• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transportasi Publik yang Berkesetaraan G

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Transportasi Publik yang Berkesetaraan G"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 Transportasi Publik yang Berkesetaraan Gender dan Sosial

Purwanti Asih Anna Levi

Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjamin kesetaraan bagi warga negara di transportasi publik. Namun fakta-fakta empiris menunjukkan transportasi publik di Indonesia masih menghadapi isu diskriminasi gender dan sosial. Diskriminasi gender dan sosial di transportasi publik berdampak signifikan pada kesenjangan akses, partisipasi, manfaat, dan kontrol masyarakat dalam pembangunan. Paper ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana cara mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial. Paper ditulis secara deskriptif-kualitatif berdasarkan data-data yang diperoleh dari observasi dan studi literatur, dan dikaji berdasarkan perspektif gender. Pembahasan menunjukkan bahwa regulasi, manajemen, dan infrastruktur transportasi publik yang tidak memiliki keberpihakan pada kelompok sosial termarginal merupakan penyebab terjadinya diskriminasi gender dan sosial di transportasi publik. Untuk mewujudkan kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik diperlukan upaya-upaya afirmatif dari semua stakeholder secara inklusif dan komprehensif. Pembahasan menyimpulkan bahwa transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial akan menjadi salah satu pull factor yang dapat menarik masyarakat untuk beralih ke angkutan umum, mendukung mitigasi permasalahan transportasi, serta mendukung keberlanjutan pembangunan.

Kata kunci: diskriminasi, gender, kelompok sosial termarginal, kesetaraan gender, kesetaraan sosial, transportasi publik

BAB I. LATAR BELAKANG MASALAH

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjamin kesetaraan bagi warga negara di transportasi publik. Namun dalam realitanya transportasi publik di Indonesia masih menghadapi isu diskriminasi gender dan sosial. Isu tersebut terlihat dari masalah-masalah transportasi publik yang dalam paper ini dikelompokkan berdasarkan 6 (enam) aspek standar pelayanan minimal angkutan umum yang meliputi: keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan.

(2)

2 (2011), dan 29.544 jiwa (2012) atau rata-rata 100 jiwa per hari. Berdasarkan fenomena tersebut WHO (1990) menyatakan kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia dan diprediksikan pada tahun 2020 akan menduduki peringkat ketiga penyebab kematian. Diperkirakan kerugian negara akibat kecelakaan lalu lintas mencapai Rp. 205 - 220 Triliun atau 2,9 - 3,1% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. (RUNK Jalan, 2011).

Komnas Perempuan (2011) mencatat di Indonesia setiap hari sedikitnya ada 4 (empat) perempuan yang menjadi korban kekerasan di ruang publik, yang meliputi pencabulan, percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, perampokan, dan bahkan pembunuhan. Data Komnas Perempuan tahun 1998-2011 menunjukkan 22.284 kasus kekerasan seksual terjadi di ruang publik, termasuk di angkutan umum dan jalan. Kasus tersebut merupakan urutan kedua terbanyak dari semua kasus kekerasan seksual yang mencapai 93.960 kasus. Fenomena kekerasan di angkutan umum menunjukkan bahwa aspek keamanan pada angkutan umum belum mendapat perhatian serius dari stakeholder

transportasi publik. Keamanan dan keselamatan pengguna ruang publik –termasuk penumpang angkutan umum– masih dianggap hanya sebagai tanggung jawab pribadi (Maam Lumanglas 2008; Komnas Perempuan 2011).

Pengguna jasa transportasi publik juga belum dapat menikmati kenyamanan. Hasil observasi dan pemberitaan di berbagai media massa menunjukkan angkutan umum seringkali diisi penumpang melebihi kapasitas kendaraan, sehingga penumpang harus berdesak-desakan dan tidak ada kepastian memperoleh tempat duduk meskipun membayar dengan tarif penuh. Kondisi ini menimbulkan kerawanan kecelakaan, pelecehan seksual terhadap penumpang perempuan, pencopetan, dsb. Pengemudi angkutan umum tidak jarang berkebut-kebutan saling menyalip antar angkutan umum untuk memperebutkan calon penumpang tanpa memperhatikan kenyamanan dan keselamatan.

(3)

3 Transportasi publik di Indonesia juga belum memperhatikan aspek kesetaraan dalam layanannya. Menurut data WHO sampai tahun 2002, sebanyak 3% - 5% dari 210 juta penduduk Indonesia atau sekitar 10,5 juta orang adalah difabel. Namun hasil observasi menunjukkan bahwa sarana dan prasarana transportasi publik yang ada belum dapat mengakomodasi kebutuhan spesifik mereka yang berketerbatasan fisik. Kondisi trotoar yang buruk dan tidak dapat diakses pemakai kursi roda; tingginya anak-anak tangga jembatan penyeberangan; buruknya kondisi lampu penerangan di jembatan penyeberangan; tingginya pijakan kaki dan lantai bis; tempat duduk angkota yang terlalu pendek; perilaku penumpang yang merokok seenaknya tanpa memperhatikan kepentingan penumpang lain; serta minimnya toilet yang dapat diakses pemakai kursi roda di terminal/stasiun menunjukkan minimnya perhatian, fasilitas, dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik kelompok sosial termarginal seperti penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, perempuan hamil, dan orang sakit baik di angkutan umum, fasilitas pendukung, maupun fasilitas penunjangnya.

