• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAFSIR SURAH AL FATIHAH AYAT KE 6 Tafsir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TAFSIR SURAH AL FATIHAH AYAT KE 6 Tafsir"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TAFSIR SURAH AL FATIHAH AYAT KE-6

(Tafsir Makna Hidayah dan

Ṣiraṭ

)

Oleh: AHMAD ABRAR RANGKUTI, S.Pd.I.,M.A.1 Disampaikan dalam Kajian Tafsir Alquran

Balai Penelitian Sei Putih, 19 Oktober 2017

A. Pendahuluan

Dalam hadis qudsi2 riwayat Imam Muslim r.a dijelaskan bahwa ketika

seorang muslim mengucapkan ihdinā aṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm saat melaksanakan salat, Allah swt menyambut dan langsung menjawab ungkapan tersebut dengan

hażā li ˋabdī wa li ˋabdī mā sa’ala (ini untuk hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta). Ini merupakan bentuk dialog vertikal langsung seorang hamba dengan Allah swt.

Hemat penulis, bila dicermati dan ditelaah jawaban Allah swt di atas dengan pendekatan semantik, yaitu makna kata dan bentuk ungkapan terdapat dua hal penting. Pertama, dari aspek makna diperoleh pemahaman bahwa Allah swt mengisyaratkan kedekatan diri-Nya dengan hamba-Nya yang melaksanakan salat. Hal ini dipahami dari redaksi kata hażā yang bermakna ini dan menunjukkan makna dekat. Kedua, Allah swt menjamin segala permintaan hamba-Nya akan dikabulkan, meski tidak disebut makna segera atau kapan dikabulkan. Hal ini dipahami dari ungkapan mā sa’ala yang menunjukkan makna keumuman lafaz.

Terkait dengan hal di atas, kajian tafsir Alquran merupakan salah satu cara membumikan Alquran – istilah yang digunakan Quraish Shihab – dengan tujuan agar ajaran Islam aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Alquran yang salah satu namanya adalah an-Nūr3 yang bermakna cahaya, memiliki fungsi

sebagai pemandu jalan kehidupan manusia. Kesalahan fatal manusia akibat mengabaikan panduan Alquran misalnya, ketika berdoa menggunakan perantara. Padahal dalam pandangan Islam, manusia beriman tidak perlu menggunakan perantara ketika berdoa atau berkomunikasi kepada Allah swt, sebagaimana terjadi di semua agama selain Islam, khusunya Nasrani dan Yahudi yang dimurkai dan dinilai sesat oleh Allah swt.4

1Tenaga Pendidik Agama Islam SMP Negeri 3 Lubuk Pakam dan MTs Alwashliyah

Pulau Gambar, Sekretaris Pimpinan Cabang Alwashliyah Kecamatan Galang dan Sekretaris MUI Kecamatan Galang.

2Ulama mendefinisikan hadis qudsi sebagai khitab (titah) Allah swt yang disampaikan

kepada Rasul saw melalui mimpi atau ilham. Kemudian Rasul saw menerangkan apa yang diterimanya itu dengan redaksinya sendiri walaupun tetap menyandarkan kepada Allah swt. Di antara cirri-ciri hadis qudsi adalah bahwa di dalamnya terdapat perkataan Rasul saw, “Allah swt berfirman…” dan seterusnya. Makna kandungan hadis qudsi berasal dari Allah swt yang disampaikan langsung kepada Rasul saw tanpa perantara malaikat Jibril. Kemudian Rasul saw menerangkan dengan gaya bahasanya sendiri. Lihat Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h.20-21.

3QS. An-Nisā’/4: 174.

