• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIS DAN TERCEMARANYA CITARUM DIJADIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRITIS DAN TERCEMARANYA CITARUM DIJADIKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

CITARUM RIWAYATMU KINI

CITARUM SUNGAI STRATEGIS BAGI KESEIMBANGAN ALAM DAN KEHIDUPAN MAKHLUK HIDUP DI JAWA, MADURA DAN BALI INDONESIA

DzKRITIS DAN TERCEMARANYA CITARUM DIJADIKAN JAMINAN PROYEK DENGAN SKEMA PENDANAAN HUTANG LUAR NEGERIdz

Oleh, Adi Mulyadi

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN FISIK DAS CITARUM Klimatologi

 Distribusi hujan secara keruangan di daerah DAS Citarum umumnya tidak seragam. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata hujan tahunan berkisar antara 1966 mm sampai 2600 mm. Variabilitas curah hujan di DAS Citarum sangat dipengaruhi oleh variasi topografi atau ketinggian. Gradien sungai terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu sepanjang + 25 km merupakan daerah peling terjal, bagian tengah sepanjang + 150 km memiliki kemiringan yang cukup terjal, dan bagian hilir sepanjang + 70 km memiliki topografi yang landai. Hal ini sejalan dengan variabilitas curah hujan di DAS Citarum, dimana sangat variatif dibagian hulu dan berangsur seragam kebagian hilir.

 Bagian hulu DAS Citarum memiliki variasi curah hujan yang tinggi disebabkan kondisi di daerah hulu yang merupakan daerah cekungan antar gunung (inter-mountain basin) dimana pada daerah dengan kondisi seperti ini, curah hujan akan relatif lebih tinggi dibagian lereng pegunungan yang menghadap arah angin, dan untuk bagian disebaliknya atau yang disebut daerah bayangan hujan memiliki curah hujan yang relatif lebih kecil. Fenomena ini disebut dengan fenomena hujan orografis. Rata-rata terendah terjadi di daerah pantai utara dengan curah hujan sekitar 1500 mm per tahun, sedangkan rata-rata tertinggi terjadi di daerah hulu Sungai Ciherang, Cilamaya, dan hulu Sungai Cipunegara dengan curah hujan mencapai 4000 mm per tahun.

(2)

2 | P a g e Geologi dan Geomorfologi

 Morfologi yang terbentuk di DAS Citarum adalah hasil kegiatan tektonik dan vulkanisme, dilanjutkan proses erosi dan sedimentasi. Kondisi morfologi DAS Citarum terbagi atas:

- Morfologi Gunung Api. Daerah hulu anak-anak sungai di DAS Citarum terbentuk dari morfologi gunung api yang memiliki kharakteristik relief landai–bergunung, elevasi ketinggian 750 – 2300 m diatas permukaan air laut, kemiringan lereng di kaki 5 – 15%, di tengah 15 – 30%, dan di puncak 30 – 90%. Pola aliran sungai sejajar dan radier, umumnya merupakan daerah resapan utama air tanah dangkal dan dalam serta tempat keluarnya mataair pada lokasi tekuk lereng. Batuan penyusun berupa endapan gunung api muda dan tua, terdiri dari tufa, breksi, lahar, dan lava. Proses geodinamis adalah aktivitas gunung api dan pengangkatan karena magma, serta agradasikarena longsoran tebing, erosi, dan aktivitas manusiaseperti penggalian, pemotongan lereng, dan lain-lain. DAS Citarum berada pada morfologi gunung api, di daerah Bandung Utara antara lain berderet G. Tangkubanparahu (2.075m), G. Burangrang (2.064m), G. Bukit Tunggul (2.209m), dan G. Manglayang (1800m), dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Cikapundung, S. Cikeruh, S. Cimahi, S. Cipamokolan, S. Cibeureum, dan S. Cipalasari yang mengalir ke arah Selatan. Sedangkan deretan di sebelah selatan adalah G. Malabar (2.343 m), G Tilu (2.040 m), G Wayang (2.182m), G. Patuha, dan G. Guntur (2.040m) dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Citarum Hulu, S. Citarik, S. Cisangkuy, S. Ciasiah, dan S. Ciwidey, mengalir ke Utara. Di daerah Cianjur antara lain G. Gede dengan anak-anak sungainya yang mengarah ke Timur menuju Waduk Cirata.