Masalah lain yang dihadapi pengguna jasa angkutan umum adalah belum adanya keteraturan. Permasalahan ini terlihat dari pola rute angkutan umum yang belum sesuai kebutuhan pengguna jasa sehingga harus terjadi transfer beberapa kali; tidak adanya jadwal keberangkatan yang tetap; headway yang tidak teratur; dan waktu sampai ke tempat tujuan

yang tidak dapat dipastikan karena angkutan umum sering “mengetem” (parkir di suatu

tempat menunggu calon penumpang). Sebagai akibatnya pengguna jasa angkutan umum terpaksa harus mengalokasikan waktu yang lebih banyak untuk perjalanan, mengalami penurunan kualitas kerja dan kualitas kesehatan akibat kelelahan di perjalanan, dan kehilangan waktu untuk interaksi sosial dengan keluarga dan lingkungan (Hendratno, 2009).

(4)

4 sebagian kebutuhan-kebutuhan hidupnya tidak dapat terpenuhi. Sedangkan dari aspek lingkungan, pertambahan jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan emisi gas rumah kaca, polusi udara, gangguan suara kendaraan (kebisingan), kemacetan, serta mengurangi daya tampung jalan. (Setijowarno, 2013).

Berdasarkan fakta-fakta empiris tersebut di atas disimpulkan bahwa transportasi publik di Indonesia belum responsif terhadap tuntutan kesetaraan gender dan sosial. Kondisi ini berdampak negatif pada pembangunan karena keberlanjutan pembangunan suatu kota atau negara bergantung pada kondisi sistem transportasi, khususnya transportasi publik. Bagi kelompok sosial termarginal keterbatasan akses, partisipasi, manfaat, dan kontrol terhadap transportasi publik berdampak signifikan pada kehidupan mereka secara sosial, ekonomi, dan politik. Secara sosial, mempengaruhi relasi interpersonal dan kualitas hidup. Secara ekonomi, partisipasi pada kegiatan ekonomi berkurang, produktivitas rendah, penghasilan rendah, dan investasi juga rendah. Kondisi ini berimplikasi pada kemiskinan. Dan secara politik, mempengaruhi partisipasi dalam proses demokrasi. (Nandita Bhatla, tanpa tahun). Selain itu, akses perempuan terhadap komunitas yang lebih besar, layanan publik, pendidikan dan peluang kerja menjadi terbatasi (Cowichan Women against Violence Society 2002 dalam Lambrick & Rainero 2010).

(5)

5 BAB II. PEMBAHASAN

A. DIMENSI GENDER DAN SOSIAL DALAM TRANSPORTASI PUBLIK

Transportasi merupakan perpindahan orang atau barang menggunakan kendaraan dan/atau lainnya, di antara tempat-tempat yang terpisah secara geografis (Steenbrink, 1974). Selama ini transportasi dianggap netral gender karena layanan atau infrastruktur transportasi dianggap menguntungkan bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan secara merata. Namun, survei dan bukti statistik menunjukkan bahwa penggunaan transportasi antara laki-laki dan perempuan sering buta gender atau bias gender (Margarida Queirós & Nuno Marques da Costa, 2012; Kementerian Perhubungan RI, 2010).

Selama beberapa tahun terakhir banyak akademisi telah membahas hubungan gender dan transportasi. Pada 1990-an diakui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda terhadap layanan transportasi dan biasanya intervensi di transportasi tidak menjawab kebutuhan perempuan. Selanjutnya pada pertengahan 1990-an mulai gencar disuarakan adanya kesenjangan akses dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan di transportasi. (Margarida Queirós & Nuno Marques da Costa, 2012).

Ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi perbedaan perempuan dan laki-laki dalam penggunaan transportasi, yaitu: a) faktor sosial dan ekonomi, b) perbedaan fisik, c) kekuasaan dan kerentanan, dan c) psikologis (Hamilton et.al., 2005).

a) Faktor Sosial dan Ekonomi

Perempuan memiliki peran ganda, yaitu peran domestik mengurus rumah tangga, anak, anggota keluarga yang sakit, orang usia lanjut, dsb dan peran publik sebagai pencari nafkah. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang hanya bertanggung jawab sebagai pencari nafkah.

(6)

6 Sementara itu laki-laki rata-rata memiliki lebih banyak sumber daya keuangan daripada perempuan karena laki-laki lebih banyak mendapat peluang bekerja di bidang manajerial dengan pendapatan yang lebih tinggi (Hurrell 2005 dalam Hamilton et.al. 2005).

