• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Chapter II (699.1Kb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Chapter II (699.1Kb)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Pengaturan mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III KUH Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata) yang merupakan bagian dari KUH Perdata yang terdiri atas empat buku. Keempat buku tersebut memberikan pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht),

Buku II memuat ketentuan hukum kebendaan (zakenrecht), Buku III mengenai hukum perikatan (verbintenissenrecht), dan yang terakhir adalah Buku IV mengatur pembuktian dan daluarsa (bewijs en verjaring). Dalam buku III KUH Perdata memuat pengaturan tentang verbintenissenrecht yang di dalamnya juga tercakup istilah overeenkomst. Kata “verbintenis” bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan kedalam dua istilah, yaitu perjanjian dan persetujuan.7

Subekti berpendapat bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan demikian suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena kedua pihak itu bersetuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak adalah lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.8

7

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009. hal. 74.

8

(2)

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa, perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.9

M. Yahya berpendapat bahwa perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.10

Dari pengertian singkat di atas kita jumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum

(rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.11

9

Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 91

10

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.6

11

(3)

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perujanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris.

Berdasarkan KUH Perdata menurut ketentuan Pasal 1313 didefenisikan sebagai:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau prestasi dan satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. 12

Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum”/rechtshandeling.. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak

12

(4)

pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi.13

Prestasi ini adalah objek atau “voorwerp” dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “schuldeiser” atau “kreditor”. Pihak yang wajib

menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “schuldenaar” atau “debitor”.14

Selain itu, terhadap defenisi perjanjian yang tercantum pada Pasal 1313 KUH Perdata ini dianggap kurang begitu memuaskan karena memiliki kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut15:

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini dapat disimak dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya” Kata “mengikat” merupakan kata kerja yang bersifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak berasal dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu adalah para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampaklah kekurangannya. Seharusnya pengertian perjanjian itu ditambah dengan rumusan “saling

mengikatkan diri”.

2. Kata perbuatan mencakup juga kata consensus/kesepakatan

Pengertian kata “perbuatan” berarti termasuk juga tindakan mengurus

kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum

13

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 7.

14Ibid

., hal. 7.

15

(5)

(onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna kata “perbuatan” itu

sangatlah luas dan dapat menimbulkan akibat hukum. Seharusnya dalam kalimat tersebut dipakai kata “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Perjanjian yang di khendaki dalam Buku Ketiga KUH Perdata adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukanlah perjanjian yang bersifat personal. Sementara itu, pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut dianggap terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang dimana hal ini diatur dalam lapangan hukum keluarga. 4. Tanpa menyebutkan tujuan

Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tersebut dianggap tidak jelas tujuannya saling mengikatkan diri.

Pengertian perjanjian di atas memiliki kelemahan-kelemahan, sehingga atas dasar tersebut perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian tersebut. Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli di atas melengkapi kekurangan defenisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.16

B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;

16

(6)

3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal”.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.17

Yang mengenai subyeknya perjanjian ialah :

a. Orang yang memuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut.

b. Ada sepakat (konsensus) yanng menjadi dasar perjanjian, yang harus dicapai atas dasar kebebasan menetukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan dan penipuan).18

Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan

kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang setuju (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).19

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk

17

R.Subekti (I), Op.Cit, hal. 17

18

R. Subekti (II), Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1976

19

(7)

dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, dan siapa yang harus melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksana-kannya. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak.20

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh para pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam KUH Perdata dicantumkan beberapa, hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut.

Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, maka Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non-inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.

Esensialia : Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian. Sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordel). Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek, perjanjian.

20

(8)

Naturalia : Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring).

Aksidentialia : Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.21

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif yang kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum.22

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :

1.) Orang-orang yang belum dewasa;

2.) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3.) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.23

Sebabnya orang yang belum dewasa dan orang yang tidak sehat pikirannya

21

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 74-75

22Ibid

., hal. 127.

23

(9)

dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, bahwa pada umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap yang disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidak sanggupan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah. Juga mereka membikin suatu perjanjian dengan orang lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan diberikan hak untuk minta pembatalan dari perjanjian itu.24

Dengan demikian persetujuan semacam ini pelaksanaannya selalu tergantung dari apa maunya pihak yang belum dewasa atau pihak yang berada dalam pengawasan curatele yaitu mau melaksanakan pembatalan dari persetujuan yang bersangkutan. Kontrak semacam ini sering dinamakan kontrak pincang (hinkend contract).25

Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini bentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua atau pengampunya.26

Kecakapan seorang perempuan yang bersuami dalam KUH Perdata, ada hubungan dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat (Belanda) yang

24

R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1973, hal. 18

25Ibid,

hal. 18.

