• Tidak ada hasil yang ditemukan

Supremasi Hukum Antara Harapan Dan Reali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Supremasi Hukum Antara Harapan Dan Reali"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Supremasi Hukum Antara Harapan Dan Realita Di Republik Indonesia* Oleh : Korneles Materay (130511335)

I. PENDAHULUAN

Supremasi hukum hanya dikenal dalam negara hukum. Paradigma tentang negara hukum berarti negara yang berlandaskan hukum. Di dunia ini, dikenal ada 2 bentuk negara hukum, yaitu negara hukum Rechtstaatdan negara hukum The Rule of Law. Secara substantif, negara hukum Rechtstaat dan negara hukum The Rule of Law memiliki persamaan yang mendasar dalam ciri dan karakternya karena meletakan hukum sebagai landasan berpijak atau pedoman berbangsa dan bernegara. Negara hukum Rechtstaat sering ditemukan pada negara-negara yang menganut tradisi Eropa Kontinental, dipelopori oleh Julius Stahl.

Unsur-unsur utama negara hukum formal/klasik meliputi : (Riawan Tjandra, 2014:3)

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

2. Penyelenggaraan negara harus di dasarkan atas teori trias politica supaya menjamin terlindungnya hak-hak asasi manusia tersebut,

3. Penyelenggaraan pemerintah di dasarkan atas undang-undang (wetmatig bestuur), 4. Apabila dalam pelaksanaan kewenangannya pemerintah melanggar hak-hak asasi

manusia warga negara, maka harus ada pengadilan administrasi yang menyelesaikannya.

Sedangkan, pada negara-negara yang bercorak Anglo Saxon, konsep negara hukumnya dipengaruhi oleh The Rule of Law yang diperkenalkan oleh AV.Dicey, yang meliputi 3 (unsur, yaitu :

1. Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum),

2. Persamaan kedudukan hukum bagi setiap orang

3. Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu diletakan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu dilindungi.

Dari penjelasan tentang konsep negara hukum di atas, sangat jelas bahwa apapun bentuknya negara itu, hukum menjadi sesuatu yang teramat sangat penting.

(2)

reformasi, bila kita hendak membandingkan pertumbuhan hukum dari era orde lama, orde baru dan era reformasi, maka era reformasi lebih pesat pertumbuhannya. Terbukti dengan banyaknya peraturan perundangan-undangan yang di buat. Disamping perkembangan di dalam negeri, Indonesia juga melakukan ratifikasi terhadap berbagai macam konvensi Internasional, sekaligus menggagas berbagai macam aturan di kanca internasional.

Senada dengan itu, dikatakan oleh Wicipto Setiadi bahwa “Reformasi telah menjadikan hukum sebagai sesuatu yang “supreme” dalam penyelenggaraan negara. Supremasi hukum menghendaki dalam menyelesaikan setiap permasalahan, hukumlah yang harus dijadikan pegangan sebagai satu-satunya ukuran sehingga penegakan supremasi hukum tidak perlu mengabaikan perhatian terhadap aspek pembangunan lainnya. (Bunga Rampai Komisi Yudisial Republik Indonesia dengan tulisan berjudul “Arti Penting Lembaga-Lembaga Hukum di Indonesia dalam Merespon Perubahan Sosial”, diakses tanggal 3 Februari 2016).Secara yuridis formal ketentuan bahwa Indonesia adalah negara hukum dapat ditemukan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakan supremasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). (Sekretariat Jenderal MPR RI 2013: 67-68).Gustav Radbruch menyebut bahwa tujuan hukum, pertama-tama memprioritaskan keadilan, disusul kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.

(3)

undang-undang, (2). Perilaku aparat negara, (3). partisipasi publik, ketiga hal ini akan dijelaskan di bagian pembahasan.

