• Tidak ada hasil yang ditemukan

RHEUMATOID BAHASA INDOnesia membuat susah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RHEUMATOID BAHASA INDOnesia membuat susah"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis yang menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak sendi. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada rheumatoid arthritis kekakuan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang mungkin memiliki rheumatoid arthritis, karena sedikit penyakit arthritis lainnya berperilaku seperti ini. Misalnya, osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi yang berkepanjangan (American College of Rheumatology, 2012).

(2)

rheumatoid arthritis dalam hidupnya. Penyakit ini paling sering dimulai antara dekade keempat dan keenam dari kehidupan. Namun, rheumatoid arthritis

dapat mulai pada usia berapa pun (American College of Rheumatology, 2012). Di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus rheumatoid arthritis di Indonesia berkisar 0,1% sampai dengan 0,3% sementara di Amerika mencapai 3% (Nainggolan, 2009). Angka kejadian rheumatoid arthritis di Indonesia pada penduduk dewasa (di atas 18 tahun) berkisar 0,1% hingga 0,3%. Pada anak dan remaja prevalensinya satu per 100.000 orang. Diperkirakan jumlah penderita rheumatoid arthritis di Indonesia 360.000 orang lebih (Tunggal, 2012).

(3)

demikian hal yang paling buruk pada penderita rheumatoid arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup. Bahkan kasus rheumatoid arthritis yang tidak begitu parah pun dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan seseorang untuk produktif dan melakukan kegiatan fungsional sepenuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon et al., 2002). Penderita penyakit kronik seperti rheumatoid arthritis mengalami berbagai macam gejala yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup mereka. Banyak usaha yang dilakukan agar pasien dengan rheumatoid arthritis dapat merasa lebih baik dan dapat memperbaiki kualitas hidup mereka. Pengobatan saat ini tidak hanya bertujuan mencegah atau berusaha menyembuhkan rheumatoid arthritis, tujuan utama pengobatan juga untuk mengurangi akibat penyakit dalam hidup pasien dengan meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kecacatan (Pollard et al., 2005).

Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak, meringankan kekakuan serta mencegah kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan

(4)

pengobatan rheumatoid arthritis. Tidak ada pengobatan tunggal bekerja untuk semua pasien. Banyak orang dengan rheumatoid arthritis harus mengubah pengobatan setidaknya sekali dalam seumur hidup. Pasien dengan diagnosis

rheumatoid arthritis memulai pengobatan dengan DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunomid. Obat ini tidak hanya meringankan gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit. Seringkali dokter meresepkan DMARD bersama dengan obat anti-inflamasi atau NSAID dan/atau kortikosteroid dosis rendah, untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan demam (Arthritis Foundation, 2008). Pengobatan rheumatoid arthritis merupakan pengobatan jangka panjang sehingga pola pengobatan yang tepat dan terkontrol sangat dibutuhkan. Dengan pengukuran kualitas hidup dapat diketahui pola pengobatan yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien (Chen et al., 2005).

(5)

terapi, seperti jenis obat atau terapi juga ikut berperan dalam kualitas hidup pasien (Chen et al., 2005).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran pengobatan pada pasien rheumatoid arthritis dan kualitas hidupnya. Penelitian ini dilakukan terhadap pasien rheumatoid arthritis yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada khususnya serta rumah sakit lainnya dalam menetapkan kebijakan pelayanan kesehatan dalam menangani penyakit

rheumatoid arthritis.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran pengobatan rheumatoid arthritis pada pasien rawat jalan di RS PKU?

2. Bagaimana kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat jalan RS PKU?

(6)

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pengobatan dan kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui gambaran pengobatan rheumatoid arthritis pada pasien rawat jalan di RS PKU.

b. Mengetahui kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis rawat jalan di RS PKU.

c. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas hidup pasien

rheumatoid arthritis rawat jalan di RS PKU.