- Morfologi Perbukitan, morfologi ini dibagi menjadi perbukitan batuan beku dan bergelombang, mempunyai kharaktersitik yaitu relief berbukit, terpisah, elevasi ketinggian 700 – 1500 m diatas permukaan air laut, kemiringan lereng 15 – 70%, berpola aliran sungai sejajar dan dendritik, umumnya bukan daerah resapan utama air tanah. Batuan penyusun berupa batuan beku intrusi dan lava serta breksi gunung dan batuan sedimen tersier. Proses geodinamis adalah patahan aktif, serta agradasi karena longsoran tebing, erosi dan aktivitas manusia. DAS Citarum mempunyai morfologi perbukitan intrusi antara lain G. Parang (975m), G Haur (522m) di sekitar waduk Jatiluhur, G Lagadar (800 m), G. Lalakon di Cimahi Bandung, dan gugusan G.Geulis di sekitar Banjaran- Ciparay Bandung. Perbukitan bergelombang memanjang, terjal terdapat di sekitar Rajamandala dekat Waduk Saguling.

(3)

3 | P a g e seperti penggalian, penimbunan dan lain-lain. Datarantinggi terdapat di Cekungan Bandung dan sekitarnya, sedangkan sisanya berada pada dataran kipas aluvium ditempati Kota Karawang, Purwakarta dan Subang. Dataran limpah banjir menghampar meluas di dataran pantai utara berbentuk meandering, Dataran aluvium sungai terdapat pada alur-alur dibentuk oleh endapan sungai-sungai. Dataran rawa dan pantai yang berbatasan langsung dengan garis pantai terdapat muara beserta cabang-cabangnya membentuk delta.

Jenis Tanah

 Di DAS Citarum terdapat 4 macam jenis tanah, yaitu Andosol, Andosol hitam, Aluvial, dan Latosol. Jenis tanah di DAS Citarum hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol da tersebar di area pegunungan. Jenis Andosol hitam terbentuk di daerah datar Lembang, sedangkan di daerah patahan Lembang jenis tanah yang berkembang adalah tanah Latosol. Jenis tanah Aluvial ada di lembah sungai.

Keterangan

 Andosol : tekstur silt loam, keberadaan pada lereng-lereng gunungapi dan mempunyai permeabilitas tinggi

 Regosol : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Lanau pasiran sampai lempung lanauan dan mempunyai permeabilitas Rendah

 Latosol : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Lapisan tanah muda hasil pelapukan vulkanis dan mempunyai permeabilitas rendah

 Aluvial : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Daerah bekas banjir/sepanjang sungai dan mempunyai permeabilitas sangat rendah

Hidrologi

 DAS Citarum Hulu mencakup 7 sub DAS yaitu: Sub DAS Citarik, Sub DAS Cisangkui, Sub DAS Cirasea, Sub DAS Ciwidey, Sub DAS Cihaur, Sub DAS Cikapundung, dan Sub DAS CIminyak. Aliran air ketujuh sub DAS tersebut bergabung kedalam sungai Citarum dan ditampung lagi kedalam Waduk Saguling. Kondisi hidrologi di DAS Citarum umumnya bervariasi. Sistem akuifer dangkal kedudukan air tanah umumnya kurang dari 30 m, akuifer tengah antara 50-90 m, sedangkan akuifer dalam lebih dari 100 m. batuan penyusun sistem akuifer ini secara umum terdiri dari material klasik gunungapi dengan vulkanik blok, andesit, dan fragmen basal atau pumise putih.

