• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Alamat Korespondensi: Ferdinand, Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univer-sitas Brawijaya E-mail: Jurnal Aplikasi Manajemen ( JAM) Vol 14 N o 1, 20 16 Terindek s dalam Google Scholar

JAM

14, 1

Diterima, Mei 20 14 Direvisi, September 20 14

April 20 15 Januari 2016 Disetujui, Februari 2016

Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil

dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang

Ferdinand

Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Abstract: This study was conducted to see more about the MSME Cluster of Tempe Chips in Sanan Malang. The method uses descriptive qualitative to describe more detail about MSME Cluster of Tempe Chips. The survey results reveal that MSME Cluster of Tempe Chips in Sanan is an active cluster. There are internal and external obstacles in the development of the cluster and the authors recommend development strategies as follows: 1) establish com-munity entrepreneurs tempe chips; 2) the development of business scale; 3) increase the governmental support.

Keywords: Cluster, MSME, Active Cluster, Tempe Chips

Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk melihat lebih dalam Klaster UMKM Keripik Tempe di Sanan Malang. Metode kualitatif deskriptif digunakan untuk dapat menggambarkan dengan lebih detail berkaitan klaster UMKM keripik tempe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klaster UMKM keripik tempe di Sanan merupakan klaster aktif. Terdapat hambatan internal maupun eksternal dalam pengembangan klaster dan penulis merekomendasikan strategi pengembangan sebagai berikut: 1) membentuk paguyuban pelaku usaha keripik tempe; 2) pengembangan skala usaha; 3) peningkatan dukungan pemerintah.

Kata Kunci: Klaster, UMKM, Klaster aktif, keripik tempe

Usaha Mikro Kecil dan Me-nengah (UMKM) mempunyai peranan yang signifikan dalam perekonomian nasional. Peran yang besar tersebut mendorong pemerintah dan pihak-pihak yang mempunyai perhatian terhadap UMKM terus berupa-ya memberdaberupa-yakan UMKM agar mampu bersaing dalam era globalisasi. Salah satu upa-ya upa-yang saat ini giat dilakukan adalah pengembangan UMKM melalui pendekatan klaster.

Pendekatan klaster menjadi strategis mengingat

(2)

menimbulkan gap atau kesenjangan sosial yang memicu ketidakstabilan.

Secara umum klaster di Indonesia masih berupa sentra-sentra UMKM. Sentra UMKM terdiri dari sekumpulan industri skala kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang sama serta telah berkembang cukup lama. Sentra UMKM mencermin-kan suatu tipe klaster yang paling sederhana dan ber-kembang secara alamiah tanpa intervensi dari peme-rintah. Klaster-klaster ini pada umumnya berkembang di wilayah pedesaan, merupakan kegiatan tradisional masyarakat yang telah dilakukan secara turun-temu-run, serta memiliki komoditi yang spesifik. Jenis klaster yang ada sangat beragam, antara lain klaster kerajinan, makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kulit dan produk kulit, kimia dan produk kimia, bahan bangunan, peralatan, dan sebagainya. Selain klaster UMKM yang terbentuk secara alamiah, terdapat pula sejumlah kecil klaster yang tumbuh dan berkembang akibat dukungan pemerintah, misalnya Perkampungan Industri Kecil (PIK) dan Lingkungan Industri Kecil (LIK).

Berdasarkan kondisi klaster dengan menilai dari kualitas produksi, teknologi, pasarnya, kapasitas sum-ber daya manusia dan hubungannya dengan pihak-pihak terkait bagi pengembangan klaster baik dari pemerintah, swasta maupun industri terkait, maka klaster dapat digolongkan menjadi 3 yaitu klaster tidak aktif (dormant), klaster aktif (berkembang) dan klas-ter dinamis (advantage). Beberapa ciri yang dimiliki (disarikan dari Laporan JICA, 2004) adalah sebagai berikut: (1) Klaster tidak aktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Produk tidak berkembang (cenderung mempertahankan produk yang sudah ada). (b) Tekno-logi tidak berkembang (memakai teknoTekno-logi yang ada, biasanya tradisional, tidak ada investasi untuk peralat-an dperalat-an mesin). (c) Pasar lokal (memperebutkperalat-an pasar yang sudah ada, tidak termotivasi untuk memperluas pasar, ini mendorong terjadinya persaingan pada tingkat harga bukan kualitas) dan tergantung pada perantara/pedagang antara. (d) Tingkat keterampilan pelakunya statis (keterampilan turun-temurun). (e) Tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku rendah (modal sosialnya rendah, mendorong saling menyem-bunyikan informasi pasar, teknis produksi dsb). (f) Informasi pasar sangat terbatas (hanya perorangan

atau kelompok tertentu yang mempunyai akses terhadap pembeli langsung). (2) Klaster Aktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Produk berkembang se-suai dengan permintaan pasar (kualitas). (b) Tekno-logi berkembang untuk memenuhi kualitas produk di pasar. (c) Pamasaran lebih aktif mencari pembeli. (d) Terbentuknya informasi pasar. (e) Berkembang-nya kegiatan bersama untuk produksi dan pasar (misalnya pembelian bahan baku bersama, kantor pemasaran bersama dst). (3) Klaster Dinamis memi-liki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Terbentuknya spesiali-sasi antar perusahaan dari klaster (misalnya: untuk industri logam ada spesialisasi pengecoran, pembuatan bentuk, pemotongan dsb). (b) Klaster mampu mencip-takan produk baru yang dibutuhkan pasar/konsumen. (c) Teknologi berkembang sesuai dengan inovasi pro-duk yang dihasilkan. (d) Berkembangnya kemitraan dengan industri terkait baik dalam pengembangan produk, pengembangan teknologi maupun menjadi bagian industri terkait. (e) Berkembangnya kelemba-gaan klaster. (f) Berkembangnya informasi pasar.