II. Pembahasan

A. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang

Menurut saya, kebanyakan masalah di Republik Indonesia ini tidak bisa dipungkiri sumbernya dari undang-undang. Mungkin kita bertanya, mengapa harus undang-undang yang disalahkan ? bukankah undang-undang adalah kesepakatan bersama, ia adalah aturan bagi kehidupan kita semua ? Secara sederhana saya mau menjawab seperti ini, bahwa jika diteliti banyak undang-undang negara republik Indonesia ini yang “sesat”, sebab ia digunakan sebagian orang (kaum elit) untuk mencapai tujuan pribadinya. Meminjam istilah Prof.Dr.Sahetapy, sebelum undang-undang (RUU) itu, disahkan menjadi undang-undang, ia “sudah berselingkuh” di Senayan. Senayan adalah tempat kumpulan para DPR yang bertugas membuat undang. Oleh karena undang-undang itu berselingkuh maka segala hal yang buruk dan kejam maupun keji terjadi.

Dalam sejarah bangsa Indonesia ini ada undang-undang yang melanggar hak asasi manusia, ada undang-undang yang sangat diskriminatif, ada undang-undang yang tidak jelas isinya, ada undang-undang yang melarang kaum tertentu “berkembang biak”, ada undang-undang yang penuh tipu daya politik, ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Itu adalah keadaan-keadaan yang pernah di hadapi bangsa Indonesia ini. Lalu pertanyaan kita, kenapa bisa begitu ? Karena selama ini kita belum meletakan hukum sebagai supremasi. Seharusnya hukum diciptakan untuk melindungi hak-hak atau kepentingan semua masyarakat tetapi kenyataannya tidak juga seperti itu. Politik hukum yang terbangun hanyalah kamuflase untuk memasukan kebutuhan-kebutuhan kaum elit maupun konglomerat-konglomerat. Maka, undang-undang Indonesia lebih banyak berbau kapitalis.

(4)

undang-undang kita belum menetapkan tujuan dan merumuskan isi yang sungguh-sungguh seperti yang diharapkan. Apabila membaca dasar pertimbangan dalam sebuah undang-undang, saya menganggapnya hanya sebagai sebuah wacana atau isapan jempol saja, karena pelaksanaanya jauh dari rangkaian kalimat-kalimat cantik tersebut. Misalnya :uu no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, kenyataannya KKN makin banyak pejabat-pejabat negara korupsi. Ada uu no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, di dalam masyarakat, ribuan bahkan jutaan anak yang tidak mendapatkan hak-hak khusus sebagai anak. Pelanggaran hak asasi anak marak terjadi. Anak diperkosa, dieksploitasi tenaganya layaknya orang dewasa, masa-masa bahagianya direnggut habis. Yang lebih menyedihkan lagi adalah perbuatan-perbuatan demikian dilakukan oleh orang-orang dekat anak tersebut seperti, orang tua, keluarga dekat lainnya, guru-guru dan lain sebagainya.

Lainnya lagi, uu no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, apakah pelanggaran HAM sudah diusut negara ini dengan baik, buktinya tidak. Ada uu no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, di dalam maupun luar negeri para pekerja diperlakukan tidak adil oleh majikannya. DPR selaku lembaga yang berwenang dalam membuat undang-undang dan juga selaku wakil rakyat malah tidak berada di pihak rakyat. Mereka tidak mendengarkan aspirasi rakyat tetapi aspirasi parpolnya atau golongannya untuk mencapai kepentingannya. Kalau keadaan terus seperti ini maka hukum hanyalah alat rekayasa untuk mencapai tujuan kelompok tertentu. Jadi, politik pembentukan undang-undang Republik Indonesia ini masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan beberapa pihak. Pembentuk undang-undang membuka banyak celah yang berujung penyalahgunaan undang-undang itu sendiri.

