ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN .N DENGAN
POST OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION
(ORIF) FRAKTUR FEMUR
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Perioper atif
AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUM O
YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini siapa yang tak kenal dengan kendaraan transportasi baik itu pribadi atau umum. Bahkan saat ini tak jarang orang tua membolehkan anak-anaknya menggunakan kendaraan pribadi seperti motor, mereka pun tak takut menjalankannya dijalan raya. Seiring banyaknya kendaraan pribadi ataupun umum banyak juga kejadian negatif karenanya. Terutama kecelakaan lalu lintas seperti kecelakaan sesama pengendara motor, motor dengan mobil atau lainnya. Akibat dari kecelakaan yang terjadi yaitu kematian, cacat, dan juga fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma /ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman dan Nurma, 2009).
Fraktur bisa terjadi di bagian tubuh kita dimanapun itu, salah satunya adalah fraktur femur. Fraktur femur didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Zairin, 2012).
B. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui konsep dasar dari fraktur femur
BAB II
KONSEP DASAR FRAKTUR FEMUR
A. Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi di istregritas tulang, penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan tetapi faktor lain seperti proses degenerative
juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Brunner & Suddarth, 2008). Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012).
Fraktur femur didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Zairin, 2012).
B. Etiologi
Etiologi fraktur menurut Muttaqin, A (2008), Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak.
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone pada menopause.
C. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala fraktur femur umumnya antara lain (Helmi, 2012) : 1. Nyeri
Terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirncang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Kehilangan fungsi. 3. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya.
4. Pemendekan ekstermitas karena kontraksi otot.
Terjadi pada fraktur panjang, karena kontraksi otot yang melekat di atas dan dibawah tempat fraktur.
5. Krepitasi.
6. Pembengkakan.
7. Perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi akibat trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur.
D. Manifestasi kinis post open reduction internal fixation (ORIF)
Tanda dan gejala post open reduction internal fixation (ORIF) umumnya antara lain (Appley, 2005) :
1. Nyeri, terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tukang 2. Deformitas dapat di sebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas
dapat di ketahui dengan membandngkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsidengan baik karna fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Fragmen sering melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan yang lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit akibat pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
6. Peningkatan temperatur local 7. Pergerakan abnormal
8. Echymosis (pendarahan subkutan yang lebar)
E. Patofisiologi
misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan Sel-sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen.
F. Pathway
Trauma langsung, benturan, kecelakaan
Trauma eksternal – kekuatan tulang
Kompresi tulang
Patah tulang tak sempurna patah tulang sempurna
Patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka
Kerusakan struktur tulang
Patah tulang merusak jaringan
Sumber : Price (2006)
G. Klasifikasi
Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak garis fraktur seperti dibawah ini :
1. Fraktur intertrokhanter femur
sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita yang sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
2. Fraktur subtrokhanter femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan menurut Fielding & Magliato sebagai berikut:
a. Tipe 1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor
b. Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhanter minor
c. Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas trokhanter minor.
Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu yang merupakan alternatif pada pasien dengan usia muda.
3. Fraktur batang femur
Faktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa
debridement, terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin traksi serta operatif dengan pemasangan plate-screw.
4. Fraktur suprakondiler femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan nail-phroc dare screw.
5. Fraktur kondiler femur
kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika sampai union sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal.
H. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Doenges (2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT – scan/MRI : memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. 5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati.
I. Konsep Pembedahan
Kata perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencangkup 3 fase pengalaman pembedahan yaitu praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif.
1. Fase Praoperatif
2. Fase Intraoperatif
Dimulai ketika pasien masuk ke bagian atau ruang bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup aktifitas keperawatan, memasang infus, memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien.
3. Fase Posotperatif
Dimulai pada saat pasien masuk ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Lingkup aktifitas keperawatan, mengkaji efek agen anestesi, membantu fungsi vital tubuh, serta mencegah komplikasi. Peningkatan penyembuhan pasien dan penyuluhan, perawatan tindak lanjut, rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan (Baradero, 2008).
