• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah hukum etika profesi hukum Kajian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah hukum etika profesi hukum Kajian"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Kajian Keterkaitan Hubungan Antara Hukum, Moral, Etika, Akhlak, Dan Agama

Tugas diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Etika dan Profesi Hukum”

Dosen : Drs. H. E. Mudjaidi Amin, S.H.,M.H.

DisusunOleh : PuspaDwiLabarina

1111141053 VI F

FAKULTAS HUKUM

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karena kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari hukum, ia merupakan kebutuhan dalam kehidupannya. Hukum berfungsi sebagai sandaran atau ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap (standard of product)

yang harus ditaati setiap anggota masyarakat. Dan lebih jauh hukum berfungsi sebagai suatu sarana perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna (as a tool of social engineering) ia sebagai alat untuk mengecek ketidak benarannya suatu tingkah laku (as a tool of justification), dan ia pun sebagai alat untuk mengontrol pemikiran dan langkah-langkah manusia agar mereka selalu terpelihara,tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum (as a tool of social control).

Hukum merupakan kesimpulan pertimbangan tentang apa yang patut dan baik dilakukan, tentang ada apa yang tidak dan tidak baik dilakukan. Apa yang dipandang baik, itulah yang harus dilakukan, dan apa yang tidak baik harus ditinggalkan. Mereka yang tidak melakukan sesuatu yang dipandang baik, atau melakukan sesuatu yang tidak dipandang baik, berarti mengingkari kebaikan dan membenarkan ketidak baikan (keburukan). Oleh karena itu timbullah norma kewajiban dan larangan, di samping ada norma yang tidak diwajibkan dan dilarang.1

Norma moral tidak sama dengan norma hukum. Dalam keadaan tertentu norma moral memerlukan norma hukum untuk diformalkan dalam lembaga tertentu, sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat.

Moral sangat erat hubungannya dengan hukum.Pelaksanaan dan penegakkan hukum memerlukan ketaatan kepada moral. Ada pepatah romawi yang berbunyi : “Quid Leges sine moribus?” artinya “apa artinya

(3)

undang kalau tidak disertai moralitas?” karena moral sangat erat hubungannya dengan hukum, maka kualitas hukum ditentukan oleh kualitas moral. Hukum yang tidak mencerminkan moral pada dasarnya bukan hukum, ia harus diganti dengan hukum yang bermoral.2Tidak terlepas dari itu selain hukum yang

berkaitan dengan moral, hukum pun mempunyai keterkaitam yang sangat erat dengan etika, akhlak, dan agama.

Membincangkan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sebagai salah satu kesatuan akan berimplikasi pada kedudukannya masing-masing. Dan hal ini yang melatar belakangi penulis untuk menulis dan mengkaji keterkaitannya suatu hubungan antara hukum, moral, etika, akhlak, dan agama. Maka penulis membuat makalah yang berjudul “ KajianKeterkaitan Hubungan Antara Hukum, Moral, Etika, Akhlak, dan Agama”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas penulis dapat menyimpulkan 2 (dua) bahasan yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan hukum, moral, etika, akhlak, dan agama? 2. Bagaimana keterkaitan hubungan antara hukum, moral, etika, akhlak,

dan agama?

(4)

C. Tujuan Penulis

Adapun maksud dan tujuan penulis dalam membuat makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan pengetahuan para pembaca tentang :

1. Mengetahui definisi dan makna dan penjelasan dari hukum, moral, etika, akhlak, dan agama;

2. Mengetahui keterkaitan hubungan antara hukum, moral, etika, akhlak, dan agama.

BAB II PEMBAHASAN

1. Penjelasan Mengenai Hukum, Moral, Etika, Akhlak, dan Agama

1.1. Hukum

(5)

bahwa hukum itu adalah sesuatu yang ada dan harus dijadikan pedoman hidup.

Menurut penulis berpendapat, hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit.

