• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Waktu Tanam, Pemberian Mulsa Jerami dan Penanaman Refugia terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L.) Varietas Nk 6326, Hama dan Patogen Penyakit Serta Musuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Waktu Tanam, Pemberian Mulsa Jerami dan Penanaman Refugia terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L.) Varietas Nk 6326, Hama dan Patogen Penyakit Serta Musuh"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Keadaan Lokasi Penelitian dan Waktu Tanam

Penelitian ini dilaksanakan pada dua lokasi, yaitu: (1) di lahan sawah desa Daleman, kecamatan Tulung, kabupaten Klaten (waktu tanam berdasarkan kebiasaan petani), dan (2) di lahan sawah desa Gedong Jetis, kecamatan Tulung,

kabupaten Klaten (waktu tanam berdasarkan pranata mangsa). Berdasarkan informasi dari dinas BAPPEDA (2016) secara umum kecamatan

Tulung memiliki jenis tanah regosol kelabu, dengan kelerengan antara 2-5% (daerah agak miring), ketinggian wilayah 200 - 400 m di atas permukaan laut. Purata curah hujan 1.500 – 2.000 mm per tahun.

Menurut Djaenuddin (2000), tanaman jagung sangat sesuai ditanam di kecamatan Tulung, karena daerah ini memiliki purata suhu adalah 20-260C, curah hujan adalah 500 – 1.200 mm per tahun, kemiringan lereng kurang dari 8%. Kebiasaan petani di kecamatan Tulung menanam jagung pada bulan Agustus 2016 sampai November 2016, yang dalam kalender pranata mangsa bulan-bulan tersebut masuk dalam mangsa Karo sampai mangsa Kanem. Berdasarkan ramalan pranata mangsa yang dilakukan oleh Pusat Studi SIMITRO, waktu tanam jagung yang sesuai di daerah itu adalah pada bulan Oktober 2016 sampai Februari 2017, yang dalam kalender pranata mangsa bulan-bulan tersebut masuk kedalam mangsa Kalimo sampai mangsa Kawolu. Menurut Daljoeni (1997), mangsa Karo dan

Katelu adalah mangsa Ketiga (musim kemarau), yang mana pada musim ini mulai

dilakukan penanaman palawija tahap kedua. Dalam hal ini tanaman jagung sesuai untuk ditanam pada mangsa Karo dan Katelu. Menurut Daljoeni (1997), mangsa Kalima dan Kanem masuk dalam mangsa Labuh, yang mana hujan mulai turun. Musim buah-buahan mulai tua dan petani mulai menggarap sawah.

4.2. Pengamatan Selintas

(2)

kelembaban relatif udara, disajikan pada Tabel 4.1., sedangkan data umur tercapainya setiap stadia pertumbuhan tanaman disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 4.1. Data suhu udara, kelembaban dan terjadinya hujan di desa

Keterangan: kondisi hujan diamati secara kualitatif pada setiap stadia pertumbuhan dan tidak diperoleh jumlah curah hujan karena tidak ada stasiun pengamatan cuaca paling dekat.

(3)

drainase tidak baik. Genangan air yang terus menerus dapat menyebabkan

tanaman tidak tumbuh optimal. Menurut Rochani (2007), jagung dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asalkan tanah diolah dengan baik, aerasi dan ketersediaan air di dalam tanah berada dalam kondisi baik.

4.3. Pengamatan Utama

Data hasil pengamatan utama dianalisis menggunakan mentode sidik ragam Rancangan Petak Teralur (Strip Plot Design) pada taraf kepercayaan 95%. Untuk mengetahui perbedaan dua purata hasil pengamatan dilakukan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf kepercayaan 95%. Pengamatan utama dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman jagung, meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, panjang tongkol, bobot basah brangkasan dan bobot kering brangkasan, (2) pengamatan terhadap produksi tanaman jagung, meliputi: jumlah biji per tongkol, bobot biji per tongkol, bobot biji per petak berukuran 2,5 m x 2,5 m, bobot biji per hektar dan bobot 1000 butir biji, dan (3) pengamatan terhadap populasi hama, populasi musuh alami dan intensitas serangan patogen penyakit.

4.3.1.Pengaruh Waktu Tanam terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung

Pada penelitian ini dibandingkan dua waktu tanam, yaitu: waktu tanam berdasarkan kebiasaan petani (A1) dan waktu tanam berdasarkan pranata mangsa (A2). Perlakuan lain yang dicobakan adalah pemberian jerami dan penanaman refugia (B1), pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (B2), tanpa pemberian jerami dan penanaman refugia (B3), dan tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (B4).

(4)

bobot 1000 butir biji. Perlakuan pemberian jerami dan penanaman refugia berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, panjang tongkol, bobot basah brangkasan, bobot kering brangkasan, jumlah biji per tongkol, bobot biji per tongkol, bobot biji per petak berukuran 2,5 m x 2,5 m, dan bobot 1000 butir biji. Interaksi antar perlakuan menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap bobot biji per petak berukuran 2,5 m x 2,5 m dan bobot 1000 butir biji.

