Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara
pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik
termasuk pada suatu pendekatan yang maupun pihak berorientasi pada
proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah
laku) dari pelaku luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
(
interests
) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik)
sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat
tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku
dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. FISHER DKK (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum
dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
• Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang
keras. penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
• Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan
mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
• Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih
luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
TEORI-TEORI KONFLIK
Sebab-sebab konflik
a. Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
b. Teori kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi.
Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu. C. Teori negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
d. Teori identitas
Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
e. Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
f. Teori transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
Konflik yang Produktif Kategori Organisasi Industri Oleh : Ubaydillah,
AN Jakarta, 8/13/2007
Pengertian Konflik
"YOUCANNOT NOTTO BE IN CONFLICT".
Mungkin ungkapan ini pas buat orang yang bekerja. Tidak ada satu orang pun yang tidak pernah terlibat dalam konflik di tempat kerja. Kalau melihat praktek hidup, konflik itu adalah konsekuensi dari komunikasi / interaksi. Karena kita selalu berkomunikasi atau berinteraksi, baik secara lisan atau non-lisan, maka salah satu konsekuensinya adalah konflik.
Apa itu konflik? Secara teori, konflik itu punya pengertian fisik dan non-fisik (perasaan, pemikiran, dll). Menurut Kamus Merriam Webster dan Advance, arti konflik itu antara lain:
· Perlawanan mental sebagai akibat dari: kebutuhan, dorongan, keinginan atau
tuntutan yang berlawanan.
· Tindakan perlawanan karena ketidakcocokan / ketidakserasian.
· Berkelahi, berperang, atau baku hantam.
Berdasarkan teori yang dikembangkan para ahli, konflik itu memiliki kelas, stadium atau mungkin bisa disebut tingkatan. Dalam Encyclopedia of Professional Management (Editor Lester Robet Bittle, McGraw-Hill, Inc, 1998), di sana terdapat penjelasan bahwa tingkatan konflik dalam organisasi itu antara lain dijelaskan seperti berikut:
1. Tingkatan pertama adalah the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada
2. Tingkatan kedua adalah the perceived / experienced conflict.Konflik yang
terjadi pada tingkatan ini adalah konflik yang sudah kita ketahui, kita alami atau sudah nampak. Kita dengan orang lain sudah sama-sama mengalami perbedaan yang kita munculkan dalam bentuk perlawanan. Perbedaan itu bisa jadi berbeda dalam pendapat, harapan, kebutuhan, motif, tuntutan atau tindakan. Perlawanan itu bisa jadi dalam bentuk perlawanan mulut atau sikap.
3. Tingkatan ketiga adalah the fighting. Pada tingkatan ini, konflik sudah berubah
menjadi perlawanan fisik, baku hantam, perkelahian, atau hal-hal yang semisal dengan itu. Menurut kamus, fighting adalah melawan orang lain dengan pukulan atau senjata (blow or weapon).
Berdasarkan kasus yang kerap mucul di tempat kerja, konflik itu disebabkan karena, antara lain:
· Perlakuan yang mendiskreditkan atau ada pihak yang merasa tidak dihargai,
terutama pada momen-momen yang sensitif.
· Manajemen gagal dalam mendefinisikan peranan dan tugas masing-masing orang
atau bagian secara jelas sehingga terjadi ketumpang-tindihan peranan.
· Komunikasi yang lemah atau munculnya kesalahpahaman tentang apa yang perlu
dilakukan dan kapan. Ini terkait dengan keputusan yang tidak jelas atau sosialisasi kebijakan yang tidak jelas.
· Kegagalan dalam mengontrol diri atau kehilangan kendali (losing temparement).
· A personalitiy clash yang bentuknya macam-macam. Kalau ada orang yang tidak
suka terhadap gaya kempemimpinan atau gaya kerja orang-orang tertentu mungkin ini bisa menimbulkan konflik di tempat kerja.
· Kurang pengalaman dalam menduduki posisi tertentu atau peranan tertentu. Orang
yang baru menduduki posisi atau jabatan tertentu, biasanya sering melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan konflik.
· Kurang pengalaman dalam memimpin orang yang bermacam-macam latar
belakangnya.
Konflik Produktif & Konflik Kontra Produktif
Secara teori, konflik itu memang jelek. Cuma, perspektif yang perlu dimunculkan di sini bukan semata mengatakan itu jelek atau tidak. Kenapa? Seperti yang saya singgung di muka, konflik itu pada prakteknya seringkali susah kita hindari, meskipun kita tidak menginginkannya. Konflik itu merupakan salah satu konsekuensi komunikasi atau interaksi. Karena itu, yang perlu dimunculkan di sini adalah menemukan perspektif positif pada saat itu tidak bisa dihindari.
