• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir Praktikum Sedimentologi Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Akhir Praktikum Sedimentologi Indonesia"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI LABORATORIUM SEDIMENTOGRAFI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM SEDIMENTOLOGI ACARA: LAPORAN AKHIR

“SUNGAI CODE, DESA BLIMBINGSARI, KECAMATAN DEPOK, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA (STA 8)

DISUSUN OLEH: Hafizhan Abidin Setyowiyoto

12/329737/TK/39030

Kelompok: 7

Rombongan: Selasa, 14.00-15.50

ASISTEN KELOMPOK: Arkanu Andaru

YOGYAKARTA JANUARI

(2)

BAB I

ACARA: PENGAMBILAN DATA LAPANGAN

I. 1. Lokasi

Stasiun pengamatan 8 (STA 8) berlokasi di Sungai Code, Desa Blimbingsari, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. STA ini kemudian dibagi menjadi tiga lokasi pengamatan yaitu LP 1, LP 2, dan LP 3 dengan koordinat lokasi pengamatan satu (LP 1) adalah S 7o46’31,2” dan E 110o22’12,2”. Lokasi pengamatan pertama ini terletak disebelah

timur dari Hotel Tentrem yang berada di Jalan Monjali. Kedalaman sungai lebih kurang 20–50 cm. Sedangkan kecepatan arus sungai mencapai 1,23 m/s.

Kemudian lokasi pengamatan kedua (LP 2) berada pada koordinat UTM E 04030606 dan N 9140418. Kecepatan arus pada LP 2 sebesar 0,337 m/s dengan kedalaman sungai menapai 30–40 cm.

Lokasi pengamatan ketiga (LP 3) berada pada koordinat UTM E 0430684 dan S 9140276. Kecepatan arus pada LP 3 ini sebesar 0,7 m/s dan kedalaman 20–

50 cm.

STA 8

Gambar I.1.1. Lokasi STA 8 di Sungai Code, Yogyakarta.

Gambar I.1.2. Lokasi LP 1 di Sungai Code, Yogyakarta.

(3)

I. 2. Morfologi

Terdapat sungai, yaitu Sungai Code yang mengalir relatif dari arah utara ke arah selatan. Stadia sungai masih termasuk muda karena bentukan lembah sungai

yang berbentuk “V”. Namun pembuatan tanggul buatan / talud dan kondisi pasca -erupsi Gunung Merapi menyebabkan bentukan lembah tidak semua berbentuk

“V” namun lebih berbentuk “U”. Bentuk lembah ini juga dipenagruhi oleh hasil transport material sedimen akibat erupsi Gunung Merapi. Di sebelah timur dan barat sungai terdapat tanggul buatan dan pemukiman warga. Kemudian pada bagian barat sungai juga terdapat endapan vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi berupa point bar setebal ± 4 meter. Point bar didominasi oleh material sedimen berukuran pasir hingga kerakal. Di sebelah utara dan selatan merupakan aliran/tubuh sungai itu sendiri.

I. 3. Litologi

Material sedimen berukuran pasir halus (1/8 – 1/4 mm), berwarna hitamkeabu-abuan, komposisi mineral kuarsa, feldspar, litik, dll. Selain itu terdapat material sedimen berukuran kerikil (4 – 64 mm), berwarna hitam keabu-abuan (lapuk), berupa batuan beku tipe andesit. Secara keseluruhan litologi di lokasi ini didominasi oleh endapan pasir. Kebanyakan endapan pasir berada pada point bar. Struktur sedimen ayang ditemukan berupa normal grading, perlapisan,

Gambar I.1.3. Lokasi LP 2 di Sungai Code, Yogyakarta.

Gambar I.1.4. Lokasi LP 3 di Sungai Code, Yogyakarta.

U

(4)

BAB II

ACARA: UKURAN BUTIR SEDIMEN

II. 1. Maksud dan Tujuan

Maksud dari acara praktikum ini adalah untuk menganalisis distribusi ukuran butir sedimen dengan menggunakan metode-metode tertentu.

Tujuan dari acara praktikum ini adalah untuk mengetahui proses-proses geologi yang berperan dalam pembentukan dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan variasi ukuran butirnya.

II. 2. Dasar Teori

Untuk memudahkan manusia dalam mempelajari sedimentologi dan berbagai ilmu yang berkaitan dengan butiran sedimen, maka dibuatlah skala ukuran butir sedimen. Skala ukuran butir yang umum dipakai adalah skala Udden-Wentworth. Skala ini diusulkan pertama kali oleh Udden pada tahun 1898 dan dimodifikasi oleh Wentworth pada tahun 1922 (Friedman & Sanders, 1978; Blatt et al., 1980). Batas ukuran butir pada skala ini menggunakan nilai 1 mm sebagai standar dan menggunakan faktor pembagi atau pengkali 2. Krumbein (1934) dalam Blatt et al., (1980) membuat suatu transformasi logaritmik dari skala tersebut yang kemudian dikenal dengan skala phi (ø), dengan rumus:

dengan d adalah diameter partikel dalam mm. Oleh McManus (1963, lihat Blatt et al., 1980) rumus ini diperbaiki menjadi:

(5)

Dalam mengukur ukuran butir sedimen dapat dilakukan dengan beberapa cara, tergantung dari ukuran butirnya. Namun pada pembahasan ini digunakan metode langsung dan ayakan yang mudah dilakukan dan sederhana.

(6)

Ukuran Butir Metode

Gravel pengukuran langsung (kaliper), ayakan

Pasir ayakan, tabung sedimentasi

Lanau ayakan (untuk butir kasar), tabung sedimentasi, pipet

Lempung pipet, mikroskop elektron

Pengolahan data distribusi frekuensi ukuran butir yang umum dilakukan berupa perhitungan parameter statistik secara grafis dan secara matematis. Analisa ukuran butir sedimen dilakukan untuk mengetahui nilai rata-rata suatu ukuran butir, mean, modus, sortasi, skewness dan kurtosis dengan menggunakan cara grafis maupun matematis.

Cara Grafis

Untuk melakukan perhitungan secara grafis, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan plotting data, sebagai histogram dan kurva distribusi frekuensi sehingga didapat gambaran visual data. Kemudian melakukan perhitungan parameter statistik yang berupa rata-rata, standar deviasi, kurtosis, sortasi, skewness, dll, secara deskriptif dari grafik.

Perhitungan parameter secara grafis pada prinsipnya adalah menggunakan kurva frekuensi atau frekuensi kumulatif untuk menentukan nilai phi pada presentil tertentu. Rumu perhitungan yang sering dipakai adalah yang diusulkan oleh Folk & Ward (1957, lihat Friedman & Sanders, 1978; Lewis & McConchie, 1994), yaitu:

a. Median

Merupakan nilai tengah dari populasi total. Dapat dilihat langsung dari kurva kumulatif, yaitu nilai phi pada titik dimana kurva kumulatif memotong nilai 50%.

b. Mode

Merupakan ukuran butir sedimen yang frekuensi kemunculannya paling tinggi.

c. Mean

(7)

Merupakan nilai rata-rata ukuran butir.

d. Sortasi

Merupakan nilai standar deviasi yang menunjukkan tingkat keseragaman butir.

Klasifikasisortasi (σ1):

Nilai Kategori

< 0.35ø Very well sorted

0.35ø–0.50ø Well sorted 0.50ø–0.71ø Moderately well sorted 0.71ø–1.00ø Moderately sorted 1.00ø–2.00ø Poorly sorted 2.00ø–4.00ø Very poorly sorted

> 4.00ø Extremely poorly sorted

e. Skewness

Merupakan nilai kesimetrisan kurva frekuensi

Klasifikasi skewness (Sk1):

Nilai Kategori

> +0.3 Very fine-skewed

+0.3 - +0.1 Fine-skewed

+0.1 - -0.1 Near-symmetrical

-0.1 - -0.3 Coarse-skewed

< -0.3 Very coarse-skewed

M

z

=

σ

1

=

+

(8)

f. Kurtosis

Merupakan nilai yang menunjukkan kepuncakan kurva

Klasifikasi kurtosis (KG):

Nilai Kategori

< 0.67 Very platykurtic

0.67–0.90 Platykurtic

0.90–1.11 Mesokurtic

1.11–1.50 Leptokurtic

1.50–3.00 Very leptokurtic

> 3.00 Extremely leptokurtic

Cara Matematis

Perhitungan secara matematis pada prinsipnya menggunakan konsep moments. Pada perhitungan cara ini dibutuhkan data distribusi frekuensi yang lengkap, dimana tidak boleh adanya datapan fraction yang tidak terukur, sehingga datanya harus diekstrapolasikan sampai 100%. Perhitungan ini menggunakan asumsi bahwa kurva distribusi frekuensinya bersifat distribusi normal (Gaussian).

Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan adalah: a. Mean (xø)

b. Sortasi (σø)

(9)

d. Kurtosis (Kø)

Dengan diperolehnya data dari perhitungan secara grafis maupun secara matematis, maka kita dapat mengetahui:

- Karakteristik sedimen terutama tekstur sedimen dengan tinjauan statistik - Ketersediaan partikel dengan ukuran butir tertentu

- Agen transportasi dan deposisinya

- Proses deposisi akhir (suspensi, traksi, saltasi, dll.) - Lingkungan pengendapannya

- Melakukan korelasi sampel yang berasal dari lingkungan pengendapan sama

II. 3. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam praktikum acara ukuran butir sedimen adalah:

II. 4. Langkah Kerja

Pada praktikum acara ukuran butir sedimen kali ini digunakan metode pengayakan kering. Yang dilakukan pertama kali adalah prosedur persiapan dan Alat:

- Plastik sampel - Karton bersilang - Saringan ayakan

(18, 35, 50, 100, 270, >270 mesh) - Timbangan digital

- Corong - Kuas cat - OHP marker - Alat tulis - Kertas HVS

Bahan:

(10)

Prosedur persiapan tiap mesh saringan ayakan ke

(11)

Setelah data sampel didapatkan, maka selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan pengolahan data distribusi frekuensi ukuran butir berupa:

II. 5. Pembahasan

Dari pengolahan data ukuran butir dengan perhitungan parameter statistic secara grafis dan perhitungan parameter statistik secara matematis, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

• Metode Grafis

Mz Ket. σ1 Kategori Sk1 Kategori KG Kategori

LP 1 1.00 coarse sand 1.13 poorly

sorted 0.07

near-symetrical 0.80 platykurtic

LP 2 1.33 medium sand 1.44 poorly

sorted -0.16

coarse-skewed 0.57

very platykurtic

LP 3 0.43 coarse sand 1.05 poorly

sorted 0.87

Plottingdata sebagai histogram, kurva frekuensi, kurva frekuensi kumulatif, maupun tipe grafik yang lain

Perhitungan parameter statistik (mean,sortasi,skewness, kurtosis, dll) dari grafik

(12)

• Metode Matematis

xø Ket. σø Kategori Skø Kategori Kø Kategori

LP 1 1.52 medium sand 1.08 poorly

sorted 0.18

fine-skewed 2.4

very leptokurtic

LP 2 1.72 medium sand 1.56 poorly

sorted -0.15

coarse-skewed 1.7

very leptokurtic

LP 3 0.67 coarse sand 1.17 poorly

sorted 0.87

Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan perhitungan secara grafis dan matematis, terdapat beberapa perbedaan nilai antara perhitungan dengan cara grafis dan matematis terutama dalam penetuan nilai kurtosis. Perbedaan ini dapat terjadi akibat beberapa faktor, antara lain adalah kesalahan dalam penetuan nilai ukuran butir (phi) pada kurva frekuensi kumulatif (%) dalam perhitungan dengan metode grafis. Selain itu, rumus matematis penentuan nilai kurtosis (moment ke empat) berpangkat tinggi, sehingga berkemungkinan besar terjadi kesalahan dalam perhitungan. Untuk memperoleh hasil yang terbaik maka kita perlu membandingkan kedua metode tersebut.

a. Pada lokasi pengamatan 1 (LP 1), terdapat perbedaan nilai meanatau rata-rata ukuran butir yang ada di lokasi tersebut. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan kategori ukuran butir rata-rata. Pada perhitungan dengan metode grafis, didapatkan nilai 1.00 yang termasu ke dalam kategori coarse sand, namun pada perhitungan dengan metode matematis didapatkan nilai 1.52 sehingga kategorinya medium sand. Dengan kedua metode didapatkan sortasi yag sama yaitupoorly sorted. Perbedaan yang mencolok adalah pada nilai kurtosis, yaitu 0.8 (platykurtic) pada metode grafis, dan 2.4 (very leptokurtic) pada metode matematis. Sedangkan nilai skewness juga berbeda, yaitu near-symetrical pada metode grafis dan fine-skewed pada metode matematis.

(13)

frekuensi atau skewness pada kategori coarse-skewed. Namun terjadi perbedaan pada nilai kurtosis, yaitu 0.57 (very platykurtic) pada metode grafis dan 1.7 (very leptokurtic) pada metode matematis.

c. Data yang relatif sama juga terdapat pada lokasi pengamatan ke 3 (LP 3). Pada lokasi pengamatan ini rata-rata ukuran butirnya adalah coarse sand. Sortasinya poorly sorted, dan kategori skewness adalah very fine-skewed. Berbeda halnya dengan nilai kurtosis yang berjarak cukup jauh, nilai kurtosis pada metode grafis ialah 0.88 (platykurtic) sedangkan pada metode matematis ialah 3.00 (very leptokurtic).

II. 6. Interpretasi

(14)

aliran lahar itu sendiri, dimana material vulkanik yang berukuran lebih besar terbawa oleh aliran air ditambah material yang berukuran lebih halus dan memiliki viskositas tinggi.

Pada lokasi kedua yang berjarak kurang lebih 150 meter kearah hilir dari lokasi pertama, Material sedimen yang mendominasi adalah berukuran butir pasir sedang dan sortasi yang buruk. Kecepatan aliran sungai berukurang dari lokasi pertama, yaitu sebesar 0.337 m/s. Kecepatan berkurang karena adanya pendangkalan sungai dan kecilnya debit sungai yang mengalir. Berkurangnya kecepatan ini membuat energi transportasi juga berkurang, sehingga material yang tertransportpun hanya yang berukuran butir pasir halus–lanau. Sehingga material sedimen tersebut dominan mengalami rolling dan sliding. Lingkungan pengendapan berupa duapoint bar yang saling berdekatan dan relatif berhadapan. Point bar di lokasi ini dominan dibentuk oleh material sedimen berupa litik berukuran kerikil – berangkal. Dapat dipastikan bahwa material tersebut merupakan sisa hasil aliran lahar yang terdeposisi di lokasi ini.

Material sedimen berukuran pasir kasar ( – 1 mm) merupakan material dominan yang berada di lokasi pengamatan ke tiga ini. Berdasarkan data yang didapat, kelimpahannya sebanyak 35.44% dari total sampel yang diambil di lokasi ini. Lokasi ini merupakan lokasi paling selatan dari stasiun pengamatan kelompok kami. Berdasarkan analisa dan data yang diperoleh, sortasi di lokasi ini buruk. Kecepatan aliran sungai pada saat melakukan pengambilan sampel adalah 0.7 m/s. Kecepatan ini mengahsilkan energi transportasi yang cukup untuk mentransportasikan material sedimen berukuran pasir kasar dengan cara saltasi. Lingkungan pengendapan berupa point bar yang tidak terlalu besar. Pada daerah point bar juga banyak ditemukan material sedimen berukuran butir kerikil –

(15)

Sistem transportasi material sedimen dapat diinterpretasikan dari kurva frekuensi kumulatif seperti gambar berikut:

F

re

k

u

e

n

si

K

u

m

u

la

ti

f

%

(phi)

Suspensi

Saltasi

(16)

BAB III

ACARA: ANALISIS BENTUK KERAKAL

III. 1. Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk melakukan identifikasi aspek-aspek morfologi butiran kerakal yang meliputi bentuk (form), derajat kebolaan (spherecity) dan derajat kebundaran (roundness).

Sedangkan tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui proses-proses geologi yang berperanan terhadap mekanisme transportasi dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan morfologi butir kerakal.

III. 2. Dasar Teori Bentuk Butir

(17)

Gambar III. 2. 1 Klasifikasi butiran pebel (kerakal—berangkal) berdasarkan perbandingan

antar sumbu (Zingg, 1935, diambil dari Pettijohn, 1975 dengan modifikasi)

Tabel III. 2. 1. Klasifikasi bentuk butir menurut Zingg (1935)

No. Kelas b/a c/b Kelas

I >2/3 < 2/3 Oblate (discoidal)

II > 2/3 > 2/3 Equant (Equiaxial/spherical) III < 2/3 < 2/3 Bladed (Triaxial)

IV < 2/3 > 2/3 Prolate (Rod-shaped)

Sphericity

(18)

Dimana Vp: volume butiran yang diukur dan Vcs: volume terkecil suatu bola yang melingkupi partikel tersebut(circumscribing sphere).