B. Perilaku Aparat Negara

(5)

aparat negara itu ambruk. Permasalahan yang melekat dalam perilaku aparat negara ini menurut saya karena 2 (dua) faktor, yaitu :

1. Perilaku intern (diri sendiri)

Perilaku intern adalah perilaku yang berkaitan dengan diri sendiri dan segala yang diperlihatkan bersumber dari pejabat yang bersangkutan. Beberapa hal bisa dijadikan patokan dalam mengukur kualitas seorang pejabat, antara lain :

 Kepemimpinan (Leadership)

Sekarang ini, rata-rata kepemimpinan pemimpin kita belum baik. Bayangkan pemimpin yang tidak beres, bagaimana mungkin bisa membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Belum lama, Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI 2014-2019 tersangkut sebuah kasus etik sekaligus kasus hukum yang dikenal “Papa Minta Saham”. SN mencatut nama presiden RI Joko Widodo untuk meminta saham ke PT.Freeport Indonesia yang berujung pengunduran dirinya. Seorang ketua DPR seperti SN ini menunjukan suatu perilaku pemimpin yang buruk. Maka, kita bisa memastikan bahwa di bawah kepemimpinannya, DPR benar-benar rusak, tetapi untunglah dia mempunyai keberanian untuk mengundurkan diri.

Di lain pihak, seorang Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikan bisa membawa kementeriannya ke peringkat terbaik di Kabinet Kerja. Ia berani mengambil langkah terobosan baru yang revolusioner dan berbagai cara lain yang mantap. Beribu kapal penangkap ikan yang tidak sesuatu hukum (Illegal fishing) sudah ia ditenggelamkan. Dua contoh ini menggambarkan situasi dan keadaan dimana kepemimpinan sangat vital dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Kalau seorang pemimpin tidak punya jiwa kepemimpinan ia tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik akan menempatkan undang-undang di atas segalanya dalam bertindak. Kita melihat bahwa SN tidak konsekuen dengan kedudukannya. Pada hal tugasnya adalah membuat undang-undang tetapi Ia menerobos ke bidang eksekutif.

Pemahaman saya tentang kejadian ini adalah pejabat kita banyak yang menyimpang dalam bekerja tidak berdasarkan hukum. Kecarutmarutan dalam kepemimpinan berdampak kepada pelaksanaan aturan-aturan dan penegakan hukum di negara ini.

Keberanian mengambil keputusan

(6)

ketidakberanian mengambil keputusan ? Masalah ini pula yang dihadapi negara kita. Sehingga penegakan hukum tidak berjalan dengan baik. Bagaimana hukum bisa dijadikan sebagai panglima kalau pihak-pihak yang dipercayakan untuk mengangkat martabat hukum itu selalu melakukan tindakan menyimpang.

Integritas

Integritas diartikan mutu atau kewibawaan atau kejujuran. Integritas sangat penting dipunyai oleh para pejabat atau aparat negara. Dalam bekerja, seseorang yang memiliki integritas akan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.

Etos kerja

Permasalahan yang cukup teknis adalah etos kerja. Etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos kerja ini yang belum banyak di miliki oleh pejabat RI. Saat siding paripurna DPR kita bisa melihat banyak anggota DPR yang tidak hadir dan hanya meninggalkan tanda tangan. Bagaimana bisa kita berkesimpulan bahwa mereka ini bersemangat untuk bekerja bagi rakyat.

Pada hal mereka di gaji oleh rakyat. DPR bertugas untuk membentuk undang-undang, hal ini bisa dilihat pada Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 22A Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun, kenyataannya banyak RUU yang belum tuntas di bahas. Belum lagi produk (UU) yang dihasilkan saling bertentangan dan lain sebagainya. 2. Perilaku ekstern (hubungan dengan pihak lain)

Hubungan dengan rakyat pendukung / konstituen

Saya memandang penting untuk dikritisi tentang hubungan antara aparat negara dengan rakyat. Kita bisa melihat bahwa aparat negara sebelum menduduki jabatan publiknya ia adalah orang yang biasa seperti rakyat umumnya. Kemudian, ada proses tersendiri yang di tempuh sehingga ia mendapatkan tempatnya itu. Misalnya : DPR di pilih oleh rakyat. Bagi saya, hubungan ini penting apalagi dalam negara demokrasi atau negara hukum. Pendukung sebagai elemen penting dalam rangka mencapai tujuan negara. Kedekatan emosional berdampak, di dengarnya aspirasi dan harapan dari rakyat itu sendiri. Namun, disayangkan apabila saat ini banyak pejabat publik yang tidak lagi mendengarkan suara rakyat.  Hubungan antar lembaga

(7)

Louis (1978) yang terlihat banyak mendapat pengaruh dari pemikiran Locke, mengatakan bahwa pembagian kekuasaan negara perlu dilakukan atas 3 (tiga) macam, yaitu : (Riawan Tjandra 2012:2)

1. Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang,

2. Kekuasaan yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para warga,

3. Kekuasaan eksekutif, yang melaksanakan undang-undang, memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontakan dan lain-lain.