D. Manfaat Penelitian 1. Farmasis

(7)

2. Instalasi rumah sakit dan profesi kesehatan lain

Sebagai sumber informasi bagi rumah sakit mengenai gambaran kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis khususnya pada pasien rawat jalan sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun strategi tatalaksana terapi rheumatoid arthritis di rumah sakit selain itu juga memberikan motivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien rheumatoid arthritis.

3. Peneliti

Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman penelitian tentang pelayanan kesehatan khususnya pada penyakit rheumatoid arthritis serta sebagai pembanding, pendukung dan pelengkap untuk penelitian selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Rheumatoid arthritis

a. Definisi

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah,

(8)

et al., 2002). Menurut American College of Rheumatology (2012),

rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis (jangka panjang) yang menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan serta keterbatasan gerak dan fungsi banyak sendi.

b. Etiologi

Penyebab pasti rheumatoid arthritis tidak diketahui, diperkirakan merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma dan virus. Menurut Smith dan Haynes (2002), ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita rheumatoid arthritis yaitu :

1). Faktor genetik

Beberapa penelitian yang telah dilakukan melaporkan terjadinya

rheumatoid arthritis sangat terkait dengan faktor genetik. Delapan puluh persen orang kulit putih yang menderita rheumatoid arthritis

mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 pada MHC yang terdapat di permukaan sel T. Pasien yang mengekspresikan antigen HLA-DR4 3,5 kali lebih rentan terhadap rheumatoid arthritis.

2). Usia dan jenis kelamin

(9)

dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga dapat memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis terjadi pada orang-orang usia sekitar 50 tahun.

3). Infeksi

Infeksi dapat memicu rheumatoid arthritis pada host yang mudah terinfeksi secara genetik. Virus merupakan agen yang potensial memicu rheumatoid arthritis seperti parvovirus, rubella, EBV, borellia burgdorferi.

4). Lingkungan

Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu rheumatoid arthritis seperti merokok.

(10)

c. Patogenesis

Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan komponen self dan non-self. Kasus rheumatoid arthritis

sistem imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan sinovial serta jaringan penyokong lain. Inflamasi berlebihan merupakan manifestasi utama yang tampak pada kasus rheumatoid arthritis. Inflamasi terjadi karena adanya paparan antigen. Antigen dapat berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen endogen (Schuna, 2005).

Paparan antigen akan memicu pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien rheumatoid arthritis ditemukan antibodi yang dikenal dengan Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor mengaktifkan komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan pelepasan sitokin oleh sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen kepada sel T CD4+. Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid arthritis

(11)

angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA. Inflamasi kronis yang dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan membran sinovial mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan

pannus. Pannus akan menginvasi kartilago dan permukaan tulang yang menyebabkan erosi tulang dan akhirnya kerusakan sendi (Schuna, 2005).

Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terus-menerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma sendi, ligamen dan tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi hipertrofi dan menebal. Terjadinya hipertrofi dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Schuna, 2005). d. Diagnosis

Kerusakan sendi pada rheumatoid arthritis (RA) dimulai pada beberapa minggu setelah onset gejala. Pengobatan yang dilakukan sejak dini dapat menurunkan progresivitas penyakit. Bukti menunjuk pada suatu “jendela oportunitas” untuk memulai pengobatan yang dapat

(12)

jendela ini mungkin berkisar antara 3-4 bulan (NHMRC, 2009). Oleh karena itu, penting sekali untuk mendiagnosis penyakit dan memulai modifikasi terapi penyakit sesegera mungkin. Diagnosis rheumatoid arthritis memerlukan sejumlah tes untuk meningkatkan kepastian diagnosis, membedakannya dengan bentuk artritis yang lain, memprediksi perkembangan penyakit pasien, serta melakukan monitoring untuk mengetahui perkembangan penyakit yaitu:

1). Laju enap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan adanya proses inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes ini berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2009). 2). Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin

mengindikasikan penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu). Pada beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RhF (negatif palsu). RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien RA. Level RhF jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit (NHMRC, 2009). 3). Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes

(13)

dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit yang erosif (NHMRC, 2009).