26

(10)

menyerahkan kepemimpinan keluarga itu kepada sang suami. Oleh karena ketentuan tentang ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami itu di Negeri Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman, maka sebaiknya ketentuan tersebut di Indonesia juga dihapuskan. Memang dalam praktek notaris sekarang sudah mulai mengizinkan seorang istri, yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat membuat suatu perjanjian di hadapannya, tanpa bantuan suami. Surat edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia bahwa Mahkamah Agung menganggap pasal-pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.27

Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:

a) Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.

b) Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.28

Tentang Hal Tertentu dalam Perjanjian

KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata , yang berbunyi sebagai berikut:

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu

kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

27

Subekti (I), Op. Cit, hal.19

28

(11)

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah

ditentukan jenisnya” tampaknya KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan

untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.29

Jumlah benda itu tidak perlu ditentukan dahulu, asal saja kemudian dapat ditentukan. Misalnya seorang pedagang mempunyai beras dalam gudangnya dan berjanji menjual semua atau sebagian dari beras itu kepada orang lain dengan harga sekian rupiah sekilogramnya. Perjanjian ini diperbolehkan, oleh karena kemudian secara menimbang dapat ditentukan berapa kilogramnya beras yang sebetulnya dijual.30

Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud.31

Tentang Sebab yang Halal

Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa:

29Ibid.,

hal. 155

30

R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal. 22

31

(12)

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.

KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata , dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

1.1 Bukan tanpa sebab; 1.2 Bukan sebab yang palsu; 1.3 Bukan sebab yang terlarang.32

Sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang di cita-citakan seorang. Yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat.33

C. Jenis-Jenis Perjanjian

Menurut Pasal 1314 KUH Perdata suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian/persetujuan dengan cuma-cuma-cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri, misalnya hibah, pemberian, anugrah dan wasiat. Suatu persetujuan atas beban ialah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

32Ibid

, hal. 161

33

(13)

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara yaitu sebagai berikut: 1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.

Perjanjian timbal balik ialah perjanjian-perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban pokok pada kedua belah pihak, misalnya: jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.

2. Perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama.

Perjanjian bernama (benoemd) ialah perjanjian yang mempunyai nama tersendiri yang diberikan (ditentukan) boleh undang-undang berdasarkan tipe (bentuk) yang paling banyak terjadi sehari-hari walaupun jumlahnya terbatas. Perjanjian itu juga disebut perjanjian khusus.

Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata tetapi hidup dalam kehidupan masyarakat.34

3. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator

Perjanjian kebendaan ialah suatu perjanjian untuk mengadakan suatu hak kebendaan, yaitu perjanjian dengan mana hak milik dari seorang atas sesuatu beralih kepada pihak lain, misalnya hipotik.35

Perjanjian obligator ialah perjanjian dimana para pihak terikat untuk melakukan kewajiban kepada pihak lain, dengan perkataan lain perjanjian ini menimbulkan perikatan.

4. Perjanjian yang konsensuil dan yang riil.

Perjanjian konsensuil ialah perjanjian yang terjadi dengan adanya kata sepakat untuk mengadakan perikatan.

34

Wan Sadjarudidin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, USU PRESS, Medan, 1992, hal. 25

35

(14)

Perjanjian riil ialah perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat untuk mengadakan perikatan.

Perjanjian rill ialah perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat juga dilanjutkan dengan penyerahan barang, misalnya penitipan barang. 5. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.

a. Perjanjian liberator ialah perjanjian dimana atas dasar kata sepakat para pihak membebaskan diri dari perikatan (kewajiban) yang ada, misalnya Pasal-Pasal 1438, 1440 dan 1442 KUH Perdata .

b. Perjanjian pembuktian yaitu dimana para pihak bebas menentukan alat-alat pembuktian yang akan mereka pergunakan dalam suatu proses. Perjanjian pembuktian (bewijs overeenkomst).

c. Perjanjian untung-untungan yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak melaksanakan kewajiban (memberikan prestasi) terlebih dahulu dengan harapan akan menerima yang lebih besar dari apa yang telah diberikannya pada suatu waktu yang tertentu atau telah ditentukan, misalnya perjanjian asuransi.

d. Perjanjian publik yaitu perjanjian yang seluruhnya atau untuk sebagian oleh hukum publik karena salah satu pihak adalah penguasa bertindak sebagai penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas.36

D. Akibat Hukum Perjanjian

1. Perjanjian Hanya Berlaku di Antara Para Pihak Yang Membuatnya Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang

36

(15)

membuatnya. Ini berarti bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bagi para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Jadi apa yang menjadi kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian hanya merupakan dan menjadi kewajibannya semata-mata. Dalam hal terdapat seorang pihak ketiga yang kemudian melaksanakan kewajibannya tersebut kepada kreditor, maka ini tidak berarti debitor dilepaskan atau dibebaskan dari kewajibannya tersebut. Pihak ketiga yang melakukan pemenuhan kewajiban debitor, demi hukum diberikan hak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban debitor (yang telah dipenuhi oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditor) dari debitor. Demikianlah Pasal 1400 KUH Perdata merumuskan:

“Subrogasi atau penggantian hak-hak kreditor oleh seorang pihak ketiga

yang membayar kepada kreditor itu, terjadi, baik dengan perjanjian, maupun demi undang-undang”.