Penggunaan kata hukum sering ditemukan pemaknaannya dari berbagai bahasa, yakni bahasa Arab, bahasa Latin, bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan lain-lain. Dalam bahasa latin terdapat tiga kata, yakni “Recht” dan “Ius” dan “Lex” yang memiliki makna sama dengan pengertian Hukum, sedangkan perkataan hukum dalam bahasa Inggris lazim disebut “Law”, dalam bahasa Jerman kata hukum sama dengan “Droit”. Berdasarkan pengertian hukum dalam berbagai bahasa tersebut, maka pada hakikatnnya hukum itu memiliki pengertian sebagai berikut:3

1. Pengertian hukum itu bertalian erat dengan keadilan; 2. Pengertian hukum itu bertalian dengan kewibawaan;

3. Pengertian hukum itu dengan ketaatan/orde yang selanjutnya menimbulkan kedamaian;

4. Pengertian hukum itu bertalian erat dengan peraturan yang berisi norma.

Pada bagian terdahulu dikemukakan bahwa sangat sulit untuk memberikan sebuah definisi mengenai hukum, karena abstrak sifatnya. Namun demikian, pada kesempatan ini, akan dikemukakan definisi hukum yang diberikan oleh ahli hukum sebagai berikut:

1. Borst mengemukaan bahwa Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksaannya dapat dipaksakan atau bertujuan mendapatkan keadilan. Berkaitan dengan definisi ini hukum yang diberikan oleh Brost

(6)

tersebut, menurut R. Soeroso definisi hukum yang diberikan oleh Brost dapat diuraikan sebagai berikut:4

1) Hukum ialah peraturan atau norma, petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Dengan demikian hukum bukan kewajiban;

2) Norma hukum diadakan guna diajukan pada kelakuan atau perbuatan manusia dalam masyarakat, dengan demikian pengertian hukum adalah pengertian sosial. Di mana terdapat masyarkat, di situ terdapat hukum, sebaliknya bilamana tidak ada masyarakat, hukumpun tidak ada;

3) Pelaksanaan peraturan hukum itu dapat dipaksakan. Artinya hukuman terdapat sanksi, berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan ganti-rugi yang menderita.

2. L.J. Van Apeldoorn mengemukakan dalam bukunya yang bejudul “Inleiding too de studie van het Nederlandse recht” Apeldoorn, memberikan pengertian hukum sebagai berikut “memberikan definisi atau batasan hukum, sebenarnya hanya bersifat menyamaratakan saja, dan itupun tergantung siapa yang memberikan”. Oleh karena itu, tinjauan hukum Aperdoorn diliat dari kedua sudut, yaitu:

1) De ontwikkelde leek (ontwikkelde : orang terpelajar, leek : awam). Orang terpelajar tetapi awam hukum, memandang hukum sama dengan rentetan pasal-pasal yang tidak ada habisnya, seperti yang dimuat dalam undang-undang.

2) The man in the street. Termasuk dalam kelompok the man in the street, adalah orang-orang di jalanan atau kebanyakan orang yang tidak terpelajar, misalnya tukang becak, pedagang dll. Bagi “the man in the street” apabila mendengar kata/istilah hukum, maka ia akan teringat akan polisi, jaksa gedung pengadilan dll. Tidak pernah melihat undang-undang, tetapi ia

(7)

pernah ke pengadilan dan teringat pada suatu perkara. Hukum itu konkrit dan menyangkut kehidupan manusia sehari-hari, karena bagi mereka hukum dapat dilihat dan diraba.

Sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh para pakar diatas, maka menurut Munir Fuady,5 bahwa dalam pandangan masyarakat

di sepanjang sejarah, ada dua pengertian yang sering kali diberikan kepada hukum, yaitu sebagai berikut:

1) Hukum diartikan sebagai “hak” yang dalam hal ini merupakan pengertian yang lebih mengarah kepada pengaturan moral yang dalam bahasa sering disebut dengan istilah right, recht, ius, droit, diritto, derecho.

2) Hukum diartikan sebagai undang-undang, yang dalam hal ini hanya merupakan pengertian yang mengarah kepada aturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang (legislasi), yang berbagai bahasa disebut dengan istilah Law, lex gesets, legge, ley.

Karena pengertian hukum dapat dilihat dari berbagai segi lalu Sumaryono memberi definisi sebagai berikut:6

1) Hukum ialah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis, yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara serta antar Negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna demi tata dan damai dalam masyarakat.

2) Hukum sebagai kaidah, adalah pedoman atau patokan sikap tindakan atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.