Perbedaan peran gender ini juga menimbulkan perbedaan pola perjalanan. Pola perjalanan perempuan antara lain: 1) perempuan lebih banyak melakukan perjalanan pada jam sibuk (peak hours) seperti mengantar dan menjemput anak ke/dari sekolah, berbelanja, mengantar anggota keluarga yang sakit ke layanan kesehatan, pergi ke tempat bekerja, dsb; 2) perempuan menghindari melakukan perjalanan di malam hari; 3) jarak perjalanan perempuan lebih pendek dibandingkan perjalanan laki-laki; 4) perempuan sering melakukan perjalanan berantai dari satu tujuan dilanjutkan ke tujuan lain (trip chaining), dan 5) dibanding laki-laki setiap hari perempuan lebih banyak melakukan perjalanan, tetapi jaraknya lebih pendek. (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011).

Perbedaan pola perjalanan dan sumber daya keuangan yang dimiliki mempengaruhi pemilihan moda transportasi. Laki-laki cenderung lebih mampu membeli kendaraan pribadi, sedangkan perempuan cenderung memilih menggunakan angkutan umum, terutama yang murah (affordable).

Untuk memenuhi kebutuhan transportasi yang murah, beberapa negara seperti Inggris dan Swedia menyediakan subsidi 50% dari tarif angkutan umum bagi anak-anak, orang berpendapatan rendah, dan orang berusia 60 tahun ke atas (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011). PT. Kereta Api Indonesia memberikan diskon 20% bagi manusia usia lanjut yang telah memiliki KTP seumur hidup dan anak-anak usia kurang dari 3 tahun dikenakan tarif 10% dari harga tiket dewasa.

b)Faktor Perbedaan Fisik

(7)

7 Beberapa kota dan negara mulai memperhatikan perbedaan fisik perempuan dan laki-laki. Di London, pintu bis lebih dibuat lebar dan lantai bis dibuat lebih rendah dari sebelumnya agar lebih mudah diakses perempuan hamil, manusia usia lanjut, dan pemakai kursi roda (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011).

c) Faktor Kekuasaan dan Kerentanan

Perempuan, anak-anak, manusia usia lanjut, dan orang berketerbatasan fisik lebih rentan terhadap kecelakaan, pelecehan, kekerasan seksual dan kriminalitas di ruang publik daripada laki-laki. Fenomena kekerasan di ruang publik, termasuk di angkutan umum, mempengaruhi pola perjalanan perempuan (Loukaitou-Sideris 2008; Schulz dan Gilbert 2000 dalam Amy Dunckel-Graglia & Suny Stony Brook 2013). Misalnya perempuan cenderung menghindari melakukan perjalanan pada malam hari dan menghindari menunggu angkutan umum di tempat yang gelap.

Beberapa kota dan negara telah menyadari pentingnya menyediakan transportasi publik yang ramah perempuan. Di Montreal Canada pada tahun 1992 dibentuk Komite Keamanan untuk Perempuan Perkotaan (Women’s Urban Security Committee) yang bertujuan untuk mencari cara untuk meningkatkan akses dan keamanan bagi perempuan terhadap angkutan umum mengingat perempuan merupakan pengguna utama angkutan umum. Amerika Serikat, Canada dan London memasang CCTV di sarana dan prasarana transportasi publik, lampu penerangan ruang publik yang memadai, dan melakukan advokasi publik untuk meningkatkan kesadaran petugas stasiun, pengemudi, dan penumpang. (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011). Mexico City menyediakan angkutan umum khusus bagi perempuan berupa bis dan taxi yang dicat warna pink (Amy Dunckel-Graglia & Suny Stony Brook, 2013). PT. Kereta Api Indonesia sejak 19 Agustus 2012 menyediakan gerbong khusus bagi perempuan di KRL Jabodetabek yang dicat warna pink untuk membedakan dengan gerbong lain.

d)Faktor Psikologis

(8)

8 dapat memperoleh kebebasan dalam ruang dan waktu. Laki-laki juga menganggap mobil pribadi sebagai simbol maskulinitas dan merepresentasikan identitas mereka. Sebaliknya, perempuan lebih melihat mobil secara fungsional (Margarida Queirós & Nuno Marques da Costa, 2012).

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DISKRIMINASI GENDER DAN SOSIAL PADA TRANSPORTASI PUBLIK

Pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan untuk menjamin kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik, antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan MOU antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Perhubungan Tahun 2011 tentang Pengarusutamaan Gender dan Pengarusutamaan Hak Anak di Bidang Perhubungan. Namun hingga saat ini masyarakat belum dapat merasakan adanya kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik. Hal ini disebabkan adanya beberapa kendala antara lain:

Aspek Regulasi:

 Kurangnya political will pemerintah dalam penegakan hukum.

 Lemahnya pengawasan dan evaluasi pemerintah terhadap implementasi kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan responsif gender yang telah dibuat.

 Kurangnya tindakan korektif terhadap kebijakan yang kurang mendukung terwujudnya kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik.