Hasil penelitian dari proyek percontohan pengem-bangan klaster di Indonesia yang dilakukan oleh JICA (2004) mengungkapkan bahwa Klaster di Indonesia dibatasi oleh bentuknya yang mudah tercerai berai dari modal sosial. Modal sosial yang dimaksud meru-pakan aset tak wujud seperti “kepercayaan yang ter-bentuk”, “ikatan internal” atau “jejaring sosial”. Pembentukan dan konsolidasi modal sosial menjadi unsur inti dalam penguatan klaster. Modal sosial klaster ini sebagai ikatan internal akan menjembatani dalam hubungan dengan pihak ekternal.

Lokalisasi ekonomi. Melalui klaster, dengan me-manfaatkan kedekatan lokasi, UMKM yang meng-gunakan input (informasi, teknologi atau layanan jasa) yang sama dapat menekan biaya perolehan dalam penggunaan jasa tersebut. Misalnya pendirian pusat pelatihan di klaster akan memudahkan akses UMKM pelaku klaster tersebut.

(3)

Akses pada pertukaran informasi dan patokan kinerja. UMKM yang tergabung dalam klaster dapat dengan mudah memonitor dan bertukar informasi mengenai kinerja supplier dan nasabah potensial. Dorongan untuk inovasi dan teknologi akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan perbaikan produk.

Produk komplemen, karena kedekatan lokasi, produk dari satu pelaku klaster dapat memiliki dampak penting bagi aktivitas usaha UMKM yang lain. Di samping itu kegiatan usaha yang saling melengkapi ini dapat bergabung dalam pemasaran bersama.

Definisi UMKM di Indonesia diatur dalam Butir 1, 2, dan 3 Pasal 1 Dalam Bab 1 (Ketentuan Umum) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:

Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang-perorangan dan atau badan usaha orang-perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang per-orangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau

Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produk-tif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimi-liki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung mau-pun tidak langsungdengan Usaha Kecil atau Usaha Besardengan jumlah kekayaan bersih atau hasil pen-jualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Pengembangan kelembagaan di tingkat lokal dapat dilakukan dengan sistem jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Kedua, kelemba-gaan tradisional atau lokal. Kelembakelemba-gaan ini merupa-kan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan “asuransi terselu-bung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolong-menolong, gotong-royong, simpan pinjam, arisan, lumbung paceklik dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga di perdesaan memiliki fungsi yang mampu memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuat-an internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri.

Tabel 1. Kriteria UMKM Menurut Berbagai Sumber

Sumber: UU No 20/2008 Usaha Mikro

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 tidak termasuk

tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00.

Usaha Kecil

1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 sampai dengan paling

banyak Rp500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangu nan tempat usaha;

atau

2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 sampai

dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00.

Usaha Menengah

1. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 sampai dengan paling

banyak Rp10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha; atau

2. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 sampai

(4)

Selanjutnya untuk mendukung teori kelembagaan tersebut, penulis akan menambah pembahasan ten-tang teori modal sosial. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan sesamanya manusia untuk dapat saling berinteraksi. Interaksi sesama manusia yang di dalamnya terdapat rasa saling percaya akan menjadi sebuah modal yang penting dalam kehidupan sosial manusia.

Beberapa studi telah meneliti lebih dalam menge-nai dampak dari budaya sosial, yang mana termasuk struktur sosial pada kepercayaan, norma-norma, per-aturan, kerjasama dan jaringan. Kesemuanya itu mengemuka untuk membangun sebuah konsep yang disebut modal sosial (Dinda, 2008). Para ahli yang mendalami konsep modal sosial menyampaikan bebe-rapa definisi yang beragam mengenai modal sosial. Coleman (1990) (dalam Dinda, 2008) mendefinisikan modal sosial sebagai organisasi sosial yang meng-konstitusikan modal sosial, memfasilitasi pencapaian dari tujuan-tujuan yang tidak dapat diraih dalam keti-dakhadiran namun dapat diraih hanya dengan biaya yang lebih tinggi.

Modal sosial mempunyai tiga level menurut Yuan K. Chou (2006), yaitu yang pertama level mikro dimana modal sosial terdiri dari jaringan dari individu-individu atau rumah tangga. Hal ini dapat diterima bahwa eksternalitas dari interaksi interpersonal dapat negatif atau positif. Sebagai contoh interaksi antar individu dalam sebuah jaringan yang membentuk modal sosial mungkin bermanfaat bagi individu tersebut pada pengurangan biaya-biaya yang dari luar jaringan. Dalam level mikro ini modal sosial terdiri dari bonding dan bridging modal sosial. Level yang kedua adalah level meso. Dalam level ini dikembang-kan konsep modal sosial dengan memasukdikembang-kan asso-siasi vertikal dan horizontal serta adanya perilaku di dalamnya dan di dalam entitas tersebut. Sementara ikatan dan penyatuan hubungan terjadi di dalam grup dan ikatan tersebut memfasilitasi interaksi dan tin-dakan kolektif di dalamnya, hubungan relasi memper-kuat ikatan antara grup dan organisasi lainnya. Level yang terakhir adalah level makro, dalam level ini ter-masuk hubungan institusi yang formal dan terstruktur, seperti rezim politik, undang-undang, sistem penga-dilan, dan kebebasan sipil dan politik.

