• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kestabilan dan Kematangan Emosional dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kestabilan dan Kematangan Emosional dan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Kestabilan dan Kematangan Emosional

Istilah kematangan emosional dapat didefinisikan secara luas yang menyangkut berbagai motif, ciri dan nilai yang saling berhubungan. Seseorang yang matang secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak menderita kekacauan psikologis yang berat. Orang yang matang secara emosional memiliki kesadaran yang lebih tepat mengenai kekuatan dan kelemahan mereka dan mereka berorientasi ke arah perbaikan diri bukannya menolak adanya kelemahan dan memfantasikan keberhasilan. Orang yang memiliki kematangan emosional yang tinggi tidak terlalu egosentris (mereka lebih memperhatikan orang lain), mereka lebih banyak memiliki kendali terhadap diri sendiri (tidak impulsif, lebih stabil untuk melawan godaan hedonistis), memiliki lebih banyak emosi yang stabil (tidak mudah berpindah dari keadaan jiwa yang ekstrem atau sentakan kemarahan), dan mereka tidak terlalu bersikap defensif (mereka lebih dapat menerima kritik, lebih bersedia belajar dari pengalaman). Besar kemungkinannya bahwa orang demikian juga berada pada tingkat perkembangan moral kognitif yang tinggi. Hasilnya, para pemimpin yang memiliki kematangan emosional yang memiliki lebih banyak hubungan kerja sama dengan para bawahan, rekan sejawat, dan atasan.

(2)

berorientasi ke arah perbaikan diri bukannya hanya sekedar bertahan (Bennis&Nanus, 1985; Tichy&Devanna, 1986). Penelitian mengenai orientasi kekuasaan personal dan sosial memberikan bukti tambahan tentang pentingnya kematangan emosional bagi kepemimpinan yang efektif.

Penelitian mengenai kecintaan pada diri sendiri (narcissism) memberikan wawasan tambahan mengenai kesulitan yang ditemui oleh para pemimpin yang kekurangan kematangan emosional. Kecintaan ppada diri sendiri menunjuk kepada suatu sindrom kepribadian yang menyangkut keburuhan luar biasa akan rasa dihormati (misalnya, prestise, status, perhatian, kekaguman, pujian yang berlebihan) suatu kebutuhan yang kuat akan kekuasaan, pengendalian diri yang lemah, dan ketidakacuhan terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain. Sindrom kepribadian tersebut dapat diukur dengan sebuah skala laporan sendiri yang disebut Narcisssistic Personality Inventory/Inventris Kepribadian Narsissistik (Raskin & Hall, 1981). Kecintaan pada diri sendiri termasuk banyak aspek dari orientasi kekuasaan personal (House & Howell, 1992).

(3)

untuk mengikuti keinginan hati mereka akan kehendak membesarkan dirinya tanpa merasa menyesal sama sekali. Mereka mengharapkan kebaikan yang istimewa dari orang lain tanpa merasakan kebutuhan untuk membalasnya. Para narssist cenderung untuk menyederhanakan hubungan dan motivasi manusia secara berlebihan dan melihat antara para pendukung yang setia dan musuh. Mereka amat bersifat defensif, dan kritik apa pun dari orang lain akan diartikan sebagai tanda menolak atau tidak setia. Meskipun terkadang mampu menarik hati dan membantu, mereka memiliki kecenderungan untuk bertindak agresif dan kejam terhadap orang yang menentang mereka atau yang menghalangi mereka.

(4)

Integritas Pribadi

Integritas berarti bahwa perilaku seseorang konsisten dengan nilai yang menyertainya, dan orang tersebut bersifat jujur, etis, dan dapat dipercaya. Integritas merupakan penentu utama mengenai apakah orang akan merasakan bahwa seorang pemimpin dapat dipercaya atau tidak. Kecuali dirasakan bahwa orang tersebut sebagai orang yang dapat dipercaya, maka sukar sekali untuk mempertahankan kesetiaan dari para bawahan atau untuk mendapatkan kerjasama dan dukungan dari para rekan sejawat dan atasan. Selain itu, sebuah penentu yang penting dari kekuasaan berdasarkan keahlian dan berdasarkan referensi adalah persepsi dari orang lain bahwa seseorang itu dapat dipercaya.