5 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007, hlm.37

(8)

3) Hukum sebagai tata hukum, adalah stuktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta kehendak tertentu.

4) Hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial yang mencangkup segala proses, baik yang direncanakan maupun yang tidak, yang bertujuan untuk mendidik, mengajar atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai.

5) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang apa yang dianggap baik (sehingga harus dianut dan diataati) dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus di hindari).7

1.2. Moral

Moral berasal dari bahasa Latin (Yunani), yaitu moralismos, moris

yang diartikan sebagai adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, dan kelakuan. Atau dapat pula diartikan mores yang merupakan gambaran atau adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Istilah ini dikenal moral dalam bahasa inggris.8

Moral pada umumnya dapat diartikan sebagai berikut:9

 Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai

baik/buruk, benar/salah, tapat/tidak tepat.

 Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima yang menyangkut apa

yang dianggap benar, bijak, adill, dan pantas.

 Memiliki kemampuan untuk diserahkan oleh atau salah, dan

kemampuan untuk mengarahkan atau mempengaruhi orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah.

 Menyangkut cara seseorang bertungkah laku dalam hubungan

dengan orang lain.

7 Ibid, hlm.73

(9)

Menurut Franz Magnis-Suseno, kata moral selalu mengacu kepada baik-buruknya manusia sebagai manusia.Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi-buruknya sehingga manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu atau terbatas.10

Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.Penilaian moral selalu berbobot dilihat dari salah satu segi, melaikan sabagai manusia, warga Negara yang selalu taat dan selalu bicara sopan belum mencukupi untuk menetukan dia betul-betul seorang manusia yang baik. Barangkali ia seorang munafik, atau ia mencari keuntungan baik atau buruk itulah yang menjadi permasalahan moral.

Moralitas, disatu sisi berbeda dengan moral.11Dalam hal ini moralitas

disebutkan sebagai sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya.Moralitasa dalam hal ini biasa juga disebut dengan ethos.etos kadang kala diartikan untuk menunjukan karakter tertentu, misalnya sikap moral dari satu nilai khusus. Suatu tindakan yang baik secara moral digambarkan sebagai tindakan bebas manusia yang mengafirmasikan nilai etis objektif dan yang mengafirmasikan hukum moral.Sementara, suatu tindakan yang buruk secara moral digambarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai etis dan hukum moral.

Moralitas menurut E. Sumaryono yaitu kualitas yang terkandung didalam perbuatan manusia, yang dengan kita dapat menilai perbuatan benar atau salah, baik atau jahat.Moralitas dapat bersifat objektif ataupun 10 Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum Teori Dan Praktik, Jakarta: Kencana, 2013, hlm.162

(10)

subjektif.Moralitas objektif adalah moralitas yang diterapkan pada perbuatan sebagai perbuatan, terlepas dari modifikasi kehendak pelakunya.Sedangkan moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan yang ditinjau dari kondisi pengetahuan dan pusat perhatian pelakunya, latar belakangnya, stabilitas emosional, serta prilaku personal lainnya. Moralitas subjektif merupakan fakta pengalaman bahwa kesadaran manusia (suara hatinya) menyetujui atau melarang apa yang diperbuat manusia. Disamping itu, moralitas dapat bersifat intrinsik dan dapat juga bersifat ekstrinsik .moralitas intrinsik menetapkan sebuah perbuatan baik atau jahat/buruk secara terpisah atau terlepas dari ketentuan12 hukum positif yang ada, moralitas ini menilai perbuatan

sebagai benar atau salah didasarkan atas esensi perbuatan itu sendiri, bukan karena diperintahkan atau dilarang oleh hukum. Sedangkan moralitas ekstrinsik menetapkan sebuah perbuatan itu benar atau salah, disesuaikan dengan trem “diperintahkan” atau “dilarang” yang dinyatakan oleh penguasa atau pemerintah, yaitu melalui pemberlakuan hukum positif.13

Moralitas juga bukanlah sesuatu yang bersifat artifisial atau terlepas dari persoalan-persoalan hidup manusia, melainkan tampak sebagai sesuatu yang tumbuh seiring dengan kondisi hidup manusia. Oleh karena itu, ukuran-ukuran moral tidaklah sama dengan kebiasaan-kebiasaan (tradisional) yang diikuti oleh sebagian bangsa.

