Analisis Meiofauna Di Kawasan Mangrove Kota Dumai
Propinsi Riau
Radith Mahatma, Khairijon, Dyah Iriani, Sufiana Nasution, Elfi Nery,
Nurmalisyah
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau Correspondence author : radith_mahatma@yahoo.com
Abstrak. Komunitas meiofauna sangat dipengaruhi oleh substrat tempat hidupnya. Ukuran partikel sedimen dan pori-pori sedimen akan menentukan milieu sedimen baik secara fisik
maupun kimia. Pada ekosistem mangrove kadar tannin yang ada di sedimen berpengaruh terhadap kelimpahan meiofauna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas meiofauna pada tipe vegetasi yang berbeda di beberapa kawasan mangrove Kota Dumai. Sampel dikoleksi dari sedimen yang didominasi oleh empat vegetasi mangrove yang berbeda (Sonneratia alba, Avicennia alba, Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum)
di tiga lokasi kawasan mangrove Kota Dumai, Prop. Riau (Marine Station Universitas Riau,
muara Sungai Dumai dan Desa Basilam Baru). Similaritas diantara komunitas meiofauna dianalisis dengan Bray Curtis Similarity dan hasilnya disajikan dengan non metrik MDS-2D. Beda nyata antara komunitas meiofauna diuji dengan ANOSIM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nematoda adalah taksa yang paling dominan, komposisi taksa pada ketiga lokasi relatif sama demikian pula pada 4 tipe vegetasi mangrove. MDS-2D menunjukkan bahwa similaritas sampel di lokasi yang sama lebih besar daripada lokasi yang berbeda. Hasil MDS-2D didukung oleh ANOSIM dengan nilai R= 0,495.
Kata kunci: meiofauna, mangrove, Dumai, Propinsi Riau
PENDAHULUAN
Mangrove merupakan komunitas vegetasi halophytic yang hidup di zona intertidal baik didaerah tropis maupun subtropis.
Produktivitasnya yang tinggi menyebabkan mangrove mempunyai peran yang sangat penting dalam menyokong rantai makanan di daerah pesisir dan muara. Selain itu mangrove juga mempunyai banyak fungsi, antara lain: merupakan habitat bagi beraneka ragam species hewan, sumber mata pencaharian bagi penduduk disekitarnya dan juga sebagai pelindung pantai dari ancaman abrasi oleh gelombang laut. Perairan yang ada dikawasan mangrove merupakan tempat pemijahan dan nursery bagi organisme perairan seperti ikan, kepiting, udang serta berbagai jenis hewan lainnya seperti amfibia, reptil, burung dan beberapa mammalia yang hidup di air.
Seiring dengan meningkatnya populasi penduduk tekanan yang dihadapi oleh ekosistem mangrove juga semakin meningkat, demikian pula halnya dengan ekosistem mangrove yang ada di Indonesia. Semakin tingginya degradasi dan kerusakan mangrove mengakibatkan ekosistem ini termasuk salah satu ekosistem yang paling terancam didunia sehingga keragaman hayati dari kawasan mangrove semakin banyak mendapat perhatian. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan informasi mengenai keragaman hayati mangrove cukup banyak diketahui, tetapi informasi mengenai keragaman hayati mangrove tersebut lebih didominasi oleh species-species hewan maupun tumbuhan yang berukuran besar sedangkan keragaman hewan avertebrata yang berukuran mikroskopis seringkali terlewatkan.
merupakan kelompok hewan avertebrata yang berukuran 42-1000 μm. Meiofauna hidup pada berbagai tipe habitat, mulai dari perairan air tawar, mangrove, sampai ke perairan laut dalam dan secara kuantitas merupakan kelompok hewan metazoa yang paling penting di ekosistem perairan. Kelimpahan rata-ratanya adalah 105 - 106/m2 permukaan sedimen dan tentu saja kelimpahannya berbeda menurut kedalaman, latitude dan jenis substrat.