4). Tes hitung darah lengkap biasanya dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai inflamasi dan anemia yang berguna sebagai indikator prognosis pasien (NHMRC, 2009).

5). Analisis cairan sinovial. Peradangan yang mengarah pada

rheumatoid arthritis ditandai dengan cairan sinovial abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda peradangannya (Shiel, 2011).

6). X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi adanya erosi dan memprediksi perkembangan penyakit dan untuk membedakan dengan jenis artritis yang lain, seperti osteoartritis (Shiel, 2011).

7). MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini jika dibandingkan dengan X-Ray (Shiel, 2011).

8). USG dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel, 2011).

9). Scan tulang. Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi pada tulang (Shiel, 2011).

(14)

11).Tes Antinuklear Antibodi (ANA) (Shiel, 2011). e. Prognosis

Diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat membahayakan pasien. Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah 10 tahun. Akan tetapi, hasilnya sangatlah bervariasi. Beberapa pasien menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan progresi penyakit yang kronis (Temprano, 2011).

Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang menunjukkan adanya cedera tulang pada tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang kronis dan adanya antibodi anti-CCP (Temprano, 2011). Rheumatoid arthritis yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun cenderung menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena masalah kardiovaskular meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Secara keseluruhan, tingkat mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali dari populasi umum (Temprano, 2011).

f. Komplikasi

(15)

bertahap menjadi kurang agresif dan gejala bahkan dapat membaik. Bagaimanapun, jika terjadi kerusakan tulang dan ligamen serta terjadi perubahan bentuk, efeknya akan permanen.

Kecacatan dan nyeri sendi dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang umum. Sendi yang terkena bisa menjadi cacat, kinerja tugas bahkan tugas biasa sekalipun mungkin akan sangat sulit atau tidak mungkin. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Selain itu,

rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain sendi. Efek ini meliputi :

1). Anemia 2). Infeksi

Pasien dengan RA memiliki risiko lebih besar untuk infeksi. Obat imunosupresif akan lebih meningkatkan risiko.

3). Masalah gastrointestinal

Pasien dengan RA mungkin mengalami gangguan perut dan usus. Kanker perut dan kolorektal dalam tingkat yang rendah telah dilaporkan pada pasien RA.

4). Osteoporosis

Kondisi ini lebih umum daripada rata-rata pada wanita

(16)

osteoporosis tampaknya lebih tinggi daripada rata-rata pada pria dengan RA yang lebih tua dari 60 tahun.

5). Penyakit paru-paru

Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru dan fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis RA, namun temuan ini dapat dikaitkan dengan merokok.

6). Penyakit jantung

RA dapat mempengaruhi pembuluh darah dan meningkatkan risiko penyakit jantung iskemik koroner.

7). Sindrom Sjögren 8). Sindrom Felty

Kondisi ini ditandai dengan splenomegali, leukopenia dan infeksi bakteri berulang. Ini mungkin merupakan respon disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs).

9). Limfoma dan kanker lainnya

RA terkait perubahan sistem kekebalan tubuh mungkin memainkan peran. Pengobatan yang agresif untuk RA dapat membantu mencegah kanker tersebut.

(17)

g. Tatalaksana Terapi

1). Tujuan terapi rheumatoid arthritis

Pengobatan penderita rheumatoid arthritis bertujuan untuk :

a). Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik lokal maupun sistemik.

b). Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan.

c). Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik. d). Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang

mengalami rheumatoid arthritis agar sedapat mungkin menjadi normal kembali (Rizasyah, 1997).

2). Strategi terapi

Pengobatan rheumatoid arthritis memiliki dua komponen (Shiel, 2011):

a). Mengurangi inflamasi serta mencegah kerusakan dan kecacatan sendi.

b). Menghilangkan gejala, terutama nyeri. 3). Tata laksana terapi

(18)

melindungi sendi. Jika sendi sudah rusak parah, suatu tindakan pembedahan mungkin diperlukan.

a). Terapi non-farmakologi

Terapi non-farmakologi untuk rheumatoid arthritis meliputi latihan, istirahat, pengurangan berat badan dan pembedahan (Shiel, 2011).