Ini agar kita tetap menjadi orang yang selalu lebih positif pada saat kita menghadapi hal-hal yang tidak positif. Nah, salah satu perspektif yang perlu dimunculkan itu adalah bagaimana kita bisa mengelola konflik itu supaya menjadi materi batin yang dapat memacu produktivitas kerja. Berdasarkan studi dan pengalaman, konflik akan produktif ketika:
· Fokus konflik itu adalah kepentingan, kebutuhan, atau pencapaian (prestasi).
· Menggunakan cara-cara atau pendekatan yang terbuka (open).
· Masing-masing pihak masih tetap menjaga hubungan kemanusiaan atau masih
· Dapat mendorong keduanya untuk memacu diri dalam mencapai sasaran-sasaran
yang diinginkan.
· Dapat mendorong pihak untuk mengasah kreativitas dalam menemukan cara yang
lebih baik atau hasil yang lebih bagus
Lalu, kapan konflik itu akan destruktif atau kontra-produktif? Menurut praktek yang sudah umum, sebagian besar konflik memang destruktif. Tanda-tanda konflik yang sudah destruktif itu antara lain:
· Ketika isu utama yang kita konflikkan atau fokus konfliknya adalah orang. Konflik
yang sudah mengangkat orang sebagai isu utama ini biasanya berlangsung lama. Apalagi jika masing-masing orang merasa mendapatkan dukungan dari Tuhan (masing-masing merasa benar).
· Ketika konflik itu sudah merupakan bentuk penyerangan terhadap kepribadian,
gaya, atau diri seseorang, bukan pada tingkah laku atau tindakan yang spesifik. Ini misalnya kita mengatakan si A itu selalu salah kerjanya padahal yang salah adalah pekerjaan tertentu, bukan seluruhnya.
· Ketika yang menjadi alasan adalah dorongan untuk mempertahankan
egoisme-kebenaran-sendiri (posisi), bukan kepentingan bersama atau kemanfaatan (misi). Kita menganggap diri sendiri sebagai orang yang paling benar dan orang lain kita anggap sebagai pihak yang paling salah.
· Ketika konflik itu sudah menghancurkan sendi-sendi hubungan antarmanusia atau
bermusuhan, baik permusuhan lahir atau permusuhan batin. Ini biasanya akan melahirkan office politic yang kotor dan munculnya gang yang ber-"kongkurensi".
· Ketika yang kita konflikkan adalah solusi jangka pendek atau sesaat untuk
menyelesaikan problem yang berjangka lama atau problem abadi.
Kalau membaca hasil kajian Hawk Williams (1996), konflik destruktif itu juga bisa mencul ketika:
· Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada diri orang lain.
· Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap
punya masalah dengan kita.
· Problem itu tetap muncul atau terus bertambah.
· Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi).
· Kita kehilangan perspektif tentang orang itu (pokoknya kita benci, ingin dia pergi,
tidak cocok, dst)
Solusi Personal & Organisasional
Nah, satu pertanyaan penting dari penjelasan di atas adalah, lalu siapa yang bisa membikin konflik itu produktif dan tidak? Siapa yang bisa mengkondisikan konflik itu konstruktif atau destruktif? Kalau kita mengharapkan itu pada konfliknya, tentu ini sangat jauh. Kalau kita mengharapkan orang lain, lawan kita dalam berkonflik itu, ini juga sangat jauh.
emosi itu. Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk bisa mengontrolnya adalah menerapkan formula 3C (Catch, Change, and Create).
Catch artinya kita benar-benar tahu dan sadar bahwa emosi kita memang lagi bermasalah atau meledak. Atas kesadaran dan pengetahuan ini kita berusaha untuk mengendalikannya. Change di sini adalah berusaha untuk mengganti dengan yang lebih positif bagi diri kita supaya ledakan emosi itu tidak sampai menimbulkan konflik dengan stadium tinggi. Sedangkan Create di sini adalah menciptakan perspektif, penyikapan, respon atau tindakan yang tidak memperkeruh suasana.
Dengan cara ini, kita masih punya ruang untuk menemukan spirit untuk memperbaiki diri dari konflik yang terjadi. Kita masih punya ruang untuk memikirkan cara-cara konflik yang terbuka. Kita masih punya ruang untuk menjaga hubungan kemanusiaan. Kita masih punya ruang untuk tetap fokus pada apa yang penting buat kita. Kita masih punya ruang untuk memikirkan cara-cara kreatif dalam mengatasi konflik.