Krumbein (1941) kemudian menyempurnakan persamaan tersebut dengan

memberikan nilai volume bola dengan π/6D3, dimana D adalah diameter bola. Dengan menggunakan asumsi bahwa butiran secara tiga dimensi dapat diukur panjang sumbu-sumbunya, maka diameter butiran dijabarkan dalam bentuk DL, DI, dan DS, dimana L, I, S menunjukkan sumbu panjang, menengah, dan pendek. Setelah memasukkan niali pada perhitungan Wadell, maka sphericity dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericity (ψ1) yang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept sphericity tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus W, justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity (Vp) atau sphericity proyeksi maksimum. Secara matematis Wp dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama, atau secara ringkas dapat ditulis dengan:

(19)

dibandingkan dengan intercept sphericity, terutama kalau diaplikasikan pada sedimen yang diendapkan oleh aliran gravitasi dan es.

Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987) menyatakan bahwa hasil perhitungansphericityyang sama terkadang dapat diperoleh pada semua bentuk butir. Partikel dengan bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai sphericity yang sama. Untuk mendefinisikan sphericity dari hitungan matematis, Folk (1968) mengelaskan sphericity dalam 7 kelas sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel II.2.

Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk asalnya dari batuan cumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan dengan butiran yang berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih kecil, bentuk butir juga lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Pada prakteknya, analisis bentuk butir pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada mineral kuarsa. Hal ini disebabkan sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan, clan jumlahnya yang melimpah pada batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat perbandingan bentuk butiran setelah mengalami transportasi, pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen batuan (lithic)boleh juga dilakukan.

Tabel III. 2. 2. Klasifikasisphericitymenurut Folk (1968)

Hitungan Matematis Kelas

<0.75 Very Elongate

0.60-0.63 Elongate

0.63-0.66 Subelongate 0.66-0.69 Intermediete Shape

0.69-0.72 Subequent

0.72-0.75 Equent

(20)

Bentuk butir akan berpengaruh pads kecepatan pengendapan (settling velocity). Secara umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat transportasinya pads sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris cenderung tertahan iebih lama pads media suspensi dibandingkan yang spheris. Bentuk jugs berpengaruh pads transportasi sedimen secara bedlood (traksi). Secara umum butiran yang spheris clan prolate lebih mudah tertransport dibandingKan bentuk blade clan disc (oblate). Lebih jauh analisis sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan. Sebagai contoh, Boggs (1987) menyatakan bahwa dari pengamatan bentuk butir saja tidak aapat digunakan untuk menafsirkan suatu lingkungan pengendapan.

Roundness

Roundness merupakan morfologi butir yang berkaitan dengan ketajaman pinggir dan sudut suatu partikel sedimen klastik. Secara matematis, Wadell (1932) mendefinisikan roundness Sebagai rata-rata aritmetik roundness masing-masing sudut butiran pads bidang pengukuran. Roundness masing-masing sudut diukur dengan membandingkan jari-jari iengkungan sudut tersebut dengan jari-jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut. Dengan demikian tingkatroundnessbutiran menurut Wadell (1932) adalah:

(21)

Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin bisa dipraktekkan, sedangkan Boggs (1987) menegaskan banwa cara tersebut memerlukan waktu yang banyak untuk kerja di laboratorium dengan harus dibantu slatcircular protractoratauelectronic particle-size analyzer.Untuk mengatasi hal tersebut, maka penentuan roundness butiran adalah dengan membandingkan kenampakan (visual comparison) antara kerakal atau butir pasir dengan tabel visual secara sketsa (Krumbein, 1941) dan/atau tabel visual foto (Powers, 1953).

Gambar III. 2. 2. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran maksimum pada butiran (Boggs, 1987 dengan modifikasi)

(22)

Tabel III. 2. 3. Hubungan antararoundnessWadell (1932) dan kolerasinya pada visual

roundnessPower (1953).

Interval kelas

(Wadell, 1932)

Visual kelas

(Power, 1953)

0.12–0.17 Very angular

0.17–0.25 Angular

0.25–0.35 Subangular

0.35–0.49 Subrounded

0.49–0.70 Rounded

0.70–1.00 Well rounded

Roundness butiran pada endapan sedimen ditentukan oleh komposisi butiran, ukuran butir, proses transportasi clan jarak transportnya (Boggs, 1987). Butiran dengan sifat fisik keras clan resisten seperti kuarsa clan zircon lebih sulit membulat selama proses transport dibandingkan butiran yang kurang keras seperti feldspar dar piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil sampai berangkal biasanya lebih mudah membulat dibandingkan butiran pasir. Sementara itu mineral yang resisten dengan ukuran butir lebih kecil 0.05-0.1 mm tidak menunjukkan perubahan roundness oleh semua jenis transport sedimen (Boggs, 1987). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diperhatikan untuk melakukan pengamatan roundness pada batuan atau mineral yang sama clan kisaran butir yang sama besar.

(23)

III. 3. Alat dan Bahan Peralatan Kelompok:

1. Sampel kerakal masing-masing kelompok (3 LP, masing-masing 25 butir kerakal)

2. Kamera

3. Tipe-X (minimal 3 buah per kelompok) 4. Spidol marker / OHP marker

Peralatan Individu:

1. Buku panduan praktikum 2. Kertas HVS minimal 20lembar 3. Pensil

4. Penggaris 5. Penghapus 6. Kalkulator

III. 4. Langkah Kerja

Penggambaran butir kerakal yang disertai dengan pengukuran diameter panjang, diameter medium serta diameter pendek.

Ambil 25 butir kerakal pada salah satu LP

(24)

III. 5. Pembahasan LP 1

AnalisisSphericityLP 1

V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate

Total: 25 14 2 3 3 3 0 0

% 56 8 12 12 12 0 0

V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate

Total: 25 8 4 5 3 2 1 2

% 32 16 20 12 8 4 8

ψ

ψ

Analisis Bentuk Butir LP 1

Equant Prolate Bladed Oblate

Total: 25 9 4 0 12

% 36 16 0 48

Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yang sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a

Melakukan analisa niali sphercity berdasarkan Krumbein dan berdasarkan Sneed dan Folk

Menentukan kelas spherecity pada klasifikasi Folk

Menentukan derajat kebundaran dengan mengkorelasikan sketsa gambar dengan klasifikasi visual Powers (1953) dan interval kelas

Wadell (1932)

(25)

adalah sumbu terpanjang sedangkan b dan c berturut-turut adalah sumbu menengah dan sumbu terpendek.

Dari hasil perhitungan penentuan bentuk butir, 25 buah kerakal yang diteliti memiliki beragam bentuk, yaitu

- Oblate - Equant - Bladed - Prolate.

Dapat dilihat pada tabel penentuan bentuk butir didominasi oleh oblate. 1. Oblate, 12 buah

2. Equant, 9 buah 3. Prolate, 4 buah 4. Bladed, tidak ada

Derajat kebolaan atau yang sering disebutsphericityjuga mempunyai nilai yang sangat bervariasi. Perhitungan derajat kebolaan menggunakan dua rumus yang berbeda yakni rumus yang dikembangkan Krumbein dan cara ditemukan oleh Sneed & Folk. Perhitungan dengan kedua rumus ini menghasilkan nilai sphericity yang beragam.

Berdasarkan Krumbein (1941), nilai spherecity (intercept spherecity) suatu butiran diukur dengan memperhatikan nilai diameter dari panjang (DL), medium (DI) dan pendek (DS) adalah sebagai berikut:

3

Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept spherecity tidak menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan sehingga mereka mengusulkanmaximum projection spherecityyaitu:

3

(26)

secara maksimum mestinya diendapkanlebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus ψ1 justru didapatkan nilai yang terbalik. Dari data yang dianalisi, maka sphericity yang paling bayak adalah very equant.

LP 2

AnalisisSphericityLP 2

V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate

Total: 25 6 2 5 3 4 4 1

% 24 8 20 12 16 16 4

V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate

Total: 25 9 3 2 1 2 2 6

% 36 12 8 4 8 8 24

ψ

ψ

Analisis Bentuk Butir LP 2

Equant Prolate Bladed Oblate

Total: 25 10 5 3 7

% 40 20 12 28

Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yang sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a adalah sumbu terpanjang sedangkan b dan c berturut-turut adalah sumbu menengah dan sumbu terpendek.

Dari hasil perhitungan penentuan bentuk butir, 25 buah kerakal yang diteliti memiliki beragam bentuk, yaitu

- Oblate - Equant - Bladed - Prolate.

Dapat dilihat pada tabel penentuan bentuk butir didominasi oleh Equant 1. Oblate, 7 buah

(27)

4. Bladed, 3 buah

Derajat kebolaan atau yang sering disebut sphericity juga mempunyai nilai yang sangat bervariasi. Perhitungan derajat kebolaan menggunakan dua rumus yang berbeda yakni rumus yang dikembangkan Krumbein dan cara ditemukan oleh Sneed & Folk. Perhitungan dengan kedua rumus ini menghasilkan nilai sphericity yang beragam.