(1). Latihan

Penelitian menunjukkan bahwa olahraga sangat membantu mengurangi rasa sakit dan kelelahan pada pasien rheumatoid arthritis

serta meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan gerak. Tiga jenis olahraga yang disarankan adalah latihan rentang gerak, latihan penguatan dan latihan daya tahan (aerobik). Aerobik air adalah pilihan yang sangat baik karena dapat meningkatkan jangkauan gerak dan daya tahan, juga dapat menjaga berat badan dari sendi-sendi tubuh bagian bawah (Shiel, 2011).

(2). Istirahat

(19)

pasien duduk lama, pasien mungkin dapat beristirahat sejenak setiap jam, berjalan-jalan sambil meregangkan dan melenturkan sendi (Schuna, 2008).

(3). Pengurangan berat badan

Menurunkan berat badan dapat membantu mengurangi stres pada sendi dan dapat mengurangi nyeri. Menjaga berat badan tetap ideal juga dapat mencegah kondisi medis lain yang serius seperti penyakit jantung dan diabetes. Pasien hendaknya mengkonsumsi makanan yang bervariasi, dengan memperbanyak buah dan sayuran, protein tanpa lemak dan produk susu rendah lemak. Berhenti merokok akan mengurangi risiko komplikasi rheumatoid arthritis (Shiel, 2011).

(4). Pembedahan

Jika terapi obat gagal mencegah atau memperlambat kerusakan sendi, tindakan pembedahan mungkin dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki sendi yang rusak. Pembedahan dapat membantu mengembalikan kemampuan penggunaan sendi, mengurangi rasa sakit dan mengurangi kecacatan. Pembedahan yang dilakukan antara lain sebagai berikut (Harms, 2009):

(20)

(b). Perbaikan tendon. Peradangan dan kerusakan sendi dapat menyebabkan tendon di sekitar sendi menjadi longgar atau pecah. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan tendon di sekitar sendi.

(c). Sinovektomi (penghapusan lapisan sendi). Lapisan sendi yang meradang dan menyebabkan nyeri dapat dihilangkan.

(d). Artrodesis (fusi sendi). Fusi sendi mungkin direkomendasikan untuk menstabilkan atau menyetel kembali sendi dan dapat mengurangi nyeri ketika penggantian sendi tidak menjadi suatu pilihan.

Pembedahan berisiko menyebabkan perdarahan, infeksi dan nyeri, sehingga sebelum dilakukan tindakan, harus diperhitungkan dulu manfaat dan risikonya.

b). Terapi farmakologi

Ada dua kelas obat yang digunakan untuk mengobati RA, yaitu obat fast acting (lini pertama) dan obat slow acting (lini kedua). Obat-obat fast acting digunakan untuk mengurangi nyeri dan peradangan, seperti aspirin dan kortikosteroid sedangkan obat-obat slow acting

(21)

Gambar 1. Algoritma Terapi Rheumatoid Arthritis (Schuna, 2008)

Pengobatan dengan DMARD sebaiknya dimulai selama 3 bulan pertama sejak diagnosis rheumatoid arthritis ditegakkan. Kombinasi dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi gejala. Pengobatan dengan DMARD sejak dini dapat mengurangi mortalitas. DMARD yang paling sering digunakan adalah metotreksat, hidroksiklorokuin, sulfasalazin dan leflunomid.

Metotreksat, atau DMARD lain ± NSAID, ± Prednison dalam 3 bulan pertama

Kombinasi DMARD Respon buruk

DMARD lain monoterapi (Metotreksat jika tidak

digunakan diatas)

DMARD biologik mono atau kombinasi

dengan DMARD

Respon buruk

(22)