Apa ada orang yang masih mengingat formula 3C itu ketika konflik terjadi? Kalau pun ada, mungkin jumlahnya sangat sedikit. Kalau pun ada, mungkin itu adalah buah (kemampuan) dari kebiasaan sebelumnya. Nah, satu-satunya jurus penyelamat bagi yang belum biasa mengatasi konflik secara tactfully adalah, menahan diri supaya tidak mengeluarkan reaksi yang berlebihan secara langsung. Keluarkan reaksi yang proporsional dan setelah itu temukan ruang batin untuk mengerem, alias jangan berlanjut sampai ke tingkat yang di luar kontrol. Itu semua adalah solusi personal yang mungkin bisa kita lakukan. Adapun untuk solusi organisasionalnya, kita pun bisa menjalankan saran-saran di bawah ini:
Pertama, biasakan menyelesaikan masalah yang sudah muncul atau yang masih terpendam (problem solving). Masalah tidak hilang karena kita abaikan. Masalah itu bersembunyi dan biasanya akan muncul dalam bentuk pukulan mendadak. Karena itu perlu kita selesaikan supaya tidak membesar atau supaya tidak meledak menjadi konflik stadium tiga alias fighting.
Kedua, biasakan melihat masalah secara proporsional: tidak membesar-besarkan, tidak mengada-ngada, tidak meremehkan (smoothing). Kerapkali terjadi bahwa hubungan kita menjadi bermasalah padahal tidak ada masalah yang perlu dimasalahkan atau masalah itu hanya berupa semacam penilaian-perasaan yang subyektif. Dengan belajar memproporsionalkan cara pandang kita terhadap masalah, maka kita bisa terhindar dari konflik, bisa mengurangi atau meredamnya.
Ketiga, mintalah orang yang sudah punya otoritas lebih tinggi (Refering to higher
authority) sebagai penengah, peredam atau pemberi solusi. Selama masalah yang menimbulkan konflik itu berkaitan dengan pekerjaan dan melibatkan orang banyak, biasanya penggunaan otoritas / kekuasaan sangat membantu, entah sebagai mediator atau decision maker.
hal-hal yang dapat memancing konflik. Ini misalnya tetap kekeuh mempertahankan posisi defensifnya, menutup diri dari berbagai masukan, menolak berdialog secara rasional, tidak mau mengorbankan kepentingan kecil demi terwujudnya kepentingan yang lebih besar, dan lain-lain. Artinya, ketika kita ingin damai, maka kita pun harus mempersiapkan diri untuk menanggung konsekuensi alamiyahnya. Salah satu konsekuensi penting di sini adalah menghindarkan diri (avoid from) dari hal-hal yang dapat memancing konflik atau yang dapat menutup pintu kesepakatan.
Kelima, berkompromi (Compromise). Kerapkali terjadi bahwa berkompromi ini punya
manfaat yang jauh lebih banyak ketimbang berkonflik. Berkompromi adalah belajar untuk menjadi "soft"(baca: fleksibel seperti air) dan belajar untuk tidak menjadi "hard" (baca: keras seperti kayu). Semua orang sudah tahu, dengan menjadi soft akan mengalahkan yang hard, tetapi sayangnya, kita lebih sering memilih menjadi hard untuk mengalahkan yang hard. Nah, itu semua adalah bentuk-bentuk solusi yang bisa kita ambil. Tentu, pengertian solusi di sini adalah proses pembelajaran di mana kita berusaha untuk memperbaiki diri dari praktek yang kita lakukan sehari-hari. Semoga bermanfaat.
Pilkada Langsung dan Teori Konflik (Tanggapan Prof. Wan Usman) Kamis, 22 November 2007
MENGAPA setiap konflik kepentingan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu cenderung diikuti tindakan anarkis atau konflik di antara para pendukungnya? Di Padang Pariaman (Sumatra Barat) misalnya, pilkada berbuntut perusakan kantor KPUD setempat. Aksi pendudukan, pengepungan kantor KPUD, bentrokan dengan petugas keamanan, dan sejenisnya terjadi di tempat-tempat seperti Depok (Jawa Barat), Semarang dan Sukoharjo (Jawa Tengah), Mataram (NTB), Toli-Toli (Sulawesi Tengah), Gowa (Sulsel), Gorontalo, Cilegon (Jawa Barat), Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), dan Kaur (Bengkulu).