Modal sosial mempunyai efek positif yang luar biasa bila dikelola dengan baik khususnya dalam me-ngatasi kelemahan grup dan meningkatkan pertum-buhan ekonomi. Knack and Keefer (1997), Temple and Johnson (1998) (dalam tulisan Dinda, 2008) mengungkapkan bukti-bukti bahwa tingkat keperca-yaan yang tinggi dan partisipasi sosial secara positif berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, setelah mengontrol faktor-faktor pendukung pertumbuhan. Sudah banyak tulisan yang menyatakan bahwa pengulangan interaksi kepercayaan dalam ekonomi membuat lapisan kepercayaan semakin meningkat pada kepercayaan yang menyeluruh.

Sejauh ini sentra-sentra tersebut merupakan calon klaster yang tidak aktif atau sedang tidur (dormant). Di dalam sentra, pelaku usaha tidak banyak melaku-kan perubahan terhadap produk, proses produksi maupun pasarnya. Kondisinya tidak banyak berubah dari tahun ke tahun bahkan sampai generasi berikut-nya. Secara lebih rinci dari studi yang dilakukan oleh JICA (2004) menyebutkan secara garis besar kondisi klaster di Indonesia adalah sebagai berikut: (a) Ke-banyakan UMKM-UMKM dalam klaster merupakan usaha-usaha mikro yang memiliki ketergantungan kuat kepada para pengumpul lokal sehingga seringkali menghilangkan jiwa kewirausahaan. (b) Produk-produknya ditujukan untuk pasar-pasar yang tidak terlalu menuntut teknologi dan kualitasnya. (c) Sebagian besar UMKM dalam klaster tidak memiliki keterikatan internal satu sama lain sehingga upaya “membangun kepercayaan” (trust building) sulit dilakukan. (d) Rendahnya keterkaitan dengan industri dan insitusi terkait merupakan kendala yang lumrah ditemui sehingga penguatan klaster sulit dilakukan. (e) Sebagian besar klaster memiliki struktur sosial yang mudah bercerai berai dan masih berkutat pada strategi untuk mempertahankan hidup.

(5)

eksternal. Berdasarkan kajian tersebut penulis akan memberikan rekomendasi solusi bagi pengembangan klaster UMKM keripik tempe di Sanan Malang. Pada penelitian ini, klaster yang dipilih adalah salah satu klaster unggulan pemerintah kota Malang yang telah menghasilkan produk makanan ciri khas kota Malang yaitu keripik tempe yang telah berkembang sekian lama dan dikenal banyak orang.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuali-tatif deskriptif yaitu suatu metode yang digunakan untuk menemukan pengetahuan terhadap subjek penelitian pada suatu saat tertentu. Dalam penelitian desktiptif ini dilakukan pengumpulan informasi menge-nai subjek penelitian dan perilaku subjek penelitian pada periode tertentu untuk dapat memberi gambaran tentang gejala atau keadaan yang ada pada saat pene-litian dilakukan (Mukhtar, 2013).

Populasi Data

Penetapan populasi data primer dengan menggu-nakan teknik snowball sampling, yakni membiarkan data mengalir dari orang-orang yang menjadi subjek dan berada dalam situasi sosial. Dalam teknik ini akan dicatat siapa yang terlibat sebagai subjek penelitian, unsure dan jumlahnya secara keseluruhan termasuk yang menjadi key informan (Mukhtar, 2013). Survei yang dilakukan di lokasi Klaster UMKM keripik tem-pe berada, yaitu di Jalan Sanan, Malang yang merupa-kan lingkungan kasus referensi. Survey dilakumerupa-kan pada sejumlah populasi yang ada pada lokasi penelitian yang menurut data pada Dinas Perindustrian dan Perda-gangan Kota Malang tahun 2012 terdapat 65 pelaku usaha keripik tempe.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini untuk data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari literatur yang ada (teori dan empiris studi) seperti jurnal, makalah penelitian, majalah, laporan statistik, dan buku dan lain-lain yang mencer-minkan tantangan UMKM klaster keripik tempe hadapi dalam menjalankan usaha. Sedangkan untuk teknik pengumpulan data primer yang digunakan oleh peneliti adalah observasi, wawancara, dan doku-mentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan bahwa terdapat 65 responden keripik tempe di lingkungan kampung Sanan. Berdasarkan hasil survey dan sesuai definisi UMKM dalam Butir 1, 2, dan 3 Pasal 1 Dalam Bab 1 (Ketentuan Umum) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pelaku UMKM di Kampung Sanan digolongkan sebagaimana tampak dalam Tabel 2.

Jumlah populasi data dari kelompok usaha kecil paling banyak sebanyak 34 unit usaha, dilanjutkan dari kelompok usaha mikro sebanyak 27 unit usaha dan kelompok usaha menengah sebanyak 5 unit usaha.

Pilihan Bentuk Usaha

Selama survei dilakukan ditemukan tiga jenis usaha keripik tempe yang dilakukan di lingkungan Kampung Sanan. Sebanyak 22 responden (33,85%) menyatakan bahwa usaha dilakukan berupa produksi keripik tempe kemudian menjual langsung kepada

Tabel 2. Jumlah dan Pembagian Populasi

Sumber: Data Primer (diolah)

1. Usaha Mikro 27

2. Usaha Kecil 34

3. Usaha Menengah 5

(6)

pemesan, jadi responden ini tidak memiliki toko untuk sendiri untuk memasarkan hasil produksinya. Hal ini terjadi karena responden memiliki keterbatasan lahan dan tempat usaha di samping itu juga karena modal yang terbatas sehingga hanya mampu memasarkan hasil produksi langsung kepada pemesan.

