• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAPABILITAS DINAMIK SEKTOR KONSTRUKSI GE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAPABILITAS DINAMIK SEKTOR KONSTRUKSI GE"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

KAPABILITAS DINAMIK SEKTOR KONSTRUKSI GEDUNG DI

DAERAH MENUJU KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN YANG

REALISTIS: PENDEKATAN STUDI KASUS KEGAGALAN

KONSTRUKSI DAN BANGUNAN DI JAWA

Ferry Hermawan,S.T.,M.T., MCIOB

Kandidat Doktor Bidang Built Environment

Department Civil Engineering, Architecture and Building

Faculty of Engineering and Computing-Coventry University, United Kingdom

Email : ferry.hermawan@undip.ac.id atau hermawaf@uni.coventry.ac.uk Website:https://coventry.academia.edu/FerryHERMAWAN

Peran Sektor Konstruksi dalam Pembangunan

Sektor konstruksi sebagai salah satu kontributor perkembangan sosial-ekonomi Indonesia adalah potensi pembangunan yang harus dijaga keberlanjutannya. Konstruksi gedung sebagai bagian dari denyut nadi pembangunan infrastruktur menggunakan energi sekitar sepertiga penggunaan energi di dunia (Jayan, 2014). Menurut Kirmani (1989), beberapa karakteristik bisnis konstruksi di negara berkembang antara lain, pertama, konstruksi mempunyai tipikal berkontribusi terhadap GDP (Gross Domestic Product) rata-rata sekitar 5-9%. Kedua, dampak konstruksi mempengaruhi value dari distribusi material konstruksi dan serapan tenaga kerja yang mencapai 5% dari total pekerja dan seringkali pekerjaan di sektor ini menjadi batu loncatan bagi industri manufaktur. Keempat, dampak bisnis konstruksi yang cukup luas, dibangun dari perusahaan-perusahaan kecil yang menghasilan kesempatan berwirausaha pada usaha kecil dan memainkan peran penting bagi distribusi pendapatan.

Pasca krisis ekonomi, industri konstruksi mulai bangkit sejak 2004 dan relatif meningkat diikuti kondisi perekonomian yang berkembang, ditunjukkan dengan nilai GDP mencapai 6,23% per tahun (Worldbank, 2013). Dari sisi kelembagaan proses pengadaan barang dan jasa baru dimulai efektif sejak 2008 dan sampai November 2013, Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh tanah air telah mencapai 595 unit (LKPP, 2013)

Konstruksi dan Desentralisasi

(2)

daerah serta isu pengelolaan sumber daya alam lintas wilayah dalam suatu kerangka desentralisasi. Begitu pula perubahan di sektor konstruksi yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Tatanan pengadaan konstruksi secara radikal menjadi lebih terbuka meskipun masih muncul penyimpangan yang bertentangan dengan visi akuntabilitas dan komitmen pakta integritas yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berdasarkan hasil studi Hermawan (2013b) terhadap 10 praktisi proyek gedung Non Highrise Building

yang berkiprah di Jawa selama kurun waktu 15-25 tahun, terdiri dari insinyur konstruksi sipil, ahli geoteknik, praktisi pengadaan barang dan jasa pemerintah, arsitek dan kontraktor gedung di DKI Jakarta, diperoleh persepsi tentang kendala mengimplementasikan prinsip sustainable buildings yang paling mendasar adalah pengaruh pimpinan daerah (local leader) dan ketersediaan masterplan sebagai acuan pembangunan.

Beberapa hal yang perlu kita kritisi yaitu sistem ekonomi kita yang bersifat liberal (Liddle, 1982), telah membawa ideologi pembangunan kita tidak berbasis agraris lagi tapi cenderung untuk menjadi negara industri. Berbagai kebijakan publik yang pernah diterapkan pada negara-negara maju, barangkali sering tidak sesuai dengan kondisi di negara berkembang (Todaro, 1977 dalam Mubyarto, 1996), dan indonesia adalah salah satunya. Merujuk pada pernyataan Professor Widjojo Nitisastro tentang bagaimana suatu kebijakan (policies) yang realistis adalah yang mampu menghubungkan teori-teori tentang kebijakan itu sesuai dengan realita (Mubyarto: 1996, p27). Desentralisasi awalnya ditujukan untuk memudahkan pengelolaan sehingga lebih efektif dan efisien. Persoalan kapabilitas sumber daya manusia menjadi salah satu isu utama pembangunan. Hal inipun juga tertuang dalam paradigma pembangunan Indonesia sejak 2004 bahwa bangsa kita bertekat melakukan pembangunan yang berkualitas dengan visi ‘pro growth, pro poor dan pro job’. (Mustopadidjaja, 2012).