(5)

dan keputusannya. Para pemimpin akan kelihatan lemah dan tidak dapat dipercaya bila mereka membuat keputusan atau mengambil posisi atas sebuah masalah, kemudian mencoba untuk menolak tanggung jawab bila keputusan tersebut gagal atau posisi tersebut menjadi kontroversial.

Integritas sebagaimana telah disebut sebagai sebuah nilai yang penting oleh sebagian besar dari 45 chief executives Inggris dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Cox dan Cooper (1989). Studi CCL yang dijelaskan sebelumnya pada bab ini menemukan bahwa kurangnya integritas adalah hal yang umum di antara para manajer yang kariernya menyimpang, sedangkan para manajer yang berhasil dianggap sebagai orang yang memiliki integritas tinggi. Para manajer yang sukses bersifat jujur dan dapat dipercaya, seperti yang tercermin pada ajaran berikut (McCall & Lombardo, 1983b, hlm. 30) :”Saya akan melakukan tepat seperti apa yang saya katakan akan saya lakukan saat saya mengatakan akan melakukannya. Jika saya mengubah pikiran saya, saya akan memberitahu Anda sedini mungkin sehingga Anda tidak akan dirugikan oleh tindakan saya.”

Motivasi Kekuasaan

Seseorang yang memiliki kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan senang mempengaruhi orang lain maupun peristiwa, dan besar kemungkinan berusaha untuk mendapatkan posisi otoritas. Kebanyakan studi menemukan hubungan yang kuat antara keutuhan akan kekuasaan dengan kemajuan ke tingkat manajemen yang lebih tinggi dalam organisasi yang besar (misalnya, Howard & Bray, 1988; McClelland & Boyatzis, 1982; Stahl, 1983). Orang yang memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan mencari posisi otoritas dan kekuasaan, dan lebih besar kemungkinannya bagi mereka untuk membiasakan diri dengan politik kekuasaan organisasi.

(6)

akan kekuasaan biasanya tidak memiliki keinginan dan ketegasan yang dibutuhkan untuk mengorganisasi dan memimpin kegiatan kelompok, untuk mengosiasikan persetujuan yang menguntungkan, untuk melakukan lobby agar mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan untuk menganjurkan dan mempromosikan perubahan yang diinginkan dan untuk menegakkan disiplin yang diperlukan. Seseorang yang merasa bahwa perilaku demikian adalah sulit dan menganggu secara emosional atau yang percaya bahwa menggunakan kekuasaan kepada orang lain sebagai hal yang salah tidak mungkin memenuhi persyaratan peran dari manajerial (Miner, 1985).

Suatu kebutuhan akan kekuasaan memang diperlukan, namun efektivitas seorang manajer juga tergantung pada bagaimana kebutuhan tersebut dapat diwujudkan. Penelitian empiris menunjukan bahwa suatu orientasi kepada kekuasaan yang disosialisasikan akan lebih besar kemungkinannya akan menghasilkan kepemimpinan yang efektif daripada orientasi kepada kekuasaan yang dijadikan secara personal (Boyatzis, 1982; House, Spangler & Woycke, 1991; McClelland & Buurnham, 1976). Hingga kini hanya beberapa studi yang telah menguji perilaku yang berhubungan dengan masing-masing orientasi kekuasaan, namun hasilnya menyatakan bahwa para manajer yang memiliki kekuasaan secara personal memiliki perilaku dengan cara berbeda daripada manajer yang memiliki kekuasaan sosialisasi (McClelland, 1975, 1985).