 Kurangnya koordinasi antar kementerian. Ini terlihat dari kasus Kementerian Perindustrian dengan program mobil murah, Kementerian Perhubungan dengan program pengurangan kendaraan pribadi dan penambahan angkutan umum massal, dan Kementerian Keuangan yang akan melaksanakan program pengurangan pajak untuk mobil murah (Metro TV, 16 September 2013).

Aspek Manajemen:

(9)

9  Rendahnya kualitas sumber daya manusia sehingga belum mampu melakukan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pengarahan (directing) transportasi publik yang inklusif secara komprehensif.

 Kurangnya pelibatan perempuan dalam pembuatan keputusan sistem transportasi publik sehingga kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman perempuan tidak dapat teridentifikasi dan terakomodasi.

 Kurangnya advokasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu diskriminasi terhadap kelompok sosial termarginal.

 Kurangnya data terpilah berdasarkan jenis kelamin di bidang transportasi.

Aspek Infrastruktur:

 Sarana dan prasarana transportasi publik umumnya didesain dengan perspektif laki-laki, sesuai dengan kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman laki-laki tanpa memperhitungkan keberagaman kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman pengguna jasa transportasi publik yang lain.

C. MENGAPA INDONESIA PERLU TRANSPORTASI PUBLIK YANG BERKESETARAAN GENDER DAN SOSIAL?

Transportasi memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial dan dapat menjadi katalisator kuat untuk keberlanjutan melalui penyediaan interkoneksi, pembelajaran, dan pengembangan yang merupakan elemen yang penting untuk pemberdayaan perempuan dan kelompok sosial termarginal lainnya (http://www.un.org/esa/dsd/resources/res_docucsd_18.shtml).

Mengingat pentingnya peran transportasi dalam keberlanjutan pembangunan, Kementerian Perhubungan RI (2010) menegaskan bahwa diskriminasi gender di sektor transportasi akan meminggirkan salah satu jenis kelamin dalam proses pembangunan yang mengakibatkan kesenjangan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam pembangunan.

(10)

10 Kesenjangan gender dalam pembangunan diukur dengan Gender Inequality Index (GII) yang diperkenalkan oleh United Nations Development Programmes (UNDP) pada tahun 2010. UNDP mendefinisikan GII sebagai indeks komposit yang menunjukkan disparitas gender dalam suatu negara melalui 3 dimensi yaitu: 1) kesehatan reproduksi, yang diukur dengan indikator rasio kematian ibu melahirkan dan tingkat kehamilan remaja perempuan; 2) pemberdayaan, yang diukur dengan indikator pembagian kursi legislatif dan pencapaian pendidikan tingkat menengah pertama dan menengah atas oleh masing-masing jenis kelamin; dan 3) aktivitas ekonomi, yang diukur dengan indikator angka partisipasi di pasar angkatan kerja (labor market) dari masing-masing jenis kelamin.

UNDP melaporkan GII Indonesia pada tahun 2012 menduduki ranking ke-106 dari 148 negara. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lain seperti Philippines yang menduduki ranking ke-77 dan China yang menduduki ranking ke-35 dari 148 negara.

Untuk mengurangi kesenjangan gender dan sosial dalam pembangunan diperlukan upaya-upaya afirmatif dalam semua sektor pembangunan termasuk sektor transportasi, karena transportasi dapat meningkatkan produktivitas perempuan dan mempromosikan kesetaraan gender. Selain berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi, transportasi juga berperan penting dalam keberkelanjutan pembangunan secara sosial dengan memperluas akses pada layanan kesehatan dan pendidikan, pekerjaan, memperbaiki pertukaran informasi dan mempromosikan kohesi sosial (World Bank,1999).

D. BAGAIMANA CARA MEWUJUDKAN TRANSPORTASI PUBLIK YANG BERKESETARAAN GENDER DAN SOSIAL?

Transport is not a technical, but a political issue” (Enrique Peñalosa Londoño, mantan walikota Bogotà). Menurut Enrique Peñalosa Londoño transportasi bukanlah isu teknik, tetapi isu politik. Kondisi sistem transportasi suatu kota atau negara mencerminkan kemauan politik dan perspektif pemerintahnya. Sepanjang pemerintah memiliki kemauan politik keterbatasan sumber daya tidak akan menjadi penghalang untuk mewujudkan sistem transportasi yang baik dan inklusif. Ini telah dibuktikan oleh Kota Bogotà dan Kota Curitiba yang terletak di negara berkembang dengan segala keterbatasannya, sama dengan Indonesia.

(11)

11 dan laki-laki diberi kesempatan yang sama untuk memberi usulan pada perencanaan, formasi dan administrasi, dan nilai-nilai perempuan dan laki-laki dipertimbangkan secara setara (Merritt Polk, tanpa tahun). Sedangkan kesetaraan sosial mengacu pada kesetaraan dalam distribusi manfaat, resiko, dan biaya (Litman & Brenman 2012 p.3 dalam Erika Harris 2012).