Penggunaan Lahan

(4)

4 | P a g e Potensi Sumberdaya Air

DAS Citarum secara geografis melalui 2 Cekungan Air Tanah (CAT) yaitu CAT Bandung-Soreang pada DAS Citarum Hulu dan CAT Karawang-Bekasi pada DAS Citarum Tengah-Hilir. Untuk di CAT Bandung-Soreang yang secara geografis mempunyai batas-batas berhimpit dengan DAS Citarum secara umum mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut:

 Kelompok Akuifer Dangkal (< 40 m). Sistem akuifer dangkal dapat terlihat pada singkapan batuan dan sumur gali penduduk kedalaman 1,2 – 22,5 m dan kedalaman sumur bor 30 m. Tebal akuifer 1,2 – 30 m, muka air tanah 0,5 – 20,8 m dibawah muka tanah setempat, semakin dangkal di dataran sekitar Sungai Citarum, dan semakin dalam di lereng utara, timur, dan selatan. Fluktuasi muka air tanah di daerah dataran rendah dan kemiringan tinggi relatif tinggi. Arah aliran mengarah ke dataran mengitari Sungai Citarum.

 Kelompok Akuifer Tengah (40-150 m). Kedudukan kelompok akuifer ini di 35 –

100 m dibawah muka tanah setempat (mbmt), posisi saringan 34,5 dan 69,5 mbmt, Muka Air Tanah 1,1 – 30 mbmt dan 34,5 – 69,5 mbmt di daerah pengambilan intensif dengan debit sumur 10 L/detik.

 Kelompok Akuifer Dalam (> 150 m). Kelompok akufer dalam mempunyai kedalaman 100 – 200 mbmt, bersifat tertekan, dengan posisi saringan 57 – 192 mbmt.

 Sedangkan untuk wilayah DAS Citarum Tengah-Hilir termasuk pada CAT

Karawang-Bekasi yang mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut:

 Kelompok Akuifer Dangkal (<40 m).Kelompok akuifer ini tersusun oleh konglomerat, breksi, dan batu pasir yang merupakan Formasi Citalang. Kedudukan satuan ini hampir sulit dipisahkan dengan lapisan-lapisan yang berada di permukaan, Ketebalan minimum ketiga satuan ini secara keseluruhan mencapai 50 meter. Lapisan-lapisan batupasir dan konglomerat pada ketiga satuan ini merupakan penyusun akuifer tidak tertekan (bebas) dan akuifer semi tertekan (semi confined aquifer).

(5)

5 | P a g e

 Kelompok Akuifer Dalam ( > 140 m). Kelompok akuifer ini tersusun oleh batu lempung, batu pasir, dan batu pasir gampingan, diendapkan pada laut dangkal. Formasi yang secara regional berpotensi sebagai akuifer dengan produktifitas rendah – sedang. Mengingat keberadaan sungai Citarum yang sangat penting sebagai penyedia airbaku ibukota, mempunyai dampak ekonomi serta sosial secara regional, menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional sehingga kewenanganannya berada di Pemerintah Pusat.

 Mengingat keberadaan sungai Citarum yang sangat penting sebagai penyedia airbaku ibukota, mempunyai dampak ekonomi serta sosial secara regional,

menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional sehingga

kewenanganannya berada di Pemerintah Pusat.

Permasalahan Lingkungan

 Permasalahan yang terjadi di DAS Citarum pada dasarnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali yang berakibat pada meningkatnya eksploitasi ruang dan sumber daya air. Penduduk di Cekungan Bandung tumbuh pada kisaran 3% pertahun, sebagai pengaruh migrasi ke daerah dengan pertumbuhan yang cepat.

 Tingginya tekanan kependudukan ini menyebabkan terjadinya peningkatan lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan sehingga Citarum termasuk DAS utama di JawaBarat yang memiliki luasan lahan kritis yang tinggi. Kerusakan banyak diakibatkan penggundulan lahan serta pencemaran industri dan rumah tangga yang berdampak terhadap terjadinya bencana banjir, kekeringan, dan menurunnya kualitas air di sepanjang sungai Citarum.

Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di Daerah Aliran Sungai Citarum tersebut, maka DAS Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu:

• Zona Citarum Hulu : Hulu sungai di Gunung Wayang – Ujung Saguling • Zona Citarum Tengah : Saguling – Cirata – Jatiluhur

• Zona Citarum Hilir : Citarum Hilir – Muara Citarum

Permasalahan di Zona Citarum Hulu

(6)

