Juni 2003, hlm. 46–70.

(26)

26

Santosa, Puji. 2003. “Proses Kreatif Darmanto Jatman: Pada Mulanya Adalah Suara”. Dalam Kakilangit Nomor 75, Maret 2003, hlm. 11–12.

Santosa, Puji. 2003. “Riwayat Hidup Pengarang Darmanto Jatman (1942– ): Penyair dengan Segudang Puisi dan Prestasi”. Dalam Kakilangit Nomor 75, Maret 2003, hlm. 13–14.

Santosa, Puji. 2004. “Tuhan, Kita Begitu Dekat” Karya Abdul Hadi W.M.: Kajian Semiotika Riffatere”. Dalam Tommy. Cristomy dan Untung Yuwono (penyunting). Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.

Santosa, Puji. 2004. “Sastra Marginal dalam Peta Sejarah Sastra Indonesia”. Dalam Ibnu Wahyudi (editor). Menyoal Sastra Marginal. Jakarta: Wedatana Widya Sastra dan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Pusat.

Santosa, Puji. 2005. Proses Kreatif: “Memburu Misteri Lewat Cerita”. Dalam Kakilangit Nomor 99, Maret 2005, hlm. 8–9.

Santosa, Puji. 2005. Riwayat Hidup Pengarang Rijono Pratikto (1932—): “Nasib Tragis Seorang Cerpenis”. Dalam Kakilangit Nomor 99, Maret 2005, hlm. 10–11.

Santosa, Puji. 2006. “Tolok Ukur dalam Kritik Sastra”. Dalam Sawo Manila Nomor 1 Tahun 1, 2006. hlm. 40—46.

Santosa, Puji. 2006. Pandangan Dunia Darmanto Jatman. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji. 2007. Menggapai Singgasana. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji. 2007. “Estetika Resepsi, Metode, dan Penerapannya: Studi Kasus Resepsi Produktif Soneta Indonesia”. Dalam Suar Betang volume II, Nomor 1, Juni 2007, hlm. 1—18.

Santosa, Puji. 2007. “Maut dalam Tiga Buku Kumpulan Sajak Subagio Sastrowardojo”. Dalam Suar Betang volume II, Nomor 2, Desember 2007, hlm. 166—187.

Santosa, Puji. 2008. “Pembelajaran Sastra yang Menyenangkan dan Inivatif”. Dalam Suar Betang volume III, Nomor 1, Juni 2008, hlm. 73—88.

Santosa, Puji. 2008. “Mitologi Melayu Nusantara dalam Konteks Keindonesiaan”. Dalam Suar Betang volume III, Nomor 2, Desember 2008, hlm. 14—27).

(27)

27

Santosa, Puji. 2009. “Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama: Ekspresi Ilmu Keutamaan Seorang Raja Jawa”. Dalam Abdul Hadi W.M. dkk. (editor). Kakawin dan Hikayat: Refleksi Sastra Nusantara 3. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, halaman 139—186.

Santosa, Puji. 2009. “Dasar-Dasar Apresiasi Sastra: Menyenangkan, Kreatif, dan Inovatif”. Dalam LOA Volume 7 Nomor 7, Juli 2009, hlm. 29—47.

Santosa, Puji. 2009. “Perlawanan Bangsa Terjajah Atas Harkat dan Martabat Bangsa: Telaah Postkolonial Atas Tiga Sajak Indonesia Modern”. Dalam Atavisme: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Volume 12 Nomor 2, Desember 2009, hlm. 147—156.

Santosa, Puji. 2009. “Dua Kidung dalam Perbandingan”. Dalam Pangsura: Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara. Januari—Juni 2009, Bilangan 28, jilid 15, halaman 39—55.

Santosa, Puji. 2009. “Pandangan Maut Motinggo Busye”. Dalam SEMIOTIKA. Nomor 10 (1), Januari—Juni 2009, halaman 37--51.

Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya-ruri. Yogyakarta: Pararaton.

