Asal-Usul Hutan dan Nama Camplong
Dr. Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo Email: ebenhur@yahoo.co.id
Nama Camplong punya hubungan erat dengan sebuah pohon besar. Pohon besar itu menjadi tanda pengenal bagi Camplong. Bahkan orang di Lotas, di ujung Timur pulau Timor yang berbatasan dengan Belu menyebut pendeta Belanda yang bekerja di Camplong sebagai pendeta pohon besar.1 Orang
Meto menamakan pohon itu Sanaplo. Pohon bernama Sanaplo ini merupakan
ibu dari semua pohon yang ada di hutan Camplong. Untuk jelasnya,
beginilah tuturan saudara laki-laki Anamtasa yang ditulis oleh F.H. van de
Wetering, misionaris yang menetap di Camplong tahun 1919.2
“Di zaman dulu, tuan, ada satu pohon yang sangat besar. Semua pohon yang
ada di Camplong berasal dari pohon itu. Buah pohon itu jatuh dalam air yang
ada di bawah pohon besar itu. Air membawa buah-buah itu ke satu tempat. Di tempat yang baru itu buah-buah bertumbuh. Akhirnya menjadi pohon-pohon besar. Itu sebabnya Camplong penuh dengan pohon-pohon. Pada waktu malam datanglah kelelawar. Mereka makan buah dari pohon besar itu. Mereka kemudian membawa biji dari buah pohon itu ke tempat-tempat yang tidak kami kenal.
Di seberang mata air ini mereka menjatuhkan salah satu biji dari pohon itu. Biji itu bertumbuh. Pohon yang baru bertumbuh itu juga menjadi besar, kokoh, kuat dan rindang. Pohon tua yang adalah ibu dari semua pohon itu
bernama Sanaplo. Pohon yang baru, yang ada diseberang mata air ini diberi
nama hau susu.
Pohon tua yang bernama sanaplo sudah mati kira-kira tiga puluh tahun lalu.
Orang Atoni sekarang menyebut pohon yang baru, haususu, dengan nama
haususu sanaplo untuk menghormati pohon sanaplo yang sudah mati itu. Itu
sebabnya kampung kita bernama Sanaplo menurut nama pohon tua yang
sudah mati itu.”
Haususu, pohon yang tumbuh di dekat mata air Sanaplo dianggap oleh orang
meto di Camplong sebagai tempat tinggal dewa tertinggi. Di masa lalu penduduk membawa berbagai sesajen untuk ditaruh di bawah pohon itu. Pati
Muti bercerita: “Penduduk Camplong juga suka membawa persembahan
kepada haususu Sanaplo ini. Kalau ada musuh datang menyerang
berkumpullah semua penduduk di pohon ini untuk memberikan persembahan korban demi perang itu. Mereka meminta agar mereka tidak
diganggu oleh peperangan yang sedang terjadi. Tetapi jika perang harus mereka hadapi maka mereka meminta agar diberikan kemenangan. Orang-orang datang dengan membawa ayam, kambing dan beras. Semuanya mereka letakan di bawah pohon itu.”
Ada pun doa yang diucapkan sang imam yang memimpin ritus sesajen akan mengucapkan doa berikut: “Kami berseru kepadamu, O penguasa air. Berikanlah kepada kami makan dan minum. Peliharalah kami. Jangan biarkan kami mengalami kecelakaan. Kami adalah umatmu. Kami ini anak-anakmu. Janganlah membiarkan orang yang tidak menghormati engkau tinggal atau datang ke mari. Janganlah mengizinkan musuh masuk ke tempat ini karena di sini amat banyak orang-orang kepunyaanmu. Bawalah musuh-musuh itu pergi menurut jalan yang lain untuk tiba di Lili, menuju muara sungai sehingga mereka tidak datang ke tempat ini karena di sini tempat yang tinggi dan banyak pohonnya. Di sini jalannya panjang dan lebar. Buatlah mereka sesat supaya mereka tiba di Lili, Oilmasi atau Naifalo. Di sana ada jalan. Ada kerbau dan kuda. Tetapi, jangan bawa mereka ke mari, karena di sini jalannya lebar dan panjang.”
“Kalau ada penyakit menyerang penduduk di sini, mereka berkumpul di sekitar pohon ini membawa babi, ayam dan beras. Ya. Kadang-kadang juga kerbau. Lalu imam juga akan berkata sementara dia melemparkan beras: “Sekarang kami semua sudah berkumpul di sini dan mempersembahkan
kepadamu, Uispah, dan Uisneno makanan. Berikanlah kesejukan kepada
orang-orangmu serta perasaan damai sebagai ganti panas yang diakibatkan oleh penyakit ini.”