Kegagalan Konstruksi dan Bangunan Gedung di Jawa

Menurut dokumen konstruksi Indonesia 2030 dan Agenda Konstruksi Indonesia 2010-2030, semua cita-cita dan harapan ideal konstruksi indonesia menuju Finest Built Environment. Menurut Mulyo (2013), beberapa langkah yang penting dilakukan untuk mewujudkan Finest Built Environment antara lain, pertama dengan merevisi Undang-undang Jasa Konstruksi yang diimplementasikan tidak hanya pada proyek pemerintah tetapi juga proyek swasta. Kedua, perkuatan lembaga pengembangan jasa konstruksi, ketiga, peningkatan ketrampilan pelaku konstruksi melalui gerakan nasional pelatihan konstruksi. Keempat, penerapanGood Corporate Governance. Kelima, implementasi sistem pengawasan melekat ‘whistle-blower’ dan keenam, penerapan sanksi tegas bagi pelanggar kode etik profesi para pelaku jasa konstruksi.

(3)

(11,91%) dan yang kedua adalah struktur atap (4,68%). Kerisauan kita terhadap konstruksi gedung di daerah karena bangunan-bangunan yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyak kecil kualitasnya cukup memprihatinkan. Misalnya, bangunan seperti puskesmas di tingkat kecamatan, bangunan pasar tradisional dan bangunan sekolah di pedesaan tidak memperhatikan dampak keselamatan manusia lagi.

Sektor konstruksi gedung mempunyai kontribusi yang cukup signifikan bagi keberlanjutan pembangunan. Dimensi keberlanjutan di sektor ini meliputi kontribusi sosial, ekonomi dan ekologi. Secara sosial, isu serapan tenaga kerja dan peningkatan kualitas hidup menjadi barometer pertumbuhan di setiap proyek konstruksi dan wilayah yang menjadi basis perkembangannya. Namun kontrakdiksi dampak ekologi menjadi isu yang tidak kalah penting karena bumi sebagai tempat tinggal kita mengalami perubahan perilaku. Pembangunan infrastruktur di perkotaan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak didominasi oleh bangunan gedung. Jumlah penduduk Indonesia sebagai modal pembangunan menjadi alasan utama untuk ketersediaan pemukiman, fasilitas pelayanan kesehatan, rekreasi dan pendidikan, semuanya berbasis pada kebutuhan konstruksi gedung. Oleh karena itu, melalui tulisan ini tertuang gagasan bagaimana sektor konstruksi gedung publik bisa berkelanjutan untuk bangsa Indonesia dalam konteks strategi pembangunan yang realistis sepuluh tahun ke depan.

Fenomena bisnis konstruksi gedung di daerah menjadi isu yang saling terkait dengan isu politik dan sistem pemerintahan daerah di Indonesia dalam satu dekade ini. Secara komposisi, jumlah pelaku konstruksi skala kecil, di beberapa daerah menguasai lebih dari 90 persen dan 45,3 persen yang ada di Indonesia merupakan perusahaan konstruksi yang menangani proyek gedung (BPS, 2011). Dan sebagian besar pelaku konstruksi gedung ada di pulau Jawa. Menurut skala bisnisnya jumlah perusahaan konstruksi seperti disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Komposisi dan jumlah perusahaan konstruksi (Jawa dan Luar Jawa) menurut skala bisnisnya (BPS, 2011 diolah)

