• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi Kini dan Kedepan. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desentralisasi Kini dan Kedepan. docx"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Desentralisasi: Kini dan Kedepan Oleh: Kodrat Wibowo, Ph.D

1. Latar Belakang

Desentralisasi Indonesia telah menginjak usia hampir 12 tahun semenjak penerapannya di tahun 2001 dengan berbagai hasil dan dampaknya baik positif maupun negatif. Dalam perkembangannya melalui pencerminan perubahan dan perbaikan regulasi mengenai Desentralisasi di Indonesia e.g. Revisi UU No 22/199 menjadi UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, juga UU No. 25/1999 menjadi UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, terlihat jelas bahwa hal-hal negatif yang menjadi dampak negatif dari penerapan desentralisasi tahap awal seperti: Penerbitan Perda-perda bermasalah terutama yang terkait dengan upaya peningkatan PAD melalui Pajak Daerah dan Retribusi telah dapat diredam, namun masih banyak fenomena lain yang juga merupakan dampak negatif dari desentralisasi masih marak terjadi seperti praktik korupsi berjamaah yang menyebar secara merata baik vertical dari pusat ke daerah maupun horisontal antar kementrian dan lembaga , hingga ke tingkat antar dinas dan daerah.

Pada saat ini upaya revisi berkelanjutan terhadap regulasi dan aturan terkait desentralisasi di Indonesia masih terus berjalan. Revisi terhadap UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 sedang dilakukan dan telah menghasilkan puluhan draft perbaikan. Dalam menjaga harapan masyarakat luas untuk memperoleh aturan dan regulasi yang lebih baik dalam mengatur dan menjaga praktek implementasi desentralisasi yang lebih murni kedepannya, makalah singkat tanpa data kuantitatif ini mencoba membahas beberapa isu penting yang merupakan hasil negatif dari implementasi desentralisasi dasawarsa pertama di Indonesia.

2. Tinjauan Pustaka

1. Desentralisasi Pemerintahan

(2)

konsep otonomi daerah akan terfokus pada hak dan kewajiban daerah – pemerintah daerah dan masyarakat – dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan (Hidayat, 2004). Desentralisasi mempunyai dua tujuan yaitu politik dalam rangka demokratisasi, dan tujuan administrasi dalam rangka efektivitas dan efisiensi pemerintahan (Wasistiono, 2005), yaitu kewenangan mengatur dan mengurus masyarakat setempat (Hoessein, 2002). Desentralisasi merupakan alat dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.

2. Desentralisasi fiskal

Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi karena desentralisasi berkaitan langsung dengan hubungan fungsi penerimaan dan pengeluaran dana publik antara tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dengan pemerintahan dibawahnya (Muluk, 2006). Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai (Siddik, 2002b). Kebijakan desentralisasi fiskal dapat meloloskan suatu negara dari berbagai jebakan ketidak-efisienan, ketidak-efektifan pemerintahan, ketidak-stabilan makro ekonomi, dan ketidak-cukupan pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal juga dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana (Bird dan Vailancourt, 2000), serta berbagi beban keuangan dengan kawasan dan kota (Todaro dan Smith, 2004). Kebijakan desentralisasi fiskal juga dapat menjadi daya saing suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah lain, suatu daerah dapat menawarkan paket pajak dan pelayanan publik yang terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pilihan publik (Stoker, 1991; Grofman, 2002; Feld e al.2004).

3. Desentralisasi Sistem Perpajakan

(3)

Musgrave (1993) yang turut mengembangkan fiscal federalism theory mengemukakan prinsip yang luas dalam penyerahan kewenangan pemungutan pajak dengan menggunakan kriteria keadilan dan efisiensi. Pemungutan pajak dari masyarakat harus bersifat adil. Asas Equity dalam perpajakan mencakup dua aspek. Pertama, ability to pay principle di mana pajak dibebankan kepada pembayar pajak sesuai dengan kemampuan membayarnya. Kedua, benefit principle di mana setiap pembayar pajak membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan pemerintah (Musgrave, 1993; Mangkusoebroto, 1993).

