• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

6/1/2018 Berita - Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet - Harian Analisa

http://harian.analisadaily.com/opini/news/kekerasan-pendidikan-dan-peran-warganet/559080/2018/05/22 1/2

Selasa, 22 Mei 2018 | Dibaca 175 kali

Oleh: Rony K. Pratama

Belum lama viral video pendek se orang guru menampar siswa di kelas. Pe rekam kejadian itu tampak sengaja meng ­ abadikan momen memilu kan dalam jagat pendidikan Indone sia. Be r ulang kali kasus serupa terjadi. Tiap dae rah senapas, setidaknya pernah me la ku kan hal sama, dan memam pang kan ke kerasan: baik guru maupun siswa sama­ sama menjadi pelaku sekaligus korban.

Yang heboh dari kasus kekerasan itu jus tru warganet. Video berdurasi tak lebih dari sepuluh menit lekas menyebar ke media sosial. Kecaman demi kecaman mun cul di dinding privat me reka. Sa yang  nya kutukan itu sebatas verbal se ­ hingga minim tindakan empiris guna me re duksi kekerasan­minimal di sekitar me reka.

Di sini berlaku media sebagai alat kon  trol sosial. Pertama, kecanggihan tek  nologi mutakhir, baik dimani fes ta si kan dalam bentuk alat komunikasi mau pun sistem jaringan internet, me mung kinkan jarak terlipat rapat: kejadian baru langsung tersebar luas selama ia diberita kan cepat. Ada prinsip aksi­reak si yang dilakukan warganet. Ini kunci utama ke napa media daring mendapatkan tem pat sebagai kontrol sosial.

Kedua, media daring menguak pelba gai bentuk kebusukan di masyarakat, ter utama di ranah pendidikan, yang berpaut erat dengan tindakan kekerasan fisik mau  pun verbal. Banyak kasus serupa di ba  nyak daerah, tetapi karena minim pem  beritaan, kejadian itu tinggal kena ngan di benak pelaku dan korban semata. Media daring, dengan demikian, menyi bak tirai kekerasan yang selama ini di bung kam.

Apakah media sebatas menyam pai kan kejadian sebagaima na adanya? Apa kah media perlu melakukan pledoi (pem ­ bela an) kepada korban? Dua pertanyaan ini menuju ke arah peran jurnalisme se ba gai bentuk advokasi. Yang

tertindas, tentu, akan mendapatkan respons khusus dari pihak yang berwajib agar mendapat kan keadilan, sedangkan pelaku niscaya di hukum setimpal. Memberikan advo kasi, karenanya, adalah tugas luhur jurnalisme.

Pada dapur pewartaan jurnalis bisa meng isahkan betapa kekerasaan itu dila kukan secara sistematis. Ia dapat meng ­ guna kan metode investigasi guna mem buka tabir kekerasan yang dilakukan pe la ku kepada korban. Memberi kesem ­ pat an korban untuk berbicara di muka pu blik akan mengurangi beban psiko lo gis nya sekaligus menyampaikan kisah pelik bagi sidang pembaca (umum) supaya lebih waspada.

Terdapat keyakinan di benak warga net bahwa kekerasan guru terhadap sis wa­demikian pula sebaliknya­banyak ter jadi dan akan mungkin berulang sela ma absen kontrol sosial. Perekam video dalam konteks ini mendapatkan tempat di dunia jurnalisme warga karena telah mengungkap kejahatan di ling kup sekolah. Tanpa keberanian untuk mem be ri ta ­ kan dan mem viralkan di dunia maya, praktik kekerasan akan terus ber lang  sung karena pelaku seolah­olah aman dengan perbuatannya.

Tugas jurnalis adalah mewartakan realitas tanpa tedeng aling­aling. Ia juga me lakukan pencegahan perbuatan krimi nal melalui contoh konkret bagaimana dan kenapa kekerasan bisa terjadi. Mem pro yeksikan fenomenologi kekerasaan di lapa ngan itu sejatinya tugas mulia se orang jurnalis terhadap masyarakat umum.

Pembinaan Intensif

Selain dihukum sesuai porsi konsti tusi, pelaku kekerasan seha rusnya juga di bina. Entah siapa pun pelaku itu, dinas pen didikan hingga guru sekolah mesti me lakukan tindakan preventif. Jejaring ke kerasan harus digunting melalui ke bi ­ jakan konkret yang bersifat psikologis mau pun teknis. Meminjam term arkeo logi kekerasan yang disampaikan Michel Foucault, kekerasan terjadi karena ke cenderungan psikologis dan pe man fa at an kesempatan (Olssen, 2009). Ke dua hal ini harus di jadikan variabel determinan.

Berbagi peran adalah tugas penting yang mesti dilakukan agar kekerasan di se kolah setidaknya terkurangi. Jurnalis me war takan kebenaran, guru berikut sis tem kependidikan me nyiap kan strategi ter struktur, polisi (pihak berwajib) membawa pelaku ke meja hijau, dan orang tua di rumah mempertebal pendidi  kan informal. Tatkala semua lini bekerja se maksimal mungkin, kekerasan tak lagi mendapatkan tempat, meskipun sebatas percikan niat di ceruk pikiran.