Meiofauna memiliki peranan yang sangat penting didalam ekosistem, pada rantai makanan mereka memakan bakteri dan diatom serta merupakan makanan bagi larva ikan dan hewan-hewan benthos lainnya seperti kepiting, udang serta gastropod. Selain itu, aktivitas bioturbasi-nya.
Meningkatkan laju difusi oksigen dari sedimen ke perairan dan sebaliknya, sedangkan kemampuannya dalam memecah partikel detritus akan membantu proses dekomposisi oleh bakteri.
Tingginya keragaman, densitas dan rendahnya kemampuan dispersal serta singkatnya masa hidup meiofauna membuatnya sering digunakan sebagai indikator dalam memonitor pencemaran atau kesehatan lingkungan perairan. Berdasarkan studi literatur, kajian mengenai keragaman meiofauna yang pernah dipublikasikan sebagian besar dilakukan di daerah bermusim empat dan subtropis sedangkan kajian meiofauna di Indonesia terutama yang berasal dari ekosistem mangrove masih sangat jarang termasuk di Propinsi Riau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas meiofauna di beberapa kawasan mangrove Kota Dumai Propinsi Riau.
Gambar 4. Lokasi sampling
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Sampel dikoleksi dari empat vegetasi mangrove yang berbeda (Sonneratia alba, Avicennia alba, Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum) di tiga lokasi kawasan mangrove Kota Dumai, Prop. Riau (Muara Sungai Dumai, Marine Station Universitas Riau dan Desa Basilam Baru) (Gambar 1). Ketiga lokasi merupakan kawasan mangrove dengan karakteristik yang berbeda, kawasan Marine Station Universitas Riau berada didekat muara Sungai Mesjid dengan kondisi vegetasi mangrove yang masih baik dengan kerapatan yang relatif tinggi. Kawasan mangrove di muara Sungai Dumai memiliki vegetasi mangrove dengan kerapatan yang rendah dibanding lokasi Marine Station. Desa Basilam Baru memiliki kawasan mangrove yang berada di zona littoral dan berhadapan langsung dengan Selat Rupat.
Sampling sedimen
Di laboratorium, sedimen sampel disaring menggunakan mesh sieve bertingkat dengan ukuran 1 mm, 500 μm,
300μm, 150μm dan 62 μm untuk untuk memisahkan partikel berukuran besar dan meiofauna yang berada di sedimen. Meiofauna yang berhasil diisolasi selanjutnya di kelompokkan kedalam
major taxa.
Analisis Data
Data kelimpahan meiofauna dianalisis secara deskriptif untuk menentukan kelimpahan dan komposisi meiofauna. Analisis similaritas dilakukan dengan menyusun matriks (dis-) similaritas (menggunakan koefisien Bray-Curtis) untuk mengetahui perbedaan kelimpahan antara komunitas meiofauna. Matriks similaritas selanjutnya ditampilkan dalam bentuk ordinansi, yaitu Multidimensional Scaling (MDS) untuk menunjukkan similaritas sampel yang berasal dari lokasi yang berbeda. Semakin sama 2 sampel maka letaknya pada grafik akan semakin berdekatan.