(7)

untuk membuat keputusan penting dipusatkan pada pemimpin tersebut, informasi dibatasi, dan imbalan serta hukuman digunakan untuk memanipulasi dan mengendalikan para bawahan. Pemimpin tersebut mencoba untuk mengadu berbagai individu atau kelompok satu sama lainnya agar membuat mereka selalu lemah. Bantuan dan nasihat kepada seorang bawahan dilakukan dengan cara yang memperlihatkan superioritas pribadi dan kekurangan dan ketergantungan bawahan. Terkadang para pemimpin yang memiliki kekuasaan personal mampu mengilhami kesetiaan dari para bawahan dan semangat tim, namun peran organisatoris jelas menderita. Bila masalah timbul dalam pekerjaan, para bawahan segan mengambil inisiatif untuk memecahkannya. Bukannya bertindak cepat untuk menangani sebuah masalah, mereka mengabaikannya atau menunggu suatu pengarahan yang jelas dari pemimpin tersebut. Kesetiaan bawahan yang mungkin terjadi adalah kepada atasan akan terjadi kekacauan dan perpecahan dalam semangat tim.

(8)

Orientasi Kepada Keberhasilan

Orientasi kepada keberhasilan termasuk sejumlah sikap, nilai dan kebutuhan yang saling berhubungan : kebutuhan akan keberhasilan, keinginan untuk unggul, dorongan untuk berhasil, kesediaan untuk memikul tanggung jawab, dan perhatian terhadap sasaran tugas. Banyak studi telah dilakukan mengenai hubungan dari orientasi kepada keberhasilan terhadap kemajuan dan efektivitas manajerial (lihat Bass, 1990). Meski demikian, hasilnya tidak konsisten bagi berbagai kriteria (misalnya, para manajer wirausahawan, corporate general manager, manajer teknis).

Hubungan motivasi kemajuan dengan efektivitas manajerial kelihatannya amat kompleks. Beberapa studi menemukan hubungan positif antara motivasi untuk berhasil dengan efektivitas (misalnya, Stahl, 1983; Wainer & Rubin, 1969), namun studi lainnya telah menemukan hubungan yang kuat dan signifikan (Miller & Toulouse, 1986). Salah satu penjelasan yang mungkin bagi hasil-hasil yang tidak konsisten tersebut adalah bahwa hubungan dari motivasi akan keberhasilan terhadap efektivitas manajerial adalah berbentuk kurva (curvilinear) bukannya linear. Dengan kata lain, para manajer yang memiliki sejumlah motivasi yang cukup tinggi akan keberhasilan lebih efektif daripada para manajer yang memiliki motivasi yang amat tinggi akan keberhasilan. Jika penjelasan ini benar, kita dapat mengharapkan untuk menemukan korelasi yang negatif dalam studi mengenai para manajer tingkat tinggi dimana semua pemimpin kemungkinan paling tidak memiliki kebutuhan yang cukup tinggi akan keberhasilan, seperti dalam studi mengenai presiden Amerika Serikat yang dilakukan oleh House et al (1991).

(9)

memecahkan masalah yang berhubungan dengan tugas, lebih besar kemungkinannya akan mengambil inisiatif dalam menemukan masaalah tersebut dan bertindak tegas untuk memecahkannya, dan lebih menyukai pemecahan yang melihatkan risiko sedang daripada solusi yang terlalu berisiko atau terlalu konservatif. Para manajer ini lebih besar kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku tugas seperti menetapkan sasaran dan tenggat waktu yang menantang tetapi realistis, mengembangkan rencana tindakan khusus, menentukan cara-cara untuk mengatasi halangan, mengelola pekerjaan secara efisien, dan menekankan kinerja saat berbicara dengan orang lain (Boyatzis, 1982). Sebaliknya, seorang manajer yang memiliki orientasi yang lemah akan keberhasilan tidak termotivasi untuk mencari kesempatan yang melibatkan sasaran yang menantang dan risiko sedang dan tidak terlalu bersedia untuk mengambil inisiatif untuk mengenali masalah dan mengambil tanggung jawab untuk memecahkannya.