Lokasi Pulau Kecil Sedang Besar

Jawa 33% 48% 47%

Sumatera 26% 27% 22%

Kalimantan 14% 11% 12%

Sulawesi 14% 7% 8%

Nusa Tenggara 5% 2% 1%

Papua 3% 3% 8%

Maluku 3% 2% 3%

Maluku 3% 2% 3%

Indonesia (total) 106,980 13,795 1,836

Faktor-faktor Penyebab Lemahnya Bisnis Konstruksi Indonesia

(4)

ada 2 % berpendidikan SD dan 5% berpendidikan SMP (BPS, 2011). Jumlah insinyur kita pada tahun 2012 hanya 600.000 dari berbagai bidang keahlian. Jumlah tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. (Antara, 2012). Kedua, persoalan yang paling mendasar bagi pengaturan sektor konstruksi gedung berawal dari belum lengkapnya perangkat regulasi di daerah. Menurut data Direktorat Penataan Bangunan, Direktorat Jenderal Cipta Karya-Kementrian Pekerjaan Umum, sampai tahun 2013, di daerah masih 182 pemda dari total 536 pemda (tidak termasuk DKI Jakarta) belum mempunyai Peraturan Bangunan Gedung (PBG). Kendala utama di daerah adalah mereka masih belum menganggap penting keberadaan regulasi tersebut (Medan Bisnis Daily, 2013). Hal ini juga termasuk belum semua provinsi mempunyai Masterplan tata ruang, menurut Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, 15 provinsi sedang dalam proses penyelesaian (TRP, 2013: 8). Keempat, masih kuatnya ketergantungan sektor gedung terhadap anggaran pemerintah baik APBN (18 %), APBD (74%) dan Loan

Asing (9%). Beberapa bentuk penyimpangan yang terekam dari hasil audit pengadaan barang dan Jasa Pemerintah merupakan faktanya. Meskipun akar permasalahannya bermuara pada tindakan korupsi. Hasil audit BPK menggambarkan bentuk-bentuk perilaku di pengadaan barang dan jasa Pemerintah antara lain pengurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran, ketidaksesuaian anggaran, tidak sesuainya pelaksanaan dengan spesifikasi dan yang paling memprihatinkan adalah pengadaan yang dilakukan fiktif, mark-up harga dan tidak bertanggungjawabnya rekanan menyelesaikan pekerjaan (Journal LKPP: 2011, Hal.89). Kelima, Independensi antara pembuatan keputusan, operator dan pengawas yang saat ini masih di area abu-abu. Independensi fungsi stakeholder di bawah payung regulasi pemerintah yang kredibel merupakan harapan bagi semua pihak jika keberlanjutan sektor konstruksi memang benar penting untuk kehidupan yang lebih baik.

Solusi Menuju Keberlanjutan Sektor Konstruksi Gedung Indonesia

Karakteristik keberlanjutan di sektor konstruksi pada lima tahun terakhir ini telah mengemuka paradigma ‘from linier to circular’ (Magdani, 2013). Paradigma konsep linier pembangunan hanya melihat suatu proses konstruksi sebagai proses tunggal, dari inisiatif design, proses konstruksi dan menghasilkan waste yang kemudian dibuang. Namun pada proses circular, beberapa material akan didaur ulang sebagai bagian dari konstruksi tersebut. Menurut Sorrell (2003) bahwa meningkatkan praktek keberlanjutan pada konstruksi gedung ada enam komponen yang menentukan yaitu, membuat sistem akuntabilitas performa kinerja penyedia jasa yang terlibat, menerapkan sistem pembiayaan yang menyeluruh (whole-life costing), pengembangan desain yang terintegrasi terutama dengan masterplan yang lebih di level yang lebih tinggi (misalnya tata kota), pembelajaran bagi klien atau pemilik proyek dan selalu mengacu pada standar konstruksi.

(5)

keberhasilan yang patut menjadi teladan untuk generasi selanjutnya. Analogi Framework yang dikembangkan ini diilhami dari QS An Nahl: 68-71, tentang Komunitas Lebah Madu (Honey Bee) yang juga telah dikembangkan pada bidang micro-electro-mechanical (Lawry, 2006). Analogi kehidupan lebah sebagai bentuk manifestasi masyarakat konstruksi gedung menggunakan prinsip sustainable

digambarkan dalam suatu siklus kehidupan (life cycle). Begitu pula proyek gedung sejak inisiatif desain hingga commisioning adalah gambaran satu unit kehidupan konstruksi lengkap dengan sumber daya material, sumberdaya manusia dan sistem yang membentuk suatu rutinitas. Beberapa prinsip dari analogi ini juga membawa pesan moral sebagai ciri ‘sustainable practice’ pada proyek konstruksi gedung. Setidaknya ada tiga konsep yang dikembangkan pada setiap proyek konstruksi, salah satunya konstruksi gedung yaitu tepat waktu-tepat mutu dan tepat biaya. Namun menepati ketiganya memerlukan kapabilitas yang teruji berdasarkan pengalaman kerja penyedia jasa dan pengelola anggaran (local authority).