Kebijakan pemungutan perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi alokasi, distribusi, regulasi, dan stabilitasi (Musgrave dan Musgrave, 1989). Rasyid (2005) menyatakan bahwa untuk membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu, dan untuk mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, maka desentralisasi menjadi suatu keharusan. Termasuk dalam hal ini adalah penyerahan sebagian kewenangan pemungutan perpajakan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan di bawahnya. Shah (1994) mengemukakan kerangka acuan alternatif dalam penyerahan kewenangan pemungutan pajak menggunakan kriteria efisiensi dalam administrasi pajak dan untuk memenuhi kebutuhan fiskal. Tingkat pemerintahan yang memiliki informasi yang paling baik atas basis pajak, akan menjadi tingkat pemerintahan yang bertanggung jawab untuk mengenakan pajak atas basis tersebut.

3. Analisis terhadap Isu Dampak Negatif Desentralisasi di Indonesia Perda-Perda Bermasalah

(4)

yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dikhawatirkan pembatalan-pembatalan perda oleh pemerintah pusat ini dapat mengganggu kreatifitas daerah dalam mengimplementasikan Desentralisasi, namun dengan diterbitkannya UU No. 28/2009 yang merupakan revisi dari UU No. 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka diputuskan bahwa jenis PDRD yang diperbolehkan hanyalah yang disebutkan oleh UU ini sehingga fenomena Perda-Perda bermasalah telah jauh berkurang ke titik nol, dan ini merupakan langkah terbaik dengan mempertimbangkan banyak hal.

Government Failure Bersamaan dengan Market Failure

Dikenal juga dengan istilah korupsi berjamaah, kasus korupsi dan manipulasi terkait kewenangan dalam penyusunan penganggaran keuangan publik marak terjadi. Pasca diterbitkannya UU 22/1999 dan UU. No. 25/1999, seluruh komponen pemerintahan baik Pemerintahan Pusat di kementrian dan lembaga serta DPR, dan pemerintahan daerah beserta DPRD-nya. Berbagai modus telah banyak dilakukan, baik yang bersifat konvensional seperti mark-up dan proyek/kegiatan fiktif hingga praktek yang lebih canggih dan modern seperti penggandaan proyek dan kegiatan yang notabene merupakan modus yang tetap memanfaatkan celah-celah kelemahan dari regulasi dan aturan perbaikan yaitu UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004.

Eksploitasi SDA dan Lingkungan

Dari sejak awal implementasi desentralisasi hingga akhir dasawarsa pertama Desentralisasi, yang juga menonjol dari praktek-praktek negatif adalah upaya peningkatan PAD yang cenderung menekan kondisi alam dan lingkungan yang menjadi potensi utama daerah. Tidak heran ekploitasi besar-besaran kadungan alam seperti Batubara di Kalimantan contohnya tanpa memperhitungkan kapasitas dan keberlangsungan ekonomi marak dilakukan.

(5)

pembangunan dimana birokrat sangat kedodoran dalam melaksanakan tugas eksekutifnya karena dibebani dengan intervensi legislatif yang cenderung lebih mengedepankan gengsi legislatif dan kepentingan perseorangan/golongan daripada kepentingan yang lebih luas yaitu kesejahteraan rakyat. Fungsi Yudikatif tidak kalah repotnya karena terus mendapat rongrongan maupun dukungan yang minim dari pihak legislasi karena faktor yang bisa jadi menghambat laju peran legislasi berlebihan dalam keputusan eksekutif menjalankan fungsinya. Contoh yang paling sering tgerjadi adalah peran dominasi legislatif dalam menggolkan jenis kegiatan dan besaran dana anggaran dalam keterkaitannya dalam hubungan pusat dan daerah terutama dalam penentuan prioritas dan jumlah moneter yang dikucurkan. Kasus DAK contohnya adalah bukti dari terlalu dominannya pihak legislasi pusat dalam penentuan prioritas dan daerah yang mendapatkan kucuran DAK.