Orientasi keberhasilan yang kuat juga dapat menghasilkan perilaku yang merendahkan efektivitas manajerial. Jika kebutuhan akan keberhasilan merupakan motif domain bagi seorang manajer, besar kemungkinan bahwa upaya manajer itu akan diarahkan menuju keberhasilan dan kemajuan dirinya sendiri daripada menuju keberhasilan dari tim atau unit kerjanya. Manajer itu berusaha untuk menyelesaikan semuanya sendiri, segan mendelegasikan tugasnya, dan gagal mengembangkan rasa bertanggung jawab dan komitmen tugas yang kuat diantara pada bawahan (McClelland & Burnham, 1976; Miller & Toulouse, 1986). Bagi jenis orang seperti ini akan amat sulit berfungsi secara efektif dalam sebuah tim manajemen dimana tanggung jawab kepemimpinan ditanggung bersama-sama.

(10)

difokuskan pada kemajuan karier dengan cara apapun. Jenis manajer seperti ini akan mengabaikan sasaran tugas dan pengembangan para bawahan dalam upaya untuk membangun reputasi pribadi sebagai seorang bintang yang melejit dengan cepat. Keputusan mengenai tugas akan diarahkan oleh keinginan untuk membuat unit kerja manajer tersebut terlihat baik dalam waktu dekat, meskipun kinerja akan menderita dalam jangka panjang. Manajer tersebut kemungkinan akan melakukan kendali pribadi terhadap proyek-proyek yang menjanjikan dan amat mencolok dan akan mengambil sendiri sebagian besar penghargaan atas keberhasilannya. Manajer tersebut dapat menjadi begitu bersaingnya sehingga menolak bekerja sama dengan rekan sejawat yang dipandang sebagai saingan yang potensial. Seperti yang ditemukan pada studi CCL, kemungkinan hasilnya akan menjadi kemajuan awal tetapi penyimpangan pada akhirnya saat seorang manajer yang memiliki ambisi pribadi yang ada dan sifat kompetitif yanng berlebihan itu menyebabkan terlalu banyak musuh yang kuat.

(11)

tidak memiliki dedikasi yang sama dengannya. Pola perilaku ini makin menyulitkan mereka untuk mempertahankan hubungan yang kooperatif.

Kebutuhan akan Afiliasi

Seperti telah dicatat sebelumnya dalam bab ini, orang yang memiliki kebutuhan yang kuat akan afiliasi akan mendapatkan kepuasan yang besar karena disukai dan diterima oleh orang lain, dan mereka senang bekerja dengan orang lain yang ramah dan mau bekerja sama. Kebanyakan studi menemukan korelasi yang negatif antara kebutuhan akan afilitasi dengan efektivitas manajerial. Tidak efektifnya para manajer yang memiliki kebutuhan yang tinggi akan afiliasi dapat dipahami dengan meneliti pola perilaku umum bagi manajer demikian. Para manajer tersebut pertama-tama memperhatikan hubungan daripada tugas, dan mereka tidak bersedia mengizinkan pekerjaan tersebut mencampuri hubungan yang harmonis (Litwin & Stringer, 1966; Mcclelland, 1975). Mereka mencoba menghindari konflik atau lebih suka menghaluskannya daripada menghadapi perbedaan yang benar-benar ada. Mereka menghindari membuat keputusan yang perlu tetapi tidak populer. Mereka memberi penghargaan bagi kinerja yang efektif. Mereka memperlihatkan sikap favoritisme kepada kawan pribadinya dalam memberi panugasan dan mengizinkan pengecualian terhadap peraturan. Pola perilaku yang demikian sering membuat para bawahan merasa “lemah, tidak bertanggung jawab, dan tanpa perasaan mengenai apa yang akan terjadi kemudian, atau dimana mereka sebetulnya berada dalam kaitannya dengan manajer mereka, atau bahkan apa yang sebenarnya harus mereka lakukan” (McClelland & Burnham, 1976; hlm. 104).