Siklus berkelanjutan yang analog dengan trend konstruksi saat ini menuju

circular systemmempunyai ciri-ciri dasar bahwa suatu performa konstruksi dibangun oleh 3 komponen utama yaitu local government sebagai regulator, kontraktor sebagai eksekutor dan masyarakat sebagai user. Hubungan ketiganya merupakan model dasar dinamisnya praktek keberlanjutan suatu proyek gedung. Model ini merupakan solusi mendasar yang harus dibangun untuk industri konstruksi di tanah air kita. Model tersebut diberi nama ‘tension model kapabilitas dinamik’. Idealisasi model tersebut karena sifatnya dinamis maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Independensi terhadap APBN/APBD menjadi awal membangun kerangka kerja kapabilitas dinamik pada sektor konstruksi gedung. Pihak yang berkepentingan (stakeholder) menjadi aktor pelaku penentu keberhasilan implementasinya. Namun sebagai sentral adalah tiga pelaku utama di konstruksi gedung yaitu pemerintah lokal (local authorities), perusahaan kontraktor (construction firms) dan pengguna gedung (user).

Pemerintah daerah dalam perannya di tataran kebijakan publik seharusnya mempunyai peran ‘steering’ (menjadi penentu arah kebijakan) daripada sekedar

‘rowing’ (menjalankan kekuasaan) (Osborn and Gaebler, 1992). Pemerintah daerah mempunyai peran utama sebagai regulator tetap harus independen walaupun selalu muncul dilema bagi para pengambil keputusan ketika harus memilih antara mempengaruhi (influence) atau sebagai pelaksana (enforcement) (Steward, 1997). Kedua hal yang disebutkan oleh Steward (1997) merupakan sifat dinamis dan adaptive dari fungsi pemerintah daerah. Pada sektor konstruksi gedung selama kurun waktu 1999-2013 telah mulai berkembang menjadi lebih baik, lebih tertata dan menuju keberlanjutan, baik regulasi maupun kesadaran para pelaku. Kita harus optimis telah cukup drastis perubahan indonesia menjadi lebih realistis. Pengelolaan sumber daya alam sebagai landasan inti pembangunan menjadi bagian yang utuh pada sistem birokrasi pemerintahan di daerah. Pembelajaran yang cukup baik telah dibuktikan oleh negara Inggris pada masa pemerintahan Margaret Tatcher pada tahun 1979-1990. Desentralisasi dan merubah sektor industri menjadi sektor jasa adalah bentuk pemikiran realistis berbasis sumber daya yang dipunyai. Walaupun segala konsekuensinya juga direguk bangsa ini saat krisis ekonomi eropa melanda pada 2007.

(6)

membawa bangsa kita menerapkan mekanisme pasar. Oleh karena itu untuk mewujudkan pemerataan tadi, diperlukan terobosan pembangunan infrastruktur dengan memperluas jaringan antar pusat pertumbuhan melalui transportasi sebagai koridor distribusi barang dan jasa (Kompas, 2014). Tahap selanjutnya adalah memperkuat kapabilitas pemerintah dengan responsive capability dan insentive programme untuk menarik investor infrastruktur dengan kemudahan proses bisnis jangka panjang (prinsipgreen economy) (Setkab, 2013).