Santosa, Puji. 2010. “Ciliwung Merana Sepanjang Masa: Telaah Objektif Sajak-Sajak Ciliwung Slamet Sukirnanto”. Dalam LOA. Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Nomor 9, Volume IX, Samarindra, Juli 2010, halaman 1--8.

Santosa, Puji. 2010. “Analisis Semiotik Sajak Asmaradana Goenawan Mohamad”. Suar Betang. Jurnal Kebahasaan, Kesastraan, dan Pengajarannya. Volume V Nomor 2, Desember 2010, halaman 1—20.

Santosa, Puji. 2010. Ulasan Puisi: “Teladan Keutamaan bagi Wira Tamtama”. Dalam Kakilangit Nomor 157, Januari 2010, hlm. 5—7.

Santosa, Puji. 2010. Proses Kreatif: “Sastra Sebagai Pendidikan Jiwa”. Dalam Kakilangit Nomor 157, Januari 2010, hlm. 8—10.

Santosa, Puji. 2010. Riwayat Hidup Pengarang Sri Mangkunegara IV: “Sastrawan Pujangga dan Negarawan Bijak”. Dalam Kakilangit Nomor 157, Januari 2010, hlm. 11–-12.

Santosa, Puji. 2010. Ulasan Novel: “Benturan Dua Dunia”. Dalam Kakilangit Nomor 160, April 2010, hlm. 7–-8.

(28)

28

Santosa, Puji. 2010. Riwayat Hidup Pengarang Achdiat K. Mihardja (1911--...?): “Perjalanan Seorang Intelektual”. Dalam Kakilangit Nomor 160, April 2010, hlm. 11–-12.

Santosa, Puji. 2010. Ulasan Puisi: “Zaman Edan, Zaman Penuh Kutukan”. Dalam Kakilangit Nomor 161, Mei 2010, hlm. 6–-8.

Santosa, Puji. 2010. Proses Kreatif: “Belajar dari Lingkungan dan Pengalaman Hidup”. Dalam Kakilangit Nomor 161, Mei 2010, hlm. 9–-10.

Santosa, Puji. 2010. Riwayat Hidup Pengarang Ronggowarsito (1802—1873): “Pujangga Pamungkas Sastra Jawa Klasik”. Dalam Kakilangit Nomor 161, Mei 2010, hlm. 11–-13.

Santosa, Puji. 2010. Ulasan Cerpen: “Ketabahan Seorang Anak Ketika Ditinggal Mati Ibunya”. Dalam Kakilangit Nomor 163, Juli 2010, hlm. 6–-8.

Santosa, Puji. 2010. Proses Kreatif: “Pengalaman Hidup Sebagai Sumber Cerita”. Dalam Kakilangit Nomor 163, Juli 2010, hlm. 9–-10.

Santosa, Puji. 2010. Riwayat Hidup Pengarang Lukman Ali (1931—2000): “Guru yang Pakar Bahasa dan Sastra”. Dalam Kakilangit Nomor 163, Juli 2010, hlm. 11—12.

Santosa, Puji. 2010. “Zaman Edan: Derajat Negara Suram”. Dalam Prosiding Workshop Forum Peneliti Dilingkungan Kemendiknas, Yogyakarta, 3—5 Maret 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementrian Pendidikan Nasional, 2010, hlm. 563—578.

Santosa, Puji. 2011. “Telaah Intertekstual terhadap Sajak-sajak tentang Nabi Ayub”. Dalam ATAVISME. Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Nomor 1 Volume 14, Sidoarjo, Juni 2011, halaman 15—27.

Santosa, Puji. 2011. “Representasi Kisah Nabi Ibrahim dalam Delapan Sajak Indonesia Modern”. Dalam METASASTRA. Jurnal Penelitian Sastra. Volume 4. Nomor 1. Bandung. Juni 2011. halaman 68—81.