(2)

B. Pembahasan

1. Tafsir Makna Hidayah

Ibn ˋĀsyur menjelaskan bahwa hidayah ditandai dengan adanya ketenangan (talaṭṭuf) karena adanya kebaikan (khair). Hakikat hidayah adalah al-wuṣūl ilā makān al-maṭlūb (sampai pada tujuan). Menurut istilah syariat hidayah adalah ad-dilālah ˋalā mā yarḍallah min fiˋl al-khair wa yuqābiluhā aḍ-ḍalālah wa hiya tagrīr (petunjuk terhadap apa yang diridhai Allah swt dengan cara mengerjakan kebaikan dan menghindari kesesatan). Kemudian, ia mengklasifikasikan hidayah dalam empat tingkatan, yaitu: 1) potensi penggerak dan tahu, 2) petunjuk yang berkaitan dengan dalil untuk membedakan antara yang

ḥaq dan batil, 3) hidayah yang tidak dapat dijangkau akal, diutuslah rasul, dan 4) hidayah tersingkapnya hakikat rahasia yang tertinggi serta aneka rahasia.5

Lebih lanjut Ibn ˋĀsyur menjelaskan bahwa ulama kalam berbeda pendapat tentang makna hidayah ketika dikaitkan dengan adanya hambatan untuk sampai ke tujuan kebaikan (khair) sebagaimana hakikat hidayah. Pendapat jumhur ulama Asyˋari meniadakan hambatan menuju kebaikan. Hal ini karena hidayah adalah jalan menuju tujuan, baik sampai maupun tidak. Inilah pendapat yang benar. Di sisi lain, Zamakhsyari menyatakan bahwa hidayah merupakan petunjuk yang sampai pada tujuan. Bila tidak sampai pada tujuan bukan merupakan kesesatan, karena Allah swt Maha Berkehendak untuk menyampaikan kepada tujuan siapa yang Dia beri petunjuk.6

Menurut al-Baiḍawi, ayat keenam surah al-Fātihah merupakan penjelasan tentang adanya pertolongan yang diminta oleh hamba. Seolah-olah terjadi dialog antara hamba dengan Allah swt. “Bagaimana Aku menolongmu?” Hamba pun menjawab “ihdinā aṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm.” Hidayah merupakan bagian dari nikmat. Oleh karena itu, hidayah yang diberikan Allah swt sangat banyak bahkan tidak terhitung. Meskipun demikian, al-Baiḍawi mengklasifikasikan hidayah dalam empat kelompok. Pertama, potensi yang memungkinkan seseorang meraih kemaslahatan, misalnya potensi akal, indera, batin, perasaan (batin), dan fisik (zahir). Kedua, potensi petunjuk yang dapat membedakan antara hak dan batil, kedamaian dan kerusakan. Ketiga, hidayah dalam bentuk diutusnya rasul dan diturunkannya Alquran. Keempat, potensi terbukanya rahasia hati baik melalui wahyu, ilham, mimpi yang benar. Potensi yang keempat dikhususkan kepada para nabi dan para wali.7

5Muḥammad Ṭahir ibn ˋĀsyur, Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr (Tunisia: Dār at-Tunisiyah

wa an-Nasyr, 1984), jilid I, h. 187.

6Ibid., h. 188.

7Naṣhr ad-Dīn Abī Saˋīd ˋAbdullah ibn ˋUmar ibn Muḥammad asy-Syirāzī al-Baiḍawi,

(3)

Zakaria mengungkapkan makna ayat keenam surah al-Fātiḥah dengan makna tunjukilah kami jalan yang lurus, menuju rida dan surga-Mu, dengan tetap mengikuti perintah dan menjauhi larangan. Islam adalah jalan yang lurus, karena Islam membahagiakan dan penuh nikmat. Islam bagaikan jalan bebas hambatan.8

Sementara itu, As-Saˋdi menafsirkan ayat keenam tersebut dengan makna tunjukilah (dullanā), bimbinglah (arsyidnā), dan berilah taufik (waffaqanā) ke jalan yang lurus, yaitu jalan yang jelas yang membawa sampai kepada Allah swt dan ke surga-Nya, yaitu dengan jalan mengetahui kebenaran (haqq) dan beramal dengan kebenaran itu. Lebih lanjut, ia membatasi makna tunjukilah kami jalan yang lurus dengan dua cakupan makna, yaitu: 1) tunjukilah kami ke jalan yang lurus dan 2) tunjukilah kami di jalan yang lurus. Makna pertama permohonan dan usaha hamba agar istiqamah dalam dīn Islam, tidak mencari agama selain Islam. Sedangkan makna kedua meliputi hidayah (petunjuk) untuk semua rincian (tafāṣīl) agama, ilmu, dan amal. Inilah merupakan doa yang mencakup semua doa dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh sebab itu wajib bagi setiap muslim yang salat berdoa kepada Allah swt di setiap rakaat salatnya sebagai bentuk kebutuhan primernya (ḍarūratihi).9

