• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEBUDAYAAN BAGELEN DAN BANYUMAS (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH KEBUDAYAAN BAGELEN DAN BANYUMAS (1)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEBUDAYAAN BAGELEN DAN BANYUMAS

TERHADAP STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT KEBUMEN

Teguh Hindarto

Karya Ilmiah Untuk Memenuhi Tugas Akhir

Fakultas Sosial Politik Jurusan Sosiologi Universitas Terbuka

Abstrak

Nama Bagelen dan Banyumas bukan hanya mendefinisikan sebuah locus

yang bercorak geografik dan administratif melainkan sebuah wilayah sosial dan

kebudayaan. Bagelen sebagai locus administratif yang dekat dengan pusat

kekuasaan Keraton Yogyakarta (kelanjutan Mataram Islam) melahirkan wilayah

sosial dan kebudayaan yang kental dengan identitas kepriyayian. Sementara

Banyumas sebagai locus administratif yang jauh dari pusat Keraton Yogyakarta

(kelanjutan Mataram Islam) sejak dahulu menjadi wilayah mancanegara yang

jauh dari pengaruh kekuasaan sehingga melahirkan wilayah sosial dan

kebudayaan dengan identitas kerakyatan, egaliterianisme, anti struktur,

keterbukaan, blak-blakkan. Kabupaten Kebumen (khususnya di masa Mataram

Islam) sebagai locus administratif yang pernah menjadi wilayah Bagelen dan

Banyumas, ternyata merupakan locus pertemuan arus kebudayaan sehingga di

wilayah Kebumen kita dapat menemukan jejak dan pengaruh masing-masing

kebudayaan Bagelen yang mriyayi dan Banyumas yang merakyat. Pertemuan dua

(2)

Kebumen modern khususnya dan pengetahuan terhadap pengaruh-pengaruh

kebudayaan tersebut sangat penting untuk memahami karakter dan kepribadian

masyarakat Kebumen serta berbagai kebijakkan sosial yang dilakukan oleh

pemerintah maupun kelompok-kelompok Civil Society untuk melakukan

perubahan sosial.

Kata-kata kunci: Budaya Bagelen, Budaya Banyumas, Struktur Sosial, Absurditas Kebudayaan, Logat Bahasa, Anti Struktur

Pendahuluan

Mengkaji Kebumen dari perspektif sosiologis dan historis, tidak bisa

dilepaskan keterkaitannya dengan Bagelen dan Banyumas. Mengapa demikian?

Karena wilayah Kebumen pra kemerdekaan (yang disebut dengan sejumlah nama

kewilayahan seperti Panjer, Kutowinangun, Karanganyar) baik di masa kerajaan

Mataram, Kesultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta, adalah bagian dari

kewilayahan Karesidenan Bagelen serta wilayah perbatasan dari Karesidenan

Banyumas. Kebumen merupakan wilayah pertemuan dan percampuran arus

kebudayaan di kedua wilayah karesidenan tersebut. Pertemuan dua arus

kebudayaan Bagelen dan Banyumas berpengaruh terhadap struktur sosial

masyarakat Kebumen sehingga memberikan karakteristik tertentu. Melalui tulisan

ini akan dikaji sejauh mana pengaruh dua arus kebudayaan tersebut terhadap

struktur sosial masyarakat Kebumen. Prof. DR. Soerjono Soekanto menjelaskan

antara kebudayaan dan masyarakat serta individu bersifat saling mempengaruhi1

1

(3)

Metode Penulisan dan Penelitian

W. Lawrence Neuwman mengatakan bahwa, “Metodologi berarti

memahami keseluruhan proses penelitian termasuk konteks sosial

organisasinya, asumsi-asumsi filosofis, prinsip-prinsip etika dan dampak politik

terhadap pengetahuan baru dari penelitian. Metode mengacu pada sekumpulan

teknik tertentu yang digunakkan dalam suatu penelitian untuk memilih kasus,

mengukur dan mengamati kehidupan sosial, mengumpulkan dan

menyempurnakan data, menganalisis data dan melaporkan hasilnya. Kedua

istilah ini berkaitan erat dan saling bergantung satu sama lain”2. Tulisan ini mengikuti sejumlah prinsip-prinsip metodologis dengan menerapkan sejumlah

metode untuk mendapatkan data dan kesimpulan.

Sebagaimana dalam penelitian memiliki tujuan yang terbagi menjadi

eksplorasi dan deskripsi serta eksplanatori3, maka tulisan ini memiliki tujuan

yang bersifat eksplorasi. Sebagaimana dikatakan Neuwman bahwa, “Kita

menggunakan penelitian eksplorasi ketika subyeknya sangat baru, kita hanya

mengetahui sedikit sekali atau bahkan tidak mengetahui sama sekali dan tidak

ada yang pernah menyelidikinya”4. Adapun model pengukuran dalam penelitian ini menggunakan pengukuran kualitatif karena penelitian yang dilakukan adalah

penelitian kualitatif. Neuwman menjelaskan perihal pengukuran dalam penelitian

kualitatif, “kita mengukur dengan alternatif angka dan pengukuran merupakan

2

W. Lawrence Neuwman, Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Jakarta: PT. Index 2013, hal 2

3

Ibid., hal 43-45

4

(4)

langkah penelitian yang kurang terpisah. Karena prosesnya lebih induktif, kita

mengukur dan menciptakan konsep baru bersamaan dengan proses pengumpulan

data”5

. Dalam penelitian kualitatif lebih banyak mendasarkan pada studi pustaka

untuk memperoleh berbagai data dan mengambil kesimpulan dari proses induktif.