Hal penting lain mengenai pohon ini adalah jika salah satu dahannya patah itu pertanda bahwa salah satu orang terkemuka di Timor akan segera meninggal. Apakah dahan itu patah karena hujan, angin atau karena alasan lain maka orang akan mengerti bahwa seorang temukung, fetor atau raja akan segera mati. Ketika Saen Sinar, nama lain dari Sain Bait meninggal salah satu dari dahan pohon itu patah. Setelah itu Tasi Bait. Yang terakhir adalah raja Manubait di Camplong. Masih ada satu lagi, Feku Bait dan tamukung besar Fafi Tob dari Silu. Yang baru saja terjadi adalah Ena Bait dari
kampung Oetulu.3
Demikianlah kisah asal-usul nama Camplong, yang berhubungan erat
dengan nama sebuah pohon yang orang meto namakan Sanaplo. Pohon itu
adalah dari semua pohon yang ada di hutan Camplong. Pohon itu melahirkan
sebuah pohon lain bernama Haususu yang menjadi manifestasi kehadiran
dewa tertinggi di antara penduduk Camplong. Hutan itu pada masa lalu adalah kawasan keramat yang diyakini sebagai tempat kediaman roh-roh.
Betapa pun oleh pengaruh kekristenan dan modernisasi hutan Camplong tidak lagi dianggap keramat, tetapi hutan itu masih dipelihara oleh warga sekitarnya.
Ada pun di hutan Camplong saat ini tumbuh bermacam-macam jenis pohon. Data yang berhasil kami kumpulkan menyebutkan ada 30-an jenis pohon umur panjang yang hidup di hutan lindung Camplong. Ini belum termasuk jenis-jenis perdu dan tanaman merambat yang ada di hutan itu.
Pohon-pohon itu antara lain: Cendana, Gaharu, Beringin, Kayu Merah (hau me atau
matani), Kapuk Hutan, Kabesak, Taduk (Lete), Jati, Mahoni, Kula, Nikis, Buni, Cempaka, Cemara, Lamtoro, Asam, Johar (Kayu Besi), Bengkudu (Latin:
morinda citrifolia, Meto: Baknunu), Faloak, Kusambi, Kujawas, Jambu Air, Sedap Malam, Flamboyan (sepe), Mangga hutan, Delima Hutan (Dilak), Kom (Apel Hutan).4 Dengan demikian hutan lindung Camplong tergolong pada
hutan daerah tropis, bukan hutan tanaman industri.
Selain pohon dan perdu, di hutan Camplong juga terdapat aneka jenis binatang, antara lain: babi hutan, ayam hutan, musang, tupai, rusa, kus-kus, kera, ular, burung dari berbagai jenis, burung hantu, kelelawar, lebah madu,
semut dan laron dalam jumlah berkelompok.5 Binatang-binatang itu
dipercaya oleh Suku Meto sebagai yang membawa pesan tentang
peristiwa-peristiwa khusus tertentu. Sebut saja misalnya kalau burung hujan (totiu)
mulai meneriakkan suaranya, itu menjadi isyarat bahwa dalam waktu dekat
hujan akan segera turun.6 Munculnya burung hantu di dekat perkampungan
sambil berteriak merupakan pertanda bahwa akan ada penghuni kampung yang meninggal dunia.
Keadaan Penduduk Camplong dan Mata Pencaharian
Penduduk kelurahan Camplong I per tahun 2015 adalah 4753 jiwa. Mayoritas
adalah suku meto yakni penduduk asli pah meto atau yang umum dikenal
sebagai Pulau Timor. Sejumlah kecil suku pendatang seperti suku Rote, Sabu, Flores, Cina dan Bugis juga ada di kelurahan itu. Umumnya para pendatang
bekerja sebagai pegawai negeri dan pedagang kecil (papa lele) sementara
penduduk asli adalah petani. Keberagaman populasi penduduk Camplong
4 Masih banyak lagi nama pohon dalam bahasa Meto yang disebutkan oleh responden kami. Mengingat terbatasnya ruang
cukuplah dicatat beberapa nama tadi. Schulte Nordholt menunjukkan bahwa pengenalan Suku Meto terhadap nama-nama pohon menjadi bukti kedekatan Suku Meto pada lingkungan alam, terutama pada tanaman. H.G. Shulte Nordholt. The Political System…, hlm. 34.
5 Kalau semut besar bersayap keluar secara bergerombolan dari sarang mereka pada waktu senja di awal musim hujan Orang
Meto percaya bahwa saat hujan masih tertunda beberapa minggu. Kalau yang keluar bergerombolan adalah laron (naem), Orang Meto melihat itu sebagai isyarat akan segera turun hujan.
Satu sesuai data pada kantor kelurahan Camplong Satu tanggal 25 Agustus
2015 adalah 4753 jiwa.7
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan agama
No
1 2309 2444 1084 3711 709 152 181
Jumlah penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
Orang Tetun di Belu lebih suka menamakan Orang Meto dengan sebutan
Dawan.8Dalam cerita rakyat dan berbagai tuturan adat disebutkan bahwa
leluhur orang Meto berasal dari satu tempat yang disebut Sina Mutin Malaka.
Munandar Widiyatmika mencatat bahwa betapa pun disebutkan dengan
nyata bahwa tempat asal nenek moyang pertama suku meto ada hubungan
dengan Malaka, namun bukan berarti bahwa nenek moyang mereka pasti berasal dari sana.9
8 Mubyarto, et all., hlm. 134.
9 Munandar Widiyatmika. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur. Proyek Pengembangan Kebudayaan Daerah, Kupang. 1977.,