(12)

Jenis orang demikian mungkin tidak memiliki motivasi untuk berhubungan dengan banyak kegiatan sosial dan antar pribadi dengan para bawahan, atasan, dan rekan sejawat. Akibatnya, jenis orang demikian bisa gagal mengembangkan keterampilan antar pribadi yang efektif dan bisa kekurangan kepercayaan diri dalam mempengaruhi orang lain. Jadi, ada kemungkinan bahwa tingkat motivasi afiliasi yang optimal sebaiknya agak rendah dan bukannya tinggi atau amat sedih.

Lima Besar Ciri Kepribadian

Menjelaskan tentang para pemimpin dalam hal profit individual mereka akan menjadi lebih mudah jika terdapat kerangka kerja konseptual yang integratif dengan sejumlah kecil metaconstructs yang meliputi semua ciri yang relevan. Pengembangbiakan ciri kepribadian yang telah diidentifikasikan selama abad lalu telah menghasilkan upaya untuk menemukan sejumlah kecil kategori yang terdefinisi luas yang akan menyederhanakan perkembangan teori-teori ciri. Salah satu upaya yang kelihatan menjanjikan disebut sebagai model kepribadian “Lima Besar” (misalnya, Digman, 1990; Hough, 1992). Lima ciri kepribadian yang terdefinisi luas dalam taksonomi adalah surgency, dapat diandalkan, menyenangkan, penyesuaian dan intelektansi.

(13)

Tabel 7-4 Hubungan antara Lima Besar Ciri dengan Ciri Khusus Hubungan antara Lima Besar Ciri Ciri Khusus

Surgency Ekstroverso (ramah)

Tingkat Energi dan Aktivitas

Kebutuhan akan Kekuasaan (asertif)

Kehati-hatian Dapat Diandalkan

Integritas Pribadi

Kebutuhan akan Keberhasilan

Ramah tamah Ceria dan Optimis

Mengasuh (simpatik, membantu) Kebutuhan akan Afiliasi

Penyesuaian Kestabilan Emosional

Harga Diri

Pengendalian Diri

Intelektansi Rasa Ingin Tahu

Berpikiran Terbuka Berorientasi Belajar Berdasarkan Hogan, Curphy & Hogan (1994).

Tidak semua sarjana setuju bahwa model kepribadian “Lima Besar” lebih baik daripada taksonomi yang memiliki lebih banyak ciri khusus (Block, 1995; Hough, 1992). Jika salah satu dari lima faktor itu meliputi ciri yang relevan dan tidak relevan, akurasi dari prediksi akan lebih rendah. Selanjutnya, bahkan saat ciri komponennya semuanya relevan, mereka mungkin tidak memiliki hubungan yang sama dengan perilaku kepemimpinan, yang dikira menengahi hubungan antara ciri dengan efektivitas kepemimpinan. Dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk menentukan apakah lima besar ciri tersebut memprediksikan dan menjelaskan efektivitas kepemimpinan dengan lebih baik daripada ciri komponen khusus.

KETERAMPILAN DAN EFEKTIVITAS MANAJERIAL

(14)

Keterampilan Teknis

Keterampilan teknis meliputi pengetahuan tentang metode, proses, dan perlengkapan untuk melakukan aktivitas khusus dari unit organisatoris manajer itu. Keterampilan teknis juga meliputi pengetahuan faktual tentang organisasi (peraturan, struktur, sistem manajemen, karakteristik karyawan), dan pengetahuan tentang produk dan jasa organisasi (spesifikasi teknis, kekuatan dan keterbatasan). Jenis pengetahuan ini diperoleh dengan kombinasi antara pendidikan formal, pelatihan, dan pengalaman kerja.

Perolehan dari pengetahuan teknis dipermudah oleh ingatan yang baik mengenai rincian, serta kemampuan untuk belajar materi teknis secara cepat. Para manajer yang efektif juga mampu memperoleh informasi dan ide dari banyak sumber dan menyimpannya dalam ingatan mereka untuk digunakan saat mereka membutuhkannya. Banyak bukti bahwa keterampilan teknis berhubungan dengan efektivitas dan kemajuan pada tingkat manajemen yang lebih tinggi (McCall & Lombardo, 1983).