Kelengkapan pengetahuan moralitas yang ditempuh melalui evolusi moralitas telah memberi ruang kepada manusia untuk lebih memahami tentang kodratnya sebagai manusia. Pengetahuan mengenai evolusi

12 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: PT Kanisius, 2014, hlm.51

(11)

moralitas juga akan menggambarkan bagaimana persoalan-persolan pokok moralitas dewasa ini. Moralitas yang menjelaskan kualitas yang terkandung didalam perbuatan manusia, yang karnanya kemudian dapat dinilai apakah perbuatan tersebut baik/buruk atau benar/salah.14

Adapun perbandingan antara hukum dengan moral menurut para ahli hukum, antara lain:

a. Hukum objeknya perbuatan lahir (utwending handelen), sedang moral objeknya adalah perbuatan batin (gezind-heid).

b. Hukum berasal dan menjunjung tinggi norma dari masyarakat sedangkan moral berasal dari hati nurani individu.

c. Tujuan hukum untuk menciptakan rasa aman, damai, dan ketenangan dalam mayarakat, sedang kesusialaan (moral) bertujuan untuk kesempurnaan dan keutamaa manusia.

d. Hukum bekerja dengan paksa, sedangkan moral bekerja dengan kesadaran atau kekuatan batin.

e. Hukum mengehendaki legalitas, dan moral menghendaki moralita sejauh perbuatan lahir disebut yuridis, dan perbuatan batin disebut etis.

f. Hukum kadang-kadang membolehkan apa yang dilarang oleh moral. Umpamanya pelacuran bertentangan dengan moral, namun kadang-kadang ada yang memperbolehkan tempat pelacuran, seperti di daerah tertentu ada alokasi pelacuran.

Menurut K.Bertens, Etika (moral) lebih luas dari hukum. Perbuatan yang tidak melanggar hukum belum tentu secara etis baik juga.Hukum adalah minimum dari etika.Etika harus dimulai dari hukum, tapi hubungan etika dan hukum lebih kompleks lagi.15

14Sukarno Aburaera, op.cit. hlm.164

(12)

1.3. Etika

Etika sendiri dalam beberapa literatur dan pendapat para filsuf disinonimkan dengan moralitas, bukan moral.Menurut Santayana bahwa pada dasarnya etika berbeda dengan moralitas.Etika dianggapnya sebagai suatu disiplin rasioanal, sedangkan moralitas berkaitan lebih erat dengan adat istiadat atau kebiasaaan.Dalam hal ini, moralitas disinonimkan dengan moral.

Dalam kedudukannya sebagai lantasan moralitas, maka etika dapat dilihat dari sudut pandang, sebagai berikut:

 Sebagai sistem-sitem nilai kebiasaan yang penting dalam

kehidupan kelompok khusus manusia.

 Sistem-sistem tersebut diwujudkan sebagai kaidah-kaidah

moralitas yang memberi makna tentang kebenaran dan kesalahan.

 Etika dalam sistem moralitas itu sendiri mengacu pada

prinsip-prinsip moral aktual.

Etika sebagai ilmu memiliki metode, yaitu metode atau pendekatan kritis.Franz Magniz Suseno16 mengatakan bahwa para ahli etika selalu

berselisih paham tentang metode yang tepat. Meskipun demikian, ada suatu cara pendekatan yang dituntut dalam semua aliran yang pantas disebut etika, ialah pendekatan kritis. Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis.Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis.Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.

Etika menentukan ukuran atas perbuatan manusia. Oleh karena itu, dalam mengusahakan tujuan etika, manusia pada umumnya menjadikan norma yang ideal untuk mecapai tujuan tersebut.17

(13)

1.4. Akhlak

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu dalam etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolok ukur norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat), dan dalam akhlaq menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-buruknya. Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak ilmu akhlak atau etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, merangkan apa yang harus dilaksanakan oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya, menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan manusia yang menunjukan jalan yang lurus yang harus diperbuat.