Praktek Penyelewengan Pajak akibat Lemahnya Integritas dan Sistem Perpajakan

Yang lebih kentara dalam implementasi desentralisasi dasawarsa pertama dan cenderung dianggap sebagai dampak negatif yang utamanya dilakukan dari pihak pemerintah pusat adalah penyelewengan pajak oleh pihak-pihak sentral otoritas pemangku kebijakan dan implementasi pemungutan pajak. Dengan harapan terlepas dari belenggu hutang luar negeri dan optimalisasi penerimaan negara, Pemerintah Indonesia telah mengalihkan ketergantungan penerimaan negara dari hasil pengolahan SDA dan HLN kepada optimalisasi penerimaan negara dari Pajak dan hutang domestik. Khusus untuk penerimaan dari pajak yang menyumbang 70% dari total penerimaan negara, terlihat bahwa praktek penyelewengan pajak makin marak. Praktek yang dilakukan malah dirasakan masih konvensional dan sepertinya masih merupakan praktek lama dari masa Orba dan tragisnya banyak pula dilakukan oleh aparat pajak yang notabene dianggap seharusnya memiliki integritas seperti mereka aparat pajak yang merupakan pejabat eselon yang cukup tinggi.

Desentralisasi Pasca UU No. 32/2004

Interpretasi dan Penafsiran dari Pengertian

(6)

masalah distorsi pengertian dan interpretasi implisit menurut penulis justru makin menimbulkan masalah baru dan konflik kepentingan yang lebih parah dibandingkan amanat dari UU sebelumnya yaitu UU No. 22/1999. Pengertian otonomi daerah yang diamanatkan UU No. 32/2004 yaitu sebuah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan peraturan perundangan telah menimbulkan konsekwensi terhadap pengaturan dan penjelasannya.

Gambar 1. Penyelenggaraan Urusan dan Kewenangan Pemerintahan Sumber: Heru Subiyanto, 2007

Kewenangan dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebut sebagai urusan yang bersifat wajib dan urusan yang bersifat pilihan. Pemakaian kata urusan (wajib & pilihan) lebih berorientasi kewajiban penyelenggaraan pelayanan pemerintahan pada bidang-bidang yang menjadi urusan pada tiap tingkatan pemerintahan. Pemakaian lingkup urusan ini rawan terhadap ancaman intepretasi dan penafsiran yang salah, apalagi selama ini yang dipertentangkan adalah masalah kewenangan antar tingkat pemerintahan, terutama dalam bidang urusan concurrent tentang pelayanan publik dasar serta urusan pilihan seperti pengelolaan SDA dan investasi modal asing yang selama ini banyak menimbulkan konflik kewenangan dan urusan.

Belum lagi dengan melihat bahwa secara bersamaan konsep pelayanan publik yang menjadi inti dari urusan wajib pemerintah disemua tingkatan tidak diatur dalam UU ini dan jelas akan mengaburkan inti dari tujuan dilakukannya sebuah kegiatan pembangunan. Alih-alih pengertian pelayanan publik hanya dijelaskan oleh UU lain yaitu adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (KEPMENPAN NO. 63/KEP/M.PAN/7/2003). Pengertian ini jauh dari konsep teoritis tentang pengertian barang dan jasa publik yang mengedepankan asas non exclusivitas dan no rivalry. Sehingga tidak heran bagi aparat pemerintahan, pelayanan publik

(7)

ini tidak memiliki unsur tanggung jawab terhadap tugas kesehariannya dalam upaya mensejahterakan para masyarakat yang notabene adalah pembayar pajak.

Khusus untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik (dalam arti yang benar tentunya), pemerintah daerah jelas membutuhkan pendanaan yang cukup, maka dana dari pajak merupakan sumber utama penerimaaan. Desentralisasi sistem perpajakan diharapkan akan meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mengurangi praktek penyelewengan pajak di pusat sehingga masyarakat dapat langsung merasakan manfaat dari pajak yang mereka bayarkan, dalam bentuk pelayanan publik yang mereka terima. Dana yang diperoleh dari masyarakat melalui pajak saat ini belum digunakan sesuai peruntukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan pemerintah daerah belum dapat menjalankan pemerintahan yang baik karena keterbatasan sumber dana. Walaupun dikhawatirkan pula bahwa dengan aturan yang ada kemungkinan penyelewengan pajak yang lebih ‘berjamaah’ seperti halnya korupsi dapat saja terjadi lebih parah lagi karena kurangnya integritas dan kapasitas SDM di daerah.