Pemisahan kekuasaan tersebut diperlukan untuk menjamin terlindunginya hak asasi warga negara dan mencegah terulangnya kembali kekuasaan yang absolut.

Adanya pembagian kekuasaan bukan memutus tali kerja sama antar lembaga. Dalam konsep negara hukum modern, lembaga-lembaga negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Supremasi hukum akan terganggu bila antara lembaga-lembaga kekuasaan negara yang satu dengan yang lain mempunyai konflik. Misalnya : KPK dan Polri ketika terjadi percekcokan beberapa waktu lalu, penegakan hukum kita langsung terganggu. Konsolidasi hubungan antar lembaga harus digalakan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Urgensi bila ingin hubungan yang baik adalah mengetahui sistem dan peran masing-masing. Aparat penegak hukum harus taat asas dan sistem. Asas dan sistem terdapat dalam berbagai macam hukum atau peraturan perundang-undangan dan kebijakan negara. Hanya kesetiaan dalam bekerja, ketulusan dalam menyapa pihak lain maka akan tercipta hubungan yang solid.

C. Partisipasi Publik

(8)

yang lain kita adalah negara hukum lalu untuk mengawal legal atau tidak tindakan sebuah pemerintahan. Menurut saya sangat penting intervensi dari publik terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Misalnya : UU Terorisme yang mau di revisi itu harus juga mengikutsertakan rakyat (LSM, Kelompok masyarakat) dan lain-lain.

Persoalan yang timbul ketika suatu pemerintahan tidak membuka diri untuk rakyat adalah pemerintahan itu menjadi tidak bijak sana dalam mengambil keputusan. Kita tahu pada BAB XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 & 34 UUD 1945 sampai hari ini tidak ada hasilnya. Cabang-cabang produksi kita yang vital di kuasai pihak asing, yang sejahtera hanyalah konglomerat dan elit politik (hasil mencuri) juga sedangkan rakyat Indonesia (menengah ke bawah) dalam keterpurukan. Katanya fakir miskin dan gelandangan di pelihara negara, buktinya banyak yang disodomi, dipukul, dilecehkan dan lain sebagainya. Bagi orang-orang yang peduli kepada mereka akan membelanya dan orang-orang yang tidak peduli membiarkan saja, berharap di situlah pemerintah itu hadir.

Dalam membentuk peraturan memang seyogyanya rakyat terlibat jangan sampai sebuah rancangan undang-undang akan memelihara kepentingan sebagai pihak saja.

III. PENUTUP A. Kesimpulan

(9)

ditempuh. Keresahan dan pertentangan masyarakat pun terlihat semakin memuncak ketika banyak hal yang di luar konteks sengaja di korek cungkil dan akhirnya keadaan semakin tidak terkendalikan. Sikap yang diambil pemimpin-pemimpin di Republik Indonesia sebagian besar kaku, ragu-ragu dan pesimistis, akibatnya keputusan yang dibuat mencla-mencle, tidak tepat sasaran alias tidak bermanfaat.

Selanjutnya saya menyimpulkan beberapa hal terkait keseluruhan tulisan ini, sekaligus beberapa masukan-masukan, meliputi :

1. Persoalan yang kita hadapi sekarang ini ialah bagaimana di negara hukum, supremasi hukum merupakan elemen yang paling penting dari pada elemen-elemen kehidupan yang lain (politik, sosial-budaya, dll). Pemerintah, penyelenggara negara dan aparat penegak hukum dan para pemangku kepentingan dalam Republik Indonesia harus memposisikan hukum sebagai guidance bersama dalam berhubungan antara satu dengan lainnya. Jikalau hukum sudah ditempatkan pada posisi yang tepat maka bidang-bidang kehidupan yang lain akan bergerak dengan baik dan kemungkinan besar akan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Selama hukum di posisi yang salah niscaya arah negara ini akan betul dan tujuan negara akan tercapai.