Tabel 4.2. Hasil analisis uji Anova terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, panjang tongkol, bobot basah brangkasan, bobot kering brangkasan, bobot biji per tongkol, bobot biji per petak, dan bobot 1000 butir biji

Parameter pengamatan Satuan (A1 versus F hitung A2)

Keterangan: * adalah berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95%, tn adalah tidak berpengaruh nyata. A1 adalah waku tanam berdasarkan kebiasaan petani, A2 adalah waktu tanam berdasarkan ramalan pranata mangsa. B1 adalah pemberian jerami dan penanaman refugia, B2 adalah hanya pemberian jerami, B3 adalah hanya penanaman refugia dan B4 adalah tanpa penanaman refugia. Koefisien variasi (KV) untuk setiap parameter pengamatan disajikan pada lampiran 2.

(5)

Tabel 4.3. Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada perlakuan waktu tanam terkahir, PT adalah panjang tongkol, BBB adalah bobot basah brangkasan, BBK adalah bobot brangkasa kering, JBPT adalah jumlah biji per tongkol, BBPT adalah bobot biji per tongkol, BBPP adalah bobot biji per petak 2,5 m x 2,5 m, BSB adalah bobot 1000 butir biji.

Perlakuan waktu tanam menurut kebiasaan petani pada mangsa Karo. Menurut Daljoeni (1997), mangsa Karo dan Katelu masuk dalam musim Ketigo (musim kering), yang mana pada musim ini mulai penanaman palawija tahap kedua, sehingga mangsa Karo dan Katelu sesuai untuk penanaman Jagung. Waktu tanam berdasarkan pranata mangsa ditanam pada mangsa kalima (musim Labuh). Daljoeni (1997) menyatakan mangsa Kalimo dan Kanem masuk ke dalam

musim Labuh, yang mana hujan mulai turun dan petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi. Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa terjadinya hujan ada pada setiap stadia pertumbuhan yang ditanam pada mangsa Kalima sampai Kawolu. Hujan akan menyebabkan air yang melimpah sehingga memungkinkan terjadinya gangguan pada perakaran tanaman jagung. Perakaran tanaman jagung yang terganggu menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak optimal, sehingga mempengaruhi biomassa tanaman.

Tanaman jagung menghendaki tanah yang kering (tidak tergenang), lama penyinaran matahari cukup (kurang lebih 12 jam per hari). Curah hujan yang tinggi menyebabkan ketersediaan air yang melimpah dimana kondisi lahan yang tergenang dan basah kurang sesuai terhadap pertumbuhan jagung. Cahaya matahari, unsur hara dan air yang tersedia cukup sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis tanaman yang optimal. Hasil fotosintat yang optimal diasimilasikan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman jagung (Sintia, 2011).

(6)

dan panjang tongkol bisa disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Menurut Gardner dkk. (1991) pada komponen pengamatan jumlah daun, laju pemanjangan batang dan tongkol dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

4.3.2. Pengaruh Waktu Tanam yang Dikombinasikan dengan Pemberian Jerami dan Penanaman Refugia terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Panjang Tongkol, Bobot basah brangkasan, dan Bobot kering brangkasan.

Pada setiap perlakuan utama (waktu tanam berdasarkan kebiasaan petani (A1) dan waktu tanam berdasarkan ramalan pranata mangsa (A2) yang dikombinasikan dengan pemberian jerami dan penanaman refugia (B1), hanya pemberian jerami (B2), hanya penanaman refugia (B3), dan tanpa pemberian jerami dan penanaman refugia (B4). Adapun hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf kepercayaan 95% dapat dilihat pada Tabel 4.4. berikut:

Tabel 4.4. Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada parameter tinggi tanaman, jumlah daun, panjang tongkol, bobot basah brangkasan, dan

(7)

kebiasaan petani yang dikombinasikan dengan pemberian jerami dan penanaman refugia (A1B1) menghasilkan purata tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikombinasikan dengan tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A1B4) tetapi tidak berbeda nyata dengan pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A1B2) dan tanpa pemberian jerami dan penanaman refugia (A1B3). Tinggi tanaman yang ditanam berdasarkan pranata mangsa yang dikombinasikan dengan pemberian jerami dan penanaman refugia (A2B1) lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A2B4) tetapi tidak berbeda nyata dengan pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A2B2) dan tanpa pemberian jerami dan penanaman refugia (A2B3).

Menurut Ponamperuma (1982), pemberian jerami padi (bahan organik) menguntungkan bagi petani karena merupakan sumber energi untuk kegiatan jasad renik dalam tanah tanah sehinggga meningkatkan kesuburan tanah. Effendi dan Sulistiati (1991) menyatakan penutupan guludan dengan jerami dapat menekan pertumbuhan gulma, sehingga kompetisi gulma dengan tanaman budidaya dapat dikurangi. Selain jerami sebagai mulsa, pemeberian jerami dapat menambah bahan organik dalam tanah (setelah mengalami proses dekomposisi) sehingga berdampak positif meningkatkan kemampuan daya menahan air (water holding capacity).