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konservatif, merupakan penatalaksanaan non pembedahan agar
immobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi.
1. Proteksi (tanpa reduksi atau immobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
2. Imobilisasi degan bidai eksterna (tanpa reduksi). Biasanya menggunakan plaster of paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari plastic atau metal. Metode ini digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan.
Penatalaksanaan pembedahan.
1. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire (kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari.
2. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF : Open Reduction internal Fixation).
3. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF : Open reduction Eksternal Fixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur atau remuk).
Penatalaksanaan pembedahan Open Reduction internal Fixation (ORIF) 1. Pengertian
ORIF adalah sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi plate dan screw untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Smeltzer, 2004).
2. Metode
Menurut Apley (2005) terdapat lima metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain: sekrup kompresi antar fragmen, plat dan sekrup (paling sesuai untuk lengan bawah), paku intermedula (untuk tulang panjang yang lebih besar), paku pengikat sambungan dan sekrup (ideal untuk femur dan tibia), sekrup kompresi dinamis dan plat, ideal untuk ujung proksimal dan distal femur.
3. Indikasi ORIF
Indikasi ORIF diantaranya adalah : fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi (fraktur collum femur), fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup (fraktur avulse dan fraktur dislokasi), fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan (fraktur monteggia, fraktur galeazzi, fraktur antebrachi dan fraktur ankle), fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi (fraktur femur) (Appley, 2005).
4. Persiapan perioperatif di ruangan Keadaan preoperasi :
Jenis anestesi :
a. General anestesi : Face mask
b. Premedikasi yang diberikan : Muscle relaxan : atracurium
c. Induksi anestesi : Untuk induksi digunakan Propofol 80 mg intra vena secara pelan
d. Anestesi inhalasi : O2, Halothane e. Rumatan : RL digrojog
f. Posisi anastesi : Terlentang
5. Persiapan atau prosedur di ruang operasi Persiapan alat dan Ruangan
a. Alat tidak steril : Lampu operasi, cuter unit, meja operasi, suction, hepafik, gunting
b. Alat steril : Duk besar 3, Baju operasi 4, selang suction steril, selang cuter Steril,side 2/0, palain 2/0, berbagai macam ukuran jarum
c. Set orif :
1) Koker panjang 2 2) Klem bengkok 6 3) Bengkok panjang 1 4) Pinset cirugis 2 5) Gunting jaringan 1 6) Kom 2
7) Pisturi 1 8) Hand mest 9) Platina 1 set 10) Kassa steril 11) Gunting benang 2 12) Penjepit kasa 1 13) Bor 1
d. Prosedur Operasi :
1) Pasien sudah teranastesi GA
2) Tim bedah melakukan cuci tangan (Scrub) 3) Tim bedah telah memakai baju operasi (Gloving)
4) Lakukan disinfeksi pada area yang akan dilakukan sayatan dengan arah dari dalam keluar, alkohol 2x, betadine 2x
5) Pasang duk pada area yang telah di disinfeksi (Drapping) 6) Hidupkan cuter unit
7) Lakukan sayatan dengan hand mest dengan arah paramedian
8) Robek subkutis dengan menggunakan cuter hingga terlihat tulang yang fraktur
9) Lakukan pengeboran pada tulang 10) Pasang platina
11) Lakukan pembersihan bagian yang kotor dengan cairan NaCl 12) Jahit subkutis dengan plain 2/0
13) Jahit bagian kulit dengan side 2/0
14) Tutup luka dengan kassa betadine, setelah itu diberi hepafik
K. Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur (Suratun, dkk, 2008) yaitu:
1. Syok
2. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah.Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk.