2. Agar hukum menjadi tidak salah tafsir dan macam lainnya, ia harus dituangkan dalam bentuk yang jelas, misalnya undang-undang. Kita akan mengetahui bahwa hukum yang dimaksudkan adalah peraturan perundang-undangan atau hukum positif. Suatu undang-undang yang dibuat harus didasarkan pada kepentingan masyarakat bukan kepentingan politik (pragmatis). Maka dalam prosesnya itu ditetapkanlah tujuan dari undang-undang itu sendiri.

3. Hukum akan berjalan dengan baik apabila ada aparat negara, penegak hukum dan penyelenggaran negara yang baik pula. Hukum hanya akan menjadi tinggal nama atau perkataan belaka bila tidak dilaksanakan. Undang-undang tidaklah lebih dari sebuah kumpulan kertas tebal bila tidak ada yang menggerakannya. Kehadiran aparat negara sangat berarti dalam penegakan hukum. Aparat negara haruslah seorang yang berjiwa negarawan bukan setia kawan, karena kepentingan publiklah yang didahulukan. Aparat negara bukan orang-orang yang ragu dalam mengambil keputusan, jago berbicara tapi nol dalam tindakan. Dalam rangka meningkatkan kualitas aparat bisa direkayasa melalui pelatihan yang intensif : melatih kemampuan penguasaan bidang-bidang aparat tersebut, pelatihan integritas, kepemimpinan dan kerja sama.

(10)

pemerintahan adalah pihak-pihak yang mempercayakan kepentingan – kepentingannya diatur oleh penguasa (Pemerintah), oleh karena itu pemerintah bekerja untuk rakyat. Dalam hal ini masyarakat memiliki peran untuk menilai atau mengontrol suatu pemerintahan. Penting bagi sebuah pemerintahan menyertakan atau membuka ruang yang lebar kepada masyarakat agar dapat berpartisipasi langsung dalam proses pengambilan keputusan maupun penentuan arah negara. Cara-cara yang bisa dilakukan yaitu mendengar pendapat, mengadakan Public education (penyuluhan, seminar) dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

- Mertokusumo, Sudikno. 2011. Teori Hukum. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka - Sekretarial Jenderal MPR RI. 2013. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI

- Tjandra, Riawan. 2014. Hukum Sarana Pemerintahan. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka

- UUD 1945 & Amandemen Disertai Penjelasannya Secara Lengkap Dengan Bagian-Bagian Yang Diamandemen Serta Proses Dan Perubahannya. Palito Media

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Pasal 14 ayat (2) Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman, Senat Kedua terkonsentrasi dalam pengujian apakah suatu aturan Hukum Internasional Publik merupakan

Karena itu timbul pertanyaan: apakah mungkin hutan adat yang berada di kawasan hutan negara (hutan yang tidak dikenai hak milik), dapat dijadikan menjadi hutan milik komunal, atau

Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas dan apabila dikaitkan dengan konteks pembentukan hukum siber di indonesia, Negara hukum baru akan menjadi Negara hukum yang

Dengan demikian dalam Negara Hukum Indonesia di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan

Dari sini muncul beberapa pertanyaan yang menjadi fokus kajian tulisan ini, yaitu: Bagaimana kehujjahan maslahat sebagai dalil hukum ketika kontradiksi dengan nash (teks)

Kesepuluh prinsip pokok tersebut merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu Negara Hukum modern 5 , yakni: (1) supremasi hukum (supremacy of

Namun, prinsip hukum modem yang terkait dengan kedaulatan, imunitas negara, kewajiban negara untuk melindungi warganegaranya, dan menjaga keutuhan wilayah, dan seluruh

Perpaduan antara karakteristik tersebut, dalam konteks Indonesia antara lain disebut sebagai asas-asas penyelenggaraan negara, yang terdiri atas asas: 1 kepastian hukum; 2 kepentingan