Pilihan yang kedua adalah responden yang mem-produksi keripik tempe sendiri dan memasarkan hasil produksinya di toko milik sendiri dan kepada pemesan. Jumlah responden pada pilihan kedua ini ada 40 res-ponden (61,53%). Pilihan yang kedua ini merupakan jumlah yang terbanyak karena banyak responden yang tempat tinggalnya di sepanjang Jalan Sanan mempu-nyai peluang besar untuk langsung menjual hasil produksinya dengan mendirikan toko di rumah pribadi responden. Ada juga sebagian responden yang rumahnya tidak di sepanjang Jalan Sanan namun mempunyai gerai toko di sepanjang Jalan S.P. Sudarmo.

Pilihan yang terakhir adalah usaha menjual keri-pik tempe saja tanpa memproduksi kerikeri-pik tempe. Jumlah unit usaha yang memilih bentuk usaha ini memang sangat sedikit yaitu sebanyak 3 unit usaha (4,61%). Ketiga unit usaha tersebut menggabungkan penjualan keripik tempe dengan makanan lainnya sebagai toko oleh-oleh khas Malang. Mereka pada awalnya dulu memproduksi keripik tempe juga namun setelah melihat bahwa adanya peluang keuntungan dengan menjual beragam jenis makanan oleh-oleh termasuk keripik tempe maka koresponden memilih konsentrasi pada usaha perdagangan makanan oleh-oleh khas Malang yang tentu saja di dalamnya tetap menjual keripik tempe sebagai olahan khas dari Kampung Sanan.

Metode Pemasaran

Berikut ini akan diuraikan beberapa cara yang ditempuh para responden dalam memasarkan pro-duknya berdasarkan hasil survey melalui wawancara.

Pemesanan Tanpa Merk

Produk keripik tempe akan dijual kepada pema-sok tertentu yang telah memesan keripik tempe dengan spesifikasi dan harga yang telah disepakati.

Spesifikasi yang dimaksud adalah jenis rasa keripik tempe dan ukuran yang diinginkan. Pemasok disini akan menjual kembali keripik tempe tersebut di toko atau tempat penjualan miliknya. Pada umumnya pemasok memberikan stiker merk dagangnya untuk ditempel langsung oleh responden di bungkus keripik tempe. Menurut Ibu Simangunsong (2014) sebagai pembuat keripik tempe yang sudah lama bekerjasama dengan pemasok di kawasan Batu, menyatakan bah-wa harga jual produk keripik tempe buatannya sangat rendah yaitu di harga Rp2.000,00.

Pemesanan dengan Merk

Sama halnya dengan penjelasan pada nomor satu tentang metode pemesanan tanpa merk. Dalam meto-de ini pemesan biasanya tidak dalam rangka menjual kembali produk keripik tempe namun mengkonsum-sinya pada sebuah acara tertentu. Menurut pengakuan Bapak Kosim (2014), biasanya pada menjelang hari raya Idul Fitri maka pemesanan keripik tempe akan meningkat tajam dan ada satu kelompok tertentu (konsumen) yang rutin memesan menjelang hari raya Idul Fitri untuk digunakan sebagai bahan makanan selama hari raya.

Toko

Bagi para responden yang sudah memiliki toko keripik tempe maka pemasaran akan dilakukan di toko masing-masing dengan memajang semua produk keripik tempe buatannya di toko. Selain itu ada juga responden yang tinggal di kawasan Kampung Sanan dan mempunyai toko makanan bertindak sebagai pemasok keripik tempe.

Pameran Makanan

(7)

Perkembangan Produk

Produk keripik tempe cukup berkembang dalam hal pilihan rasa keripik tempe yang semakin beragam, ada 16 pilihan rasa. Awal mula keripik tempe dijadikan produk yang dapat dijual hanya ada satu rasa yaitu rasa asli atau original dan sekarang telah berkembang menjadi 16 pilihan rasa yang dapat menjadi disesuaikan dengan selera konsumen. Dalam hal perkembangan jenis olahan, sampai penelitian ini dilaksanakan keripik tempe tidak dapat dikembangkan lagi menjadi prosuk makanan lainnya.

Menurut Rudi Adam, perajin keripik tempe dengan merek Burung Swari, menyatakan alasan pembuatan keripik tempe dalam berbagai rasa dikaitkan dengan produk makanan ringan (snack) yang memiliki berbagai macam rasa. Berikut pernyataannya:

Gagasan membuat keripik tempe dengan rasa yang bermacam-macam itu muncul dari produk makanan ringan yang memiliki beragam rasa. Inspirasinya dari berbagai cemilan di supermarket yang rasanya macam-macam.

Selain itu para pelaku usaha yang memiliki toko sendiri menjual beragam makanan sebagai oleh-oleh selain keripik tempe seperti keripik buah, carang mas, keripik cakar ayam, keripik belut, keripik singkong, dan lain-lain.

Perkembangan Teknologi

Teknologi yang digunakan dalam produksi keripik tempe sangat tradisional seperti pisau pemotong tem-pe manual, ember dan gayung untuk mencampur adonan sebelum irisan tempe dimasukkan, peng-gorengan juga manual, serta pengemasan produk yang masih manual dengan menggunakan tenaga manusia serta alat press sederhana.

Kosim yang merupakan pemilik usaha Putra Ridho menyatakan alasannya masih menggunakan cara yang manual dalam memproduksi keripik tempe:

Ya, kami tetap menggunakan cara manual karena kami masih ingin melibatkan warga di Sanan tuk dapat bagi-bagi rejeki dan sekaligus untuk mengurangi pengangguran di lingkungan sini. Kalo pake mesin nanti kan jadi sedikit yang ikut kerja dengan saya.