Santosa, Puji. 2011. “Rapsodi Mahogani dalam Pemahaman Lintas-Budaya Serumpun”. Dalam Widyaparwa. Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Volume 39, Nomor 1, Juni 2011, halaman 37—46.

Santosa, Puji. 2011. "Kajian Estetika Resepsi Produktif Kkafilahan Nabi Adam dalam Puisi Indonesia Modern". Dalam SAWERIGADING. Jurnal Bahasa dan Sastra Volume 17, Nomor 3, Desember 2011. halaman 321—334.

(29)

29

Santosa, Puji. 2012. “Kearifan Budaya dan Fungsi Kemasyarakatan dalam Sastra Lisan Kafoa”. Dalam METASASTRA. Jurnal Penelitian Sastra. Volume 5, Nomor 1, Bandung, Juni 2012, halaman 67—82.

Santosa, Puji. 2012. “Marsinah dan Wuji Thukul dalam Kajian Sosiologi Sastra”. Dalam LOA. Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Volume 8. Nomor 2. Samarinda, Desember 2012, halaman 95—106.

Santosa, Puji. 2013. “Analisis Kontekstual Ilir-Ilir Sunan Kalijaga”. Dalam LOA. Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Volume 9. Nomor 2. Samarinda, Desember 2013, halaman 105—118.

Santosa, Puji. 2013. Ancangan Semiotika dalam Pengkajian Susastra. (Edisi Revisi). Bandung: Angkasa.

Santosa, Puji. 2014. “Kritik Mitos Tentang Hang Tuah Karya Amir Hamzah”. Dalam ATAVISME. Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Nomor 1 Volume 17, Edisi Juni 2014, halaman 29—39.

Santosa, Puji. 2014. Sang Paramartha. (Kitab Puisi). Yogyakarta: Azzagrafika.

Santosa, Puji. 2015. Adedamar Wahyu: Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa. Yogyakarta: Azzagrafika.

Santosa, Puji. 2015. Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.

Santosa, Puji. 2016. Misteri Banteng Wulung. (Cerita Rakyat Indonesia). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dan Aplikasi Android.

Santosa, Puji. 2016. W.S. Rendra dalam Semiologi Komunikasi. Yogyakarta: Azzagrafika.

Santosa, Puji. 2016. “Tanda-Tanda Puitik Sajak Pertanyaan Srikandi Karya Wiyatmi”. ATAVISME. Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Nomor 1 Volume 19, Edisi Juni 2016, halaman 15—28.

Santosa, Puji. 2016. “Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat”. Dalam Widyaparwa Volume 44 Nomor 2, Desember 2016, hlm. 85—97.

Santosa, Puji. 2017. “Kondisi Kritik Sastra Indonesia Seabad HB Jassin”. Dalam Kandai Volume 13 Nomor 1 Edisi Mei 2017, hlm. 91—108.

Santosa, Puji.; Nasution, M.Dj.; & Mujiningsih, E.N. 1990. Panduan Belajar Bahasa Indonesia untuk SMP GBPP 1987. (Serial 6 Jilid). Jakarta: Yudhistira.

(30)

30

Santosa, Puji.; & Djamari. 1995. Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji.; & Djamari. 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan Tematik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji.; Sitanggang, S.R.H.; & Hakim, Z. 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1960–1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji.; Rustapa, A.K.; & Hakim, Z. 1998. Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji.; Zaidan, A.R.; & Mujiningsih, E.N. 1998. Unsur Erotisme dalam Cerita Pendek Taghun 1950-an. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji.; Sumardi; & Sriyanto. 2000. Terampil Berbahasa Indonesia untuk SMP. Yogyakarta: Mitragama.

Santosa, Puji.; Danardana, A.S.; & Hakim, Z. 2003. Drama Indonesia Modern dalam Majalah Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan Amanat Disertai Ringkasan dan Ulasan. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji.; Rusdiana, Y.; & Mulyati, Y. 2003. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka Pusat.

