• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Masyarakat Plural ke Masyarakat Mul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dari Masyarakat Plural ke Masyarakat Mul"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

DARI MASYARAKAT PLURAL KE MASYARAKAT MULTIKULTURAL : Menuju Optimalisasi Keanekaragaman Budaya Sebagai Aset Bersama1

Zulkifli B. Lubis2

Pengantar

Perbendaharaan bahasa kita (Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa

etnik Nusantara) cukup kaya dengan gambaran mengenai fakta keragaman

budaya dan pentingnya sikap menghargai dan menghormati kebudayaan lain.

Ungkapan “lain padang lain belalang”, “lain lubuk lain ikannya”, misalnya, menggambarkan fakta adanya keragaman budaya di tempat yang berbeda.

Demikian pula ungkapan Minangkabau yang mengatakan “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung” adalah contoh pentingnya penghormatan atas budaya lain sekaligus tuntutan untuk mampu menyesuaikan diri dengan

konteks sosial budaya dimana manusia hidup. Bahkan fakta

keanekaragaman entitas-entitas sosial kultural yang menjadi unsur

pembangun bangsa Indonesia telah pula diakui dan dijadikan emblem resmi

melalui ungkapan Bhinneka Tunggal Ika. Di sisi lain kita semua juga selalu membanggakan diri sebagai warga dari sebuah negeri yang dihuni

beranekaragam suku bangsa dengan khasanah kebudayaannya yang kaya

serta warga masyarakatnya yang berbudi pekerti luhur.

Tetapi perjalanan hidup bangsa kita selama beberapa dekade terakhir

ini memberi pelajaran berharga bahwa keanekaragaman suku bangsa dan

kebudayaan itu hampir-hampir menjadi petaka yang bisa membawa negeri ini

ke jurang kehancuran. Berbagai konflik dan peristiwa kerusuhan komunal

yang terjadi di seantero negeri ini beberapa waktu yang lalu, sebagian besar

diantaranya justru berlatar belakang atau berlatar depan konflik antar etnik.

Kemajemukan masyarakat tidak lagi menjadi sebuah anugerah, melainkan

menjadi ancaman petaka yang sewaktu-waktu bisa mengoyak integrasi.

Sudah barang tentu bukan fakta kemajemukan itu sendiri yang salah, tetapi

1

Makalah disampaikan pada kegiatan Temu Budaya Sumatera Utara, diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh; Laboratorium Pariwisata USU 7-8 Juli 2003.

2

(2)

cara kita memperlakukan kemajemukan itulah yang sedang bermasalah.

Mengapa terjadi demikian dan bagaimana mendayagunakan kemajemukan

tersebut untuk tetap menjadi kekuatan integratif ? Tulisan ini mencoba

menawarkan gagasan yang bisa menjadi semacam panacea, yang di dunia antropologi sesungguhnya tidak baru lagi, yaitu perlunya kita berhijrah dari

paham masyarakat majemuk (plural) ke paham masyarakat multikultural.

Sebuah fase hijrah paradigmatik yang menuntut kita menyesuaikan cara

pandang tentang keanekaragaman (pluralitas).

Hijrah dari terminal ‘plural’ ke terminal ‘multikultural’

Ada masalah apa dengan pemahaman kita tentang masyarakat plural

sehingga perlu dikaji ulang ? Masalahnya adalah selama ini kita hanya

berhenti pada penjelasan bahwa masyarakat Indonesia merupakan

masyarakat yang majemuk, terdiri dari beragam suku bangsa, agama, ras,

dan aneka golongan sosial yang hidup berdampingan dengan rukun. Tapi tak

cukup penjelasan bagaimana seharusnya kita memperlakukan keragaman itu

kecuali hanya sekedar himbauan agar kita saling menghargai dan toleran

atas perbedaan yang ada. Celakanya, sekurang-kurangnya selama Orde

Baru fakta kemajemukan itu seolah disakralkan dan dibungkus dalam sebuah

istilah politis “SARA”. Hal-hal yang berbau SARA kemudian tabu untuk

diekspresikan dan dibicarakan secara terbuka. Kebutuhan untuk terciptanya

sebuah tertib sosial yang bernama “stabilitas nasional” waktu itu memang

terwujud, meskipun kemudian ternyata semu belaka, dan hanya ibarat

menutup api dalam sekam.