Berdasarkan Krumbein (1941), nilai spherecity (intercept spherecity) suatu butiran diukur dengan memperhatikan nilai diameter dari panjang (DL), medium (DI) dan pendek (DS) adalah sebagai berikut:

3

Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept spherecity tidak menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan sehingga mereka mengusulkanmaximum projection spherecityyaitu:

3

Perhitungan dengan rumus Sneed&Folk lebih tepat karena dapat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkanlebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus ψ1 justru didapatkan nilai yang terbalik. Dari data yang dianalisi, maka sphericity yang paling bayak adalah very equant.

LP 3

AnalisisSphericityLP 3

V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate

Total: 25 10 4 6 1 1 3 0

% 40 16 24 4 4 12 0

V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate

Total: 25 13 1 2 3 2 1 3

ψ

(28)

Analisis Bentuk Butir LP 3

Equant Prolate Bladed Oblate

Total: 25 13 3 0 9

% 52 12 0 36

Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yang sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a adalah sumbu terpanjang sedangkan b dan c berturut-turut adalah sumbu menengah dan sumbu terpendek.

Dari hasil perhitungan penentuan bentuk butir, 25 buah kerakal yang diteliti memiliki beragam bentuk, yaitu

- Oblate - Equant - Bladed - Prolate.

Dapat dilihat pada tabel penentuan bentuk butir didominasi oleh Equant 1. Oblate, 9 buah

2. Equant, 13 buah 3. Prolate, 3 buah 4. Bladed, tidak ada

Derajat kebolaan atau yang sering disebut sphericity juga mempunyai nilai yang sangat bervariasi. Perhitungan derajat kebolaan menggunakan dua rumus yang berbeda yakni rumus yang dikembangkan Krumbein dan cara ditemukan oleh Sneed & Folk. Perhitungan dengan kedua rumus ini menghasilkan nilai sphericity yang beragam.

Berdasarkan Krumbein (1941), nilai spherecity (intercept spherecity) suatu butiran diukur dengan memperhatikan nilai diameter dari panjang (DL), medium (DI) dan pendek (DS) adalah sebagai berikut:

(29)

Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept spherecity tidak menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan sehingga mereka mengusulkanmaximum projection spherecityyaitu:

3

Perhitungan dengan rumus Sneed&Folk lebih tepat karena dapat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkanlebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus ψ1 justru didapatkan nilai yang terbalik. Dari data yang dianalisi, maka sphericity yang paling bayak adalah very equant.

III. 6. Interpretasi

Proses transportasi dapat diinterpretasikan dari tiga parameter yaitu, bentuk butir, roundness dan sphericity. Pada sampel yang didapat, bentuk butir yang dominan adalah oblate dan equent, dengan roundness berada di kisaran sub angular – rounded, dan dominan subrounded, sedangkan sphericity dominan berada pada nilai very elongate.

Dari nilai-nilai diatas, perubahan bentuk akan lebih banyak dipengaruhi oleh abrasi selama transportasi batuan. Di sampel ini dapat diinterpretasikan bahwa proses transportasi yang terjadi dikontrol oleh fluida (air) dengan mekanisme bedload ialah mekanisme yang dominan (karena berukuran kerakal).

Material sedimen sampel dominan merupakan produk vulkanik, dengan roundness dominan subrounded dan bentuk yang beragam, hal ini menginterpretasikan bahwa material telah mengalami proses transportasi yang cukup jauh dari asalnya.

Erupsi Gunung Merapi menjadi sumber utama material berupa produk vulkanik dengan butir-butir angular, sehingga kita mendapatkan korelasi bahwa sampel berasal dari Gunung Merapi.

(30)

yang cukup jauh. Nilai roundness yang kecil (angular), menunjukan bahwa sedimen tertranspor tidak jauh dari sumber, dan berlaku sebaliknya.

(31)

BAB IV

ACARA: KOMPOSISI PARTIKEL SEDIMEN

IV. 1. Maksud dan Tujuan

Maksud dari acara ini adalah untuk melakukan identifikasi partikel penyusun sedimen (terutama sedimen silisiklastik berukuran butir pasir).

Tujuan dari acara ini adalah untuk mengetahui proses-proses geologi yang berperan terhadap pembentukan dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan komposisi penyusunnya.

IV. 2. Dasar Teori Pendahuluan

Tucker (1991) menyatakan bahwa batuan sedimen dapat dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan proses pembentukannya. Kelompok pertama adalah sedimen siliklastik atau disebut juga terrigenous atau epiklastik yaitu sedimen yang terdiri dari fragmen-fragmen yang berasal dari batuan yang telah ada sebelumnya yang tertransportasi dan terdeposisi melalui proses fisik. Contoh batuannya adalah konglomerat, breksi, batupasir dan mudrocks. Kelompok kedua adalah sedimen hasil kegiatan biogenik, biokimia dan organik. Contoh batuannya adalah batugamping, deposit fosfat, batubara, dan chert. Kelompok ketiga adalah sedimen hasil proses kimiawi, contohnya deposit evaporit. Kelompok keempat adalah sedimen volkaniklastik, yaitu sedimen yang terbentuk oleh fragmen batuan hasil kegiatan vulkanik. Masing-masing jenis batuan sedimen tersebut di atas memiliki komposisi partikel sedimen yang berbeda-beda.

Informasi mengenai komposisi partikel sedimen antara lain dapat dimanfaatkan untuk menentukan:

a. nama sedimen /batuan sedimen

b. mekanisme/proses pembentukan dan/atau pengendapannya c. lingkungan pengendapan

d. asal sumber batuan (provenance)

(32)

Selain itu komposisi partikel sedimen juga diperlukan dalam aplikasinya untuk keperluan ekonomi seperti dalam bidang eksplorasi minyak dan gas bumi, bahan galian, dll.

Komposisi Partikel Sedimen

Jenis Partikel Keterangan

Fragmen Batuan - butir batuan sedimen dan metasedimen (batulempung, batulanau, sekis mika pelite, dll) - butir batuan sedimen silikan (missal : chert) - butir batuan beku / batuan metamorf

Kuarsa - paling umum ditemukan karena merupakan mineral yang paling stabil dalam kondisi sedimentasi

Feldspar - memiliki stabilitas mekanis dan kimiawi yang lebih rendah dari kuarsa

- potassium feldspar, ortoklas dan mikrolin lebih umum ditemukan daripada plagioklas

Mika dan Lempung - merupakan komponen utama dalammudrocks

- biotit dan muskovit bisa ditemukan dalam sedimen halus berupa lembaran-lembaran

- kelompok mineral lempung yang umum ditemukan berupa kaolonit, illite, klorit, smektit

Mineral berat - merupakan mineral asesoris (umumnya <1% fraksi ) dengan BJ > 2.9 (BJ kuarsa dan feldspar = 2.6)

- dapat berupa mineral non opak ( apatit, epidot, garnet, rutil, staurolit, turmalin, zircon, dll ) dan mineral opak ( ilmenit, magnetit, dll)

Partikel lainnya - dapat berupa partikel karbonat, fosil, fosfat, dll Tabel VI. 2. 1. Jenis partikel rombakan (detrial) dalam sedimen

(33)

MINERAL CIRI Kelompok mineral opak

Ilmenit Hitam besi-coklat gelap, bentuk seperti lempeng-lempeng massif kadang pasiran, pecahan concoidal Magnetit Hitam besi, isometric, tidak ada belahan, granular dan

massif, kilap, metalik

Hematit Abu-abu-hitam besi, hexagonal, tidak ada belahan, terdapat sisik seperti mika (mendaun)

Pirit Kuning perunggu, granular, striasi antar bidang saling tegak lurus

Kelompok ultra stabil

Zircon Kuning jernih, hijau kadang coklat/biru,prismatic, tetragonal, granular, kilap vitreous-damar, pecahan tidak rata s.d. concoidal

Turmalin Kuning kecoklatan, prismatik memanjang, heksagonal, ada striasi memanjang, kilap vitrous-damar, translucent, pecahan tidak rata s.d. concoidal

Rutil Coklat-coklat kemerahan, tetragonal, bipiramidal, bentuk ramping, striasi memanjang, prismatik, massif, kilap submetalik-damar, pecahan tidak rata

Kelompok meta stabil

Olivin Hijau kekuningan, granular, rombik bipiramidal, pecahan concoidal, kilap vitreous

Piroksen Hitam kehijauan/merah kecoklatan, prismatik, belahan 2 arah, kilap vitreous, pecahan tidak rata s.d. sub-concoidal

Garnet Kuning/coklat madu, granular, isometrik, tanpa belahan, kilap vitreous—damar, pecahan concoidal Apatit Putih jernih kadang kebiruan, prismatik, granular,

bentuk ramping paniang, belahan 1 arah, kilapvitreous -damar, pecahansub-concoidal