Ulama tafsir Alquran Indonesia, M. Quraish Shihab menafsirkan ayat keenam surah al-Fātiḥah dengan memberikan hubungan dengan ayat sebelumnya. Setelah mempersembahkan puja puji kepada Allah swt dan mengakui kekuasaan dan kepemilikan-Nya, ayat selanjutnya merupakan pernyataan hamba tentang ketulusan beribadah serta kebutuhannya kepada pertolongan Allah swt. Ayat keenam ini bermakna bimbing antar-lah kami memasuki jalan lebar dan luas. Selanjutnya, ia menjelaskan makna kata iḥdinā yang mencakup dua hal, yaitu: 1) tampil ke depan memberi petunjuk, dan 2) menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini, lahir kata hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.10

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Allah sw menuntun setiap makhluk kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dialah yang memberi hidayah kepada anak ayam memakan benih ketika baru saja menetas, atau lebah untuk membuat sarangnya dalam bentuk segi enam karena bentuk tersebut lebih sesuai dengan bentuk badan dan kondisinya. Shihab mengelompokkan hidayah ke dalam empat bentuk, yaitu: 1) hidayah dalam bentuk naluri, 2) hidayah dalam bentuk indera manusia, 3) hidayah dalam bentuk akal, dan 4) hidayah dalam bentuk agama. Selain itu, menurut Shihab hidayah biasa disebut Alquran dengan menggunakan kata ilā maupun tanpa ilā. Ketika kata hidayah disebut dengan menggunakan kata ilā, ini bermakna bahwa yang diberi petunjuk belum berada dalam jalan yang benar, sedang bila tidak

8 Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2012), h, 2.

9Abdurrahman ibn Nāṣir as-Saˋdiy, Taisīr al-Karīm fī Tafsīr Kalām al-Mannān (Saudi

Arabia: Al-Bayān, 1995), h. 27.

(4)

menggunakan kata ilā pada umumnya yang diberi petunjuk telah berada dalam jalan yang benar—kendati belum sampai di tujuan.11

Al-Maragi menjelaskan bahwa hidayah ada pada diri Allah swt dan kewenangan memberikan hidayah tidak akan diberikan kepada siapapun. Dialah yang memiliki sifat sebagai Pemberi hidayah. Terkait dengan klasifikasi hidayah, al-Maragi mengelompokkan hidayah dalam empat bagian. Pertama, hidayah dalam bentuk ilham. Hal ini dirasakan oleh anak kecil sejak ia dilahirkan. Seorang anak akan merasa membutuhkan makanan dengan cara menangis sebagai pertanda. Kedua, hidayah kepada panca indera. Hidayah kedua ini dimiliki oleh manusia dan hewan. Ketiga, hidayah kepada akal. Hidayah ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan hidayah ilham dan panca indera. Keempat, hidayah berupa agama dan syariat. Hidayah ini merupakan kebutuhan mutlak bagi orang yang menganggap remeh akal pikirannya, mengikuti kemauan hawa nafsunya, menundukkan jiwa untuk kemauan syahwatnya. Dengan hidayah agama manusia akan menerima petunjuk.12