Bahwa sebuah masyarakat plural sangat rawan dengan konflik sosial

adalah benar secara teoritik, karena di dalamnya terkandung perbedaan atau

variasi sosial dan budaya yang menjadi acuan bertindak bagi

kelompok-kelompok sosial yang menjadi elemen dari masyarakat plural tersebut.

Seperti dikatakan oleh Furnivall (1980) ciri utama dari masyarakat plural

adalah orang hidup berdampingan secara fisik, tetapi, karena perbedaan

sosial mereka terpisah dan tidak tergabung dalam satu unit politik maupun

ekonomi. Pemisahan kelompok-kelompok masyarakat dapat juga disebabkan

perbedaan agama, ras, dan okupasi. Persoalan muncul ketika

(3)

sosial budaya yang dimilikinya, bertindak melalui seperangkat aturan yang

berbeda-beda, yang bisa menimbulkan salah paham bahkan konflik antar

kelompok (Haviland, 1990). Terlebih lagi ketika perbedaan itu bertemu dalam

kancah interaksi sosial yang ramai dan padat (crowded), maka pola-pola

budaya yang berbeda itu sering mengarah kepada konflik, penindasan

bahkan perang (Spradley & McCurdy, 1987:9).

Sesungguhnya tidak ada masalah dengan sebuah masyarakat yang

plural jika kekuatan hegemoni atau dominasi satu kelompok atas kelompok

lain tidak terjadi. Tapi sayangnya dunia kenyataan selalu tak seindah

harapan. Kekuasaan berlebih (baik politik maupun ekonomi) yang dimiliki

suatu kelompok sehingga mampu melakukan hegemoni atau dominasi

terhadap kelompok lain hampir selalu disertai ‘penaklukan’ kebudayaan juga.

Sehingga ruang ekspresi budaya bagi kelompok yang takluk menjadi serba

terbatas, dan warganya menjadi termarginalkan, alienatif, dan subordinatif

bagi kelompok kebudayaan ‘mainstream’. Fenomena marginalisasi, alienasi, dan subordinasi itu bahkan terjadi di masa lalu di bawah panji-panji “Bhinneka

Tunggal Ika”, yang pada faktanya diterjemahkan sebagai proses

“me-nunggal-ika-kan ke-bhinneka-an”. Dengan perkataan lain, fenomena yang terjadi, di masa Orde Baru khususnya, adalah upaya homogenisasi

kebudayaan, sehingga hak hidup atau eksistensi kebudayaan-kebudayaan

lokal dari ratusan kelompok etnik Nusantara menjadi terabaikan (Winarto,

2000). Deretan contoh-contoh mengenai hal ini cukup panjang, baik dalam

dimensi vertikal maupun horizontal.

Pada tataran struktural, eksistensi unsur-unsur masyarakat plural itu

berada dalam sebuah kerangkeng kesenjangan sosial ekonomi yang

berkepanjangan, yang juga terbangun sebagai hasil rekayasa “class forming” rezim penguasa. Maka, ketika terjadi kerusuhan-kerusuhan etnik yang

meledak sejak awal era reformasi, Usman Pelly (1999:34) misalnya,

menjelaskannya sebagai sebuah bentuk protes budaya yang memberi

petunjuk kuat bahwa tatanan sosial dalam kehidupan majemuk telah

dilanggar dan dihancurkan. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat plural

yang berwajah hegemonik, yang tidak ditata dalam nuansa kesetaraan dan

(4)

Oleh karena itu, untuk tidak mengulangi terjadinya proses-proses

sosial yang melukai hubungan antar kelompok dalam tatatan masyarakat

majemuk, para ahli kini berpaling kepada penguatan aspek kultural melalui

paham multikulturalisme. Parsudi Suparlan (2002) misalnya, mengemukakan

bahwa kalau selama puluhan tahun corak masyarakat Indonesia yang

Bhinneka Tunggal Ika adalah keanekaragaman suku bangsa, maka sudah

saatnya corak masyarakat Indonesia ke depan menjadi keanekaragaman

kebudayaan yang ada (masyarakat multikultural). Menurut Parsudi Suparlan

konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep

keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang

menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan

keanekaragaman budaya dalam kesederajatan. Multikulturalisme adalah

sebuah “ideologi” yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam

kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah : bagaimana

mekanisme hijrah paradigmatik dari masyarakat plural ke masyarakat

multikultural itu ?. Merujuk pada pendapat James P. Spradley & David W.