Epidot Hijau kekuningan — hijau kecoklatan/kehitaman, prismatik, bentuk seperti papan, berserat, beiahan 1 arah, kilap vitreous - lemak, pecahan tidak rata s.d. concoidal

Zoisit Kuning keabuan, prismatik, striasi vertikal, belahan 1 Tabel VI. 2. 2. Beberapa ciri mineral berat (Folk, 1968 dengan

(34)

arah, kilap vitreous - lemak, pecahan tidak rata s.d. sub-concoidal

Kyanit Putih kekuningan, tabular panjang, meniang, berserat, belahan 1 arah sempurna, kilap vitreous - mutiara, pecahan tidak rata

Andalusit Merah rosa, prismatik, bentuk hampir persegi empat, tanpa belahan, kilap vitreous, pecahan tidak rata s.d. rata

Silimanit Coklat, bentuk ramping, beiahan 1 arah, kilap buram, pecahan tidak rata

Interpretasi Data

Kelimpahan masing-masingjenis partikel sedimen tergantung pada:

-ketersediaan jenis partikel tersebut pada batuan/daerah asalnya

-durabilitas mekanik partikel (ketahanan terhadap abrasi, dipengaruhi oleh belahan mineral clan kekerasan mineral/partikel)

-stabilitas kimiawi partikel (ketahanan terhadap pelarutan balk selama pelapukan, transportasi, deposisi maupun selamadiagenesis/intrastratal) Selain itu faktor lain yang dapat berpengaruh:

-Iklim: pelarutan mineral lebih intensif pada daerah dengan iklim yang bersifat panas dan humid/lembab dibandingkan pada daerah dengan iklim semi-arid atau dingin/polar.

-Relief daerah asal partikel: mineral yang tidak stabil akan tetap ditemukan pada sedimen yang partikelnya berasal dari daerah dengan relief tinggi karena selalu ada suplai mineral dari batuan segar walaupun tingkat pelapukannya tinggi, sedangkan daerah dengan relief rendah umumnya batuan segarnya sudah tertutup batuan yang lapuk, sehingga hanya mineral yang stabil yang masih tersisa clan kemudian tertransport.

-Proses Sedimentasi: seperti adanya benturan/impact pada saat transportasi, faktor hidrolik (misalnya mineral berat akan terendapkan terlebih dahulu dibandingkan mineral ringan), dll.

(35)

bahwa studi provenance adalah studi mengenai asal-usul atau kemunculan sedimen. Untuk studi provenance umumnya dipergunakan asosiasi dari mineral berat yang ditemukan dalam sedimen, namun demikian mineral ringan seperti kuarsa clan feldspar atau fragmen batuan juga sering dipergunakan.

Berdasarkan data komposisi partikel yang dimiliki, para praktikan diharuskan mampu melakukan analisis provenance serta menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses deposisi sedimen tersebut. Beberapa contoh aplikasi dan interpretasi data komposisi partikel sedimen.

Gambar VI. 2. 1. Diagram segitiga QFL untuk menentukan sedimen

asal batuan beku plutonik dan batuan metamorf yang terbetuk di

bawah pengaruh iklim yang berbeda (Tucker, 1991)

Gambar VI. 2. 2. Diagram segitiga QFL untuk menentukan komposisi pasir (laut dalam) yang berasal dari kerangka tektonik tertentu.

(36)

IV. 3. Alat dan Bahan Alat:

1. Plastik sample 2. Alat tulis 3. Jarum pentul

4. Sarung tangan latex dan masker 5. Kamera

6. Corong gelas 7. Gelas kimia 8. Kertas saring 9. Pengaduk gelas 10. Mikroskop binokuler

(37)

Bahan:

1. Sample pasir tiap lokasi pengamatan (ukuran mesh 60) 2. Borang/tabel pengamatan mineral minimal.

3. Alkohol 70% 4. Tissue

5. Larutan Bromofom

IV. 4. Langkah Kerja Prosedur Pemisahan

Siapkan alat dan bahan yang diperlukan

Masukan pasir berukuran mesh 50 ke dalam gelas kimia. Lalu tuangkan cairanbromofomkedalamnya, kemuadian diaduk dan tunggu berapa saat

hingga terjadinya endapan atau pemisahan

Setelah adanya pengendapan lakukan pengambilan mineral ringan terlebih dahulu dan diletakan pada kertas penyaring dan kemudian dicuci dengan

alkohol

Untuk mineral berat lakukan penyaring dengan kertas penyaring, lalu lakukan pencucian dengan alkohol kembali

Pengeringan hasil pemisahan

(38)

Interpretasi DataMineral ringan:

Mineral berat:

IV. 5. Pembahasan Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan jumlah komposisi mineral sedimen yang terkandung pada endapan fluvial Kali Code pada STA 8 LP 1, 2 dan 3, mana didapatkan data sebagai berikut:

a. LP 1

Pada lokasi ini, dari 250 butir sampel mineral berat, komposisi yang di dapatkan antara lain Hornblende (11 butir), Turmalin (15 butir), Magnetit (71 butir), Hematit (26 butir), Piroksen (30 butir), Andalusit (20 butir), Apatit (57 butir), Ilmenit (6), dan Zircon (14 butir). Sedangkan dari 250 butir sampel mineral ringan, komposisi yang di dapatkan antara lain Feldspar (57 butir), Kuarsa (102 butir), dan Litik (91 butir).

Hasil dari pengamatan dimasukan ke dalam table kelimpahan mineral berat dan mineral ringan, lalu kemudian dilakukan perhitungan frekuensi dan simpangan bakudari presentase mineral berat dan mineral ringan yang

diperoleh.

Analisis dan Interpretasi

Data persentase mineral ringan kemudian diplot kedalam diagram segitiga QFL, untuk menentukan lingkungan pengendapan, iklim

pada saat sedimen terbentuk, dansetting tektonik

(39)

b. LP 2

Pada lokasi ini, dari 250 butir sampel mineral berat, komposisi yang di dapatkan antara lain Hornblende (33 butir), Magnetit (87 butir), Andalusi (6 butir), Apatit (51 butir), Ilmenit (12 butir), Garnet (8 butir), Olivin (29 butir), Zircon (24 butir). Sedangkan dari 250 butir sampel mineral ringan, komposisi yang di dapatkan antara lain Litik (106 butir), Kuarsa (89 butir), Feldspar (50 butir), Mika (5 butir).

c. LP 3

(40)

Dari analisis data tersebut menunjukkan bahwa kuarsa merupakan mineral yang mendominasi. Hal tersebut dikarenakan mineral kuarsa resisten terhadap proses pelapukan hingga terdeposisi. Resistensi kuarsa yang sangat kuat dapat terjadi karena kuarsa terbentuk pada suhu 6000C menurut Reaksi Bowen. Selain itu kuarsa memiliki struktur ikatan kimia tetrahedron antara unsur Si dan O yang sangat kuat sehingga sulit lepas dan tergantikan dengan ion lain yang menyebabkan kuarsa akan bersifat sangat resisten.

Untuk mineral berat, magnetit memiliki berat jenis dan kekerasan yang tinggi karena kaya akan unsur besi. Sehingga mineral magnetit mendominasi di setiap LP pada data yang didapat. Kelimpahan jenis partikel sedimen ini sangat tergantung pada beberapa hal berikut:

a. Ketersediaan jenis partikel tersebut pada batuan asal.

b. Durabilitas mekanik partikel (ketahanan terhadap abrasi, dipengaruhi oleh belahan mineral dan kekerasan mineral.

c. Stabilitas kimiawi partikel (ketahanan terhadap pelarutan baik selama pelapukan, transportasi, deposisi maupun selama diagenesis

(41)

e. Relief daerah asal partikel, mineral yang tidak stabil akan tetap ditemukan pada sedimen yang partikelnya berasal dari daerah dengan relief tinggi karena selalu ada suplai mineral dari batuan segar walaupun tingkat pelapukannya tinggi, sedangkan daerah dengan relief rendah umumnya batuan segarnya sudah tertutup batuan yang lapuk, sehingga hanya mineral yang stabil yang masih tersisa clan kemudian tertransport.

f. Proses Sedimentasi, seperti adanya benturan/impact pada saat transportasi, faktor hidrolik (misalnya mineral berat akan terendapkan terlebih dahulu dibandingkan mineral ringan), dll.