Definisi kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja.18

Menurut Quraish Shihab akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika.Etika dibatasi pada sopan santun anatar sesame manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.Akhlak lebih luas maknanya dan mencangkup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Menurut Quraish Shihab, akhlak agama (islam) dapat dibedakan:

a. Akhlak terhadap Allah SWT

Titik tolak akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki

(14)

sifat terpuji demikian agung sifat itu yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya. Termasuk akhlak terhadap Allah SWT manusia wajib beribadah (menghambakan diri) dan bersyukur kepada-Nya, kita hanya bergantung dan minta tolong kepada-Nya.

b. Akhlak terhadap sesama manusia

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif membuhuh, menyakiti badan atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melaikan juga sampai kepada menyakiti hati dengan menceritakan aib (keburukan) seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya.19

c. Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda tak bernyawa.Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah (pemegang amanat).

Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam.Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan peniptaannya.

Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan terhadap semua proses-proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga tidak melakukan perusakan bahkan dengan kata lainter,

(15)

“Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri”.20

1.5. Agama

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Menurut Michel Meyer berpendapat bahwa agama adalah sekumpulan kepercayaan dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan kita dalam tingkah laku kita terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia dan terhadap diri kita sendiri.21

Din al Islam mengandung aspek pengaturan hidup manusia, baik aspek pengaturan hidup manusia, baik aspek vertikal dengan tuhannya,22

maupun aspek horizontal antar hubungan manusia. Karena Islam mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tuhannya (vertikal) dan hubungan antar manusia (horizontal), maka islam secara hakiki tidak memisahkan hukum dan moral (akhlaq). Justru moral (akhlaq) adalah inti hukum.Pada dasarnya sasaran Din al Islam adalah untuk memperbaiki atau menyempurnakan moral (akhlaq) manusia. Moral (akhlaq) sangat erat hubungannya dengan agama.Motivasi yang kuat untuk melaksanakan moral adalah agama.Pada dasarnya ajaran masiang-masing agama adalah mentaati ketentuan moral atau sebaliknya.23

Dalam pandangan agama melanggar moral adalah dosa, karena norma moral merupakan bagian dari norma agama. Demikian juga memiliki moral yang baik pada dasarnya merupakan bagian dari melaksanakan norma agama. Jadi mestinya orang yang menganut suatu

20 Ibid, hlm.48

(16)

agama, dia harus memiliki moral yang baik, dibanding orang yang tidak menganut agama.24

2. Kajian Keterkaitan Hubungan Antara Hukum, Moral, Etika, Akhlak, Dan Agama

Menurut penulis kelimanya dapat disimpulkan bahwa hukum dan etika membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut sikap batin seseorang.Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum, sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Sedangkan di dalam agama (Islam) aturan antara lahiriah dan bathiniah keduanya dianggap sangat penting sehingga kedua hal tersebut wajib diwadahi, dalam islam istilah ini disebut dengan Akhlak.

Hubungan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sangat kuat dan saling membutuhkan, maka Sir Alfred Denning menggambarkan dalam bukunya “The Changing Law” yang menyatakan “without religion there can be no morality, and without morality there can be no law “. Tidak akan ada moral tanpa agama, dan tidak aka nada hukum tanpa moral.25

Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moral maupun agama. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, orang yang melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman. Suatu contoh ketika ada orang yang melakukan pencurian maka di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dikatakan orang yang mencuri tersebut mendapatkan pidana penjara atau denda.Jadi sanksi yang diberikan oleh hukum ini bersifat tegas dan nyata.Tetapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan.Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga.Sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dalam.

Satu satunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena telah melakukan perbuatannya yang kurang baik terhadap

(17)

orang lain. Sedangkan sanksi yang diberikan agama nyata dan juga abstrak karena bukan hanya sekarang (di dunia), akan tetapi setelah manusia itu mengalami kematian (alam barzah dan alam akhirat) juga akan mendapatkan sanksi manakala tidak segera bertobat.

Misal di dalam QS. Al Ma’idah Ayat 38 yang artinya:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Secara tegas di katakan dalam ayat tersebut di atas tidak membedakan laki-laki maupun perempuan ketika mereka melakukan pencurian maka harus dipotong tangannya. Bukan hanya itu, ketika mereka tidak mau bertobat atas perbuatannya maka di hari pembalasan (alam akhirat) akan mendapatkan sanksi lagi yang lebih kejam dari pada potong tangan. Ini secara lahiriah orang yang mencuri tersebut akan jerah dan secara bathiniah hatinya akan tersiksa karena hukumannya bukan hanya di dunia tapi berlanjut di akhirat.

Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma

moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat mengubah atau membatalkan suatu norma moral.

Masalah etika tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak.Tetapi kalau hubungan dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum, maka agama, moral, dan hukum itu saling bertemu.Disini agama, moral, dan hukum mempunyai bidang bersama.

(18)

adanya kehidupan bersama yang lebih baik dengan yang baik dengan yang ditentukan oleh moral bagi manusia sebagai individu seperti pembunuhan atas perintah komandan, sumpah diganti janji.Didalam hukum ada kekuasaan luar (kekuasaan diluar “aku”) yaitu masyarakat yang memaksakan kehendak.Kita tunduk pada hukum diluar kehendak kita.Hukum mengikat kita tanpa syarat.Sebaliknya perintah batiniah (moral) itu merupakan syarat yang ditentukan oleh manusia sendiri.Moral mengikat kita karena kehendak kita.Hukum bertujuan tatanan kehidupan bersama yang tertib. Tujuan ini hanya dapat dicapai apabila diatas dan diluar manusia individual ada kekuasaan yang tidak memihak yang mengatur bagaimana mereka harus bertindak satu sama lain.

Moral berakar dalam hati nurani manusia, berasal dari kekuasaan dari dalam diri manusia.Disini tidak ada kekuasaan luar yang memaksa manusia mentaati perintah moral.Paksaan lahir dan moral tidak mungkin disatukan.Hakikat perintah moral adalah bahwa harus dijalankan dengan sukarela.Satu-satunya perintah kekuasaan yang ada dibelakang moral adalah kekuasaan hati nurani manusia.Kekuasaan ini tidak asing juga pada hukum, bahkan mempunyai peranan penting.Agama yang bersumber dari kitab suci menjadi pelengkap antara hukum dan moral.

Kaidah Hukum Moral Agama Berdasarkan untuk mengatur tingkah laku individu dalam bertindak dilingkungan masyarakat.Kaidah moral melalui hati nurani membimbing manusia menuju kejalan yang benar ketika individu tersebut menjalani kehidupan di dalam bermasyarakat.

Sedangkan agama lebih dari pada hukum dan moral, karena bukan hanya dipertanggung jawabkan di dunia melainkan ketika melakukan kegiatan di masyarakat segala amal perbuatan yang baik maupun buruk akan dicatatdan di pertanggung jawabkan kelak di alam akhirat.

(19)

sebuah keharusan yang harus diterima oleh individu ketika mereka melanggar kaidah. Dengan adanya perintah, larangan, dan sanksi menyebabkan antara hukum, moral, dan agama sama-sama memiliki sifat “memaksa”.

Ketiga kaidah tersebut memiliki sifat yang sama karena memiliki tujuan yang sama pula. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut tidak ada jalan yang lain selain harus memaksa individu untuk melakukan tindakan yang baik dari kaca mata objektif.

Penulispun mengkaji lagi keterkaitan hubungan keterikatan antara hukum moral, dan agama yaitu terdapat pada, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 29 (2) menyatakan “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu. Bukti bahwa antara hukum, moral, dan agama tidak bisa dilepaskan dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.

Hukum, moral, dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Antara hukum, moral, dan agama mempunyai hubungan yang erat sehingga diantara ketiganya dapat memperkuat satu

sama lain untuk menjalankan kaidah-kaidahnya. Orang yang menganut suatu ajaran agama maka sudah pasti dia bermoral dan taat akan hukum. Hal tersebut didasarkan pada suatu realita bahwa di dalam ajaran agama apapun tidak ada yang mengajarkan tentang bagaimana berbuat buruk atau jahat kepada orang lain.

Tidak dapat dipungkiri jika agama mempunyai hubungan erat dengan moral.Setiap agama mengandung suatu ajaran yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.Diantara hukum, moral, dan agama ketigaanya saling mengandaikan dan sama-sama mengatur perilaku manusia.Hukum membutuhkan moral.Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai oleh moralitas.Tanpa moralitas, hukum adalah kosong.