Dalam penelitian ini pembahasan akan dibagi menjadi lima pokok

pembahasan yang meliputi kajian perihal Bagelen dari aspek sosio historis dan

kebudayaan, Banyumas dari aspek sosio historis dan kebudayaan, pemahaman

mengenai struktur sosial, kemudian tinjauan struktur sosial masyarakat Kebumen

serta pengaruh pertemuan dua arus kebudayaan terhadap struktur sosial

masyarakat Kebumen.

Bagelen: Tinjauan Sosio Historis dan Kebudayaan

Sebelum Perjanjian Giyanti (1755), Bagelen merupakan sebuah wilayah

kekuasaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Sebagaimana

kepemimpinan politik kerajaan Jawa membagi pusat kekuasaan dalam lingkaran

konsentris sbb: Kraton, Kuthagara, Negaragung, Mancanegara, Pasisiran6, maka

Bagelen di masa Mataram merupakan kawasan Negaragung yang meliputi:

1. Daerah Bumi (Kedu sebelah barat Sungai Praga) meliputi 6.000 cacah

2. Bumi Jo (Kedu sebelah timur Sungai Progo) meliputi 6.000 cacah.

3. Bumi Jo (Kedu sebelah timur Sungai Progo) meliputi 6.000 cacah.

5

Ibid., hal 224

6

(5)

4. Siti Ageng Kiwo (sisi sebelah kiri jalan besar Pajang Demak) meliputi

7. Numbak Anyar (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai sungai

Progo) meliputi 6.000 cacah7.

Namun sejak Perjanjian Giyanti, kerajaan Mataram dibagi menjadi dua

pusat kekuasaan yaitu Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran

Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono 1 dan Kasunan Surakarta yang

dipimpin oleh Pakubuwono III. Maka wilayah Bagelen yang semula menjadi

wilayah Negaragung mengalami pergeseran secara politis dan administratif

menjadi wilayah Mancanegara dari masing-masing kedua kerajaan tersebut yang

dalam pelaksanaannya kerap tumpang tindih dikarenakan ketidakjelasan batas

masing-masing wilayah8. Berikut pembagian wilayah Bagelen paska Perjanjian

Giyanti yaitu:

1. Tanah Mahosan Dalem, yaitu tanah lungguh milik raja. Untuk

Kesultanan Yogyakarta meliputi Bapangan (Jenar), Semawung

(Kutoarjo), Ngrawa, Watulembu, Lengis (Kedungkamal), Selomanik

7

Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, Yogyakarta:Pustaka Pelajar 2010, hal 1

8

(6)

(Wonosobo), dan Semayu. Sedangkan untuk Kasunanan Surakarta

meliputi Tanggung (Cangkrep), Wala (Ambal), Panjer (Kebumen), dan

Tlaga.

2. Tanah lungguh, yaitu tanah gaduhan raja untuk para pangeran dan pejabat

kerajaan. Untuk Kasultanan Yogyakarta meliputi Loano, Blimbing

(Karanganyar), dan Rama Jatinegoro (Karanganyar). Sedangkan untuk

Kasunanan Surakarta meliputi Merden dan Kutowinangun.

3. Daerah kerja Gladak, yaitu daerah yang penduduknya dikenakan wajib

kerja di istana atau hutan. Untuk Kasultanan Yogyakarta terletak di

Selomerto dan untuk Kasunanan Surakarta terdapat di Gesikan

(Kutoarjo).

4. Tanah bagi para pemuka atau lembaga keagamaan dan penjaga makam

yang menjaga makam keramat. Penentuannya bergantung pada kebijakan

masing-masing penguasa lokal.9

Setelah kekalahan Diponegoro dalam Perang Jawa (1830), wilayah

Bagelen dijadikan Karesidenan dengan ditetapkannya Tumenggung Cokronegoro

I sebagai Bupati I oleh Gubernur Van Den Bosch. Pusat pemerintahan di

Brengkelan namun kemudian dipindahkan ke Kedung-Kebo yang kelak menjadi

Purworejo. Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah

provinsi di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia hingga tahun 1950-an.

Sebuah karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa Afdeeling (kabupaten).

Tidak di semua provinsi di Indonesia pernah ada karesidenan. Hanya di pulau

Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok dan Sulawesi saja. Biasanya ini

daerah-daerah yang penduduknya banyak. Bagelen sebagai karesidenan yang

9

(7)

sebelumnya memiliki lima kabupaten yaitu: Ketanggung (ketangong), Semawung

(Semawong), Kuto-Winangun (Koetowinangon), Remo dan Urut-Sewu

(Oeroet-Sewu), maka saat berubah status menjadi wilayah karesidenan memiliki empat

afdeeling yang terdiri dari enam kabupaten serta dua puluh tiga distrik. Afdeeling

pertama adalah Purworejo dan Kutoarjo, afdeeling kedua adalah Kebumen dan

Karanganyar, afdeeling ketiga adalah Ambal serta afdeeling keempat Ledok yang

sebelumnya disebut Urut Sewu10.

Karesidenan Bagelen dihapus pada tanggal 1 Agustus 1901 dan

digabungkan pada karesidenan Kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota

Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten. Penghapusan

karesidenan dilatarbelakangi berbagai gerakan perlawanan dari kalangan agama di

Abad XIX terhadap pemerintahan kolonialis Belanda seperti pergerakan Kiai

Imampura pada tahun 1884 dan Imam Mu’alam serta Kiai Sadrach dari kalangan

Kristen yang dicurigai melalukan pemberontakan dikarenakan jumlah

pengikutnya yang banyak11.