Grand Design Kapabilitas Dinamik yang Berkelanjutan: Suatu

Konsep Praktis

Dalam Konteks praktis, diusulkan sebuahGrand Design Sustainable Dynamic Capability untuk Public Building sebagai pendorong konstruksi gedung yang lebih kompetitif (Hermawan dan Soetanto, 2014). Berhadasarkan hasil penelitian tentang kapabilitas dinamik pada tiga level otoritas di Jawa (Provinsi, Otoritas Khusus di Institusi Pendidikan dan Kabupaten/Kota), mensyaratkan bahwa setiap tujuan pembangunan gedung harus mengikuti aturan dasar bahwa gedung itu harus punya minimum performance yang sesuai standar konstruksi dan tidak merusak lingkungan, serta harus ada profit yang masuk akal. Dalam hal peran otoritas lokal (Local Authorities), Framework ini mengakomodasi pengaruh peran secara mendasar atau menegakkan fungsi kontrol. Sementara Code of conduct tersebut diubah menjadi kode etik dalam menjalankan kegiatan public building. Selain itu, peran kontraktor ada pada dua faktor dominan, keterampilan dan keahlian serta investasi modal (Capital Investment). Mekanisme praktek berkelanjutan proyek bangunan publik harus dicapai oleh tiga prinsip akuntabilitas: Transparansi, Efisiensi dan Efektivitas. Namun, tujuan akhir dari kemampuan berkelanjutan-dinamis harus menyadari dalam kebutuhan dasar untuk keuntungan bisnis dan kinerja membangun produk. Ketentuan Berkelanjutan berasal dari roh ramah lingkungan (eco-friendly) tetapi memperoleh pertimbangan yang tepat dari kualitas kinerja minimum (Capaian minimum sesuai spek). Dalam prakteknya, framework kapabilitas dinamik dijabarkan dalam peran-peran strategis sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Peran Stategis Para Pemangku Kepentingan (Implementasi Framework)

Pemangku Kepentingan (stakeholder)

Peran strategis dalam praktik

Otoritas Lokal (Regulator) Agent of changes dengan kegiatan:

Online servicepada implementasinya

Capacity Buildinguntuk staf pemerintahan

Information Hub atau pusat Informasi (sumber daya material, perijinan, regulasi, feedback masyarakat, database track record dan standar gedung yang mudah dipahami publik)

 Moderasi Tender yang kompetitif dan independent yang terintegrasi dalam Information Hub sehingga mampu mereduksihuman-error

(7)

Pemangku Kepentingan (stakeholder)

Peran strategis dalam praktik

Kontraktor (Executor) Sebagai eksekutor mempunyai peran strategis:

Specialist provideruntuk segmentasi pasar konstruksi yang lebih jelas dan mempermudah sistem licensing tenaga terampil atau tenaga ahli.

Capital investment yang memadai sebagai pelaku pasar konstruksi

Pengguna Gedung (User) Peran strategis bisa didorong dengan dua peran:

 Smart Meter sebagai implementasi prinsip akuntabilitas dan teknologi informasi, sehingga masalah mendasar energy profile bisa dibangun dari masyarakat pengguna gedung.

 Smart User sebagai bentuk interaksi masyarakat yang mempunyai pengetahuan dasar bagaimana menjadi pengguna gedung. Masyarakat yang tanggap terhadap kualitas gedung yang ditempati menjadi bagian dari ‘early warning system’ kelayakan gedung.

Praktek Berkelanjutan berarti dampak jangka panjang tetapi tetap harus tradeable, realistis dan terjangkau bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) bangunan publik dan juga pengguna gedung.

Daftar Pustaka

Antara (2012). Insinyur Indonesia Masih Kalah Jumlah dan Kualitas. Antara – Sen, 26 Nov 2012. Available from <http://id.berita.yahoo.com/insinyur-indonesia-masih-kalah-jumlah-dan-kualitas-081408888.html> [ 3 March 2014]

BPS (2011). Statistik Konstruksi Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

Hermawan, F; Ludiro, H.L; Wibowo, M.A.; Hatmoko, J.U.D and Soetanto,R.. (2013a). Toward Sustainable PracticeS in Indonesian Building ProjectS: case studIES of Construction Building FailureS and Defects in Central Java. Proceeding The 6th Civil Engineering Conference in Asia Region and Annual HAKI Conference 2013. Jakarta

Hermawan, F., Soetanto, R. & Davies, J.W. (2013b). Enabling Sustainable Practices for Building Projects in Indonesian Local Government: An Overview of Practitioners’ Perceptions. Proceeding ISSC 2013, 7 December-Wageningen, The Netherlands

Hermawan,F. dan Soetanto,R. (2014). A Strategic Approach for Sustainable Public Buildings: A case study of revitalisation of public market buildings in Jakarta. ICONIC 2014. Germany. [on press]

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2013. Tentang kewajiban 100% penggunaan e-procurement.