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia telah diberi Allah hidayah. Akan tetapi hidayah tertinggi berupa dīn al-Islām belum dimiliki secara sempurna oleh manusia. Oleh karena itu, setiap muslim memohon doa agar selalu berada dalam hidayah Allah swt. Sementara di sisi lain, dalam konteks perolehan ilmu pengetahuan Islam (epistemologi Islam) dikenal istilah masālik al-hidāyah (sarana perolehan hidayah). Sarana perolehan tersebut adalah melalui ilham, panca indera, akal, dan agama. Ketika sarana perolehan hidayah tersebut tidak dipergunakan atau salah penggunaannya, Allah akan menghukum manusia dalam neraka-Nya sebagaimana dalam Alquran surah al-A’raf ayat 179. Oleh karena itu manusia dituntut untuk menjaga sarana perolehan hidayah tersebut dengan cara patuh dan melaksanakan syariat Islam. Ketika hal tersebut dilaksanakan, maqāṣid asy-syarīah akan diraih, yaitu: 1) terjaga akal, 2) terjaga agama, 3) terjaga keturunan, 4) terjaga harta, dan 5) terjaga diri.

2. Tafsir Makna Aṣ-ṣirāṭ

Al-Baghawi menjelaskan bahwa ungkapan ihdinā aṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm

merupakan suatu bentuk doa bagi mukmin mengungkapkan keadaannya yang butuh hidayah. Hidayah yang dimohonkan adalah hidayah dalam benuk taṡbīt

(pengokohan) yang bermakna memohon tambahan hidayah. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa lafal aṣ-ṣirāṭ bisa dibaca as-sirāṭ (

ﺲ /

sin). Selain itu, lafal tersebut bisa dibaca az-zirāt (

/zai). Akan tetapi, qira’ah (bacaan) yang terpilih dan disepakati oleh para qurra’ (ulama qiraah) adalah membaca lafal tersebut dengan (ﺺ /ṣad) sebagaimana tertulis dalam mushaf.13

11Ibid., h.75-77.

12Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, terj. K. Ansori Umar Sitanggal, dkk

(Semarang: Toha Putra, 1992), h. 48.

13Abu Muḥammad Husain ibn Mas’ud al-Bagawi, Ma’ālim at-Tanzīl (Riyadh: Dār

(5)

Perbedaan cara baca kata aṣ-ṣirāṭ menurut Ibn ˋAsyur dikarenakan perbedaan bahasa. Qira’ah menggunakan huruf (

ﺲ /

sin) berasal dari jumhur

qurra’ Arab. Sedangkan para qurra’ Hijaz membaca dengan huruf (ﺺ /ṣad). Adapun bacaan menggunakan huruf (

/zai) pada kata aṣ-ṣirāṭ dinilai oleh al-Qurṭubi sebagai qiraah yang cacat (majrūḥ). Qiraah yang cacat tersebut biasa dibaca oleh suku ‘Uzrah, Kalb, dan Bani Qain. Membaca kata aṣ-ṣirāṭ dengan huruf (

ﺲ /

sin) maupun (ﺺ /ṣad) memiliki arti kata yang sama, yaitu (ṭarīq).

Lebih lanjut, Ibn ˋAsyur menjelaskan mengapa bisa terjadi ragam qiraat

sementara yang tertulis dalam mushaf Alquran menggunakan huruf (ﺺ /ṣad). Ia menegaskan bahwa para sahabat menulis dengan menggunakan (ﺺ /ṣad) sebagai bentuk kewaspadaan (tanbīh) demi menjaga kefasihan. Para sahabat pada masa itu menulis dengan bahasa Quraisy sementara mereka berpegang teguh dengan ilmu Arab.14

Pada sisi lain, Shihab menjelaskan bahwa kata aṣ-ṣirāṭ terambil dari kata

saraṭa dan karena huruf (

ﺲ /

sin) dalam kata ini bergandeng dengan huruf (

/ra), huruf (

ﺲ /

sin) terucapkan (ﺺ /ṣad) menjadi (ﻄﺍﺮﺻ/ṣiraṭa) atau zai menjadi (ﻄﺍﺮﺯ/ ziraṭa). Asal katanya sendiri bermakna menelan. Jalan yang lebar dinamai aṣ-ṣirāṭ

karena sedemikian lebarnya sehingga jalan tersebut bagaikan menelan si pejalan. Kata aṣ-ṣirāṭ ditemukan dalam Alquran sebanyak 45 kali. Kesemuanya dalam bentuk tunggal. 32 kali di antaranya dirangkaikan dengan kata mustaqīm. Kata aṣ-ṣirāṭ berbeda dengan kata as-sabīl yang juga diterjemahkan dengan jalan. Kata

as-sabīl ada yang berbentuk jamak, seperti subul as-salām (jalan-jalan kedamaian), ada pula yang dinisbahkan kepada Allah swt seperti sabīlillah atau kepada orang yang bertakwa, seperti sabīl al-muttaqīn.15