Dengan demikian jelaslah bahwa prestasi yang dibebankan oleh KUH Perdata bersifat personal dan tidak dapat dialihkan begitu saja.37 Di dalam istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan

bahwa pembuataan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUHPerdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak.38 Dengan ketentuan tersebut jelas bahwa apa yang sudah di sepakati oleh siapapun juga, kecuali jika hal tersebut memang di

37

Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja. Op, Cit. hal.166

38

(16)

khendaki secara bersama oleh para pihak, ataupun ditentukan demikian oleh undang-undang berdasarkan suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum atau keadaan hukum tetentu.39

2. Mengenai Kebatalan atau Nulitas Dalam Perjanjian

Pada dasarnya perjanjian bersifat konsensuil, namun demikian terdapat perjanjian-perjanjian tertentu yang mewajibkan dilakukan sesuatu tindakan yang lebih dari hanya sekedar kesepakatan lisan, sebelum pada akhirnya perjanjian tersebut dianggap sah dan kiranya mengikat serta melahirkan perikatan di antara para pihak yang membuatnya.40 Dalam perjanjian konsensuil, seperti telah dijelaskan, keabsahannya ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini Pasal 1320 KUH Perdata . Jika suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut tidak sah, yang berarti perjanjian itu terancam batal. Hal ini mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk diketahui oleh tiap pihak yang mengadakan perjanjian. Oleh karena masing-masing perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri, maka nulitas atau kebatalan dari suatu perjanjian juga memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri.41

E. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Berakhirnya perjanjian juga memiliki sinonim lain, seperti berakhirnya kontrak dan hapusnya perikatan (KUH Perdata Pasal 1381). Secara umum,

39

Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Op. Cit. hal. 166

40Ibid

., hal. 171

41

(17)

berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya suatu perjanjian yang dibuat di antara dua pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor, tentang sesuatu hal. Pihak kreditor dipahami sebagai pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi sesuai dengan isi perjanjian. Pihak debitor adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Apabila perjanjian berjalan lancar dan dipenuhi dengan seksama maka pemenuhan itu tanda pengakhiran suatu perjanjian otomatis.

1. Hukum Dasar Berakhirnya Perjanjian

Sampai saat ini, pedoman atau dasar hukum yang dipakai sebagai landasan berakhirnya perjanjian (perikatan) masih merujuk pada isi Pasal 1381 KUH Perdata, yang dalam beberapa hal telah ketinggalan zaman. Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, perikatan-perikatan dapat hapus:

1. Karena pembayaran;

2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

3. Karena pembaruan utang;

4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi; 5. Karena percampuran utang;

6. Karena pembebasan utangnya;

7. Karena musnahnya barang yang terutang; 8. Karena kebatalan atau pembatalan;

9. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab pertama buku ini;

10.Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam satu bab tersendiri. ad.1. Pembayaran

(18)

pihak ketiga yang melakukan pembayaran. Dalam melakukan pembayaran, pihak ketiga dapat bertindak atas nama si berutang atau nama sendiri. Jika pembayaran dilakukan atas nama si terutang, berarti pembayaran dilakukan oleh si pembayar sendri, jika pembayaran dilakukan atas nama sendiri berarti pihak ketigalah yang membayarnya.42

ad.2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpan atau penitipan. Dalam suatu perjanjian mungkin terjadi kreditor menolak pembayaran dengan alasan tertentu. Contoh:

A harus membayar sejumlah uang sebagai harga pembelian barang kepada B. Akan tetapi karena harga barang tersebut naik, B tidak mau menerimanya apabila A tidak menambah jumlah uang sesuai dengan harga barang yang telah naik untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut, A dapat menawarkan pembayaran diikuti dengan penitipan.