Dan yang paling terbaru adalah kasus pilkada Maluku Utara, dimana tanpa pertimbangan yang benar-benar arif dan bijak, KPU Pusat menarik keputusan yang dikeluarkan oleh KPU Daerah yang telah memenangkan Thaib Armain-Gani Kasuba dalam pilkada Malut. Hal yang paling dikhawatirkan oleh banyak pengamat adalah terjadinya konflik yang lebih besar. Karena memang tidak ada landasan hukum yang mendasari keputusan KPU Pusat tersebut. Adapun keberatan dan peninjauan ulang hanya dapat dilakukan melalui Mahkamah Agung
Dalam praksis politik demokrasi, konflik atau perbedaan kepentingan, persepsi, interpretasi terhadap mekanisme pilkada sebetulnya tidak saja mengandung nilai-nilai positif pembelajaran politik, melainkan juga merupakan strategi politik yang sering dipraktikkan banyak negara demokratis. Konflik dalam praksis politik sebetulnya tidak mungkin dihindari, apalagi bagi Indonesia yang memiliki multipartai politik.
Intensitas konflik menunjuk pada tingkat pengeluaran energi dan keterlibatan pihak-pihak (kelompok-kelompok) yang berkonflik. Sedangkan kekerasan konflik menyangkut alat/sarana yang digunakan dalam situasi konflik, mulai dari negosiasi hingga saling menyerang secara fisik. Konflik antarkelompok yang menyangkut masalah prinsip dasar (fundamental) akan menimbulkan pertentangan antarkelompok yang lebih serius dibandingkan bila masalahnya sekadar bersifat sekunder atau dinilai tak penting.
Teori Konflik telah diulas dan dikembangkan oleh banyak sosiolog. Mereka antara lain, Karl Marx, Ralf Dahrendorf, George Simmel, dan Lewis Coser.
Teori Konflik yang digagas oleh Marx didasarkan pada kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh. Bagi Marx, dalam masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yakni kaum borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Antara kedua kelompok ini selalu terjadi konflik. Dalam The Communist Manifesto, Marx (Johnson, 186: 146) mengatakan, "Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas," yaitu kelas buruh melawan kelas borjuis, yang pada akhirnya akan dimenangkan kaum proletar, sehingga tercipta tatanan masyarakat tanpa hierarkis, yakni komunisme. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik (Camplell, 1994: 134).
Penerus gagasan Marx, di antaranya adalah Ralf Dahrendorf. Dia melakukan revisi atas pemikiran Marx. Baginya, pengelompokan kelas sosial tidak lagi hanya didasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan-hubungan kekuasaan. Terdapat sejumlah orang yang memiliki dan turut serta dalam struktur kekuasaan, terdapat pula yang tidak masuk kekuasaan. Menurut Dahrendorf, sebagai koreksi atas pemikiran Marx, telah terjadi dekomposisi modal (menimbulkan kesulitan mengidentifikasi kaum borjuis yang monopolistis karena para pegawai pun kini ikut memiliki saham perusahaan); dekomposisi tenaga kerja (kaum proletar tidak lagi homogen; secara hierarkis di antara mereka tersebar menempati posisi tertentu), dan timbulnya kelas menengah baru (karena terjadinya peningkatan kesejahteraan di kalangan kaum buruh). Dalam hal ini terkandung tiga konsep penting: kekuasaan, kepentingan, dan kelompok sosial. Pada gilirannya nanti, menurut Garna (1992: 66), diferensiasi kepentingan yang terjadi dapat melahirkan kelompok konflik potensial atau kelompok konflik aktual yang berbenturan karena punya kepentingan antagonistik.
Menurut Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya dapat terbentuk dan dipertahankan. Konflik juga mencegah suatu pembekuan sistem sosial dengan mendesak adanya inovasi dan kreativitas (Garna, 1992: 67). Karena konflik lebih banyak dilihat dari segi fungsi positifnya, maka Teori Konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial.
anggota dalam suatu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group). Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya. (Poloma, 1987: 108). Ketika ada ancaman dari luar, maka kelompok tidak mungkin memberikan toleransi pada perselisihan internal.