Sebagai wilayah yang dekat dengan Kraton, Bagelen pun memiliki

sejumlah karakteristik kebudayaannya. Kebudayaan yang dimaksudkan bukan

hanya sekedar ekspresi kesenian melainkan lebih luas dari itu. Sebagaimana

dikatakan Antropolog C. Kluckohn dalam karyanya Universal Categories of

Culture mengatakan bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur yaitu:

10

Himmayatul Ittihadiyah, Bagelen Pa ska Perang Ja wa (1830-1950), Dinamika Sosial Politik dan Ekonomi di Bekas Wilayah “Negaragung” Kasultanan Mataram Islam (Vorstenlanden), Jurnal ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012, hal 239-240

11

(8)

1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat

rumah tangga, senjata, alat produksi, transpor dsb)

2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian,

peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dsb)

3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politi, sistem

hukum, sistem perkawinan)

4. Bahasa (lisan maupun tertulis)

5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak)

6. Sistem pengetahuan

7. Religi (sistem kepercayaan)12

Kebudayaan Kraton berkembang di sekitar Kuthagara dan Negaragung

dan menghasilkan unsur-unsur kebudayaan yang terekspresi dalam wujud-wujud

sastra, kesenian, bahasa yang mencerminkan kesantunan yang tinggi. Sementara

di wilayah Mancanegara dan Pesisiran pengaruh kebudayaan keraton tidak

berakar sekuat di wilayah-wilayah Negaragung.

Banyumas: Tinjauan Sosio Historis dan Kebudayaan

Berbeda dengan Bagelen yang pernah mengalami perubahan status politik

dan administratif sebagai wilayah Negaragung Mataram kemudian Mancanegara

Yogyakarta dan Surakarta maka Banyumas sebelum ditetapkan menjadi wilayah

karesidenan merupakan wilayah Mancanegara Kilen baik di masa Mataram

maupun di masa Kasunanan Surakarta paska Perjanjian Giyanti (1755).13

12

Op.Cit., Sosiologi: Suatu Pengantar, hal 154

13

(9)

Berdirinya Banyumas sebelum menjadi wilayah karesidenan bersamaan dengan

keruntuhan Kesultanan Pajang (1582) dan naiknya Kesultanan Mataram (1588).

Di zaman Kolonial ada 12 bupati yang memerintah di Banyumas yang terdiri dari

10 bupati dari zaman Mataram dan 2 bupati dari zaman Kasunanan Surakarta14.

Tahun 1816 wilayah Banyumas dibagi menjadi dua bagian yitu

Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kabupaten Banyumas Kanoman yang

keduanya di bawah kekuasaan Wedono Bupati15. Bupati Kabupaten Banyumas

Kasepuhan diperintah oleh Adipati Cokronegoro (1816-1831) dengan wilayah

kekuasaannya meliputi, Adireja, Adipala, Purwokerto, sebagian Panjer Kebumen,

sebagian Banjarnegara. Sementara Bupati Kabupaten Banyumas Kanoman

diperintah oleh Raden Adipati Brataningrat (1816-1830) dengan wilayah

kekuasaannya meliputi, Sokaraja, sebagian Panjer, sebagian Banjarnegara.

Adapun pembentukan Karesidenan Banyumas baru ditetapkan pada tahun

1833, dengan membawahi lima kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara,

Cilacap, dan Purwokerto. Kantor Residen Banyumas dibangun di kota Banyumas

serta pejabat residennya adalah orang Belanda. Pada waktu itu, yang menjabat

bupati adalah keturunan Cakrawedana I, Tumenggung Cakrawedana II

(1830-1879).16

14

Ibid., hal 16

15

Ibid., hal 17-18

16

Ragil Armando, Dari Kadipaten ke Ka residenan (Seja rah Perkembangan Pemerintahan Banyumas dari Tahun 1800-1950, 2012

(10)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa wilayah Banyumas

memiliki status kewilayahan Mancanegara Kilen baik di masa Mataram maupun

di masa Kasunanan Surakarta paska Perjanjian Giyanti (1755). Sepanjang sejarah

Jawa, tidak pernah ada raja yang berkeraton di wilayah Banyumas. Yang ada

hanya Adipati (Bupati) Kraton yang diangkat untuk mewakili

kepentingan-kepentingan kraton di Jawa Barat (Pajajaran pada zaman Kadipaten Pasirluhur

Abad ke 14-15), Jawa Timur (Majapahit dengan Kadipaten Wirasaba I Abad

ke-15), Jawa Tengah bagian Timur (Demak, Pajang, Mataram pada zaman Kadipaten

Wirasaba II sampai Kabupaten Banyumas pada Abad ke-16-19). Wilayah

Banyumas kerap diibaratkan dengan istilah a doh ratu cedhak watu (jauh dari raja

dekat dengan batu)17.

Pemeo di atas menggambarkan kondisi geografis wilayah Banyumas yang

sekalipun subur namun termasuk wilayah pedalaman yang terisolasi oleh

pegunungan yang membentang di sepanjang utara dan selatan sehingga tidak

strategis18. Dua jalur mengapit wilayah Banyumas yaitu Pegunungan Serayu

Selatan dan Pegunungan Serayu Utara. Pegunungan Serayu Utara merupakan

sambungan dari Pegunungan Dieng di timur laut yang membujur ke arah barat.