6 | P a g e

 Permasalahan utama lainnya di bagian hulu DAS Citarum meliputi degradasi fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan kritis mencapai 26.022,47 ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan sebesar 3.632,50 juta m3 /tahun serta sedimentasi sebesar 7.898,59 ton/ha. Permasalahan lainnya adalah tingkat pengambilan air tanah yangdiluar kendali dimana sebagian besar pengambilan air tanah tidak teregistrasi. Diperkirakan pengambilan air tanah mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan oleh pemerintah. Diperkirakan 90 % penduduk dan 98 % industri di Cekungan Bandung menggantungkan kebutuhan air sehari – hari pada air tanah. Pengambilan air tanah yang berlebih dan tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan muka tanah dan kerusakan struktur pada bangunan gedung serta memperbesar potensidaerah rawan banjir.Semua permasalahan di Citarum Hulu tersebut berakibat hampir setiap tahun luapan Sungai Citarum menyebabkan banjir. Banjir-banjir besar di Bandung dan sekitarnya tercatatpada tahun 1931, 1945, 1977, 1982, 1984, 1986, 1998, 2005, 2010 dan akan tetap terjadi pada tahun berikutnya bila tidak segera dilakukan penanganan.

Permasalahan di Zona Citarum Tengah

 Tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung berdampak terhadap bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan, pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke Sungai Citarum. Berdasarkan PD Kebersihan Kota Bandung rata-rata produksi sampah sebesar 6.500 m3per hari, dimana1500 m3 diantaranya tidak dikumpulkan dan dibuang secara benar. Dengan demikian sampah yang tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai sebesar 500.000 m3 pertahun. Berdasarkan kantor pengelola Waduk Saguling diperkirakan jumlah sampah yang masuk ke Waduk Saguling adalah sebesar 250.000 m3 per tahun.

 Tumpukan Sampah di sebagian Sungai Citarum Kualitas air yang masuk ke Waduk Saguling memiliki rata-rata kandungan BOD lebihdari 300 mg/liter. Pada tahun 2004 dilaporkan konsentrasi BOD sebanyak 55 mg/liter danmeningkat menjadi 130 mg/liter pada musim kemarau. Pencemaran waduk akibat sampah rumah tangga, sampah padat, dan industri, serta adanya penambangan pasir menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk akibat adanya sedimentasi.

 Selain itu, maraknya usaha keramba jaring apung memperburuk pencemaran air

(7)

7 | P a g e Permasalahan di Zona Citarum Hilir

 Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman akibat berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi prasarana pengendali banjir, menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi, kurangnya prasarana pengendali banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di muara. Semua hal tersebut menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan daerah rawan banjir. Banjir terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan oleh curah hujan tinggi yang berlangsung terus menerus, Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjirsehingga limpas di pelimpah dengan tinggi maksimum 141 cm. Akibatnya aliran keluar dariwaduk mengalir ke Sungai Citarum adalah sebesar 700 m3 /detik. Bersamaan dengan meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawangyang mengalir ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampulagi menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di Telukjambe, Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi.

 Solusi penanganan DAS Citarum dilakukan melalui pendekatan struktural dan non-struktural serta sosio-kultural simultan hulu-hilir dengan sinergi multi sector bersama masyarakat secara terintegrasi dalam wadah koordinasi badan strategis pengelolaan DAS Citarum. Pendekatan non-struktural meliputi manajemen hulu DAS, penataan ruang, pengendalian erosi dan alih fungsi lahan, perijinan pemanfaatan lahan, pemberdayaan masyarakat kawasan hulu, manajemen daerah rawan banjir, sistem peringatan dini ancaman dan evakuasi banjir, peningkatan kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat untuk penanggulangan banjir, pengendalian penggunaan air tanah, pengelolaan dan perbaikan kualitas air sungai.

 Pendekatan struktural meliputi normalisasi sungai, tanggul penahan banjir,

kolam penampungan banjir, sistem polder dan sumur-sumur

(8)

8 | P a g e Citarum Mengaliri Listrik Jawa, Madura dan Bali

 Sungai Citarum merupakan sungai yang sangat strategis bagi kepentingan nasional, air dari sungai Citarum dimanfaatkan tiga waduk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yakni Waduk Saguling (700-1.400 megawatt), Cirata (1.008 megawatt), dan Jatiluhur (187 megawatt). Ketiga PLTA ini menerangi sekitar + 200 juta jiwa di Jawa, Madura dan Bali.