Demokratisasi secara konseptual menurut Kenneth Minogue, (2000) merupakan proses di mana rezim-rezim otoriter beralih menjadi rezim-rezim demokratis. Proses transisi menuju demokratis dalam pilkada kali ini menjadi fenomena kuat apakah demokratisasi berjalan sesuai dengan substansinya itu sendiri atau lagi-lagi terjebak pada "slogan-slogan dan verbalisme" kampanye yang tak mampu menangkap aspirasi dan kepercayaan rakyat pemilih. Kemauan dan kerelaan para pemimpin terpilih untuk secara cepat atau lambat melepaskan dominasi mental priayi ataupun otoriter. Pada pada platform inilah proses demokratisasi akan menemukan "ruang gerak"-nya secara dinamis, kendatipun tak ada yang bisa menjamin sepenuhnya karena berbagai realitas dan fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan politik rakyat saling terkait dan saling memengaruhi. Pada tataran ini, pilkada secara langsung akan menjadi satu momentum berharga bagi rakyat dalam memilih pemimpinnya dan sekaligus tantangan dan ujian bagi proses pendidikan politik rakyat Indonesia.
Yang perlu diingat, dalam proses demokratisasi ini terdapat kelemahan, di mana kebebasan dan pengabaian rakyat untuk memilih secara bebas, rasional, terbuka dan reflektif akan berdampak pada munculnya apatisme politik rakyat yang lebih membahayakan bentuk pemerintahan konstitusional.
Solusi atas konflik
Menurut Johnson (1990: 162), perhatian utama Teori Konflik adalah pada mengenal dan menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab, dan bentuknya, dan dalam banyak hal, akibatnya dalam perubahan sosial. Dengan demikian, konflik perlu dikelola. Konflik yang tidak dikelola dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan, sementara konflik yang dikelola dapat mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diharapkan. Teori Konflik dengan analisis fungsional terus dikembangkan oleh sejumlah pakar, antara lain melalui berbagai studi eksperimen, di antaranya yang sangat menonjol adalah eksperimen Muzafer Sherif.
Ketika konflik terjadi, di kalangan para anggota kelompok terjadi persepsi yang bias. Terjadi peningkatan sikap positif terhadap kelompok dirinya masing-masing (in-group) berupa solidaritas internal, dan sikap negatif terhadap kelompok lain (out-group). Kekompakan, komitmen, konformitas pada in-group makin tinggi, juga muncul kepemimpinan yang bersifat agresif. Konflik antarkelompok ini kemudian dapat dikendalikan ketika semua kelompok dihadapkan pada tugas bersama yang merupakan tujuan bersama yang lebih tinggi (superordinate goals), yang pencapaiannya tak mungkin tanpa partisipasi seluruh kelompok. Maka terjadilah tranformasi dari situasi konflik ke relasi antarkelompok yang harmonis. Penyelesaian konflik antarkelompok berdasarkan Teori Konflik, menurut eksperimen Sherif, adalah berada pada tahap terakhir, yakni bagaimana mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama. Menurut Sherif, konflik antarkelompok itu akan berubah menjadi kerja sama antarkelompok apabila kepada mereka diintroduksikan superordinate goals secara meyakinkan bahwa di atas hal-hal yang membuat mereka saling bermusuhan itu, ada hal yang jauh lebih penting untuk dihadapi bersama.
Maraknya elite birokrasi yang bermasalah (KKN), rendahya penegakan kepastian hukum, rendahnya kualitas pelayanan publik, minimnya penciptaan lapangan kerja, tingginya angka pengangguran yang riil, rendahnya kualitas kesadaran, keteladanan dan kedewasaan para elite politik akan menjadi muatan yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan pilkada secara langsung dan sekaligus menjadi indikator bagaimana memberi makna demokratisasi bagi rakyat pemilih, sehingga kualitas dan kepercayaan rakyat pada para pemimpin terpilih menjadi kunci keberhasilan. Sejauh mana demokratisasi ini betul-betul memberi manfaat dan makna bagi kehidupan yang lebih baik, bukan pada tataran utopia dan slogan saat kampanye semata, di mana akhirnya rakyat menjadi penonton pasif dan dimarginalisasikan. Sehingga jangan lagi muncul istilah bahwa "kue" pembangunan lebih banyak dinikmati segelintir elite yang "memainkan" dan membuat kebijakan.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa pilkada secara langsung di satu sisi akan memberi pendidikan politik berharga dalam suasana demokratis yang transisional dan menjadi momentum berharga bagi lahirnya pemimpin yang berasal dari pilihan dan kepercayaan rakyat, namun akan sekaligus menjadi batu ujian bagi perilaku elite politik untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat banyak dalam segala bentuk kebijakannya. Jika hal ini tidak menjadi acuan dan pedoman, rakyat saat ini relatif mudah untuk melakukan aksi-aksi ketidakpuasan yang rentan diiringi dengan konflik fisik dan anarkis