(2)

6/1/2018 Berita - Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet - Harian Analisa

http://harian.analisadaily.com/opini/news/kekerasan-pendidikan-dan-peran-warganet/559080/2018/05/22 2/2

Masyarakat sebagai kontrol sosial tak boleh lengah. Keke rasan di ranah pendi di kan yang kerap meresahkan orang tua harus segera ditangani melalui komuni kasi dua belah pihak me lalui komite se kolah. Ia berperan signifikan untuk men ­ jem batani dua kutub, yakni sekolah dan orang tua (masyarakat). Memper te bal relasi antarkeduanya berarti menutup ke sem pat an bagi para pelaku untuk meng gen carkan aksi kekerasan.

Orang Jawa pada masa lalu sudah meyakini betapa peran masyarakat se demikian pentingsebagai manifestasi nilai be brayan agung. Esensi imateriel yang mengonstruksinya bisa difungsikan guna alat kontrol sosial dalam kerangka mere duksi kekerasan di ranah pen di dikan.

Konteks Hardiknas

Pada momen Hari Pendidikan Nasio nal (Hardiknas), keke rasan yang muncul di ranah sekolah menjadi alarm penting bagi semua pihak. Betapapun Hardiknas mesti dimaknai bukan sekadar helatan seremonial, melainkan juga momen refleksi sejauh mana pendidikan nasional mereduksi pelbagai bentuk kekerasan di wilayah sekolah.

Para pendiri bangsa, terutama Ki Hadjar Dewantara, telah menegaskan sinyal seabad lampau: pendidikan tak semata­ mata urusan kepintaran, tapi juga menyentil dimensi perangai siswa. Halus budinya, menurut pemilik nama Suwardi Suryaningrat itu, adalah orien tasi aksiologis pendidikan nasional. Keduanya mesti berjalan harmonis.

Memanifestasikan Hardiknas secara nilai ke dalam laku sehari­hari me mung kinkan adanya dorongan internal untuk menjaga harmoni praksis pen di dikan. Proses demikian dilakukan da lam rangka membumikan kembali ama nat para pendiri bangsa agar tak terjebak pada friksi horizontal maupun vertikal yang dewasa ini semakin menyeruak. Ranah pendi dikan, karenanya, berperan penting sebagai garda depan dalam menjaga keselarasan di tengah kontes tasi sosial­kemasyara katan.

Upaya aksiologis mereduksi keke rasan di jagat pendidikan bisa ditempuh sebagai berikut. Pertama, pendidikan semes tinya membentuk karakter peserta didik melalui spektrum pembelajaran berbasis etika. Nilai etis yang dimak ­ sudkan di sini secara sadar ditanamkan lewat habituasi di sekolah. Guru mem punyai peran krusial dalam membina perilaku luhur anak didiknya.

Salah satu contoh konkretnya, antara lain, pendidikan melalui guru sebagai mo del strategis­bentuk nyata bagai ma na etika (budi) difigurkan. Guru, selain mengajar, juga merupakan model em piris dari ejawantah esensi etika itu sen diri. Lebih spesifik, tatkala ia hendak me ngajarkan ketertiban, guru wajib memberi model bagaimana seharusnya

mewujudkan nilai tertib itu. Andai nilai demikian dikontinuasikan, peserta didik dengan sendirinya akan berperilaku ter ­ tib tanpa mencercap teori ketertiban.

Kedua, mewujudkan substansi de mokrasi dalam pembela jar an di kelas. Guru memberi kebebasan berpendapat siswa tanpa memandang siswa pintar atau bodoh secara akademik­numerik. Memberi kesempatan berpendapat­ten tu dengan rasa jujur, tanggung jawab, dan rasional­guru telah menerapkan ba gaimana perilaku berdemokrasi itu dijunjung tinggi dari din ding kelas.

Kekerasan yang diakibatkan siswa biasanya lahir dari keter tutupan atau pe ngekangan pendapat siswa. Dengan de ­ mokrasi, karenanya, peserta didik mera sa dipercaya dan dihargai selaku subyek aktif di sekolah. Kedua nilai itu niscaya membentuk habituasi perilaku etis di sekolah. Pelbagai bentuk kekerasan lam bat­laun tereduksi.***

(3)
(4)

Referensi

Dokumen terkait

hasil wawancara di ruangan neuro yang belum menerapkan MPKP pada 5 responden, 3 diantaranya mengatakan kurang puas dengan pelayanan yang ada diruangan tersebut dan

Tujuan: Mengidentifikasi jumlah petugas rekam medis yang tersedia, mengidentifikasi uraian tugas petugas rekam medis, mengidentifikasi hambatan yang ada di Instalasi Rekam

Hasil dari nilai koefisien korelasi tersebut menyatkan bahwa hubungan antara variabel Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan Nasabah Tabungan Batara di kategorikan

DPA SKPD 2.2 SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH. PEMERINTAH PROVINSI

Sehingga interaksi yang terjadi lebih up to date, karena didalam aplikasi ini memberikan kemudahan bagi server untuk mengolah data dan informasi baru dengan cepat. Dari

DPA SKPD 2.2 SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH. PEMERINTAH PROVINSI

Website ini dibuat dengan memperkenalkan bahasa pemrograman PHP, MySQL, kemudian juga membahas tentang Macromedia Dreamweaver MX sebagai editor, pengenalannya serta menerangkan

DPA SKPD 2.2 SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH. PEMERINTAH PROVINSI