Santosa, Puji.; Pratiwi, D.; & Ranabrata, U.Dj. 2004. Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra Indonesia Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji.; Suryami; & Mardiyanto. 2006. Puisi-Puisi Kenabian dalam Perekembangan Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji.; Kusumah, E.; & Mulyati, Y. 2007. Menulis 2. Jakarta: Universitas Terbuka.

Santosa, Puji.; & Danardana, A.S. 2008. Pandangan Dunia Motinggo Busye. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.

Santosa, Puji.; Suroso; & Suratno, P. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton.

(31)

31

Santosa, Puji.; & Jayawati, M.T. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah Dunia Wayang dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; & Jayawati, M.T. 2011. Dunia Kesastraan Nasjah Djamin dalam Novel Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; Sayekti, S.; & Djamari. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; & Djamari. 2012. Merajut Kearifan Budaya: Analisis Kepenyairan Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; & Djamari. 2012. Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; Sayekti, S.; & Djamari. 2012. “Persoalan Pemeliharaan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat dalam Puisi Indonesia Modern”. Dalam KANDAI. Jurnal Bahasa dan Sastra. Volume 8, Nomor 2, Kendari, November 2012, halaman 171—184.

Santosa, Puji.; & Djamari. 2013. “Kajian Intertekstual Tiga Puisi tentang Nabi Luth Bersama Kaum Sodom dan Gomora”. Dalam WIDYAPARWA. Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Volume 41, Nomor 1, Yogyakarta, Juni 2013, halaman 13—27.

Santosa, Puji.; & Djamari. 2013. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; & Djamari. 2013. Peran Horison Sebagai Majalah Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; Suratno, P.; Sayekti, S.; Yetti, E.; & Djamari. 2013. Puisi Promosi Kepariwisataan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; & Djamari. 2014. Kritik Sastra Tempatan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; & Djamari. 2014. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya, Proses Kreatif, dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; & Djamari. 2015. Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa Sekolah Menengah. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

(32)

32

Santosa, Puji.; & Djamari 2015. “Kajian Historis Komparatif Cerita Batang Garing. Dalam KANDAI. Jurnal Bahasa dan Sastra. Volume 11, Nomor 2, Kendari, November 2015, halaman 248—265.

Santosa, Puji.; & Jaruki, M. 2016. Mahir Berbahasa Indonesia Baik, Benar, dan Santun. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.

Tim Alkitab. 1993. Kabar Baik: Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari. (Edisi kedua, edisi pertama 1985). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Tim Alquran. 1993. Alquran dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI.

Tim Penyusun Kamus. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan Nasional.

Tim Universitas Islam Indonesia dan Departemen Agama R.I. 1995. Al-Quran dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Vries, Anne de. 1999. Cerita-Cerita Alkitab Perjanjian Lama. Diterjemahkan dari Groot Vertelbook oleh Ny. J. Siahaan-Nababan dan A. Simanjuntak. Cetakan ke-9. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasi validasi para ahli dan uji coba perorangan dapat disimpulkan bahwa med ia audio pe mbela jaran materi pokok iklan mata pelaja ran Bahasa Indonesia layak untuk

Ketika seseorang berpikiran bahwa internet itu sangat merugikan dan berdampak buruk maka secara tidak langsung seseorang itu akan menggunakan internet untuk hal-hal yang tidak

 Siswa dapat membuat kalimat interogatif dengan menggunakan unbestimmte Artikel dengan nomina dan gambar..

• Various valuation techniques to calculate fair value. – the

Penelitian dilakukan terhadap 2 kelompok mencit yaitu mencit yang tidak diinfeksi bakteri (normal) dan mencit yang diinfeksi bakteri Escherichia coli (E. coli)

The English as a Second Language (ESL) program is the specialized part of West Virginia Adult Basic Education (WVABE) that addresses the needs of adult English Language

(In fact, what is here called “actualization” is very close to Ingarden‟s concretization although the both terms are used by him (See Ingarden 1973, Fizer 1983). Let me

[r]