Citarum Aliri Kehidupan, Sosial Ekonomi

 Air Citarum digunakan mengairi sawah di lumbung padi nasional, Total air irigasi yang dipasok Citarum mencapai 420.000 hektar di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Purwakarta, Karawang, Subang, dan Indramayu. Air Citarum juga merupakan bahan baku air minum bagi warga Jawa Barat dan DKI Jakarta yang melayani air minum bagi 25 juta jiwa penduduk. Sebanyak 15 juta penduduk tinggal di Jabar dan 10 juta jiwa lainnya di DKI Jakarta. Selain dari itu di tiga waduk yakni Waduk Saguling, Cirata, dan Ir H Djuanda pada tahun 2006, adalah sebagai sentra ikan dengan produksi ikan dari jaring apung Jabar yang mencapai 80,9 persen dari total produksi nasional atau 143.252 ton dan meningkat di tahun 2008 yang mencapai 144.560 ton dari total produksi nasional sebesar 263.169 ton. Ikan-ikan itu merupakan konsumsi warga Jabar, Banten, dan DKI Jakarta.

MASALAH UTAMA DI SUNGAI CITARUM

1. Lahan Kritis di Hulu DAS Citarum

(9)

9 | P a g e 2. Erosi dan Sedimentasi

Uraian

Lokasi Sedimentasi

Sedimentasi Citarum Erosi dan

sedimentasi yang muncul akibat lahan kritis. Tingkat erosi lahan di DAS Citarum hulu tergolong tinggi, dari luas lahan 230.802 hektare, terjadi erosi sebesar 112.346.477 ton per tahun atau 487 ton per hektare.

Lumpur Tanah & Sampah KM Dampak 8 juta meter kubik per

tahun

0-200 KM Sedimentasi di Cirata 7,41 juta meter kubik per tahun.

Sedimentasi setinggi itu membuat waduk yang didesain berusia 100 tahun akan berkurang 20 tahun Waduk Saguling

Waduk Cirata 7,41 juta meter kubik per tahun Waduk Jatiluhur 1,6 juta meter kubik

(10)

10 | P a g e 3. Pencemaran Dari Industri Polutif, Ternak dan Sampah

Lokasi

100 ton/hari 25.300 ton /hari

JUMLAH INDUSTRI POLUTIF DI DAS CITARUM JUMLAH TERNAK

(11)

11 | P a g e Keanekaragaman Flora dan Fauna di DAS Citarum Jawa Barat

Keanekaragaman Fauna

Secara umum dunia fauna dapat dikelompokkan kedalam: serangga, pisces, amfibi, reptil, aves dan mamalia. Dari kelompok-kelompok tersebut ada fauna yang langsung berhubungan dengan kepentingan manusia yaitu bisa bermanfaat bagi manusia, bersifat hama, disukai untuk dipelihara atau dikonsumsi dan juga fauna dengan status khusus seperti fauna endemik (hanya ditemui di suatu daerah tertentu), langka/hampir punah dan punah. Masing-masing kelompok fauna tersebut, yaitu :

Kelompok serangga

 Kelompok ini memiliki berbagai macam manfaat. Salah satu peran serangga yang sangat penting secara ekologis adalah dalam proses penyerbukan (polinasi) yang dilakukan oleh kupu-kupu. Akan tetapi kelimpahan dan keanekaragaman spesiesnya dewasa ini semakin berkurang yang disebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu berkurangnya habitat dan eksploitasi untuk diperdagangkan karena umumnya kupu-kupu karena keindahannya.

 Karena dalam siklus hidupnya serangga biasanya mengalami proses

metamorfosis, ada fase-fase tertentu dari proses tersebut yang kurang disukai oleh manusia yaitu pada fase larva atau yang lebih dikenal dengan nama ulat. Pada fase ini, serangga biasanya dianggap hama oleh para petani karena merusak tanaman.

 Di habitat alami, belalang dan jengkrik adalah kelompok serangga yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber makanan burung, reptil dan amfibi. Akan tetapi jenis-jenis belalang tertentu apabila populasinya tidak terkendali dapat bersifat hama terhadap tanaman bididaya seperti padi sehingga petani mengalami gagal panen.