Para manajer yang mengawasi pekerjaan dari orang lain membutuhkan pengetahuan yang amat luas mengenai teknis dan peralatan yang digunakan para bawahan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pengetahuan teknis mengenai produk dan proses diperlukan untuk merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan kerja, untuk memimpin dan melatih para bawahan dalam kegiatan yang istimewa, dan menangani gangguan dalam pekerjaan yang disebabkan oleh kerusakan peralatan, kerusakan kualitas, kecelakaan, bahan yang tidak cukup, dan masalah kordinasi.

(15)

memperkenalkan produk penting yang baru dalam perusahaan yang sudah mapan menyatakan bahwa pengetahuan teknis mereka merupakan ladang yang subur yang di dalamnya berakar bibit inspirasi untuk menghasilkan produk yang inovatif (Westley & Mintzberg, 1989). Beberapa contoh termasuk Edwin Land, penemu karena instan dan pendiri Polaroid Corporation, dan Steve Jobs, pendiri Apple Computer.

Memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai produk dan proses saja tidaklah cukup bagi seorang manajer yang bertanggung jawab. Para manajer juga membutuhkan pengetahuan luas tentang produk serta jasa yang ditawarkan oleh para pesaing. Perencanaan yang strategis kemungkinan tidak akan efektif kecuali bila seorang manajer memahami kekuatan dan kelemahan relatif dari produk (atau jasa)-nya sendiri dibandingkan dengan yang diberikan oleh para pesaing (Peters & Austin, 1985).

Keterampilan konseptual

Keterampilan konseptual (atau “kognitif”) meliputi kemampuan analitis, berfikir logis, membentuk konsep, pemikiran yang induktif, dan pemikiran yang deduktif. Dalam arti umumnya, keterampilan konseptual termasuk penilaian yang baik, dapat melihat ke depan, intuisi kreativitas, dan kemampuan untuk menemukan arti dan keteraturan dalam peristiwa yang tidak pasti dan ambigu. Keterampilan konseptual telah diukur dengan sejumlah metode yang berbeda, termasuk tes kecerdasan, tes situasi, wawancara dan peristiwa kritis.

(16)

ke dalam tingkat manajemen yang lebih tinggi 20 tahun kemudian dalam studi pada AT&T (Howard & Bray, 1988). Dalam studi CCL sebelumnya, keterampilan koonseptual yang lemah merupakan salah satu alasan bagi adanya para manajer yang menyimpang (McCall & Lombardo, 1983, hlm. 26): “Bagi orang yang menarik hati namun tidak terlalu cerdas akan menemukan bahwa pekerjaan yersebut menjadi terlalu besar dan masalahnya menjadi terlalu kompleks untuk dapat dilewatinya atas dasar keterampilan antarpribadi.”

Salah satu jenis keteampilan konseptual, disebut kompleksitas kognitif, termasuk kemampuan untuk menggunakan isyarat untuk membuat perbedaan dan mengembangkan kategori untuk menggolongkan sesuatu, demikian juga kemampuan untuk mengidentifikasikan hubungan yang kompleks dan mengembangkan solusi kreatif terhadap masalah. Orang yang memiliki kompleksitas kognitif yang rendah melihat hal-hal dalam hubungan secara hitam putih sederhana dan memiliki kesulitan untuk melihat banyaknya elemen yang berbeda itu saling mencocokkan sehingga membentuk kesatuan yang berarti. Seseorang yang memiliki kompleksitas kognitif yang tinggi mampu melihat berbagai bayangan semu dan mampu mengidentifikasikan pola-pola hubungan yang kompleks dan memprediksi peristiwa di masa depan berdasarkan kecenderungan yang ada sekarang. Dalam sebuah studi jangka panjang atas para manajer di empat buah perusahaan, kompleksitas kognitif yang diukur dengan wawancara penilaian individu telah memprediksi kemajuan manajerial secara mencolok untuk empat hingga delapan tahun kemudian (Stamp, 1988).