IV. 6. Interpretasi a. Nama Sedimen

Berdasarkan klasifikasi dari Pettijohn (1977), sedimen pada tiap lokasi pengamatan dapat diberi nama batuannya jika telah mengalami litifikasi sesuai dengan perbandingan antara kandungan kuarsa (Q), feldspar (F), dan lithik (L) seteah normalisasi adalah sebagai berikut:

LP 1, Q = 40,8 %; F = 22,8 %; L = 36,4 % LP 2, Q = 36,3 %; F = 20,4 %; L = 43,2 % LP 3, Q = 40,8 %; F = 12 % ; L = 47,2 %

(42)

b. ProvenanceMineral Berat

Analisa mineral berat sangat bermguna dalam pengidentifiiasian batuan sumber (provenance) serta peristiwa yang terjadi pada batuan sumber tersebut. Berdasarkan Tabel Asosiasi Mineral Berat dengan Provenancenya (Mc Lane, 1995), kita dapat mengetahui provenance dari mineral-mineral berat yang teridentifikasi pada pengamatan dengan mikroskop.

Provenance Heavy Mineral Suite

Batuan sedimen Rounded zircon, tourmaline, rutile sphene, magnetite.

Batuan metamorf tingkat tinggi, batuan metamrof dinamotermal

Garnet, epidote, zoicite, staurolite, kyanite, sillimanite, andalusite, magnetite, ilmenite, sphene, zircon, biotit.

Batuan beku asam Monazite, sphene, zircon, tourmalin, rutile, magnetite, apatite, muscovite.

Batuan beku basa Ilmenite, magnetite, anatase, brookite,diopside, rutile, chromite, olivine.

Pegmatit Tourmaline, beryl, topaz, monazite, cassiterite, muscovite.

(43)

c. Setting Tektonik

LP 1, Q = 40,8 %; F = 22,8 %; L = 36,4 % LP 2, Q = 36,3 %; F = 20,4 %; L = 43,2 % LP 3, Q = 40,8 %; F = 12 % ; L = 47,2 %

(44)

d. Iklim

LP 1, Q = 40,8 %; F = 22,8 %; L = 36,4 % LP 2, Q = 36,3 %; F = 20,4 %; L = 43,2 % LP 3, Q = 40,8 %; F = 12 % ; L = 47,2 %

(45)

e. Kondisi Provenance Mineral Ringan LP 1, Q = 40,8 %; F = 22,8 %; L = 36,4 % LP 2, Q = 36,3 %; F = 20,4 %; L = 43,2 % LP 3, Q = 40,8 %; F = 12 % ; L = 47,2 %

Dari komposisi kuarsa, feldspar, dan lithik dari masing-masing sampel menunjukkan bahwa sedimen yang diamati memiliki tipe provenance recycled orogen. Recycled orogenic merupakan batuan yang berada di bagian kerak dan kemudian terangkat dan terdeformasi membentuk jalur pegunungan dan komposisi utamanya berupa batuan sedimen, namun ada pula yang berasal dari vulkanik dan metasedimen (Tucker, 1991). Jika dikaitkan dengan setting tektonik, provenance terbentuk akibat adanya subduksi kompleks. Seperti yang telah kita ketahui bahwa memang terjadi penunjaman (subduksi) di Jawa bagian selatan yang kemudian membentuk deretan gunungapi. Batuan sumber dari sedimen yang dianalisa adalah hasil dari proses vulkanisme yang terjadi akibat adanya subduksi aktif. Selain itu, provenance tipe ini memiliki komposisi feldspar yang rendah akibat pengaruh iklim tropis yang menyebabkan mineral ini akan lebih mudah terlapukkan.

f. Relief

(46)
(47)

BAB V

ACARA: BENTUK BUTIR PASIR

V. 1. Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk melakukan identifikasi aspek-aspek morfologi butiran pasir yang meliputi bentuk (form), derajat kebolaan (spherecity) dan derajat kebundaran (roundness).

Sedangkan tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui proses-proses geologi yang berperanan terhadap mekanisme transportasi dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan morfologi butir pasir.

V. 2. Dasar Teori Bentuk Butir

(48)

Gambar V. 2. 1. Klasifikasi butiran berdasarkan perbandingan antar sumbu (Zingg, 1935,

diambil dari Pettijohn, 1975 dengan modifikasi)

Tabel V. 2. 1. Klasifikasi bentuk butir menurut Zingg (1935)

No. Kelas b/a c/b Kelas

I >2/3 < 2/3 Oblate (discoidal)

II > 2/3 > 2/3 Equant (Equiaxial/spherical) III < 2/3 < 2/3 Bladed (Triaxial)

IV < 2/3 > 2/3 Prolate (Rod-shaped)

Sphericity

(49)

Dimana Vp: volume butiran yang diukur dan Vcs: volume terkecil suatu bola yang melingkupi partikel tersebut(circumscribing sphere).

Krumbein (1941) kemudian menyempurnakan persamaan tersebut dengan

memberikan nilai volume bola dengan π/6D3, dimana D adalah diameter bola. Dengan menggunakan asumsi bahwa butiran secara tiga dimensi dapat diukur panjang sumbu-sumbunya, maka diameter butiran dijabarkan dalam bentuk DL, DI, dan DS, dimana L, I, S menunjukkan sumbu panjang, menengah, dan pendek. Setelah memasukkan niali pada perhitungan Wadell, maka sphericity dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericity (ψ1) yang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept sphericity tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus W, justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity (Vp) atau sphericity proyeksi maksimum. Secara matematis Wp dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama, atau secara ringkas dapat ditulis dengan:

(50)

dibandingkan dengan intercept sphericity, terutama kalau diaplikasikan pada sedimen yang diendapkan oleh aliran gravitasi dan es.

Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987) menyatakan bahwa hasil perhitungansphericityyang sama terkadang dapat diperoleh pada semua bentuk butir. Partikel dengan bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai sphericity yang sama. Untuk mendefinisikan sphericity dari hitungan matematis, Folk (1968) mengelaskan sphericity dalam 7 kelas sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel II.2.

Bentuk butir ukuran pasir atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk asalnya dari batuan sumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan dengan butiran yang berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih kecil, bentuk butir juga lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Pada prakteknya, analisis bentuk butir pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada mineral kuarsa. Hal ini disebabkan sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan, clan jumlahnya yang melimpah pada batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat perbandingan bentuk butiran setelah mengalami transportasi, pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen batuan (Litik)boleh juga dilakukan.

Tabel V. 2. 2. Klasifikasisphericitymenurut Folk (1968)

Hitungan Matematis Kelas

<0.75 Very Elongate

0.60-0.63 Elongate

0.63-0.66 Subelongate 0.66-0.69 Intermediete Shape

0.69-0.72 Subequent

0.72-0.75 Equent

(51)

Bentuk butir akan berpengaruh pada kecepatan pengendapan (settling velocity). Secara umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat transportasinya pada sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris cenderung tertahan iebih lama pada media suspensi dibandingkan yang spheris. Bentuk juga berpengaruh pada transportasi sedimen secara bedload (traksi). Secara umum butiran yang spheris clan prolate lebih mudah tertransport dibandingkan bentuk blade clan disc (oblate). Lebih jauh analisis sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan. Sebagai contoh, Boggs (1987) menyatakan bahwa dari pengamatan bentuk butir saja tidak aapat digunakan untuk menafsirkan suatu lingkungan pengendapan.

Roundness

Roundness merupakan morfologi butir yang berkaitan dengan ketajaman pinggir dan sudut suatu partikel sedimen klastik. Secara matematis, Wadell (1932) mendefinisikan roundness Sebagai rata-rata aritmetik roundness masing-masing sudut butiran pada bidang pengukuran. Roundness masing-masing sudut diukur dengan membandingkan jari-jari iengkungan sudut tersebut dengan jari-jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut. Dengan demikian tingkatroundnessbutiran menurut Wadell (1932) adalah:

RN

(52)

Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin bisa dipraktekkan, sedangkan Boggs (1987) menegaskan banwa cara tersebut memerlukan waktu yang banyak untuk kerja di laboratorium dengan harus dibantu slatcircular protractoratauelectronic particle-size analyzer.Untuk mengatasi hal tersebut, maka penentuan roundness butiran adalah dengan membandingkan kenampakan (visual comparison) antara kerakal atau butir pasir dengan tabel visual secara sketsa (Krumbein, 1941) dan/atau tabel visual foto (Powers, 1953).

Gambar V. 2. 2. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran maksimum pada butiran (Boggs, 1987 dengan modifikasi)

Gambar V. 2. 3. Tabel visualroundnesssecara sketsa. (Krumbein, 1941 dengan modifikasi)

(53)

Tabel V. 2. 3. Hubungan antararoundnessWadell (1932) dan kolerasinya pada visual

0.12–0.17 Very angular

0.17–0.25 Angular

0.25–0.35 Subangular

0.35–0.49 Subrounded

0.49–0.70 Rounded

0.70–1.00 Well rounded

Roundness butiran pada endapan sedimen ditentukan oleh komposisi butiran, ukuran butir, proses transportasi clan jarak transportnya (Boggs, 1987). Butiran dengan sifat fisik keras clan resisten seperti kuarsa clan zircon lebih sulit membulat selama proses transport dibandingkan butiran yang kurang keras seperti feldspar dar piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil sampai berangkal biasanya lebih mudah membulat dibandingkan butiran pasir. Sementara itu mineral yang resisten dengan ukuran butir lebih kecil 0.05-0.1 mm tidak menunjukkan perubahan roundness oleh semua jenis transport sedimen (Boggs, 1987). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diperhatikan untuk melakukan pengamatan roundness pada batuan atau mineral yang sama clan kisaran butir yang sama besar.