Kelompok pisces

Ikan-ikan air tawar yang dijumpai pada daerah aliran sungai citarum dan tiga waduk besar di wilayah Jawa Barat, yaitu Jatiluhur, Cirata dan Saguling. Ikan-ikan air tawar yang dijumpai pada daerah-daerah tersebut di atas dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu:

 Ikan yang menjadi ciri khas Sungai Citarum : tagih/baung, hampal, keting dan udang batu.

 Ikan khas Sungai Citarum yang tidak ditemukan lagi setelah pembangunan waduk : tawes, lelawak, sengal, arengan, walangi

 Ikan yang masih bisa ditemukan di sungai dan waduk : deleg, sidat/moa, betok, pepetek, kebo gerang, julung-julung, keting, bereum panon, beunter, sepat, paray, betutu/bodo, jeler, oleng, gabus, belut

 Ikan budidaya yang diintroduksi ke perairan waduk : patin, ikan mas, nila, gurame

 Ikan hias yang diintroduksi ke perairan waduk : arwana, golsom, oskar

 Ikan yang secara tradisi dikonsumsi oleh masyarakat sekitar : tagih/baung

(12)

12 | P a g e Kelangkaan dan kepunahan beberapa jenis ikan indigenous di daerah aliran Sungai Citarum diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: perubahan habitat dari sungai ke danau/waduk, pencemaran dan overfishing yang dilakukan untuk kebutuhan pangan. Jenis-jenis ikan yang punah tersebut, yaitu arengan, lelawak, sengal, tawes. walangi belum sempat didomestikasi sehingga informasi yang berkaitan dengan spesies-spesies tersebut tidak banyak.

Kelangkaan dan kepunahan beberapa spesies ikan terjadi juga sebagai akibat penggunaan pestisida terutama untuk ikan-ikan yang mendiami ekosistem binaan seperti sawah seperti ikan-ikan kecil/impun dan belut sawah.

Kelompok amfibi dan reptile

 Kelompok amfibi dan reptil yang ditemukan di lapangan statusnya semakin hari akan semakin langka. Hal ini diakibatkan karena habitat yang tersedia semakin berkurang dan belum satupun dari jenis kelompok ini yang sudah bisa didomestikasi dan dibudidaya.

 Kelangkaan beberapa spesies kelompok ini terjadi sebagai akibat perburuan oleh manusia untuk dikonsumsi dan dipelihara antara lain: katak sawah, katak catang, beberapa jenis ular, biawak, bunglon, kura-kura, dll.

 Beberapa jenis amfibi dan reptil masih sering dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat adalah biawak (disekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, danau Sanghyang di Tasikmalaya), kura-kura (disekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, sungai-sungai di daerah Bogor/Sentul)

Kelompok aves

 Kelangkaan jenis burung lebih disebabkan karena nilai ekonomis burung yang sangat tinggi sebagai hewan peliharaan sehingga penagkapan liar tidak bisa dihindarkan disamping ketersediaan habitat yang semakin berkurang.

 Sebagai contoh burung madu di daerah Tangkuban Parahu, berdasarkan laporan

terakhir dari hasil survey mahasiswa Biologi-ITB, spesiesnya tidak lebih dari tiga, hal ini disebabkan karena habitatnya terutama sebagai tempat/sumber makanan semakin berkurang sehingga kondisi ini akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan populasi burung tersebut.

(13)

13 | P a g e Kelompok mamalia

 Kelangkaan jenis mamalia disebabkan oleh dua faktor utama yaitu aktivitas perburuan dan habitat aslinya terganggu. Salah satu contoh penurunan drastis kelompok ini adalah jarang dijumpainya lagi banteng di Hutan Sancang (Garut) dan di Pangandaran. Banteng ini sebenarnya sudah lama menjadi maskot di kedua daerah tersebut.

 Usaha penangkaran kelompok mamalia yang ada seperti penangkaran Rusa di Ranca Upas akan sangat bermanfaat bagi kelestarian spesies ini dan juga bisa

dijadikan tempat tujuan wisata dan pendidikan/penelitian. Manusia

memanfaatkan hewan ini untuk hobi/kesenangan, sumber makanan dan kulitnya untuk bahan sandang.