Jayan, B. (2014). Energy Data Management. BRE Trust Research Conference-Smart Cities, 25 February. London

(8)

Kompas (2014). ASEAN 6 Unggulkan Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Available from < www. Kompas.com> [24 February 2014]

Lawry, J.V. (2006). The Incredible Shrinking Bee Insects as models for microelectromechanical Devices. Imperial College Press. London. ISBN 1-86094-585-6

Liddle, R.W. (1982) The Politics of Ekonomi Pancasila: Some Reflections on a Recent Debate, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 18:1, 96-101

Lkpp.(2013). LKPP Koordinasikan Modernisasi Pengadaan Nasional. Available from <www.lkpp.go.id> [ 6 March 2014]

Magdani, N. (2013). Comment: a new direction in sustainability BAM's Nitesh Magdani on squaring the Circular Economy. Magazine of the Chartered Institute of Building. November. Available from <www.construction-manager.co.uk> [14November 2013]

Medan Bisnis Daily (2013). PU Kejar Sisa Perda Bangunan Gedung hingga 2015. Available from <www.medanbisnisdaily.com> [16 December 2013]

Mubyarto (1996). Paradigma Pembangunan Ekonomi Indonesia. Pidato Dies Natalis Ke-47 Universitas Gadjahmada. Yogyakarta.

Mulyo, S.S. (2013). Bisnis konstruksi dihadang banyak persoalan, Dilema di tengah persoalan SDM, Etika dan Praktik KKN. Elex Media Komputindo. Jakarta. ISBN 978-602-02-1060-5

Mustopadidjaja et al. (2012). Bappenas dalam sejarah perencanaan pembangunan Indonesia 1945-2025. LP3ES paguyuban alumni bappenas. Jakarta. ISBN 978-979-3330-97-6

Osborn, D. And Gaebler, T. (1992). Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Addison-Wesley Publishing, Reading-MA, USA.

Setkab (2013). Pemerintah Akan Revisi MP3EI. Available from <http://www.setkab.go.id/berita-7971-pemerintah-akan-revisi-mp3ei.htm l>(4 March 2014)

Sorrell (2003). Cited in Hunter,K, Kelly, J. & Trufil,G. (2006). Whole Life Costing of Sustainable Design, p250. Proceeding CIB W092–Procurement Systems. Symposium on Sustainability and Value Through Construction Procurement. CIB Revaluing Construction Theme, November-December University of Salford, UK Stewart, J. (1997). The local authority as regulator. Local Government Policy

Making, Pitman Publishing, 23 (4), 16-24.

Teece, D. J., Pisano, G., & Shuen, A. (1997). Dynamic capabilities and strategic management. Strategic Management Journal, 18(7), 509-533.

TRP (2013). Buletin Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi 2. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementrian PPN/ Bappenas. Jakarta. ISBN: 9772087374046.

Undang-Undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan anatara Pusat dan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pengganti UU No. 22 tahun 1999)

Worldbank (2013). Gross domestic product ranking table. Available from <http://data.worldbank.org> (26 February 2014)

Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

MENURUT SEKTOR EKONOMI ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993.. Juta) PERTAMBAHAN SEKTOR

Berdasarkan parameter berat umbi basah, hasil penelitian ini telah dapat memperlihatkan bahwa perlakuan yang terbaik adalah bawang merah dengan menggunakan bibit

Agun,e Utara pada tahun 1995/1996 dan pada saat itu tanaman kelapa sawit telah menghasilkan. Peserta petani contolr yang ikut pada Program Iuran dan dana Peremajaan

aktivitas fisik merupakan faktor yang berkaitan dengan osteoartritis pada penderita osteoartritis

elektrik sebagai sumber dan efek yang akan dibuat sebagai alat yang mengolah. efek

4) Data lain yang berkaitan telah diminta dari bagian akademik FK. UNDIP. 5) Data yang terkumpul telah dimasukkan kedalam komputer

Berdasarkan Tabel 1 mengenai validasi LKS oleh ketiga validator ahli biologi yang terdiri dari dosen ahli pendidikan (V1), dosen ahli materi (V2), dan guru biologi

Operasikan mesin dan suapkan bahan baku sesuai prosedur dan urutan kerja yang benar7. Kendalikan jalannya