Dalam hal produksi keripik tempe memang semua unit usaha di klaster keripik tempe masih menggunakan cara manual dengan melibatkan warga Sanan sebagai tenaga kerjanya. Hal tersebut dipilih para responden agar dapat membagikan rejeki kepada sekitarnya dalam bentuk upah serta dapat mengurangi pengangguran sehingga berdampak lebih lanjut pada peningkatan lapangan pekerjaan.

Dalam hal produksi keripik tempe memang masih menggunakan cara tradisional, namun dalam hal pen-jualan UD Lancar Jaya menggunakan metode baru yang mengandalkan teknologi canggih yaitu dengan sistem online shopping melalui situs lancarjaya keripik.com.

Area Pemasaran

Area pemasaran sudah berkembang di daerah selain Malang khususnya kota-kota di dalam Provinsi Jawa Timur dan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Bandung, Makasar, Pontianak. Hal ini me-nunjukkan bahwa pasar keripik tempe sudah berkem-bang selain di kota Malang dan membuat keripik tempe sebagai makanan khas Kota Malang semakin banyak dikenal orang. Hal ini berdampak pada pening-katan penjualan keripik tempe pada saat liburan untuk dijadikan oleh-olSidoeh para wisatawan. Namun semua koresponden mengakui bahwa persaingan yang terjadi antar pelaku usaha sangat ketat khusus-nya dalam memperebutkan pasar di Kota Malang yang mengakibatkan adanya persaingan harga pen-jualan produk keripik tempe dan banyaknya kores-ponden yang masih menggantungkan usahanya pada pemasok (perantara penjualan) khususnya para pela-ku usaha yang hanya memproduksi keripik tempe saja tanpa mempunyai toko sendiri dan jumlahnya sampai dengan 40 unit usaha (61,53%). Area pemasaran yang dapat dijangkau sampai dengan saat ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tingkat Keterampilam Pekerja

(8)

penggorengan tempe dan pengemasan keripik tempe mendapatkan keterampilannya secara otodidak dan belajar dari keluarga/pendahulunya sehingga dapat dikatakan keahliannya statis.

Responden menyatakan bahwa kemampuan membuat keripik tempe diperoleh secara otodidak dan turun-temurun sebagai usaha keluarga. Semua pe-kerja yang menjadi bagian dalam usaha keripik tempe yang terdiri dari pekerjaan pemotongan tempe, peng-gorengan tempe dan pengemasan keripik tempe mendapatkan keterampilannya secara otodidak dan belajar dari keluarga/pendahulunya sehingga dapat dikatakan keahliannya statis.

Tingkat Kepercayaan Pelaku dan Antar Pelaku

Berdasarkan pengakuan semua koresponden bahwa di lingkungan Kampung Sanan sampai dengan penulisan penelitian ini belum terbentuk sebuah pagu-yuban pelaku usaha keripik tempe. Tanpa pagupagu-yuban maka para pelaku usaha tidak akan bersatu untuk dapat mengembangkan klaster keripik tempe. Dampak yang paling terlihat dengan tidak adanya

paguyuban pelaku usaha keripik tempe adalah adanya persaingan yang tidak sehat pada harga keripik tempe. Hal ini dimungkinkan karena adanya persaingan usaha yang sangat ketat dan berlanjut pada tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku yang masih rendah. Hal tersebut nampak adanya ketertutupan antar pelaku usaha terhadap informasi pasar. Semua pelaku usaha mempunyai pelanggan tetap sendiri dan berusaha menutupi segala informasi yang berkaitan dengan adanya pasar baru yang dapat dikerjakan bersama-sama.

Luasan Informasi Pasar

Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa informasi pasar kepada pembeli langsung tidak merata diketahui semua pelaku usaha. Hanya pada kelompok-kelompok tertentu saja yang mengetahui dengan lengkap informasi pasar baru yang dapat meningkatkan penjualan keripik tempe. Berdasarkan keterangan dari responden, Meyla menyatakan:

Tidak semua pelaku usaha rajin mendatangi pela-tihan bagi usaha kecil yang diselenggarakan oleh Tabel 3. Area Pemasaran Kripik Tempe

Sumber: Data Primer (diolah)

Keterangan: persentase dihitung dari jumlah unit usaha dibagi 65 responden dan dikali 100%.

No Area emasaran Jumlah Unit Usaha Persentase

1 Malang 65 100%

2 Blitar 54 83,07%

3 Kediri 10 15,38%

4 Surabaya 20 30,76%

5 Sidoaro 19 29,23%

6 Lamongan 10 15,38%

7 Banyuwangi 15 23,07%

8 Jakarta 20 30,77%

9 Depok 4 6,15%

10 Semarang 6 9,23%

11 Yogyakarta 4 6,15%

12 Makasar 5 7,69%

13 Pontianak 5 7,69%

(9)

Dinas terkait baik dari Provinsi maupun dari Malang. Bagi saya yang memang rajin mendatangi pelatihan akan selalu mendapatkan info terbaru tentang pasar-pasar baru untuk mengembangkan usaha keripik tempe.

Kondisi Klaster

Berdasarkan laporan JICA (2004), kondisi klaster dapat digolongkan menjadi 3 yaitu klaster tidak aktif (dormant), klaster aktif (berkembang) dan klaster dinamis (advantage). Penentuan ketiga hal tersebut dapat dilihat pada hal-hal berikut: (a) Perkembangan Produk. (b) Perkembangan Teknologi. (c) Area Pe-masaran. (d) Tingkat keterampilan pelaku (e) Tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku. (f) Luasan Informasi pasar.