Keanekaragaman Flora

 Menurut penelitian yang pernah dilakukan Va Steenis (dalam Backer dan Bakhuizen van de Brink,1965), setidaknya terdapat 3.882 spesies tumbuhan berbunga dan tumbuhan paku asli Jawa Barat dan 258 jenis yang dimasukkan dari luar. Perbandingan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk tumbuhan asli adalah 3.882:2.851:2.717. Khusus untuk anggrek (Orchidaceae) di Pulau Jawa, di Jawa Barat terdapat 607 jenis alami, 302 jenis (50%) hanya ada di Jawa Barat. Menurut Comber (1990) di Jabar terdapat 642 jenis anggrek dan hanya terdapat di Jawa Barat 248 jenis.

 Tumbuhan yang termasuk pohon, di Jawa Barat terdapat 1.106 jenis

(Prawirya,tbt) dengan 51 jenis disebut dengan pohon-pohon penting, diantaranya jati (Tectona grandis), rasamala (Altingia excelsa), kepuh (Sterculia foetida), jamuju (Podocarpus imbricatus), bayur (Pterespermum javanicum), puspa (Schima wallichii), kosambi (Schleichera oleosa), beleketebe (Sloenea sigun), pasang (Lithocarpus spp.), pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizhopora mucronata) dll. Menurut Van Steenis (1972) di Jawa Barat terdapat 39 jenis tumbuhan pegunungan yang dikategorikan jarang, 18 jenis diantaranya sejauh ini diduga endemik. Di antara yang endemik tersebut, 11 jenis adalah anggrek (Orchidaceae).

 Sebelumnya Van Steenis menyebutkan ada dua jenis yang endemik di Jawa Barat yaitu Heynella lactea (Tjadasmalang) dan Silvorchis colorata (di sekitar Garut). Selain itu, di Pulau Jawa, dari 6.543 jenis yang ada, 1.523 jenis (23,4 %) adalah tanaman budidaya, sisanya berupa 4.598 jenis tumbuhan liar dan 413 jenis tumbuhan asing yang ternaturalisasi. Sebagian dari tumbuhan alami terdapat di kawasan konservasi yaitu hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terdapat 844 jenis tumbuhan berbunga.

(14)

14 | P a g e Program dan Kebijakan Pemerintah di Citarum

Dengan Sekema Pendanaan Hutang Luar Negeri

Beragam intervensi kebijakan dan program serta anggaran yang dikeluarkan untuk menangani Citarum belum memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi pemajuan kualitas lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat di DAS citarum. Dari tahun ke tahun, kondisi kualitas lingkungan hidup makin memburuk dan bencana tak terhindarkan lagi. Dalam kurun waktu lima tahun ke belakang, salah satu kebijakan dan program untuk menyelesaikan persoalan pengelolaan WS Citarum adalah kebijakan perencanaan terpadu dalam bentuk Citarum Roadmap yang disusun Bappenas yang bersumber dari dana utang Asian Development Bank (ADB).

Dalam dokumen roadmap yang disusun 2009 dimutahirkan tahun 2010 dan 2011 terdiri dari 85 kegiatan yang terkait langsung dengan sektor air, yang dipilih berdasarkan observasi lapangan dan konsultasi dengan stakeholder, dengan total nilai investasi sebesar 3,5 miliar USD.Kegiatan lain juga dilakukan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat dan kabupaten Kota. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat adalah dengan membentuk Dewan Sumber Daya Air. Namun, beragam agenda dan kebijakan tersebut yang dijalankan oleh intansi pemerintah di level nasional, provinsi dan kabupaten/kota, belum menjawab permasalahan utama bahkan menyisakan sejumlah permasalahan menjadi penanda program tersebut tidak berjalan secara efektif dan tepat sasaran.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Pawapeling dan Citarum Sobat Bumi yang didasarkan pada lapora audit BPK RI tahun 2012 ditemukan sejumlah fakta:

1. Hasil pemeriksaan kinerja atas pengelolaan SDA WS Citarum pada umumnya

menunjukkan bahwa pengelolaan SDA WS Citarum selama periode TA 2009 sd 2012 kurang efektif