Penanaman refugia pada lahan tanaman budidaya mampu meningkatkan populasi musuh alami dalam mengendalikan hama pada tanaman jagung. Menurut Nentwig (1998), refugia merupakan suatu area yang ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan yang dapat menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid. Dengan adanya asupan makanan tambahan meningkatkan kebugaran predator dan parasitoid sehingga populasi hama yang menyerang tanaman berkurang, dan berdampak akhir terhadap pertumbuhan tanaman jagung yang optimal.

(8)

kemunculan bunga betina (silk/rambut tongkol). Pada tahap VT tanaman mulai menyebarkan serbuk sari.

4.3.2.2. Jumlah Daun

Pada Tabel 4.4. menunjukkan bahwa Purata jumlah daun pada semua perlakuan tidak berbeda secara nyata. Tidak adanya perbedaan jumlah daun ini disebabkan jumlah daun dipengaruhi oleh faktor genetis tanaman. Sintia (2011) menyatakan salah satu faktor yang menentukan jumlah daun tanaman adalah jumlah ruas batang yang menjadi tempat keluarnya daun, sehingga jika tanaman mempunyai jumlah ruas yang banyak maka jumlah daun tanaman itu juga lebih banyak Karena pada penelitian menggunakan varietas yang sama dimungkinkan menghasilkan jumlah daun yang sama.

Jumlah daun tanaman mempengaruhi hasil fotosintesis. Menurut Gardner dkk. (1985), jumlah daun tanaman akan mempengaruhi cahaya yang diserap untuk fotosintesis. Semakin banyak daun pada suatu tanaman maka relatif semakin banyak pula cahaya yang terserap oleh tanaman untuk proses fotosintesis,

sehingga sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Paat (2007) mengungkapkan bahwa fotosintat lebih banyak ditranslokasikan ke

daun pada awal pertumbuhan tanaman sampai sampai stadia pembungaan.

Pertambahan jumlah daun maksimum pada tanaman jagung akan berakhir setelah tanaman memasuki stadia generatif. Lee (2007) menyatakan pada stadia tasseling jumlah daun telah mencapai maksimum. Perkembangan tongkol dimulai

pada stadia tasseling (VT).

4.3.2.3. Panjang Tongkol

(9)

Panjang tongkol suatu tanaman dapat dipengaruhi dari translokasi fotosintat. Menurut Mayadewi (2007), semakin banyak fotosintat yang ditranslokasikan dari source ke sink akan meningkatkan panjang tongkol, berat tongkol dan diameter tongkol. Tongkol pada tanaman jagung merupakan tempat pembentukan dan pengisian biji. Gardner et al (1991) menyatakan tongkol pada tanaman jagung merupakan daerah penyaluran asimilasi, sebagian besar asimilasi akan digunakan untuk meningkatkan jumlah biji pada tanaman. Panjang tongkol pada tanaman jagung mempengaruhi jumlah biji per baris pada tongkol, semakin panjang tongkol tanaman maka akan semakin banyak jumlah biji per baris yang dihasilkan.

Pemberian jerami pada perlakuan dapat menekan pertumbuhan gulma, dengan populasi gulma menurun maka dapat menekan persaingan antara gulma dengan tanaman dalam persaingan unsur hara dan air, sehingga pertumbuhan tanaman dapat optimal. Bilalis et al (2002) menyatakan gulma merupakan faktor penting yang menentukan hasil panen dan mulsa penting untuk pengendalian gulma. Selain pemberian jerami, penanaman refugia berpengaruh terhadap keberlangsungan musuh alami. Menurut Las (2006), menyatakan bahwa Serangga musuh alami berperan dalam mengendalikan populasi hama. Kemampuan musuh alami dapat ditingkatkan dengan penanaman refugia dalam menyediakan habitat dan nutrisi tambahan untuk kebugaran musuh alami.

4.3.2.4. Bobot basah brangkasan

(10)

dengan pemberian jerami dan penanaman refugia (A2B1), hanya pemberian jerami (A2B2), dan hanya penanaman refugia (A2B3).

Menurut Sitompul dan Guritno (1995), pemberian jerami (bahan organik) berperan mengikat air dan mempertahankan air dalam tanah yang dapat digunakan untuk proses fotosintesis. Selain itu air juga berperan dalam melarutkan unsur-unsur hara yang ada dalam tanah sehingga memudahkan diserap oleh tanaman.

Bobot brangkaan basah merupakan parameter yang sering digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya taksiran biomassa (bobot) relatif mudah diukur dan merupakan intregarasi dari hasil semua proses pertumbuhan tanaman (Yuswa, 2012).

Kandungan air dalam tubuh tanaman dipengaruhi oleh absorbsi dan transpirasi air. Menurut Lovelles (2006), stomata pada jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki Poaceae (suku rumput). Setiap stomata dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting pada respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun. Jika tanaman mengalami kekeringan, sel-sel kipas akan mengerut dan menutup lubang stomata yang membuat daun menggulung ke bawah sehingga mengurangi proses transpirasi.

4.3.2.5. Bobot kering brangkasan

(11)

dikombinasikan dengan tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A1B4), waktu tanam berdasarkan pranata mangsa yang dikombinasikan dengan hanya pemberian jerami (A2B2), hanya penanaman refugia (A2B3) tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan waktu tanam berdasarkan kebiasaan petani yang dikombinasikan dengan hanya penanaman refugia (A1B3).