L. Asuhan Keperawatan PENGKAJIAN
1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat Perjalanan penyakit
1) Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan 2) Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma 3) Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll 4) Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
5) Kehilangan fungsi
6) Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis b. Riwayat pengobatan sebelumnya
1) Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam jangka waktu lama
2) Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada wanita
3) Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut 4) Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir c. proses pertolongan pertama yang dilakukan
1) Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan diatas/di bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan
2) Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema 2. Pemeriksaan fisik
b. Inspeksi daerah mana yang terkena 1) Deformitas yang nampak jelas
2) Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera 3) Laserasi
4) Perubahan warna kulit
5) Kehilangan fungsi daerah yang cidera c. Palpasi
1) Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran 2) Krepitasi
3) Nadi, dingin
4) Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
M. Diagnosa Yang Mungkin Muncul
a. Hambatan Mobilitas Fisik b.d gangguan muskuloketeletal b. Kerusakan intergritas kulit b.d medikasi
c. Nyeri akut b.d agen cidera fisik d. Resiko syok hipovolemi
N. Rencana Keperawatan
Dx Keperawatan NOC NIC
1. Hambatan 1. Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation Mobilitas Fisik 2. Mobility level 1. Konsultasi dengan terapi fisik b.d gangguan 3. Self care : ADLs tentang rencana ambulansi sesuai muskuloketeletal 4. Transfer performance kebutuhan
2. Bantu klien untuk menggunakan Kriteria Hasil : tongkat saat berjalan dan cegah a. Klien meningkat dalam terhadap cedera
aktivitas fisik 3. Kaji kemampuan klien dalam b. Mengerti tujuan dari mobilisasi
peningkatan mobilitas 4. Latih pasien dalam pemenuhan c. Memverbalisasikan kebutuhan ADLs secara mandiri
perasaan dalam sesuai kemampuan
meningkatkan kekuatan 5. Dampingi dan bantu pasien saat dan kemampuan mobilisasi dan bantu penuhi
berpindah ADLs ps.
d. Memperagakan 6. Ajarkan pasien bagaimana penggunaan alat merubah posisi dan berikan e. Bantu untuk mobilisasi bantuan jika diperlukan
2. Kerusakan 1. Tissue integrity : skin and Insision site care
intergritas kulit mocus 1. Membersihkan, memantau dan
b.d medikasi 2. Membranes meningkatkan proses
3. Hemodyalis akses penyembuhan pada luka yg ditutup dengan jahitan klip atau Kriteria Hasil : strapless
a. Integritas kulit yang baik 2. Monitor proses kesembuhan area bisa dipertahankan insisi
b. Tidak ada luka/lesi pada 3. Monitor tanda dan gejala infeksi
kulit pada area insisi
c. Perfusi jaringan baik 4. Bersihkan area sekitar jahitan d. Menunjukan pemahaman atau straples, menggunakan lidi
dalam proses perbaikan kapas steril
kulit dan mencegah 5. Gunakan preparat antiseptic, terjadinya cedera berulang sesuai program
e. Mampu melindungi kulit 6. Ganti balutan pada interval waktu dan mempertahankan yang sesuai atau biarkan luka kelembaban kulit dan tetap terbuka (tidak dibalut) perawatan alami sesuai program
3. Nyeri akut b.d 1. Pain level Pain Management
agen cidera fisik 2. Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 3. Comfort level komperhensif termasuk lokasi,