V. 3. Alat dan Bahan

Peralatan dan Bahan Kelompok:

(54)

9. Pensil 10. Penggaris 11. Penghapus 12. Kalkulator

V. 4. Langkah Kerja

Amati aspek bentuk,roundness,danspherecitydari tiap mineral dengan menggunakan mikroskop

Untuk tiap-tiap sampel, ambil butiran kuarsa, feldspar, litik dan mineral berat masing-masing sebanyak 25 butir

Menentukan sphericity butir pasir dengan membandingkan dengan visual pembanding Rittenhouse (1943)

Menentukan bentuk butir pasir dengan membandingkan visual kelas bentuk butir menurut T. Zingg (1935)

Menentukan roundness dengan membandingkan secara visual dengan klasifikasi visual Powers (1953)

Catat hasil pengamatan pada tabel yang dibutuhkan kemudian masukkan butiran-butiran pasir pada plastik sample.

(55)

V. 5. Pembahasan Analisis Bentuk Butir

Bentuk Butir LP 1 LP 2 LP 3

K F MB L K F MB L K F MB L

Oblate 4 2 1 3 11 1 3 4 2 3 4 5

Equant 10 11 13 14 8 12 9 9 11 10 13 10

Bladed 2 2 2 5 3 4 6 3 9 8 6 7

Prolate 9 10 9 3 3 8 7 9 3 4 2 3

TOTAL 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25

Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yan g sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a adalah sumbu terpanjang sedangkan b dan c berturut-turut adalah sumbu menengah dan sumbu terpendek.

Dari hasil perhitungan penentuan bentuk butir, 25 buah pasir yang diteliti memiliki beragam bentuk, yaitu

- Oblate - Equant - Bladed - Prolate.

Dapat dilihat pada tabel penentuan bentuk butir didominasi olehequent.

AnalisisSphericity

Sphericity LP 1 LP 2 LP 3

K F MB L K F MB L K F MB L

very elongate 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

elongate 1 0 0 0 1 1 2 0 2 0 0 1

subelongate 0 0 0 0 1 2 2 0 1 0 0 0

(56)

intermediet shape 2 4 1 3 4 3 7 3 3 0 2 2

subequent 2 2 3 3 2 1 5 3 5 0 0 2

equent 3 8 3 6 4 7 3 3 3 6 7 5

very equent 17 11 18 13 13 11 6 16 11 19 16 15 Total 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25

Derajat kebolaan atau yang sering disebut sphericity juga mempunyai nilai yang sangat bervariasi. Perhitungan derajat kebolaan menggunakan dua rumus yang berbeda yakni rumus yang dikembangkan Krumbein dan cara ditemukan oleh Sneed & Folk. Perhitungan dengan kedua rumus ini menghasilkan nilai sphericity yang beragam.

Namun untuk menentukan nilai sphericity pada butir pasir dengan cara membandingkan dengan tabel visual Rittenhuse (1943). Dari data yang dianalisis, maka sphericity yang paling banyak adalah very equent.

AnalisisRoundness

Roundness dapat langsung didapatkan dengan menggunakan kalsifikasi Wadell (1932) dan Powers (1953), dibandingkan kenampakannya dengan visualisasi nilai kelas dari rumus Wadell, diperoleh data:

Roundness LP 1 LP 2 LP 3

Meskipun masih ada butiran yang very angular, keseluruhan butiran kurang lebih sub angular – sub rounded. Hal ini berbanding lurus dengan lokasi pegambilan sampel yang berada di Kali Code bagian tengah.

(57)

Proses transportasi dapat diinterpretasikan dari tiga parameter yaitu, bentuk butir, roundness dan sphericity. Pada sampel yang didapat, bentuk butir pasir yang dominan adalah equent, dengan roundness berada di kisaran sub angular – sub rounded, dan dominan subangular, sedangkan sphericity dominan berada pada nilai very equent.

Dari nilai-nilai diatas, perubahan bentuk akan lebih banyak dipengaruhi oleh abrasi selama transportasi batuan. Di sampel ini dapat diinterpretasikan bahwa proses transportasi yang terjadi dikontrol oleh fluida (air) dengan mekanisme saltasi dan rolling ialah mekanisme yang dominan (karena berukuran pasir). Secara umum, makin equant bentuk suatu butir, maka semakin lambat proses transportasi-deposisi, namun jika semakin bladed bentuk butir, maka semakin cepat untuk tertransportasi-terdeposisi.

Material sedimen sampel dominan merupakan produk vulkanik, dengan roundness dominan subangular dan bentuk yang beragam, hal ini menginterpretasikan bahwa material telah mengalami proses transportasi yang cukup jauh dari asalnya.

Erupsi Gunung Merapi menjadi sumber utama material berupa produk vulkanik dengan butir-butir angular, sehingga kita mendapatkan korelasi bahwa sampel berasal dari Gunung Merapi.

Dari nilai bentuk butir, roundness dan sphericity, maka dapat diinterpretasikan bahwa material sedimen pada sampel memiliki jarak transportasi yang cukup jauh. Nilai roundness yang kecil (angular), menunjukan bahwa sedimen tertranspor tidak jauh dari sumber, dan berlaku sebaliknya.

(58)

BAB VI INTERPRETASI

Laporan akhir praktikum sedimen ini merupakan hasil analisa dari ukuran butir sedimen, analisis bentuk kerakal, komposisi partikel sedimen, dan bentuk butir pasir pada STA 8. Data yang diperoleh diambil dari Stasiun pengamatan 8 (STA 8) berlokasi di Sungai Code, Desa Blimbingsari, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. STA ini kemudian dibagi menjadi tiga lokasi pengamatan yaitu LP 1, LP 2, dan LP 3 dengan koordinat lokasi pengamatan satu (LP 1) adalah S 7o46’31,2” dan E 110o22’12,2”. Lokasi

pengamatan pertama ini terletak disebelah timur dari Hotel Tentrem yang berada di Jalan Monjali. Kemudian lokasi pengamatan kedua (LP 2) berada pada koordinat UTM E 04030606 dan N 9140418. Lokasi pengamatan ketiga (LP 3) berada pada koordinat UTM E 0430684 dan S 9140276.

(59)

Sedangkan lingkungan pengendapan pada daerah ini adalah berupa point barPadapoint bar tersebut terlihat perlapisan dan laminasi yang memiliki sortasi buruk dimana terdapat fragmen litik berukuran kerikil hingga kerakal yang mengambang diantara matriksnya yang belum terkonsolidasi. Hal tersebut disebabkan oleh sifat dari aliran lahar itu sendiri, dimana material vulkanik yang berukuran lebih besar terbawa oleh aliran air ditambah material yang berukuran lebih halus dan memiliki viskositas tinggi.

Pada lokasi kedua (LP 2) yang berjarak kurang lebih 150 meter kearah hilir dari lokasi pertama, Material sedimen yang mendominasi adalah berukuran butir pasir sedang dan sortasi yang buruk. Kecepatan aliran sungai berukurang dari lokasi pertama, yaitu sebesar 0.337 m/s. Kecepatan berkurang karena adanya pendangkalan sungai dan kecilnya debit sungai yang mengalir. Berkurangnya kecepatan ini membuat energi transportasi juga berkurang, sehingga material yang tertransportpun hanya yang berukuran butir pasir halus–lanau. Sehingga material sedimen tersebut dominan mengalami rolling dan sliding. Lingkungan pengendapan berupa duapoint bar yang saling berdekatan dan relatif berhadapan. Point bar di lokasi ini dominan dibentuk oleh material sedimen berupa litik berukuran kerikil – berangkal. Dapat dipastikan bahwa material tersebut merupakan sisa hasil aliran lahar yang terdeposisi di lokasi ini.