Guritno (1995) menyatakan bahwa bobot kering brangkasan merupakan indikator pertumbuhan, sehingga semakin baik pertumbuhan tanaman maka akan semakin tinggi pula bobot brangkasan kering tanaman. Fitter dan Hay (1981) menyatakan bahwa 90% dari bobot kering brangkasan adalah hasil fotosintesis. Fotosintesis tanaman dipengaruhi cahaya matahari, air, karbondioksida, jumlah daun, dan ukuran daun. Hasil fotosintat tanaman akan diasimilasi oleh tanaman untuk pembentukan organ-organ tanaman. Fotosintesis optimal akan menyebabkan pembentukan organ tanaman akan lebih baik sehingga berat kering tanaman akan lebih tinggi (Sitompul dan Guritno, 1995).

Pemberian jerami (bahan organik) yang terdekomposisi dan penanaman refugia mempunyai pengaruh cukup baik bagi pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang baik berpengaruh pada biomassa tanaman. Biomassa tanaman dapat digunakan untuk mendiskripsikan peristiwa yang dialami oleh suatu tanaman selama hidupnya (Yuswa, 2012). Bobot kering brangkasan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan air di dalam tubuh tanaman. Kandungan air suatu jaringan atau keseluruhan tubuh tanaman dapat berubah (jarang konstan) seiring pertambahan umur tanaman, dan dipengaruhi oleh lingkungannya (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

4.3.3. Pengaruh Pemberian Jerami dan Penanaman Refugia terhadap Jumlah Biji per Tongkol, Bobot Biji per Tongkol, Bobot Biji per Petak Berukuran 2,5 m x 2,5 m, Bobot Biji per Hektar dan Bobot 1000 Butir Biji

(12)

terhadap jumlah biji per tongkol, bobot biji per tongkol, bobot biji per petak berukuran 2,5 m x 2,5 m dan bobot 1000 butir biji dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada parameter jumlah biji per tongkol, bobot biji per tongkol, bobot biji per petak dan bobot 1000 butir biji

Perlakuan (butir) JBPT BBPT (g) BBPP (kg) (ton/ha) BBPH BSB (g)

Kebiasaan Petani (A1)

Jerami + refugia (A1B1) 441,92 b 161,79 d 4,31 e 6,90 e 341,26 e Jerami+ tanpa refugia (A1B2) 431,76 b 157,08 d 4,28 e 6,85 e 340,38 e Tanpa jerami + refugia (A1B3) 420,77 ab 136,54 c 3,98 d 6,37 d 335,60 cd Tanpa jerami + tanpa refugia (A1B4) 381,78 ab 105,12 a 3,99 d 6,38 d 336,26 d Pranata Mangsa (A2)

Jerami + refugia (A2B1) 426,4 ab 135,66 c 3,38 c 5,41 c 334,64 bcd Jerami+ tanpa refugia (A2B2) 422,04 ab 127,16 bc 3,29 bc 5,26 c 333,24 ab Tanpa jerami + refugia (A2B3) 413,02 ab 131,88 bc 3,17 b 5,07 b 333,60 abc Tanpa jerami + tanpa refugia (A2B4) 356,38 a 111,05 a 2,89 a 4,62 a 331,58 a

Keterangan: JBPT adalah jumlah biji per tongkol, BBPT adalah bobot biji per tongkol, BBPP adalah bobot biji per petak berukuran 2,5 m x 2,5 m, BBPH adalah bobot biji per hektar, BSB adalah bobot 1000 butir biji. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada uji BNJ taraf kepercayaan 95%.

4.3.4.1. Jumlah Biji per Tongkol

(13)

refugia (A2B1), hanya pemberian jerami (A2B2), dan hanya penanaman refugia (A2B3).

Mayadewi (2007) menyatakan semakin besar fotosintat yang ditranslokasikan ke tongkol tanaman maka akan meningkat pula berat tongkol tanaman, karena sebagian fotosintat tersebut ditranslokasikan ke dalam biji. Gardner dkk. (1991) menyatakan bahwa tongkol menjadi tempat penyaluran asimilasi untuk pengisian biji. Sebagian besar asimilasi akan digunakan untuk meningkatkan jumlah biji bernas pada tanaman.

Jumlah biji per tongkol dipengaruhi oleh dua faktor yaitu jumlah baris per tongkol dan jumlah biji per baris, dimana semakin banyak jumlah kedua faktor itu makan akan semakin banyak pula jumlah biji per tongkol. Menurut Yasin (2011) dalam menentukan perhitungan jumlah biji per tongkol dapat dilakukan dengan mengupas kelobot kemudian menghitung jumlah biji per baris (a) serta jumlah baris per tongkol (b). Perkalian antara jumlah biji per baris dengan jumlah baris biji per tongkol akan didapatkan jumlah biji per tongkol (C) rumus C=a x b.

4.3.3.2. Bobot Biji per Tongkol

(14)

pranata mangsa yang dikombinasikan dengan hanya pemberian jerami (A2B2) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan hanya pemberian refugia (A2B3), tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A2B4).