karakteristik, onset/durasi, Kriteria Hasil : frekuensi, kualitas, intensitas atau a. Mampu mengontrol nyeri beratnya nyeri dan faktor b. Melaporkan bahwa nyeri pencetus
berkurang dengan 2. Observasi adanya petunjuk menggunakan manajemen nonverbal mengenal
nyeri ketidaknyamanan terutama pada
c. Mampu mengenali nyeri mereka yang tidak dapak d. Menyatakan rasa nyaman berkomunikasi secara efektif
setelah nyeri berkurang 3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri 4. Pertimbangkan tipe dan sumber
nyeri ketika memilih strategi penurunan nyeri
5. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi
6. Berikan individu penurun nyeri yang optimal dengan peresepan analgesik
7. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
4. Resiko syok 1. Syok prevention Syok preventiontidak berhasil
hipovelemi 2. Syok management 1. Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut Kriteria hasil : jantung, HR, dan ritme nadi a. Nadi dalam batas yang perifer, dan kapiler refill
b. Irama jantung pada batas oksigtenasi jaringan
yang diharapkan 3. Monitor suhu dan pernafasan c. Frekuensi nafas dalam 4. Monitor input dan output
batas yang diharapkan 5. Pantau nilai labor :
d. Irama pernafasan dalam HB, HT, AGD dan elektrolit batas yang diharapkan 6. Monitor hemodinamik invasi e. Natrium serum dbn yang sesuai
f. Kalium serum dbn 7. Monitor tanda dan gejala asites g. Klorida serum dbn 8. Monitor tanda awal syok h. Kalsium serum dbn 9. Tempatkan pasien pada posisi i. Magnesium serum dbn supine, kaki elevasi untuk j. PH darah serum dbn peningkatan preload dengan tepat Hidrasi 10. Lihat dan pelihara kepatenan
Indikator : jalan nafas
a. Mata cekung tidak 11. Berikan cairan iv dan oral yang
ditemukan tepat
b. Demam tidak ditemukan 12. Berikan vasodilator yang tepat c. TD dbn 13. Ajarkan keluarga dan pasien d. Hematokrit dbn tentang tanda dan gejala
datangnya syok
14. Ajarkan keluarga dan pasien tentang langkah untuk mengatasi gejala syok
Syok management
1. Monitor fungsi neurologis 2. Monitor fungsi renal 3. Monitor tekanan nadi 4. Monitor status cairan, input
output
5. Catat gas darah arteri dan oksigen dijaringan
6. Monitor EKG
7. Monitor nilai laboratorium 8. Memonitor gejala gagal
BAB III KASUS A. Kasus
FORMAT PENGKAJIAN PERIOPERATIF KAMAR BEDAH
Nama Mahasiswa :
NIM :
Tgl & jam pengkajian :
A. PENGKAJIAN
1. DENTITAS PASIEN
a. Nama Pasien : Tn. N
b. Umur : 40 tahun
c. Agama : Islam
d. Pendidikan : Sd
e. Alamat : Sedayu, Bantul
f. No CM :
-g. Diagnosa Medis : fraktur fremur sinistra
2. IDENTITAS ORANG TUA/ PENANGGUNG JAWAB
a. Nama : Ny. Tia
b. Umur : 39 tahun
c. Agama : Islam
d. Pendidikan : Sekolah Dasar e. Pekerjaan :
-f. Hubungan dengan pasien : istri Asal pasien
□ Rawat Jalan □ Rawat Inap □ Rujuk
POST OPERASI 1. Pasien pindah ke :
Pindah ke □ ICU □ PICU □ NICU □ RR jam 14.00 Wib
2. Keluhan saat di RR : □ Mual □ Muntah pusing □ Nyeri luka operasi □ Kaki terasa
3. Keadaan Umum : □ Baik □ Sedang □ Sakit berat
4. TTV :
Suhu 36 oC, Nadi 88 x/mnt, respirasi 20 x/mnt, Tekanan Darah 110/70 mmHg 5. Kesadaran : □ Compos Metis □ Apatis □ Somnolen □ Soporo □ Coma 6. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas:
Kepala
1. Inspeksi : tidak terlihat lesi 2. Palpasi : tidak ada nyeri tekan 3. Perkusi : sonor
4. Auskultasi : suara nafas vasikuler
Leher
1. Inspeksi : tidak terlihat lesi 2. Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Dada
1. Inspeksi : tidak terlihat pulpasi 2. Palpasi : tidak ada nyeri tekan 3. Perkusi : redup
4. Auskultasi : terdengar suara jantung lup dup
Abdomen