Material sedimen berukuran pasir kasar ( – 1 mm) merupakan material dominan yang berada di lokasi pengamatan ke tiga (LP 3) ini. Berdasarkan data yang didapat, kelimpahannya sebanyak 35.44% dari total sampel yang diambil di lokasi ini. Lokasi ini merupakan lokasi paling selatan dari stasiun pengamatan kelompok kami. Berdasarkan analisa dan data yang diperoleh, sortasi di lokasi ini buruk. Kecepatan aliran sungai pada saat melakukan pengambilan sampel adalah 0.7 m/s. Kecepatan ini mengahsilkan energi transportasi yang cukup untuk mentransportasikan material sedimen berukuran pasir kasar dengan cara saltasi. Lingkungan pengendapan berupa point bar yang tidak terlalu besar. Pada daerah point bar juga banyak ditemukan material sedimen berukuran butir kerikil –

(60)

dan kaya akan material pasir dan intensitas aliran air yang kecil. Proses erosi dan pengendapan sedimen juga berjalan dengan cepat, karena sungai pada daerah ini memiliki sumber pasir yang melimpah. Dimana umumnya didominasi oleh pasir dengan ukuran butir yang kasar.

Sistem transportasi material sedimen dapat diinterpretasikan dari kurva frekuensi kumulatif seperti gambar berikut:

Proses transportasi dapat diinterpretasikan dari tiga parameter yaitu, bentuk butir,roundnessdansphericity. Pada sampel kerakal yang didapat, bentuk butir kerakal yang dominan adalah oblate dan equent, denganroundnessberada di kisaran sub angular – rounded, dan dominan subrounded, sedangkan sphericity dominan berada pada nilai very elongate. Dari nilai-nilai diatas, perubahan bentuk akan lebih banyak dipengaruhi oleh abrasi selama transportasi batuan. Di sampel ini dapat diinterpretasikan bahwa proses transportasi yang terjadi dikontrol oleh fluida (air) dengan mekanisme dominan bedload.

(61)

Sedangkan pada sampel pasir yang didapat, bentuk butir pasir yang dominan adalah equent, dengan roundness berada di kisaran sub angular – sub rounded, dan dominan subangular, sedangkan sphericity dominan berada pada nilai very equent. Dari sampel ini dapat diinterpretasikan bahwa proses transportasi yang terjadi dikontrol oleh fluida (air) dengan mekanisme saltasi dan rolling ialah mekanisme yang dominan (karena berukuran pasir). Secara umum, makin equant bentuk suatu butir, maka semakin lambat proses transportasi-deposisi, namun jika semakin bladed bentuk butir, maka semakin cepat untuk tertransportasi-terdeposisi.

Material sedimen sampel merupakan produk vulkanik, dengan roundness ukuran butir kerakal dominan subrounded dan ukuran butir pasir dominan subangular dengan bentuk yang beragam, hal ini menginterpretasikan bahwa material telah mengalami proses transportasi yang cukup jauh dari asalnya. Erupsi Gunung Merapi menjadi sumber utama material berupa produk vulkanik dengan butir-butir angular, sehingga kita mendapatkan korelasi bahwa sampel berasal dari Gunung Merapi.

Dari nilai bentuk butir, roundness dan sphericity, maka dapat diinterpretasikan bahwa material sedimen pada sampel memiliki jarak transportasi yang cukup jauh. Nilai roundness yang kecil (angular), menunjukan bahwa sedimen tertransport tidak jauh dari sumber, dan berlaku sebaliknya. Melalui data diketahui bahwa sampel berada pada lingkungan pengendapan fluviatil, dapat kita katakan bahwa hasil roundness yang beragam, merupakan hasil dari produk proses fluviatil dan lingkungan pengendapan fluvial, dan bila kita bandingkan dengan data primer (tempat pengambilan sampel), hal ini merupakan suatu kebenaran yang mutlak.

Melalui analisis komposisi partikel sedimen, kita dapat mengetahui nama sedimen, provenance, seting tektonik, iklim, kondisi provenance, dan relief lingkungan pengendapan.

(62)

LP 1, Q = 40,8 %; F = 22,8 %; L = 36,4 % LP 2, Q = 36,3 %; F = 20,4 %; L = 43,2 % LP 3, Q = 40,8 %; F = 12 % ; L = 47,2 %

Maka dari ketiga LP tersebut dapat diinterpretasikan bahwa apabila menjadi batuan akan bernamalitharenite.

Analisa mineral berat sangat berguna dalam pengidentifikasian batuan sumber (provenance) serta peristiwa yang terjadi pada batuan sumber tersebut. Berdasarkan Tabel Asosiasi Mineral Berat dengan Provenancenya (Mc Lane, 1995), kita dapat mengetahui provenance dari mineral-mineral berat yang teridentifikasi pada pengamatan dengan mikroskop.

Provenance Heavy Mineral Suite

Batuan sedimen Rounded zircon, tourmaline, rutile sphene, magnetite.

Batuan metamorf tingkat rendah, batuan metamorfisme kontak

Andalusite, staurolite, chonddrolite, corundum. Topaz, tourmaline, esuvianite, zoicite, wollastonite, chlorite, muscovite.

Batuan metamorf tingkat tinggi, batuan metamrof dinamotermal

(63)

Batuan beku asam Monazite, sphene, zircon, tourmalin, rutile, magnetite, apatite, muscovite.

Batuan beku basa Ilmenite, magnetite, anatase, brookite,diopside, rutile, chromite, olivine.

Pegmatit Tourmaline, beryl, topaz, monazite, cassiterite, muscovite.

Maka dapat diinterpretasikan bahwa provenancenya merupakan batuan beku basa hingga intermediet atau dengan kata lain hasil erupsi Gunung Merapi yang memiliki magma bersiafat basa-intermediet.

Sedangkan untuk analisis seting tektoniknya, kita dapat melakukan plot data pada diagram segitiga QFL berikut (Tucker, 1991)

LP 1, Q = 40,8 %; F = 22,8 %; L = 36,4 % LP 2, Q = 36,3 %; F = 20,4 %; L = 43,2 % LP 3, Q = 40,8 %; F = 12 % ; L = 47,2 %

(64)

berdasarkan komposisi kuarsa, feldspar, dan lithik adalah strike slip. Hal ini menunjukkan bahwa batuan sumber dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari sesar geser dimana sesar geser cukup banyak di jumpai di daerah Jawa bagian tengah.

Hampir sama dengan analisis seting tektonik, untuk analisis iklim kita dapat melakukan plot data pada diagram segitiga QFL berikut (Tucker, 1991)

LP 1, Q = 40,8 %; F = 22,8 %; L = 36,4 % LP 2, Q = 36,3 %; F = 20,4 %; L = 43,2 % LP 3, Q = 40,8 %; F = 12 % ; L = 47,2 %

Berdasarkan pengeplotan data komposisi kuarsa, feldspar, dan lithik pada klasifikasi Suttner et al (1981) dan Basu (1985), secara garis besar batuan sumber terbentuk pada daerah yang dipengaruhi oleh iklimplutonic source humid climate. Iklim ini sesuai dengan kondisi daerah pengamatan yang beriklim tropis dan lembab, serta dekat dengan sumber Gunung Merapi.

Diagram segitiga QFL berikut memperlihatkan komposisi pasir dari beberapa daerahprovenance. (Tucker, 1991)

Gambar

Gambar I.1.2. Lokasi LP 1 di
Gambar I.1.3. Lokasi LP 2 di
Tabel II. 2. 1. Klasifikasi ukuran butir sedimen menurut US
Tabel II. 2. 2. Metode pengukuran butir sedimen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Grafik hubungan ukuran butir pasir halus dengan pH NAG Adanya hubungan korelasi antara kondisi visual batuan berupa ukuran butir pasir sedang dengan sifat batuan

Dari grafik hubungan antara distribusi ukuran butir sedimen dengan populasi pergerakan sedimentasi dapat disimpulkan bahwa proses geomorfologi yang paling dominan

Lapisan keenam memiliki tipe sampel unimodal yang ditunjukkan dengan adanya satu puncak pada kurva frekuensi, dengan kurtosis leptokurtik dicirikan dengan ukuran

Keadaan karakteristik sedimen pada lokasi penelitian diperoleh partikel pasir yang dominan pada seluruh stasiun penelitian dengan kandungan serasah yang beragam...

Grafik hubungan ukuran butir pasir halus dengan pH NAG Adanya hubungan korelasi antara kondisi visual batuan berupa ukuran butir pasir sedang dengan sifat batuan

Sedangkan frekuensi karakter resesif yang paling tinggi adalah bentuk dagu lurus dengan nilai 0,97 dan yang terendah adalah tidak adanya rambut pada ruas jari dengan nilai 0,07..

Berdasarkan hal tersebut, maka kandungan mineral kasiterit dengan kandungan yang tinggi terdapat pada sedimen dengan ukuran butir kerikil pasiran dan pasir kerikilan, serta

Create : membuat bentuk bentuk geometri gambar Rectangle : membuat bentuk persegi dengan ukuran yang disesuaikan 1 Point : menentukan ukuran geometri yang akan dibuat dengan 1