Uji ANOSIM dilakukan untuk menunjukkan perbedaan antara kelompok sampel. MDS dan ANOSIM dilakukan menggunakan program statistik ekologi Primer 6.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan dan komposisi meiofauna
Tabel 1. Taksa meiofauna di kawasan mangrove Kota Dumai
Taksa Jumlah individu
Nematoda 9100 Copepoda 1746 Oligochaeta 787
Polychaeta 403 Ostracoda 98
Insekta 12 Tardigrada 6 Kinorhyncha 4
Isopoda 3
Tanaidacea 2
Jumlah 12161
Sejumlah 10 taksa meiofauna berhasil dikoleksi dalam penelitian ini dengan total individu 12.161. Taksa yang ditemui terdiri dari Nematoda, Copepoda, Polychaeta, Oligochaeta, Kinorhyncha, Insekta, Ostracoda, Isopoda, Tardigrada dan Tanaidacea. (Tabel 1)
Kelimpahan meiofauna yang ditemukan dalam penelitian ini berkisar antara 131,04 ind./10 cm2 di kawasan mangrove Marine Station, 204,19 ind./10cm2 di kawasan mangrove muara Sungai Dumai dan 168,5 ind./10cm2 dikawasan mangrove Desa Basilam Baru. Pada ketiga kawasan mangrove tersebut secara umum komposisinya didominasi oleh taksa yang relatif sama, yaitu Nematoda, Copepoda, Oligochaeta dan Polychaeta. Taksa meiofauna lainnya yang ditemui, yaitu Ostracoda, Isopoda, Tanaidacea, Kinorhynca, Tardigrada, dan Insekta, kelimpahannya sangat rendah sehingga bila diakumulasikan hanya berkontribusi 1% dari total meiofauna yang ditemukan Nematoda merupakan taksa yang paling tinggi kelimpahannya, kontribusinya mencapai 75% dari total meiofauna yang ditemukan dalam penelitian ini. (Gambar 2)
Gambar 5. Persentase total meiofauna
Gambar 3. Komposisi meiofauna di tiga kawasan mangrove Kota Dumai. a. Marine station, b.
Keterangan : Taksa lainnya meliputi a) Insekta, Ostracoda, Kinorhynca, Tardigrada dan Tanaidacea. b. Polychaeta,Tardigrada, Isopoda, Kinorhynca dan Tanaidacea. c.Polychaeta dan Ostracoda.
Demikianpula bila diamati pada masing-masing lokasi (Marine Station, Muara Sungai Dumai dan Basilam Baru) terlihat bahwa komposisi taksa meiofauna yang mendominasi relatif sama dan Nematoda merupakan taksa yang paling dominan, berkisar antara 67% - 90%. (Gambar 3)
Secara umum, komposisi meiofauna yang ditemukan dalam penelitian ini relatif sama dengan yang dilaporkan oleh peneliti lain. Dari kawasan mangrove yang berbeda. Demikianpula halnya bila dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang dilakukan di kawasan selain mangrove komposisi dan dominansi taksa meiofauna yang ditemukan menunjukkan adanya kemiripan.
Hasil pengamatan pada masing-masing vegetasi di tiga lokasi yang berbeda juga menunjukkan hasil yang serupa. Komposisi meiofauna yang ditemukan relatif serupa dan Nematoda merupakan taksa yang paling dominan diikuti oleh Copepoda. (Gambar 4)
Gambar 6. Komposisi meiofauna pada masing-masing vegetasi di kawasan mangrove Kota Dumai. Keterangan : Taksa lainnya meliputi Insekta, Ostracoda, Kinorhynca, Tardigrada, Isopoda, dan Tanaidacea
Analisis similaritas terhadap kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove Kota Dumai
Grafik MDS-2D (stres = 0,11) untuk komunitas meiofauna menunjukkan bahwa komunitas meiofauna di kawasan mangrove Kota Dumai terpisah berdasarkan lokasi (Gambar 5a).
Uji ANOSIM yang didasarkan pada matriks (dis)-similaritas Bray-Curtis menunjukkan kesesuaian dengan hasil yang ditunjukkan oleh grafik MDS-2D dengan nilai R global = 0,495 dan level signifikansi 0,3% (Gambar 5b).