Kesetaraan gender dan sosial hanya dapat dicapai melalui pendekatan inklusivitas, di mana setiap orang harus diberi kesempatan untuk diakui dan dihargai kontribusinya pada keluarga, komunitas dan masyarakat (Korten 1995 dalam Marie Thynell, tanpa tahun). Dengan demikian setiap orang tanpa dibedakan jenis kelamin, usia, kelas sosial, keterbatasan fisik, dan keterbatasan ekonominya juga mendapat peluang yang sama untuk diakui, dihargai kontribusinya, dan mendapat kemanfaatan dari pembangunan melalui perluasan akses mereka pada layanan publik, pekerjaan, informasi dan interaksi sosial.

Secara umum pembangunan meliputi infrastruktur dan layanan terhadap publik. Kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan pembangunan seharusnya dapat menjawab kebutuhan spesifik perempuan dan laki-laki (Kementerian Perhubungan RI, 2010). Untuk mencapai hal itu diperlukan strategi pengarusutamaan gender (PUG), yaitu suatu strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (www.menegpp.go.id). Landasan hukum pengarusutamaan gender di sektor transportasi antara lain:

 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.  Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam

Pembangunan Nasional.

 MOU antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Perhubungan Tahun 2011 tentang Pengarusutamaan Gender dan Pengarusutamaan Hak Anak di Bidang Perhubungan.

(12)

12 kesetaraan dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia terhadap akses dan manfaat dari usaha pembangunan dan mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional serta kesamaan dalam penguasaan sumberdaya pembangunan (pengetahuan, informasi, keterampilan) (www.menegpp.go.id).

Kementerian Perhubungan RI (2010) menyebutkan bahwa dalam kegiatan pembangunan sektor transportasi gender harus diintegrasikan dalam 3 (tiga) dimensi yaitu: a) kegiatan fisik/infrastruktur seperti pembangunan pelabuhan, bandara, terminal, dan lain-lain, b) pelayanan publik dalam bentuk keamanan, kelayakan, kenyamanan dan lain-lain dan c) non fisik dalam bentuk standar, pedoman, prosedur, manual dan kebijakan.

Bagaimana langkah-langkah mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial? Kerangka kerja di bawah ini menggambarkan langkah-langkah pengarusutamaan gender dan sosial yang harus dilakukan.

Governance

Sistem Transportasi Publik yang Berkesetaraan Gender & Sosial

Sistem

Prinsip: Inklusif, Deliberatif, Diskursif, Pluralistik, Refleksif, Partisipatorik

Optimalisasi Media Massa untuk Komunikasi, Informasi, Edukasi & Kontrol Sosial Diagnosis Isu

Sumber: konsep diadaptasi dari Andy Stirling (2008), Tony Morton (2008), World Bank (1999) dan sumber-sumber lain.

(13)

13

LANGKAH URAIAN

Langkah 1 Mengidentifikasi dan memetakan isu diskriminasi gender dan sosial di transportasi publik.

Langkah 2 Melakukan diagnosis diskriminasi gender dan sosial berdasarkan kajian literatur.

Langkah 3 Berdasarkan hasil diagnosis mengidentifikasi dan memetakan faktor-faktor penyebab, stakeholder, dan kebutuhan spesifik gender dan sosial yang belum terpenuhi.

Langkah 4  Ketersediaan data terpilah gender sangat signifikan karena berfungsi sebagai pembuka wawasan.

 Melakukan analisis gender dengan alat analisis seperti Gender Analysis Parthway, Proba, Harvard, Mosser dsb.

 Mengintegrasikan kebutuhan spesifik gender dan sosial ke dalam 3 (tiga) dimensi kegiatan transportasi, yaitu: a) kegiatan fisik/infrastruktur, b) pelayanan publik, dan c) non fisik melalui kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan.  Menyusun Anggaran Responsif Gender sesuai kebijakan,

program, kegiatan dan sub kegiatan yang telah dibuat.

Langkah 5 Mewujudkan governance transportasi publik yang efektif melalui sinergi antara stakeholders: pemerintah (regulator), swasta (manufaktur dan operator) dan masyarakat (pengguna jasa). Langkah 6 Selalu mengacu pada prinsip inklusif, deliberatif, diskursif,

pluralistif, refleksif dan partisipatorik (Andy Stirling, 2008).  Inklusif: terbuka dan universal serta ramah bagi semua, saling

mengakui keberadaan dan menghargai perbedaan.

 Deliberatif: musyawarah untuk mufakat, “rembugan” untuk

pembuatan keputusan.

 Diskursif: disimpulkan secara logis.

 Pluralistif: menghargai nilai-nilai kemajemukan.  Refleksif: diputuskan dengan hati-hati.

 Partisipatorik: memberi kesempatan semua yang terlibat untuk berpartisipasi.

Langkah 7 Bersinergi dengan media massa untuk mengoptimalkan fungsi media massa dalam:

 menyebarkan informasi yang obyektif dan edukatif,  melakukan kontrol sosial yang konstruktif, dan

 menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat (Ashadi Siregar, 1990).

Langkah 8 Mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial merupakan tujuan antara (goal) untuk pemerataan kemanfaatan pembangunan sehingga dapat mendukung pengentasan kemiskinan dan MDGs.