Punjak Pegunungan Serayu Utara adalah Gunung Slamet, Gunung Pojok Telu dan

Gunung Parahu. Sementara itu Pegunungan Serayu Selatan merupakan

kepanjangan dari pegunungan Sumbing. Perbatasan antara Pegunungan Sumbing

dengan Pegunungan Serayu Selatan berupa barisan bukit-bukit terjal di wilayah

(11)

timur Banyumas. Di antara kedua pegunungan tersebut terletak daerah inti

Banyumas yang dialiri Sungai Serayu sehingga menghasilkan kesuburan bagi

lahan pertanian dan perkebunan. Mengenai kesuburan wilayah Banyumas

sekalipun dikelilingi lembah dan gunung yang menyulitkan transportasi

digambarkan oleh DR. Tanto Sukardi, M.Hum sbb: “Dengan melihat kondisi

geografis, maka dapat dinyatakan bahwa daerah inti Banyumas, merupakan

wilayah yang sangat menarik bagi pihak kolonial, yang sejak 1830 berkuasa di

daerah itu. Persa wahan yang subur dengan pengairan alami yang memadai

merupakan potensi yang sangat menjanjikan keuntungan besar, melalui

eksploitasi yang bersifat ekonomi. Sesuai dengan pertimbangan itulah, maka

Banyumas sangat tepat untuk dieksploitasi melalui kebijakkan Sistem Tanam

Paksa”19

Kondisi geografis berupa batuan pegunungan dan bentang alam serta

jauhnya wilayah Banyumas dari pusat pemerintahan dan kebudayaan Kraton

sangat berpengaruh terhadap perwatakkan dan struktur sosial masyarakat di

wilayah Banyumas. Budiono Herusatoto mendeskripsikan perwatakan

orang-orang yang tinggal di Banyumas dengan istilah lageyan (sifat seseorang atau

komunitas) yang berjumlah delapan yaitu:

1. Cowag (berbicara dengan suara keras)

2. Mbloak (suka ngomong bergaya serius, cablaka dan humoris)

3. Dablongan atau ndablong (seenaknya sendiri kalau mengritik atau

berkelakar)

19

(12)

4. Ajiban (reaksi spontan secara verbal jika mendapatkan sesuatu yang

memenuhi hasrat kenikmatan. Setara dengan seruan, asyik…)

5. Ndobos (berebut bicara saat mengeluarkan ide)

6. Mbanyol (bergurau)

7. Ndopok (omong-omong mengeluarkan uneg-uneg)20

Kondisi masyarakat Banyumas yang jauh dari pusat politik dan

pemerintahan Kraton tersebut tentu saja memiliki struktur sosial yang lebih

sederhana yang terdiri dari kalangan elit/priyayi yang memiliki peranan sebagai

pelaksana kebijakkan Kraton di tingkat kadipaten dan kalangan rakyat petani yang

hidup dari pertanian.

Berbicara mengenai perwatakan dan karakteristik masyarakat Banyumas,

lebih jauh lagi Budiono Herusatoto mengidentifikasi tokoh wayang Bawor. Tokoh

Bawor sebagai anak sulung Semar hanya ada dalam pewayangan Gagrag

Banyumasan dan Pasundan sementara dalam Gagrag Surakarta hanya dikenal

tokoh, Petruk, Gareng dan Bagong. Bawor sendiri diciptakan dari bayangan

Semar untuk menemaninya di dalam tugasnya di dunia manusia. Adapun lageyan

(sifat seseorang atau komunitas) Bawor meliputi:

1. Sabar lan narima (sabar dan menerima apada adanya dalam kehidupan

keseharian)

2. Berjiwa ksatria (jujur, berkepribadian baik, toleran)

3. Cancudan (rajin dan cekatan)

4. Cablaka (lugas dan terbuka tanpa tedeng aling-aling)21

20

(13)

Pengidentifikasian tokoh pewayangan Bawor dengan orang Banyumas

dijelaskan oleh Budiono Herusatoto sbb: “…sifat dan sikap wong banyumasan itu

adalah seperti sifat dan sikapnya Bawor, yaitu terbentuk oleh satu hal: adoh ratu

cedhak watu (jauh dari raja dekat dengan batu). Artinya, jauh dari tata

pergaulan kraton, namun hanya dekat dengan kehidupan alamiah. Bicaranya

saja bahasa Jawa kluthuk (bersahaja, asli kuno), sing pating blekuthuk (saling

menimpali adu keras seperti suara air mendidih)”22Senada dengan Budiono

Herusatoto, dalam artikelnya berjudul Konsep Panginyongan Dalam Tokoh

Bawor, Yus Wong Banyumas menyimpulkan, Tokoh Bawor dimunculkan untuk

mewakili eksistensi kebudayaan Banyumas yang merupakan percampuran

berbagai sumbu budaya, seperti budaya Jawa, Sunda, Hindu-Budha (India),

Islam, Cina, Barat dan budaya Banyumas sendiri. Memandang Bawor tak

ubahnya memandang Banyumas, sebagai sebuah kultur yang menjadi tali simpul

berbagai ragam budaya”23 .