1. Inspeksi : tidak terlihat lesi 2. Palpasi : tidak ada nyeri tekan 3. Perkusi : bunyi bising usus timpani 4. Auskultasi : suara bising usus 13 x/menit
Genitalia
1. Terpasang dower cateter
Integumen
2. Luka tampak basah tidak ada nanah
Ekstremitas
1. Ekstremitas atas kanan, rentang gerak bebas, kekuatan otot 5
2. Ekstremitas atas kanan terpasang infus RL 20 tetesan per menit, rentang gerak bebas, kekuatan otot 5
3. Ekstremitas bawah kiri, rentang gerak bebas, kekuatan otot 5
4. Ekstremitas bawah kanan, rentang gerak terbatas, kekuatan otot 3, karena
terdapat luka post operasi fraktur fremur
Schore Alderet
gerakan 1. Dapat menggerakan ke 4
ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah
2. Dapat menggerakkan ke 2 V ekstremitasnya sendiri atau
dengan perintah
3. Tidak dapat menggerakkan ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah
pernafasan 1. Bernapas dalam dan kuat serta V
batuk
2. Bernapas berat atau dispnu 3. Apnu atau napas dibantu
Tekanan darah 1. Sama dengan nilai awal + 20% V 2. Berbeda lebih dari 20-50% dari
nilai awal
3. Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal
Kesadaran 1. Sadar penuh V
2. Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan
3. Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan
Warna kulit 1. Merah
2. Pucat , ikterus, dan lain-lain V 3. Sianosis
Skor alderet pasien : 8
Numeric Rating Scale
PENGELOMPOKAN DATA
Da ta Su bje kti f
1. Pasien mengatak an : P: luk a pos t op era si fre mu r Q : di tus uk tus uk R : f r e m u r s i n i s t r a S
: s k a l a 6
T : hilang timbul 2. Pasien
Da
1. Terdapat luka post 2. Kekuatan
otot 3 3. Pasien
terlihat meringis kesakitan 4. Skala
nyeri sedang yaitu skala 6
5. Terdapa t luka jahitan di kaki sinistra sepanja ng 20 cm, jumlah jahitan 20 7. Aktifit
ANALISA DATA
Symptom Problem Etiologi
Do : Nyeri akut cidera fisik
1. Terdapat luka post operasi fraktur fremur di ekstremitas bawah kanan
2. Pasien terlihat meringis kesakitan
3. Skala nyeri sedang yaitu skala 6
DS :
1. Pasien mengatakan : P: luka post operasi fremur Q : di tusuk tusuk
R : fremur sinistra S : skala 6
T : hilang timbul
Do: Kerusakan intergritas medikasi
1. Terdapat luka jahitan di kaki kulit sinistra sepanjang 20 cm,
jumlah jahitan 20
2. Luka tampak basah tidak ada nanah
DS :
-Do : Hambatan Mobilitas gangguan
1. Ekstremitas bawah kanan, Fisik muskuloketeletal rentang gerak terbatas,
kekuatan otot 3, karena terdapat luka post operasi fraktur fremur
DS :
1. Pasien mengatakan dalam beraktifitas tidak bisa mandiri dan membutuhkan bantuan orang lain
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Post Operasi :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
2. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan medikasi
RENCANA KEPERAWATAN skala 6 DS :
S tampak mengera ng dan menangi s 3. Ekspresi
wajah
Pain control Setelah dilakukan tindakan keperawata n selama 1X 60 menit, nyeri dapat berkurang dengan kriteria hasil :
2. K
akteristik, onset/dura si,
frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus gi (seperti, biofeedbac k, TENS, hypnosis, relaksasi, bimbingan antisipatif, dan bersamaan dengan tindakan penurun rasa nyeri lainnya) 3. Kolabora
si pemberia n
4. K
09 Agustus 2016 14.00 WIB
14.15 WIB Mengkaji
nyeri secara S : pasien mengatakan komprehensif
P: luka post operasi
fremur
Q : di tusuk tusuk R : fremur sinistra S : skala 6 T : hilang timbul O :
1. Terdapat luka post operasi 14.20 WIB
fraktur fremur di ekstremitas
Kolaborasi pemberian
bawah kanan analgetic
melalui 2.