Selanjutnya, aṣ-ṣirāṭ yang dimohonkan dalam surah al-Fātihah ini adalah yang mustaqīm yakni lurus. Dalam surah al-Fātihah ini, kata mustaqīm diartikan

lurus. Dengan demikian, yang diharapkan bukan hanya aṣ-ṣirāṭ yakni jalan yang lebar dan luas, tetapi juga lurus karena kalau jalan hanya lebar dan luas lagi berliku-liku, sungguh panjang jalan yang harus ditempuh guna mencapai tujuan.

Aṣ-ṣirāṭ al- mustaqīm adalah jalan luas, lebar, dan terdekat menuju tujuan. Jalan luas lagi lurus itu adalah segala jalan yang dapat mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Alquran juga menegaskan bahwa aṣ-ṣirāṭ al- mustaqīm adalah

14Ibn ˋĀsyur, Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, h. 190. Masyarakat Arab sebelum Islam

sudah mengenal dan menguasai berbagai ilmu, seperti ilmu Riyāh (angin), Nujum (astrologi), Anwa’ (cuaca), Kahanah (perdukunan), Ṭibb (kedokteran), Syair, Pidato. Bahkan masyarakat Arab pada masa itu mampu mengetahui bekas tapak kaki di gurun pasir, apakah tapak kaki laki atau perempuan; bila perempuan, gadis atau janda. Mereka memperoleh ilmu tersebut dari lingkungan dan pengalaman hidup mereka. Nilai ilmu menurut mereka adalah ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan materi mereka. Lihat Umar Ridha Kahhalah, Dirāsāh Ijtimāˋiyyah fī al-ˋUṣūr al Islāmiyyah (Damsyiq: Maktabah at-Taˋāwūn, 1973), h. 37.

(6)

ibadah sebagaimana disebut dalam Alquran surah Yāsīn ayat 61, “Dan beribadahlah kepada-Ku, inilah aṣ-ṣirāṭ al- mustaqīm.16

Kata aṣ-ṣirāṭ memiliki lawan kata az-ẓulumāt (kegelapan) yang selalu digunakan Alquran dalam bentuk jamak (plural). Menurut Muṭaḥḥari, penggunaan kata az-ẓulumāt (kegelapan) yang selalu digunakan Alquran dalam bentuk jamak sedangkan kata aṣ-ṣirāṭ selalu dalam bentuk tunggal bermakna bahwa jalan yang salah itu sangat banyak jumlahnya, sedangkan jalan Allah swt hanyalah satu. Di sinilah perlunya para nabi diutus, karena jalan lurus yang membawa kepada kesempurnaan tidak dapat dibedakan manusia tanpa bantuan para nabi. Para nabilah yang menunjukkan jalan lurus tersebut. Ia juga menjelaskan perbedaan makna kata aṣ-ṣirāṭ dengan kata as-sabīl. Kata as-sabīl

bermakna anak cabang jalan, sedangkan kata aṣ-ṣirāṭ bermakna jalan besar. Mungkin ada banyak anak cabang jalan yang dapat menuju tujuan, namun hanya ada satu jalan utama.17

Menurut Ibnu ˋAbbas18, Jabīr, dan Muqātil r.a makna aṣ-ṣirāṭ adalah Islam. Ibnu Masˋud dan Sayyidina ˋAlī r.a 19 memaknainya sebagai Alquran berdasarkan hadis marfuˋ.20 Saˋid ibn Zubair mengatakan bahwa yang dimaksud dengan aṣ-ṣirāṭ adalah jalan (ṭarīq) menuju surga. Abū ˋĀliyah dan Ḥasan memaknainya sebagai Rasul saw, keluarga, dan para sahabatnya. Sedangkan Saḥl ibn ˋAbdullah menyatakan bahwa makna aṣ-ṣirāṭ adalah jalan ahlussunnah wal jamaah. Secara bahasa aṣ-ṣirāṭ bermakna aṭ-ṭarīq al wāḍih (jalan yang jelas).21