Jika Budiono Herusatoto menjelaskan perwatakan dan struktur sosial

masyarakat Banyumas yang berorientasi pada kerakyatan dan kesetaraan dengan

mengkaji sifat-sifat perwatakan dengan istilah lageyan dan mengidentifikasi

dengan tokoh wayang bernama Bawor, maka Ahmad Tohari dan Yus Wong

Banyumas menggunakan konsep Panginyongan untuk menjelaskan karakteristik

Yus Wong Banyumas, Konsep Panginyongan Dalam Tokoh Bawor

(14)

dan struktur sosial masyarakat Banyumas. Dalam artikelnya, Yang Tak Terjamah

Hegemoni Kraton, Yus Wong Banyumas menjelaskan konsep Pangiyongan sbb:

“Penginyongan dalam tataran konsep lahir sebagai bentuk counter terhadap keberadaan priyayi di Banyumas. Kehadiran kebudayaan kraton di Banyumas

menyisakan tradisi priyayi yang menganggap diri mereka sebagai kelompok

masyarakat yang lebih santun, lebih beradab dan lebih unggul dibanding dengan

masyarakat kebanyakan. Hal ini mengakibatkan geliat wong cilik untuk mampu

eksis di tengah jagad sesra wungan (pergaulan). Mereka seakan ingin

mengukuhkan jatidiri sebagai sebuah komunitas masyarakat yang memiliki

wewa ton atau paugeran (konvensi), a dat dan tradisi yang berbeda dengan kaum

priyayi”24

Pemahaman Tentang Struktur Sosial

Struktur sosial merupakan salah satu elemen dari Tatanan Sosial (social

order). Tatanan sosial sendiri didefinisikan sebagai, “Suatu lingkungan sosial di

mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan

sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai”25. Elemen yang terkandung dalam tatanan sosial sebuah masyarakat meliputi struktur sosial dan institusi

sosial. Merujuk pada definisi Judson R. Landis dalam bukunya Sociology:

Concept and Characteristic, Parwitaningsih mendefinisikan institusi sosial

sebagai, “norma-norma, aturan-aturan dan pola -pola organisasi yang

dikembangkan di sekitar kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pokok yang

24

Yus Wong Banyumas, Yang Tak Terjamah Hegemoni Kraton

http://bumi-banyumas.blogspot.com/2013/10/yang-tak-terjamah-hegemoni-kraton.html

25

(15)

terkait dengan pengalaman masyarakat”26

. Jenis-jenis institusi sosial meliputi

institusi keluarga, institusi agama, institusi ekonomi, institusi pendidikan, institusi

hukum dll. Merujuk pada karya sosiolog terkemuka Robert K. Merton, struktur

sosial didefinisikan sebagai, “organized set of social relationship in which

members of society or group are variously implicated”(sekumpulan hubungan

sosial terorganisir dalam mana para anggota masyarakat atau kelompok

terhubung secara beragam)27

Berbeda dengan Parwitaningsih yang membagi struktur sosial dan

institusi sosial sebagai bagian dari tatanan sosial, Prof. DR. C. Dewi Wulandari

justru memasukkan institusi sosial menjadi bagian dari struktur sosial.

Menurutnya, struktur sosial ialah jalinan unsur-unsur sosial yang pokok dalam

masyarakat. Unsur-unsur sosial yang pokok tersebut meliputi:

1. Kelompok sosial

2. Kebudayaan

3. Lembaga sosial atau institusi sosial

4. Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial

5. Kekuasaan dan wewenang28

Pembahasan perihal struktur sosial, kita tidak bisa melepaskan dari dua

nama penyokong Teori Struktural Fungsional yaitu Talcot Parson dan Robert K.

26

Ibid., hal 7.11

27

Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure, New York: The Free Press 1968, p. 216

28

(16)

Merton. Dari Talcot Parson kita mengenal konsep AGIL (Adaptation, Goal

Attainment, Integration, Latency). Agar sebuah sistem sosial dapat lestari maka

suatu sistem harus melaksanakan keempat fungsi di atas. Adaptasi (adaptation),

bermakna sebuah sistem harus beradaptasi dengan lingkungannya dan

mengadaptasikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. Pencapaian

tujuan (goal attainment), bermakna sebuah sistem harus mendefinisikan dan

mencapai tujuannya. Integrasi (integration), bermakna bahwa sebuah sistem

harus mengatur antar hubungan bagian-bagian dari komponennya. Pemeliharaan

pola (latency), bermakna sebuah sistem harus menyediakan, memelihara dan

memperbarui baik motivasi individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan

dan menopang motivasi itu. Keempat fungsi yang meno[ang kelestarian sistem

sosial masyarakat tersebut ditopang oleh empat sistem tindakan yaitu: Organisme

behaviora l yaitu sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan

menyesuaikan dan mentransformasi dunia eksternal. Sementara sistem

kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mendefinisikan

tujuan-tujuan sistem dan memobilisasi sumber-sumber daya untuk mencapainya.

Adapun sistem sosial menangani fungsi integrasi dengan mengendalikan

bagian-bagian komponennya. Selanjutnya sistem budaya melaksanakan fungsi latensi

dengan menyediakan norma-norma dan nilai-nilai bagi para aktor yang

memotivasi mereka untuk bertindak 29.

Sementara dari Robert K. Merton kita menerima konsep mengenai

disfungsi, non fungsi, fungsi nyata dan fungsi laten serta konsep mengenai

anomie. Dengan istilah “disfungsi” dimaksudkan, “Sebagaimana struktur

29

(17)

struktur atau lembaga -lembaga dapat berperan dalam pemeliharaan

bagian-bagian lain sistem sosial, mereka juga dapat mempunyai konsekuensi-konsekunsi

negatif untuknya”30. Mengenai istilah “non fungsi” dimaksudkan, “konsekkuensi

-konsekuensi yang benar-benar tidak relevan dengan sistem yang

dipertimbangkan”31. Mengenai istilah “fungsi nyata” dan “fungsi laten” dimaksudkan sebagai fungsi yang disengaja dan fungsi yang tidak disengaja.