(17)

model berfungsi sebagai peta jalan yang menggambarkan keadaan dari sebuah daerah, memperlihatkan dimana sesuatu itu ditempatkan dalam hubungannya dengan yang lain, dan membantu Anda untuk menentukan bagaimana pergi dari satu tempat ke tempat lainnya. Para manajer yang memiliki ketermapilan kognitif yang lemah cenderung untuk mengembangkan model mental yang simplistik yang tidak terlalu berguna karena tidak mampu melukiskan proses yang rumit dan arus peristiwa yang dinamis dalam organisasi tersebut.

Seorang manajer harus mampu memahami bagaimana perubahan dalam lingkungan eksternal akan membawa dampak terhadap organisasi. Perencanaan strategis oleh para eksekutif meminta kemampuan yang cukup untuk dapat menganalisis peristiwa dan kecenderungan yang dirasakan, mengantisipasi perubahan, dan telah dijelaskan oleh Katz dan Kahn (1978, hlm. 541).

Keputusan untuk bergabung atau menolak penggabungan, untuk membuat perubahan penting dalam lokasi atau untuk mempertahankan posisi yang sekarang untuk meluncurkan lini produk yang sama sekali baru atau tetap dengan jenis barang tradisional agar menjadi nomor satu dalam proses produksi yang baru atau untuk menunggu hingga orang lain mencobanya – semua ini merupakan masalah yang meminta pengertian paling besar meengenai lingkungan manajemen. Disamping itu, juga merupakan persoalan yang membuat perbedaan antara persaingan yang berhasil dan tidak berhasil, antara petumbuhan dan stagnasi, kelangsungan hidup dan kegagalan.

(18)

tidak jelas dimana dalam situasi tersebut informasinya terbatas dan banyak ketidakpastian. Namun demikian, untuk membuat keputusan yang benar berdasarkan intuisi, dibutuhkan pengetahuan awal yang amat luas mengenai organisasi, produk serta jasanya, dan lingkungannya.

Kecerdasan Antar Pribadi

Kecerdasan antarpribadi juga disebut “kecerdasan sosial” meliputi pengetahuan mengenai perilaku manusia dan proses kelompok, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap, serta motivasi dari orang lain; dan kemampuan untuk mengkomunikasikan dengan jelas dan persuasif. Penelitian tentang ciri memperhatikan secara konsisten bahwa kecerdasan hubungan antara manusia tersebut penting bagi efektivitas manajerial serta kemajuan (Bass, 1990). Dalam studi AT&T, kecerdasan antarpribadi memprediksikan kemajuan. Dalam studi CCL, kekurangan dalam kecerdasan antar pribadi merupakan alasan utama bagi para manajer yang pada akhirnya menyimpang dalam karier manajemen mereka. Dalam studi tentang kompetensi kepemimpinan oleh Biyatzis (1982), kecerdasan antarpribadi dibedakan antara para manajer yang efektif dengan yang tidak efektif, bagaimanapun situasinya.

Kecerdasan antarpribadi seperti empati, wawasan sosial, daya tarik, kebijaksanaan dan diplomasi, sifat persuasif, dan kemampuan komunikasi lisan penting untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan kerja sama dengan para bawahan, atasan, dan rekan sejawat, dan orang luar. Seorang manajer yang memahami orang lain dan ia sangat menarik, taktis, dan diplomatis akan memiliki lebih banyak hubungan kerja sama daripada yang tidak berperasaan dan menyerang. mcCall dan Lombardo (1983, hl. 28) mengingat kembali kejadian berikut ini yang menyangkut seorang manajer yang kasar yang akhirnya menyimpang:

(19)

atasannya membentak, “Saya tidak peduli. Saya mengatakan bahwa saya ingin bertemu denganmu sekarang.”