Pasien terlihat meringis intravena
kesakitan 3. Skala nyeri
skala 6
14.25 WIB S :
-O : Ceftriaxon 1 gram masuk
melalui intravena
Senin, 09 Agustus 2016 15.00
S : pasien mengatakan P: luka post operasi fremur Q : di tusuk tusuk
Ke
k e m a m p u a n
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam makalah kami diagnosa yang ada dikasus dan diteori yaitu hambatan mobilitas fisik, kerusakan integritas kulit, dan nyeri akut. Hambatan mobilitas fisik yaitu keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah. Batasan karakteristik dari hambatan mobilitas fisik dalam teori yaitu gerakan lambat, instabilita postur, kesulitan membolak – balik posisi dan tremor akibat bergerak sedangkan dalam kasus kami batasan karakteristik dari hambatan mobilitas fisik yaitu gerakan lambat, kesulitan membolak – balik posisi jika tidak di bantu keluarga. Jadi dari batasan karakteristik yang dibahas baik dalam teori maupun kasus hambatan mobilitas fisik pasti terjadi pada pasien post ORIF karena tindakan pembedahan tersebut bertujuan membenarkan struktur tulang yang patah ataupun retak, maka dari itu karena adanya tujuan tersebut sebaiknya pasien yang menjalani tindakan post ORIF harus berbaring dan menbatasi aktivitasnya agar proses perbaikan tulang segera tercapai, dan pasien juga harus dibantu dalam aktivitasnya oleh keluarga maka dari itu dengan adanya tindakan itu terjadilah diagnosa hambatan mobilitas fisik pada pada pasien post ORIF (NANDA 2015 – 2017).
Diagnosa yang akan kami bahas kedua yaitu kerusakan integritas kulit, yang berarti kerusakan pada epidermis dan/atau dermis. Batasan karakteristik dari diagnosa ini menurut teori adalah benda asing menusuk permukaan kulit, kerusakan integritas kulit. Sedangkan menurut kasuspun sama dengan teori karena sesuai dengan batasan karakteristik pada pasien post ORIF yaitu dengan adanya prosedur pembedahan berarti benda asing seperti gunting bedah, pisau bedah yang menembus kulit kemudian terjadi penyatan pada kulit yang mengakibatkan dermis/epidermis terluka dan menyebabkan ditegakkannya diagnosa kerusakan integritas kulit pada pasien post ORIF (NANDA 2015 – 2017).
lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau diprediksi. Batasan karakteristik menurut teori dari nyeri akut yaitu diaforesis, dilatasi pupil, ekspresi wajah nyeri, fokus menyempit, keluhan tentang intensitas menggunakan skala nyeri, laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas, putus asa, perubahan selera makan. Sedangkan batasan karakteristik pada kasus yaitu keluhan tentang intensitas menggunakan skala nyeri, laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas, putus asa, perubahan selera makan, dapat disimpulkan diagnosa ketiga ini muncul pada pasien post ORIF karena sebelum pebedahan dilakukan sudah terjadi beberapa batasan karakteristik yang muncul yaitu ekspresi wajah nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri pada frakturnya dan setelah proses pembedahan dilakukan batasan karakteristik lainnya menyertai maka diagnosa nyeri akut dapat ditegakkan pada pasien post ORIF (NANDA 2015 – 2017).
Dalam makalah ini juga diagnosa yang ada di kasus tapi tidak ada di teori ternyata
tidak ada, sedangkan diagnosa yang ada di teori dan tidak ada di kasus ada yaitu diagnosa
resiko syok hipovolemik. Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan
oksigenasi jaringan disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh hilangnya volume intravaskular akut akibat berbagai keadaan bedah atau medis (Greenberg, 2005).
Pada pasien Fraktur femur dengan post ORIF bisa terjadi resiko syok hipovolemi karena pada saat dilakukan pembedahan untuk memasangan plate pasti terjadi pemotongan atau penyatan pada kulit yang mengakibatkan arteri atau vena terputus, keadaan itu juga yang menyebabkan perdarahan pada pasien saat terjadinya operasi. Jika perdarahan tersebut tidak segera diatasi maka akan terjadi perdarahan yang hebat dan akan menyebabkan kehilangan volume cairan, cairan ini dapat berupa darah, plasma dan elektrolit maka dari itu bisa menyebabkan syok hipovolemi atau resiko syok hipovolemi pada pasien dengan keadaan pembedahan fraktur femur (Price, 2006).