(20)

yang bersifat imoral tidak boleh tidak harus diganti bila dalam masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat, dalam bentuk salah satunya adalah hukum. Dengan demikian, hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. “Menghormati milik orang lain” misalnya merupakan prinsip moral yang penting. Ini berarti bukan saja tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa izin.

Kaidah Hukum Moral,Etika, Akhlak, dan Agama Berdasarkan Bentuknya Berupa kewajiban Berupa larangan, Sifatnya memaksa, memiliki tujuan untuk Ketertiban da melindungi kepentingan sendiri ataupun masyarakat dalam tatanan kehidupan, baik di dunia dan di akhirat.

Bentuk lain termasuk milik intelektual, hal-hal yang ditemukan atau dibuat oleh orang lain (buku, lagu, komposisi musik, merk dagang dsb). Hal ini berlaku karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak ada dasar hukum.Hukum tanpa moral adalah kezaliman.Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Sedangkan hukum dan moral tanpa di landasi agama maka akan sesat. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kesusilaan.Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental. sehingga hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari hukum, maka tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum dari moralitas.

(21)

adalah moral dan hukum senantiasa saling mendukung satu sama lain, tanpa moral lantas apa dasar yang akan diatur dalam hukum. Sedangkan jika tidak ada hukum lantas bagaimana merealisasikan harapan-harapan “baik” yang menjadi dasar dari kaidah moral.

Kubu positivisme hukum inklusif mengatakan bahwa kaidah hukum positif yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan faktor moral, bisa jadi kaidah hukum positif tersebut menjadi tidak valid.Meskipun demikian pendapat ini juga bersebrangan dengan teori postivisme hukum eksklusif yang menganggap bahwa hukum adalah undang-undang.26

Namun pendapat dari teori postivisme, hukum postivisme ekslusif yang klasik nampaknya mendapatkan pertentangan dari teori positivisme ekslusif yang lebih moderat yang menganggap bahwa faktor moral juga memberi sumbangan kepada apa yang seharusnya dilakukan ketika hukum itu dilaksanakan.

Pada umumnya peraturan-peraturan hukum dilaksanakan secara sukarela oleh karena kita dalam hati nurani kita merasa wajib.Hukum dalam pelaksaannya terdapat dukungan moral.Dasar kekuasaan batiniah dari hukum ini dapat berbeda.Dapat terjadi karena isi peraturan hukum memenuhi keyakinan batin kita.Akan tetapi dapat juga isi peraturan hukum kita mematuhinya.Dibelakang hukum masih ada kekuasaan disamping hati nurani kita.Masyarakat yang menerapkan peraturan-peraturan hukum itu mempunyai alat kekuasaan untuk melaksanakan pelaksanaanya kalau tidak dilaksanakan.Pelaksanaan hukum tidak seperti moral yang hanya tergantung pada kekuasaan batiniah, tetapi masih dipaksakan juga oleh alat-alat kekuasaan lahir/luar.27

Agama dan hukum juga saling berkaitan dan mewarnai, untuk mendapatkan legalitas dari suatu negara maka harus melaksanakan ritual sesuai dengan ajaran agama, Suatu contoh sepasang mempelai yang

(22)

melakukan pernikahan maka terlebih dahulu harus disahkan menurut ajaran agamanya, sebelum mereka mendapat pengakuan dari negara melalui catatan pernikahan dari Kantor urusan Agama (KUA) maupun catatan sipil.

Fenomena ini terjadi karena untuk melaksanakan hukum yang dibuat oleh pemerintah.Pasal 2(1)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 TentangPerkawinan, menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.Meskipun demikian tidak semuanya yang ada di kitab suci bisa diadopsi ke dalam hukum positif. Contohnya adalah sanksi pemotongan tangan kepada pencuri yang dibenarkan oleh agama Islam, akan tetapi itu bertentangan dengan hukum positif di Indonesia karena alasan pertimbangan nilai moral.