Merton memberikan contoh perihal perbudakan di Amerika Selatan memiliki

fungsi nyata meningkatkan produktifitas ekonomi Selatan sementara fungsi

latennya adalah perbudakkan justru meningkatkan status sosial kulit putih di

Selatan baik yang kaya maupun yang miskin32. Konsep yang tidak kurang penting

adalah “anomie” yang didefinisikan sebagai, “Anomie is then conceived as a breakdown in the cultural structure, occurring particularly when there is an acute

disjunction between the cultural norms and goals and the socially structured

capacities of members of the group to act in accord with them” (anomie lantas dianggap sebagai gangguan dalam struktur kebudayaan dan terjadi khususnya saat

ada pemisahan atau kesenjangan antara norma budaya dan tujuan dan kemampuan

struktur sosial para anggota atau kelompok dalam menyesuaikan dengan norma

kebudayaan tersebut)33.

(18)

Struktur Sosial Masyarakat Kebumen

Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang terletak di bagian

selatan Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Purworejo di

sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, Kabupaten Cilacap dan

Banyumas di sebelah barat serta Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara di

sebelah utara. Secara geografis Kabupaten Kebumen terletak pada 7°27' - 7°50'

Lintang Selatan dan 109°22' - 109°50' Bujur Timur. Kabupaten Kebumen secara

administratif terdiri dari 26 kecamatan dengan luas wilayah sebesar 128.111, 50

hektar atau 1.281,115 km2, dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah

pantai dan perbukitan, sedangkan sebagian besar merupakan dataran rendah34.

Jumlah keseluruhan penduduk Kebumen pada tahun 2013 sebesar

1.176.662 jiwa35. Jika konsep struktur sosial dicirikan pada adanya stratifikasi

sosial dan institusi sosial maka pemetaan struktur sosial masyarakat Kebumen

melalui stratifikasi sosial meliputi 16 jenjang yaitu:

1. Kepala Daerah

2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

3. Birokrasi (PNS di lingkungan Pemkab) sebanyak 14.493 orang36

4. Notaris sebanyak 1737

34Kebumen Dalam Angka 2013

, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kebumen (Bapeda) dan Badan Pusat Statistik (BPS) 2014, hal 3-4

(19)

5. Aparat Pengadilan Negeri sebanyak 37 jiwa38

6. Aparat Pengadilan Agama sebanyak 23 jiwa39

7. Tenaga Kesehatan sebanyak 3200 jiwa40

8. Dosen (PTN sebanyak 13 jiwa41 dan PTS sebanyak 309 jiwa42)

9. Pengacara sebanyak 19 orang43

10. Militer sebanyak 567 orang44

11. POLRI sebanyak 900 orang45

12. Guru (SD negeri sebanyak 7.155 jiwa46, SD swasta sebanyak

26947, MI negeri sebanyak 92 jiwa48, MI swasta sebanyak 980

jiwa49, SMP negeri sebanyak 1.950 jiwa50, SMP swasta sebanyak

(20)

807 jiwa51, MTs Negeri sebanyak 517 jiwa52, MTs swasta

sebanyak 1.190 jiwa53, SMU negeri sebanyak 56754, SMU swasta

sebanyak 168 jiwa55, SMK negeri sebanyak 466 jiwa56, SMK

swasta sebanyak 1.575 jiwa57, MA negeri sebanyak 240 jiwa58,

MA swasta sebanyak 230 jiwa59

13. Pengusaha (baik pengusaha kecil dan besar)

14. Nelayan

15. Buruh

16. Petani

Lapisan sosial terbanyak di wilayah Kabupaten Kebumen masih di

dominasi petani dan buruh. Data statistik mengatakan, “Dari 869.636 jiwa

terlihat angkatan kerja sebesar 69,96% dan bukan angkatan ker ja sebesar

30,04%. Dari penduduk angkatan kerja yang bekerja sebanyak 97,91% dan yang

(21)

2,09% merupakan pencari kerja. Dari jumlah penduduk yang bekerja, 43,89%

diantaranya bekerja di sektor pertanian, 16,70% bekerja industri pengolahan,

16,58 bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran, 12,81% bekerja di

sektor jasa -jasa serta sisanya di sektor konstruksi, angkutan dan komunikasi dan

sektor lainnya”60 .

Pengaruh Arus Kebudayaan Banyumas dan Bagelen Terhadap Struktur Sosial

Karena Kebumen (Panjer, Kutowinangun, Karanganyar) pernah mejadi

wilayah-wilayah administratif dari Bagelen yang mewakili kebudayaan

Negaragung dan Banyumas yang mewakili kebudayaan Mancanegara Kilen,

maka terciptalah sub kultur perpaduan kebudayaan mapan sebelumnya yaitu

Banyumas dan Bagelen sehingga menghasilkan keunikkan dalam logat

berbahasa antara timur sungai Luk Ulo dan barat sungai Luk Ulo. Selengkapnya

Mustolih dalam artikelnya, Masyarakat Kebumen Masih Cari Jati Dirinya

mendeskripsikan sbb: “Dari logat bahasanya, Kebumen terbagi dua. Sebelah

timur aliran sungai Luk Ulo berbahasa dengan didominasi vokal ''o'', dan

mbandek (poko'e). Sementara di sebelah barat aliran sungai Luk Ulo didominasi

vokal ''a'' dan ''k'' medok, (pokoke). Sedangkan, di antara aliran sungai Luk Ulo