Metotreksat lebih banyak dipilih karena menghasilkan outcome

yang lebih baik jika dibandingkan dengan obat lain. Metotreksat juga lebih ekonomis jika dibandingkan dengan agen biologik. Obat lain yang efikasinya mirip dengan metotreksat adalah leflunomid (Schuna, 2008). Agen biologik yang mempunyai efek DMARD juga dapat diberikan pada pasien yang gagal dengan terapi DMARD. Agen ini dirancang untuk memblokir aksi zat alami yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh, seperti faktor TNF, atau IL-1. Zat-zat yang terlibat dalam

rheumatoid arthritis adalah reaksi kekebalan tubuh abnormal sehinggga perlu dihambat untuk memperlambat reaksi autoimun sehingga dapat meringankan gejala dan memperbaiki kondisi secara keseluruhan. Agen biologik yang biasa digunakan adalah obat-obat anti-TNF (etanercept, infliximab, adalimumab), antagonis reseptor IL-1 anakinra, modulator kostimulasi abatacept dan rituximab yang dapat mendeplesi sel B periferal (Schuna, 2008). Infliximab dapat diberikan secara kombinasi bersama metotreksat untuk mencegah perkembangan antibodi yang dapat mereduksi efek obat ataupun menginduksi reaksi alergi. Kombinasi dua atau lebih DMARDs juga diketahui lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi tunggal (Schuna, 2008).

(23)

dapat mengontrol penyakit. Kortikosteroid dapat disuntikkan ke dalam sendi dan jaringan lokal untuk mengendalikan peradangan lokal. Kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan sebagai monoterapi dan penggunaannya secara kronis sebaiknya dihindari (Schuna, 2008).

NSAID juga dapat diberikan untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri pada RA. NSAID tidak memperlambat terjadinya kerusakan sendi, sehingga tidak dapat diberikan sebagai terapi tunggal untuk mengobati RA. Seperti kortikosteroid, NSAID digunakan sebagai terapi penunjang DMARD (Schuna, 2008).

4). Monitoring terapi

Evaluasi terapi terutama didasarkan pada perbaikan tanda-tanda klinis dan gejala RA. Perbaikan tanda klinis misalnya adalah berkurangnya pembengkakan sendi, berkurangnya panas pada sendi yang terlibat dan berkurangnya nyeri saat sendi dipalpasi. Pengurangan gejala misalnya adalah berkurangnya nyeri sendi yang dirasakan, perbaikan dan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari. Radiografi dan pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan untuk memantau hasil terapi (Schuna, 2008).

2. Kualitas hidup a. Definisi

(24)

yang tidak hanya digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi dalam konteks penelitian dihubungkan dengan berbagai macam bidang khusus. Istilah kualitas hidup (quality of life) yang lebih spesifik disebut Health Related Quality of Life (HRQOL) merupakan domain kesehatan fisik, psikologi, kepercayaan, harapan dan persepsi seseorang. Oleh karena itu, dua orang dengan status kesehatan yang sama mungkin bisa mempunyai kualitas hidup yang berbeda. Pengukuran kualitas hidup biasa digunakan pada praktek klinik seperti psikiatri, rheumatologi, geriatri dan perawat (Testa dan Simonson, 1996).

b. Instrumen untuk mengukur kualitas hidup

Pengukuran HRQOL dapat digunakan dua pendekatan terkait dengan instrumen yang digunakan, yakni instrumen generik dan instrumen spesifik.

(25)

spesifik dari suatu penyakit yang penting dalam penegakan perubahan status klinis pasien (Gutterling et al., 2007).

2). Sementara instrumen spesifik fokus pada keadaan kesehatan yang spesifik agar memberikan hasil yang lebih rinci berdasarkan luaran dari kondisi kesehatan atau penyakit tertentu Keuntungan dari instrumen ini adalah memberikan spesifisitas dan sensitivitas yang lebih besar dibandingkan instrumen generik (Gutterling, et al., 2007).

c. Instrumen untuk mengukur kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis

(26)