Hal ini yang memberikan salah satu bukti bahwa antara hukum, moral dan agama memiliki hubungan yang sangat erat.Dari kajian ini agama merupakan suatu kaedah yang di dalamnya sudah mencakupi ciri dari kaedah hukum maupun moral.Di dalam agama sudah terdapat ciri yang ada dalam kaedah hukum yaitu adanya sebuah perintah dan larangan, dan ada sanksi yang jelas. Dalam ajaran agama pun juga sudah terdapat ciri dari kaedah moral yaitu mengatur bagaimana seseorang bisa berbuat sesuatu yang baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk demi ketentraman sebuah bathin. Sehingga dapat dikatakan jika seseorang benar-benar menganut ajaran salah satu agama secara benar maka sudah pasti juga melaksanakan kaedahkaedah yang lain.

(23)

tetapi hukum hanya berhubungan dengan yang lahiriah saja. Sedangkan agama cakupannya sangatlah luas, bukan hanya sebatas ukuran baik dan buruk menurut kebenaran hati dan pikiran bersih, bukan juga hanya perintah, larangan, dan sanksi yang bersifat lahiriah saja, akan tetapi lebih luas dari apa yang menjadi dasar dari kedua kaidah tersebut.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang apa yang dianggap baik (sehingga harus dianut dan diataati) dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus di hindari).

(24)

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

2. Menurut penulis kelimanya dapat disimpulkan bahwa hukum dan etika membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut sikap batin seseorang. Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum, sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Sedangkan di dalam agama (Islam) aturan antara lahiriah dan bathiniah keduanya dianggap sangat penting sehingga kedua hal tersebut wajib diwadahi, dalam islam istilah ini disebut dengan Akhlak.

Moral mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk menurut kebenaran umum tanpa adanya sebuah aturan yang jelas mengenai sanksi.Agama cakupannya sangat luas, bukan hanya sebatas ukuran baik dan buruk menurut kebenaran hati dan pikiran bersih, bukan juga hanya perintah, larangan, dan sanksi yang bersifat lahiriah saja, akan tetapi lebih luas dari apa yang menjadi dasar dari kedua kaidah tersebut yakni ada sanksi pada kehidupan setelah manusia meninggal. Hukum mengatur larangan dan keharusan dengan aturan sanksi yang jelas yang dibuat oleh negara, keberadaan hukum sangat dipengaruhi oleh rasionalitas manusia.

(25)

no law “. Tidak akan ada moral tanpa agama, dan tidak aka nada hukum tanpa moral.

B. SARAN

Penulis berharap makalah yang buat bisa bermanfaat bagi para pembaca. Dan pembaca bisa memahami setiap hakikat dari Hukum, Moral, Etika, dan Agama, karena penulis mempunyai tujuan untuk pembaca agar menerapkan setiap poin yang telah disebutkan dalam kehidupan sehari-hariuntuk mematuhi semua peraturan yang ada karna dengan dengan mematuhi peraturan akan membawa kefaedah dalam kehidupan kita.

DAFTAR PUSTAKA

E. Sumaryono. 2014. Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: PT Kanisius

Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Muhammad Daud. 2012. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Munir Fuady. 2007. Dinamika Teori Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia --- 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Jakarta: Kencana R. Soeroso. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Sukarno Aburaera. 2013. Filsafat Hukum Teori Dan Praktik. Jakarta: Kencana

Suparman Usman. 2008. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum. Jakarta: Gaya Media Pratama

--- 2010. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Serang: SUHUD Setra Utama

(26)

Referensi

Dokumen terkait

Informasi yang diterima konsumen dapat membentuk sikap positif maupun negatif yang akhirnya akan menentukan niat konsumen untuk membeli kembali prosesor AMD

[r]

To sum up the above explanation, the application of text to self-connection technique accomplished the research purposes as follows: firstly, the use of text to

Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih, mohon maaf jika saya

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sistem gas-solid-liquid dengan letak bafel terdekat dari membran, menyebabkan proses dispersi liquid semakin cepat, sehingga fluida

Untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh perbedaan pengaruh Ischaemic compression dan Transverse friction terhadap peningkatan fungsional pada myofascial trigger

Tindakan terhadap Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat pada Anak Sekolah Dasar Negeri 08 Moramo Utara Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun

Meskipun masyarakat lokal melihat masih belum mencukupinya upaya untuk memperbaiki kondisi obyek wisata Curug Cipendok, masyarakat menilai pada dasarnya obyek wisata