McCurdy (1987:9-10), paling tidak ada tiga persyaratan yang harus kita

penuhi. Pertama, daripada memberangus keragaman budaya melalui pemaksaan proses asimilasi ke dalam kebudayaan mainstream, justru akan lebih baik kalau kita mengakui kenyataan bahwa kebudayaan kita adalah

pluralistik. Kita harus menerima fakta bahwa kelompok-kelompok sosial yang

ada di dalam masyarakat kita memiliki sistem nilai yang berbeda-beda yang

kadangkala bisa bertentangan satu dengan yang lain. Kedua, kita harus secara terus menerus menguji konsekwensi-konsekwensi dari setiap sistem

nilai kita. Bahwa tidak tepat untuk selalu memaksakan ukuran-ukuran nilai kita

kepada kelompok lain (etnisentrisme). Memaksa suatu kelompok etnik untuk

berasimilasi ke dalam kelompok lain akan menghancurkan kebanggaan dan

identitas diri mereka. Ketiga, kita harus mulai belajar untuk mampu beralih

dari perilaku yang egosentris dan etnosentris kepada perilaku yang homosentris. Perubahan ini memang memerlukan suatu moralitas yang dapat mengartikulasikan sistem nilai yang bertentangan dan menciptakan suatu

(5)

Memang dalam lingkup yang lebih luas akan selalu muncul rebutan

kepentingan antara kebutuhan akan pengakuan keragaman (diversity)

dengan kesatuan (unity). Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang

pandai menyeimbangkan kedua tuntutan tersebut. Menurut Bhikhu Parekh

(1997) dalam tulisannya berjudul A Commitment to Cultural Pluralism, masyarakat multikultural perlu menemukan suatu cara yang praktis dan

berterima secara kolektif untuk merekonsiliasikan antara dua tuntutan :

kesatuan dan keragaman. Sementara sebuah masyarakat perlu memastikan

adanya kesatuan dan kohesi, pada saat yang sama dia juga tidak dapat

mengabaikan kebutuhan akan keragaman.

Sekurangnya ada tiga alasan menurut Bhikhu Parekh mengapa hal ini

penting. Pertama, keragaman (diversity) itu sendiri adalah sebuah fakta kehidupan yang tidak bisa lepas dari sebuah masyarakat multikultural,

sehingga usaha-usaha untuk membongkarnya atas nama asimilasi adalah

kontraproduktif dan tidak bisa diterima secara moral maupun politik. Karena

hal itu akan potensial menciptakan resistensi, ketidak-amanan, memperdalam

kecurigaan antar budaya dan mengancam kesatuan yang ingin dicapai dari

asimilasi itu sendiri. Alasan kedua, karena umat manusia sangat kuat

dibentuk –meskipun tak sepenuhnya ditentukan—oleh kebudayaannya, maka

kebudayaan itu sekurang-kurangnya menjadi bagian dari pembentuk identitas

mereka. Menjadi orang Jawa, orang Minang, orang Mandailing, misalnya,

adalah sama dengan menjadi anggota dari suatu komunitas budaya tertentu

dan merasa terikat dengan anggota komunitasnya karena memiliki

pandangan hidup yang sama. Alasan ketiga, keragaman budaya

memperkaya dan memberi daya hidup bagi kehidupan kolektif, dan ini

dibutuhkan bukan hanya oleh komunitas-komunitas minoritas tetapi juga oleh

sebuah masyarakat secara keseluruhan.