(8)

Sumber: Heru Subiyanto, 2007

4. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan bahasan dan analisis kualitatif, dapat ditarik kesimpulan bahwa ruang-ruang konflik dalam penyelenggaraan urusan dan kewenangan pemerintahan pasca desentralisasi dasawarsa pertama masih terbuka lebar dan berdimensi jamak, baik horisontal maupun vertikal. Masyarakat akan secara langsung menjadi korban dari benturan kepentingan dari kekuatan-kekuatan elit baik dari kalangan pemodal besar maupun dari kalangan elit pusat dan daerah, khususnya eksekutif dan legislatif. Dengan segala keterbatasan kapasitas dan akses pengambilan kebijakan, serta semakin dikuranginya intervensi pusat, masyarakat umum harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan kepentingannya agar tetap terakomodir.

Untuk perbaikan desentralisasi kedepan, dibutuhkan perbaikan lebih mumpuni lagi terhadap beberapa aturan dan perundang-undangan khususnya yang terkait dengan pembagian kewenangan dan urusan pemerintahan dan keterlibatan swasta atau pemodal besar serta asing; dan menjadi pedoman implementasi desentralisasi selama ini di Indonesia. Disadari pula memang, bahwa sudah banyak aturan dan undang-undang yang dirasa sudah mampu dijadikan pedoman utuh dan lengkap dari praktek implementasi desentralisasi namun lemahnya upaya penegakan hukum dan krisis panutan di Indonesia mengakibatkan implementasi masih banyak menyimpang dari aturan yang berlaku.

(9)

Daftar Pustaka

Bird, Richard M., dan Francois Vaillancourt (penyunting). 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama.

Davoodi, Hamid R. 2001. ”Fiscal Decentralization.” IMF Research Bulletin, Vo.2 No.2, Juni 2001. Online (http://www. imf.org/external/Pubs/FT/ird/2001/eng/02/index.htm#sum2). Diakses 30 Juni 2012.

Muluk, M.R. Khairul. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia Publishing.

Musgrave, Richard A. 1993. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition. USA: McGraw-Hill Book Company.

Musgrave, Richard A. dan Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Practice. Singapore: McGraw-Hill Inc.

Sarundajang, S.H. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Shah, A., et al. 1994. Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia. Issue and Reform Options. Washington DC: World Bank Discussion Paper.

Referensi

Dokumen terkait

        Reformasi kemudian berkembang di Swiss.  Ini dimulai oleh Huldrich Zwingli yang dikenal sebagai bapak reformasi pertama di Swiss.   Zwingli yang dilahirkan pada tanngal

Brahmacari yang dinyatakan lulus pada Pratama Widya Pasraman, Adi Widya Pasraman, Madyama Widya Pasraman, dan Utama Widya Pasraman berhak melanjutkan ke jenjang

Berdasarkan hasil uji coba, aplikasi ini mempermudah bagian Tata Usaha yang sebelumnya dalam melakukan proses pembayaran biaya operasonal pendidikan dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan menunjukkan bahwa pada permukiman Hindu di Dusun Sawun lokalitas ruangnya berupa hirarki ruang dengan konsep Tri

Hasil penelitian ini adalah pelaksanaan proses penyidikan terhadap tindak pidana persetubuhan dengan tersangka orang dewasa dan korban dibawah umur yang diperiksan di

Hasil isolasi bakteri dari 7 sampel ikan asin Talang-Talang berasal dari pedagang di Desa Puloet Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar, menunjukkan bahwa tidak

Kata kunci: Analisis SWOT, Matriks TOWS, Integrated Performance Measurement System (IPMS), Perumusan

JUMLAH KEPALA SEKOLAH DAN GURU MENURUT STATUS KEPEGAWAIAN DAN JABATAN TIAP PROVINSI NUMBER OF HEADMASTERS AND TEACHERS BY PERSONNEL STATUS, RESPONSIBILITY AND PROVINCE TK /