KESIMPULAN
Kelimpahan meiofauna yang ditemukan dalam penelitian ini berkisar antara 131,04 ind./10 cm2 di kawasan mangrove Marine Station, 204,19 ind./10cm2 di kawasan mangrove muara Sungai Dumai dan 168,5 ind./10cm2 dikawasan mangrove Desa Basilam Baru. Nematoda merupakan taksa yang paling dominan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi meiofauna yang diemukan dalam penelitian ini sama dengan komposisi meiofauna yang dilaporkan oleh peneliti lain dari tempat yang berbeda. Analisis dengan 2D-MDS dan ANOSIM menunjukkan bahwa perbedaan komunitas meiofauna yang berasal dari lokasi yang berbeda lebih besar daripada yang berasal dari lokasi yang sama.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai dengan dana dari Hibah Fundamental Tahun Anggaran 2012. Kami berterimakasih pada Syahrial Spi atas bantuan yang kami terima selama melakukan sampling pada beberapa kawasan mangrove di Dumai. Bapak definitions, distribution, zonation, forest structure, trophic structure and ecological significance, dalam Mangrove Ecology: A Manual for a Field Course. (Eds.) I.C. Feller & M. Sitnik. Smithsonian Institution. Washington DC. pp 1-6.
Alongi D.M. (2002). Present state and future of the world‘s mangrove forests. Environmental Conservation 29 (3): 331-349.
MacIntosh D.J. and E.J. Ashton. (2002). A review of mangrove biodiversity conservation and management, Center for Tropical Ecosystem Research Aarhus, University of Aarhus Denmark. Upadhyay V.P, R. Ranjan and J.S. Singh.
Mangrove Management and
Conservation: Present and Future. (Ed.) Marta Vannucci. pp 8-15.
Chong J. (2005). Protective values of mangrove and coral ecosystems, A review of methods and evidence. IUCN The World Conservation Union.
Higgins R.P. and H. Thiel. (1988). An Introduction to the study of meiofauna. Smithsonian Institution.
Coull B.C. (1988). Ecology of the marine meiofauna. dalam An Introduction to the study of meiofauna. (Eds.) RP Higgins and H Thiel. Smithsonian Institution. pp 13-38.
Giere O. (2008). Meiobenthology. The Microscopic Motile Fauna of Aquatic Sediment. 2nd edition, Springer- Verlag. Gray J.S. and M. Eliott. (2009). Ecology of Marine Sediment. From Science to Management. 2nd ed. Oxford University Press.
Ólafsson E. (1995). Meiobenthos in mangrove areas in eastern Africa with emphasis on assemblage structure of free-living marine nematodes. Hydrobiologia 312:47-57.
Kennedy, A.D. and C.A. Jacoby. (1999). Biological indicators of marine environmental health: meiofauna a neglected benthic component?
Environmental Monitoring and
Assessment 54: 47-68.
Ahnert A. and G. Schriever. (2001). Response of abyssal Copepod Harpacticoida (Crustacea) and other meiobenthos to an artificial disturbance and its bearing in future mining for polymetallic nodules. Deep-Sea Research II 48:3779-3794.
Moreno M.P., L. Vezulli, V. Marin, P. Laconi, G. Albertelli and M. Fabiano.(2008). The use of meiofauna diversity as an indicator of pollution in harbours. International Council for the Exploration of the Sea. pp.1428-1435.
Download dari
www.icesjms.oxfordjournals.org [April 30, 2010].
Clarke K.R. and R.N. Gorley. (2006). Primer v6: user manual/tutorial. PRIMER E Ltd. Plymouth Marine Laboratory.
Long S.M. dan R. Karim. (1990). Kajian awal kepadatan meiofauna dalam paya bakau Teluk Mengkabung, Sabah. Pertanika 13 (3): 349-355.
Vanhove S., M Vincx, D. Van Gansbeke, W. Gijselinck and D. Schram. (1992). The meiobenthos of five mangrove vegetation in Gazi Bay, Kenya. Hydrobiologia. 247 : pp. 99-108
Alongi D.M. (1987). Intertidal zonation and seasonality of meiobenthos in tropical mangrove estuaries. Marine Biology 95: 447-458.
Huys, R, P.M.J. Herman, C. H. R. Heip, and K. Soetaert, (1992), The meiobenthos of the North Sea: density, biomass trends and distribution of copepod communities, ICES J. Mar. Sci., 49, pp 23-44.