(14)

14 gender dan sosial dalam pembangunan (diukur dengan Gender

Inequality Index) sehingga setiap warga negara dapat meningkatkan kualitas hidupnya (diukur dengan Human Development Index) karena memiliki peluang yang setara dalam akses, partisipasi, manfaat dan kontrol dalam pembangunan.

Keberhasilan kegiatan pengarusutamaan gender dan sosial di transportasi publik diukur dengan 13 indikator kesetaraan gender dan sosial (Marie Thynell, 2007) di bawah ini:

1. Aksesibilitas (Accessibility). Aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu tujuan lokasi, yang menjadi ukuran adalah jarak, waktu tempuh, kelengkapan dan kualitas dari fasilitas yang tersedia.

2. Mobilitas (Mobility). Pengguna jasa transportasi publik mudah melakukan pergerakan atau mudah melakukan alih tempat.

3. Ketersediaan (Availability). Kesiapan sarana transportasi publik untuk dapat digunakan atau dioperasikan dalam waktu yang telah ditentukan.

4. Keterjangkauan (Affordability). Biaya tarif angkutan umum tidak melebihi persentase tertentu dari pendapatan rumah tangga.

5. Ketepatan (Appropriateness). Kesesuaian dengan kebutuhan sehingga penumpang merasa nyaman saat melakukan perjalanan.

6. Keandalan (Reliability). Layanan transportasi publik harus dapat diprediksi sesuai jadwal yang tersedia. Perubahan layanan segera diinformasikan ke pengguna jasa. 7. Keselamatan (Safety). Penumpang terhindar dari risiko kecelakaan yang disebabkan

oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan.

8. Keamanan (Security). Setiap penumpang, barang, dan/atau kendaraan terbebas dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas.

9. Kesehatan (Health). Kesehatan penumpang dan pengguna jalan lainnya atau orang yang tinggal di sepanjang sisi rel atau jalan terjamin. Transportasi publik juga harus dapat meningkatkan akses masyarakat pada layanan kesehatan.

10. Informasi (Information). Tersedianya informasi tentang jalur, tarif, rute, jadwal, dsb di tempat yang mudah diakses.

11. Keterlibatan masyarakat (Public involvement). Masyarakat diberi peluang untuk memberi masukan yang kritis dan konstruktif.

12. Menghemat waktu (Time saving). Layanan transportasi publik harus dapat menghemat waktu, bukan sebaliknya.

(15)

15 E. SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB MEWUJUDKAN TRANSPORTASI

PUBLIK YANG BERKESETARAAN GENDER DAN SOSIAL?

Secara umum pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab sesuai peran masing-masing untuk bersinergi mewujudkan kesetaraan gender dan sosial dalam semua sektor pembangunan, termasuk dalam transportasi publik. Interaksi sinergis antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil yang membentuk dimensi relasional tersebut merupakan governance transportasi publik. Pembagian tanggung jawab tersebut antara lain:

a) Tanggung jawab pemerintah antara lain:

 Membuat kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan yang responsif gender dan sosial di bidang transportasi publik.

 Melakukan tindakan korektif terhadap kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan yang tidak mendukung terwujudnya transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial.

 Melakukan sosialisasi kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan yang responsif gender pada stakeholder transportasi publik.

 Melakukan pengawasan dan evaluasi implementasi kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan agar tidak menyimpang dari perencanaan.

 Membuka peluang bagi sektor swasta dan masyarakat sipil (laki-laki dan perempuan) untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.

 Melakukan capacity building bagi semua stakeholder transportasi publik agar mereka mampu berpartisipasi dalam mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial.

 Melakukan advokasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu diskriminasi terhadap kelompok sosial termarginal.

 Menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik yang responsif gender dan sosial.

b) Tanggung jawab sektor swasta (manufaktur dan operator) antara lain:  Mematuhi regulasi.

 Berpartisipasi memberi masukan yang kritis dan konstruktif dalam pembuatan keputusan transportasi publik.

(16)

16  Menyediakan sarana angkutan umum yang responsif gender dan sosial.

c) Tanggung jawab masyarakat sipil antara lain:  Mematuhi regulasi.

 Berpartisipasi memberi masukan yang kritis dan konstruktif dalam pembuatan keputusan transportasi publik.

 Berpartisipasi memelihara sarana dan prasarana transportasi publik.

 Berpartisipasi menjaga keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan transportasi publik.

Governance transportasi publik yang efektif sangat menentukan keberhasilan transportasi publik suatu kota atau negara. Hal ini telah dikonfirmasi oleh temuan penelitian di Australia yang menunjukkan bahwa meskipun tersedia dana yang cukup, infrastruktur yang memadai, dan manajemen yang tertata baik, namun jika tidak memiliki

governance transportasi publik yang efektif, tidak akan tercapai transportasi publik yang mampu memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Hal ini telah dibuktikan oleh transportasi publik di kota Melbourne dan Victoria yang gagal menarik minat penduduknya akibat kurang efektifnya governance transportasi publik di kota-kota tersebut. (Tony Morton, 2008).