Kuesioner spesifik yang dapat menilai kualitas hidup dari pasien

rheumatoid arthritis adalah AIMS2 SF (Arthritis Impact Measurement Scales Short Form). AIMS2 SF merupakan kuesioner spesifik untuk menilai kualitas hidup penderita arthritis. Kuesioner ini didesain untuk mengukur kualitas hidup dan outcome pasien dalam berbagai aspek kualitas hidup dengan skala pengukuran spesifik dan mampu menggambarkan kualitas hidup pasien arthritis secara keseluruhan. AIMS2 SF terdiri dari 26 pertanyaan yang mencerminkan 5 domain atau bidang yaitu physical scales, symptom scales, affect scales, social scales dan work scales (Meenan et al., 1997). Kedepannya penelitian lebih lanjut tentang AIMS2 SF dengan berbagai bahasa dan budaya akan sangat bermanfaat dan akan memungkinkan dokter beserta tenaga kesehatan yang lain untuk mendapatkan pemahaman yang semakin baik mengenai kondisi pasiennya.

d. Penilaian nyeri rheumatoid arthritis menggunakan Visual Analog Scale

(27)

dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya relatif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosakata tidak menjadi permasalahan (Indrati, 2009). Williamson dan Hoggart (2005) juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio.

Gambar 2. Visual Analog Scale (Indrati, 2009)

Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri ringan pada skala 1 sampai 3, intensitas nyeri sedang pada skala 4 sampai 6, intensitas nyeri berat pada skala 7 sampai 9 intensitas nyeri sangat berat pada skala 10 nyeri tidak terkontrol (Potter dan Perry, 2005).

F. Landasan Teori

(28)

arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup. Pemberian terapi

rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak, meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Obat-obatan berperan sangat penting dalam terapi rheumatoid arthritis. Pasien rheumatoid arthritis memulai pengobatan dengan DMARD seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunamid. Obat tersebut meringankan gejala dan memperlambat kemajuan penyakit. DMARD sering dikombinasikan dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dosis rendah untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan demam

Secara umum kualitas hidup menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya. Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain karakteristik pasien, seperti umur dan jenis kelamin. Faktor berikutnya adalah karakteristik penyakit seperti penyakit penyerta dan lamanya (durasi)

(29)

G. Kerangka Konsep

Gambar 3. Skema Kerangka Konsep Penelitian

H. Hipotesis

Berdasarkan uraian dalam landasan teori, dapat dirumuskan hipotesis yaitu usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, durasi penyakit, jenis obat yang digunakan dan tingkat nyeri yang dialami mempengaruhi kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Karakteristik pasien :

1. Usia

2. Jenis kelamin

Karakteristik penyakit :

1. Penyakit penyerta

2. Durasi penyakit

Jenis obat atau terapi yang digunakan

Nyeri yang dialami

Kualitas hidup pasien

Gambar

Gambar 1. Algoritma Terapi Rheumatoid Arthritis (Schuna, 2008)
Gambar 3. Skema Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

ADDIE, antara lain: mampu menampilkan secara visual teknik bermain instrumen gamelan, mampu menampilkan tangga nada gendhing secara dinamis, yaitu menampilkan

Salah satu kritik terhadap perubahan standar akuntansi adalah bahwa thes membuat resep tertentu untuk akuntansi dan praktik audit yang tidak seluruhnya didasarkan

Integrasi pendidikan karakter pada kegiatan penutup pembelajaran didukung oleh penelitian yang dilakukan Abimartono (2010) yang berjudul

Setelah melihat faktor yang berhubungan dengan terjadinya perubahan pemilihan penolong dan tempat, Diharapkan lebih meningkatan pengetahuan masyarakat mengenai

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti subjek, persepsi, motivasi, tindakan,

Untuk mengatasi kesulitan tersebut Villardon (Jordana & Sànchez, 2010) menawarkan untuk menggunakan berbagai rangkaian aktivitas evaluasi untuk mengases kegiatan

Memberikan gambaran kepada orang tua khususnya ibu, tentang hubungan persepsi dengan keterlibatan yang mereka miliki serta lebih memperhatikan pengembangan literasi

Sedangkan minat membaca pada usia prasekolah umumnya baik (di sekolah yang penulis observasi) anak-anak sangat senang, antusias apabila berkunjung/bermain