Syok hipovolemik tidak terjadi pada kasus kami karena pasien saat pembedahan ORIF pengalami perdarahan ± 200 cc dan itu bukan perdarahan yang sedang maupun berat. Sedangkan perdarahan yang menyebabkan syok hipovolemik yaitu kehilangan volume darah 30 – 40% sekitar 2000 cc pada orang dewasa. Maka dari itu kasus kami tidak menegakkan diagnosa resiko syok hipovolemik (Price, 2006).
Intervensi pada diagnosa hambatan mobilitas fisik yang ada dalam teori dan kasus yaitu kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan, konsultasi dengan terapi fisik tentang rencana
ambulansi sesuai kebutuhan. Intervensi yang ada di teori tapi tidak ada di kasus yang pertama bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera kami tidak melakukan intervensi tersebut karena keluarga sudah mengajarkannya pada pasien, yang kedua dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi ADLs kami tidak melaukannya karena keluarga juga yang selalu membatu pasien dalam mobilisasi dan
yang terakhir ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika di perlukan kami tidak melakukannya karena sama seperti kedua intervensi tadi keluarga yang sudah membantu pasien merubah posisi. Kemudian pada diagnosa yang kedua kerusakan integritas kulit, intervensi yang ada di teori dan kasus yaitu membersihkan, memantau dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka yg ditutup dengan jahitan klip atau strapless,
monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi, ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka (tidak dibalut) sesuai program. Intervensi yang ada di teori tapi tidak ada di kasus yaitu yang pertama monitor proses kesembuhan area insisi kami tidak mengambil intervensi tersebut karena sudah sekalian terpantau dalam intrvensi monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi, yang kedua dan ketiga yaitu bersihkan
area sekitar jahitan atau straples, menggunakan lidi kapas steril dan gunakan preparat antiseptic, sesuai program kami tidak menggunakan intervensi tersebut karena dalam proses medikasi sudah ada alat dan program tersendiri. Intervensi yang ada diteori dan kasus dalam diagnosa terakhir ini yaitu nyeri akut adalah lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat kami simpulkan dari makalah kami fraktur femur didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Zairin, 2012). Pada pasien fraktur femur dalam kasus kami menggunakan pembedahan open reduction internal fixation (ORIF), karena pasien kami mengalami patah tulang dan memerlukan pengaturan kembali posisi pada tulang maka di lakukanlah tindakan tersebut.
Asuhan keperawatan pada pasien fraktur femur post ORIF yaitu nyeri akut, hambatan mobilitas fisik dan kerusakan integritas nyeri. Tujuan utama dalam tindakan keperawatan membantu pasien dalam penyembuhan post pembedahan dengan kondisi baik tidak ada tanda – tanda infeksi dan membantu pasien dalam aktvitas kesehariannya sampai proses ORIF berhasil. Maka dari itu dalam penyembuhan pasien fraktur femur post ORIF memerlukan kolaborasi tidak hanya dari tenaga kesehatan tapi keluarga juga agar membatu pasien selagi tenaga kesehatan tidak ada.
B. Saran
Semoga makalah kami tentang asuhan keperawatan pada pasien fraktur femur
DAFTAR PUSTAKA
Appley, G. A. 2005. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley, Edisi VII. Jakarta: Widya Medika.
Baradero, Mary. 2008. Keperawatan perioperatif .Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth. (2008). Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta : EGC Grace, Pierce A., dan Borley, Neil R., 2006. Nyeri Abdomen Akut. Dalam: Safitri,
Amalia, ed. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta : Erlangga.
Juniartha. 2007. Angka Kejadian Fraktur. http://okezone.com diakses pada tanggal 14 September 2016
Lukman & Ningsih, Nurma. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Musculoskeletal. Jakarta: Salemba Medik
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. EGC : Jakarta
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. EGC: Jakarta.
Noor Helmi, Zairin, 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; jilid 1, Jakarta: Salemba Medika
Price, dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Ed. 6, volume 1&2. EGC: Jakarta.
Smeltzer, Suzanne, C. Bare Brenda, G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth, Edisi VIII. Jakarta: EGC.