Dengan demikian, kehidupan manusia seperti musafir yang berjalan menuju kesempurnaan, seharusnya memilih jalan utama. Mungkin ada di antara kita yang memilih cabang jalan untuk mencapai jalan utama tersebut. Jika

16Ibid., 80-81.

17Murtaḍa Muṭaḥḥari, Tafsir Surat-surat Pilihan: Mengurai Kandungan Ayat-ayat

Qurani, terj. M.S Nasrulloh dan Hasan Rahmat (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), h. 61.

18Ibn ˋAbbas ulama tafsir generasi sahabat di Mekah yang memiliki murid Saˋid ibn

Zubair, Mujāhid, ˋIkrimah, Maulā Ibn ˋAbbas, Ṭawus ibn Kaisān al Yamani, dan ˋAṭa’ ibn Abī Rabāh. Di Madinah ulama tafsir generasi sahabat adalah Ubay ibn Kaˋab yang memiliki murid Zaid ibn Aslam, Abū al-ˋĀliyah, dan Muḥammad ibn Kaˋab al-Qaraẓi. Di Irak ulama tafsir generasi sahabat adalah ˋAbdullah Ibn Masˋud yang memiliki murid ˋAlqamah ibn Qais, Masrūq, Aswad ibn Yazīd, ˋĀmir asy-Syaˋbi, Ḥasan al-Baṣri, Qatadah ibn Diˋamah as-Sadūsi. Lihat Mannaˋ al-Qaṭṭan, Mabāḥiṡ fī ˋUlūm al-Qurˋan (Riyadh: Mansyurah al-ˋAṡr al-Ḥadīṡ, 1990), h. 11.

19 As-Suyūṭi menyebutkan sepuluh orang sahabat terkemuka yang memiliki kredibilitas

dalam bidang tafsir. Mereka adalah empat orang dari al-khulafa’ ar-rasyidun, Ibn ˋAbbas, Ibn Masˋud, Ubay ibn Kaˋab, Zaid ibn Ṡabit, Abū Musā al-Asyˋari dan ˋAbdullah ibn Zubair. Lihat Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Alquran: Kajian Kritis, Objektif, dan Komprehensif, terj. Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 10.

20Hadis marfuˋ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw dalam bentuk

perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan/ketetapan), ataupun sifat. Hukum hadis marfuˋ tergantung pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan suatu hadis marfuˋ itu berstatus sahih, ḥasan, atau ḍaif. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003), h. 283.

(7)

seseorang, dalam kedudukan dan peringkat apapun, bertindak sesuai dengan kewajiban manusiawi, moral dan agamnya, maka ia akan menemukan jalan utama melalui jalan kecil mana saja yang telah dipilihnya, tidak peduli berapa besar perbedaan jalan-jalan kecil itu pada mulanya. Para dokter, pekerja, atau pedagang, memilih jalan-jalan kecil yang berbeda, namun mereka pada akhirnya dapat bertemu pada jalan utama.22

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aṣ-ṣirāṭ merupakan jalan luas, dan lebar. Jalan yang diminta manusia adalah jalan luas dan lebar yang al-mustaqīm, yaitu lurus.

C. Simpulan

Ayat keenam surah al-Fātihah memberi isyarat kepada orang yang beriman agar selalu sadar dan memohon hidayah Allah swt. Permohonan tersebut adalah kebutuhan primer manusia. Di balik makna tersebut terungkap pesan bahwa kehidupan yang dijalani manusia seluruhnya terkait dengan hidayah yang diberi Allah swt kepada manusia. Masalah yang dihadapi manusia akan selesai bila mana ia berdoa memohon hidayah Allah swt dan memfungsikan potensi hidayah tersebut dalam kehidupan. Sebaliknya kegagalan akan terjadi bilamana manusia tidak mengetahui dan memfungsikan dengan baik potensi hidayah yang dimilikinya dalam kehidupan.