Berdasarkan uraian tersebut dan sesuai dengan kriteria penggolongan klaster UMKM menurut JICA (2004) maka Klaster UMKM keripik tempe di Jalan Sanan merupakan klaster UMKM dengan kondisi aktif dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) produk yang dijual semakin beragam selain keripik tempe; 2) teknologi produksi yang digunakan tidak berkembang dan masih menggunakan cara manual, namun tekno-logi pemasaran semakin berkembang melalui online shopping; 3) pasar sudah berkembang hingga di luar Kota Malang walaupun masih menggunakan peran-tara/pemasok dan terjadi persaingan tingkat harga yang sangat ketat; 4) tingkat keterampilan para tenaga kerja yang diperoleh dari para pendahulunya (turun-temurun) semakin terasah; 5) tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku dalam satu klaster masih terasa kurang sehingga jarang terjadi saling berbagi informasi pasar baru yang dapat mengembangkan usaha; 6) informasi pasar yang ada masih sangat terbatas sehingga hanya sekelompok tertentu yang menikmati penjualan pada ceruk pasar yg diketahuinya.

Hambatan Internal Pengembangan Klaster

Belum Adanya Paguyuban Antar Pengusaha

Keripik Tempe

Berdasarkan hasil wawancara dengan respon-den, diketahui bahwa pelaku usaha keripik tempe di Kampung Sanan belum memiliki sebuah organisasi

perkumpulan para pelaku usaha keripik tempe. Jadi dapat dikatakan setiap pelaku usaha bisa bertahan di usaha keripik tempe karena perjuangan masing-masing pelaku usaha.

Alasan yang disampaikan oleh responden dengan tidak terbentuknya paguyuban tersebut karena setiap pelaku usaha sudah mampu mempertahankan usaha masing-masing dan belum adanya kesadaran dari para pelaku usaha tentang pentingnya sebuah organisasi persatuan dalam meningkatkan penjualan dan kese-jahteraan bersama.

Ada sebuah hambatan bersama yang bersifat kolektif pada klaster keripik tempe di Sanan. Modal sosial yang dimiliki tidak dikembangkan dengan tepat dalam mengembangkan usaha bersama sehingga dapat maju bersama-sama. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa antar pelaku usaha di Sanan masih ada saling kurang percaya. Hal ini mengakibatkan persaingan usaha semakin ketat khususnya dalam harga jual produk.

Teknologi Produksi yang Digunakan Masih

Sederhana

Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa pro-duksi keripik tempe dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia dibantu dengan alat tradisional (ma-nual). Berdasarkan pengamatan selama proses produksi pada beberapa responden tidak ada peng-gunaan peralatan dengan menggunakan teknologi canggih atau mesin dalam hal ini mesin pemotong tempe. Hal ini tentu berpengaruh pada kapasitas pro-duksi yang selanjutnya berdampak pada tingkat penjualan dan pendapatan.

Modal Usaha yang Masih Kurang

(10)

Hambatan Eksternal Pengembangan Klaster

Pemerintah Belum Maksimal Mendukung

UMKM

Pemerintah masih terbatas dalam memberi dukungan kepada para pelaku UMKM keripik tempe karena belum adanya bidang atau bagian khusus di dalam struktur organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang yang bertugas khusus terhadap sektor unggulan industri keripik tempe. Sela-ma ini untuk pembinaan terhadap para pelaku usaha keripik tempe hanya dilakukan oleh Subbagian Per-industrian yang juga harus member dukungan yang sama terhadap sektor unggulan Kota Malang lainnya yaitu gerabah di Betek dan rotan di Balerjosari (Elvi, 2013).

Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan pemerintah terhadap pengembangan klaster masih sangat minim. Para pelaku usaha klaster keripik tempe membutuhkan berbagai ide-ide menarik dalam me-ngembangkan usaha yang mungkin selama ini belum dapat ditemukan. Di samping itu juga dukungan pemerintah sangat diperlukan dalam hal legalitas seperti pengajuan HAKI ke Departemen Hukum dan HAM.

Selain itu pemerintah juga terbatas dalam hal ang-garan dana sehingga program bantuan yang diberikan kepada para pelaku usaha juga terbatas. Sampai dengan saat ini pemerintah hanya mampu member bantuan dengan mengadakan pelatihan gratis kepada para pengusaha keripik tempe serta pengadaan acara pa-meran dagang dengan mengundang para pelaku usa-ha untuk dapat memamerkan produknya. Pemerintah Kota Malang dan Provinsi Jawa Timur masih belum mampu member bantuan dalam hal pemberian pin-jaman lunak yang memang menjadi kebutuhan utama dari para pengusaha.

Tingginya Harga Bahan Baku

Harga bahan baku yang terus meningkat menjadi kendala dalam mengembangkan usaha keripik tempe. Menurut responden, Ibu Nurdjanah, kenaikan harga bahan baku secara keseluruhan tidak dengan serta merta pelaku usaha dapat menaikkan harga produk keripik tempe karena persaingan harga yang sangat

ketat dengan pelaku usaha lainnya. Hal ini membuat keuntungan yang diperoleh dari setiap penjualan keripik tempe semakin menurun sehingga pendapatan yang diperoleh juga semakin menurun.