Kecerdasan antarpribadi juga penting untuk mempengaruhi orang. Empati dan pemahaman sosial berarti kemampuan untuk mengerti motivasi, nilai, dan emosi seseorang. Memahami apa yang diinginkan orang dan bagaimana mereka merasakan sesuatu penting untuk memilih strategi mempengaruhi yang tepat untuk digunakan. Sifat persuasif dan keterampilan komunikasi lisan membuat manajer mampu menjalankan strategi mempengaruhi secara lebih efektif. Pengawasan diri merupakan sebuah kecerdasan antarpribadi yang telah mendapatkan perhatian yang makin banyak di tahun-tahun belakangan ini dari para peneliti kepemimpinan. Pengawasan diri berarti derajat dimana seseorang adalah mampu untuk menggunakan isyarat dari orang lain untuk memahami perilakunya sendiri dan pengaruhnya pada orang lain (Snyder, 1974). Pengawasan diri adalah mampu belajar dari umpan balik dan menyesuaikan perilaku mereka agar cocok dengan persyaratan situasi yang ada. Orang yang memiliki pengawasan diri yang tinggi akan lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai seorang pemimpin dalam sebuah kelompok kecil, dan mereka mnyelesaikan konflik dengan orang lain secara lebih efektif (Baron, 1989; Dobbins, Lonh, Dedrick & Clemonts, 1990).

(20)

Beberapa orang memiliki konsep yang sewaktu-waktu “dinyalakan” pada situasi yang istimewa. Katz (1995, hlm 34) memiliki titik pandang yang berbeda:

Keterampilan yang sebenarnya dalam bekerja dengan orang lain harus menjadi kegiatan yang alami dan berkelanjutan, karena hal ini mellibatkan sensitivitas bukan saja pada saat membuat keputusan, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari dari individu tersebut. . . Karena semua yang dikatakan dan dilakukan oleh pemimpin tersebut (atau tidak dikatakan atau tidak dilakukan) memiliki dampak terhadap rekan sekerjanya, sehingga keinginan diri sendiri pada waktunya akan terlihat. Jadi, agar efektif, keterampilan tersebut harus secara alami dikembangkan dan secara tidak sadar serta secara konsisten, diperlihatkan dalam tindakan dari individu tersebut.

KOMPETENSI LAINNYA YANG RELEVAN

Pada beberapa tahun terakhir ini telah diidentifikasikan tambahan kompetensi kepemimpinan, termsuk kecerdasam emosional. Kecerdasan sosial, dan metacognition. Walaupun kompetensi ini dapat dianggap sebagai keterampilan, masing-masing melibatkan sekelompok keterampilan dan ciri yang berhubungan, yang membuatnya sulit untuk mencocokkan kompetensi itu ke dalamsalah satu dari tiga ketegori keterampilan umum yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kecerdasan Emosional

Gambar

Tabel 7-4 Hubungan antara Lima Besar Ciri dengan Ciri Khusus

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas V Sekolah Dasar Negeri 17 Rabak dalam pembelajaran ilmu pengetahuan

Di dalam dunia ini, orang yang melakukan dosa besar itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq , tidak boleh disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman,

Proses pembangunan yang dimaksud yaitu proses perubahan kearah yang sesuai dengan tujuan awal yaitu mensejahterakan masyarakat dari segi pelestarian kebudayaan sehingga budaya yang

Tabel 1.2 Pelanggan PT PLN Persero UPJ Sidoarjo Kota dalam Melakukan Pembayaran Rekening Listrik Tarif Normal dengan sistem PPOB...7..

13) Peneliti mengadakan evaluasi dan analisis hasil pekerjaan siswa, lalu menutup kelas dengan salam.. Setelah pelaksanaan tindakan II pertemuan pertama, peneliti

PENGARUH PENDEKATAN BERMAIN TERHADAP KETERAMPILAN BERMAIN FUTSAL PADA SISWA KELAS 7 SMPN 1 LEMBANG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Buku pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi tidak terpisahkan dengan pedoman lain yang telah diterbitkan oleh Departemen Kesehatan seperti ; Pedoman

Tahap observasi ini dilakukan dengan melaksanakan pengamatan selama berlangsungnya proses pembelajaran baik aktivitas guru maupun siswa dengan menggunakan instrumen yang