Lebih jauh Parekh mengatakan bahwa kesatuan dan keragaman

sama-sama penting dan tidak dapat saling mengalahkan. Jika sebuah

masyarakat multikultural mengutamakan kesatuan sebagai yang terpenting,

hal itu akan menciptakan resistensi, dan melanggar hak asasi manusia, dan

akan kehilangan manfaat dari keragaman. Sebaliknya, jika keragaman yang

lebih diutamakan, maka masyarakat tersebut akan jatuh ke dalam

(6)

dengan perbedaan-perbedaan mereka dan tidak dapat bekerja sama untuk

mencapai tujuan bersama, memecahkan masalah-masalah yang dihadapi,

dan tidak dapat membangun identitas yang lebih luas dan lebih kaya. Dalam

masyarakat multikultural, kesatuan dan keragaman selalu harus berhubungan

secara dialektikal, sedemikian rupa bahwa kesatuan itu melekat dan

dipelihara oleh keragaman, dan keragaman itu terletak di dalam dan diatur

oleh kesatuan. Semakin besar dan dalam keragaman di dalam suatu

masyarakat, maka semakin besar dan dalam pula kesatuan dan kepaduan

(cohesion) harus dibangun bersama untuk memelihara keragaman itu.

Sebuah masyarakat multikultural juga harus memastikan bahwa

komunitas kulturalnya dapat memelihara dan meneruskan warisan

kebudayaan mereka, semisal bahasa, sejarah dan religi. Hal ini akan

memberikan kepada mereka rasa aman dan rasa percaya diri untuk

berinteraksi dengan orang lain dalam suasana yang rileks, dan membantu ke

arah terciptanya suatu budaya kolektif yang plural. Selain itu diperlukan pula

suatu konsensus yang sesuai untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap

perbedaan. Singkatnya, masyarakat multikultural menghendaki warganya

untuk memberi ruang yang sepadan bagi hak hidup dan ekspresi setiap

kebudayaan yang ada.

Masa depan keanekaragaman budaya :

Lakon multikulturalis, modal sosial dan asset bersama

Dengan uraian di atas saya ingin mengatakan bahwa eksistensi

keragaman budaya akan lebih terjamin dalam setting masyarakat yang

multikultural ketimbang masyarakat yang plural. Oleh karena itu, lakon yang

harus diperankan oleh setiap warga masyarakat (bahkan warga negara)

maupun sebuah komunitas di masa depan bukan lagi sekedar mengakui

keberadaan kelompok lain yang berbeda kebudayaan, tetapi lebih dari itu

juga harus memberi ruang berekspresi yang sepadan bagi mereka sesuai

dengan ukuran-ukuran kebudayaannya. Dengan cara demikian, orang Lubu

(Siladang) atau orang Ulu (Muara Sipongi) di Mandailing Natal untuk sekedar

mengambil contoh, tidak harus mengidentifikasi diri sebagai orang Mandailing

(7)

inferior karena, arus budaya Mandailing yang menjadi “mainstream” di

sekitarnya. Demikian juga orang Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan

Angkola tidak harus mengidentifikasi diri sebagai orang Batak hanya karena

mereka selama ini dilabeli secara hegemonik oleh kekuasaan kolonial yang

terwariskan hingga kini. Juga menjadi sesuatu yang tidak adil untuk

mengecam orang Tionghoa berbahasa Mandarin dengan sesamanya di

tempat-tempat umum sementara kita tidak mempersoalkan orang pribumi

yang melakukan hal sama di tempat yang sama.

Apabila setiap kelompok sosial telah mendapatkan ruang yang

sepadan untuk mengekspresikan kebudayaannya, bahkan jika sekiranya

secara sukarela mereka mau memperkaya khasanah kebudayaannya dengan

mengambil atribut-atribut kebudayaan lain, maka lalu lintas hubungan antar

kebudayaan akan berlangsung secara fair dan terbangunlah sikap saling

hormat-menghormati dan saling percaya satu sama lain. Mengacu kembali

pada contoh di atas, akan lebih bermanfaat secara kebudayaan apabila orang

Siladang dan orang Ulu merasa bebas untuk mengekspresikan bahasa dan

segenap atribut kebudayaan mereka ketimbang membiarkan mereka malu

dan inferior dengan kebudayaannya sendiri. Demikian pula akan lebih

bermanfaat jika orang Pakpak misalnya merasa nyaman dengan identitas

Pakpak ketimbang dia harus mengidentifikasi diri sebagai orang Batak. Sama

halnya juga pasti lebih bermanfaat untuk belajar Bahasa Mandarin sehingga

mampu berkomunikasi dalam bahasa itu ketimbang mengecam orang

Tionghoa sebagai warga yang suka berperilaku eksklusif.