Kenaikan harga bahan baku pada Tahun 2013 sangat signifikan pada hampir semua bahan baku yang diperlukan untuk membuat keripik tempe. Ke-naikan harga bahan baku menjadi faktor penghambat dari luar yang tidak dapat dikendalikan oleh para pelaku usaha. Khususnya untuk bahan baku keripik tempe berupa tempe mengalami kenaikan harga kare-na bahan baku tempe berupa kedelai yang diperoleh lewat jalur impor harus mengalami kenaikan harga karena nilai tukar rupiah terhadap dollar turun tajam.

REKOMENDASI SOLUSI PENGEMBANGAN

KLASTER

Membentuk Paguyuban Pelaku Usaha Keripik

Tempe

Masyarakat di Kampung Sanan sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu hidup dengan peraturan-peraturan informal yang ada atau norma-norma yang ada dalam menciptakan keber-samaan. Kehidupan kemasyarakatan di Kampung Sanan berjalan dengan baik dan rukun dan terjadi se-buah interaksi yang sangat baik seperti pada masya-rakat pada umumnya. Hal ini lah yang menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Sanan memiliki modal sosial yang dapat digunakan dalam mengembangkan kegiatan ekonomi mereka yaitu usaha keripik tempe. Warga Kampung Sanan memiliki keterikatan yang kuat pada sejarah kampung tersebut yang dikenal dengan tempenya namun kebersamaan tersebut tidak “berbuah” nyata dalam sebuah organisasi yang dapat memfasilitasi segala kepentingan pelaku usaha untuk memajukan bersama semua usaha keripik tempe.

(11)

kerjasama yang baik dengan pengusaha tempe sehingga dapat membantu produksi keripik tempe yang optimal.

Ada beragam manfaat yang akan diperoleh para pelaku usaha keripik tempe dengan terbentuknya sebuah kelembagaan dalam hal ini disebut paguyuban pelaku usaha keripik tempe. Salah satunya adalah ada-nya “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mere-ka sendiri. Selain itu peran paguyuban sangat penting dalam mengatur sumberdaya dan distribusi manfaat, untuk itu unsur paguyuban perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan potensi masyarakat guna menun-jang pengembangan usaha. Dengan adanya paguyu-ban pelaku usaha keripik tempe maka akan terjadi kerjasama dalam hal mengatur silang hubungan antar pemilik input dalam menghasilkan output ekonomi desa dan dalam mengatur distribusi dari output tersebut.

Paguyuban yang terbentuk diharapkan dapat meredam persaingan usaha yang tidak sehat antara pelaku usaha yaitu dalam hal persaingan harga yang memang banyak dikeluhkan antar sesama pelaku usaha. Klaster usaha keripik tempe akan dapat ber-kembang dengan baik jika ada langkah bersama dalam penetapan harga yang tentu akan berpengaruh pada kualitas keripik tempe tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan duduk bersama dan membicarakan dengan damai sehingga semua pelaku usaha dari pelaku usaha yang besar hingga yang kecil mendapatkan kesem-patan yang sama dalam menikmati keuntungan hasil usaha. Sehingga keripik tempe dari usaha mikro yang dititipkan pada penjual (pelaku usaha menengah) mempunyai kualitas yang prima dan tetap memberi keuntungan yang layak bagi produsen. Pada akhirnya masyarakat luas semakin mengenal kualitas keripik tempe dari Sanan.

Paguyuban yang terbentuk dapat juga bersama-sama membicarakan untuk mengembangkan kawasan Sanan sebagai kawasan wisata pangan Kota Malang. Ide ini sudah disampaikan oleh beberapa responden yang menginginkan pemerataan karena selama ini menurut mereka penjualan yang paling ramai adalah di toko-toko yang ada di pinggir Jalan Tumenggung Suryo. Jadi, paguyuban pelaku usaha keripik tempe akan memberikan dampak positif bagi pengembangan

klaster karena kebersamaan warga akan terlihat hasilnya dalam pelaksanaan ide-ide para pelaku usaha.

Pengembangan Skala Usaha

Klaster UMKM dapat meningkatkan dan me-ngembangkan skala usaha dengan melakukan dua hal berikut: (1) Inovasi. Hal ini tidak cukup dilakukan pada aspek produksi saja tetapi juga pada aspek lain, seperti keuangan dan pemasaran. Produk kreatif seringkali tidak bisa sampai ke konsumen, tanpa ada sentuhan inovasi pemasaran. (2) Branding. Salah satunya melalui pengemasan yang menarik. Pasalnya, saat ini masyarakat tidak sekadar tertarik dengan produk itu tetapi lebih kepada citra merek. Keripik tempe telah menjadi makanan khas Kota Malang karena cita rasa tradisionalnya dan telah menjadi produk yang sering dijadikan buah tangan oleh para wisatawan/ pengunjung Kota Malang. Hal ini merupakan nilai lebih yang dapat dijadikan pemicu untuk mengem-bangkan skala usaha yaitu dengan tetap menjaga kua-litas produk dan meningkatkan pengemasan produk sehingga membuat konsumen selalu melirik dan meng-konsumsi keripik tempe.

Peningkatan Dukungan Pemerintah

Pemerintah dapat melakukan hal yang nyata dan kongkrit terhadap klaster UMKM keripik tempe melalui pemberdayaan UMKM adalah pembangunan prasarana produksi dan pemasaran. Tersedianya pra-sarana pemasaran dan atau transportasi dari lokasi produksi ke pasar, akan mengurangi rantai pemasaran dan pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pengusaha mikro, pengusaha kecil, dan pengusaha menengah. Artinya, dari sisi pemberdayaan ekonomi, maka proyek pembangunan prasarana pendukung sangat strategis.

(12)

situs-situs UMKM di seluruh kantor perwakilan pe-merintah di luar negeri.