Pemberian jerami mampu mengendalikan populasi gulma yang mempengaruhi tanaman dalam memanfaatkan unsur hara dan air, sehingga menyediakan iklim mikro yang sesuai untuk mikroorganisme yang berguna di sekitar perakaran tanaman, menambahkan bahan organik tanah, meningkatkan ketersediaan unsur hara yang semula terikat oleh koloid tanah (Umboh, 2002).

Bobot biji per tongkol jagung dapat digunakan untuk menentukan kuantitas dan kualitas dari biji jagung. Menurut Loveless (1982) pertumbuhan tanaman yang baik memungkinkan terjadinya translokasi fotosintat ke limbun (dari source ke sink) yang lebih baik sehingga produksi tanaman akan berlangsung lebih baik. Produksi tanaman yang baik akan nampak pada pembentukan biji yang bernas sehingga meningkatkan bobot kering pipil biji.

Waktu panen tanaman jagung dapat mempengaruhi bobot dari biji jagung. Waktu panen yang baik untuk tanaman jagung adalah pada saat tanaman memasuki stadia masak fisiologis (R6). McWilliams dkk.(1999) menyatakan bahwa pada stadia masak fisiologis (R6), biji pada tongkol jagung telah mencapai bobot kering maksimum. Pada kondisi ini, pembentukan lapisan pati yang keras pada biji telah sempurna dan telah terbentuk lapisan absisi berwarna coklat atau kehitaman (black layer).

4.3.4.6. Bobot Biji per Petak (Berukuran 2,5 m x 2,5 m)

(15)

refugia (A1B4), tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan waktu tanam berdasarkan pranata mangsa yang dikombinasikan dengan pemberian jerami dan penanaman refugia (A2B1), hanya pemberian jerami (A2B2), hanya pemberian refugia (A2B3) dan tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A2B4). Purata bobot biji per petak pada waktu tanam berdasarkan pranata mangsa yang dikombinasikan dengan pemberian jerami dan penanaman refugia (A2B1) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan hanya pemberian jerami (A2B2) tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan hanya penanaman refugia (A2B3) dan tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A2B4). Purata bobot biji per petak pada waktu tanam berdasarkan pranata mangsa yang dikombinasikan dengan hanya penanaman refugia (A2B3) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan hanya pemberian jerami (A2B2).

Semakin tinggi nilai bobot biji per tongkol dan bobot 1000 butir biji maka semakin tinggi bobot biji per petak berukuran 2,5 m x 2,5 m. Bobot biji per petak berhubungan erat dengan jumlah biji per tongkol, bobot biji per tongkol dan bobot 1000 butir biji (Kartasapoetra, 1986).

Bobot biji per petak berukuran 2,5 m x 2,5 m digunakan untuk menentukan produksi tanaman per hektar. Produksi tanaman per luasan tertentu dapat ditingkatkan dengan mengatur kerapatan (jarak tanam per satuan luas) sampai batasan tertentu. Menurut Sutoro dkk. (1998), merapatkan jarak tanam per satuan luas sampai batas tertentu dapat meningkatkan hasil, akan tetapi penambahan jumlah tanaman selanjutnya akan menurunkan hasil karena terjadi kompetisi air, unsur hara, sinar matahari dan ruang tumbuh.

4.3.3.4. Bobot Biji per Hektar

(16)

mangsa dan pemberian jerami dan penanaman refugia (A2B1) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan yang hanya diberikan jerami (A2B2) tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa jerami dan penanaman refugia (A2B3). Purata bobot biji per hektar pada waktu tanam berdasarkan pranata mangsa yang hanya ditanami refugia (A2B3) lebih tinggi dibandingkan dengan yang tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A2B4).

Bobot biji per hektar dipengaruhi oleh jumlah tanaman per hektar dan bobot

biji per individu tanaman (Muhadjir, 1988 dan Subandi dkk, 1988). Pada penelitian ini menggunakan jarak tanam yang sama pada setiap petaknya dan

jumlah individu tanaman yang dipanen per petaknya relatif sama (tidak ada tanaman yang mati), sehingga bobot biji per hektar sangat dipengaruhi oleh bobot biji per individu tanaman.

4.3.3.5. Bobot 1000 Butir Biji

(17)

tidak saling berbeda nyata dibandingkan dengan hanya penanaman refugia (A2B3) dan tanpa pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A2B4).

Bobot 1000 butir biji dapat digunakan untuk menentukan kualitas mutu fisik biji. Menurut Sutopo (2002), bobot 1000 butir biji dipengaruhi oleh mutu fisik (ukuran biji, bernasnya biji dan kadar air biji). Bobot dan bernasnya biji dipengaruhi oleh jumlah fotosintat yang ditranslokasikan ke tongkol (dari source ke sink).

Unsur hara yang penting dalam bobot biji adalah fosfor. Pada saat pertumbuhan generatif harus tersedia fosfor dalam tanah. Dengan ketersedian fosfor yang cukup maka pembentukan inti sel, lemak dan protein dapat berlangsung dengan baik. Pada akhirnya proses pembentukan dan produksi tanaman akan baik pula seperti pembentukan biji yang normal dan bernas (Winarso, 2005).