Sudah menjadi fitrah bahwa manusia merasa senang jika menemukan

orang lain mampu mengekspresikan dan menunjukkan siapa dirinya secara

jujur, dan kemudian piawai pula menggunakan atribut kebudayaan orang lain

tersebut (tentu dalam ukuran-ukuran yang pantas menurut kebudayaan itu)

sebagai wahana untuk membangun hubungan-hubungan sosial yang lebih

intim dan harmonis. Dengan cara itu akan terbangunlah saling percaya dan

hormat-menghormati satu sama lain, yang kemudian akan terajut menjadi

sebuah modal sosial (social capital), sebuah modal yang selama ini terbiarkan

terus digerus oleh iklim interaksi yang hegemonik.

Dengan prakondisi tumbuhnya masyarakat multikultural sebagaimana

(8)

kebudayaan bukan lagi sesuatu yang harus disatukan (dihomogenisasikan)

hanya karena sikap paranoid kita akan konsekwensi konflik yang bisa ditimbulkannya. Dengan pengakuan dan penghargaan yang

sungguh-sungguh terhadap fakta keberagaman kebudayaan, dan pemberian hak hidup

(eksistensi) mereka secara sepadan, maka atribut-atribut kebudayaan yang

semula dimiliki oleh suatu kelompok secara eksklusif akan berpotensi

menjadi sebuah asset yang dimiliki secara bersama oleh warga lintas

komunitas. Pada saat itulah kita dapat berharap dengan sungguh-sungguh

akan manfaat nyata keanekaragaman sebagai sebuah kekuatan integratif.

Dan dengan asset yang sudah menjadi “milik bersama” itu, kita dapat

mengembangkan upaya-upaya kreatif untuk menjadikannya lebih bernilai bagi

kehidupan komunitas, tidak terkecuali juga sebagai sistem pendukung bagi

industri pariwisata***.

BACAAN :

Bhikhu Parekh,

1997 A Commitment to Cultural Pluralism. http://www.kvc.minbuza.nl/ uk/ archive/commentary/parekh.html

Furnivall, J.S.

1980 Plural Societies, dalam Hans Dieter Evers (ed) Reading in Social Change and

Development. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Haviland, William A.

1990 Cultural Anthropology; Chicago: Holt, Reinhart and Winston Inc. Spradley, James P. & David W. Mc Curdy,

1987 Conformity and Conflict : Reading in Cultural Anthropology. Boston: Little Brown and Company.

Suparlan, Parsudi

Referensi

Dokumen terkait

1) Kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa

Sebagai suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha, kesehatan dan keselamatan kerja atau K3 diharapkan dapat menjadi upaya preventif  terhadap

Resep-resep kebijaksanaan di atas yaitu penghapusan spekulasi pasar modal dan penerapan bagi hasil dengan pembayaran tunai telah disarankan karena keduanya akan

Sural Kelerangan Relribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjulnya disingkal SKRDLB adalah sural keputusan yang menenlukan jumlah kelebihan pembayaran relribusi karena jumlah

Berdasarkan analisis jaringan perdagangan ikan kerapu dapat dipetakan bahwa keuntungan terbesar dinikmati oleh eksportir, kemudian oleh pedagang besar (ponggawa darat)

Bahan dan peralatan yang digunakan adalah sampel rintangan (berupa pohon, tiang listrik, manusia yang terdapat di pemandangan dan dinding untuk melakukan setting

Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana yang diakibatkan oleh penggunaan minuman keras di wilayah hukum Kota Semarang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi UU Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji tergambar dalam konsep urut kacang atau first come first served yakni