dan aliran Sungai Kedungbener bahasanya campur bawur, ada yang memakai

poko'e, ada yang memakai pokoke. Sedangkan sebelah utara Gunung Krakal

masyarakat lebih fasih berbicara dengan logat Wonosoboan dengan

memanjangkan fonem akhir. Kebiasaan dan adat istiadat di Kebumen juga

beragam, penduduk yang tinggal di sebelah barat sungai Luk Ulo lebih suka

60

(22)

nanggap calung, dan eblek, sedangkan penduduk yang tinggal di sebelah timur

sungai Luk Ulo lebih suka nanggap wayang kulit atau ndolalak untuk acara

resepsi. Orang Kebumen yang tinggal di sebelah timur aliran sungai Luk Ulo

disebut wong wetan kali, di antaranya Kecamatan Kutowinangun, Ambal, dan

Mirit. Mereka lebih terkesan mriyayi seda ng di Kecamatan Padureso,

Poncowarno dan Alian lebih kental dengan logat Wonosoboan. Sebaliknya, orang

Kebumen yang tinggal di sebelah barat aliran Sungai Luk Ulo disebut wong

kulon kali, di antaranya Kecamatan Pejagoan, Klirong, Sruweng, Petanahan,

Kuwarasan, Gombong, yang lebih terkesan merakyat, meskipun tidak

seluruhnya”61 .

Muara pertemuan dua arus budaya (Bagelen dan Banyumas) menjadikan Kebumen sebagai wilayah “jepitan dua arus kebudayaan mapan”62

yaitu Bagelen

yang mriyayi dan Banyumas yang merakyat. Tidak mengherankan ketika

masyarakat Kebumen merasa bahwa identitas kebudayaannya menjadi tidak

begitu tegas dan jelas, itu semua dikarenakan Kebumen merupakan wilayah

pertemuan arus kebudayaan dan menjadi wilayah jepitan dua kebudayaan yang

saling bertolakbelakang. Ketidakjelasan identitas kebudayaan (absurditas

kebudayaan) ini kerap muncul dalam ungkapan kalimat yang mengindikasikan

pencarian jati diri baik kebudayaan, kesenian, kebahasaan, pakaian adat dll.

Jika dilihat dari indikator logat kebahasaan dan lageyan (sifat seseorang

atau komunitas), memang masyarakat Kebumen merupakan bagian dari arus

kebudayaan Banyumas yang kental dengan bahasa Ngapak-ngapak dan budaya

61

Mustolih Brs, Masyarakat Kebumen Masih Cari Jati Dirinya http://www.suaramerdeka.com/harian/0605/03/ked10.htm

62

(23)

Cablakanya. Namun itu hanya berlaku di wilayah yang sudah merapat dengan

wilayah Banyumas dari arah Kulon Kali (sekalipun pemilahan ini tidak berlaku

tegas di era modern ini). Sementara di wilayah lain khususnya Wetan Kali,

indikator kebahasaan dan lageyan (sifat seseorang atau komunitas) menujukkan

ciri kebudayaan Bagelen yang dekat dengan Kraton yang mriyayi. Keterbelahan

karakteristik inilah yang nampaknya menyebabkan masyarakat Kebumen tidak

teridentifikasi keaslian budayanya dan cenderung abu-abu dan kompromistik dalam perilaku sosialnya. Di Kebumen hampir jarang ditemui pemikiran-pemikiran dan perilaku ekstrim yang dapat direspon positip oleh

masyarakat secara keseluruhan. Perbedaan pendapat sebagai hasil berfikir kritis

kerap diharmonisasikan sehingga jangan sampai terjadi konflik berkepanjangan

baik konflik horisontal maupun konflik vertikal. Hasilnya yang nampak di

permukaan adalah bentuk perilaku yang stagnan dan tidak dinamis serta lambat

merespon perubahan.

Namun demikian, sekalipun Kebumen menjadi wilayah pertemuan dua

arus kebudayaan atau jepitan kebudayaan, namun secara historis dan kultural,

karakteristik masyarakat Kebumen sama-sama memiliki status historis yang sama

sejak zaman Mataram yaitu Mancanegara Kilen (sekalipun di era kesunanan dan

kesultanan Kebumen pernah menjadi wilayah Bagelen yang adalah Negaragung)

yang berlaku juga pemeo untuk masyarakat Banyumasan yaitu adoh ratu cedhak

watu (jauh dari raja dekat dengan batu). Dan secara kultural, masyarakat

Kebumen mewarisi budaya Panginyongan yang merupakan identitas lokal

Banyumasan dimana budaya Panginyongan pun mencerminkan budaya

kerakyatan, anti struktur, terbuka, blakasuta, cablaka, egaliter (kesetaraan).

(24)

Nilai-Nilai Kebumen mengatakan bahwa masyarakat Kebumen merupakan bagian

dari keluarga besar Wong Banyumas yang bukan berakar pada kebudayaan Jawa

Mataraman melainkan berakar pada kebudayaan Jawa kuno yang meninggalkan

monumen besar berupa candi Borobudur (Abad IX-X Ms). Nilai-nilai budaya

pembuat candi Borobudur yang beragama budaya meninggalkan warisan nilai

budaya berupa karakter kesetaraan (egalitarian), orientasi kerakyatan (demokrasi),

keterusterangan dan kejujuran (transparansi) serta keyakinan terhadap eksistensi

Tuhan Yang Esa63

Gambar 1.