4.3.3. Hama, Patogen Penyakit dan Musuh Alami yang Ditemukan pada Tanaman Jagung

Pengamatan hama tanaman, serangan patogen penyakit dan musuh alami, dilakukan pada setiap stadia pertumbuhan tanaman jagung (VE sampai VT dan R1 sampai R6). Hama tanaman dan musuh alami diamati dan dihitung populasinya pada setiap stadia pertumbuhan tanaman jagung. Serangan patogen penyakit diamati dan dihitung intensitas serangan penyakitnya untuk penyakit hawar daun, penyakit karat, bercak daun dan hawar upih daun, sedangkan untuk penyakit penyakit bulai dan busuk batang bakteri hanya dihitung persentase serangannya.

4.3.3.1. Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Jagung

Hama dan musuh alami diidentifikasi di laboratorium Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan Bisnis, UKSW. Identifikasi hama dan musuh alami dilakukan sampai pada tingkat famili, dengan menggunakan kunci identifikasi yang terdapat pada buku karangan Subyanto (1991) dan Borror dkk. (1996).

(18)

famili Acrididae), (4) belalang kelompok dua - Acrida spp. (ordo Orthoptera, famili Acrididae), (5) ulat bulu – Lymantria sp. (ordo Lepidoptera, famili Lymantridae), (6) ulat penggerek batang – Ostrinia sp. (ordo Lepidoptera, famili Noctuidae) dan (7) ulat penggerek tongkol – Helicoverpa sp. (ordo Lepidoptera, famili Noctuidae) (Tabel. 4.6.) dan (Gambar 4.2).

Musuh alami pada setiap stadia pertumbuhan tanaman jagung (VE sampai VT dan R1 sampai R6) ditemukan: (1) capung Orthetrum spp. (ordo Odonata, famili Libellulidae), (2) Belalang sembah (ordo Mantodea, famili Mantidae), (3) Kumbang Paederus spp. (ordo Coleoptera, famili Staphylinidae), (4) kumbang koksi Coccinella transversalis (ordo Coleptera, famili Coccinellidae), (5) laba-laba Phidipus spp. (ordo Aranae, famili Salticidae), (7) laba-laba-laba-laba Agelenopsis spp. (ordo Aranae, famili Agelenidae) (Tabel. 4.6.) dan (Gambar 4.3).

Tabel 4.6. Hama dan musuh alami yang ditemukan pada stadia pertumbuhan tanaman jagung

Stadia tanaman

jagung Hama Musuh alami

(VE sampai V1) Lalat bibit, belalang kelompok dua, kutu daun dan ulat bulu

Kumbang koksi, kumbang kumbang Paederus spp, capung Orthetrum spp. dan laba-laba.

(V2 sampai V18) Lalat bibit, belalang kelompok satu, kelompok dua ulat bulu, ulat penggerek batang, dan kutu daun

Kumbang koksi, kumbang Paederus spp, laba-laba, capung Orthetrum spp. dan belalang sembah

(VT sampai R2) Belalang kelompok satu dan belalang kelompok dua, ulat bulu, ulat penggerek batang

Kumbang koksi, kumbang Paederus spp, laba-laba, capung Orthetrum spp. dan belalang sembah

(R3 sampai R6) Ulat bulu, ulat penggerek batang, ulat penggerek tongkol, kutu

Kumbang Paederus, kumbang koksi, laba-laba, dan belalang sembah

Keterangan: VE samapai V1 adalah perkecambahan, V2 sampai V18 adalah pertumbuhan sebelum stadia

tassel, VT sampai R2 adalah pembungaan dan pengisian biji, dan R3 sampai R6 adalah pengerasan biji.

(19)

Untung (1997) menyatakan bahwa musuh alami merupakan salah satu pengendali biologi. Musuh alami terdiri dari predator (pemangsa), parasit, parasitoid (parasit yang memiliki inang dalam takson yang sama) dan patogen (mikroorganisme penyebab penyakit pada hama tanaman). Menurut Pedigo (1999), taktik pengelolaan hama yang melibatkan musuh alami untuk menurunkan populasi hama disebut pengendalian hayati.

Gambar 4.1. Kehadiran populasi hama dan musuh alami pada setiap stadia tanaman jagung

Belalang pada penelitian ini merupakan hama yang paling banyak ditemukan dan ada pada setiap stadia pertumbuhan tanaman jagung. Adnan (2009), menyatakan bahwa belalang merupakan hama yang bersifat polifag. Kehadiran dan populasi hama belalang yang banyak dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar lokasi penelitian yang sebagian besar ditanami padi dan jagung.

(20)

Tabel 4.7. Jumlah populasi musuh alami yang ditemukan pada petak tanpa

Keterangan: A1 adalah waku tanam berdasarkan kebiasaan petani, A2 adalah waktu tanam berdasarkan ramalan pranata mangsa. A1 dan A2 dikombinasikan dengan B1 adalah pemberian jerami dan penanaman refugia, B2 adalah hanya pemberian jerami, B3 adalah hanya penanaman refugia dan B4 adalah tanpa penanaman refugia.