Manusia yang beriman akan berdoa agar hidayah tersebut langgeng dan menjadi sarana penuntun kehidupan. Sebaliknya manusia yang lalai bahkan ingkar dengan jati dirinya sebagai manusia yang lemah akan semakin jauh dari hidayah Allah swt dan berada di jalan kehidupan yang bengkok. Bila demikian, manusia yang seperti itu tidak akan pernah sampai ke tujuan yang sesungguhnya.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaṭṭan, Mannaˋ. Mabāḥiṡ fī ˋUlūm al-Qurˋan. Riyadh: Mansyurah ˋAṡr al-Ḥadīṡ, 1990.

Ushama, Thameem. Metodologi Tafsir Alquran: Kajian Kritis, Objektif, dan Komprehensif, terj. Hasan Basri dan Amroeni. Jakarta: Riora Cipta, 2000.

Al-Bagawi, Abu Muḥammad Husain ibn Mas’ud. Ma’ālim at-Tanzīl. Jilid I. Riyadh: Dār aṭ-Ṭayyibah, 1988.

al-Baiḍawi , Naṣhr ad-Dīn Abī Saˋīd ˋAbdullah ibn ˋUmar ibn Muḥammad asy-Syirāzī. Anwār at-Tanzīl wa Isrār at-Ta’wīl. Jilid I. Kairo: Dār al-Fikr, t.t.

Ibn ˋĀsyur , Muḥammad Ṭahir. Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr. Jilid I. Tunisia: Dār at-Tunisiyah wa an-Nasyr, 1984.

Kahhalah, Umar Ridha. Dirāsāh Ijtimāˋiyyah fī al-ˋUṣūr al Islāmiyyah. Damsyiq: Maktabah at-Taˋāwūn, 1973.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi, terj. K. Ansori Umar Sitanggal, dkk. Semarang: Toha Putra, 1992.

Muṭaḥḥari, Murtaḍa. Tafsir Surat-surat Pilihan: Mengurai Kandungan Ayat-ayat Qurani, terj. M.S Nasrulloh dan Hasan Rahmat. Bandung: Pustaka Hidayah, 2007.

As-Saˋdiy Abdurrahman ibn Nāṣir. Taisīr al-Karīm fī Tafsīr Kalām al-Mannān. Saudi Arabia: Al-Bayān, 1995.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Volume 1. Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Wahid, Ramli Abdul Wahid. Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media, 2005.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Eusebius A.Y.S Arvidy Universitas Sanata Dharma 2019 Penelitian ini bertujuan untuk: 1 menganalisis desain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang dibuat oleh guru akuntansi di

Pengaruh PDB perkapita (X1), panjang jalan (X2), harga BBM (X3), dan tingkat bunga kredit konsumsi (X4) terhadap permintaan mobil (Y) di Indonesia dengan menggunakan taraf

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu modifikasi produk krim probiotik yang telah dimikroenkapsulasi, analisis sifat fisik krim probiotik dan krim non

Terhadap variabel hasil padi gogo terlihat bahwa perlakuan N2 yaitu dosis pupuk N 90 kg/ha mampu meningkatkan jumlah malai, jumlah gabah, bobot gabah, bobot

lnstitut lnsinyur Wageningen di Hindia Belanda pada tahun 1932 mengungkapkan beberapa keinginan mengenai masa praktek sebagai berikut : "banyak orang menganggap

Batas toleransi mutu kelas B, yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 10 % dari jumlah atau bobot buah pepaya tapi masih memenuhi persyaratan minimum. 6.2

HARI PUKUL MATAKULIAH SKS Gol/Kls PENGAMPUH RUANG PESERTA SMSTR Prof..

Salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat dikembangkan guru untuk meningkatkan minat dan hasil belajar matematika siswa adalah model TGT (Teams Games Tournament) dan