Pengaruh Budaya Banyumas dan Budaya Bagelen

Terhadap Struktur Sosial Masyarakat Kebumen

63

(25)

Struktur Sosial Masyarakat

Kebumen Budaya Bagelen Sebagai

Wilayah Negaragung:

1. Struktural 2. Kraton

3. Kehalusan Bahasa Budaya Banyumas Sebagai

Wilayah Mancanegara:

1. Anti Struktur 2. Egaliter 3. Kerakyatan 4. Cablaka

Stratifikasi Sosial Institusi Sosial

Nilai dan Norma Sosial

Hasil Pertemuan Kebudayaan: Percampuran logat bahasa, Dualisme Kebudayaan ,

(26)

Kesimpulan

Struktur sosial masyarakat Kebumen memiliki karakteristik yang khas

yang meliputi: keunikkan dalam logat bahasa, mengalami absurditas identitas

kebudayaan, kompromistik serta anti struktur. Karakteristik khas tersebut

merupakan konsekwensi logis pertemuan dua arus kebudayaan dalam hal ini

kebudayaan Bagelen yang mriyayi dan kebudayaan Banyumas yang merakyat.

Pemahaman terhadap karakteristik khas struktur sosial masyarakat

Kebumen diperlukan agar dalam setiap penetapan kebijakkan yang berkaitan

dengan sosial kemasyarakatan melibatkan pengetahuan tentang struktur sosial dan

variabel kebudayaan yang turut mempengaruhi dan membentuk struktur tersebut

sehingga berbagai kebijakkan tidak menggangu tatanan sosial dan keseimbangan

dalam struktur sosial tersebut.

Daftar Pustaka

Buku:

1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kebumen (Bapeda)

dan Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), Kebumen Dalam Angka 2013

2. Herusatoto, Budiono (2008), Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan

Watak, Yogyakarta: LkiS

3. Murtono, S., (1985), Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa

Lampau, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

4. Merton, Robert K. (1968), Social Theory and Social Structure, New

York: The Free Press

5. Margana (2010), Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874,

(27)

6. Neuwman, W. Lawrence (2013), Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Jakarta: PT. Index

7. Parwitaningsih dkk, Pengantar Sosiologi, Tangerang: Universitas

Terbuka 2009, hal 7.4

8. Penadi, Radix (1993), Menemukan Kembali Jati Diri Bagelen: Dalam

Rangka Menjadi Hari Jadi, Purworejo, Lembaga Study dan Pengembangan Sosial Budaya

9. Ritzer, George (2012) Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Terakhir Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

10. Soekanto, Soerjono (2012), Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Raja

Grafindo Persada

11. Sukardi, Tanto (2014) Tanam Paksa di Banyumas: Kajian Mengenai

Sistem, Pelaksanaan dan Dampak Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

12. Wulansari, C. Dewi (2009), Sosiologi: Konsep dan Teori, Bandung: PT.

Refika Aditama Jurnal:

1. Ittihadiyah, Himmayatul (2012), Bagelen Paska Perang Jawa

(1830-1950), Dinamika Sosial Politik dan Ekonomi di Bekas Wilayah

“Negaragung” Kasultanan Mataram Islam (Vorstenlanden), Jurnal ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2

2. Santosa, Jarot Heru (2013) Seni Dholalak Purworejo Ja wa Tengah:

(28)

Makalah:

1. Tohari, Ahmad (2014), Kebumen Mewarisi Budaya Masyarakat Tanpa

Kasta, makalah disampaikan pada seminar Menggali Nilai-Nilai Kebumen, Aula Sekda Kebumen

Internet:

1. Armando, Ragil (2012), Dari Kadipaten ke Karesidenan (Sejarah

Perkembangan Pemerintahan Banyumas dari Tahun 1800-1950. Diunduh 1 November 2015 dari:

http://pedangsangmujahid.blogspot.com/2012/11/vbehaviorurldefaultvml o.html

2. Banyumas, Yus Wong (2013), Konsep Panginyongan Dalam Tokoh

Bawor. Diunduh 1 November 2015 dari:

http://bumi-banyumas.blogspot.com/2013/10/konsep-penginyongan-dalam-tokoh-bawor.html

3. __________________ (2013), Yang Tak Terjamah Hegemoni Kraton.

Diunduh 1 November 2015 dari:

http://bumi-banyumas.blogspot.com/2013/10/yang-tak-terjamah-hegemoni-kraton.html

4. Mustolih Brs (2007), Masyarakat Kebumen Masih Cari Jati Dirinya .

Diunduh 1 November 2015 dari:

Referensi

Dokumen terkait

Pola wujud, tujuan, dan genre wacana grafiti bak truk dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing yang akan dideskripsikan menyangkut beberapa gejala,

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa melalui penerapan model pembelajaran Student Team Achievement Division ( STAD ) berbantuan Word Square dapat

Begitu pula halnya dengan proses penyidikan tindak pidana illegal logging yang tidak hanya melibatkan POLRI sebagi penyidik tetapi juga melibatkan Penyidik Pegawai Negri

Perilaku membolos di SMKN 2 Malang dilakukan siswa yang sengaja tidak masuk sekolah dan tidak menghadiri pelajaran dikelas tanpa meminta ijin kepada guru yang mengajar

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwaproporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam berpengaruh nyata (P<0,05)

Produksi Minuman Sari Apel... Pusat

Pembiayaan musyarakah dilakukan antara nasabah dan Bank Muamalat dalam suatu usaha dimana masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan memberikan kontribusi sesuai kebutuhan

So the writer wants to use reader response criticsm to analyze characteristics of the main character Oliver Twist in Charles Dickens ’s , Oliver Twist because