Tanaman refugia di sekitar lahan pertanian merupakan habitat alternatif bagi banyak serangga predator, parasit dan parasitoid. Las (2006), menyatakan bahwa serangga musuh alami berperan dalam mengendalikan populasi hama dan dapat ditingkatkan populasinya dengan menyediakan habitat dan sumber makanan yang sesuai bagi serangga musuh alami. Menurut Kurniawati (2016), bunga tanaman refugia akan menyediakan nektar dan aroma yang menarik bagi serangga, baik serangga penyerbuk (polinator), serangga musuh alami, serangga hama atau serangga yang berperan lainnya dalam suatu habitat untuk datang dan mendekat ke tanaman refugia. Dengan menanam tanaman refugia berdekatan dengan tanaman budidaya berdampak positif memudahkan musuh alami untuk menemukan sumber makanannya (hama tanaman).

(21)

4.3.3.2. Penyakit Pada Tanaman Jagung

Intensitas serangan penyakit hawar daun, karat daun, bercak daun, dan hawar upih daun, pada setiap stadia pertumbuhan tanaman jagung disajikan pada Tabel 4.8. Persentase serangan penyakit bulai dan busuk batang pada setiap stadia pertumbuhan tanaman jagung disajikan pada Tabel 4.9. Gejala tanaman yang terserang patogen penyakit disajikan padaGambar.4.4.

Menurut Semangun (1993), penyakit hawar daun disebabkan oleh Helminthosporium spp., penyakit karat disebabkan oleh Puccinia spp., bercak daun disebabkan oleh Curvularia spp. dan hawar upih daun disebabkan oleh Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii, penyakit bulai disebabkan oleh Peronosclerospora maydis, dan busuk batang disebabkan oleh Erwinia spp.

Tabel 4.8. Intensitas serangan patogen penyakit hawar daun, penyakit karat daun, bercak daun, dan hawar upih daun.

Perlakuan

Keterangan: penyakit hawar daun (yang disebabkan oleh Helminthosporium sp), penyakit karat (yang disebabkan oleh Puccinia spp.), bercak daun (yang disebabkan oleh Curvularia spp.) dan hawar upih daun (Rhizoctonia sp.)

(22)

Gejala penyakit hawar daun diawali dengan bercak-bercak kecil, jorong hijau tua atau hijau kelabu kebasah-basahan yang lama kelamaan bercak membesar membentuk seperti perahu. Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak yang sangat besar. Serangan yang berat mengakibatkan tanaman tampak kering seperti habis terbakar. Bercak muncul setelah hujan atau pada saat banyak embun (Semangun, 1993). Sudjono (1989) menyatakan bahwa intensitas penyakit hawar daun yang relatif tinggi berkaitan dengan musim tanam jagung yang umumnya dilakukan pada musim penghujan ( kondisi curah hujan yang tinggi, suhu yang relatif rendah dan intensitas penyinaran matahari yang kurang).

Tanaman jagung yang terkena penyakit karat daun menunjukkan gejala adanya bintil-bintil berwarna jingga atau coklat pada permukaan daunnya (Semangun, 1993). Intensitas serangan penyakit karat daun pada waktu tanam berdasarkan pranata mangsa dengan pemberian mulsa jerami dan penanaman refugia (A2B1) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingginya intensitas serangan penyakit pada tanaman jagung dimungkinkan karena pemberian mulsa jerami pada lahan penelitian sehingga mengakibatkan kondisi lingkungan yang relatif lebih lembab. Kelembaban mikro sangat cocok bagi perkembangan penyakit tanaman. Subandi dkk.. (1988) menyatakan bahwa penyakit karat berkembang baik jika suhu udara rendah dan kelembaban lingkungan tinggi. Penyakit karat daun pada tanaman jagung kurang merugikan dan sampai sekarang belum ada cara khusus untuk pengendaliannya. Terjadinya serangan berbagai penyakit pada tanaman jagung memiliki kontribusi dalam penurunan produktivitasnya (Semangun, 1993).

(23)

tahan terhadap serangan patogen penyebab penyakit bercak daun dan didukung oleh kondisi lingkungan yang lembab (Jardine, 1998).

Gejala penyakit hawar upih daun tampak pada buku-buku pangkal batang. Semangun (1993) mengungkapkan bahwa tanaman jagung yang terkena hawar upih daun dapat mengering pangkal batangnya dan mati. Intensitas serangan patogen penyakit hawar upih daun relatif lebih tinggi ditemukan pada lahan penelitian yang ditanami jagung pada waktu tanam berdasarkan pranata mangsa, yang dikombinasikan dengan pemberian jerami dan tanpa penanaman refugia (A2B2). Tingginya intensitas serangan patogen penyakit hawar upih daun diduga karena kondisi lahan pada musim penghujan yang lembab dan meningkatnya kelembaban di bawah tanaman jagung.

Tabel 4.8. Persentase serangan patogen penyakit bulai dan busuk batang

Perlakuan Persentase serangan patogen penyakit: Bulai (%) Busuk batang (%)

Kebiasaan Petani (A1)

Jerami + refugia (A1B1) 16 4

Jerami+ tanpa refugia (A1B2) 12 0

Tanpa jerami + refugia (A1B3) 8 0

Tanpa jerami + tanpa refugia (A1B4) 12 0

Pranata Mangsa (A2)

Jerami + refugia (A2B1) 0 8

Jerami+ tanpa refugia (A2B2) 4 4

Tanpa jerami + refugia (A2B3) 4 4

Tanpa jerami + tanpa refugia (A2B4) 0 4

Keterangan: penyakit bulai (yang disebabkan oleh Peronosclerospora maydis), dan busuk batang (yang disebabkan oleh Erwinia spp.)