Kota Solo merupakan salah satu contoh kota yang memiliki governance

transportasi publik yang efektif. Melalui paradigma “move people not car” (memindahkan orang bukan sarana pengangkutnya) yang diterjemahkan melalui kebijakan pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan, Kota Solo berupaya menerapkan transportasi yang humanis. Sekarang lalu lintas yang rapi bukan lagi mimpi bagi warga Kota Solo. Sesungguhnya, apa yang dilakukan Pemerintah Kota Solo dapat dilakukan daerah lain sepanjang ada kemauan politik terhadap masalah lalu lintas dan transportasi (Setijowarno, 11 Juni 2013).

BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN

(17)

17 infrastruktur yang tidak berpihak pada kelompok sosial termarginal merupakan penyebab diskriminasi gender dan sosial di transportasi publik. Diperlukan upaya afirmatif untuk mewujudkan kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik melalui strategi pengarusutamaan gender dan sosial. Pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil harus bersinergi dalam governance transportasi publik karena tanpa governance yang efektif tidak akan terwujud transportasi publik yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial akan menjadi salah satu pull factor yang menarik masyarakat beralih ke angkutan umum, mendukung mitigasi permasalahan transportasi, serta mendukung keberlanjutan pembangunan nasional.

B. SARAN Bagi pemerintah:

 Mengimplementasikan MOU antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Perhubungan Tahun 2011 tentang Pengarusutamaan Gender dan Pengarusutamaan Hak Anak di Bidang Perhubungan.  Melakukan tindakan korektif terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman karena tidak mewajibkan pengembang menyediakan sarana transportasi publik dari/ke pemukiman baru.

 Membuat kebijakan yang mengatur transportasi publik dikelola oleh badan usaha, bukan perorangan, agar lebih transparan dan mudah pengawasannya.

 Memperbaiki sistem uji kelaikan kendaraan bermotor untuk menjamin kelaikan angkutan umum yang beroperasi, misalnya melakukan inspeksi mendadak di jalan dan terminal.

 Memberi subsidi biaya transportasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dimungkinkan oleh UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.  Melanjutkan kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan yang telah responsif gender dan sosial, seperti gerbong khusus bagi perempuan di KRL Jabodetabek, subsidi PT. KAI bagi manusia usia lanjut yang memiliki KTP seumur hidup dan anak-anak usia kurang dari 3 tahun, perekrutan pengemudi perempuan untuk BRT Trans Jakarta, dsb.  Mempertimbangkan alternatif transportasi massal berbasis rel untuk perkotaan.

(18)

18  Menyediakan dan memelihara fasilitas pendukung dan fasilitas penunjang yang ramah perempuan, misalnya lampu penerangan yang memadai untuk di jalan dan di jembatan penyeberangan, anak-anak tangga jembatan penyeberangan yang tidak terlalu tinggi, trotoar yang nyaman bagi pejalan kaki dan dapat diakses oleh pemakai kursi roda, di stasiun dan terminal disediakan toilet yang dapat diakses pemakai kursi roda, menyediakan toilet untuk perempuan lebih banyak daripada toilet untuk laki-laki karena perempuan lebih sering ke toilet terkait dengan siklus reproduksinya, toilet untuk perempuan dilengkapi dengan tempat mengganti popok bayi, dsb.

Bagi sektor swasta:

 Melakukan revitalisasi kendaraan angkutan umum.

 Memperbaiki sistem perekrutan pengemudi angkutan umum agar tidak ada lagi sopir

“tembak” yang tidak memiliki kompetensi dan surat ijin mengemudi.

 Memberikan asuransi kecelakaan bagi awak angkutan umum sebagaimana telah diterapkan oleh suatu perusahaan otobus di Jawa Tengah.

 Beralih menggunakan sistem gaji bulanan bagi awak angkutan umum dan tidak lagi menggunakan sistem setoran agar pengemudi tidak mengebut mengejar setoran, sehingga dapat mengurangi pelanggaran lalu lintas, keruwetan, kemacetan serta kemungkinan kecelakaan lalu lintas.

 Memberikan gaji awak angkutan umum langsung pada istri/keluarga mereka untuk menjamin kesejahteraan keluarga awak angkutan umum. Hal ini telah diterapkan oleh suatu perusahaan otobus di Jawa Tengah.

 Menyediakan fasilitas ekstra yang dapat meningkatkan minat penumpang misalnya akses internet gratis (free WIFI), charge handphone gratis, dsb.

 Melengkapi angkutan umum dengan fasilitas pendukung keamanan dan keselamatan seperti CCTV, GPS, lampu penerangan yang memadai, tidak menggunakan kaca jendela yang gelap (kaca film), alarm yang dapat digunakan penumpang jika mengalami kriminalitas di dalam angkutan umum, kotak P3K, palu pemecah kaca, tabung pemadam kebakaran, dsb.