2. masih belum optimalnya pengendalian pencemaran yang dilakukan oleh Kemen LH

bersama dengan pemerintah daerah

3. ketidakefektifan anggaran yang dikelola instansi pemerintah pusat dan daerah

mencapai Rp 3,93 milyar

4. terdapat penyimpangan yang diduga mengandung unsur perbuatan melawan

hukum tindakan pidana lingkungan yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup

5. Terdapat dua perencanaan dan koordinasi pengelolaan WS Citarum yaitu Citarum

ROADMAP yang disusun oleh Bappenas dan pola rencana pengelolaan Sungai

Citarum yang disusun oleh Kementerian PU. Hal tersebut mengakibatkan potensi ketidakjelasan pengelolaan Sungai Citarum, khususnya bagi para instansi terkait pengelolaan di pusat dan daerah. Penyebabnya adalah lemahnya koordinasi antara Kementerian PU dan Bappenas pada saat perencanaan kontrak dengan dalam pembuatan pola dan rencana untuk WS Citarum. Kekuatan hukum roadmap Citarum tidak jelas.

(15)

15 | P a g e 1. Terdapat empat perusahaan di Kabupaten Purwakarta yang membuang limbahnya

tanpa memiliki izin pembuangan limbah cair.

2. Terdapat tujuh pelaku usaha (industri) di Kabupaten Bandung yang membuang limbah cair ke WS Citarum melebihi baku mutu lebih dari satu kali dan empat pelaku usaha (industri) yang membuang limbah cair tanpa memiliki izin pembuangan limbah cair

3. Terdapat 16 pelakuusaha (Industri) di Kabupaten Bandung Barat yang membuang limbah cair ke WS Citarum melebihi baku mutu lebih dari satu kali.

4. Adanya kasus-kasus yang terindikasi melanggar sejumlah peraturan perundang-perundangan

5. Rekomendasi BPK terkait Proyek ICWRMIP adalah Bappenas harus mengintruksikan

Deputi Sarana dan Prasarana berkoordinasi dengan kementrian PU dalam pengelolaan roadmap Citarum dengan memperhatikan amanat Loan ICWRMIP No 2500-INO(SF) dan 2501-INO (SF).

Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat kita simpulkan bahwa:

1. Adanya kelemahan koordinasi antar intansi dan sektor dalam penanganan Citarum 2. Terjadi dualisme perencanaan pengelolaan sungai Citarum

3. Kekuatan hukum Roadmap ICWRIMP dipertanyakan bahkan tidak sesuai dengan memiliki dasar hukum

4. Lemahnya upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah kepada para perusahaan pencemar sungai Citarum

5. Indikasi perbuatan melawan hukum/pelanggaran terhadap peraturan

perundangan-undangan oleh intansi pemerintah dan perusahaan negara terkait dengan pengelolaan anggaran negara mencapai Rp 22, 7 Milyar dengan jumlah kasus mencapai 26 buah.

Berdasarkan fakta ini maka Kami memandang diperlukan satu agenda konsolidasi semua pihak untuk memeriksa, menilai dan mengelaborasi gagasan-gagasan bersama untuk membangun solusi ke depan.

Bandung, Januari 2014

KETUA PAGUYUBAN WARGA PEDULI LINGKUNGAN ( PAWAPELING)

KABID PROGRAM DAN DATABES CITARUM SOBAT BUMI (CSB) JAWA BARAT

ttd ADI MULYADI Hp. 087822617218

Sumber:

Diolah dari berbagai sumber

Citarum Bersih, Bumi Lestari!

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi teori belajar konstruktivisme dengan menggunakan model

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat memetakan pihak - pihak yang berkepentingan (stakeholder) terhadap keberadaan Batur

Dalam konteks budaya Jawa, hubungan interpersonal yang baik dalam keluarga seperti meluangkan waktu untuk saling bercerita atau bertukar pikiran, dan menyelesaikan

Pengembangan multiple intelegences yang terakomodasi pada fase kedua antara lain; (1) ke- cerdasan intrapersonal, yaitu peserta didik dapat membuat catatan-catatan

Setiap guru pada waktu melaksanakan tugas dinas harus sesuai dengan aturan yang ada (Intruksi Menteri P dan K No. Setiap guru harus berpakaian rapi dan rapi baik di sekolah maupun

Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni, beladiri, cara menyulam.