Gejala penyakit bulai diawali dengan munculnya bercak-bercak klorosis berukuran kecil. Bercak berkembang menjadi jalur yang sejajar dengan ibu tulang

daun. Bercak dimulai dari bagian ujung daun menuju ke pangkal daun. Permukaan bawah daun terdapat lapisan beledu berwarna putih (Semangun,

1993).

(24)

dengan varietas yang sama dan menggunakan pupuk Urea, sehingga patogen penyakit bulai dapat menyebar dari satu lahan ke lahan lainnya (Julijantono, 2014).

Air gutasi membantu perkecambahan spora dari, sedangkan infeksi patogen penyakit hanya terjadi jika ada air bebas, embun, air hujan maupun air gutasi. Selain itu, penyakit bulai lebih banyak terjadi pada musim hujan (Semangun, 1993).

Batang tanaman yang terkena busuk batang bakteri nampak memuntir, patah pada pangkalnya dan tanaman rebah. Buku tanaman yang sakit berwarna coklat kebasah-basahan, lunak, berlendir dengan bau yang tidak enak (Semangun, 1993). Persentase serangan patogen penyakit busuk batang pada waktu tanam berdasarkan ramalan pranata mangsa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan waktu tanam berdasarakan kebiasaan petani. Tingginya intensitas serangan patogen penyakit busuk batang diduga karena kondisi lahan pada musim penghujan yang lembab dan meningkatnya kelembaban di bawah tanaman jagung (Subandi dkk, 1998).

(25)

(1) lalat bibit - Atherigona sp.

(ordo Diptera, Muscidae) (2) kutu daun - Rhopalosiphum sp. (ordo Homoptera, Aphididae)

(3) belalang satu - Locusta sp. (ordo Orthoptera, Acrididae)

(4) belalang dua - Acrida spp. (ordo Orthoptera, famili Acrididae)

(5) ulat bulu – Lymantria sp.

(ordo Lepidoptera, famili Lymantridae) (6) penggerek batang – Ostrinia sp (ordo Lepidoptera, famili Noctuidae)

(7) penggerek tongkol – Helicoverpa sp. (ordo Lepidoptera, famili Noctuidae)

(26)

Gambar 4.3. Musuh alami yang ditemukan pada tanaman jagung (1) capung Orthetrum spp.

(ordo Odonata, famili Libellulidae)

(2) Belalang sembah Stagmomantis spp. (ordo Mantodea, famili Mantidae)

(3) Kumbang Paederus spp.

(ordo Coleoptera, famili Staphylinidae) (4) kumbang koksi Coccinella sp. (ordo Coleptera, famili Coccinellidae)

(5) laba-laba Phidipus spp.

(27)

Gambar 4.4. Penyakit yang ditemukan pada tanaman jagung (1) hawar daun

yang disebabkan oleh Helminthosporium spp.

(2) penyakit karat yang disebabkan oleh Puccinia spp

(3) bercak daun

yang disebabkan oleh Curvularia spp.

(4) hawar upih daun yang disebabkan oleh Rhizoctonia sp.dan Sclerotium rolfsii

(5) penyakit bulai yang disebabkan oleh

Gambar

Tabel 4.1.  Data suhu udara, kelembaban dan terjadinya hujan di desa Daleman dan desa Gedong Jetis, kecamatan Tulung,  kabupaten Klaten
Tabel 4.2. Hasil analisis uji Anova terhadap tinggi tanaman, jumlah daun,
Tabel 4.4. Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada parameter tinggi tanaman,
Tabel 4.5. Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada parameter jumlah biji per tongkol, bobot biji per tongkol, bobot biji per petak dan bobot 1000 butir biji
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam setiap pembahasan tentang pendidikan matematika, tidak akan terlepas dari pendidikan dalam arti luas. Pada kenyataannya, masalah pendidikan adalah salah satu

Alat ini bekerja ketika sensor soil moisture mendeteksi kondisi tanah dalam keadaan kering dan relay akan mengaktifkan pompa sehingga proses penyiraman

Tahap Perencanaan Siklus I; Kegiatan yang dilakukan dalam tahap siklus I: Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah : a. Menelaah kurikulum Bahasa

apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial emosional dan karakter anak.. Perkembangan zaman termasuk perkembangan dan kemajuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh moralitas, asimetri informasi, kesesuaian kompensasi terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Populasi

Judul : Penerapan Strategi Writing Workshop Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Paragraf Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (Suatu PTK di kelas Paragraph Based

Jenis data yang digunakandalampenelitianini adalah data primer, yakni data yang diperoleh dari sumber aslinya.Data penelitiandikumpulkandari 58 mahasiswa program

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi siswa terhadap kepuasan pelayanan pada SMK Nurul Huda Ulak Kembahang II Kabuten Ogan Ilir