Bagi masyarakat sipil:

(19)

19  Berperilaku humanis misalnya memberikan tempat duduk pada perempuan hamil dan

manusia usia lanjut, tidak merokok dalam angkutan umum, dsb.

 Tidak melakukan tindakan melanggar hukum seperti melakukan pelecehan, kekerasan, perampasan harta benda penumpang lain, dsb.

DAFTAR PUSTAKA

Amy Dunckel-Graglia & SUNY Stony Brook; 2013; Journal of Public Transportation, Volume 16 Number 2 2013 p.85-105; Women-Only Transportation: How “Pink”

Public Transportation Changes Public Perception of Women’s Mobility.

Andy Stirling; 2008; Science, Technology, & Human Values Volume 33 Number 2 March 2008 262-294; “Opening Up” and “Closing Down” Power, Participation, and Pluralism in the Social Appraisal of Technology.

Ashadi Siregar; 1990; Peran Pers dalam Era Pembangunan; disampaikan pada Seminar Upaya untuk Mencapai Rasio UNESCO, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Cabang Jawa Timur, Surabaya 10 Januari 1990.

Edie Toet Hendratno; 2009; Mimbar Hukum Volume 21, Nomor 3, Oktober 2009, Halaman 409-628, Masalah Transportasi Kota Dilihat dengan Pendekatan Hukum, Sosial, dan Budaya.

Erika Harris; 2012; Tools and Policies for Promoting Social Equity in Seattle Transit Communities; Prepared for the Seattle Planning Commission; University of Washington.

http://www.un.org/esa/dsd/resources/res_docucsd_18.shtml

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, http://www.menegpp.go.id

Kementerian Perhubungan RI; 2010; Panduan Pengintegrasian Aspek Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran Kementerian Perhubungan.

Kerry Hamilton; Linda Jenkins; Frances Hodgson; Jeff Turner; 2005; Promoting Gender Equality in Transport; http://www.eoc.org.uk/research

Komnas Perempuan; 2011.

Maam Lumanglas; 5 Juli 2008; Gender and Geography.

Margarida Queirós & Nuno Marques da Costa; 2012; Knowledge on Gender Dimensions of Transportation in Portugal; Dialogue and UniversalismE Volume 3, Number 1/2012.

Marie Thynell; 2007; Social Indicators for Public Transport; Peace and Development Research School of Global Studies University of Gothenburg Sweden.

Marie Thynell; tanpa tahun; Social Equity and Gender, The Benefits of NMT; Peace and Development Research School of Global Studies University of Gothenburg Sweden. Melanie Lambrick & Liliana Rainero; Februari 2010; Safe Cities; Red Mujery Habitat

(20)

20 Merritt Polk; tanpa tahun; p.180-188; Integration of Gender Equality into Transport Policy and Practice; Research on Women’s Issues in Transportation; Göteborg University, Sweden.

Nandita Bhatla; tanpa tahun; Gender-Based Violence in Public Spaces: Consequences and Cost; International Centre for Research on Women.

Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan 2011-2035.

Setijowarno, Djoko; 2013; Mimpi Menjadikan Transportasi Jakarta untuk Dunia, Bercermin Transportasi Solo yang Telah Menjadi Panutan Kota-Kota Indonesia; disampaikan pada Diskusi Panel Terbatas Kompas “Jakarta Menuju Kota Di Tengah

Kekusutan Sistem Transportasi Publik”, Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Selasa,

11 Juni 2013.

The World Bank; 1999; Gender and Transport: A Rationale for Action.

Transport & Social Equity. Download 20 Agustus 2013. http://www.afritest.net/index.php/test-issues/issues-gender-transport

Tony Morton; January 2008; Transport Governance Public Transport Management That Works For Passengers, A position paper by the Public Transport Users Association Inc. Org No. A-6256L.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

United Nations Development Programmes (UNDP); 1997; Governance for Sustainable Human Development.

United Nations Development Programmes (UNDP); 2012; http://hdr.undp.org/en/statistics/gii/

World Health Organisation; http://www.who.int/en/

Referensi

Dokumen terkait

PEMETAAN RISIKO BAHAYA TANAH LONGSOR DI KABUPATEN MAYBRAT PROVINSI PAPUA BARAT BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS.. Universitas Pendidikan Indonesia| repository.upi.edu

20 Urusan Wajib Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Adm KeuDa, Perangkat Daerah, Kepegawaian. Organisasi

Bila pertanggungjawaban hukum itu berdasarkan hukum perdata maka unsur terkait adalah ada tidaknya suatu perbuatan melawan hukum atau wan prestasi dan bila bersumber

Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan

kemunculan reasoning skill siswa pada pembelajaran sistem indra, sistem. hormon, dan

[r]

On the other hand, Greenaway et al., (2009), find non-monotonic relationship between foreign ownership and company value, joint venture has better performance than companies

mengeksekusi agunan tersebut dengan mu- dah, jika terjadi gagal bayar atau gagal serah. Agunan efek asing yang dapat diterima pun ti- dak sembara ngan, hanya government bond