Prosedur pelaksanaan pembayaran diikuti oleh penitipan atau penyimpanan adalah sebagai berikut:

Uang atau barang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditor. Apabila kreditor mau menerima uang atau barang yang ditawarkan itu maka selesailah pekara pembayaran itu. Apabila kreditor menolak penawaran, maka notaris atau juru sita membuat proses verbal dan kreditor di minta untuk menandatanginya. Proses verbal ini merupakan

42

(19)

surat bukti bahwa kreditor menolak pembayaran. Langkah selanjutnya, debitor mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah di lakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu di sahkan, maka uang atau barang yang akan dibayarkan itu di simpan atau di titipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah piutang itu. Uang atau barang tersebut berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas risiko kreditor.

ad 3. Pembaharuan utang

Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang atau novasi, yaitu:

a. Apabila seorang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantinya utang yang lama, yang dihapuskan karenanya.

b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang terutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang baru ditunjuk dengan menggatikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.

ad. 4. Perjumpaan utang atau kompensasi

(20)

ad.5. Percampuran utang

Percampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena kedudukan sebagai kreditor dan debitor berkumpul pada satu orang. Percampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum.

ad.6. Pembebasan utang

Pembebasan utang adalah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si kreditor bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Apabila terjadi pembebasan uang, maka hapuslah hubungan utang piutang antara kreditor dan debitor. Pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

ad.7. Musnahnya barang yang terutang

Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka perikatan hapus asal musnahnya atau hilangnya barang itu di luar kesalahan si berutang (debitor) dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah di luar kesalahan debitor, maka debitor tidak diwajibkan memberikan prestasi kepada kreditor. Pasal ini lahir dari ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata, yang merupakan satu-satunya Pasal yang mengatur tentang risiko dalam ketentuan umum tentang perikatan yang menentukan bahwa risiko atas suatu benda dalam perikatan untuk memberikan sesuatu dipikul oleh kreditor sejak perikatan tersebut dilahirkan.

(21)

Meskipun dalam KUH Perdata disebutkan batal atau pembatalan, tetapi yang dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Sebab apabila perjanjian itu batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat dihapus.

ad.9. Berlakunya syarat batal

Yang dimaksud dengan berlakunya syarat batal ialah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan.

ad.10. Lewatnya waktu atau verjaring

Lewat waktu atau daluwarsa ialah suatu upaya umtuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Berakhirnya karena Undang-Undang dan Perjanjian

Rumusan berakhirnya perjanjian dalam KUH Perdata tidak menjelaskan apakah karena perjanjian atau undang-undang. Namun, secara tersirat KUH Perdata telah mengatakan atau memuat hal itu secara inklusif. Dari Praktik, dapat diamati perjanjian (perikatan) yang berakhir karena undang-undang adalah:

(22)

b.Musnahnya barang terutang; dan c.Daluarsa.

Adapun perjanjian (perikatan) yang berakhir karena perjanjian adalah: 1.Pembayaran;

2.Novasi (pembaruan utang) 3.Kompensasi;

4.Percampuran utang (konfusio); 5.Pembebasan utang;

6.Kebatalan atau pembatalan; dan 7.Berlaku syarat batal.

Dalam praktik, ditemukan juga fakta cara berakhirnya perjanjian (perikatan) yang disebabkan oleh :

a)Jangka waktunya berakhirnya, b)Dilaksanakan objek perjanjian, c)Kesepakatan kedua belah pihak,

d)Pemutusan perjanjian secra sepihak oleh salah sati pihak, dan e)Adanya keputusan pengadilan.

Demikian garis besar bagaimana dan kapan berakhirnya suatu perjanjian dengan segala konsekuensi hukumnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hukum perjanjian termasuk materi hukum rumit yang mengatur tentang kegiatan kehidupan sehari-hari, walaupun skalanya mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lain.43

43

Referensi

Dokumen terkait

Location Quotient ( LQ ) menunjukkan bahwa tanaman pangan yang merupakan sektor basis di Kabupaten Siak dengan pendekatan nilai LQ luas panen dan LQ produksi

• To determine the actual street and highway routes that will be used and the number of vehicles that can be expected on each highway segment • To give a traffic direction to

cukup lama, jauh sebelum menjadi Presiden di negeri ini, saya berpikir dan bahkan bertanya, "apakah konflik di Aceh tidak dapat kita selesaikan?" Apakah bangsa yang besar

Pelaksanaan pembelajaran Akidah Akhlak kelas VIII di MTs Nurul Ikhlas Pintu Gobang Kari dilakukan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat oleh guru mata

Oleh karena itu Intiland Development hanya menargetkan pertumbuhan pendapatan 16% menjadi Rp 2,1 triliun pada akhir tahun 2015, dibandingkan posisi Rp 1,83 triliun per akhir

diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan.. individu lain dalam sebuah struktur

Menurut Biels dalam Consuegra (2006:137), berpendapat bahwa citra merek adalah The image of a brand can be described as having three contributing subimages; the

Sedangkan kepemilikan institusional yang pressure-sensitive adalah kepemi- likan saham oleh institusi yang seringkali memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan sehingga mereka