Penguatan ekonomi rakyat melalui pemberda-yaan klaster UMKM, tidak berarti mengalienasi pengusaha besar atau kelompok ekonomi kuat karena pemberdayaan memang bukan menegasikan yang lain, tetapi give power to everybody Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah penguatan bersama, dimana yang besar hanya akan berkembang kalau ada yang kecil dan menengah, dan yang kecil akan berkembang kalau ada yang besar dan mene-ngah. Daya saing yang tinggi hanya ada jika ada keter-kaiatan antara yang besar dengan yang menengah dan kecil. Sebab hanya dengan keterkaitan produksi yang adil, efisiensi akan terbangun. Oleh sebab itu, melalui kemitraan dalam bidang permodalan, kemitra-an dalam proses produksi, kemitrakemitra-an dalam distribusi, masing-masing pihak akan diberdayakan.

Hal lainnya yang perlu terus dilakukan pemerintah dalam pengembangan klaster keripik tempe adalah pengembangan sumber daya manusia, dalam hal ini orang-orang kunci dari setiap usaha keripik tempe. Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi pelaku UMKM baik dalam aspek kewiraswastaan, adminis-trasi dan pengetahuan serta ketrampilan dalam pe-ngembangan usaha. Peningkatan kualitas SDM dila-kukan melalui berbagai cara seperti pendidikan dan pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job training, pemagangan dan kerja sama usaha. Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pela-tihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan temuan di lapangan dan analisis data maka kesimpulan penelitian ini adalah kriteria peng-golongan klaster menurut JICA (2004) maka kondisi Klaster UMKM Keripik Tempe di Sanan adalah klaster aktif. Hambatan internal dalam pengembangan klaster adalah: 1) tidak ada paguyuban antar pelaku usaha yang sama; 2) teknologi yang digunakan masih sederhana (manual); 3) modal yang dimiliki terlalu rendah sehingga sulit mengembangkan usaha. Se-dangkan hambatan eksternalnya sebagai berikut: 1)

dukungan pemerintah terhadap klaster UMKM keripik tempe sebagai produk unggulan kota Malang masih terbatas; 2) harga bahan baku yang terus meningkat. Saran Penulis untuk pengembangan klaster adalah dengan membentuk paguyuban pelaku usaha keripik tempe dan mengembangan skala usaha keripik tempe.

DAFTAR RUJUKAN

__________. 20 06 . K aj ia n Pe mb i ay aa n Da la m Rangka Pengembangan Klaster. Biro Kredit Bank Indonesia.

Akcomak, S., Weel, B. 2009. Social capital, innovation and growth: Evidence from Europe. European Economic Review. 53 (2009) 544–567.

Chou, Y.K. 2006. Three simple models of social capital and economic growth. The Journal of Socio-Economics. 35 (2006) 889–912

Christiaensen, L., Demery, L., Kuhl, J. 2011. The (evolving) role of agriculture in poverty reduction–An empirical perspective. Journal of Development Economics. 96 (2011) 239–254.

Crudeli, L. 2006. Social Capital and economic opportuni-ties. The Journal of Socio-Economics. 35 (2006) 913– 927.

Dearmon, G. 2009. Trust and development. Journal of Economic Behavior & Organization 71 (2009) 210– 220.

Dinda, S. 2008. Social capital in the creation of human capi-tal and economic growth: A productive consumption approach. The Journal of Socio-Economics 37 (2008) 2020–2033.

Glasson, J. 1990. Pengantar Perencanaan Regional.

Penerjemah Paul Sitohang. Jakarta: LPFEUI. Hamid, E.S., dan Susilo, Y.S. 2011. Strategi Pengembangan

Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 12, Nomor 1, Juni.

Kuncoro, M. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. : Jakarta: Erlangga.

Kuncoro, M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

(13)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Gambar

Tabel 1. Kriteria UMKM Menurut Berbagai Sumber
Tabel 2. Jumlah dan Pembagian Populasi
Tabel 3. Area Pemasaran Kripik TempeNo Area emasaran

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kesukaran butir soal juga dapat digunakan untuk memprediksi alat ukur itu sendiri (soal) dan kemampuan peserta didik dalam memahami materi yang diajarkan

Dari berbagai pengertian mengenai media pembelajaran yang telah diuraikan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan sumber belajar yang dapat digunakan

Kanker ovarium dapat kembali kambuh setelah pengobatan. Apabila terjadi, tentu saja perlu dilakukan kemoterapi kembali. Obat yang sama dapat diberikan lagi atau kombinasi

Waktu dalam obyek penyewaan kolam pancing ini dalam sistem penyewaan harian ini jelas satu hari yaitu mulai dibukanya kolam pemancingan sampai ditutup, atau pukul 07.00 sampai

Tabel 6 menun- jukkan bahwa kemampuan guru da- lam mengelola pembelajaran dengan menggunakan model SiMaYang Tipe II termasuk kategori sangat tinggi, meskipun

Organisasi 2.01.2.01.01 ~ Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Program 2.01.2.01.01.01 ~ Program Pelayanan Administrasi Perkantoran Kegiatan 2.01.2.01.01.01.08 ~ Penyediaan

Secara umum, kegiatan pelatihan budaya lokal dan wisatawan berjalan dengan lancar, motivasi peserta dalam pemahaman budaya lokal dan wisatawan dapat ditingkatkan, peserta

Iklan Baris Iklan Baris RUPA - RUPA SABLON SILAT SEKOLAH Serba Serbi SERVICE TV / REPARASI TANAH DIJUAL TANAH DICARI CILEDUG RAYA Lt. Cabang Bungin Bekasi sawah